• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permukiman Kampung Kota

Permukiman Kampung kota adalah bagian dari kota yang memiliki ciri-ciri tersendiri bila dibandingkan dengan kawasan kota lainnya. Secara harfiah kampung kota adalah lingkungan permukiman desa yang terletak di dalam wilayah kota. Kampung kota adalah lingkungan permukiman yang khas Indonesia dan ditandai oleh ciri kehidupan yang terjalin dalam ikatan kekeluargaan yang erat.

Permukiman kampung kota sudah menggejala sejak pemerintahan Hindia Belanda. Menurut Wiryomartono (1999) definisi yang tepat untuk kampung kota adalah permukiman pribumi yang masih meneruskan tradisi kampung halamannya, sekalipun tinggal di kota. Permukiman kampung kota merupakan permukiman yang tumbuh di kawasan urban tanpa perencanaan infrastruktur dan jaringan ekonomi kota. Apabila dikaji berdasarkan strukturnya, kampung kota merupakan salah satu elemen pembentuk kota. Secara fisik kondisi kampung kota saat ini pada umumnya buruk. Hal ini terutama dipicu masalah kepadatan dan tidak terorganisirnya struktur fisik lingkungan kampung kota tersebut. Ketiadaan struktur formal teritorialitas ini sering dikaitkan dengan permukiman ilegal. Dengan kata lain tidak terstrukturnya permukiman kampung kota dikarenakan tidak adanya penataan ruang yang didukung oleh infrastruktur yang terprogram secara formal.

Ciri-ciri permukiman kampung kota

Permukiman kampung kota sering kali disebut sebagai permukiman sektor informal karena banyak dihuni oleh orang-orang dengan pekerjaan yang bergerak di bidang informal. Lingkungan permukiman kampung kota sebagai suatu lingkungan fisik arsitektural sering digambarkan sebagai lingkungan yang miskin struktur, tidak teratur, dan terkesan kumuh. Hal itu terjadi, karena selain permukiman ini seringkali tidak tersentuh pola kebijakan tata ruang kota, sehingga akses masyarakat terhadap berbagai kepentingannya kurang terakomodasi. Di sisi lain kesadaran masyarakat dan latar belakang masyarakat itu sendiri seringkali kurang memahami pentingnya lingkungan permukiman yang berkualitas bagi mereka, baik secara fisik maupun sosial. Ciri-ciri permukiman kampung kota yang lebih sering disorot karena dianggap menimbulkan permasalahan bagi kawasan kota antara lain:

a. Tingginya kepadatan penduduk menyebabkan kurangnya ruang untuk fungsi sosial Hal ini mengakibatkan rendahnya ketersediaan ruang terbuka bagi sarana berinteraksi antar warga. Akibatnya tidak jarang fasilitas umum beralih fungsi menjadi pendukung fungsi sosial yang diperlukan masyarakat.

b. Tingkat ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang rendah.

Kurangnya fasilitas sosial karena kepadatan penduduk yang tinggi mengakibatkan diversifikasi fungsi gang/jalan di kampung kota yang sekaligus menjadi tempat untuk meletakkan properti dan tempat bersosialisasi warga masyarakat.

c. Kurangnya infrastruktur

Tingginya kepadatan bangunan di kampung-kampung perkotaan tidak jarang mengakibatkan minimnya lahan yang tersedia bagi sarana infrastruktur. Kondisi ini merupakan salah satu ciri rendahnya kualitas suatu lingkungan permukiman d. Tataguna lahan yang tidak teratur

Pemanfaatan lahan hendaknya direalisasikan sesuai rencana peruntukannya. Hal ini merupakan strategi untuk mencapai keteraturan tata guna lahan. Pemanfaatan lahan secara tidak teratur dapat mengakibatkan tumpang tindihnya fungsi lahan yang pada akhirnya akan mempengaruhi keberlanjutan fungsi ruang secara luas. e. Kondisi rumah yang kurang sehat

Hunian yang kurang memadai mengakibatkan kondisi yang tidak sehat bagi penghuninya. Jendela-jendela tidak lagi berfungsi sebagai bukaan untuk memasukkan sinar matahai dan udara ke dalam hunian tetapi beralih fungsi sebagai tempat jemuran karena hunian tidak lagi memiliki lahan kosong.

Sebagai suatu komunitas, kampung kota dapat mempertahankan kelestariannya karena berinteraksi dengan struktur bagian kota lainnya dengan fungsi-fungsi spesifik yang terdapat di dalamnya. Kampung kota berfungsi sebagai perantara kehidupan kota dengan keluarga yang hidup di kampung, yang dilakukan antara lain dengan pertukaran sumber daya antara komunitas dengan masyarakat kota pada umumnya Menurut Wiryomartono (1999) terdapat dua pokok masalah dan potensi yang berkaitan dengan kehidupan bermukim masyarakat kampung kota yaitu:

Pertama, Kenyataan umum menunjukkan bahwa masyarakat kampung kota pada umumnya adalah para penduduk asli ketika daerah tersebut masih belum masuk pada struktur kota modern, dan migrasi dari desa yang mengalami modernisasi

pertanian. Penduduk pada kawasan kampung kota memiliki kemampuan adaptasi yang lebih tinggi terhadap segala bentuk dan struktur ruang hidup. Hal ini merupakan potensi untuk menghasilkan bentuk ruang tinggal yang tidak platonis. Dengan demikian proses pembangunan struktur fisiknya pun tidak dapat dilakukan dengan massal tetapi lahir spontan untuk nilai aksesibilitas yang efektif. Secara arsitektural, lingkungan tempat tinggal di permukiman kampung kota merupakan suatu kesatuan dalam ketidak teraturan. Dari keadaan tersebut dibutuhkan metode perencanaan dan perancangan lingkungan binaan untuk bermukim secara partisipatif. Metode partisipatif pada masyarakat kampung kota bukanlah sekedar kebutuhan untuk menciptakan rasa saling memiliki tetapi secara eksistensial mampu membangun pengertian bahwa mereka hidup dalam satu Labenswelt (dunia hidup) yang menjadi home mereka selama mungkin.

Kedua, sejak modernisasi pertanian di pedesaan terus berlangsung, Indonesia menghadapi suatu abad yang dampak dan pengaruhnya sama seperti yang terjadi di Eropa Barat dan Amerika Utara yaitu globalisasi ekonomi/telekomunikasi. Masyarakat kampung-kota yang semula tradisional agraris dalam kebiasaan hidupnya, tidak lagi bisa bertahan dari proses perubahan karena ada dan berlangsungnya modernitas. Perubahan-perubahan ini bukan hanya dapat dianggap sebagai krisis, tetapi juga peluang yang akan mampu membentuk kerjasama sosial ekonomi dan kultural antara sektor modern dan sektor informal (kampung-kota). Kampung-kota itu sendiri merupakan bagian dari kota, walaupun dengan ciri-ciri tersendiri bila dibandingkan dengan kota lain yang lebih formal dan terorganisir ruang hidupnya. Sebagai sub- sistem dari kota, kampung kota dengan sifat komunitasnya adalah:

‰ Sistem perantara antara makro sistem masyarakat dengan mikro sistem keluarga

‰ Terdiri dari penduduk yang dapat diidentifikasi dengan jelas, karena memiliki rasa kebersamaan dan kesadaran sebagai warga suatu kesatuan

‰ Mengembangkan dan memiliki suatu keteraturan sosial dan spatial, yang ditumbuhkan dari komunitas itu sendiri (disamping ketentuan oleh kota).

‰ Menunjukkan differensiasi dalam fungsi-fungsi, sehingga bukan merupakan wilayah hunian saja namun di dalamnya terdapat warung, bengkel, salon, dsb.

‰ Menyesuaikan diri dengan lingkungan yang lebih luas melalui pertukaran sumber daya.

‰ Menciptakan dan memelihara berbagai bentuk organisasi dan kelembagaan, yang akhirnya memenuhi kebutuhan makrosistem masyarakat dan mikrosistem keluarga.

Kampung kota selama ini selalu disebut sebagai permukiman sektor informal karena banyak dihuni oleh masyarakat dengan penghasilan tidak tetap. Namun dugaan ini tidak sepenuhnya benar karena saat ini pegawai negeri, dan wiraswasta ekonomi kecil (home industry), merupakan populasi yang tak dapat diabaikan jumlahnya.

Penyebab terjadinya penurunan kualitas permukiman kampung kota

LPM ITB (1998) mengidentifikasi bahwa faktor penyebab timbulnya penurunan kualitas permukiman kampung di kota Bandung adalah:

1) Terbatasnya kemampuan ekonomi masyarakat.

Masyarakat berpendapatan rendah menggunakan lahan untuk kegiatan permukiman dan usaha yang kurang mempertimbangkan aspek legalitas tanah sehingga menimbulkan ketidakteraturan penggunaan lahan yang diperburuk oleh rendahnya kualitas prasarana akibat terbatasnya kemampuan masyarakat.

2) Dampak kegiatan eksternal dan internal kawasan.

Buruknya sistem drainase, alami maupun buatan, mendorong terbentuknya kekumuhan yang diperparah oleh pembuangan limbah yang relatif tinggi dan rendahnya kemampuan penduduk dalam mengantisipasi permasalahan lingkungan. Faktor kegiatan eksternal, seperti industri-industri besar yang menghasilkan limbah dalam jumlah besar dan kurang terkelola, memperberat beban fisik lingkungan 3) Dampak faktor eksternal.

Permukiman kumuh timbul akibat pertumbuhan pesat penduduk dan kegiatannya yang tidak mampu ditampung oleh sumberdaya yang ada

4) Keterbatasan sumber daya lahan.

Kekumuhan disebabkan oleh keterbatasan lahan dalam menampung permukiman, ini terjadi khususnya di tepi sungai. Permukiman kumuh ini membatasi fungsi sungai sebagai bagian sistem drainase

Kurniasih (2007) membagi penurunan kualitas lingkungan permukiman dengan a. Sebab kumuh, adalah kondisi kemunduruan atau kerusakan lingkungan hidup dilihat dari: (1) segi fisik, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam seperti air dan udara; (2) masyarakat atau sosial: yaitu gangguan yang ditimbulkan

oleh manusia sendiri seperti kepadatan bangunan, lalulintas, sampah dan sejenisnya

b. Akibat kumuh: kumuh adalah akibat perkembangan dari gejala-gejala yang antara lain: (1) kondisi perumahan yang buruk, (2) penduduk yang terlalu padat, (3) fasilitas lingkungan yang kurang memadai, (4) tingkah laku menyimpang, (5) budaya kumuh, (6) apatis dan isolasi.

Sebab dan akibat kumuh ini memunculkan lingkungan permukiman kumuh, yaitu kawasan dimana rumah dan kondisi hunian masyarakat di kawasan tersebut sangat buruk. Rumah maupun sarana dan prasarana lingkungan yang ada tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik standar kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana air bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya.

Rumah dan Permukiman

Menurut Undang-undang RI No. 4 Tahun 1992. Rumah adalah struktur fisik yang terdiri dari ruangan, halaman dan area sekitarnya yang digunakan sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga. World Health Organization (WHO) merumuskan definisi rumah sebagai struktur fisik atau bangunan untuk tempat berlindung dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosialnya baik, untuk kesehatan keluarga dan individu (Komisi WHO Mengenai Kesehatan Lingkungan, 2001)

Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa rumah bukan hanya bangunan fisik yang merupakan tempat berlindung dan beristirahat untuk memenuhi kebutuhan fisiologis manusia namun rumah juga adalah sebuah tempat dimana kebutuhan- kebutuhan dasar pada hirarki yang lebih tinggi dapat dipenuhi. Rumah sesungguhnya merupakan sarana pembinaan keluarga untuk menumbuhkan kehidupan yang sehat secara fisik, mental dan sosial seperti yang diungkapkan oleh Hayward (1987) yang dikutip Budihardjo (1998) mengenai konsep tentang rumah, yaitu: (a) Rumah sebagai pengejawantahan diri: rumah sebagi simbol dan pencerminan tata nilai selera pribadi penghuni, (b) Rumah sebagai wadah keakraban: rasa memiliki, kebersamaan, kehangatan, kasih dan rasa aman tercakup dalam konsep ini, (c) Rumah sebagai tempat menyendiri dan menyepi: rumah disini merupakan tempat melepaskan diri dari

dunia luar, dari tekanan dan ketegangan kegiatan rutin, (d) Rumah sebagai akar dan kesinambungan: dalam konsep ini rumah atau kampung halaman dilihat sebagai tempat untuk kembali pada akar dan menumbuhkan rasa kesinambungan dalam untaian proses ke masa depan, (e) Rumah sebagai wadah kegiatan utama sehari-hari, (f) Rumah sebagai pusat jaringan sosial dan (g) Rumah sebagai struktur fisik

Fungsi rumah sebagai wadah untuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia, menurut Budiharjo (1998) dalam bukunya Arsitektur Perumahan Perkotaan, memiliki tiga fungsi utama, yaitu: (1) Rumah sebagai tempat tinggal, dimana seseorang bermukim untuk mencari ketenangan, lahir maupun batin; (2). Rumah sebagai mediator antara manusia dengan dunia yang memungkinkan terjadinya suatu dialektika antara manusia dengan dunianya. Dari keramaian dunia, manusia menarik diri ke dalam rumahnya dan tinggal dalam ketenangan, untuk kemudian keluar lagi menuju dunia luar, bekerja, dan berkarya. (3) Rumah sebagai arsenal, dimana manusia mendapatkan kekuatannya kembali, setelah melalukan pekerjaan yang melelahkan. Dalam rumah manusia makan, minum, dan tidur untuk memperoleh kembali kekuatannya.

Johan Silas (2002) mengatakan bahwa fungsi rumah yang diangankan sejak jaman nenek moyang manusia, masih tetap sama yaitu sebagai terminal peralihan antara kehidupan alami dengan kehidupan privat. Selanjutnya dikatakan bahwa rumah yang baik akan melindungi penghuninya secara badaniah dan rohaniah. Namun demikian rumah juga perlu menjadi perangsang timbulnya gagasan hidup (inspirator) menuju ke keadaan yang lebih baik

Sejalan dengan perkembangan sosial kultural manusia, rumah sebagai suatu objek individual tidak terpisahkan dari permukiman/perumahan sebagai objek komunitas. Pengertian permukiman secara jelas dan rinci dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman yang mengatakan bahwa Permukiman mengandung pengertian sebagai bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Dalam permukiman perlu ada prasarana dan sarana lingkungan serta utilitas lingkungan untuk mendukung berjalannya fungsi permukiman dengan optimal.

Prasarana lingkungan pemukiman adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan pemukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Prasarana utama ini meliputi jaringan jalan, jaringan pembuangan air limbah dan sampah, jaringan saluran air hujan, jaringan pengadaan air bersih, jaringan listrik, telepon, gas, dan sebagainya. Jaringan primer prasarana lingkungan adalah jaringan utama yang menghubungkan antara kawasan pemukiman atau antara kawasan pemukiman dengan kawasan lainnya. Jaringan sekunder prasarana lingkungan adalah jaringan cabang dari jaringan primer yang melayani kebutuhan di dalam satu satuan lingkungan pemukiman.

Sarana lingkungan pemukiman adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Contoh sarana lingkungan pemukiman adalah fasilitas pusat perbelanjaan, pelayanan umum, pendidikan dan kesehatan, tempat peribadatan, rekreasi dan olah raga, pertamanan, pemakaman. Utilitas lingkungan umum mengacu pada sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan pemukiman, meliputi jaringan air bersih, listrik, telepon, gas, transportasi, dan pemadam kebakaran. Utilitas umum membutuhkan pengelolaan profesional dan berkelanjutan oleh suatu badan usaha.

Sehubungan dengan bahasan mengenai rumah dan fungsi rumah, maka permukiman sebagai tempat dimana rumah-rumah berada, memiliki tiga fungsi utama yaitu: (1) tempat perlindungan secara fisik (phisical shelter), (2) setting (tempat) yang membentuk hubungan antara struktur di dalam (keluarga) dan ketetanggaan dimana setiap anggota keluarga dan komunitas melakukan aktivitas keseharian, dan (3) suatu pengelompokkan keluarga ke dalam komunitas yang lebih besar.

Bagi komunitas, perumahan merepresentasikan aspirasi kolektif yang dipengaruhi oleh proses sosial ekonomi. Rumah juga dapat mengeskpresikan gaya hidup penghuni yang dipengaruhi oleh aspek psikologis sosial, ekonomi, dan keseimbangan estetik.

Atas dasar itu, maka kualitas rumah dan permukiman menjadi sangat penting dalam mewadahi kebutuhan dan aspirasi penghuni dalam fungsinya memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial penghuni dan warganya dengan baik.

Apabila pengertian permukiman dikaji sesuai dengan konteks yang dibahas dalam penelitian ini maka permukiman dapat diimplementasikan sebagai suatu tempat

bermukim manusia yang menunjukkan suatu tujuan tertentu. Dengan demikian permukiman seharusnya memberikan kenyamanan kepada penghuninya termasuk orang yang datang ke tempat tersebut.

Standar rumah dan perumahan sehat/layak huni

Rumah sehat/layak huni

Rumah dan permukiman yang sehat merupakan salah satu sarana untuk mencapai derajat kesehatan yang optimum. Untuk memperoleh rumah yang sehat ditentukan oleh tersedianya sarana sanitasi rumah dan perumahan. Sanitasi tersebut antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan kotoran manusia, dan penyediaan air bersih (Azwar, 1990)

Menurut American Public Health Association (APHA) rumah dikatakan sehat apabila: (1) memenuhi kebutuhan fisik dasar seperti temperatur lebih rendah dari udara di luar rumah, penerangan yang memadai, ventilasi yang nyaman, dan kebisingan antara 44 – 45 dbA; (2) memenuhi kebutuhan kejiwaan; (3) melindungi penghuninya dari penularan penyakit menular yaitu memiliki penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah dan saluran pembuangan air limbah, dan memenuhi syarat kesehatan, serta (4) melindungi penghuninya dari kemungkinan terjadinya kecelakaan dan bahaya kebakaran seperti fondasi rumah yang kokoh, tangga yang tidak curam, bahaya kebakaran karena arus pendek listrik, keracunan, bahkan dari ancaman kecelekaaan lalulintas.

Komponen yang harus dimiliki rumah sehat menurut Ditjen Cipta Karya, (1997) adalah: (1) fondasi yang kuat untuk meneruskan beban bangunan ke tanah dasar, memberi kestabilan bangunan dan merupakan konstruksi penghubung antara bangunan dengan tanah; (2) lantai kedap air dan tidak lembab, tinggi minimum 10 cm dari pekarangan dan 25 cm dari badan jalan, bahan kedap air untuk rumah panggung dapat terbuat dari papan atau anyaman bambu; (3) memiliki jendela dan pintu yang berfungsi sebagai ventilasi dan masuknya sinar matahari dengan luas minimum 10% luas lantai; (4) dinding rumah kedap air yang berfungsi untuk mendukung atau menyangga atap, menahan angin dan air hujan, melindungi dari panas dan debu dari luar serta menjaga kerahasiaan (privacy) penghuninya; (5) langit-langit untuk menahan

dan menyerap panas terik matahari minimum 2,4 m. dari lantai, bisa dari bahan papan anyaman bambu, tripleks atau gipsum serta (6) atap rumah yang berfungsi sebagai penahan panas sinar matahari serta melindungi masuknya debu, angin dan air hujan.

Johan Silas (2002) menyebutkan bawah sebuah rumah disebut layak huni bila ada keterpaduan yang serasi antara: (1) perkembangan rumah dan penghuninya, artinya rumah bukan hasil akhir yang tetap tetapi proses yang berkembang, (2) rumah dan lingkungan (alam) sekitarnya, artinya lingkungan rumah dan lingkungan sekitarnya terjaga selalu baik, (3) perkembangan rumah dan perkembangan kota, artinya kota yang dituntut makin global dan urbanized memberi manfaat positif bagi kemajuan warga kota di rumah masing-masing, (4) perkembangan antar kelompok warga dengan standar layak sesuai keadaan dan tuntutan masing-masing kelompok, artinya tiap kelompok warga punya kesempatan sama untuk berkembang sesuai dengan tuntutan yang ditetapkan sendiri. (5) standar fisik dan dukungan untuk maju bagi penghuni, artinya standar fisik rumah tidak sepenting dan menentukan seperti peningkatan produktivitas yang diberikannya terhadap mobilitas penghuninya.

Kaidah perancangan rumah layak huni menurut Johan Silas (2002) perlu memperhatikan hal-hal: (1) Terdapat fleksibilitas penataan ruang, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga rumah tidak harus selalu disekat-sekat dan terbuka peluang penggunaan ganda dan over lapping, (2) Memilih bahan bangunan yang mudah diperoleh setempat dan sudah akrab dipakai oleh warga dengan kesulitan konstruksi yang mudah diatasi oleh keahlian setempat, (3) Penataan ruang yang dilakukan fleksibel dan multi guna serta tidak terkotak-kotak kecil berguna untuk menjamin kedinamisan gerak dan berbagai aktivitas lain dari penghuni serta untuk memberi keleluasaan aliran udara dan cahaya tinggi. Selanjutnya pola penataan ruang yang terbuka ini juga akan memberi kesan luas sehingga tercapai rasa psikologis yang melegakan penghuni guna merangsang produktivitas kehidupan yang tinggi. (4) Tampilan bangunan harus serasi dengan tampilan bangunan yang lazim berlaku di sekitarnya. Prinsip bangunan tropis dengan teritis yang lebar, teduh, dan angin mudah lewat serta tidak tempias oleh terpaan hujan lebat merupakan dasar yang harus diperhatikan secara sungguh-sungguh. Perlu pula memberi muatan lokal yang diambil dari prinsip dan unsur arsitektur tradisional setempat.

Permukiman sehat/layak huni

Menurut Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan Lingkungan (2001), permukiman atau perumahan yang sehat adalah konsep dari perumahan sebagai faktor yang dapat meningkatkan standar kesehatan penghuninya. Konsep tersebut melibatkan pendekatan sosiologis dan teknis pengelolaan faktor resiko dan berorientasi pada lokasi bangunan, kualifikasi, adaptasi, manajemen, penggunaan dan pemeliharaan rumah dan lingkungan di sekitarnya, serta mencakup unsur-unsur apakah permukiman/perumahan tersebut memiliki penyediaan air minum dan sarana yang memadai untuk memasak, mencuci, menyimpan makanan, serta pembuangan kotoran manusia maupun limbah lainnya.

Johan Silas (2002) menyebutkan kaidah perencanaan kawasan perumahan dan permukiman yang layak perlu memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal berikut: (1) penggunaan lahan yang efektif dan efisien dan terkait dengan kegiatan ekonomi dalam arti luas, (2) orientasi bangunan/gedung perlu memperhatikan arah angin di samping posisi dan pergerakan matahari. Jalan dan lorong terutama disearahkan dengan aliran angin sebagai koridor angin yang menjaga kesejukan lingkungan, (3) jalan mobil hanya disediakan sebatas kebutuhan nyata untuk keamanan dan keadaan darurat. Parkir mobil sebaiknya terpusat sehingga jalan/lorong dijadikan sebagai taman komunal, (4) tersedia fasilitas perumahan yang diadakan dan diselenggarakan secara komunal, termasuk ruang terbuka hijau serta rekreasi memakai akses utama melalui berjalan kaki dari perumahan yang ada. Sistem sarana dan prasarana harus terkait dengan sistem kota yang lebih besar.

Prasarana lingkungan permukiman adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Prasarana utama meliputi jaringan jalan, jaringan air hujan, jaringan pengadaan air bersih, jaringan listrik, telepon, gas dan sebagainya. Sarana lingkungan permukiman adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Contoh sarana lingkungan permukiman adalah fasilitas pusat perbelanjaan, pelayanan umum, pendidikan dan kesehatan, tempat peribadatan, rekreasi dan olahraga, pertamanan, pemakaman.

Menurut Sastra (2006) kata permukiman merupakan sebuah istilah yang tidak hanya berasal dari satu kata saja. Permukiman terdiri atas dua kata yang mempunyai

arti yang berbeda, yaitu: (1) Isi yang menunjuk kepada manusia sebagai penghuni maupun masyarakat di lingkungan sekitarnya dan (2) Wadah yang menunjuk pada fisik hunian terdiri dari alam dan elemen-elemen buatan manusia.

Kesatuan antara manusia sebagai penghuni (isi) dengan lingkungan hunian membentuk suatu komunitas yang secara bersamaan membentuk permukiman. Menurut Sastra (2005), elemen permukiman terdiri dari beberapa unsur yaitu alam, manusia, masyarakat, bangunan/ rumah, dan jaringan/networks.

‰ Alam. Alam disini meliputi kondisi geologi, topografi, tanah, air, tetumbuhan, hewan dan iklim

‰ Manusia. Di dalam satu wilayah permukiman, manusia merupakan pelaku utama kehidupan di samping makhluk hidup lain seperti hewan, tumbuhan dan lainnya. Sebagai makhluk yang paling sempurna dalam kehidupannya manusia membutuhkan berbagai hal yang dapat menunjang kelangsungan hidupnya, baik itu kebutuhan biologis (ruang, udara, temperatur dan lain-lain), perasaan dan persepsi, kebutuhan emosional serta kebutuhan akan nilai-nilai moral.

‰ Masyarakat. Masyarakat merupakan kesatuan sekelompok orang (keluarga) dalam suatu permukiman yang membentuk suatu komunitas tertentu. Hal-hal yang