• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori Penelitian

1. Teori Akuntansi Positif (Positive Accounting Theory)

Menurut Watts dan Zimmerman (1986) teori akuntansi positif dapat didefinisikan sebagai teori yang berusaha untuk menjelaskan, memprediksi, dan memberikan jawaban atas realitas praktik-praktik akuntansi yang ada di masyarakat. Kata menjelaskan (explanation) disini bermaksud menguraikan alasan-alasan mengapa suatu praktik akuntansi dilakukan. Sedangkan kata memprediksi (prediction) berarti teori harus mampu memprediksi berbagai fenomena praktik akuntansi yang belum dijalankan. Fenomena yang belum dijalankan dalam hal ini tidak selalu fenomena yang belum terjadi saja, bisa fenomena yang telah terjadi tetapi belum terdapat bukti secara empiris untuk menjustifikasi fenomena-fenomena tersebut.

Misalnya teori akuntansi positif harus mampu menjelaskan mengapa banyak perusahaan lebih menyukai menggunakan metode pencatatan FIFO daripada menggunakan metode LIFO, atau contoh lain misalnya teori harus mampu menjelaskan mengapa perusahaan kini tetap memilih menggunakan akuntansi historical cost dan mengapa perusahaan lainnya mengubah teknik akuntansi mereka. Teori ini juga harus mampu memprediksi apa akibat yang ditimbulkan di masa mendatang. Validitas teori akuntansi positif dinilai atas dasar kesesuaian teori dengan fakta yang sebenarnya terjadi.

Pada dasarnya teori akuntansi positif menganut paham maksimisasi kemakmuran (wealth-maximisation) dan kepentingan para pribadi individu.

Teori akuntansi positif menjelaskan bahwa manajer memiliki dorongan atau insentif untuk dapat memaksimalkan kesejahteraannya. Teori ini didasarkan pada pandangan bahwa manajer, investor serta regulator adalah rasional dan mereka berusaha untuk memaksimalkan utility mereka masing-masing yang secara langsung terkait dengan kompensasi mereka, sehingga terkait dengan kesejahteraan mereka pula (Rohmaniyah, 2016).

Selanjutnya teori akuntansi positif juga memprediksi bahwa manajer mempunyai kecenderungan untuk menaikkan laba perusahaan dimana salah satu tujuannya adalah untuk menyembunyikan kinerja buruk. Dalam hal ini, Watts (2003) menyatakan kecenderungan pihak manajer meningkatkan laba perusahaan karena dimotivasi oleh adanya 4 (empat) masalah pengontrakan, diantaranya yakni masa kerja terbatas manajer, kewajiban terbatas manajer, asymmetric information dan asimetri pembayaran.

Pemegang saham maupun kreditor berusaha menghindari kelebihan pembayaran kepada manajer dengan meminta perusahaan agar menerapkan akuntansi yang konservatif (Watts, 2003). Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa manajer umumnya cenderung menerapkan akuntansi liberal, namun pemegang saham (dalam kontrak kompensasi) serta kreditor (dalam kontrak utang), cenderung menginginkan pihak manajer agar menerapkan akuntansi konservatif. Watts dan Zimmerman (1986) menyatakan bahwa terdapat tiga hipotesis dalam teori akuntansi positif, yakni sebagai berikut:

a. Hipotesis Rencana Bonus (Bonus Plan Hypothesis)

Dalam hipotesis ini, manajer perusahaan dengan rencana bonus tertentu cenderung lebih menyukai kebijakan akuntansi yang menggeser pelaporan laba dari periode mendatang ke periode berjalan/periode masa kini. Dengan kata lain, pada hipotesis rencana bonus ini, manajer (agent) cenderung menaikkan laba perusahaan dengan motif untuk memperoleh bonus. Semakin tinggi laba yang diperoleh tentunya semakin tinggi pula bonus yang akan diterima. Sehingga hal tersebut mengakibatkan laporan keuangan perusahaan semakin kurang konservatif.

b. Hipotesis Kontrak Utang (Debt Covenant Hypothesis)

Dalam hipotesis ini, manajer perusahaan yang mempunyai rasio leverage (debt/equity) yang tinggi, cenderung lebih menyukai kebijakan akuntansi yang dapat menggeser pelaporan laba dari periode mendatang ke periode sekarang. Dengan kata lain, manajer akan memilih kebijakan akuntansi yang dapat meningkatkan laba perusahaan. Motivasi manajer melakukan hal tersebut tentunya untuk memperoleh tambahan dana dari pihak kreditor dengan suku bunga pinjaman yang lebih kecil. Selain itu, tujuan lainnya adalah untuk mengendurkan batasan perjanjian kredit dan untuk mengurangi biaya kegagalan teknis, misalnya seperti biaya untuk melakukan negosiasi ulang dan biaya pengawasan atas perjanjian utang (Setijaningsih, 2012). Secara umum, dalam melakukan perjanjian utang, perusahaan/instansi diharuskan untuk memenuhi beberapa persyaratan yang diajukan oleh pihak kreditor. Beberapa persyaratan tersebut adalah

persyaratan atas kondisi mengenai posisi keuangan perusahaan. Januarti (2004) dalam artikelnya menjelaskan bahwa di dalam perjanjian kontrak utang mensyaratkan peminjam untuk dapat mempertahankan rasio-rasio keuangan perusahaan. Diantaranya yaitu rasio utang atas modal (debt to equity ratio), modal kerja, ekuitas pemegang saham serta rasio keuangan lainnya selama masa perjanjian. Jika perjanjian tersebut dilanggar, maka perjanjian utang mungkin memberikan hukuman penalti, seperti batasan terhadap pembayaran dividen kepada para pemegang saham dan batasan dalam pemberian tambahan pinjaman. Berdasarkan pernyataan tersebut, umumnya kreditor akan memberikan pinjaman kepada perusahaan yang memiliki posisi keuangan yang sehat, dan keuangan yang sehat itu dapat dilihat dari pencapaian laba maupun pendapatan yang relatif tinggi serta stabil. Kreditor memiliki persepsi bahwa perusahaan dengan laba tinggi, akan melunasi utang beserta bunganya pada tanggal jatuh tempo. Hal ini membuat kreditor merasa aman, karena dapat mengurangi kemungkinan terjadinya pelanggaran kontrak utang.

c. Hipotesis Biaya Politik (Political Cost Hypothesis)

Dalam hipotesis ini, manajer cenderung lebih memilih kebijakan akuntansi yang dapat menggeser pelaporan laba dari periode berjalan ke periode mendatang/periode masa depan. Dengan kata lain, manajer akan memilih kebijakan akuntansi yang dapat mengurangi nilai laba periodik, sehingga laporan yang dihasilkan perusahaan bersifat lebih konservatif.

Motivasi manajer melakukan hal tersebut dikarenakan oleh beberapa hal

diantaranya adalah untuk menghindari pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah, para analis sekuritas, masyarakat dan pihak berkepentingan lainnya. Kemudian alasan lainnya yakni untuk mengurangi biaya politik potensial yang harus ditanggung oleh perusahaan. Biaya politik muncul dikarenakan tingginya profitabilitas perusahaan yang menarik perhatian media dan konsumen. Semakin besar profitabilitas yang diperoleh suatu perusahaan, maka semakin besar tuntutan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan terhadap perusahaan tersebut. Pada umumnya, perusahaan yang besar akan lebih disoroti oleh pihak yang berkepentingan daripada perusahaan kecil (Pambudi, 2017). Perusahaan besar cenderung diminta untuk memberikan perhatian yang lebih terhadap lingkungan sekitarnya serta terhadap pemenuhan atas peraturan yang diberlakukan pemerintah.

Misalnya, perusahaan diharuskan untuk menyediakan pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat dan juga membayar pajak yang lebih tinggi kepada pemerintah. Dengan demikian untuk mengurangi political cost yang berlebihan, maka manajer cenderung lebih memilih kebijakan akuntansi yang dapat menurunkan laba perusahaan.

Tiga hipotesis di atas menunjukkan bahwa di dalam teori akuntansi positif terdapat tiga hubungan keagenan yakni, (1) manajer dengan pemilik, (2) manajer dengan kreditor, dan (3) manajer dengan regulator. Selanjutnya, hubungan antara teori akuntansi positif dengan penelitian ini ialah hipotesis- hipotesis pada teori ini saling berhubungan dengan variabel independen dan moderasi yang dapat mempengaruhi tingkat konservatisme akuntansi.