• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tesis “45 Tahun PKI”

Dalam dokumen Suar Suroso – Akar dan Dalang (Halaman 125-128)

30 ‘Situasi Revolusioner’

31. Tesis “45 Tahun PKI”

MENJELANG berlangsungnya peringatan ulang tahun ke-45 PKI, 23 Mei 1965, Politbiro CC PKI mengeluarkan Tesis 45 Tahun PKI. Dalam Tesis ini dikemukakan, bahwa “tamatnya riwayat kolonialisme Belanda di Indonesia telah mengakibatkan terjadinya pergeseran-pergeseran dalam kedudukan musuh-musuh rakyat. Sidang Pleno I CC PKI Kongres VII yang diadakan pada awal 1963, setelah mempertimbangkan kedudukan serta peranan imperialisme AS di Indonesia dari segi politik, ekonomi, militer, dan kebudayaan, telah menyimpulkan bahwa ‘musuh rakyat Indonesia yang nomor satu dan yang paling berbahaya pada waktu sekarang ialah imperialisme

AS’.“ [Politbiro CC PKI, Tesis 45 Tahun PKI, 23 Mei 1920–23 Mei 1965, Harian

Rakjat, 7 Mei 1965].

“Aksi-aksi anti imperialisme Inggris—AS dimulai dengan petisi-petisi, rapat-rapat protes, demonstrasi-demonstrasi, dan kemudian berkembang menjadi aksi pemboikotan terhadap film-film AS. Dalam waktu yang relatif singkat sekali, perjuangan ini memuncak dalam aksi-aksi pengambil-alihan perusahaan-perusahaan Inggris dan AS di Indonesia oleh kaum buruh yang mendapat sokongan luas dari rakyat. Suatu faktor yang ikut menentukan suksesnya aksi-aksi itu ialah karena aksi-aksi tidak hanya aksi massa dari bawah, tetapi juga karena dikombinasi dengan perjuangan di atas. Ini realisasi yang sukses dari garis ‘revolusi dari atas dan dari bawah’.

“Sukses-sukses besar dalam pengambil-alihan perusahan-perusahaan imperialisme Belanda, Inggris, dan AS dan yang dijadikan milik negara atau ditempatkan di bawah pengawasan pemerintah, sesungguhnya adalah lompatan maju, dan merupakan perkembangan ke kiri dari sistem ekonomi Indonesia”.

Mengenai Trotskisme, Tesis 45 Tahun PKI memaparkan, bahwa “suatu kemenangan besar yang dicapai oleh gerakan revolusioner rakyat Indonesia

1 5 , '

ialah pelarangan oleh pemerintah terhadap kegiatan Partai Murba dan organisasi-organisasi pendukungnya yang merupakan sarang kegiatan kaum pemecah-belah Trotskis di Indonesia.

Sementara orang mengira, bahwa masalah Trotskisme bukanlah masalah nasional, melainkan hanya masalah PKI saja. Pandangan yang demikian didasarkan pada anggapan yang keliru, seakan-akan Trotskisme itu adalah suatu ‘sekte’ daripada Marxisme. Memang benar, bahwa pada awalnya Trotskisme adalah suatu penyelewengan borjuis kecil dari Marxisme.

Akan tetapi dengan kemenangan yang gilang-gemilang Revolusi Sosialis Oktober Besar Rusia 1917, yang mendemonstrasikan kebenaran ajaran Lenin tentang revolusi sosialis, a.l. tentang mungkinnya sosialisme menang di satu negeri, maka Trotskisme sebagai suatu sekte dalam gerakan kelas buruh telah digugurkan sepenuhnya oleh sejarah.

Semenjak itu, Trotskisme telah menjadi gerakan yang sama sekali tidak mendasarkan diri atas ajaran-ajaran Marxisme dan sudah tidak ada lagi bau- baunya Marxisme sedikit pun. Kaum Trotskis telah menjadi kekuatan ultra kanan yang bersemboyan ‘kiri’, kekuatan anti-Marxis yang berjubah ‘Marxis’ dan telah menjadi komplotan penjahat politik dengan semboyan-semboyan ‘revolusioner’ yang menjadi barisan depan dari kekuatan kontra- revolusioner internasional. Secara politik dan organisasi, mereka adalah alat yang penting untuk memecah-belah gerakan revolusioner kelas buruh dan gerakan pembebasan nasional rakyat-rakyat tertindas di mana-mana. Di Indonesia kaum Trotskis sudah mulai memecah-belah gerakan revolusioner dalam pemberontakan nasional yang pertama rakyat Indonesia dalam tahun 1926, dan melakukan provokasi ketika kaum komunis mengorganisasi gerakan di bawah tanah untuk melawan fasisme Jepang yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban dari kalangan kader-kader revolusioner. Mereka melakukan usaha-usaha kudeta dan usaha-usaha pecah-belah dengan mendirikan ‘Persatuan Perjuangan’ yang secara munafik menyerukan program dan semboyan-semboyan ‘revolusioner’ dalam Revolusi Agustus, mereka memecah-belah gerakan buruh, mereka bergandengan tangan dengan kaum revisionis modern dalam usaha untuk menjatuhkan PKI, mereka melancarkan polemik-polemik tentang Pancasila dan ‘Soekarnoisme’ pada saat-saat gerakan revolusioner justru semakin membutuhkan kebulatan persatuan untuk mengganyang musuh-musuh revolusi.

Sesungguhnya Trotskisme dalam gerakan revolusioner adalah bagaikan penyakit kanker dalam tubuh manusia, yang menyerang pada saat-saat dan tempat-tempat yang tidak diduga-duga. Itulah sebabnya, mengganyang dan

% , .

mengakhiri Trotskisme merupakan tugas urgen setiap patriot dan orang revolusioner untuk dilaksanakan dalam tahun 1965 juga.”

Mengenai Marxisme, Tesis mengemukakan, bahwa tugas membantu

orang-orang yang jujur dalam mempelajari Marxisme dan menelanjangi pemalsu-pemalsu Marxisme adalah tugas penting proletariat Indonesia dewasa ini dalam rangka membikin Marxisme menjadi milik nasion. Setiap komunis haruslah menyadari benar-benar, bahwa menjadikan Marxisme milik nasion pada hakikatnya adalah usaha untuk memenangkan secara penuh revolusi nasional demokratis dan revolusi sosialis. Oleh karena itu, tugas tersebut menuntut dari setiap komunis untuk bekerja lebih keras, memeras energi dan keringat lebih banyak dan memperbesar pengabdiannya kepada rakyat dan revolusi Indonesia.”

Dengan diterimanya Manipol sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara, RI dengan resmi mempunyai program yang progresif revolusioner bagi seluruh nasion Indonesia untuk menyelesaikan revolusi Indonesia. Kekuatan-kekuatan reaksioner telah mendapat pukulan-pukulan berat dan pengaruh mereka dalam kekuasaan politik sangat berkurang. Pada dewasa ini kekuasaan negara RI mengandung dua aspek, yaitu aspek anti-rakyat dan aspek pro-rakyat. Kekuatan aspek pro-rakyat sudah semakin besar dan memegang inisiatif dan berofensif, sedangkan aspek anti-rakyat walaupun masih cukup kuat, semakin terdesak dalam kedudukan terjepit. PKI berjuang agar aspek pro-rakyat itu semakin kuat dan akhirnya dapat berdominasi, dan agar aspek anti-rakyat dikeluarkan dari kekuasaan negara.

Teori ‘dua aspek kekuasaan negara’ ini tidak tepat. Membagi kekuasaan negara ke dalam dua aspek yaitu aspek pro-rakyat dan aspek anti-rakyat tidaklah sesuai dengan kenyataan objektif. Hakikat kualitas kekuasaan negara ditentukan oleh kualitas angkatan bersenjata yang menjadi tulang- punggung negara. Dalam kenyataan, ABRI adalah utuh sebagai satu-satunya kesatuan yang mendominasi kekuasaan negara. Karena itu, tidak ada aspek yang pro-rakyat dan aspek anti-rakyat dalam kekuasaan negara, kekuasaan negara tetap didominasi oleh Angkatan Bersenjata RI.

Berhubung dengan adanya dua aspek dalam kekuasaan negara RI,

perjuangan revolusioner rakyat Indonesia dilakukan dengan

mengombinasikan perjuangan massa aksi revolusioner rakyat dari bawah, dengan tindakan-tindakan revolusioner badan-badan kekuasaan negara dari atas sesuai dengan prinsip menjalankan revolusi dari atas dan dari bawah’. Aksi-aksi massa rakyat yang berkobar belum bisa dikategorikan revolusi, demikian pula tindakan-tindakan Bung Karno melakukan retooling aparat negara belumlah membawa perobahan kualitatif dalam kekuasaan negara.

1 5 , "

Karena itu tidaklah tepat menilai perkembangan ini sebagai berlangsungnya ‘revolusi dari atas dan dari bawah’.

Tesis menilai, bahwa Indonesia berada dalam situasi revolusioner. Ciri-ciri utamanya adalah:

(1) massa rakyat sudah aktif berjuang untuk adanya perubahan yang dapat memperbaiki penghidupan mereka;

(2) segi anti-rakyat dalam kekuasaan politik makin terdesak, segi pro- rakyat makin unggul dan politik pemerintah makin banyak yang disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan rakyat; dan

(3) aksi-aksi massa rakyat makin meluas sehingga peranan massa rakyat makin besar dan makin menentukan dalam kehidupan masyarakat dan politik negara.

Dalam situasi demikian, semboyan kita ialah: ‘Ofensif berarti sukses dan menang, defensif berarti gagal dan kalah’.

Tesis menekankan pentingnya dengan konsekuen melaksanakan Trisakti

Tavip, pentingnya garis umum penggalangan front persatuan nasional dengan rumus do-do-re-mi-fa, ( 1-1-2-3-4 ), yaitu: 1. tenaga memimpin ialah kelas buruh, 1 tenaga pokok ialah kaum tani; 2 persekutuan kelas buruh dan kaum tani sebagai basis front persatuan nasional; 3 kekuatan pendorong revolusi ialah buruh, tani, dan borjuis kecil yang merupakan rakyat pekerja, dan 4 kekuatan revolusioner yaitu buruh, tani, borjuis kecil, dan borjuasi nasional yang merupakan kekuatan rakyat yang dirugikan oleh imperialisme dan feodalisme.

Mengenai Nasakom, Tesis mengemukakan bahwa kerja sama politik Nasakom adalah ciri yang khas dalam hal penggalangan front nasional revolusioner di Indonesia. Ide persatuan Nasakom, yang sudah dikemukakan oleh Presiden Soekarno dalam tahun 1926, adalah pencerminan kenyataan kehidupan politik dalam masyarakat Indonesia, di mana tiga aliran politik yang besar, yaitu nasionalisme, agama, dan komunisme, berakar dan berpengaruh dalam sejarah gerakan kemerdekaan nasional. Jasa yang besar dari Bung Karno bagi revolusi dan rakyat Indonesia bahwa beliau sebagai putra Indonesia berhasil menggali dan mengembangkan tradisi kegotong- royongan Nasakom itu. Juga Lenin dengan kearifan seorang Marxis yang senantiasa dihangati oleh apinya internasionalisme proletar, telah menunjukkan pada kelas buruh dan rakyat Indonesia, jauh sebelum kelas buruh Indonesia mendirikan partainya, apa yang oleh Bung Karno dicetuskan sebagai ide Nasakom tersebut dalam artikel yang berjudul ‘Kebangkitan Asia’ (1913). (Dalam artikelnya ini, Lenin menilai tinggi kebangkitan gerakan nasionalis dengan mengangkat panji Islam, ... dan

# , .

sejumlah besar penduduk turunan Tionghoa di Jawa sudah membawa gerakan revolusioner dari tanah airnya.” Pen.) [Lenin, Probuzhdyeniye Azii—

Kebangkitan Asia, Kumpulan Karya, edisi Rusia, cetakan ke-5, Jilid 23,

hal.145—146, Moskwa, 1961].

Dalam menanggulangi intrik-intrik dan racun perpecahan yang disebarkan oleh musuh-musuh revolusi dan membikin lebih baik lagi kerja sama Nasakom, PKI telah mengajukan empat pasal ‘Tata Krama Nasakom’ sebagai senjata yang paling ampuh untuk mengurus kontradiksi-kontradiksi yang timbul antara semua kekuatan revolusi. Empat kode etik atau empat fasal tatakrama Nasakom itu yalah:

Pertama: setiap aliran politik dalam Nasakom harus setia pada Manipol dan pedoman-pedoman pelaksanaannya.

Kedua: di kalangan Nasakom dan semua golongan Manipolis tidak boleh ada konfrontasi, tetapi yang ada adalah konsultasi, musyawarah untuk mufakat dan kompetisi Manipolis. Kompetisi Manipolis berarti berlomba dalam mengabdi Rakyat, dalam melaksanakan Ampera.

Ketiga: di kalangan Nasakom tidak hanya harus bisa menerima, tapi juga harus bisa memberi. Hal ini juga dinyatakan dalam tulisan Bung Karno Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme tahun 1926.

Keempat: masing-masing aliran dalam Nasakom harus menjaga supaya tidak menerobos pekarangan aliran lain, sampai merugikan aliran lain; jangan sampai, misalnya sesuatu aliran politik membikin interpretasi tentang ajaran lain yang merugikan aliran lain itu. Jangan sampai terjadi orang-orang yang tidak tahu alif bengkoknya Marxisme membikin uraian- uraian atau tulisan tentang Marxisme atau Komunisme yang bertentangan dengan Marxisme. Serahkan interpretasi tentang ajaran, tiap aliran kepada aliran politik yang bersangkutan.

Presiden Sukarno dalam amanat ‘Berdikari’nya dengan tegas menyatakan: ‘Aku setuju dengan adanya suatu tatakrama Nasakom. Di Indonesia, perkembangan Nasionalisme, perkembangan Agama, dan perkembangan Komunisme dijamin. Ketiga-tiga aliran itu harus bekerjasama secara rukun. Masing-masing tidak diperkenankan membicarakan aliran yang lain secara yang merugikan aliran lain itu. Juga propaganda anti Nasionalisme, anti Agama dan anti Komunisme dilarang’.

Pada pokoknya 4 fasal tatakrama Nasakom itu sudah diterima oleh seluruh nasion, mula-mula liwat Deklarasi Bogor dan kemudian diperkuat dengan ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 tentang Prinsip-Prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin. Tatakrama Nasakom ini merupakan senjata yang tepat untuk mengurus kontradiksi di antara sesama kekuatan revolusi dan untuk lebih membulatkan tekad Rakyat

1 5 , !

Indonesia baik dalam meningkatkan konfrontasi dengan ‘Malaysia’ maupun untuk merampungkan tugas-tugas revolusi Indonesia.

Tesis menyatakan bahwa Revolusi Indonesia sekarang sudah mempunyai Garis Umumnya yang tepat, yaitu: ‘Dengan front nasional yang bersokoguru buruh dan tani, berporos Nasakom dan berlandasan idiil Pancasila, menyelesaikan Revolusi nasional demokratis, menuju ke sosialisme Indonesia’. Setia kepada Garis Umum ini, PKI tidak hanya menerima, tetapi dengan tak kenal jemu terus menanamkan di dalam fikiran Rakyat Indonesia mahapentingnya Pancasila sebagai alat dan filsafat pemersatu. Kaum Komunisto-phobi memfitnah, bahwa PKI menerima Pancasila ‘hanya’ sebagai alat pemersatu. Tetapi PKI telah menjawab, bahwa PKI menerima Pancasila justru sebagai alat pemersatu. Di sinilah bedanya antara PKI dan kaum Komunisto-phobi atau Manipolis-munafik yang meremehkan masalah persatuan kekuatan- kekuatan revolusi. PKI menerima Pancasila tidak sebagai ‘taktik’ dalam arti semacam tipu muslihat, melainkan berdasarkan analisa Marxis yang bertolak dari pandangan materialisme dialektik bahwa Pancasila merupakan kenyataan yang mencerminkan keyakinan-keyakinan yang hidup di dalam masyarakat Indonesia, sehingga PKI menerima Pancasila sebagai suatu keseluruhan yang tidak terpotong-potong, karena kekuatan Pancasila terletak justru di dalam kesatuannya. Atau sebagai yang dikatakan oleh Bung Karno, penggali Pancasila itu sendiri bahwa jika diperas Pancasila menjadi Trisila, dan diperas lagi menjadi Ekasila yaitu gotongroyong.

Sikap PKI yang menerima Pancasila adalah sikap yang objektif dan ilmiah dan sekali-kali tidak berarti bahwa PKI telah menjadi revisionis. Sikap PKI yang tepat terhadap Pancasila ini justru telah membikin makin terpojoknya kaum Komunisto-phobi yang karena kekalapannya telah melakukan usaha dari yang halus sampai yang paling kotor untuk memfitnah bahwa sikap PKI tersebut adalah sikap yang ‘munafik’.

Mengenai Marxisme Tesis menilai bahwa berkat anjuran-anjuran Bung Karno, kian banyak orang mempelajari Marxisme. Karena perkembangan ini, pimpinan Partai secara berkelebihan ingin menjadikan Marxisme milik nasion Indonesia. Dikemukakan bahwa menjadikan Marxisme milik nasion pada hakekatnya adalah untuk memenangkan secara penuh revolusi nasional demokratis dan revolusi sosialis. Dalam hal ini telah dilupakan watak klas dari Marxisme, yaitu Marxisme adalah ideologi klas buruh, hingga tidak mungkin untuk dijadikan milik nasion yang terdiri dari berbagai klas.

Tesis mengemukakan bahwa kenyataan objektif yang dihadapi PKI, yaitu, negeri kepulauan yang luas, yang banyak penduduknya, tetapi tidak merata

, .

dan terdiri dari banyak sukubangsa yang kemajuannya tidak sama, mengharuskan PKI untuk menjadikan dirinya partai kader dan partai massa sekali gus, berdisiplin baja, tersebar di seluruh negeri dan terkonsolidasi dalam ideologi, politik dan organisasi. Tanpa Partai yang demikian, tidaklah mungkin bagi PKI membawa maju gerakan revolusioner Rakyat Indonesia ke pintu gerbang kemenangan. Teori kepartaian Marxis-Leninis menetapkan Partai itu adalah detasemen pelopor dari klas, jadi haruslah Partai kader, tidak mungkin sekali gus sebagai Partai massa. Partai massa tidak mungkin menjalankan prinsip organisasi sentralisme demokratis. Menetapkan pembangunan Partai kader dan Partai massa sekaligus adalah berlawanan dengan teori Partai tipe baru ajaran Lenin. Walaupun Tesis mengemukakan bahwa “Haruslah senantiasa diingat, bahwa PKI adalah Partai tipe baru,

bentuk tertinggi organisasi dan pelopor dari klas buruh, dan ini hanya mungkin

apabila PKI secara teguh mendasarkan dirinya kepada prinsip-prinsip sentralisme demokratis. Melaksanakan sentralisme demokratis dalam kehidupan Partai secara konsekwen adalah syarat utama untuk terdapatnya disiplin baja di dalam Partai”. Yang terjadi yalah melenyapkan kepeloporan Partai memimpin revolusi”.

Dalam dokumen Suar Suroso – Akar dan Dalang (Halaman 125-128)