xvi
UNTUK MENINGKATKAN
KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN
(KASUS: PERMUKIMAN KAMPUNG KOTA DI BANDUNG)
SRI HANDAYANI
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
i
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul:
PARTISIPASI MASYARAKAT KAMPUNG KOTA UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN
(Kasus: Permukiman Kampung Kota Di Bandung)
adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada Perguruan Tinggi manapun. Bahan rujukan dan sumber informasi yang berasal atau dikutip pada karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Februari 2008
ii
Settlement Quality Environment (Case: Urban Village Settlement in Bandung City). Under a Team of Advisors with Basita Ginting as Chairman; Prabowo Tjitropranoto; Margono Slamet as Member of the Advisory Commitee
Most low-income comers and urban settlers live in urban villages, some of which are squats and slums. Remaining their growth uncontrolled will result in low community health, high vulnerability to fire hazard, irregular order of land use, and high risk to flood. Eviction does not really solve the problem. It tends to take aside humanity, not to mention evictee’s tendency to squat other locations as a result of it. It is imperative that the condition be revised in avoidance of deteriorating environment.
An effective model of empowerment is required to build urban villager’s awareness in constructing quality environment as a prerequisite for quality life. The society potency should be explored so that its members participate optimally in improving the quality of their settlement. This in turn will achieve quality settlement and quality life for the settlers themselves.
This research aim at (1) Identifying the physical characteristics of urban village settlement and identifying the capital social, (2) Explain and analyzing the perception on environmental quality and the motivation to increase environment facility condition, (3) Identifying level of requirement of house and settelemnt. (4) Analyzing the characteristics of community participation in improving environment quality and Analyzing the factors which may influence community participation in improving settlement quality, (5) Arranging a right empowerment strategy for the community to develop the quality of its settlement.
Conducted in several urban villages in Bandung, the research selects four (4) loci as area samples. They are Arjuna sub-district, Cikawao sub-district, Kebon Pisang sub-district, and Cibangkong sub-district. The data was collected along April 2006 through August 2006, using closed-questionnaire interview and observation. The quantitative data is examined by Spearman’s rank correlation test, which is further tested with regression analysis and path analysis.
The research shows: some individual characteristics and the physical characteristics of urban village settlement which influence modal social. The factors are educational level, occupation, outcome, availability and condition of facilities and basic facilities of settlement area. Some factors which directly result in the participation to improve environment quality are the perception on environment quality and the motivation to increase environment facility condition.
Considering the aforementioned results, the endeavor to improve settlement quality should be emphasized on correcting society perception on environment quality which will generate society motivation to make better environment quality, by which the participation to increase environment quality grows.
iii
Kampung Kota Di Bandung). Komisi Pembimbing: Basita Ginting (Ketua), Prabowo Tjitropranoto dan Margono Slamet (Anggota)
Pendatang dan penduduk kota yang berpenghasilan rendah sebagian besar tinggal di permukiman kampung kota. Penggusuran tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah, selain tidak manusiawi, para pemukim kembali menyerobot tempat lain sehingga hilang satu tumbuh yang baru. Dikhawatirkan apabila kondisi ini tidak segera diperbaiki maka kawasan kampung kota akan semakin memburuk kualitasnya. Dalam kaitan dengan hal tersebut perlu dicari model pemberdayaan yang efektif agar masyarakat permukiman kampung kota memahami kualitas lingkungan yang baik dan dapat mendukung terbentuknya kehidupan yang lebih berkualitas, baik kualitas hidup maupun kualitas lingkungan.
Tujuan penelitian adalah untuk: (1) Mengidentifikasi karakteristik fisik permukiman kampung kota dan menganalisis modal sosial masyarakatnya; (2) Mengidentifikasi persepsi masyarakat tentang kualitas lingkungan dan menganalisis motivasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman, (3) Mengidentifikasi tingkat kebutuhan akan rumah dan permukiman pada masyarakat permukiman kampung kota; (4) Mengidentifikasi bentuk-bentuk partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan pemukiman kampung kota dan menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhinya; dan (5) Menyusun strategi pemberdayaan yang sesuai dengan masyarakat kampung kota sehinga dapat meningkatkan kualitas lingkungan permukimannya.
Penelitian dilakukan di empat kelurahan di Kota Bandung. Pemilihan sampel lokasi dilakukan secara purposif dengan melihat keberadaan faktor-faktor penyebab menurunnya kualitas lingkungan. Lokasi terpilih adalah Kel. Arjuna, Kel. Cikawao, Kel. Kebon Pisang dan Kel. Cibangkong. Pengambilan sampel responden dilakukan secara random. Jumlah sampel penelitian ditentukan berdasarkan Metode Slovin dengan kesalahan sampling yang dapat diterima sebesar 5% sehingga jumlah keseluruhan sampel adalah 240 KK yang diambil secara random dari masing-masing lokasi penelitian yaitu sebanyak 60 KK. Data dikumpulkan antara bulan April sampai dengan Agustus 2006 dengan menggunakan angket tertutup, wawancara mendalam, FGD dan observasi.
Penelitian berbentuk explanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan dan pengaruh antar variabel penelitian melalui pengujian hipotesis dengan uji statistik. Pendekatan kualitatif dilakukan dalam upaya menjelaskan substansi hasil uji statistik yang didapat.
iv
kualitas lingkungan yang buruk, ditandai dengan persepsi yang tidak tepat/tidak sesuai dengan standar kualitas rumah dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak huni. Motivasi meningkatkan kualitas lingkungan tinggi, namun terkendala oleh kemampuan yang rendah. Kebutuhan akan rumah pada masyarakat kampung kota berada pada kategori pemenuhan kebutuhan untuk: (a) fisiologis (survival needs or phisiological); (b) rasa aman (safety and security needs) dan (c) kebutuhan sosial (social needs or affiliation needs). Partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan dicirikan dengan: (a) sikap proaktif masyarakat masih rendah yang ditandai dengan buruknya perlakuan warga terhadap sarana prasarana lingkungan permukiman; (b) partisipasi dalam kegiatan meningkatkan kualitas lingkungan berada pada kategori cukup yang ditandai dengan ikut sertanya masyarakat pada kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kualitas lingkungan yang diprakarsai oleh tokoh masyarakat atau organisasi masyarakat.
Faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap partisipasi adalah: (a) persepsi tentang kualitas lingkungan, (b) motivasi meningkatkan kualitas lingkungan dan (c) peran tokoh masyarakat/organisasi masyarakat untuk menggerakkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan peningkatan kualitas lingkungan. Untuk meningkatkan aspek-aspek tersebut diperlukan inovasi sosial yang berbasis masyarakat sehingga dapat merubah diri dari kondisi tidak tahu (kurang pengetahuan), tidak mau (kurang motivasi) dan tidak mampu (tidak terampil) menuju masyarakat yang tahu, mau dan mampu untuk meningkatkan kualitas diri, rumah dan lingkungan permukiman kampungnya. Strategi proses penyadaran masyarakat menggunakan penyuluhan permukiman dengan asas tribina (tridaya): bina warga untuk memberdayakan warga guna mencapai solusi sosial, bina lingkungan untuk solusi arsitektural dan bina usaha untuk memberdayakan masyarakat guna mencnapai kebedayaan dalam hal finansial.
v
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2007
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak mengindahkan kepentingan yang wajar IPB
vi
UNTUK MENINGKATKAN
KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN
(KASUS: PERMUKIMAN KAMPUNG KOTA DI BANDUNG)SRI HANDAYANI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
vii
Penguji pada Ujian Tertutup Dr. Ir. Rillus Kinseng
viii Kota di Bandung)
Nama
NRP
:
:
Sri Handayani
P 016010041
Program Studi : Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN)
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA Ketua Komisi
Prof. Dr. H. R. Margono Slamet Anggota Komisi
Dr. H. Prabowo Tjitropranoto, MSc Anggota Komisi
Diketahui
Ketua Departemen
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
ix
(almarhum) dan Chajati (almarhumah). Pendidikan SD – SMA ditempuh di Bandung. Tahun 1991 lulus sebagai sarjana Jurusan Pendidikan Arsitektur IKIP Bandung. Kesempatan untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 1996 pada Program Studi Administrasi Pendidikan yang diselesaikan pada bulan Februari 1999. Pada bulan September 2001 penulis diterima sebagai mahasiswa di Sekolah Pasca Sarjana IPB pada PS. Ilmu Penyuluhan Pembangunan dan memperoleh beasiswa pendidikan dari Depertemen Pendidikan Nasional (BPPS Dikti) pada tahun 2002.
Penulis bekerja sebagai dosen pada tahun 1992 di Politeknik Industri dan Niaga Bandung dan kemudian mengabdi di almamaternya Universitas Pendidikan Indonesia pada Jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur hingga saat ini. Bidang Keahlian yang ditekuni penulis adalah Arsitektur Lingkungan dan Permukiman.
Selama mengikuti pendidikan S3 penulis menekuni bidang ilmu yang terkait dengan penyuluhan pembangunan yang sekaligus juga terkait dengan arsitektur lingkungan dan permukiman. Hal tersebut mengantarkannya mendapatkan hibah penelitian dari Dirjen Dikti. Beberapa diantaranya adalah: Sikap dan Perilaku Masyarakat Kampung Kota di Bandung (Penelitian Fundamental Dikti 2006); Desain Gang Kampung Kota yang Mengakomodasi Aktivitas Sosial Kultural Masyarakatnya (Penelitian Fundamental Dikti 2007); dan Transformasi Penanganan Permukiman Kumuh: Upaya Perbaikan Kualitas Hidup dan Lingkungan (Hibah Bersaing Dikti 2007). Artikel yang berjudul Partisipasi Masyarakat Permukiman Kampung Kota dalam Meningkatkan Kualitas Lingkungan akan diterbitkan pada jurnal Invotec bulan Aril 2008 merupakan karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi penulis.
xvi
UNTUK MENINGKATKAN
KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN
(KASUS: PERMUKIMAN KAMPUNG KOTA DI BANDUNG)
SRI HANDAYANI
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
i
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul:
PARTISIPASI MASYARAKAT KAMPUNG KOTA UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN
(Kasus: Permukiman Kampung Kota Di Bandung)
adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada Perguruan Tinggi manapun. Bahan rujukan dan sumber informasi yang berasal atau dikutip pada karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Februari 2008
ii
Settlement Quality Environment (Case: Urban Village Settlement in Bandung City). Under a Team of Advisors with Basita Ginting as Chairman; Prabowo Tjitropranoto; Margono Slamet as Member of the Advisory Commitee
Most low-income comers and urban settlers live in urban villages, some of which are squats and slums. Remaining their growth uncontrolled will result in low community health, high vulnerability to fire hazard, irregular order of land use, and high risk to flood. Eviction does not really solve the problem. It tends to take aside humanity, not to mention evictee’s tendency to squat other locations as a result of it. It is imperative that the condition be revised in avoidance of deteriorating environment.
An effective model of empowerment is required to build urban villager’s awareness in constructing quality environment as a prerequisite for quality life. The society potency should be explored so that its members participate optimally in improving the quality of their settlement. This in turn will achieve quality settlement and quality life for the settlers themselves.
This research aim at (1) Identifying the physical characteristics of urban village settlement and identifying the capital social, (2) Explain and analyzing the perception on environmental quality and the motivation to increase environment facility condition, (3) Identifying level of requirement of house and settelemnt. (4) Analyzing the characteristics of community participation in improving environment quality and Analyzing the factors which may influence community participation in improving settlement quality, (5) Arranging a right empowerment strategy for the community to develop the quality of its settlement.
Conducted in several urban villages in Bandung, the research selects four (4) loci as area samples. They are Arjuna sub-district, Cikawao sub-district, Kebon Pisang sub-district, and Cibangkong sub-district. The data was collected along April 2006 through August 2006, using closed-questionnaire interview and observation. The quantitative data is examined by Spearman’s rank correlation test, which is further tested with regression analysis and path analysis.
The research shows: some individual characteristics and the physical characteristics of urban village settlement which influence modal social. The factors are educational level, occupation, outcome, availability and condition of facilities and basic facilities of settlement area. Some factors which directly result in the participation to improve environment quality are the perception on environment quality and the motivation to increase environment facility condition.
Considering the aforementioned results, the endeavor to improve settlement quality should be emphasized on correcting society perception on environment quality which will generate society motivation to make better environment quality, by which the participation to increase environment quality grows.
iii
Kampung Kota Di Bandung). Komisi Pembimbing: Basita Ginting (Ketua), Prabowo Tjitropranoto dan Margono Slamet (Anggota)
Pendatang dan penduduk kota yang berpenghasilan rendah sebagian besar tinggal di permukiman kampung kota. Penggusuran tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah, selain tidak manusiawi, para pemukim kembali menyerobot tempat lain sehingga hilang satu tumbuh yang baru. Dikhawatirkan apabila kondisi ini tidak segera diperbaiki maka kawasan kampung kota akan semakin memburuk kualitasnya. Dalam kaitan dengan hal tersebut perlu dicari model pemberdayaan yang efektif agar masyarakat permukiman kampung kota memahami kualitas lingkungan yang baik dan dapat mendukung terbentuknya kehidupan yang lebih berkualitas, baik kualitas hidup maupun kualitas lingkungan.
Tujuan penelitian adalah untuk: (1) Mengidentifikasi karakteristik fisik permukiman kampung kota dan menganalisis modal sosial masyarakatnya; (2) Mengidentifikasi persepsi masyarakat tentang kualitas lingkungan dan menganalisis motivasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman, (3) Mengidentifikasi tingkat kebutuhan akan rumah dan permukiman pada masyarakat permukiman kampung kota; (4) Mengidentifikasi bentuk-bentuk partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan pemukiman kampung kota dan menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhinya; dan (5) Menyusun strategi pemberdayaan yang sesuai dengan masyarakat kampung kota sehinga dapat meningkatkan kualitas lingkungan permukimannya.
Penelitian dilakukan di empat kelurahan di Kota Bandung. Pemilihan sampel lokasi dilakukan secara purposif dengan melihat keberadaan faktor-faktor penyebab menurunnya kualitas lingkungan. Lokasi terpilih adalah Kel. Arjuna, Kel. Cikawao, Kel. Kebon Pisang dan Kel. Cibangkong. Pengambilan sampel responden dilakukan secara random. Jumlah sampel penelitian ditentukan berdasarkan Metode Slovin dengan kesalahan sampling yang dapat diterima sebesar 5% sehingga jumlah keseluruhan sampel adalah 240 KK yang diambil secara random dari masing-masing lokasi penelitian yaitu sebanyak 60 KK. Data dikumpulkan antara bulan April sampai dengan Agustus 2006 dengan menggunakan angket tertutup, wawancara mendalam, FGD dan observasi.
Penelitian berbentuk explanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan dan pengaruh antar variabel penelitian melalui pengujian hipotesis dengan uji statistik. Pendekatan kualitatif dilakukan dalam upaya menjelaskan substansi hasil uji statistik yang didapat.
iv
kualitas lingkungan yang buruk, ditandai dengan persepsi yang tidak tepat/tidak sesuai dengan standar kualitas rumah dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak huni. Motivasi meningkatkan kualitas lingkungan tinggi, namun terkendala oleh kemampuan yang rendah. Kebutuhan akan rumah pada masyarakat kampung kota berada pada kategori pemenuhan kebutuhan untuk: (a) fisiologis (survival needs or phisiological); (b) rasa aman (safety and security needs) dan (c) kebutuhan sosial (social needs or affiliation needs). Partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan dicirikan dengan: (a) sikap proaktif masyarakat masih rendah yang ditandai dengan buruknya perlakuan warga terhadap sarana prasarana lingkungan permukiman; (b) partisipasi dalam kegiatan meningkatkan kualitas lingkungan berada pada kategori cukup yang ditandai dengan ikut sertanya masyarakat pada kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kualitas lingkungan yang diprakarsai oleh tokoh masyarakat atau organisasi masyarakat.
Faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap partisipasi adalah: (a) persepsi tentang kualitas lingkungan, (b) motivasi meningkatkan kualitas lingkungan dan (c) peran tokoh masyarakat/organisasi masyarakat untuk menggerakkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan peningkatan kualitas lingkungan. Untuk meningkatkan aspek-aspek tersebut diperlukan inovasi sosial yang berbasis masyarakat sehingga dapat merubah diri dari kondisi tidak tahu (kurang pengetahuan), tidak mau (kurang motivasi) dan tidak mampu (tidak terampil) menuju masyarakat yang tahu, mau dan mampu untuk meningkatkan kualitas diri, rumah dan lingkungan permukiman kampungnya. Strategi proses penyadaran masyarakat menggunakan penyuluhan permukiman dengan asas tribina (tridaya): bina warga untuk memberdayakan warga guna mencapai solusi sosial, bina lingkungan untuk solusi arsitektural dan bina usaha untuk memberdayakan masyarakat guna mencnapai kebedayaan dalam hal finansial.
v
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2007
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak mengindahkan kepentingan yang wajar IPB
vi
UNTUK MENINGKATKAN
KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN
(KASUS: PERMUKIMAN KAMPUNG KOTA DI BANDUNG)SRI HANDAYANI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
vii
Penguji pada Ujian Tertutup Dr. Ir. Rillus Kinseng
viii Kota di Bandung)
Nama
NRP
:
:
Sri Handayani
P 016010041
Program Studi : Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN)
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA Ketua Komisi
Prof. Dr. H. R. Margono Slamet Anggota Komisi
Dr. H. Prabowo Tjitropranoto, MSc Anggota Komisi
Diketahui
Ketua Departemen
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
ix
(almarhum) dan Chajati (almarhumah). Pendidikan SD – SMA ditempuh di Bandung. Tahun 1991 lulus sebagai sarjana Jurusan Pendidikan Arsitektur IKIP Bandung. Kesempatan untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 1996 pada Program Studi Administrasi Pendidikan yang diselesaikan pada bulan Februari 1999. Pada bulan September 2001 penulis diterima sebagai mahasiswa di Sekolah Pasca Sarjana IPB pada PS. Ilmu Penyuluhan Pembangunan dan memperoleh beasiswa pendidikan dari Depertemen Pendidikan Nasional (BPPS Dikti) pada tahun 2002.
Penulis bekerja sebagai dosen pada tahun 1992 di Politeknik Industri dan Niaga Bandung dan kemudian mengabdi di almamaternya Universitas Pendidikan Indonesia pada Jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur hingga saat ini. Bidang Keahlian yang ditekuni penulis adalah Arsitektur Lingkungan dan Permukiman.
Selama mengikuti pendidikan S3 penulis menekuni bidang ilmu yang terkait dengan penyuluhan pembangunan yang sekaligus juga terkait dengan arsitektur lingkungan dan permukiman. Hal tersebut mengantarkannya mendapatkan hibah penelitian dari Dirjen Dikti. Beberapa diantaranya adalah: Sikap dan Perilaku Masyarakat Kampung Kota di Bandung (Penelitian Fundamental Dikti 2006); Desain Gang Kampung Kota yang Mengakomodasi Aktivitas Sosial Kultural Masyarakatnya (Penelitian Fundamental Dikti 2007); dan Transformasi Penanganan Permukiman Kumuh: Upaya Perbaikan Kualitas Hidup dan Lingkungan (Hibah Bersaing Dikti 2007). Artikel yang berjudul Partisipasi Masyarakat Permukiman Kampung Kota dalam Meningkatkan Kualitas Lingkungan akan diterbitkan pada jurnal Invotec bulan Aril 2008 merupakan karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi penulis.
x
memberi kesempatan dan kekuatan sehingga penulisan disertasi yang bertajuk: Partisipasi Masyarakat Kampung Kota untuk Meningkatkan Kualitas Lingkungan Permukiman (kasus permukiman kampung kota di Bandung) ini dapat menemukan bentuknya seperti yang sekarang.
Terimakasih kepada Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang telah banyak memberikan masukan dalam diskusi-diskusi untuk penyelesaian penelitian ini. Terimakasih yang tulus untuk Prof. Dr. H. R. Margono Slamet selaku anggota komisi pembimbing yang memberi ide-ide segar untuk sempurnanya penelitian ini. Kepada Dr. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc., selaku anggota komisi, ucapan terimakasih yang tak putus-putusnya atas semangat, dan motivasi yang tiada henti kepada penulis untuk tetap menyelesaikan penelitian serta masukan-masukan yang telah diberikan sehingga disertasi ini dan terwujud dengan lebih baik. Insya Allah.
Kepada responden penelitian dan pejabat kelurahan beserta jajarannya serta ketua RT dan RW di lokasi penelitian, terimakasih setulusnya untuk partisipasinya membantu kelancaran proses penelitian ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebut satu per satu hingga penelitian ini dapat diselesaikan.
Kepada keluarga yang telah memberikan dukungan moril, materil dan motivasi yang tidak putus-putusnya, terimakasih yang tak terhingga atas pengertian yang telah diberikan selama ini
Dalam disertasi ini tentunya masih ditemui berbagai kelemahan, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan kritik demi tercapainya kualitas penelitian yang lebih baik di masa mendatang. Penulis berharap semoga penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan, ilmu arsitektur lingkungan & perilaku, untuk masyarakat pemerhati masalah sosial dan masyarakat pada umumnya yang tertarik dengan permukiman kampung kota dan aspek yang terkait di dalamnya.
xi
RINGKASAN ………... iii RIWAYAT HIDUP ……….. ix KATA PENGANTAR ... x DAFTAR ISI ... xi DAFTAR TABEL ... xiii DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ……… xv
PENDAHULUAN
Latar Belakang …………... 1 Masalah Penelitian ... 2 Tujuan Penelitian ... 5 Kegunaan Penelitian ... 5 Novelty Penelitian ... 6
TINJAUAN PUSTAKA 7
Permukiman Kampung Kota ... 7 Rumah dan Permukiman ... 11 Standar Rumah dan Permukiman Sehat/Layak huni……… 14
Kebutuhan Akan Rumah ………. 19
Modal Sosial ……… 23
Partisipasi Masyarakat dalam Peningkatan kualitas permukiman …... 29 Masyarakat dan Pembangunan yang Berpusat pada Masyarakat ……… 34 Penyuluhan sebagai Sarana Perubahan Perilaku Masyarakat... 41
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS 51
Kerangka Berpikir Penelitian ... 52 Hipotesis Penelitian dan Model Hubungan antar Variabel ………... 61
METODE PENELITIAN 63
Rancangan Penelitian ... 63
Lokasi, Populasi dan Sampel ………... 64
xii
Variabel Penelitian ... 69 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 69 Teknik Analisis Data ... 74
HASIL DAN PEMBAHASAN 77
Tinjauan Lokasi Penelitian ……….. 77
Deskripsi Data Hasil Penelitian ... 81 Karakteristik Fisik Lingkungan Permukiman ... 81 Karakteristik Individu... 90 Modal Sosial Masyarakat ... 98 Persepsi dan motivasi meningkatkan kualitas lingkungan ... 107 Tingkat kebutuhan akan rumah dan lingkungan permukiman ………….. 111 Partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan ... 119 Hasil Pengujian hipotesis ………. 125 Faktor-faktor yang mempengaruhi modal sosial masyarakat ………... 125 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan motivasi meningkatkan
kualitas lingkungan ……… 129
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan rumah ………... 133 Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi meningkatkan kualitas
lingkungan ... 137 Strategi Gerakan Masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan …… 139 Pola Penyelenggaraan Penyuluhan Permukiman dengan asas tribina ……… 144
KESIMPULAN DAN SARAN 156
Keimpulan ... 156 Saran ... 159 DAFTAR PUSTAKA ... 161 GLOSSARY ... 164
xiii
2 Jenis Partisipasi 34
3 Ciri-ciri Pendekatan Partisipatif 37
4 Model Praktek Intervensi Komunitas menurut Rothman Tropman 39
5 Bentuk praktek di masyarakat menurut Glen 40
6 Standar Rumah dan Permukiman Sehat 52
7 Tingkatan Modal Sosial 53
8 Hirarki Kebutuhan akan Rumah 54
9 Tingkatan Partisipasi Masyarakat 55
10 Ciri-ciri Masyarakat Aktif 56
11 Metode Penelitian dan Lingkup kajian 63
12 Hasil Uji Reliabilitas 68
13 Variabel dan Indikator Karakteristik Individu 70
14 Variabel dan Indikator Karakteristik Lingkungan Fisik Permukiman 70
15 Variabel dan Indikator Modal Sosial Masyarakat 71
16 Variabel dan Indikator Persepsi dan Motivasi meningkatkan kualitas lingk. 72
17 Variabel dan Indikator Kebutuhan akan rumah 73
18 Variabel dan Indikator Partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan 73
19 Teknik analisis data 76
20 Faktor penyebab terjadikanya kekumuhan pada lokasi penelitian 77
21 Karakteristik Fisik Lingkungan Permukiman 81
22 Karakteristik individu 91
23 Modal sosial masyarakat 98
24 Persepsi tentang kualitas lingkungan 107
25 Motivasi meningkatkan kualitas lingkungan 110
26 Tingkat kebutuhan akan rumah dan lingkungan 111
27 Kondisi fisik rumah dan ketersediaan ruang 114
28 Partisipasi meningkatkan kualitas lingkungan permukiman 120 29 Perlakuan dan kegiatan masyarakat terhadap jalan lingkungan 122 30 Nilai Korelasi antara karakteristik individu dan karakteristik fisik
permukiman dengan modal sosial
125
31 Nilai Korelasi antara karakteristik individu, karakteristik lingkungan dan
modal sosial 129
32 Nilai korelasi antara karakteristik individu, karakteristik lingkungan, modal sosial, persepsi dan motivasi dengan tingka kebutuhan akan rumah 133 33 Nilai korelasi antara variabel terikat dengan partisipasi meningkatkan
kualitas lingkungan 138
34 Aspek-aspek pembinaan masyarakat untuk penyuluhan permukiman dalam rangka mewujudkan masyarakat aktif untuk gerakan meningkatkan kualitas lingkungan kampung kota
144
35 Pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan secara berkelanjutan
xiv
2 Diagram Pembangunan Perumahan 23
3 Pengaruh lingkungan terhadap perilaku manusia 42
4 Model Environmental Learning 45
5 Posisi perilaku terhadap lingkungan 45
6 Kedudukan penelitian dalam permasalahan permukiman kampung kota 51
7 Hirarki kebutuhan manusia menurut Maslow 54
8 Tingkatan Partisipasi Masyarakat 55
9 Konsep Inovasi Sosial 57
10 Kerangka Pikir Penelitian 59
11 Model Hipotetis Penelitian 60
12 Lokasi Penelitian 78
13 Kel. Kebon Pisang Kec. Sumur Bandung 79
14 Kel. Arjuna Kec. Cicendo Bandung 79
15 Kel. Cibangkong Kec. Batununggal Bandung 80
16 Kel. Cikawao Kec. Lengkong Bandung 80
17 Tipe permukiman kampung kota dilihatdari akses lingkungan sekitarnya 82 18 Diagram proses pembentukan permukiman kampung kota 83
19 Akses masuk permukiman kampung kota 84
20 Rendahnya kualitas prasarana lingkungan permukiman kampung kota 85 21 Ketiadaan ruang bermain anak di permukiman kampung kota 87 22 Rendahnya kualitas sarana lingkungan di permukiman kampung kota 88 23 Sampah yang bertumpuk saat TPA Leuwi Gajah longsor 89 24 Fasilitas tempat daur ulang sampah di kelurahan Cibangkong 90
25 Pekerjaan yang banyak digeluti warga kampung kota 93
26 Kepadatan bangunan dan kepadatan penduduk di kampung kota 95 27 Kondisi rumah-rumah yang ditempati penyewa pedagang 97 28 Hubungan akrab antar tetangga di permukiman kampung kota 99
29 Rendahnya ketaatan terhadap aturan formal 102
30 Kemeriahan pesta 17 Agustus di permukiman kampung kota 105 31 Kondisi di dalam rumah-rumah warga di kampung kota 115 32 Kondisi rumah dilihat dari arah luar bangunan rumah di kampung kota 116 33 Ketersediaan ruang pada rumah-rumah di kampung kota 117 32 Meningkatkan rumah untuk menyiasati keterbatasan lahan 118 35 Invasi lahan terhadap ruang gang milik publik oleh masyarakat 122 36 Hasil analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi modal sosial 126
37 Ruang gang tempat warga kampung bersosialisasi 128
38 Hasil analisis jalur faktor yang mempengaruhi persepsi dan motivasi 130 39 Hasil analisis jalur faktor yang mempengaruhi kebutuhan akan rumah 134
40 Keeratan relasi mutual di kampung kota 137
41 Hasil analisis jalur faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap
xv
2 Peta pelayanan air bersih 168
3 Peta penanganan air limbah 169
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lebih dari satu milyar penduduk dunia hidup dalam kondisi perumahan di
bawah standar dan kemungkinan situasi ini akan semakin bertambah buruk di masa
yang akan datang (WHO SEARO, 1986; Komisi WHO mengenai Kesehatan dan
Lingkungan, 2001). Di Indonesia permasalahan di bidang permukiman saat ini
menjadi permasalahan yang semakin rumit. Dari sisi kualitas, pembangunan
perumahan dan permukiman di Indonesia masih tertinggal dibanding dengan negara
lain. Menurut Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index-UNDP),
yang memasukan faktor perumahan sebagai salah satu indikator, Indonesia menempati
urutan 112 dari 175 negara. Pada tahun 2000 tercatat 10.065 lokasi permukiman
kumuh dengan luas 47.393 ha yang dihuni oleh sekitar 17,2 juta jiwa dan sekitar 14,5
juta unit rumah (28,22%) kualitasnya tidak layak huni. (Direktur Bintek 2004)
Kompleksnya masalah perumahan dan permukiman di perkotaan dikarenakan
kebutuhan perumahan di kota sangat tinggi. Hal ini berkaitan dengan padatnya
penduduk kota, dan tingginya tingkat pertumbuhan penduduk akibat urbanisasi. Ketika
pada tahun 2000 diperkirakan terdapat 6.100 juta penduduk dunia, PBB
memperkirakan 75% dari jumlah tersebut tinggal di perkotaan.
Indonesia sebagai negara berkembang memiliki masalah permukiman yang
lebih kompleks dibanding dengan kota di negara maju, karena karakteristik kota-kota
di negara berkembang berbeda dengan kota-kota yang sudah maju. Di Indonesia,
urbanisasi didorong oleh ketiadaan lapangan kerja di pedesaan, padahal kota sendiri
belum mampu menyediakan lapangan kerja bagi warganya. Sementara itu daya
dukung lahan serta prasarana di perkotaan tidak sebanding dengan pertumbuhan akibat
urbanisasi tersebut. Hal ini menyebabkan kota-kota dihuni oleh para pendatang yang
tidak memiliki pekerjaan dan akhirnya terperangkap dalam perekonomian informal
dengan penghasilan rendah.
Banyaknya masyarakat berpenghasilan rendah di kota memunculkan berbagai
kendala bagi pengadaan rumah di perkotaan, yang antara lain adalah: pertama, tingkat
penyediaan rumah yang layak dan terjangkau masyarakat banyak menjadi sulit untuk
diwujudkan. Masyarakat, swasta, maupun pemerintah kota belum mampu
dalam hal ini masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah dan swasta baru mampu
memenuhi sekitar 15% dari permintaan sekitar 1,6 juta unit per tahun (data Collier
International, disampaikan oleh Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional, pada
Lokakarya Nasional bidang Perumahan dan Permukiman di Jakarta, 2002).
Kedua, terjadi penurunan kualitas lingkungan akibat belum memadainya
pelayanan di lingkungan permukiman yang ditandai dengan meningkatnya lingkungan
kumuh setiap tahunnya. Pada saat ini luas lingkungan kumuh di Indonesia telah
mencapai 47.500 hektar, yang tersebar di 10.000 lokasi (Sugandhy, 2002).
Ketiga, kemampuan masyarakat berpenghasilan rendah dalam memenuhi
kebutuhan perumahannya sangat rendah. Diperkirakan sekitar 65% rumah tangga tidak
mampu membeli rumah sederhana dengan harga yang paling rendah sekalipun. Kredit
perumahan tanpa subsidi baru hanya dapat dijangkau oleh 25% populasi yang
berpendapatan tinggi. Kondisi ini membuat kelompok masyarakat berpenghasilan
rendah di perkotaan hanya mampu mengakses lingkungan permukiman kampung kota,
yang banyak diantara lingkungan permukiman tersebut, telah mengalami penurunan
kualitas, yang dicirikan oleh minimnya sarana prasarana permukiman sehingga pada
gilirannya menghambat potensi produktivitas para penghuninya.
Lingkungan permukiman kampung kota yang mengalami penurunan kualitas,
cenderung berubah menjadi permukiman kumuh akibat daya dukung yang melebihi
kapasitas, seperti kepadatan rumah dan penduduk yang tinggi. Perkembangan
permukiman kampung kota yang menjurus menjadi permukiman kumuh dan tidak
terkendali sesungguhnya merupakan ancaman serius bagi kesehatan dan kesejahteraan
kota sehingga perlu dilakukan upaya penanganan permukiman kampung kota yang
dilakukan dengan partisipasi semua pihak yaitu masyarakat, pihak swasta, pemerintah
dan lembaga-lembaga pendidikan atau LSM sebagai pendamping masyarakat agar
partisipasi dapat berjalan maksimal. Berdasarkan kondisi tersebut maka penelitian
dengan topik Partisipasi Masyarakat Kampung Kota untuk Meningkatkan Kualitas
Permukiman dirasa perlu dan mendesak untuk dilakukan.
Masalah Penelitian
Permasalahan menurunnya kualitas lingkungan permukiman kampung kota
saja. Jika ditelusuri lebih jauh banyak faktor yang saling berkaitan dalam masalah
tersebut. Mulai dari kebijakan pemerintah kota, urbanisasi, ketidakdisiplinan
masyarakat, ketidakadilan, dan berbagai masalah lain yang harus diurai satu persatu.
Karenanya permasalahan yang berkenaan dengan kualitas lingkungan permukiman
kampung kota menjadi masalah yang multi dimensi. Seringkali persoalan ini
dihadapkan pada hal-hal yang dilematis antara batas hak yang dimiliki warga kota,
terutama masyarakat berpenghasilan rendah di satu sisi, dan masalah umum perkotaan
sebagai sistem pengelolaan kota yang mengedepankan aspek tata ruang kota yang
lebih teratur dan terkendali di sisi yang lainnya.
Kota Bandung dengan kepadatan 125 orang per hektar – jauh di atas standar
PBB yang menetapkan kepadatan maksimun 60 orang per hektar – memiliki banyak
permukiman kampung kota yang diantaranya mengalami penurunan kualitas
lingkungan. Dari 139 kelurahan yang ada di Kota Bandung, 60 kelurahan
dikategorikan sebagai permukiman agak kumuh, 43 dikategorikan sebagai kumuh, dan
19 dikategorikan sebagai sangat kumuh. Kelurahan yang dikategorikan tidak kumuh
hanya berjumlah 17 kelurahan saja. Sebagian berada di pusat-pusat kota, dan sebagian
lagi berada di sekitar lokasi industri. Hal ini cukup merisaukan pihak pemerintah kota
mengingat jumlah dan penyebaran permukiman kumuh tersebut cukup tinggi.
Jika pertumbuhan lingkungan permukiman kampung kota ini dibiarkan tidak
terkendali, maka kualitasnya akan menurun, derajat kesehatan masyarakat akan
rendah, mudah menyebabkan kebakaran, memberi peluang kriminalitas, tidak
teraturnya tata guna tanah dan sering menimbulkan banjir. Penggusuran permukiman
kampung kota tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah, selain tidak manusiawi, para
pemukim kembali menyerobot tanah terbuka lainnya sehingga hilang satu tumbuh
yang baru. Kondisi ini diperparah dengan kurangnya warga kampung kota dalam
mengelola sumber daya yang terdapat dalam permukimannya. Sebagian besar warga
kampung kota masih belum memiliki akses yang cukup kepada sumber daya yang ada
untuk dapat dimanfaatkan menopang kehidupannya. Oleh karenanya sudah saatnya
lingkungan permukiman kampung kota yang mengalami penurunan kualitas ini
memperoleh sentuhan program penataan dengan memberdayakan masyarakat
penghuninya agar dapat berpartisipasi aktif meningkatkan kualitas lingkungan
Berkenaan dengan hal tersebut perlu dicari cara pandang lain untuk
menempatkan masyarakat berpenghasilan rendah, yang hanya dapat mengakses
perumahan di permukiman kampung kota, untuk dapat lebih menghargai hidup dan
lingkungannya. Dengan cara menumbuhkan kesadaran akan adanya kebutuhan,
motivasi dan keinginan untuk mandiri sehingga dapat menolong dirinya sendiri dan
selanjutnya akan dapat mengelola lingkungan kampungnya dengan baik. Diharapkan
dengan partispasi aktif warga kampung kota untuk bersama-sama memelihara dan
mengelola lingkungan kampung, akan tercipta kualitas permukiman kampung kota
yang lebih baik dan sehat yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup
warga dan juga kualitas lingkungan hidup.
Agar masyarakat yang mendiami permukiman kampung kota dapat
berpartisipasi meningkatkan kualitas lingkunganya, perlu dicari model pemberdayaan
yang sesuai dengan karakteristik sosial warga kampung kota, agar mereka dapat
memahami standar kualitas lingkungan yang baik dan dapat mendukung terbentuknya
kehidupan yang lebih berkualitas dengan mengenali potensi yang dimilikinya baik
potensi fisik kampung maupun potensi sosial masyarakat yang tumbuh dalam pola
bermukim kampung kota. Mengacu kepada hal tersebut maka permasalahan utama
dalam penelitian ini adalah: Bagaimana strategi pemberdayaan masyarakat
kampung kota untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman?
Bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor,
diantaranya adalah: pengetahuan, kemauan, dan kemampuan, Dengan memperhatikan
faktor-faktor tersebut maka permasalahan umum di atas dirinci sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik masyarakat permukiman kampung kota, baik karakteristik
fisik permukiman maupun karakteristik modal sosial masyarakat?
2. Bagaimana persepsi masyarakat tentang kualitas lingkungan dan bagaimana
motivasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman?
3. Bagaimana tingkat kebutuhan akan rumah dan lingkungan permukiman pada
masyarakat di permukiman kampung kota?
4. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan dan
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya?
5. Bagaimana strategi yang tepat untuk menggerakkan masyarakat kampung kota
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dirinci sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi karakteristik fisik lingkungan permukiman kampung kota dan
menganalisis karakteristik modal sosial masyarakatnya.
2. Mengidentifikasi persepsi masyarakat tentang kualitas lingkungan dan
menganalisis motivasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan
permukiman kampung kota
3. Mengidentifikasi tingkat kebutuhan akan rumah dan permukiman pada masyarakat
di permukiman kampung kota.
4. Mengidentifikasi bentuk-bentuk partisipasi masyarakat untuk meningkatkan
kualitas lingkungan pemukiman kampung kota dan menganalisis faktor apa saja
yang mempengaruhinya.
5. Menyusun strategi pemberdayaan yang sesuai dengan modal sosial yang dimiliki
masyarakat kampung kota untuk dapat meningkatkan kualitas lingkungan
permukiman
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk khasanah ilmu
pengetahuan serta bahan kajian bagi pembuat kebijakan dalam membuat keputusan
yang berkenaan dengan penanganan permukiman kampung kota di masa mendatang.
Secara terinci penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
Bagi pengembangan ilmu pengetahuan
1. Pengidentifikasian karakteristik modal sosial masyarakat kampung kota dan
faktor-faktor fisik lingkungan permukiman yang mendukungnya memungkinkan
hadirnya penjelasan yang memadai mengenai keterkaitan modal sosial yang
terbentuk dengan karakteristik fisik lingkungan kampung kota. Hasil penelitian ini
dapat menjadi landasan bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan
pemberdayaan masyarakat di permukiman kampung kota. Secara umum hal ini
adalah setitik sumbangan pengetahuan bagi kajian ilmu arsitektur dan lingkungan
2. Penelitian ini berupaya merumuskan strategi gerakan partisipatif warga kampung
kota yang sesuai dengan modal sosial masyarakatnya untuk meningkatkan kualitas
lingkungan permukiman yang diharapkan dapa berlaku pada permukiman
dan modal sosial yang relatif sama. Hal ini diharapkan menjadi bahan pemikiran
bagi ilmu penyuluhan pembangunan.
Manfaat praktis
1. Bagi masyarakat di permukiman kampung kota untuk membantu mengetahui, menggali dan menemukan potensi yang sebetulnya dimiliki namun seringkali tidak
disadari dan diabaikan
2. Bagi pemerintah dan pengambil kebijakan, sebagai panduan dalam mempertemukan pendekatan top down dan bottom up dalam melakukan
penanganan permukiman kampung kota yang banyak terdapat di kota-kota besar di
Indonesia, dan untuk menentukan prioritas kegiatan yang bisa dilakukan guna
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan permukiman
3. Bagi pihak swasta agar dapat berpartisipasi dengan tepat sasaran dan dapat menyesuaikan program-program kerjasama dengan warga kampung untuk
memperbaiki kondisi rumah dan lingkungan permukiman yang berprinsip pada
kerjasama yang adil dan berkelanjutan.
4. Bagi lembaga penelitian dan lembaga penyuluhan, strategi yang dihasilkan dapat digunakan sebagai kerangka acuan penyelenggaraan proses pendidikan yang
bertujuan memberikan penyadaran pada warga akan pentingnya kualitas rumah
dan lingkungan yang baik, agar masyarakat tahu, mau dan mampu mengubah
perilakunya ke arah yang lebih mendukung terciptanya kualitas rumah dan
lingkungan yang sehat dan layak huni dengan berbasis pada partisipasi masyarakat
Novelty Penelitian
Novelty penelitian atau kebaruan dalam penelitian ini antara lain adalah:
1. Pada program studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan SPS IPB, pernelitian ini
adalah yang pertama dalam mengkaji permasalahan permukiman kampung kota.
2. Untuk penelitian sejenis yang mengkaji tentang partisipasi masyarakat, penelitian
ini yang pertama menghadirkan strategi partisipatif masyarakat untuk gerakan
meningkatkan kualitas lingkungan yang didasarkan pada upaya perubahan perilaku
warganya dengan latar belakang karakteristik modal sosial yang dimiliki
masyarakat kampung kota dengan menggunakan responden yang berasal dari 4
TINJAUAN PUSTAKA
Permukiman Kampung Kota
Permukiman Kampung kota adalah bagian dari kota yang memiliki ciri-ciri
tersendiri bila dibandingkan dengan kawasan kota lainnya. Secara harfiah kampung
kota adalah lingkungan permukiman desa yang terletak di dalam wilayah kota.
Kampung kota adalah lingkungan permukiman yang khas Indonesia dan ditandai oleh
ciri kehidupan yang terjalin dalam ikatan kekeluargaan yang erat.
Permukiman kampung kota sudah menggejala sejak pemerintahan Hindia
Belanda. Menurut Wiryomartono (1999) definisi yang tepat untuk kampung kota
adalah permukiman pribumi yang masih meneruskan tradisi kampung halamannya,
sekalipun tinggal di kota. Permukiman kampung kota merupakan permukiman yang
tumbuh di kawasan urban tanpa perencanaan infrastruktur dan jaringan ekonomi kota.
Apabila dikaji berdasarkan strukturnya, kampung kota merupakan salah satu
elemen pembentuk kota. Secara fisik kondisi kampung kota saat ini pada umumnya
buruk. Hal ini terutama dipicu masalah kepadatan dan tidak terorganisirnya struktur
fisik lingkungan kampung kota tersebut. Ketiadaan struktur formal teritorialitas ini
sering dikaitkan dengan permukiman ilegal. Dengan kata lain tidak terstrukturnya
permukiman kampung kota dikarenakan tidak adanya penataan ruang yang didukung
oleh infrastruktur yang terprogram secara formal.
Ciri-ciri permukiman kampung kota
Permukiman kampung kota sering kali disebut sebagai permukiman sektor
informal karena banyak dihuni oleh orang-orang dengan pekerjaan yang bergerak di
bidang informal. Lingkungan permukiman kampung kota sebagai suatu lingkungan
fisik arsitektural sering digambarkan sebagai lingkungan yang miskin struktur, tidak
teratur, dan terkesan kumuh. Hal itu terjadi, karena selain permukiman ini seringkali
tidak tersentuh pola kebijakan tata ruang kota, sehingga akses masyarakat terhadap
berbagai kepentingannya kurang terakomodasi. Di sisi lain kesadaran masyarakat dan
latar belakang masyarakat itu sendiri seringkali kurang memahami pentingnya
lingkungan permukiman yang berkualitas bagi mereka, baik secara fisik maupun
sosial. Ciri-ciri permukiman kampung kota yang lebih sering disorot karena dianggap
a. Tingginya kepadatan penduduk menyebabkan kurangnya ruang untuk fungsi sosial
Hal ini mengakibatkan rendahnya ketersediaan ruang terbuka bagi sarana
berinteraksi antar warga. Akibatnya tidak jarang fasilitas umum beralih fungsi
menjadi pendukung fungsi sosial yang diperlukan masyarakat.
b. Tingkat ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang rendah.
Kurangnya fasilitas sosial karena kepadatan penduduk yang tinggi mengakibatkan
diversifikasi fungsi gang/jalan di kampung kota yang sekaligus menjadi tempat
untuk meletakkan properti dan tempat bersosialisasi warga masyarakat.
c. Kurangnya infrastruktur
Tingginya kepadatan bangunan di kampung-kampung perkotaan tidak jarang
mengakibatkan minimnya lahan yang tersedia bagi sarana infrastruktur. Kondisi
ini merupakan salah satu ciri rendahnya kualitas suatu lingkungan permukiman
d. Tataguna lahan yang tidak teratur
Pemanfaatan lahan hendaknya direalisasikan sesuai rencana peruntukannya. Hal
ini merupakan strategi untuk mencapai keteraturan tata guna lahan. Pemanfaatan
lahan secara tidak teratur dapat mengakibatkan tumpang tindihnya fungsi lahan
yang pada akhirnya akan mempengaruhi keberlanjutan fungsi ruang secara luas.
e. Kondisi rumah yang kurang sehat
Hunian yang kurang memadai mengakibatkan kondisi yang tidak sehat bagi
penghuninya. Jendela-jendela tidak lagi berfungsi sebagai bukaan untuk
memasukkan sinar matahai dan udara ke dalam hunian tetapi beralih fungsi
sebagai tempat jemuran karena hunian tidak lagi memiliki lahan kosong.
Sebagai suatu komunitas, kampung kota dapat mempertahankan kelestariannya
karena berinteraksi dengan struktur bagian kota lainnya dengan fungsi-fungsi spesifik
yang terdapat di dalamnya. Kampung kota berfungsi sebagai perantara kehidupan kota
dengan keluarga yang hidup di kampung, yang dilakukan antara lain dengan
pertukaran sumber daya antara komunitas dengan masyarakat kota pada umumnya
Menurut Wiryomartono (1999) terdapat dua pokok masalah dan potensi yang
berkaitan dengan kehidupan bermukim masyarakat kampung kota yaitu:
Pertama, Kenyataan umum menunjukkan bahwa masyarakat kampung kota
pada umumnya adalah para penduduk asli ketika daerah tersebut masih belum masuk
pertanian. Penduduk pada kawasan kampung kota memiliki kemampuan adaptasi
yang lebih tinggi terhadap segala bentuk dan struktur ruang hidup. Hal ini merupakan
potensi untuk menghasilkan bentuk ruang tinggal yang tidak platonis. Dengan
demikian proses pembangunan struktur fisiknya pun tidak dapat dilakukan dengan
massal tetapi lahir spontan untuk nilai aksesibilitas yang efektif. Secara arsitektural,
lingkungan tempat tinggal di permukiman kampung kota merupakan suatu kesatuan
dalam ketidak teraturan. Dari keadaan tersebut dibutuhkan metode perencanaan dan
perancangan lingkungan binaan untuk bermukim secara partisipatif. Metode
partisipatif pada masyarakat kampung kota bukanlah sekedar kebutuhan untuk
menciptakan rasa saling memiliki tetapi secara eksistensial mampu membangun
pengertian bahwa mereka hidup dalam satu Labenswelt (dunia hidup) yang menjadi
home mereka selama mungkin.
Kedua, sejak modernisasi pertanian di pedesaan terus berlangsung, Indonesia
menghadapi suatu abad yang dampak dan pengaruhnya sama seperti yang terjadi di
Eropa Barat dan Amerika Utara yaitu globalisasi ekonomi/telekomunikasi. Masyarakat
kampung-kota yang semula tradisional agraris dalam kebiasaan hidupnya, tidak lagi
bisa bertahan dari proses perubahan karena ada dan berlangsungnya modernitas.
Perubahan-perubahan ini bukan hanya dapat dianggap sebagai krisis, tetapi juga
peluang yang akan mampu membentuk kerjasama sosial ekonomi dan kultural antara
sektor modern dan sektor informal (kampung-kota). Kampung-kota itu sendiri
merupakan bagian dari kota, walaupun dengan ciri-ciri tersendiri bila dibandingkan
dengan kota lain yang lebih formal dan terorganisir ruang hidupnya. Sebagai
sub-sistem dari kota, kampung kota dengan sifat komunitasnya adalah:
Sistem perantara antara makro sistem masyarakat dengan mikro sistem keluarga
Terdiri dari penduduk yang dapat diidentifikasi dengan jelas, karena memiliki rasa kebersamaan dan kesadaran sebagai warga suatu kesatuan
Mengembangkan dan memiliki suatu keteraturan sosial dan spatial, yang
ditumbuhkan dari komunitas itu sendiri (disamping ketentuan oleh kota).
Menunjukkan differensiasi dalam fungsi-fungsi, sehingga bukan merupakan
wilayah hunian saja namun di dalamnya terdapat warung, bengkel, salon, dsb.
Menyesuaikan diri dengan lingkungan yang lebih luas melalui pertukaran sumber
Menciptakan dan memelihara berbagai bentuk organisasi dan kelembagaan, yang akhirnya memenuhi kebutuhan makrosistem masyarakat dan mikrosistem
keluarga.
Kampung kota selama ini selalu disebut sebagai permukiman sektor informal
karena banyak dihuni oleh masyarakat dengan penghasilan tidak tetap. Namun dugaan
ini tidak sepenuhnya benar karena saat ini pegawai negeri, dan wiraswasta ekonomi
kecil (home industry), merupakan populasi yang tak dapat diabaikan jumlahnya.
Penyebab terjadinya penurunan kualitas permukiman kampung kota
LPM ITB (1998) mengidentifikasi bahwa faktor penyebab timbulnya
penurunan kualitas permukiman kampung di kota Bandung adalah:
1) Terbatasnya kemampuan ekonomi masyarakat.
Masyarakat berpendapatan rendah menggunakan lahan untuk kegiatan
permukiman dan usaha yang kurang mempertimbangkan aspek legalitas tanah
sehingga menimbulkan ketidakteraturan penggunaan lahan yang diperburuk oleh
rendahnya kualitas prasarana akibat terbatasnya kemampuan masyarakat.
2) Dampak kegiatan eksternal dan internal kawasan.
Buruknya sistem drainase, alami maupun buatan, mendorong terbentuknya
kekumuhan yang diperparah oleh pembuangan limbah yang relatif tinggi dan
rendahnya kemampuan penduduk dalam mengantisipasi permasalahan lingkungan.
Faktor kegiatan eksternal, seperti industri-industri besar yang menghasilkan limbah
dalam jumlah besar dan kurang terkelola, memperberat beban fisik lingkungan
3) Dampak faktor eksternal.
Permukiman kumuh timbul akibat pertumbuhan pesat penduduk dan kegiatannya
yang tidak mampu ditampung oleh sumberdaya yang ada
4) Keterbatasan sumber daya lahan.
Kekumuhan disebabkan oleh keterbatasan lahan dalam menampung permukiman,
ini terjadi khususnya di tepi sungai. Permukiman kumuh ini membatasi fungsi
sungai sebagai bagian sistem drainase
Kurniasih (2007) membagi penurunan kualitas lingkungan permukiman dengan
a. Sebab kumuh, adalah kondisi kemunduruan atau kerusakan lingkungan hidup
dilihat dari: (1) segi fisik, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam
oleh manusia sendiri seperti kepadatan bangunan, lalulintas, sampah dan
sejenisnya
b. Akibat kumuh: kumuh adalah akibat perkembangan dari gejala-gejala yang antara
lain: (1) kondisi perumahan yang buruk, (2) penduduk yang terlalu padat, (3)
fasilitas lingkungan yang kurang memadai, (4) tingkah laku menyimpang, (5)
budaya kumuh, (6) apatis dan isolasi.
Sebab dan akibat kumuh ini memunculkan lingkungan permukiman kumuh,
yaitu kawasan dimana rumah dan kondisi hunian masyarakat di kawasan tersebut
sangat buruk. Rumah maupun sarana dan prasarana lingkungan yang ada tidak sesuai
dengan standar yang berlaku, baik standar kebutuhan, kepadatan bangunan,
persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana air bersih, sanitasi maupun persyaratan
kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya.
Rumah dan Permukiman
Menurut Undang-undang RI No. 4 Tahun 1992. Rumah adalah struktur fisik
yang terdiri dari ruangan, halaman dan area sekitarnya yang digunakan sebagai tempat
tinggal dan sarana pembinaan keluarga. World Health Organization (WHO)
merumuskan definisi rumah sebagai struktur fisik atau bangunan untuk tempat
berlindung dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta
keadaan sosialnya baik, untuk kesehatan keluarga dan individu (Komisi WHO
Mengenai Kesehatan Lingkungan, 2001)
Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa rumah bukan hanya bangunan
fisik yang merupakan tempat berlindung dan beristirahat untuk memenuhi kebutuhan
fisiologis manusia namun rumah juga adalah sebuah tempat dimana
kebutuhan-kebutuhan dasar pada hirarki yang lebih tinggi dapat dipenuhi. Rumah sesungguhnya
merupakan sarana pembinaan keluarga untuk menumbuhkan kehidupan yang sehat
secara fisik, mental dan sosial seperti yang diungkapkan oleh Hayward (1987) yang
dikutip Budihardjo (1998) mengenai konsep tentang rumah, yaitu: (a) Rumah sebagai
pengejawantahan diri: rumah sebagi simbol dan pencerminan tata nilai selera pribadi
penghuni, (b) Rumah sebagai wadah keakraban: rasa memiliki, kebersamaan,
kehangatan, kasih dan rasa aman tercakup dalam konsep ini, (c) Rumah sebagai
dunia luar, dari tekanan dan ketegangan kegiatan rutin, (d) Rumah sebagai akar dan
kesinambungan: dalam konsep ini rumah atau kampung halaman dilihat sebagai
tempat untuk kembali pada akar dan menumbuhkan rasa kesinambungan dalam
untaian proses ke masa depan, (e) Rumah sebagai wadah kegiatan utama sehari-hari,
(f) Rumah sebagai pusat jaringan sosial dan (g) Rumah sebagai struktur fisik
Fungsi rumah sebagai wadah untuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia,
menurut Budiharjo (1998) dalam bukunya Arsitektur Perumahan Perkotaan, memiliki
tiga fungsi utama, yaitu: (1) Rumah sebagai tempat tinggal, dimana seseorang
bermukim untuk mencari ketenangan, lahir maupun batin; (2). Rumah sebagai
mediator antara manusia dengan dunia yang memungkinkan terjadinya suatu
dialektika antara manusia dengan dunianya. Dari keramaian dunia, manusia menarik
diri ke dalam rumahnya dan tinggal dalam ketenangan, untuk kemudian keluar lagi
menuju dunia luar, bekerja, dan berkarya. (3) Rumah sebagai arsenal, dimana manusia
mendapatkan kekuatannya kembali, setelah melalukan pekerjaan yang melelahkan.
Dalam rumah manusia makan, minum, dan tidur untuk memperoleh kembali
kekuatannya.
Johan Silas (2002) mengatakan bahwa fungsi rumah yang diangankan sejak
jaman nenek moyang manusia, masih tetap sama yaitu sebagai terminal peralihan
antara kehidupan alami dengan kehidupan privat. Selanjutnya dikatakan bahwa rumah
yang baik akan melindungi penghuninya secara badaniah dan rohaniah. Namun
demikian rumah juga perlu menjadi perangsang timbulnya gagasan hidup (inspirator)
menuju ke keadaan yang lebih baik
Sejalan dengan perkembangan sosial kultural manusia, rumah sebagai suatu
objek individual tidak terpisahkan dari permukiman/perumahan sebagai objek
komunitas. Pengertian permukiman secara jelas dan rinci dapat ditemukan dalam
Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman yang
mengatakan bahwa Permukiman mengandung pengertian sebagai bagian dari
lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun
perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian
dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Dalam permukiman perlu ada prasarana dan sarana lingkungan serta utilitas
Prasarana lingkungan pemukiman adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang
memungkinkan lingkungan pemukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Prasarana utama ini meliputi jaringan jalan, jaringan pembuangan air limbah dan
sampah, jaringan saluran air hujan, jaringan pengadaan air bersih, jaringan listrik,
telepon, gas, dan sebagainya. Jaringan primer prasarana lingkungan adalah jaringan
utama yang menghubungkan antara kawasan pemukiman atau antara kawasan
pemukiman dengan kawasan lainnya. Jaringan sekunder prasarana lingkungan adalah
jaringan cabang dari jaringan primer yang melayani kebutuhan di dalam satu satuan
lingkungan pemukiman.
Sarana lingkungan pemukiman adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk
penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Contoh
sarana lingkungan pemukiman adalah fasilitas pusat perbelanjaan, pelayanan umum,
pendidikan dan kesehatan, tempat peribadatan, rekreasi dan olah raga, pertamanan,
pemakaman. Utilitas lingkungan umum mengacu pada sarana penunjang untuk
pelayanan lingkungan pemukiman, meliputi jaringan air bersih, listrik, telepon, gas,
transportasi, dan pemadam kebakaran. Utilitas umum membutuhkan pengelolaan
profesional dan berkelanjutan oleh suatu badan usaha.
Sehubungan dengan bahasan mengenai rumah dan fungsi rumah, maka
permukiman sebagai tempat dimana rumah-rumah berada, memiliki tiga fungsi utama
yaitu: (1) tempat perlindungan secara fisik (phisical shelter), (2) setting (tempat) yang
membentuk hubungan antara struktur di dalam (keluarga) dan ketetanggaan dimana
setiap anggota keluarga dan komunitas melakukan aktivitas keseharian, dan (3) suatu
pengelompokkan keluarga ke dalam komunitas yang lebih besar.
Bagi komunitas, perumahan merepresentasikan aspirasi kolektif yang
dipengaruhi oleh proses sosial ekonomi. Rumah juga dapat mengeskpresikan gaya
hidup penghuni yang dipengaruhi oleh aspek psikologis sosial, ekonomi, dan
keseimbangan estetik.
Atas dasar itu, maka kualitas rumah dan permukiman menjadi sangat penting
dalam mewadahi kebutuhan dan aspirasi penghuni dalam fungsinya memenuhi
kebutuhan fisik, mental dan sosial penghuni dan warganya dengan baik.
Apabila pengertian permukiman dikaji sesuai dengan konteks yang dibahas
bermukim manusia yang menunjukkan suatu tujuan tertentu. Dengan demikian
permukiman seharusnya memberikan kenyamanan kepada penghuninya termasuk
orang yang datang ke tempat tersebut.
Standar rumah dan perumahan sehat/layak huni
Rumah sehat/layak huni
Rumah dan permukiman yang sehat merupakan salah satu sarana untuk
mencapai derajat kesehatan yang optimum. Untuk memperoleh rumah yang sehat
ditentukan oleh tersedianya sarana sanitasi rumah dan perumahan. Sanitasi tersebut
antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami,
konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan kotoran
manusia, dan penyediaan air bersih (Azwar, 1990)
Menurut American Public Health Association (APHA) rumah dikatakan sehat
apabila: (1) memenuhi kebutuhan fisik dasar seperti temperatur lebih rendah dari udara
di luar rumah, penerangan yang memadai, ventilasi yang nyaman, dan kebisingan
antara 44 – 45 dbA; (2) memenuhi kebutuhan kejiwaan; (3) melindungi penghuninya
dari penularan penyakit menular yaitu memiliki penyediaan air bersih, sarana
pembuangan sampah dan saluran pembuangan air limbah, dan memenuhi syarat
kesehatan, serta (4) melindungi penghuninya dari kemungkinan terjadinya kecelakaan
dan bahaya kebakaran seperti fondasi rumah yang kokoh, tangga yang tidak curam,
bahaya kebakaran karena arus pendek listrik, keracunan, bahkan dari ancaman
kecelekaaan lalulintas.
Komponen yang harus dimiliki rumah sehat menurut Ditjen Cipta Karya,
(1997) adalah: (1) fondasi yang kuat untuk meneruskan beban bangunan ke tanah
dasar, memberi kestabilan bangunan dan merupakan konstruksi penghubung antara
bangunan dengan tanah; (2) lantai kedap air dan tidak lembab, tinggi minimum 10 cm
dari pekarangan dan 25 cm dari badan jalan, bahan kedap air untuk rumah panggung
dapat terbuat dari papan atau anyaman bambu; (3) memiliki jendela dan pintu yang
berfungsi sebagai ventilasi dan masuknya sinar matahari dengan luas minimum 10%
luas lantai; (4) dinding rumah kedap air yang berfungsi untuk mendukung atau
menyangga atap, menahan angin dan air hujan, melindungi dari panas dan debu dari
dan menyerap panas terik matahari minimum 2,4 m. dari lantai, bisa dari bahan papan
anyaman bambu, tripleks atau gipsum serta (6) atap rumah yang berfungsi sebagai
penahan panas sinar matahari serta melindungi masuknya debu, angin dan air hujan.
Johan Silas (2002) menyebutkan bawah sebuah rumah disebut layak huni bila
ada keterpaduan yang serasi antara: (1) perkembangan rumah dan penghuninya,
artinya rumah bukan hasil akhir yang tetap tetapi proses yang berkembang, (2) rumah
dan lingkungan (alam) sekitarnya, artinya lingkungan rumah dan lingkungan
sekitarnya terjaga selalu baik, (3) perkembangan rumah dan perkembangan kota,
artinya kota yang dituntut makin global dan urbanized memberi manfaat positif bagi
kemajuan warga kota di rumah masing-masing, (4) perkembangan antar kelompok
warga dengan standar layak sesuai keadaan dan tuntutan masing-masing kelompok,
artinya tiap kelompok warga punya kesempatan sama untuk berkembang sesuai
dengan tuntutan yang ditetapkan sendiri. (5) standar fisik dan dukungan untuk maju
bagi penghuni, artinya standar fisik rumah tidak sepenting dan menentukan seperti
peningkatan produktivitas yang diberikannya terhadap mobilitas penghuninya.
Kaidah perancangan rumah layak huni menurut Johan Silas (2002) perlu
memperhatikan hal-hal: (1) Terdapat fleksibilitas penataan ruang, terutama bagi
masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga rumah tidak harus selalu disekat-sekat
dan terbuka peluang penggunaan ganda dan over lapping, (2) Memilih bahan
bangunan yang mudah diperoleh setempat dan sudah akrab dipakai oleh warga dengan
kesulitan konstruksi yang mudah diatasi oleh keahlian setempat, (3) Penataan ruang
yang dilakukan fleksibel dan multi guna serta tidak terkotak-kotak kecil berguna untuk
menjamin kedinamisan gerak dan berbagai aktivitas lain dari penghuni serta untuk
memberi keleluasaan aliran udara dan cahaya tinggi. Selanjutnya pola penataan ruang
yang terbuka ini juga akan memberi kesan luas sehingga tercapai rasa psikologis yang
melegakan penghuni guna merangsang produktivitas kehidupan yang tinggi. (4)
Tampilan bangunan harus serasi dengan tampilan bangunan yang lazim berlaku di
sekitarnya. Prinsip bangunan tropis dengan teritis yang lebar, teduh, dan angin mudah
lewat serta tidak tempias oleh terpaan hujan lebat merupakan dasar yang harus
diperhatikan secara sungguh-sungguh. Perlu pula memberi muatan lokal yang diambil
Permukiman sehat/layak huni
Menurut Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan Lingkungan (2001),
permukiman atau perumahan yang sehat adalah konsep dari perumahan sebagai faktor
yang dapat meningkatkan standar kesehatan penghuninya. Konsep tersebut melibatkan
pendekatan sosiologis dan teknis pengelolaan faktor resiko dan berorientasi pada
lokasi bangunan, kualifikasi, adaptasi, manajemen, penggunaan dan pemeliharaan
rumah dan lingkungan di sekitarnya, serta mencakup unsur-unsur apakah
permukiman/perumahan tersebut memiliki penyediaan air minum dan sarana yang
memadai untuk memasak, mencuci, menyimpan makanan, serta pembuangan kotoran
manusia maupun limbah lainnya.
Johan Silas (2002) menyebutkan kaidah perencanaan kawasan perumahan dan
permukiman yang layak perlu memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal berikut:
(1) penggunaan lahan yang efektif dan efisien dan terkait dengan kegiatan ekonomi
dalam arti luas, (2) orientasi bangunan/gedung perlu memperhatikan arah angin di
samping posisi dan pergerakan matahari. Jalan dan lorong terutama disearahkan
dengan aliran angin sebagai koridor angin yang menjaga kesejukan lingkungan, (3)
jalan mobil hanya disediakan sebatas kebutuhan nyata untuk keamanan dan keadaan
darurat. Parkir mobil sebaiknya terpusat sehingga jalan/lorong dijadikan sebagai taman
komunal, (4) tersedia fasilitas perumahan yang diadakan dan diselenggarakan secara
komunal, termasuk ruang terbuka hijau serta rekreasi memakai akses utama melalui
berjalan kaki dari perumahan yang ada. Sistem sarana dan prasarana harus terkait
dengan sistem kota yang lebih besar.
Prasarana lingkungan permukiman adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan
yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Prasarana utama meliputi jaringan jalan, jaringan air hujan, jaringan pengadaan air
bersih, jaringan listrik, telepon, gas dan sebagainya. Sarana lingkungan permukiman
adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan
kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Contoh sarana lingkungan permukiman adalah
fasilitas pusat perbelanjaan, pelayanan umum, pendidikan dan kesehatan, tempat
peribadatan, rekreasi dan olahraga, pertamanan, pemakaman.
Menurut Sastra (2006) kata permukiman merupakan sebuah istilah yang tidak
arti yang berbeda, yaitu: (1) Isi yang menunjuk kepada manusia sebagai penghuni
maupun masyarakat di lingkungan sekitarnya dan (2) Wadah yang menunjuk pada
fisik hunian terdiri dari alam dan elemen-elemen buatan manusia.
Kesatuan antara manusia sebagai penghuni (isi) dengan lingkungan hunian
membentuk suatu komunitas yang secara bersamaan membentuk permukiman.
Menurut Sastra (2005), elemen permukiman terdiri dari beberapa unsur yaitu alam,
manusia, masyarakat, bangunan/ rumah, dan jaringan/networks.
Alam. Alam disini meliputi kondisi geologi, topografi, tanah, air, tetumbuhan, hewan dan iklim
Manusia. Di dalam satu wilayah permukiman, manusia merupakan pelaku utama kehidupan di samping makhluk hidup lain seperti hewan, tumbuhan dan lainnya.
Sebagai makhluk yang paling sempurna dalam kehidupannya manusia
membutuhkan berbagai hal yang dapat menunjang kelangsungan hidupnya, baik
itu kebutuhan biologis (ruang, udara, temperatur dan lain-lain), perasaan dan
persepsi, kebutuhan emosional serta kebutuhan akan nilai-nilai moral.
Masyarakat. Masyarakat merupakan kesatuan sekelompok orang (keluarga) dalam suatu permukiman yang membentuk suatu komunitas tertentu. Hal-hal yang
berkaitan dengan permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat yang mendiami
suatu wilayah permukiman adalah: (1) Kepadatan dan komposisi penduduk, (2)
Kelompok sosial, (3) Adat dan kebudayaan, (4) Pengembangan ekonomi, (5)
Pendidikan, (6) Kesehatan dan (7)Hukum dan administrasi
Bangunan/Rumah. Bangunan (rumah) merupakan wadah bagi manusia (keluarga). Oleh karena itu dalam perencanaan dan pengembangannya perlu
mendapatkan perhatian khusus agar sesuai dengan rencana kegiatan yang
berlangsung di tempat tersebut. Pada prinsipnya bangunan yang bisa digunakan
sepanjang operasional kehidupan manusia bisa dikategorikan sesuai dengan fungsi
masing-masing yaitu: (1) Rumah pelayanan masyarakat (misalnya sekolah, rumah
sakit, dan lain-lain), (2)Fasilitas rekreasi (fasilitas hiburan), (3) Pusat perbelanjaan
(perdagangan) dan pemerintahan, (4) Industri dan (5) Pusat transportasi
Jaringan/Networks. Jaringan atau Networks merupakan sistem buatan maupun alam yang menyediakan fasilitas untuk operasional suatu wilayah permukiman.