PENGADAAN BARANG YANG MENYEBABKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG TINDAK
PIDANA KORUPSI
( Studi Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
KIKI AYU LESTARI TAMBUNAN
NIM : 110200012
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGADAAN BARANG YANG MENYEBABKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI
( Studi Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
KIKI AYU LESTARI TAMBUNAN 110200012
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh
Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. H. M. Hamdan, SH. M.H NIP. 195703261986011001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Suwarto, S.H., M.H Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum NIP. 195605051989031001 NIP. 197302202002121001
FAKULTAS HUKUM
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat dan hidayahnya Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini serta teriring
Shalawat dan Salam Penulis haturkan kepada Rasulullah SAW yang telah
membawa umat manusia keluar dari zaman kebodohan ke zaman yang penuh
dengan ilmu dan islam. Penulisan skripsi ini berjudul “PENGADAAN BARANG
YANG MENYEBABKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DITINJAU
DARI UNDANG-UNANG TINDAK PIDANA KORUPSI ( Studi Putusan
Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN)”. Skripsi ini
disusun untuk memenuhi tugas dan memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana
Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada kedua orangtua, Alm. Marihot Tambunan SE dan Sukmiati dan abangda
Fredi Dermawan Tambunan SE yang telah memberikan dukungan dan
pengorbanan yang tak ternilai sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Dalam proses penyusunan skripsi ini saya juga mendapat banyak
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sebagai penghargaan
dan ucapan terima kasih terhadap semua dukungan dan bantuan yang telah
1. Bapak Prof. Dr. Runtung S.H,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H.,M.Hum. selaku Wakil Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
3. Bapak Syafruddin Hasibuan S.H.,M.H., DFM selaku Wakil Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
4. Bapak OK Saidin S.H.,M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
5. Bapak Dr. M Hamdan S.H.,M.H selaku Ketua Departemen Hukum Pidana.
Terimakasih telah membantu dan mendukung penulis dalam kegiatan Ikatan
Mahasiswa Departemen Hukum Pidana (IMADANA) sehingga
menghidupkan kembali kegiatan kemahasiswaan di departemen hukum
pidana.
6. Ibu Liza Erwina S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana.
Terimakasih telah membantu dan mendukung penulis dalam kegiatan Ikatan
Mahasiswa Departemen Hukum Pidana (IMADANA) sehingga
menghidupkan kembali kegiatan kemahasiswaan di departemen hukum
pidana.
7. Bapak Prof. Dr. Suwarto S.H.,MH. selaku dosen pembimbing I. Terimakasih
atas bimbingan, saran, nasihat, dan ilmu yang Bapak berikan selama ini
dengan penuh kesabaran hingga skripsi ini selesai;
8. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi S.H.,MH. selaku dosen pembimbing II.
berikan selama ini dengan penuh kesabaran hingga saya menyelesaikan
skripsi ini;
9. Bapak Abdul Rahman S.H.,M.Hum selaku dosen Pembimbing Akademik;
10. Seluruh dosen dan pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
Penulis sadar bahwa hasil penulisan skripsi ini tidaklah sempurna. Penulis
berharap pada semua pihak agar dapat memberikan kritik dan saran yang
membangun untuk kedepannya. Akhirnya, semoga Allah SWT membalas segala
kebaikan dan jasa semua pihak yang telah membantu penulis secara tulus dan
ikhlas. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.
Medan, Mei 2015
Kiki Ayu Lestari Tambunan
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
ABSTRAK ... vii
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ... 1
2. Perumusan Masalah ... 6
3. Tujuan...6
4. Manfaat ... 7
5. Keaslian Penulisan ... 8
6. Tinjauan Kepustakaan ... 8
7. Metode Penelitian ... 14
8. Sistematika Penulisan ... 18
BAB II PENGATURAN PENGADAAN BARANG/JASA DALAM PERATURAN PRESIDEN NOMOR 70 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 54 TAHUN 2010 TENTANG PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH A. Pengertian Pengadaan Barang/Jasa...21
B. Prinsip-Prinsip Dasar Pengadaan Barang/Jasa ... 22
BAB III PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM
UNDANG-UNDANG 31 TAHUN 1999 JO UNDANG-UNDANG-UNDANG-UNDANG 20 TAHUN
2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Pengaturan Tindak Pidana Korupsi dan Perkembangannya...41
B. Kerugian Keuangan Negara...61
BAB IV TINJAUAN YURIDIS HUKUM PIDANA TERHADAP PENGADAAN BARANG YANG MENYEBABKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM KASUS DENGAN PUTUSAN PENGADILAN TINGGI MEDAN NOMOR 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN) A... Posisi Kasus 90
1.Kronologis Kasus ... 90
2.Dakwaan ... 96
3.Tuntutan ... 97
4.Pertimbangan Hakim ... 121
5. Putusan... ... 103
A. Analisis Putusan ... 109
1. Tentang Pertimbangan Hukum ... 112
2. Tentang Putusan ... 129
BAB V PENUTUP ... 134
A. Kesimpulan ... 134
B. Saran... 135
ABSTRAK
Kiki Ayu Lestari Tambunan* Prof. Dr. Suwarto, SH.,M.H** Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.H***
Korupsi merupakan suatu kejahatan yang sangat serius yang dapat menganggu hak ekonomi dan hak sosial masyarakat dan negara dalam skala besar. Keuangan negara pada BUMN, Perjam, Perum, Perkebunan Nusantara, dan sebagainya. berdasarkan hal tersebut maka rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini yaitu Bagaimanakah ketentuan pengaturan barang dan jasa menurut peraturan presiden nomor 70 tahun 2012,Bagaimanakah pengaturan tindak pidana korupsi menurut undang-undang nomor 31 tahun 1999 Jo undang-undang nomor 20 tahun 2001,Bagaimanakah analisis yuridis hukum pidana terhadap pengadaan barang/jasa yang merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi dalam kasus dengan putusan Pengadilan Tinggi Medan dengan Register Nomor : 19/Pid.Sus.K/PT.MDN.
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan berbagai literatur yang berkaitan dengan masalah skripsi ini. Bersifat normatif maksudnya adalah penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya dan penerapannya dalam praktek (studi putusan)
Kajian dalam skripsi ini dituangkan dengan membahas berbagai peraturan yang memiliki kaitan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang memunculkan unsur-unsur tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi yang terjadi diakibatkan kesalahan dalam proses pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah sehingga menyebakan kerugian keuangan negara. Selanjutnya ketentuan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam hal pengadaan barang Flame Tube PT.PLN (Persero) KITSBU sektor Belawan Dimana ancaman pidana penjara adalah minimal 1(satu) tahun maksimal 20(dua puluh) tahun dan pidana denda minimal Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan maksimal Rp.1.000.000.000,- (satu miliyar rupiah). Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi PT.PLN (Persero) KITSBU berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2013/PT-MDN adalah pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun dengan denda sebesar Rp.700.000.000,- (tujuh ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengn pidana kurungan selama 6 (enam) bulan dimana dalam putusan ini yang bertanggung jawab adalah Manager Bidang Produksi PT.PLN (Persero) KITSBU sektor Belawan.
* Mahasiswa Fakultas Hukum USU
** Dosen Pembimbing I Staf Pengajar Fakultas Hukum USU
ABSTRAK
Kiki Ayu Lestari Tambunan* Prof. Dr. Suwarto, SH.,M.H** Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.H***
Korupsi merupakan suatu kejahatan yang sangat serius yang dapat menganggu hak ekonomi dan hak sosial masyarakat dan negara dalam skala besar. Keuangan negara pada BUMN, Perjam, Perum, Perkebunan Nusantara, dan sebagainya. berdasarkan hal tersebut maka rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini yaitu Bagaimanakah ketentuan pengaturan barang dan jasa menurut peraturan presiden nomor 70 tahun 2012,Bagaimanakah pengaturan tindak pidana korupsi menurut undang-undang nomor 31 tahun 1999 Jo undang-undang nomor 20 tahun 2001,Bagaimanakah analisis yuridis hukum pidana terhadap pengadaan barang/jasa yang merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi dalam kasus dengan putusan Pengadilan Tinggi Medan dengan Register Nomor : 19/Pid.Sus.K/PT.MDN.
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan berbagai literatur yang berkaitan dengan masalah skripsi ini. Bersifat normatif maksudnya adalah penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya dan penerapannya dalam praktek (studi putusan)
Kajian dalam skripsi ini dituangkan dengan membahas berbagai peraturan yang memiliki kaitan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang memunculkan unsur-unsur tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi yang terjadi diakibatkan kesalahan dalam proses pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah sehingga menyebakan kerugian keuangan negara. Selanjutnya ketentuan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam hal pengadaan barang Flame Tube PT.PLN (Persero) KITSBU sektor Belawan Dimana ancaman pidana penjara adalah minimal 1(satu) tahun maksimal 20(dua puluh) tahun dan pidana denda minimal Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan maksimal Rp.1.000.000.000,- (satu miliyar rupiah). Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi PT.PLN (Persero) KITSBU berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2013/PT-MDN adalah pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun dengan denda sebesar Rp.700.000.000,- (tujuh ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengn pidana kurungan selama 6 (enam) bulan dimana dalam putusan ini yang bertanggung jawab adalah Manager Bidang Produksi PT.PLN (Persero) KITSBU sektor Belawan.
* Mahasiswa Fakultas Hukum USU
** Dosen Pembimbing I Staf Pengajar Fakultas Hukum USU
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak pidana korupsi telah dianggap sebagai suatu perkara “seriousness
crime”, kejahatan serius yang sangat mengganggu hak ekonomi dan hak sosial
masyarakat dan negara dalam skala yang besar, sehingga penanganannya harus
dilakukan dengan cara “extra ordinary treatment” serta pembuktiannya
membutuhkan langkah-langkah yang serius, professional dan independen.1
Korupsi dalam praktik pelaksanaannya sangat erat kaitannya dengan
keuangan negara. Keuangan negara dalam arti luas meliputi APBN, APBD,
keuangan negara pada Perjam, Perum, Perkebunan Nusantara, dan sebagainya.2
Korupsi adalah bagian dari aktivitas-aktivitas buruk yang menjauhkan negara ini
dari pemerintah yang bersih, jujur dan jauh dari rasa keadilan. Dengan kata lain,
korupsi telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
Korupsi juga selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan
dengan tindak pidana lainnya di berbagai belahan dunia. Fenomena ini dapat
dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkannya dapat menyentuh
berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini
dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan
pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai
demokratis dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah
1
Hernold Ferry Makawimbang, Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Suatu Pendekatan Hukum Progresif, Thafa Media, Yogyakarta, 2014, Halaman 1
2
budaya tersendiri. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju
masyarakat adil dan makmur.3
Tindak pidana korupsi yang terus merasuk kedalam sendi-sendi
kehidupan masyarakat ini juga mengakibatkan terjadinya kerugian keruangan
negara. Tentang permasalahan kewenangan perhitungan kerugian keuangan
negara dalam tindak pidana korupsi terjadi ketidakpastian hukum
(rechszekerheid), Junifer Girsang dalam bukunya “Abuse of Power”, menyatakan
terjadi ketidakpastian hukum dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi
akibat ketidakjelasnya definisi kerugian keuangan negara, ini berimplikasi pula
pada lembaga mana yang berhak dan berwenang menyatakan telah terjadi
kerugian keuangan negara.4
Guna meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan keuangan
negara yang dibelanjakan melaluiproses pengadaan Barang Pemerintah,
diperlukan upaya untuk menciptakan keterbukaan, transparansi, akuntabilitas serta
prinsip persiangan/kompetisi yang sehat dalam proses pengadaan barang/Jasa
pemerintah yang dibiayai APBN/APBD, sehingga diperoleh Barang/Jasa yang
terjangkau dan berkualitas serta dapat dipertanggung-jawabkan baik dari segi
fisik,keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan
pelayanan masyarakat.5
Ketentuan Pengadaan Barang Pemerintahan dalam Peraturan Presiden itu
diarahkan untuk meningkatkan ownership Pemerintah Daerah terhadap
3
Evi Hartini, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Halaman 1 4
Hernold Ferry Makawimbang, Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Suatu Pendekatan Hukum Progresif, Thafa Media, Yogyakarta, 2014, Halaman 3
5
proyek/kegiatan yang pelaksaaannya dilakukan melalui skema pembiayaan
bersama (co-financing) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.6
Skripsi ini akan membahas dan menganalisa secara yuridis terkait dengan
pengadaan barang yang merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi
dengan studi kasus Putusan Pengadilan Tinggi Medan No: 19/Pid.Sus.K/2014/PT-
MDN dengan terdakwa mantan manager bidang produksi PT. PLN (Persero)
KITSBU yaitu Ir. Fahmi Rizal Lubis. Terdakwa divonis 9 Tahun penjara dan
pidana denda sebesar Rp. 700.000.000,- (tujuh ratus rupiah), dengan ketentuan
jika denda tersebut tidak dibayar harus diganti dengan hukuman kurungan selama
6 (Enam) bulan oleh hakim Pengadilan Tinggi Medan dengan Putusan Nomor:
19/Pid.Sus.K/2014/PT-MDN, tanggal 7 Maret 2014. Kesemuanya akan
dirangkum dalam penulisan skripsi ini.
Kasus tindak pidana korupsi pada PT. PLN (Persero) KITSBU yang
didakwakan kepada terdakwa lahir sebagai konsekuensi atas tindakan terdakwa
yang dianggap telah mengakibatkan kerugian keuangan negara. Terdakwa sebagai
manager bidang produksi PT.PLN (persero) KITSBU yang didisposisikan oleh
General Manager Ir Albert Pangaribuan sesuai dengan tugas, fungsi dan
wewenangnya untuk membuat syarat teknis atas pengadaan Flame Tube PLTGU
DG 10530 yang semula merupakan usulan dari saksi Ir. Ermawan Arif Budiman
selaku kepala sektor Pembangkitan Belawan perihal pengadaan material
kebutuhan GT 12 umtuk LTE 12. Selanjutnya terdakwa langsung membuat syarat
teknis tersebut berdasarkan buku petunjuk yang dikeluarkan oleh PT Siemens
6
Indonesia tanpa melakukan survey terlebih dahulu ke PT Siemens Indonesia
mengenai apakah barang tersebut masih diproduksi oleh PT Siemens Indonesia.
Setelah syarat tersebut dibuat oleh terdakwa pada tanggal 11 Desember
2006 yang diteruskan kepada saksi Edward Silitonga sebagai Manager
Perencanaan untuk menganalisa dan mengevaluasi tentang syarat teknis yang
dibuat terdakwa tersebut, tanpa melakukan survey dan mengkaji lebih detail
usulan tersebut dinyatakan telah memenuhi syarat sesuai dengan Rencana Kerja
Anggaran Perusahaan dan atas syarat teknis tersebut maka Edward Silitonga
membuat Rencana Anggaran Biaya dengan besaran Rp. 24.323.251.000 (dua
puluh empat miliyar tiga ratus dua puluh tiga juta dua ratus lima puluh satu ribu
rupiah) termasuk PPN 10% (sepuluh persen). Selanjutnya dibuat surat kuasa kerja
Nomor INV/07/BIKEU/PROD/PLTGU/001 tanggal 13 maret 2007 Pengadaan
Flame Tube PLTGU GT-12 dengan nilai Rp. 24.323.251.000 (dua puluh miliyar
tiga ratus dua puluh tiga juta dua ratus lima puluh satu ribu rupiah) tersebut
ditandatangani oleh masing-masing manager terkait yaitu terdakwa selaku
menager bidang produksi, manager bidang perencanaan Edward Silitonga, dan
diketahui oleh manager Bidang Keuangan Irwandi dan disetujui oleh Ir.Albert
Pangaribuan selaku General Manager.
Pada saat Flame Tube diterima di gudang PT.PLN (persero) KITSBU
sektor pembangkitan belawan ditemukan adanya perbedaan spesifikasi Flame
Tube yang disupply oleh yuni selaku direktur CV Sri Makmur yang merupakan
CV pemenang pelelangan Pengadaan Flame Tube tersebut yang diakibatkan oleh
menetapkan dan mengesahkan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang disusun oleh
Panitia Pengadaan Barang dimana dalam membuat HPS tidak melakukan analisis
yang mendalam terhadap lingkup pengadaan barang dengan cara tidak melakukan
survey terlebih dahulu kepada pabrikan PT Siemens Indonesia bahwa Flame tube
tersebut tidak lagi diproduksi sejak 5 (lima) tahun yang lalu. Akibat perbuatan
para terdakwa tersebut menyebabkan kerugian negara sebesar Rp.
23.942.490.000,- ( dua puluh tiga miliyar sembilan ratus empat puluh dua juta
empat ratus sembilan puluh ribu rupiah).
Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya menuntut terdakwa Ir. Fahmi
Rizal Lubis berupa pidan penjara selama 9 (sembilan) tahun dikurangi selama
terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah agar terdakwa tetap
ditahan, dan ditambah dengan denda sebesar Rp. 700.000.000,- (tujuh ratus juta
rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan.
Kasus-kasus yang seperti ini perlu untuk disoroti karena menyebabkan
keresahan dalam masyarakat dan merugikan keuangan negara. Korupsi membuat
negara tidak maksimal dalam menyediakan barang-barang publik untuk
kepentingan umum. Korupsi juga memperburuk citra pemerintah dimata
masyarakat karena ketidakpercayaan dan ketidakpatuhan terhadap hukum.
Apabila tidak ada perubahan yang signifikan maka kondisi tersebut akan
membahayakan kehidupan bangsa.7
Melihat bahwa tindak pidana korupsi ini dilakukan oleh PT. PLN
(persero) KITSBU yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
7
dibidang pengadaan barang yang mengakibatkan kerugian negara dan berdampak
pada pereknomian nasional. Disamping itu juga menarik untuk ditelaah regulasi
peraturan mengenai pengadaan barang/jasa yang terkait dengan tindak pidana ini
ataupun yang berakitan dengan tindak pidan korupsi itu sendiri.
B. Perumusan Masalah
Perumusan yang dirumuskan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah ketentuan pengaturan barang dan jasa menurut Peraturan
Presiden Nomor 70 tahun 2012 ?
2. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana korupsi menurut undang-undang
nomor 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ?
3. Bagaimanakah analisis yuridis hukum pidana terhadap pengadaan
barang/jasa yang merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi
dalam kasus dengan putusan Pengadilan Tinggi Medan dengan Register
Nomor : 19/Pid.Sus.K/PT.MDN ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan
sebelumnya, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Menganalisa dan mengkaji pengaturan-pengaturan mengenai pengadaan
barang/jasa menurut Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang
2. Menganalisa dan mengkaji pengaturan-pengaturan mengenai tindak pidana
korupsi terkait dengan Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
3. Menganalisa dan mengkaji penegakan hukum pidana dalam
mengaplikasikan peraturan peundang-undangan yang mengatur tentang
pengadaan barang yang menyebabkan kerugian keuangan negara dengan
melihat dan menganalisa pertimbangan-pertimbangan hakim dalam perkara
dengan Putusan Pengadilan Tinggi Medan dengan Register Nomor :
19/Pid.Sus.K/PT.MDN)
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara
teoritis kepada disiplin ilmu hukum sehingga dapat berguna bagi pengembangan
ilmu hukum pidana di Indonesia khususnya terhadap pengaturan-pengaturan
tindak pidana korupsi di bidang perbankan sehingga kemungkinan terjadinya
kerancuan-kerancuan dan tumpang-tindih hukum dapat diminimalisasi.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk kepentingan
penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan masukan kepada aparatur pelaksana
penegakan hukum dalam rangka melaksanakan tugas-tugas mulianya
E. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi mengenai Tinjauan Yuridis Pengadaan Barang yang
Menyebabkan Kerugian Keuangan Negara terkait dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan
Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN) berdasarkan
pemeriksaan arsip hasil-hasil penulisan skripsi di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara (USU) belum pernah dilakukan, sedangkan penulisan yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi ada ditemukan penulis tetapi hanya secara
khusus membahas masalah pengembalian kerugian keuangan negara akibat dari
tindak pidana korupsi yang terdakwanya meninggal dunia yang ditulis oleh
Saudari Br Barus. Penulisan tersebut mempunyai bahasan permasalahan yang
berbeda dengan penulisan skripsi yang dilakukan oleh penulis.
Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan pemikiran dan usaha
penulis sendiri tanpa ada penipuan, penjiplakan atau dengan cara lain yang dapat
merugikan pihak-pihak tertentu. Hasil dari upaya penulis dalam mencari
keterangan-keterangan baik berupa buku-buku maupun internet, peraturan
perundang-undangan dan pihak-pihak lain yang sangat erat kaitannya dengan
kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. Dengan demikian
F. Tinjauan Kepustakaan
1. Tindak Pidana
Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam
hukum pidana Belanda yaitu “Strafbaar feit”. Para ahli hukum mengemukakan
istilah yang berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari Strafbaar feit.
Tidak ditemukannya penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan Strafbaar feit
di dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum berusaha
untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum ada
keseragaman pendapat8.
R. tresna menyatakan walaupun sangat sulit merumuskan atau
memberikan definisi atas tindak pidana itu sendiri namun beliau dapat menarik
definisi yang menyatakan tindak pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian
perbuatan manusia yang bertentangan degan undang-undang atau
perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.9
Para ahli memiliki perbedaan pendapat mengenai tindak pidana. Terdapat
2 (dua) pandangan dari para ahli mengenai hal ini yaitu pandangan dualistis dan
pandangan monistis. Pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan
antara dilarangnya suatu erbuatan pidana (criminal act atau actus reus) dan dapat
dipertanggungjawabkan si pembuat (criminal responsibility atau mens rea).
Pandangan dualistis ini memandang tindak pidana semata-mata pada
perbuatan dan akibat yang sifatnya dilarang. Jika perbuatan yang bersifat dilarang
8
C.S.T. Kansil, Engelien R. Palandeng, dan Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam Undang-undang Nasional, (Jakarta, Jala Permata Aksara. 2009) hal. 1
9
itu telah dilakukan maka barulah melihat pada orangnya jika ia memiliki
kemampuan untuk bertanggung jawab sehingga perbuatan tersebut dapat
dipersalahkan kepadanya dan dapat dijatuhi pidana.
Menurut Moeljatno yang merupakan salah satu ahli yang menganut
pandangan dualistis mengemukakan unsur-unsur tindak pidana yaitu perbuatan
(manusia), memenuhi rumusan dalam undang-undang (formil), bersifat melawan
hukum (syarat materiil).10
Simons yang merupakan salah satu ahli penganut pandangan monistis
merumuskan tindak pidana merupakan suatu tindakan melanggar hukum yang
dengan sengaja dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.ia juga mengemukakan
beberapa unsur-unsur dari tindak pidana tersebut yaituperbuatan manusia,
diancam dengan pidana, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan, dan oleh
orang yang bertanggung jawab.11
Aliran monistis ini memandang bahwa unsur-unsur mengenai diri
orangnya tidak dapat dipisahkan dengan unsur mengenai perbuatan. Semua
menjadi satu unsur tindak pidana.
2. Tindak Pidana Korupsi
Defenisi korupsi menurut Hery Campbell Black (1991) adalah perbuatan
yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak
resmi dengan hal-hak dari pihak secara salah menggunakan jabatannya dan
10
Moeljatno, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Yogyakarta, 1983, halaman 55
11
karekternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau
orang lain, berlawanan dengan kewajiban dan hak-hak dari pihak-pihak lain.12
Menurut Syamsul Anwar, definisi korupsi adalah penyalahgunaan dalam
kepentingan pribadi. Ia berpendapat bahwa masyarakat pada umumnya melihat
korupsi sebagai serangkaian tindakan-tindakan terlarang atau melawan hukum
untuk mendapatkan keuntungan dengan merugikan orang lain serta
penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan publik untuk keuntungan pribadi.13
Korupsi merupakan penyimpangan atau perusakan intergritas dalam
pelaksanaan tugas-tugas publik dengan penyuapan atau balas jasa sesuai dengan
definisi korupsi yang termuat dalam kamus lengkap Oxford (The Oxford
Unabridged Dictionary). Serta penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan
pribadi (The abuse of public office for private gain) yang merupakan pengertian
ringkas korupsi dalam World Bank.14
Secara umum tindak pidana korupsi diatur dalam undang-undang No 31
Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK). Selain itu, hukum acara dalam
menangani tindak pidana korupsi tunduk pada kitab Undang-Undang Hukum
acara pidana (KUHAP) dan penyimpangannya yang diatur secara khusus dalam
UU PTPK.15
12
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, halaman 137 13
http://www.kajianpustaka.com/2013/08/pengertian-model-bentuk-jenis-korupsi.html diakses 15 Desember 2014 pukul 15.59 Wib
14
Ibid, halaman 2 15
UU PTPK tidak memuat secara langsung pengertian mengenai tindak
pidana korupsi. Akan tetapi, dengan melihat kategori tindak pidana korupsi
sebagai delik formil, maka pasal 2 dan pasal 3 UU PTPK mengatur secara tegas
mengenai unsur-unsur pidana dari tindak pidana korupsi tersebut. Pasal 2 UU
PTPK, menyatakan sebagai berikut :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara...”
Selanjutnya dalam pasal 3 UU PTPK, menyatakan :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara...”
Definisi yuridis yang termuat diatas merupakan batasan formal yang
ditetapkan oleh badan atau lembaga formal yang memiliki wewenang untuk itu
disuatu negara. Oleh karena itu, batas-batas tindak pidana korupsi sangat sulit
dirumuskan dan tergantung pada kebiasaan dan undang-undang domestik suatu
negara.16
3. Pengadaan Barang dan Jasa
Definisi mengenai pengadaan barang dan jasa sudah tercantum jelas pada
pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 yang merupakan perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 35 tahun 2011 yang juga merupakan perubahan atas
16
Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah,menyatakan sebagai berikut:17
”Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan
Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa
oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi
yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai
diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.”
Selain dari pada Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ada juga pengertian mengenai pengadaan
barang/jasa yang dijelaskan pada Pasal 1 angka 1 Keputusan Presiden Nomor 80
tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksnaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
menyatakan sebagai berikut:18
“Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kegiatan pengadaan
barang/jasa yang dibiayai dengan APBN/APBD, baik yang
dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa”
Pengadaan barang/jasa dilakukan oleh kelompok kerja ULP untuk
menyusun dan menetapkan metode pemilihan penyedia barang/jasa, pekerjaan
konstruksi/jasa lainnya. Pemilihan penyedia barang dilakukan dengan beberapa
cara yang diatur dalam Pasal 19 Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 yang
17
Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
18
menyatakan dengan cara pelelangan umum, pelelangan terbatas, pelelangan
sederhana, penunjukkan langsung, pengadaan langsung, atau kontes.19
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian dalam penulisan skripsi ini diarahkan kepada penelitian hukum
normatif dengan pendekatan studi kasus. Kasus yang diteliti berkaitan dengan
pengadaan barang yang menyebabkan kerugian keuangan negara dengan
menelaah putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN
atas nama terpidana Manager bidang Produksi PT PLN (Persero) KITSBU.
Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal.
Penelitian hukum jenis ini mengkonsepsikan hukum sebagai apa yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepsikan
sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang
dianggap pantas.
Pendekatan kasus (case aproach) dalam penelitian normatif yang
bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaedah hukum yang
dilakukan dalam praktik hukum, terutama mengenai kasus-kasus yang telah
diputus sebagaimana yang dapat dilihat dari yurisprudensi terhadap perkara yang
menjadi fokus penelitian.
19
2. Sumber Data
Sumber data penilitian pada umumnya dibedakan antara data yang
diperoleh secara langsung dari masyarakat (data primer) dan dari bahan-bahan
pustaka (data sekunder). Metode penelitan hukum normatif hanya mengenal data
sekunder saja. Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer; bahan
hukum sekunder; dan bahan hukum tersier.
a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari :
1. Norma kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945;
2. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Juncto
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme;
5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara;
6. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara;
7. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang
8. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Tentang
Badan Usaha Milik Negara;
9. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian;
10.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana;
11.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
12.Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 Tentang
Pedoman Barang / Jasa Pemerintah
13.Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN
Tanggal 26 Mei 2014 dengan Terdakwa Ir. Fahmi Rizal Lubis
14.Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian
ini.
b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, diantaranya;
1. Buku-buku yang terkait dengan hukum;
2. Artikel di jurnal hukum;
3. Skripsi, Tesis dan Disertasi Hukum;
4. Karya dari kalangan praktisi hukum ataupun akademisi yang ada
hubungannya dengan penelitian ini.
c) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau
1. Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia;
2. Majalah-majalah yang ada hubungannya dengan penelitian ini;
3. Surat kabar yang memuat tentang kasus-kasus tindak pidana korupsi
khususnya tentang pengadaan barang yang menyebabkan kerugian
keuangan negara.
3. Pengumpulan Data
Pengambilan dan pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian
kepustakaan (library research) atau disebut dengan studi dokumen yang meliputi
bahan hukum primer, sekunder maupun tersier. Studi kepustakaan dalam skripsi
ini diterapkan dengan mempelajari dan menganalisa secara sistematis
bahan-bahan yang utamanya berkaitan dengan tindak pidana korupsi di bidang
pengadaan barang pada PT.PLN (persero) KITSBU yang merupakan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), termasuk juga bahan-bahan lain yang berkaitan
dan dibahas dalam skripsi ini.
4. Analisis Data
Menurut Patton, analisis data didefinisikan sebagai suatu proses untuk
mengatur urutan data yang kemudian mengorganisasikannya ke dalam kategori,
pola maupun ke dalam susunan uraian dasar. Sedangkan, Taylor memberikan
pengertian terhadap analisa data sebagai proses yang melakukan perincian usaha
seperti apa yang telah disarankan serta sebagai bentuk usaha untuk memberikan
kontribusi dan tema pada hipotesis.20
Definisi-definisi diatas dapat disintetiskan bahwa analisis data
merupakan proses mengorganisasikan dan juga mengurutkan data ke dalam suatu
kategori, pola dan satuan uraian dasar sehingga bisa ditemukan tema serta
dirumuskan hipotesis kerjanya seperti yang telah didasarkan oleh data.
Adapun yang menjadi sumber utama dalam penulisan skripsi ini adalah
dari data sekunder. Analisis data dalam penelitian hukum menggunakan metode
pendekatan kualitatif, karena tanpa menggunakan rumusan statistik, sedangkan
penggunaan angka-anga hanya sebatas pada angka persentase sehingga diperoleh
gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai masalah yang diteliti.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini secara keseluruhan dibagi dalam 5
(Lima) bab dan terdiri atas beberapa sub bab yang menguraikan permasalahan dan
pembahasan secara tersendiri dalam konteks yang saling berkaitan satu sama lain.
Sistematika penulisan skripsi ini secara terperinci adalah sebagai berikut:
BAB I : Berisikan pendahuluan yang terdapat didalamnya paparan mengenai
latar belakang dari penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan
kepustakaan, yang mengemukakan berbagai definisi, rumusan dan
pengertian dari istilah yang terkait dengan judul untuk memberi
batasan dan pembahasan mengenai istilah-istilah tersebut sebagai
20
gambaran umum dari skripsi ini, metode penulisan dan terakhir dari
bab ini diuraikan sistematika penulisan skripsi.
BAB II : Menguraikan tentang pengaturan mengenai barang/jasa yang terdapat
dalam Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 yang merupakan
perubahan kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010
tentang pengadaan barang/jasa pemerintah. Bab ini secara khusus
menjelaskan pengertian mengenai pengadaan barang/jasa. Bab ini juga
menjabarkan prinsip-prinsip dasar dan proses pengadaan barang/jasa.
BAB III : Menguraikan tentang peraturan tindak pidana korupsi di indonesia
dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 Jo undang-undang nomor
20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Bab ini
menjelaskan secara detail istilah tindak pidana korupsi dan sejarah
juga perkembangan pengaturannya di indonesia. Bab ini juga memuat
uraian mengenai pengertian dari kerugian keuangan negara,
unsur-unsur kerugian keuangan negara dan pengadaan barang yang
menyebabkan kerugian negara.
BAB IV : Merupakan pembahasan mengenai penegakkan hukum pidana
terhadap tindak pidana korupsi dalam hal pengadaan barang yang
termuat dalam kasus dengan putusan Pengadilan Tinggi Medan
No:19/Pid.Sus.K/2014/PT-MDN. Pada bab ini akan diuraikan
bagaimana posisi kasus dari perkara ini, dakwaan, tuntutan pidana,
dikaji secara mendalam terhadap putusan yang diberikan majelis
hakim terhadap terdakwa dalam perkara ini.
BAB II
PENGATURAN PENGADAAN BARANG/JASA DALAM PERATURAN PRESIDEN NOMOR 70 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN PRESIDEN NOMOR 54 TAHUN 2010 TENTANG PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH
A. Pengertian Pengadaan Barang/Jasa
Fungsi pemerintahan dijalankan dengan memerlukan logistik, peralatan
dan jasa yang menunjang optimalnya kerja instansi tersebut. Kebutuhan ini
dipenuhi oleh beberapa pihak, baik itu perusahaan milik pemerintah maupun
swasta. Berbeda dengan pengadaan barang dan jasa di instansi dan perusahaan
swasta, pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintahan lebih rumit karena
berhubungan dengan perhitungan APBN/APBD yang digunakan untuk membayar
barang atau jasa tersebut. Terlebih lagi ada beberapa aturan yang mengatur proses
pengadaan barang tersebut, Perpres 54 tahun 2010 sebagai perubahan tentang tata
cara pengadaan barang dan jasa pemerintah dari Keputusan Presiden No 8 tahun
2003.21
Pengertian barang/jasa itu sendiri tertuang dalam Pasal 1 Angka 1
Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah sebagai
berikut :
“Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan
Pengadaan Barang/Jasa adalah Kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa
21
oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi
yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai
diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.”22
Kemudian ada peraturan lain juga yang mengatur tentang pengadaan
barang/jasa tersebut yaitu Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang
pedoman pengadaan Barang/Jasa yang menyatakan sebagai berikut :23 “Kegiatan
pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan APBN/APBD, baik yang
dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa”
Pengertian pengadaan barang dan jasa juga diatur dalam peraturan
menteri nomor 15 tahun 2012 tentang pedoman umum pelaksanaan pengadaan
barang dan jasa badan usaha milik negara pada pasal 1 angka 1, yaitu:
“pengadaan barang dan jasa adalah kegiatan pengadaan barang dan jasa
yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara yang pembiayaannya
tidak menggunakan dana dari APBN/APBD”
Pengadaan barang dan jasa yang terjadi pada kasus Korupsi PT. PLN
(Persero) KITSBU adalah pengadaan barang/jasa pada BUMN yang dikarenakan
PT.PLN merupakan Badan Usaha Milik Negara yang modalnya sebagaian besar
adalah milik negara dan penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
negara yang terpisah.
B. Prinsip – Prinsip Dasar Pengadaan Barang/Jasa
22
Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presdien No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
23
Keberadaan suatu asas atau prinsip dalam suatu aturan hukum atau
norma hukum memiliki makna yang fundamental dikarenakan setiap
aturan-aturan atau norma-norma pada hakikatnya memiliki asas atau prinsip sebagai
rohnya.24 Asas atau prinsip tersebut diartikan merupakan sesuatu yang menjadi
dasar tumpuan berpikir atau bertindak ataupun kebenaran yang menjadi pokok
dasar berpikir, bertindak dan sebagainya.25
Pada peraturan presiden nomor 70 tahun 2012 tentang perubahan atas
peraturan presiden nomor 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa
pemerintah menganut prinsip-prinsip dara pengadaan barang/jasa, prinsip-prinsip
dasar tersebut sejalan dengan peraturan menteri BUMN nomor 15 tahun 2012
pada pasal 2 tentang pedoman umum pelaksanaan pengadaan barang dan jasa
badan usaha milik negara yang menyatakan bahwa :
1. Efisiensi
Efisiensi pengadaan barang diukur terhadap seberapa besar upaya yang
dilakukan untuk memperoleh Barang/Jasa dengan spesifikasi yang sudah
ditetapkan. Upaya yang dimaksud merupakan dana dan daya yang
dikeluarkan untuk memperoleh barang/jasa.
2. Efektif
Efektifitas dalam suatu pengadaan diukur terhadap seberapa jauh
barang/jasa dengan spesifikasi yang sudah terlebih dahulu ditetapkan.
3. Transparan
24
Purwosusilo, Aspek Pengadaan Barang Dan Jasa, Prenadamedia group, Jakarta, 2014, Halaman 8-9
25
Suatu proses dalam pengadaan barang/jasa dilakukan oleh pemerintah dapat
diketahui secara luas. Proses yang dimaksudkan tersebut meliputi dasar
hukum, ketentuan-ketentuan, tata cara, mekanisme, aturan main, sepsifikasi
barang/jasa, dan semua hal yang terkait dengan proses pengadaan
barang/jasa yang dilakukan tersebut. Dapat diketahui secara luas berarti
semua informasi tentang proses tersebut mudah diperoleh dan mudah
diakses oleh masyarakat umum, terutama penyedia barang/jasa yang
berminat.
4. Terbuka
Hal ini berarti bahwa pengadaan barang/jasa dapat diikuti oleh semua
penyedia barang/jasa yang memenuhi kriteria ataupun persyaratan yang
ditetapkan sesuai ketentuan yang berlaku. Setiap dari penyedia barang/jasa
yang memenuhi syarat dapat dengan mudah medapatkan informasi tentang
prosedur yang jelas untuk mengikuti lelang/seleksi.
5. Bersaing
Suatu iklim atau suasana persaingan yang sehat di antara penyedia
barang/jasa tercipta karena proses pengadaan barang/jasa tersebut,
kemudian tidak ada intervensi yang dapat mengganggu mekanisme pasar
sehingga dapat menarik banyak minat penyedia barang/jasa untuk mengikuti
lelang/seleksi yang pada gilirannya dapat diharapkan untuk dapat
memperoleh barang/jasa dengan kualitas yang maksimal.
Dimaksudkan proses pengadaan barang/jasa tersebut mampu memberikan
perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barag/jasa tersebut dan
tidak mengarah untuk memberikan keuntungan kepada pihak tertentu.
7. Akuntabel
Ini diartikan bahwa penyedia barang/jasa harus sesuai dengan aturan dan
ketentuan yang terkait dengan pengadaan barang/jasa sehingga dapat
dipertanggungjawabkan.
C. Pengaturan Hukum Pengadaan Barang/Jasa
1. Sejarah Pengaturan Barang/Jasa
Pemerintah dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara harus
mewujudkan kesejahteraan umum yang berkeadilan sosial bagi seluruh
masyarakatnya, dalam mewujudkan hal tersebut pemerintah memiliki kewajiban
untuk menyediakan kebutuhan masyarakatnya yang salah satunya dalam bentuk
barang maupun jasa.
Barang diartikan sebagai benda dalam berbagai bentuk dan uraian, yang
meliputi bahan baku, barang setengah jadi, barang jadi/peralatan, yang
spesifikasinya ditetapkan.26 Sedangkan jasa diartikan sebagai suatu barang yang
tidak berwujud, namun dapat memberikan kepuasan dan memenuhi kebutuhan
masyarakat.27
Pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam hal barang/jasa sangat memiliki
potensi untuk terjadinya korupsi atau penyimpangan-penyimpangan lainnya yang
26
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pasal 1 Butir 11, Halaman 3
berakibat kerugian keuangan negara dan perekonomian negara. salah satu lahan
subur dari terjadinya korupsi adalah pengadaan barang dan jasa karena pengadaan
barang/jasa melibatkan dana yang sangat besar.
Mempertimbangkan bahwa pengadaan barang/jasa yang menjadi salah
satu lahan subur untuk terjadinya suatu kegiatan korupsi haruslah diatur dengan
jelas dan tertulis. Peraturan perundangan-undangan yang dibuat pertama kali
untuk mengatur tentang pengadaan barang/jasa ialah keputusan presiden nomor
18 tahun 2000,lahirnya keputusan presiden nomor 18 tahun 2000 sebagai suatu
pedoman pelelangan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Didalam diatur mengenai petunjuk teknis yang memberikan kewenangan
kepada lembaga penbembangan jasa konstruksi (LPJK) dan kamar dagang dan
industri (KADIN) untuk memberikan akreditasi dan sertifikasi bagi penyedia
barang dan jasa.
Menurut surat keputusan bersama menteri keuangan republik indonesia
dengan kepala BAPPENAS nomor NO.KEP-S-42/A/2000 dan S.226/D.2/05/2000
tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pada instansi pemerintah
menyatakan pada Bab I Angka 1 huruf g yaitu:
“sertifikat penyedia barang/jasa adalah sertifikat tanda bukti
registrasi,klarifikasi dan kualifikasi tanda bukti bagi penyedia barang/jasa
tertentu sesuai dengan bidang usaha dan kemampuannya yang diterbitkan
oleh lembaga atau assosiasi perusahaan/profesi yang bersangkutan yang
lembaga pengembangan jasa konstruksi (LPJK) dan dan non konstruksi
oleh kamar dagang dan industri (KADIN)”
Penyempurnaan pengaturan mengenai pedoman pelaksanaan pengadaan
barang/jasa pemreintah melahirkan keputusan presiden nomor 80 tahun 2003
tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Melahirkan keputusan presiden nomor 80 tahun 2003 sebagai pengganti
dari keputusan presiden nomor 18 tahun 2000 tentunya dengan maksud dan tujuan
tertentu, maksud dan tujuan tersebut diatur dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) yang
menyatakan bahwa:28
“(1) Maksud diberlakukannya Keputusan Presiden ini adalah untuk
mengatur pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau
seluruhnya dibiayai dari APBN/APBD.
(2) Tujuan diberlakukannya Keputusan Presiden ini adalah agar
pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya
dibiayai APBN/APBD dilakukan secara efisien,efektif, terbuka dan
bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel.”
Keputusan presiden nomor 80 tahun 2003 juga mengatur tentang hal-hal
seperti tugas pokok pengguna barang/jasa,persyaratan penyedia
barang/jasa,penentuan harga perkiraan sendiri dan lain sebagainya yang berkaitan
dengan pengadaan barang/jasa.
Pengadaan barang/jasa mengalami perkembangan yang sangat dinamis,
hal ini ditandai dengan adanya delapan kali revisi terhadap keputusan presiden
28
nomor 80 tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa
pemerintah sampai akhirnya keputusan presiden tersebut dicabut dan tidak
berlaku lagi sejak tanggal 1 januari 2011.
Dicabutnya keputusan presiden nomor 80 tahun 2003 tentang pedoman
pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melahirkan peraturan
perundang-undangan yang baru yang menggantikan keputusan presiden nomor 80 tahun 2003
tersebut.
Peraturan perundang-undangan tersebut ialah Peraturan Presiden Nomor
54 tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah (yang untuk selanjutnya
disebut sebagai Perpres Nomor 54 Tahun 2010). Peraturan ini diharapkan mampu
mengatur pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah lebih baik.
Pada Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dengan Keppres Nomor 80 Tahun
2003 memiliki perbedaan-perbedaan yang prinsipil yang ditandai dengan didasari
oleh 7 (tujuh) gagasan pokok perubahan yaitu : penyederhanaan prosedur,
mengurangi ekonomi biaya tinggi, mendorong terjadinya persaingan usaha yang
sehat, melindungi usaha kecil, meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri,
meningkatnya profesionalitas pelaksana pengadaan barang dan penyelarasan
aturan.29
Perpres Nomor 54 Tahun 2010 sampai saat ini telah mengalami empat
kali perubahan. Yang pertama diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 35 tahun
2011 tentang perubahan pertama atas Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010
29
tentang pengadaan barang/jasa pemerintah (yang selanjutnya disebut sebagai
Perpres Nomor 35 Tahun 2011).
Perpres Nomor 35 Tahun 2011 dilahirkan karena dianggap perlunya
penunjukan langsung terhadap 1 (satu) penyedia jasa konsultansi di bidang hukum
meliputi konsultan hukum/advokat atau pengadaan arbiter yang tidak
direncanakan sebelumnya untuk menghadapi tuntutan hukum dari pihak tertentu
kepada pemerintah yang sifatnya harus disegerakan.30
Setelah Perpres Nomor 35 Tahun 2011 berlaku pada tahun 2012
pengaturan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah mengalami perubahan
kembali yaitu Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 tentang perubahan ketiga
atas Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa
pemerintah (yang selanjutnya disebut sebagai Perpres Nomor 70 Tahun 2012).
Perpres Nomor 70 Tahun 2012 dilahirkan karena terjadi banyak
penambahan materi pada pasal-pasal tertentu dan dianggap juga perlunya
percepatan pengadaan barang/jasa dalam menunjang percepatan pelaksanaan
belanja negara. Perpres Nomor 70 Tahun 2012 kemudian dirubah lagi dengan
Peraturan Presiden Nomor 172 tahun 2014 tentang perubahan ketiga atas
Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa (yang
selanjutnya disebut sebagai Perpres Nomor 172 Tahun 2014). Dirubahnya Perpres
Nomor 70 tahun 2012 menjadi Perpres Nomor 172 tahun 2014 karena perlunya
percepatan penyediaan benih dan pupuk kepada petani melalui upaya khusus
bantuan benih unggul dan pupuk dalam rangka mencapai swasembada pangan dan
mengantisipasi perubahan iklim.
Perubahan terakhir ialah Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2015 tentang
perubahan keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang
pengadaan barang/jasa. Peraturan terakhir ini dilakukan karena perlunya inovasi
terhadap pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilakukan dengan
pemanfaatan teknologi informasi dalam rangka percepatan pelaksanaan belanja
negara guna percepatan pelaksanaan belanja negara guna percepatan pelaksanaan
pembangunan.
Pengadaan barang dan jasa yang dilakukan BUMN bukan hanya diatur
dalam peraturan presiden diatas melainkan juga diatur oleh peraturan BUMN
nomor 15 tahun 2012 tentang perubahan atas peraturan menteri BUMN nomor 05
tahun 2008 tentang pedoman umum pelaksanaan pengadaan barang dan jasa
badan usaha milik negara.
2. Pihak-Pihak Dalam Pengadaan Barang/Jasa
Purwosusilo dalam bukunya yang berjudul aspek hukum pengadaan
barang dan jasa membagi para pihak yang terlibat didalam pengadaan barang/jasa
pemerintah ke dalam 2 (dua) bagian yaitu pengguna barang/jasa dan penyedia
barang/jasa.
I. Pengguna barang/jasa
pengguna barang/jasa diwakili dengan pengguna anggaran/kuasa
(unit layanan pengadaan) dan aparat pengawas internal pemerintah (APIP).31 Para pihak memiliki tugas pokok, kedudukan dan fungsi masing-masing.
a. Pengguna Anggaran
Istilah pengguna anggaran dijelaskan dalam Peraturan Presiden Nomor
54 tahun 2010 pada pasal 1 angka 5 yang menyatakan sebagai berikut :32
“Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut PA adalah Pejabat
pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/
Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yang disamakan
pada Institusi lain Pengguna APBN/APBD.”
pengguna anggaran juga memiliki tugas dan kewenangan yang telah
diatur jelas pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 yang telah diubah
dalam Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 dan Peraturan Presiden Nomor
70 tahun 2012 pada pasal 8 yang menyatakan sebagai berikut :33
“(1) PA memiliki tugas dan kewenangan sebagai berikut:
a. menetapkan Rencana Umum Pengadaan;
31
Bab III Perpres Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana yang telah diubah dalam Perpres Nomor 35 Tahun 2011 dan Perpres Nomor 70 Tahun 2012. Dalam Peraturan tersebut disebutkan bahwa struktur organisasi pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia terdiri atas : a. PA/KPA, b. PPK, c. ULP/Pejabat Pengadaan, dan d. Panitia/pejabat penerima hasil pekerjaan. Yang kemudian dalam pengadaan barang/jasa pemerintah melalui swakelola terdiri atas : a. PA/KPA, b. PPK, dan c. Panitia/pejabat penerima hasil pekerjaan dan dikenal pula aparat pengawas internal pemerintahan (APIP)
32
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa 33
b. mengumumkan secara luas Rencana Umum Pengadaan paling
kurang di website K/L/D/I;
c. menetapkan PPK;
d. menetapkan Pejabat Pengadaan;
e. menetapkan Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan;
f. menetapkan:
1) pemenang pada Pelelangan atau penyedia pada
Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dengan nilai
diatas Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);
atau
2) pemenang pada Seleksi atau penyedia pada Penunjukan
Langsung untuk paket Pengadaan Jasa Konsultansi
dengan nilai diatas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
g. mengawasi pelaksanaan anggaran;
h. menyampaikan laporan keuangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
i. menyelesaikan perselisihan antara PPK dengan ULP/ Pejabat
Pengadaan, dalam hal terjadi perbedaan pendapat;dan
j. mengawasi penyimpanan dan pemeliharaan seluruh Dokumen
(2) Selain tugas pokok dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dalam hal diperlukan, PA dapat:
a. menetapkan tim teknis; dan/atau
b. menetapkan tim juri/tim ahli untuk pelaksanaan Pengadaan
melalui Sayembara/Kontes.
Kewenangan dan tugas dari pengguna anggaran diatur secara tegas guna
untuk menghindari terjadinya tumpang tindih kewenangan para pejabat dalam
pengadaan barang/jasa pemerintah dan BUMN serta tercapainya keseimbangan
(check and balance) sehingga pelaksanaan pengadaan barang/jasa tersebut
berjalan sebagaimana mestinya.34
b. Kuasa Pengguna Anggaran
Istilah kuasa pengguna anggaran tidak dikenal dalam Keppres 80 Tahun
2003 maupun aturan sebelumnya, istilah tersebut baru dikenal pada Perpres 54
Tahun 2010 sebagaimana yang telah diubah dengan Perpres Nomor 35 Tahun
2011 dan Perpres Nomor 70 Tahun 2012.35
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut dengan KPA
merupakan pejabat bentukkan Pengguna Anggaran untuk menggunakan APBN
atau bentukkan kepala daerah untuk menggunakan APBD.36 KPA dapat menerima
pengalihan penuh maupun sebagian wewenang dari pengguna anggaran.
c. Pejabat Pembuat Komitmen
34
Purwosusilo, Aspek Hukum Pengadaan Barang Dan Jasa, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, Halaman 237
35
Ibid, 238 36
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut sebagai PPK
adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pengadaan barang/jasa.37 Serta
pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk mengambil keputusan
dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran
belanja negara.38
PPK memiliki tugas dan wewenang yang telah diatur secara jelas dalam
pasal 11 yaitu,sebagai berikut:39
a. Menetapkan rencana pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang
meliputi :
1) Spesifikasi teknis barang/jasa;
2) Harga perkiraan sendiri (HPS); dan
3) Rancangan kontrak;
b. Menerbitkan surat penunjukkan penyedia barang/jasa;
c. Menyetujui bukti pembelian atau menandatangani kuitansi/surat
perintah kerja (SPK)/ suat perjanjian;
d. Melaksanakan kontrak dengan penyedia barang/jasa;
e. Mengendalikan pelaksanaan kontrak;
f. Melaporkan pelaksanaan/penyelesaian pengadaan barang/jasa kepada
PA/KPA;
37
Pasal 1 ayat (7) Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana yang telah direvisi dengan Perpres 35 Tahun 2011 dan Perpres Nomor 70 Tahun 2012.
38
Pasal 1 angka (23) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
39
g. Menyerahkan hasil pekerjaan pengadaan barang/jasa kepada PA/KPA
dengan berita acara penyerahan;
h. Melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan
hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulan;
i. Menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan
pengadaan barang/jasa.
d. ULP/Pejabat Pengadaan
Unit Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut sebgai ULP adalah
unit organisasi Kementrian/Lembaga/pemerintah Daerah/Institusi yang berfungsi
melaksanakan pengadaan barang/jasa yang bersifat permanen, dapat berdiri
sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada.40
Seperti pihak-pihak lainnya ULP juga memiliki tugas pokok dan
kewenangannya yaitu menyusun rencana pemilihan penyedia barang/jasa,
menetapkan dokumen pengadaan,menetapkan besaran nominal jaminan
penawaran, mengumumkan pelaksanaan pengadaan barang/jasa di website
K/L/D/I masing-masing dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat serta
meyampaikan ke LPSE untuk diumumkan dalam portal pengadaan nasional,
menilai kualifikasi penyedia barang/jasa melalui prakualifikasi atau
40
pascakualifikasi, dan melakukan evaluasi administrasi, teknis dan harga terhadap
penawaran yang masuk.41
e. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP)
Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan yang selanjutnya disebut
sebagai PPHP pada hakikatnya merupakan perpanjangan tangan dari pengguna
anggaran untuk memeriksa kebenaran hasil pekerjaan yang telah diselesaikan
penyedia dengan dasar kontrak yang telah ditanda tangani.42
Adapun tugas pokok dan kewenangan dari PPHP yaitu juga dengan jelas
tercantum dalam pasal 18 ayat (5) yang menyatakan sebagai berikut:43
a. Melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan pengadaan barang/jasa sesuai
dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak;
b. Menerima hasil pengadaan barang/jasa setelah melalui pemeriksaan/
pengujian; dan
c. Membuat dan menandatangani berita cara serah terima hasil
pekerjaan.
d. Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP)
Aparat pengawas Intern Pemerintah yang selanjutnya disebut sebagai
APIP ini merupakan aparat yang melakukan pengawasan melalui audit, review,
41
Pasal 17 ayat (2) Perpres Nomor 54 Tahun 2010 yang telah direvisis pada Perpres Nomor 35 Tahun 2011 dan Perpres Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
42
Purwosusilo, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, halaman 246
43
evaluasi, pemantauan dan kegiatan pengawasan lainnya terhadap penyelenggaraan
tugas dan fungsi organisasi.44
II. Penyedia Barang/Jasa
penyedia barang/jasa ini merupakan pilar penting setelah pemerintah
dalam pengadaan barang/jasa. Sesuai dengan konsep dasar pengadaan barang/jasa
yang baik harus pula disediakan oleh penydia barang/jasa yang baik juga,
sehingga dengan hal ini dikenal istilah kualifikasi.45
Kualifikasi diartikan sebagai penilaian terhadap kompetensi atau
kemampuan penyedia barang/jasa dalam menyediakan barang/jasa yang
dibutuhkan. Untuk membuktikan penyedia barang/jasa tersebut memenuhi
kualifikasi maka dilakukan penilaian sebagaiamana sesuai ketentuan pasal 19
Perpres Nomor 54 Tahun 2010 yang telah diubah dalam Perpres Nomor 35 Tahun
2011 dan Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah.
Selain pembuktian dilakukan untuk penyedia barang/jasa yang telah
memenuhi kualifikasi perlu juga dilakukan pembuktian penyedia barang/jasa yang
mampu menyediakan barang/jasa yang dibutuhkan yaitu dengan penilaian
terhadap dokumen penawaran penyedia yang terdiri atas penilaian administrasi,
teknis dan harga.46
3. Proses Pengadaan Barang dan jasa
44
Purwosusilo, Aspek hukum Pengadaan Barang dan jasa, Pranadamedia Group, Jakarta, 2014, halaman 248
45
Ibid. Halaman 251-252 46
Dalam mengadakan suatu barang/jasa dalam pemerintahan tentu saja
membutuhkan tahap-tahap untuk membantu proses pengadaan barang/jasa
tersebut, tahap-tahap tersebut yaitu,sebagai berikut :
I. Tahapan Persiapan Kontrak
Tahapan ini diawali dengan perencanaan pengaturan yang diatur dalam
Perpres Nomor 54 Tahun 2010 yang telah diubah dalam Perpres Nomor 35 Tahun
2011 dan Perpres Nomor 70 Tahun 2012 Tentang pengadaan barang/jasa.47
Purwosusilo dalam bukunya yang berjudul aspek-aspek pengadaan barang dan
jasa menyebutkan proses pengadaan barang dan jasa pada tahapan persiapan
kontrak ialah dimulai pada tahapan pengumuman, penetapan harga perkiraan
sendiri (HPS)/ Owner Estimate, pendaftaran dan pengambilan dokumen,
aanwijzing (penjelasan), pengajuan penawaran, jaminan penawaran, pembukaan
dokumen penawaran, penilaian/evaluasi, penetapan pemenang, dan adanya
sanggahan atau sanggahan banding.
II. Tahapan Pelaksanaan Kontrak
Tahapan ini merupakan lanjutan dari tahapan persiapan kontrak, adapun
proses di dalam tahapan pelaksanaan kontrak, yaitu :48
a. Penyempurnaan rancangan kontrak;
b. Penandatangan kontrak;
c. Jaminan pelaksanaan;
d. Pelaksanaan kontrak;
e. Pembayaran uang muka;
47
Purwosusilo, Aspek-Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, halaman 254
48
f. Perubahan kegiatan pekerjaan;
g. Laporan hasil pekerjaan;
h. Penilaian progres kegiatan;
i. Penghentian dan pemutusan kontrak.
III. Tahap Pasca Kontrak
Tahapan-tahapan pasca kontrak ini terdiri atas penerimaan kontrak,
denda dan ganti rugi, keadaan kahar dan terakhir perpanjangan waktu pelaksanaan
pekerjaan.49 hal ini seperti yang dinyatakan pada peraturan presiden no 70 tahun
2012 tentang perubahan atas peraturan presiden nomor 54 tahun 2010 tentang
Pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bukan hanya mengacu pada
peraturan presiden nomor 70 tahun 2012 tetapi menteri BUMN juga telah
membuat tata cara pengadaan barang dan jasa BUMN berdasarkan peraturan
menteri BUMN nomor 15 tahun 2012 tentang perubahan atas peraturan menteri
nomor 05 tahun 2008 tentang pedoman umum pelaksanaan pengadaan barang dan
jasa badan usaha milik negara. Tata cara tersebut tercantum pada pasal 5, yang
menyatakan sebagai berikut :
1. Cara pengadaan barang dan jasa disesuaikan dengan kebutuhan pengguna
barang dan jasa serta dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip umum
sebagaimana diatur dalam pasal 2 dan best practice yang berlaku;
2. Cara pengadaan barang dan jasa dilakukan dengan cara antara lain tetapi tidak
terbatas pada :
49
a. Pelelangan terbuka, atau seleksi terbuka untuk jasa konsultan, yaitu
diumumkan secara luas melalui media massa guna memberi
kesempatan kepada penyedia barang dan jasa yang memenuhi
kualifikasi untuk mengikuti pelelangan;
b. Pemilihan langsung, atau seleksi langsung u