BAB V : Berisikan bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran
DALAM UNDANG-UNDANG 31 TAHUN 1999 JO UNDANG-UNDANG 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
A. Pengaturan Tindak Pidana Korupsi dan Perkembangannya
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi Terkait dengan Kerugian Keuangan Negara
Pengertian atau definisi kerugian negara ditegaskan dalam pasal 1 butir 22 undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang pembendaharaan negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. Dalam hukum pidana, pengertian tersebut termasuk delik materiil karena memberi syarat adanya kerugian negara yang benar-benar nyatanya dan pasti jumlahnya yaitu adanya kata “sebagai akibat perbuatan melawan hukum”.100
Kerugian negara yang dianut dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberatasan tindak pidana korupsi menganut delik formil, yaitu tindak pidana korupsi dianggap sudah terjadi apabila unsur-unsur perbuatan yang dilarang sudah
terpenuhi, tanpa memperhitungkan timbulnya suatu akibat.101 Unsur-unsur tindak
pidana korupsi tidak akan terlepas dari unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai berikut:
Pasal 2: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau
100
Marwan Mas, Op.Cit, Halaman 48 101
perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.”
Pasal 3: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit lima puluh juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.”
Firman Wijaya menguraikan unsur-unsur delik korupsi yang terdapt
dalam Pasal 2 UU PTPK tersebut sebagai berikut:102
1. Setiap orang;
2. Secara melawan hukum;
3. Perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi;
4. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara.
Sementara itu, dalam Pasal 3 UU PTPK tersebut unsur-unsur deliknya adalah sebagai berikut:
102
1. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
2. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan;
3. Dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.
Penjelasan lebih lanjut unsur-unsur tersebut antara lain sebagai berikut: 1) Penjelasan Pasal 2 UU PTPK
Penjelasan pasal 2 UU PTPK, tidak hanya dijelaskan dalam undang-undang. Banyak para ahli yang menjelaskan unsur-unsur dalam pasal 2 UU PTPK, yaitu :103
1) Setiap orang
Pengetian setiap orang selaku subjek hukum pidana dalam tindak pidana
korupsi ini adalah merupakan orang perseorangan atau termasuk korporasi.104
Berdasarkan pengertian tersebut, maka tindak pidana korupsi dapat disimpulkan menjadi orang perseorangan selaku manusia pribadi dan korporasi. Korporasi yang dimaksudkan disini adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.105
2) Secara melawan hukum
Pengertian secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun
103
Mahrus ali, opcit, halaman 95-100 104
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 Butir 3
105
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 Butir 1
apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana.106
a) Sifat melawan hukum formil
Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum secara formil adalah apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (hukum tertulis). Maka, suatu perbuatan bersifat melawan hukum adalah apabila telah terpenuhi unsur-unsur yang telah disebutkan dalam rumusan delik. Dengan demikian, jika semua unsur-unsur tersebut telah terpenuhi, maka tidak perlu lagi diselidiki apakah perbuatan tersebut dirsakan sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.
D. Schaffmeister mengemukakan bahwa ssifat melawan hukum dalam arti formil bermakna bahwa suatu perbuatan telah memenuhi semua rumusan delik dari undang-undang. Dengan kata lain terdapatnya melawan hukum secara formil apabila semua bagian yang tertulis dari rumusan suatu tindak pidana telah
terpenuhi.107
b) Sifat melawan hukum materil
Pengertian melawan hukum secaara materil adalah bahwa suatu perbuatan disebut sebagai perbuatan melawan hukum tidaklah hanya sekedar bertentangan dengan ketentuan hukum tertulis saja. Di samping memenuhi syarat formil, perbuatan tersebut haruslah benar-benar dirsakan masyarakat sebagai
106
Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (1).
107
D. Schaffmeister et.al. Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberti, Cetakan ke-3, 2004, halaman 39
perbuatan yang tidak patut dilakukan. Dengan demikian, suatu perbuatan dikatakan sebagai melawan hukum apabila perbuatan tersebut telah dipandang tercela oleh masyarakat.
Sifat melawan hukum materil berarti suatu tindak pidana itu telah melanggar atau membahayakan kepentingan umum yang hendak dilindungi oleh
pembentuk undang-undang dalam rumusan tindak pidana tertentu.108 Bersifat
melawan hukum materil bahwa tidak hanya bertentangan dengan hukum yang
tertulis, tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis.109
Loebby Logman menggariskan arti negatif dari perbuatan melawan
hukum secara materil, dengan menyatakan,110 melawan hukum secara materil
haruslah dipergunakan secara negatif, ini berarti bahwa apabila terdapat suatu perbuatan nyata-nyata merupakan hal yang melawan hukum secara formil, sedangkan di dalam masyarakat perbuatan tersebut tidak tercela, jadi secara materil tidak melawan hukum, perbuatan tersebut seyogyanya tidak dijatuhi pidana.
Ajaran melawan hukum secara materil hanya mempunyai arti dalam mengecualikan perbuatan-perbuatan yang meskipun termasuk dalam rumusan undang-undang dan karenanya dianggap sebagai tindak pidana. Artinya, suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dapat dikecualikan oleh aturan hukum tidak tertulis sehingga tidak menjadi tindak pidana. Dengan kata lain, hal ini disebut sebagai fungsi negatif dari ajaran melawan hukum materil.
108
D. Schaffmeister et.al., Opcit, halaman 41 109
Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1987, halaman 7
110
Juniver Girsang, Abuse Of Power Penyalahgunaan Kekuasaan Aparat Penegak Hukum Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi, JG Publishing, 2012, Halaman 14
Sedangkan fungsi positif ajaran melawan hukum formil berfungsi positif, yaitu walaupun perbuatan tersebut didalam undang-undang tidak ada diatur tetapi jika masyarakat memandang sebagai suatu perbuatan tercela maka perbuatan tersebut dapat menjadi tinda pidana. Fungsi ajaran positif ini tidak memungkinkan untuk dilakukan mengingat Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang mengandung asas legalitas didalamnya.
Mahkamah Konstitusi RI dalam Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006 sehubungan dengan sifat melawan hukum materil ini menyatakan bahwa pengertian melawan hukum materil sebagaimana yang dirumuskan dalam
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sepanjang frasa yang berbunyi: “yang
dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dala arti formil maupun dalam arti materiil, yakni
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan,
namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan
rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” adalah bertentangan denga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan oleh karenanya tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.111
3. Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
111
Majelis Hakim MK dalam salah satu pertimbangannya menyatakan alasannya bahwa konsep melawan hukum materiil (materiels wederechtlijk), yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai suatu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat. Oleh karenanya penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK kalimat pertama tersebut, merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Secara harfiah, “memperkaya” artinya menjadikan bertambah kaya. Sedangkan “kaya” artinya “mempunyai banyak harta (uang dan sebagainya),”
demikian juga dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia buah tangan
Poerwadarminta. Dapat disimpulkan bahwa memperkaya berarti menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya, atau orang yang sudah kaya menjadi
bertambah kaya.112
Berdasarkan UU TIPIKOR terdahulu, yaitu dalam penjelasan UU PTPK 1971, yang dimaksud dengan unsur memperkaya dalam Pasal 1 ayat (1) sub (a) adalah “memperkaya diri sendiri” atau “orang lain” atau “suatu badan” dalam ayat ini dapat dihubungkan dengan Pasal 18 ayat (2) yang memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaan sedemikian rupa sehingga kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa telah melakukan tindak pidana korupsi. (Pasal 37 ayat (4) UU PTPK Tahun 1999)
Penjelasan undang-undang tersebut terutama kata-kata “….kekayaan
yang tidak seimbang dengan pernghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa telah melakukan
tindak pidana korupsi…” dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:113
a) Ketidak mampuan untuk membuktikan keseimbangan antara kekayaan dan
pengahasilannya tidak otomatis membuktikan terdakwa telah melakukan perbuatan korupsi, yaitu memperkaya diri sendiri, tetapi itu hanya
112
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, halaman 177
113
memperkuat keterangan saksi lain. Jadi penuntut umum harus mencari bukti lain, misalnya keterangan terdakwa yang mengatakan bahwa kekayaannya yang ada yang tidak seimbang dengan penghasilannya itu diperoleh sebagai warisan dari orang tua. Hal ini mendorong penuntut umum untuk menyelidiki keterangan tersebut. Apabila diperoleh keterangan melalui saksi-saksi atau alat bukti lain yang menyatakan keterangan tertuduh tidak benar, itu merupakan ketidakmampuan terdakwa untuk membuktikan sumber kekayaannya. Ini tidak memadai untuk memidana terdakwa. Keterangan tersebut hanya memperkuat keterangan saksi lain, misalnya ada keterangan yang menyatakan bahwa terdakwa pernah menerima komisi atas pesanan barang yang diperuntukkan bagi negara.
b) Menjadi keharusan penuntut umum untuk mengetahui kemudian
membuktikan berapa besar penghasilan terdakwa yang sesungguhnya dan berapa besar pertambahan kekayaannya secara konkret.
c) Uraian diatas hanya berlaku jika penuntut umum tidak hanya dapat
membuktikan suatu jumlah uang dan harta benda secara pasti yang langsung diperoleh dari perbuatan melawan hukum. Kiranya cukup jika penuntu umum dapat membuktikan sejumlah uang dan harta benda tertentu yang diperoleh secara langsung dari perbuatan melawan hukum sebagai suatu hal yang memperkaya terdakwa.
4. Unsur dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian Negara
Kata “dapat” sebelum kalimat “merugikan keuangan atau perekonomian negara” yang terdapat dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun
1999 yang sebagaimana diperbaharui UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil. Dengan demikian adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Adami Chazawi dalam Mahrus Ali mengatakan,114 bahwa kerugian
keuangan bagi negara atau perekonomian negara bukanlah menjadi syarat untuk terjadinya tindak pidana korupsi pasal 2 ayat (1) secara sempurna, melainkan akibat kerugian negara dapat timbul dari perbuatan memperkaya diri dengan
melawan hukum tersebut.115
Pengertian keuangan negara sebagaimana dalam rumusan delik Tindak Pidana Korupsi di atas, adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian
kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:116
a) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban pejabat
Lembaga Negara, baik ditingkat pusat, maupun tingkat daerah;
b) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban
BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
114 Ibid. Halaman 107 115 Ibid. 116
Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi