• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ikan Laut sebagai Produk Pangan Ikan Laut dan Produk Olahannya

Ikan laut, sebagai salah satu hasil perikanan tangkap, merupakan sumber protein bagus, bermutu tinggi, memiliki sedikit lemak jenuh namun kaya akan berbagai gizi mikro penting yang diperlukan manusia. Ikan laut merupakan sumber utama asam lemak tak jenuh omega-3, EPA (eicosapentaenoic acid) dan DHA (docosahexaenoic acid) (Burroughs & Burdge 2004) dan juga sumber fosfor, besi dan kalsium yang tinggi (Choo & Williams 2003). Omega-3 juga ditemukan di beberapa minyak sayur, minyak kacang dan minyak cereal, hanya saja tidak sebanyak di ikan laut (Nesheim & Yaktine 2007). Selain itu ikan laut memiliki mutu cerna dan daya manfaat tinggi. Artinya seluruh kandungan protein bahan pangan tersebut dapat dicerna dengan lebih mudah dan diserap usus untuk dapat dimanfaatkan tubuh manusia dibandingkan dengan protein yang berasal dari daging hewan (Muchtadi 1996). EPA dan DHA dipercaya berperan penting dalam meningkatkan perkembangan syaraf pada janin dan bayi, menguatkan kehamilan dan menurunkan resiko terjadinya penyakit jantung (Burdge 2004).

Tabel 1 Fungsi berbagai zat gizi mikro di ikan laut bagi manusia

No Zat Gizi Fungsi

1 Vitamin A Diperlukan untuk pertumbuhan & perkembangan jaringan- jaringan epithelium, syaraf & tulang

2 Vitamin D Pengatur utama metabolisme mineral (kalsium & fosfor) tulang 3 Fosfor Unsur pokok tulang dan gigi

4 Besi Heme enzymes (hemoglobin dll)

5 Yodium Berpengaruh dalam transportasi & metabolisme hormon thiroid 6 Kalsium Penyusun tulang dan gigi, pengatur syaraf dan fungsi otot 7 EPA Penting untuk keutuhan jaringan mitokondrial, berperan dalam

pembentukan prostaglandin & leukotriene 8 DHA Zat gizi penting bagi otak dan retina

Sumber: Choo & Williams 2003

Fungsi dari berbagai zat gizi mikro yang dikandung ikan laut dapat dilihat pada Tabel 1. Sebagai negara baharí dengan luas laut 81% dari luas keseluruhan, Indonesia memiliki berbagai jenis ikan laut. Jenis ikan hasil perikanan tangkap di laut dikelompokkan menjadi kelompok ikan, kelompok binatang berkulit keras berkulit lunak (Molluscs), kelompok binatang air lainnya

dan kelompok tumbuhan air (DKP 2008). Tidak di setiap daerah di Indonesia terdapat semua jenis ikan laut. Tabel 2 menunjukkan berbagai jenis ikan laut yang terdapat di salah satu daerah tempat penelitian ini (Kabupaten Jepara, Jawa Tengah), diurutkan sesuai dari yang terbanyak (BPS Kabupaten Jepara 2008). Nama latin ikan laut terdapat pada Lampiran 6.

Tabel 2 Jumlah produksi ikan laut basah menurut jenis ikan laut Tahun 2007 di Kabupaten Jepara

No. Jenis ikan Produksi (ton) Harga rata-rata per kg

(Rp.) 1 Teri 662,2 6 985 2 Kembung 264,8 5 240 3 Pari 215,2 3 889 4 Tongkol 262,1 6 187 5 Layur 30,3 5 157 6 Manyung 88,7 5 535 7 Blanak 11,0 8 806 8 Petek 98,0 1 500 9 Cucut 66,7 7 609 10 Baronang 27,6 5 691 11 Ekor kuning 200,5 11 274 12 Kerapu karang 16,0 19 939 13 Selar 22,7 7 153 14 Kakap merah 11,2 17 294 15 Kuwe 54,0 7 701 16 Tembang 32,6 2 066 17 Kerapu sunu 33,5 77 034 18 Bandeng 1,6 15 400 19 Ikan lainnya 3278,4 2 823

Sumber: BPS Kabupaten Jepara 2008

Sebagai bahan pangan, ikan laut hadir di pasar dalam berbagai bentuk perlakuan yaitu dalam bentuk segar, diawetkan, dibekukan, dikalengkan dan di- buat tepung ikan (DKP 2008). Dari perlakuan tersebut diperoleh hasil olahan se- perti tertera pada Tabel 3. Ikan segar merupakan ikan mentah yang tidak busuk dan belum diolah. Biasanya ikan segar telah mengalami beberapa perlakuan yaitu pencucian dan penyiangan atau tanpa penyiangan, pendinginan dan pengemasan (SNI 1992). Ikan segar sangat mudah mengalami proses pem- busukan. Untuk menanggulanginya, ikan perlu diolah dari bentuk segarnya. Selain dapat meningkatkan nilai tambah, pengolahan ikan juga merupakan aplikasi proses pengawetan yang bertujuan mencegah kerusakan pada ikan segar, dengan menghambat pertumbuhan bakteri penyebab kerusakan. Ikan asin adalah pangan awetan yang diolah dengan cara penggaraman dan pengeringan. Ikan pindang adalah ikan awetan dengan kadar garam rendah yang pengolahannya merupakan gabungan antara penggaraman dan perebusan sehingga memberikan rasa yang khas. Ikan kaleng didefinisikan sebagai jenis

ikan olahan yang diawetkan dan dikemas secara hermetis (kedap terhadap udara, air, mikroba dan benda asing lainnya) dalam suatu wadah, kemudian disterilkan (Deputi Merinstek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 2000).

Tabel 3 Standar klasifikasi perlakuan produksi dan hasil olahan perikanan tangkap

No Jenis perlakuan Jenis hasil olahan

1 Dipasarkan segar Segar/ mati

Utuh/ dipotong-potong 2 Diawetkan a. Dikeringkan/ diasin b. Dipindang c. Peragian Dibuat terasi Dibuat peda Dibuat kecap d. Diasap e. Lain-lain

a.Ikan kering,ikan asin b.Ikan pindang c.Produk Terasi Ikan peda Kecap ikan d.Ikan asap e.Krupuk, dendeng

3 Pembekuan Ikan beku

(utuh/dipotong-potong)

4 Dikalengkan Ikan kaleng

5 Penepungan Tepung ikan

Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan 2008

Secara umum, kandungan zat gizi dari produk-produk ikan laut disajikan pada Tabel 4. Dari beberapa produk ikan laut, secara umum yang memiliki kandungan protein tertinggi adalah ikan asin dan yang terkecil adalah ikan segar. Hanya saja pada umumnya ikan asin dikonsumsi dalam jumlah yang jauh lebih sedikit daripada ikan segar.

Tabel 4 Perbandingan kandungan zat gizi yang terdapat pada beberapa produk ikan laut per 100 gr produk

Kandungan Zat Gizi

Produk Ikan Laut

Ikan segar Ikan asin Ikan kaleng Ikan pindang

Air (%) 80,0 40,0 47,0 59,0 Kalori (kal) 113,0 193,0 338,0 157,0 Protein (%) 17,0 42,5 21,1 28,0 Lemak (%) 4,5 1,5 27,0 4,2 Kalsium (mg/100g) 20,0 200,0 354,0 50,0 Fosfor (mg/100g) 200,0 300,0 434,0 100,0 Besi (mg/100g) 1,0 2,5 3,5 1,0 Vit A (S1/1-g) 150,0 - 250,0 150,0 Vit B (mg/100g) 0,05 0,01 0,1 01

Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1979.

WHO (1997) merekomendasikan untuk menghemat konsumsi ikan asin yang didasarkan pada data yang berkaitan dengan diet dan penyakit kanker.

Umumnya garam yang ditambahkan untuk pengawetan di bahan pangan, paling banyak terdapat di ikan asin, yaitu berkisar 5-10 gr/100 gr ikan, dibandingkan penggaraman di daging lebih sedikit yaitu 2-6 gr/100 gr daging dan di roti bervariasi antara 1,5 hingga 4 gr/100 gr roti.

Ikan Laut dan Manfaatnya

Berbagai penelitian tentang pengaruh ikan laut terhadap kesehatan manusia telah banyak dilakukan, mulai dari pengaruh ke janin hingga ke orangtua. Konsumsi DHA ke ibu hamil ternyata mempengaruhi kandungan DHA pada darah dan ASI (Al et al. 1995). Aliran DHA ke placenta meninggi dengan meningkatnya konsumsi DHA (Haggarty et al. 1999). Jadi peningkatan konsen- trasi DHA pada darah ibu hamil meningkatkan ketersediaan DHA untuk janin. Status DHA pada ibu hamil dapat mempengaruhi ketersediaan suplai DHA ke otak janin, organ-organ dan jaringan-jaringan lainnya (Clandinin et al. 1980). Pengembangan syaraf janin secara optimum tergantung pada nutrisi spesifik, termasuk DHA. Rendahnya konsumsi ikan laut selama ibu hamil menyebabkan janin mengalami kekurangan asam lemak esensial omega-3 yang dapat meng- akibatkan gangguan pada perkembangan syaraf janin (Salem et al. 2001). Se- mentara pengembangan syaraf yang kurang optimum lebih banyak dialami anak dari ibu yang mengonsumsi ikan laut kurang dari hasil penelitian Hibbeln et al. (2007), yaitu 340 gr ikan/minggu dibandingkan dengan yang dialami anak dari ibu yang mengonsumsi ikan laut lebih dari 340 gr ikan/minggu. Hasil penelitian pasca kelahiran mengkonfirmasi adanya hubungan antara DHA dan inteligensi pada anak dan rendahnya konsumsi DHA menyebabkan kerusakan otak atau mengurangi fungsi optimal otak manusia (Podell 1999). Anak-anak yang menga- lami hiperaktif atau yang mengalami gangguan kurang dapat berkonsentrasi cenderung mengalami kekurangan DHA.

Penelitian McGregor (2001) menunjukkan bahwa kekurangan konsumsi omega-3 pada ibu hamil diperkirakan menyebabkan kelahiran bayi prematur. Studi Olsen dan Secher (2002) menunjukkan bahwa ibu hamil yang menghindari mengonsumsi ikan laut memiliki 7,1% resiko melahirkan bayi prematur, sedang ibu hamil yang mengonsumsi ikan seminggu sekali hanya beresiko 1,9%. Kandungan asam lemak essensial seperti DHA dan AA (arachidonic acid) pada ikan laut juga terdapat di ASI (Lawrence & Lawrence 1999). Hibbeln (2002) dalam ulasannya terhadap 41 penelitian menyimpulkan bahwa ada hubungan

nyata antara konsumsi ikan laut pada ibu hamil dan tingkat DHA pada ASI serta menurunnya prevalensi depresi pasca melahirkan. Menurunnya suasana hati pasca melahirkan tampaknya berhubungan dengan rendahnya tingkat omega-3 dan rendahnya kandungan DHA di dalam ASI berkorelasi dengan meningkatnya tingkat depresi pasca melahirkan. Timonen et al. (2004) yang melakukan studi longitudinal terhadap para ibu hamil hingga ibu berusia 31 tahun membuktikan bahwa para ibu yang jarang mengonsumsi ikan laut lebih sering mengalami depresi sepanjang waktu daripada para ibu yang secara teratur mengonsumsi ikan laut. Namun sebaliknya, Llorente et al. (2003) yang melakukan percobaan terhadap 44 ibu menyusui yang secara teratur mengonsumsi DHA setiap hari selama empat bulan menyusui dibandingkan dengan kelompok kontrol, tidak menemukan adanya perbedaan nyata antara kedua kelompok dalam diagnosa depresi pasca melahirkan.

Para ahli gizi dalam Lokakarya Peranan Asam Lemak Esensial dalam Perkembangan Kecerdasan di Serpong, 14-15 Februari 1996 (Khomsan 2002), telah menyimpulkan bahwa asam lemak omega-3 yang terdapat pada ASI, ikan dan produk olahannya (termasuk minyak ikan) mempunyai peranan penting da- lam peningkatan kecerdasan anak. Percobaan Helland et al. (2001, 2003) yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh minyak ikan pada tingkat inteligensi anak menemukan bahwa anak-anak dari ibu yang mengonsumsi 2 gr/hari DHA dan EPA dari minyak ikan selama tiga bulan terakhir kehamilan memiliki skor IQ pada usia empat tahun lebih tinggi dibandingkan dengan skor IQ anak dari ibu yang menerima suplemen minyak jagung sebagai placebo effect. Tingginya kinerja kognitif bayi berhubungan nyata dengan tingginya konsumsi ikan laut ibu selama hamil hingga persalinan (Oken et al. 2005) dan semakin berkembangnya per-hatian anak (Colombo et al. 2004). Pengukuran IQ pada anak usia 8 tahun dari ibu yang mengonsumsi ikan laut selama kehamilannya dengan menggunakan tes WISC, Wechsler Intellegence Scale for Children, pengukur inteligensi yang terstandar, full-scale, verbal and performance intellegences, menunjukkan bahwa konsumsi ikan laut lebih dari 3 porsi seminggu selama ibu hamil tidak memberikan dampak buruk pada perkembangan dan perilaku anak (Daniels et al. 2004). Sebaliknya membatasi konsumsi ikan laut pada ibu hamil mengurangi konsumsi protein yang diperlukan untuk pengembangan syaraf bayi secara optimum (Hibbeln et al. 2007). Hasil penelitian ini sejalan dengan laporan yang menyatakan bahwa rendahnya konsumsi asam lemak omega-3 selama

keha-milan menurunkan IQ verbal anak (Helland et al. 2003, Whalley et al. 2004).

Efek minyak ikan pertama kali ditegaskan pada tahun 1950an berdasarkan studi-studi lintas budaya yang dilakukan di pemukiman suku Inuits dan Danish di Greenland. Studi-studi tersebut menunjukkan bahwa secara signifikan kejadian penyakit jantung lebih rendah dialami masyarakat suku Inuits dibandingkan dengan masyarakat suku Danish. Fenomena ini disebutkan sebagai Eskimo Paradox. Kemudian studi epidemiologi yang dikerjakan pada tahun 1970an oleh seorang peneliti Danish yang berhipotesa bahwa rendahnya kejadian penyakit jantung di masyarakat Eskimo-Greenland berhubungan dengan tingginya kon- sumsi ikan laut (Bang et al. 1980). Studi tersebut membuktikan adanya korelasi yang kuat antara rendahnya penyakit jantung koroner yang dialami masyarakat suku Inuits dengan tingginya tingkat konsumsi ikan laut yang diketahui banyak mengandung asam lemak omega-3.

Penyakit jantung merupakan penyebab utama kematian masyarakat Barat yang dihubungkan dengan tingginya konsumsi lemak, terutama konsumsi lemak jenuh, yang merupakan kebiasaan makan masyarakat Barat (Shahidi & Miraliakbari 2004). Selanjutnya di banyak penelitian telah terbukti bah-wa mengonsumsi ikan secara teratur berhubungan dengan penurunan ke- mungkinan terkena penyakit kronis. Kandungan tinggi yodium dan asam lemak omega-3 yang dimiliki ikan laut secara signifikan menurunkan tekanan darah, mengurangi resiko kematian mendadak akibat serangan jantung dan meningkat- kan pertumbuhan sel-sel otak (Choo and Williams 2003) serta menurunkan resiko penyakit jantung koroner, terutama kematian yang diakibatkan olehnya (Connor 2000). Studi terhadap perempuan dewasa oleh Iso et al. (2001) menunjukkan bahwa mengonsumsi ikan dua kali atau lebih per minggu akan mengurangi resiko terkena stroke sedang penelitian He et al. (2002) pada laki- laki dewasa membuktikan bahwa resiko terkena stroke tipe ischemic dapat diturunkan dengan mengonsumsi ikan laut cukup satu kali seminggu. Studi longitudinal yang dilakukan Hu et al. (2002) pada perempuan dengan meng- gunakan kuesioner dari tahun 1980, 1984, 1986, 1990, dan 1994, membuktikan bahwa bahwa konsumsi tinggi ikan laut dan asam lemak omega-3 menyebabkan turunnya resiko penyakit jantung koroner, sedang konsumsi kurang dari satu kali per minggu cenderung meningkatkan resiko penyakit. Setelah mengikuti penelitian selama 16 tahun dilaporkan bahwa dari 1513 kasus penyakit jantung

koroner, telah meninggal 484 orang, dan penyakit jantung tersebut lebih banyak dialami pada kelompok yang mengonsumsi ikan kurang dari satu kali per bulan. Kebiasaan mengonsumsi asam lemak omega-3 untuk mengurangi resiko kematian mendadak akibat penyakit jantung koroner dibenarkan oleh Dietary Guideline yang dikeluarkan oleh American Heart Association yang merekomendasikan individu untuk makan paling tidak dua porsi ikan, terutama fatty fish setiap minggunya (Albert et al. 2002, Kris-Etherton et al. 2003).

Selain berkaitan dengan penyakit jantung, penelitian eksperimen dan studi epidemiologis telah menunjukkan bahwa konsumsi makanan yang mengandung asam lemak jenuh mempengaruhi terjadinya beberapa jenis penyakit kanker, seperti kanker prostat dan kanker payudara (Shahidi & Miraliakbari 2004). Penelitian Maillard et al. (2002) menunjukkan adanya kesehatan secara umum perempuan yang mengonsumsi cukup omega-3 seperti terhindar dari kanker payudara dan osteoporosis (Genuis & Schwalfenberg 2006). Kecukupan omega- 3 pada ibu hamil dan ibu menyusui berhubungan dengan berkurangnya penyakit alergi (Sausenthaler et al. 2007) serta meningkatkan koordinasi mata dan tangan anaknya (Dunstan et al. 2006).

Budaya makan ikan yang tinggi dalam masyarakat Jepang telah membuk- tikan terjadinya peningkatan kualitas kesehatan dan kecerdasan pada anak-anak di negara tersebut (Khomsan 2002). Oleh karena itu asam lemak omega-3 sangat dianjurkan untuk dikonsumsi oleh para ibu hamil dan menyusui, karena keduanya akan mempengaruhi kondisi janin di kandungan dan anaknya. Menurut Dahuri (1999) masyarakat di negara dengan tingkat konsumsi ikan yang tinggi, selain berkorelasi positif dengan tingkat kecerdasan masyarakat, penurunan kolesterol dan pencegahan berbagai penyakit degeneratif, juga menunjukkan tingkat harapan hidup yang relatif lebih lama yaitu mencapai sekitar 80 tahun. Tingginya usia harapan hidup masyarakat di negara dengan tingkat konsumsi ikan laut tinggi dapat dijelaskan dari adanya dampak positif mengonsumsi ikan laut yang menyebabkan kesehatan masyarakat semakin baik, dan kesehatan masyarakat yang baik merupakan salah satu faktor penting dalam memper- panjang usia harapan hidup.

Namun selain manfaat yang telah dikemukakan di atas, perlu diperhatikan rekomendasi yang dikeluarkan WHO (1997), yaitu perlunya mengurangi kon- sumsi ikan asin, berkaitan dengan diet dan penyakit kanker. Metil merkuri seba-

gai kontaminan yang terkandung pada ikan laut tidak diragukan mengakibatkan efek kerusakan pada perkembangan otak, namun kerusakan yang terjadi tidak sebesar keseluruhan manfaat nutrisi yang diberikan ikan laut. Studi Hibbeln et al. (2007) menunjukkan bahwa resiko kehilangan manfaat gizi esensial pada perkembangan syaraf akibat penyajian konsentrasi kontaminan pada 340 gr ikan laut yang dikonsumsi tiap minggunya dapat terlampaui. Verbeke et al. (2008) dalam penelitiannya tentang “Komunikasi resiko dan manfaat konsumsi ikan laut pada konsumen Belgia” menyampaikan bahwa di dalam istilah kesehatan, konsumsi produk ikan laut sering dihubungkan dengan kontradiksi yang terjadi antara peningkatan gizi dan kemungkinan dampak toksikologi yang diperoleh konsumen. Manfaat kesehatan dari konsumsi ikan laut adalah adanya kandungan omega-3 dan vitamin D, sedang kemungkinan dampak toksikologi berasal dari kontaminan lingkungan seperti dioxin, methyl mercury dan polychlorinated biphenyls yang dapat menimbulkan gangguan pada kesehatan manusia, terutama pada ibu hamil, perkembangan janin, ibu menyusui, bayi dan kanak-kanak. Konsentrasi kontaminan sangat tergantung pada spesies ikan, metabolisme dan tempat asalnya yaitu kondisi lingkungan dimana ikan itu tinggal sebelum ditangkap. Oleh karena itu, walaupun telah terbukti manfaat ikan laut, Kris-Etherton et al. (2003) menyarankan untuk mengonsumsi berbagai jenis ikan laut untuk memperkecil dampak buruk potensial yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan di laut.

Pola Konsumsi Ikan Laut

Semenjak dikaitkannya konsumsi ikan secara teratur dengan peluang menurunnya beberapa penyakit kronis, seperti penyakit jantung, maka terjadi peningkatan konsumsi ikan sesuai dengan kecenderungan menggunakan pola makan secara sehat (Verbeke & Vackier 2005). Penelitian Prell et al. (2002) menunjukkan bahwa pengkonsumsi ikan, yaitu para siswa sekolah usia 14 tahun, lebih dipuaskan karena rasa, tekstur daging dan penampilan ikan laut dan ber- pendapat bahwa masakan ikan laut itu sehat dan dapat diolah dengan baik.

Kendala yang diperkirakan menghalangi seseorang mengonsumsi ikan laut adalah persepsi tentang kesulitan di dalam membeli, menyiangi dan mengolahnya, persepsi tentang harga yang mahal atau persepsi tentang sifat- sifat fisik dari beberapa jenis ikan laut yang tidak menyenangkan (Leek et al.

2000), seperti banyaknya duri dan bau amis yang ditimbulkannya (Bredahl & Grunert 1997, Prell et al. 2002). Selain itu rendahnya konsumsi ikan laut juga berkaitan dengan kendala berupa tidak stabilnya pasokan ikan dan kurangnya variasi mutu, serta begitu rendahnya tingkat perkembangan produk ikan yang dapat memenuhi harapan konsumen (Trondsen 1997a, Trondsen 1997b, Trondsen et al. 2003a). Penelitian di beberapa tempat di pulau Jawa juga me- nunjukkan bahwa persepsi yang dimiliki konsumen tentang bau ikan yang tidak menyenangkan (amis, anyir) lebih merupakan hambatan besar dalam mengon- sumsi ikan laut (Suparman 2003, Nurdianty 2004, Mardianty 2005).

Berbagai pengetahuan di atas tentang manfaat ikan laut sebagai bahan pangan telah banyak diketahui masyarakat. Namun food choice merupakan suatu proses perilaku kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang berbeda-beda. Secara keseluruhan food choice tidak hanya ditentukan oleh kebutuhan fisiologis dan pengetahuan mengenai berbagai zat gizi yang terkan- dung di dalamnya dan kebutuhan manusia akan zat gizi tersebut, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial budaya (Shepherd 1999) atau kebutuhan sosial dan kebutuhan psikologis (Sijtsema 2003).

Bagaimana dengan sikap positif individu terhadap pola makan sehat? Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, kekuatan prediktif dari sikap dan keyakinan yang dimiliki individu mempunyai dampak terhadap pembentukan pola makan. Berbagai model food choice telah dikembangkan, seperti sikap internal individu mempengaruhi karakteristik sensori pangan (Roininen 2001) sedang bahan pangan itu sendiri, individu serta lingkungan sosial-ekonomi secara bersama-sama mempengaruhi food choice (Roininen 2001), yang semuanya dapat disatukan melalui sikap dan keyakinan individu. Tidak selamanya sikap positif seseorang terhadap suatu obyek akan sejalan dengan perilakunya yang positif terhadap obyek itu. Ada faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi perilaku seseorang, sebagaimana diutarakan oleh Ajzen (1991), yaitu norma- norma yang dipegang individu, pengontrolannya terhadap obyek sikap serta kecenderungannya bertindak terhadap obyek sikap.

Perilaku Makan

Pangan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari dan beberapa hal yang berkaitan dengan pangan telah berubah secara drastis dalam kurun waktu satu abad ini. Sijtsema (2003) mencontohkan kisah hidupnya sebagai berikut:

”Pada awal abad 20, nenek saya tinggal di daerah pertanian, dimana dia dan keluarganya menanam kentang dan mengolahnya untuk makanan mereka, memeras sapi peliharaannya untuk mendapatkan susu dan menjualnya. Di pertengahan abad 20, ibu saya tinggal di desa merawat rumah tangganya sementara ayah saya bekerja. Ibu saya berbelanja di toko atau di pasar dan menyiapkan makanan bagi keluarganya. Segala sesuatu berbeda dengan keadaan saya sekarang. Saya bekerja sebagaimana suami saya, dan kami membeli semua makanan kami di supermarket yang menyajikan berbagai macam sayur dan makanan dari berbagai macam negara. Saya hanya butuhkan waktu singkat untuk memanaskan semua makanan jadi dari supermarket yang telah dikemas dengan baik”.

Berkaitan dengan pangan, yang paling penting adalah adanya transisi dari pilihan pangan yang sedikit dan terbatas menjadi pilihan yang melimpah. Selain itu konsumen tak lagi dapat mencukupkan kebutuhannya dari usahanya sendiri, juga semakin sedikit yang mengenal kegiatan menanam, memproduksi dan mengolah bahan pangan. Saat ini, pangan adalah bagian dari gaya hidup konsumen dan produksi pangan telah berkembang menjadi industrialisasi. Telah terjadi perkembangan pangan berkaitan dengan fungsi pangan, manusia tidak hanya mempunyai kebutuhan fisiologis (lapar) untuk berhubungan dengan pangan, namun juga mempunyai kebutuhan sosial dan kebutuhan psikologis yang membuatnya berhubungan dengan pangan (Sijtsema et al. 2002). Oleh ka- rena itu memilih makanan menjadi salah satu bentuk perilaku yang kompleks, dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, yaitu oleh makanan itu sendiri, individu yang membuat pilihan, lingkungan ekonomi dan sosial dimana pilihan itu dibuat (Meiselman & MacFie 1996) atau yang dikatakan Shepherd (1999) sebagai faktor-faktor sosial budaya.

Budaya dimana individu tumbuh dan berkembang memiliki pengaruh yang sangat kuat pada jenis pilihan pangan yang dibuat, sedang interaksi sosial memiliki pengaruh besar pada opini seseorang tentang pangan dan perilaku makannya (Shepherd 1999). Kebutuhan-kebutuhan sosial dan psikologis, seba- gaimana dikatakan Sijtsema et al. (2002) di atas menjadi semakin penting di negara-negara industrialisasi sejalan dengan terjadinya perubahan-perubahan

demografis, seperti perubahan komposisi rumah tangga, tingkat pendidikan dan tingkat partisipasi kerja perempuan serta penghasilan keluarga yang semakin tinggi. Penelitian Lien et al. (2001) dan Kelder et al. (1994) terhadap pra-remaja berusia 14 tahun telah membuktikan bahwa pola makan yang terbentuk sejak masa anak-anak menetap hingga mereka masuk ke usia dewasa.

Ada berbagai model perilaku makan yang berisikan beberapa faktor yang saling berkaitan. Secara garis besar model-model tersebut menggambarkan kea- daan yang hampir sama, kecuali dalam hal penekanan faktor-faktor tertentu, dimana faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan pangan (food choice) dike- lompokkan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan pangan, individu yang mem- buat pilihan dan lingkungan dimana pilihan itu dibuat (Sanjur 1982, Shepherd 1999).

Model Penerimaan Pangan

Menurut Pilgrim (1956), penerimaan pangan (food acceptability) menun- jukkan perilaku makan yang disertai dengan kesenangan. Batasan tersebut me- nekankan adanya komponen perilaku dan komponen sikap, dimana kesenangan termasuk di dalamnya. Namun berbeda dengan food preference yang merupa-