• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V : Berisikan bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM KASUS DENGAN PUTUSAN PENGADILAN TINGGI MEDAN NOMOR

B. Analisis Putusan

1. Tentang Pertimbangan Hukum

Ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas dalam pertimbangan majelis hakim pada putusan No 94/Pid.Sus.K/2013/Pn.Mdn tersebut. Jaksa Penuntut Umum mendakwakan terdakwa dengan 3 (tiga) dakwaan yaitu dakwaan primer diancam dengan pasal 2 ayat (1) Jo pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dakwaan subsidair diancam dengan Pasal 3 Jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, serta Dakwaan Lebih Subsider diancam dengan Pasal 9 UU 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam pertimbangan terhadap unsur – unsur didalam pasal 2 ayat (1) Jo

pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, majelis hakim berpendapat bahwa unsur setiap orang didalam pasal 2 UU No 31 tahun 1999 jo uu 20 tahun 2001 tersebut tidak tepat untuk diterapkan. Unsur setiap orang merupakan pelaku atau subjek delik dalam Pasal 2 ayat (1), dan unsur ini

bukanlah delik inti (bestandeel delict) melaiknkan elemen delik. Subyek delik

dalam pasal ini tidak hanya terdiri dari manusia, tapi juga korporasi. Sekalipun makna setiap orang pada pasal 2 ayat (1) meliputi orang perseorangan atau korporasi, tapi makna orang perseorang tersebut tidak meliputi pegawai negeri

atau pejabat. Jika pegawai negeri atau penyelenggara negara diajukan ke persidangan karena diduga melakukan tindak pidana korupsi, maka Pasal 2 ayat (1) uu korupsi tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk mendakwa pegawai

negeri atau penyelenggara tersebut.131

Pertimbangan hakim dalam mempertimbangkan Pasal 2 ayat (1) tersebut sudah tepat karena terdakwa merupakan penyelenggara negara dalam hal ini adalah Manager Produksi PT.PLN (Persero) KITSBU., maka Pasal 2 ayat (1) uu korupsi tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk mendakwa terdakwa. Seharusnya Jaksa Penuntut Umum lebih cermat dan teliti dalam membuat dakwaannya, karena dalam kasus ini Jaksa Penuntut Umum sudah mengatahui bahwa terdakwa merupakan seorang penyelenggara negara.

Majelis Hakim kemudian mempertimbangkan dakwaan subsidair yaitu Pasal 3 Jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apabila diteliti ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 3, akan ditemui beberapa unsur yaitu:

a. Setiap orang

b. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

c. Menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada

karena jabatan atau kedudukan

d. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Sebagai pelaku dari tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 3 ditentukan “setiap orang” sehingga seolah-olah “setiap orang” dapat melakukan tindak

131

pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 3. Tetapi dalam Pasal 3 tersebut ditentukan bahwa pelaku tindak pidana korupsi yang dimaksud harus memangku suatu jabatan atau kedudukan. Oleh karena yang dapat memangku jabatan atau kedudukan hanya orang perseorangan, maka tindak pidana korupsi yang terdapat

dalam pasal 3 hanya dapat dilakukan oleh orang-perseorangan, sedang korporasi

tidak dapat melakukan tindak pidana korupsi tersebut.132

Pertimbangan majelis hakim terhadap pasal 3 yang menarik untuk dikaji adalah tentang unsur menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi. Majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa untuk menentukan adanya unsur menguntungkan diri sendiri haruslah mempertimbangk an terlebih dahulu unsur penyalahgunaan wewenang yang ada padanya.

Yang dimaksud menguntungkan adalah sama artinya dengan mendapatkan untung, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dari pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan yang diperolehnya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi adalah sama artinya mendapatkan untung untuk diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Soedarto didalam Wiyono mengemukakan pada waktu berlakunya UU no 3 Tahun 1971 “ini merupakan unsur batin yang menentukan arah dari perbuatan penyalahgunaan kewenangan dan sebagainya. Adanya unsur ini harus pula ditentukan secara

132

Wiyono, Pembahasan Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Halaman 45.

obyektif dengan memperhatikan keadaan lahir yang menyertai perbuatan

tersangka.133

Sejalan dengan pendapat Soedarto tersebut, perlu dikemukakan adanya putusan Mahkamah Agung RI tanggal 29 Juni 1989 Nomor 813 K/Pid/1987 yang pertimbangan hukumnya antara lain menyebutkan bahwa unsur menguntungkan diri sendiri atau suatu badan cukup dinilai dengan kenyataan yang terjadi atau dihubungkan dengan perilaku terdakwa sesuai dengan kewenangan yang

dimilikinya, karena jabatan atau kedudukannya.134

Unsur menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi berarti tidak harus mendapatkan banyak uang namun cukup apabila dengan mendapatkan sejumlah uang yang dari uang tersebut seorang akan memeproleh keutungan dari

padanya walaupun sedikit.135 Menurut Nur Basuki Minarno perumusan

memperkaya diri sendiri pada Pasal 2 ayat (1) uu Tindak Pidana Korupsi dengan “tujuan menguntungkan..” pada Pasal 3 uu Tindak Pidana Korupsi mempunyai pengertian yang sama yakni kedua unsur delik tersebut dirumuskan secara

materil.136

Bertambahnya keuntungan atau kekayaan harus benar-benar terjadi atau secara materil kekayaan dari pejabat atau pegawai negeri, orang lain, atau suatu korporasi itu menjadi bertambah dengan adanya penyalahgunaan wewenang.

133 Ibid, halaman 46 134 ibid 135

Marwas Ali, Op.Cit, halaman 112 136

Manakala penyelenggaran wewenang telah terbukti, maka dengan sendirinya unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri” tidak perlu dibuktikan.137

Majelis hakim dalam pertimbangannya mengenai unsur menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi berpatokan pada unsur menyalahgunakan kedudukan atau kewenangan yang ada padanya sudah tepat, karena terdakwa telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh terdakwa untuk tujuan lain dari maksud diberikannya kewenangan, kesempatan, atau sarana

yang ada padanya.138

Terdakwa dalam perkara ini terbukti telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan dan sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dilihat dari terdakwa secara sadar dan sengaja membuat syarat teknis untuk pengadaan barang Flame Tube PLTGU DG 10530 tahun anggaran 2007 hanya berdasarkan buku panduan dari PT.SIEMENS saja tidak melakukan survey terlebih dahulu perihal barang tersebut masih diproduksi apa tidak. Walaupun pada SK Direksi PT.PLN Nomor 100 dan Nomor 200 tidak ada ketentuan ataupun tidak ada keharusan untuk melakukan survey terlebih dahulu dalam pengadaan barang dan jasa namun hal itulah yang mengakibatkan terjadinya perbedaan spesifikasi Flame Tube yang diterima. Hal ini juga bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pengadaan barang dan jasa.

Unsur selanjutnya yang dipertimbangkan oleh majelis hakim dalam perkara ini adalah unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana

137

Mahrus Ali,Op.Cit, halaman 113 138

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Makna menyalahgunakan wewenang sejak peraturan penguasa militer tahun 1997 hingga undang-undang no 20 tahun 2001 tentang pemberatasan tindak pidana korupsi, tidak pernah diberikan arti yang memadai. Untuk memecahkan persoalan ini, tidak salah bila

menggunakan teori otonomi dari hukum pidana materil (de autonomie van hed

materiele straafrecht) oleh H. A. Demeersemen. Teori ini pada intinya

mempertanyakan apakah ada harmoni dan disharmoni antara pengertian yang sama antara hukum pidana, khususnya dengan hukum perdata dengan hukum tata

usaha negara (administrasi negara) sebagai satu cabang hukum lainnya.139

Dalam hukum administrasi negara pengertian penyalahgunaan wewenang

diartikan dalam tiga bentuk, yaitu :140

1. Penyalahgunaan wewenang untuk melakukan tindakan-tindakan

yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk

menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan;

2. Penyalahgunaan wewenang dalam arti bahwa tindakan pejabat

tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lain;

3. Penyalahgunaan wewenang dalam arti menyalahgunakan prosedur

yanga seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.

139

Indrianto seno adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, CV. Diadit Media, Jakarta, 2006, Halaman 426 di dalam Mahrus Ali, Loc..Cit.

140

Indikasi terjadinya penyalahgunaan wewenang yang pada awalnya perbuatan administrasi, tetapi dapat dijerat sebagai korupsi dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, serta dapat

merugikan keuangan negara karena hal berikut:141

1. Tidak menggunakan kewenangan sebagaimana mestinya.

2. Kewenangan digunakan, tetapi melampaui batas yang diberikan

sesuai ketentuan.

3. Kewenangan digunakan, tetapi dilakukan secara

sewenang-wenang.

4. Tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan menurut

ketentuan, atau tidak dilakukan berdasarkan kewenangan yang diberikan.

Pertimbangan hakim menafsirkan bahwa kewenangan yang ada pada diri terdakwa tidak digunakan sesuai dengan tugas dan kewenangan yang telah ditetapkan didalam ketentuan peraturan perundang-undangan maupun di dalam peraturan lainnya. Salah satu kewenangan yang dimiliki terdakwa selaku manager produksi PT.PLN (Persero) KITSBU yaitu membuat syarat teknis pekerjaan pengadaan Flame Tube PLTGU GT 12 PT.PLN (Persero) KITSBU sektor Belawan. Kemudian terdakwa membuat syarat teknis tersebut berdasarkan buku petunjuk yang dikeluarkan oleh PT.Siemens tanpa melakukan survey terlebih dahulu. Kemudian majelis hakim berpendapat bahwa perbuatan terdakwa yang tidak melakukan survey tersebut merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan

141

tujuan dan filosofi dari pengadaan barang dan jasa sehingga majelis hakim berkeyakinan bahwa unsur menyalahgunakan wewenang yang ada padanya karna jabatan telah terbukti dan terpenuhi.

Majelis hakim dalam perkara ini tidak memepertimbangkan salah satu keterangan ahli yang diajukan ke dalam persidangan yaitu keterangan ahli Nur Basuki Minarno. Pada dasarnya keterangan ahli tersebut sangat berhubungan dengan pembuktian unsur penyalahgunaan wewenang, dimana di dalam keterangannya bahwa pengadaan barang dan jasa di BUMN ada dibuat SK Direksi sendiri, tidak tergantung pada Keppres No 80 Tahun 2003 tentang

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Majelis hakim seharusnya

memeprtimbangkan SK Direksi PT.PLN Nomor 100 dan Nomor 200 karena SK tersebutlah yang berlaku didalam pengadaan barang dan jasa, serta SK tersebut merupakan SOP atau pedoman tentang pengadaan barang. Kemudian di dalam SK tersebut tidak ada ketentuan dan tidak ada keharusan untuk survei barang atau survei kelapangan, maka jika tidak dilakukan survei tidak ada perbuatan melawan hukum.

Unsur menyalahgunakan kewenangan dalam kasus ini sudah terpenuhi berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan, perbuatan terdakwa yang tidak melakukan survei secara langsung mengakibatkan perbedaan spesifikasi dan tetap menyetujui serta menerima flame tube tersebut. Hal ini dapat dianggap sebagai penyaahgunaan wewenang. Namun, walaupun demikian sangat disayangkan bagi majelis hakim tidak mempertimbangkan mengenai SK direksi No 100 dan No 200

yang seharusnya menjadi dasar bagi terdakwa untuk melaksanakan kewenangannya dalam hal untuk membuat syarat teknis tersebut.

Pertimbangan hakim selanjutnya yang menarik untuk diperhatikan adalah unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Jenis-jenis keuangan negara diatur dalam pasal 2 uu No 17 Tahun 2003 tentang keuangan

negara, meliputi berikut ini :142

a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang,

dan melakukan pinjaman;

b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum

pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c. Penerimaan negara;

d. Pengeluaran negara;

e. Penerimaan daerah;

f. Pengeluaran daerah;

g. Kekayaan negara/ kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain

berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;

h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka

penyelenggaraan tugas pemerintahan dan / atau kepentingan umum;

i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan mengginakan fasilitas yang

diberikan pemerintah.

142 Ibid

Yang dimaksud dengan merugikan adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian yang dimaksudkan dengan unsur merugikan keuangan negara adalah sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara. Adapun yang

dimaksud dengan keuangan negara, didalam penjelasan umum undang – undang

No 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:

a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban

pejabat lembaga negara, baik tingkat pusat maupun di Daerah

b. Berada didalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban

Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Di dalam penjelasan umum UU no 31 tahun 1999 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang

undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan

kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.143

Unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara secara teoritis, kata dapat berarti kerugian negara dapat berarti secara nyata dan

real dan dapat pula tidak atau hanya berbentuk potensial lose. Potensi terjadinya

kerugian negara akibat tindakan orang perorangan, korporasi, pegawai negeri, atau pejabat sudah dapat dikategorikan sebagai merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara, karena kata “dapat” fakultatif sifatnya bukan imperatif.

Jika kerugian negara bisa dalam bentuk potensial lose, maka unsur

“dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara“ bertentangan atau tidak konsisten dengan unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi”. Sebab unsur ini mengisyaratkan bertambahnya keuntungan atau kekayaan harus benar-benar terjadi atau secara materiel kekayaan dari pejabat atau pegawai negeri, orang lain, atau suatu koporasi itu menjadi bertambah dengan adanya penyalahgunaan wewenang. Adanya penambahan kekayaan pada mereka disatu sisi, disisi lain keuangan negara atau perekonomian negara telah mengalami kerugian. Sehingga dengan sendirinya, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara secara materiel harus ada dan mutlak

harus dibuktikan tidak cukup dengan potensial lose semata. 144

Pembahasan mengenai kerugian keuangan negara tidak lepas dari pembahasan mengenai pejabat berwenang yang dapat menghitung jumlah kerugian keuangan negara, yaitu:

143

Wiyono, Op.Cit, Halaman 41 144

1. Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK)

Sesuai dengan pasal 2 ayat (2) UU No. 15/2004, dinyatakan bahwa “BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab kerugian negara”. Berdasarkan ketentuan ini maka lembaga yang berwenang untuk melaksanakan pemeriksaan adalah Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI. Dalam menjalankan kewenangannya, BPK melakukan pemeriksaan yang dilakukan BPK adalah melakukan perhitungan kerugian negara.

Pasal 13 UU No. 15/2004 menyatakan bahwa “Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan /atau unsur pidana”. Yang dimaksud pemeriksa pada pasal 13 tersebut, sesuai pasal 1 angka 3, adalah “orang yang melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tangung jawab keuangan negara untuk dan atas nama BPK”. Oleh karenanya, siapapun yang melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara harus untuk dan atas nama BPK RI.

2. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP)

Mulanya landasan hukum yang memberikan kewenangan BPKP untuk dapat melakukan pemeriksaan adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1983 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (“Keppres No. 31/1983”), dimana berdasarkan Pasal 3 huruf J, L, N, O dan khususnya Pasal 22 sampai dengan Pasal 24 dari Keppres No. 31/1983 memberikan kewenangan kepada BPKP untuk melakukan pemeriksaan atas BUMN. Perlu disampaikan bahwa Keppres No. 31/1983 pada saat ini sudah tidak

berlaku lagi, lebih tepatnya sejak tanggal 27 maret 2001 dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2001 tentang perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 166 tahun 2000 tentang kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi dan tata kerja lembaga pemerintah non departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan keputusan presiden nomor 16 tahun 2001 (“Keppres No. 42/2001”) tertanggal 27 maret 2001. Jadi, setelah dikeluarkannya keppres tersebut BPKP tidak lagi mempunyai kewenangan secara hukum atas kegiatan pemeriksaan, apalagi pemeriksaan atas BUMN.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 166 tahun 2000 tentang kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi dan tata kerja lembaga pemerintah non departemen (“Keppres No. 166/2000”), BPKP diklasifikasikan sebagai lembaga pemerintah non departemen (“LPND”). Dalam Keppres No. 166/2000 tersebut dinyatakan bahwa tugas, fungsi dan kewenangan BPKP adalah melakukan evaluasi dan menyiapkan kebijakan nasional sehubungan dengan keuangan dan pembangunan. Keppres No. 166/2000 tidak mencantumkan lagi pemeriksaan sebagai salah kewenangan BPKP. Selanjutnya pada setiap tahun dilakukannya perubahan lagi atas Keputusan Presiden Republik Indonesia yang menyangkut LPND tersebut, dimana pada tahun 2001 melalui Keppres No. 42/2001 tanggal 27 maret 2001, Keppres No. 31/1983 yang menjadi dasar kewenangan pemeriksaan BPKP dinyatakan tidak berlaku seperti yang dinyatakan pada pasal 112 Keppres No. 42/2001 tersebut.

Peraturan perundang-undangan yang terakhir yang menjadi dasar pelaksanaan tugas BPKP adalah Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (“PP SPIP”). Sesuai dengan Pasal 1 angka 2 PP SPIP tersebut, Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)

didefinisikan sebagai “Sistem Pengendalian Intern yang diselenggarakan secara

menyeluruh dilingkungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah”. Untuk memelihara sistem pengendalian yang baik maka diperlukan aparat pengawasan intern pemerintah seperti yang diatur pada Pasal 49 ayat (1) PP SPIP yang terdiri atas:

a. BPKP;

b. Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan

pengawasan intern;

c. Inspektorat provinsi; dan

d. Inspektorat Kabupaten/Kota.

Selanjutnya, ayat (2) dalam pasal yang sama menyatakan bahwa BPKP melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan tertentu yang meliputi:

a. Kegiatan yang bersifat lintas sektoral;

b. Kegiatan kebendaharaan umum negara berdasarkan penetapan oleh

Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara; dan

c. Kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden.

Berdasarkan PP SPIP, salah satu kewenangan BPKP adalah melakukan audit, baik audit kinerja maupun audit dengan tujuan tertentu, seperti yang

dinyatakan dalam Pasal 50 PP SPIP bahwa Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) terdiri atas:

a. Audit kinerja; dan

b. Audit dengan tujuan tertentu.

Namun demikian, PP SPIP ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 58 ayat (2) UU Perbendaharaan Negara yang lingkupnya adalah instansi pemerintah pusat dan daerah. Hal ini berarti pula bahwa lingkup PP SPIP juga berkenaan dengan instansi pemerintah pusat dan daerah. Untuk menegaskan, Pasal 1 angka 2 PP SPIP menatakan bahwa “ Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang selanjutnya disingkat SPIP, adalah Sistem Pengendalian Intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah”. Tidak ada satu pasal pun dalam PP SPIP ini yang memberikan kewenangan kepada BPKP untuk melakukan pemeriksaan atas BUMN.

Namun demikian, UU 15 tahun 2004, menyatakan bahwa institusi yang

berwenang untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan

pertanggungjawaban keuangan negara adalah Badan Pemeriksaan Keuangan Republik Indonesia (BPK RI). Oleh karenanya, bila laporan BPKP akan dijadikan dasar yang sah untuk menentukan adanya kerugian negara, maka laporan BPKP tersebut hanya menyatakan secara jelas dalam laporannya bahwa:

a. Menggunakan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) dan

Bila kedua hal tersebut tidak ada dalam laporan BPKP, maka laporan BPKP tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam penentuan adanya kerugian negara.

Berdasarkan hal diatas walaupun BPKP mempunyai kewenangan kembali untuk melakukan pemeriksaan namun dibatasi baik kegiatannya seperti pada pasal 49 ayat (2) PP SPIP diatas maupun jenis pemeriksaannya. Namun demikian, tidak ada satupun peraturan yang memberikan kewenangan kepada BPKP untuk dapat melakukan pemeriksaan atas BUMN.

Majelis hakim dalam perkara ini keliru mempertimbangkan perhitungan

kerugian keuangan negara berdasarkan total lose only karena sesuai dengan

fakta-fakta hukum yang ada Flame Yube yang dibeli telah dipergunakan selama 2 tahun barulah kemudian mengalami kerusakan. Selain itu, majelis hakim juga keliru telah mempertimbangkan perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus ini yang dilakukan oleh BPKP karena sebenarnya badan tersebut tidak berhak menghitung kerugian keuangan negara apalagi dalam BUMN. Badan yang sebenarnya berhak mengghitung kerugian keuangan negara ialah BPK RI sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) UU No 15 tahun 2004. Walaupun demikian unsur kerugian keuangan negara terpenuhi dalam perkara ini oleh karena alasan rusaknya Flame Tube terjadi akibat dari berbedanya Flame Tube yang disuplai dengan Flame Tube yang dibutuhkan.

Dalam dakwaan subsidair yang di dakwakan kepada terdakwa Penuntut umum juga mendakwakan Pasal 55 ayat (1) KUHP yang berbunyi :

“Dipidana sebagai pelaku tindak pidana orang yang melakukan,

yangmenyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan“.

dari rumusan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tersebutterdapat 3 (tiga) bentuk penyertaan, yaitu :

1. Orang yang melakukan ( pleger ) ;

2. Orang yang menyuruh melakukan ( doen pleger ) ;

3. Orang yang turut serta melakukan (medepleger ) ;

pengertian “orang yang melakukan” adalah jikaseseorang melakukan sendiri perbuatannya, dan “orang yang menyuruhmelakukan” adalah jika ada seseorang yang menyuruh orang lain untukmelakukan suatu perbuatan, sedangkan pada “orang yang turut serta melakukan”adalah jika ada dua atau lebih orang yang melakukan perbuatan dan adakesadaran dalam bekerja sama untuk melakukan perbuatan serta ada hubunganyang erat antara perbuatan yang satu dengan