• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V : Berisikan bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM KASUS DENGAN PUTUSAN PENGADILAN TINGGI MEDAN NOMOR

B. Analisis Putusan

II. Tentang Putusan

Putusan Pengadilan Negeri Medan No.94/Pid.sus.K/2013/PN.Mdn yang menjatuhkan putusan terhadap terdakwa sebagai berikut :

1. Menyatakan Terdakwa ir. fahmi rizal lubis, tidak terbukti secara sahdan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimanadidakwakan dalam Dakwaan Primair;

2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari Dakwaan Primair;

3. Menyatakan Terdakwa Ir. FAHMI RIZAL LUBIS, telah terbukti secara

sahdan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana”Korupsi “ secarabersama-sama;

4. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan

pidanapenjara selama : 9 (sembilan) tahun dan pidana denda sebesar Rp.700.000.000,- (tujuh ratus juta rupiah), dengan ketentuan jika dendatersebut tidak dibayar harus diganti dengan hukuman kurungan selama 6(enam)bulan;

5. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa

dikurangkanseluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

6. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan;

7. Memerintahkan barang bukti yang terlampir Nomor urut 1 sampai dengan

Nomor urut 70 diserahkan kepada Kejaksaan Negeri Medan untuk menjadi alat bukti dalam perkara ini;

8. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 5000 (Lima Ribu Rupiah)

hal yang perlu diperhatikan dalam putusan hakim pengadilan Negeri Medan No 94/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn adalah mengenai pidana penjara yang dijatuhkan kepada terdakwa selama 9 (sembilan) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 700.000.000,- (Tujuh Ratus Juta Rupiah).

Majelis hakim keliru dalam menjatuhkan lamanya pidana penjara yang diberikan kepada terdakwa dikarenakan tidak mempertimbangkan semua fakta-fakta hukum yang terdapat dalam peradilan, serta tindak pidana korupsi merupakan delik formil yaitu tindak pidana yang dilihat berdasarkan perbuatannya bukan akibatnya, perbuatan dari terdakwa merupakan perbuatan lalai karena tidak melakukan survei terlebih dahulu, dikatakan perbuatan lalai karena keharusan melakukan survei tidak diatur secara jelas dalam SK Direksi PT.PLN No.100 dan No.200.

Pidana pokok dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi antara lain berupa pidana mati, pidana denda, dan pidana penjara. Pidana mati terdapat di dalam pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 menyatakan bahwa“dalam haltindak pidana korupsi sebagaimana keadaan tertentu pidana mati dapatdijatuhkan”. Sedangkan pidana penjara dan pidana denda terdapat dalam pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 5 sampai pada Pasal 24. Lamanya pidana penjara mulai berkisar mulai 15 tahun sampai seumur hidup. Sedangkan banyaknya pidana denda paling banyak 1 miliar.

Ide dasar pemidanaan yang digunakan untuk menerapkan sanksi pidana terhadap para pelaku korupsi dalam UU Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi adalah Teori Retributif/teori absolut/teori pembalasan dan teori relatif/teori tujuan/teori utilitarian. Karena dalam proses pemberantasannya masih menganut prinsip pembalasan, yaitu dengan memberikan sanksi pidana penjara sebagai bentuk pembalasan akan kejahatan korupsi yang dilakukannya. Kemudian mengenai teori tujuan, karena dalam proses pemberantasannya juga memliki tujuan untuk memberikan efek jera agar tidak ada lagi yang melakukan kejahatan korupsi, misalnya dengan merampas aset atau memiskinkan pelaku kejahatan korupsi dan menjatuhkan sanksi pidana denda kepada pelaku korupsi. Jadi dalam penerapannya di Indonesia dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sanksi

pidana yang diterapkan bersifatDouble Track System atau pemidaan dua jalur,

yaitu sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda. Dengan kata lain sanksi

pidananya bersifat kumulatif atau penggabungan.145

Pidana penjara merupakan salah satu pemidanaan yang dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana korupsikarena sebagai dasar pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh seorang koruptor selain itu juga berfungsi untuk menciptakan efek jera agar tidak terulang lagi perbuatan yang sama. Namun penjatuhan pidana penjara ditentukanoleh hati nurani majelis hakim berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada dipersidangan.

Hal terakhir yang perlu diperhatikan dalam putusan majelis hakim pengadilan negeri medan adalah penentuan pidana denda terhadap terdakwa.

145

Analisis Ekonomi Atas Hukum Pidana Mengenai Sanksi Pidana Yang Efektif Dan Efisien Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi, https://www.academia.edu/6880063, Diakses pada tanggal 19 Juni 2015 Pukul 17.00 WIB

Carut marutnya pidana denda yang diatur dalam undang-undang tindak pidana korupsi telah menunjukkan kelemahan dari strategi pemberatasan korupsi sekaligus membuka celah lebar masyarakat untuk melakukan korupsi.

Salah satu hukuman yang tepat diberikan kepada pelaku tindak pidana korupsi adalah hukuman denda Hal ini didasarkan karena biaya untuk mengumpulkan denda dari seseorang yang bisa membayarnya adalah lebih rendah (lebih murah) daripada biaya untuk memenjarakannya. Sehingga akhirnya, membebankan denda terhadap pelaku akan memberikan keuntungan terhadap negara, serta tetap memberikan efek jera terhadap pelaku.

Majelis hakim dalam menentukan besarnya pidana denda terhadap terdakwa kurang tepat jika mengingat perbuatan terdakwa berakibat merugikan keuangan negara, pasal 3 Undang-undang tindak pidana korupsi manyatakan pidana denda paling sedikit adalah Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (Satu Miliyar Rupiah) . Korupsi yang dilakukan mengakibatkan kerugian keuangan negara yang sangat besar seharusnya majelis hakim menetapkan maksimal pidana denda yang tercantum pada pasal 3 kepada terdakwa agar tujuan pemidanaan itu terwujud dalam putusan ini

Dalam pemidanaan terdapat asas Ex Falso Quo Libet yang artinya jika

dalam pemeriksaan digunakan konsep yang keliru dan sesat dalam mengambil kesimpulan yang dikhawatirkan dalam pengambilan putusan tersebut akan keliru

dan sesat. Perlu disampaikan bahwa putusan incracht dalam kasus ini adalah

yaitu putusannya Pengadilan Tinggi No 19/Pid.sus.K/2014/PT-MDN. Majelis Hakim pada tingkat banding ini dalam putusannya mengadili terdakwa sebagai berikut :

1. Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa;

2. Menguatkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada

pengadilanNegeri Medan tanggal 10 Maret 2013, No.

94/Pid.Sus.K/2013/PN-Mdn,yang dimintakan banding;

3. Memerintahkan agar Terdakwa tetap dalam tahanan;

4. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa dalam keduatingkat

peradilan, sedang ditingkat Banding ditetapkan sebesarRp. 5.000,- (lima ribu rupiah);

Seharusnya majelis hakim tingkat Judec Factie tidak menerima sepenuhnya

putusan Pengadilan Negeri Medan, melainkan harus mempertimbangkan fakta -fakta hukum yang ada. Dalam hal ini majelis hakim pengadilan tinggi harus mempertimbangkan lagi mengenai unsur kerugian negara, terutama mengenai penghitungan kerugian negara tersebut.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

1. Pemerintah Indonesia telah membentuk beberapa peraturan yang mengatur

mengenai Pengadaan Barang dan Jasa dalam Badan Pemerintahan yang dirumuskan dalam berbagai regulasi peraturan perundang-undangan, termasuk dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 yang kemudian di ganti dengan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang mengatur tata cara pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah serta Pihak-pihak dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.

2. Pengaturan mengenai tindak pidana korupsi dimuat dalam Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi, pemerintah indonesia menerapkan undang-undang ini adalah upaya untuk mendorong institusi yang berwenang dalam pemberantasan korupsi, agar dapat menjangkau berbagai modus operasi tindak pidana korupsi dan meminimalisir celah-celah hukum, yang dapat dijadikan alasan untuk dapat melepaskan pelaku dari jeratan hukum. Undang-undang ini mengatur mengenai perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam golongan korupsi serta sanksi-sanksinya.

3. Kasus korupsi PT.PLN (Persero) KITSBU sektor Belawan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 94/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn dan Putusan Upaya Banding yaitu Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT-MDN merupakan tindak pidana yang disebabkan karena terjadinya perbedaan spesifikasi Flame Tube yang dibutuhkan oleh PT.PLN (Persero) KITSBU sektor Belawan dengan Flame Tube yang disuplai oleh Yuni selaku Direktur CV. Sri Makmur yaitu Pihak Penyedia Barang dan Jasa. Dalam kasus ini, hakim menjatuhkan putusan kepada terdakwa pidana penjara selama 9 (sembilan) Tahun dan Pidana Denda sebesar Rp.700.000.000,- (Tujuh Ratus Juta Rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dapat dibayarkan maka diganti dengan pidana Penjara selama 6 (Enam) Bulan Majelis hakim dalam pertimbangannya tidak mempertimbangkan seluruh keterangan saksi yang diajukan, terutama yang

berkaitan dengan kewenangan Terdakwa yang seharusnya

mempertimbangkan SK Direksi PT.PLN Nomor 100 dan Nomor 200 dan yang didalamnya tidak menyatakan keharusan dari manajer bidang produksi dalam kasus ini adalah terdakwa untuk melakukan survei. Kemudian terdapat kekeliruan Majelis Hakim dalam menentukan jumlah kerugian negara serta kewenangan BPKP dalam melakukan audit investigative terhadap BUMN. Sehingga dirasa putusan yang di berikan oleh majelis hakim keliru terhadap terdakwa.

1. Perlunya Optimalisasi pengaturan mengenai pengadaan barang dan jasa dalam sektor pemerintahan, dimana pengaturan tersebut tidak hanya dalam bentuk suatu Keputusan Presiden maupun Peraturan Presiden namun dalam bentuk suatu Undang-Undang yang mengatur secara jelas tata cara pengadaan barang dan jasa pemerintah, proses pengadaan barang dan jasa pemerintah serta pihak-pihak dalam pengadaan barang dan jasa dalam sektor pemerintahan.

2. Perlunya perbaikan terhadap pengaturan tentang tindak pidana korupsi dalam

undang-undang No 31 Tahun 1999 jo undang-undang No. 20 Tahun 2001

agar tidak dapat memberikan celah – celah hukum bagi para pelaku tindak

pidana korupsi untuk dapat lolos ataupun meringankan hukumannya, terutama tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintah atau Pejabat BUMN .

3. Perlunya pemahaman oleh masyarakat dan khususnya para aparat penegak

hukum tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah serta tindak pidana korupsi dan penghitungan kerugian keuangan negara, agar kedepannya tidak lagi terjadi kekeliruan mengenai perhitungan kerugian keuangan negara, serta tidak terjadi ketidakadilan dan ketidakpastian dalam pemidanaan terhadap