• Tidak ada hasil yang ditemukan

NOFIDI H EKAPUTRA NRP A 15302

RIWAYAT HIDUP

4 Listrik, Gas & Air Bersih 2.30,

1.3. Tujuan dan Manfaat Kajian

Kajian yang baik harus memiliki tujuan dan manfaat agar memberikan arah bagaimana hasilnya dapat ditindaklanjuti sebagai rancangan program yang dapat dipertanggungjawabkan melalui berbagai alternatif prioritas kegiatan.

Adapun kajian ini bertujuan untuk merumuskan strategi pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan yang termanfaatkan dengan baik nantinya.

Secara khusus kajian pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Pelalawan memiliki tujuan :

1. Menganalisis strategi pembangunan dan pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan.

2. Menganalisis sektor basis yang mempengaruhi upaya pembangunan dan pengembangan di wilayah pesisir Kabupaten Pelalawan

3. Merekomendasikan strategi pembangunan dan pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan.

Kajian ini merupakan analisis kuantitatif atas pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan. Kajian ini sekaligus sebagai perancangan program pembangunan di wilayah pesisir yang diharapkan dapat dimanfaatkan menjadi bahan masukan kepada Pemerintah Kabupaten Pelalawan dalam pengembangan program-program wilayah pesisir yang secara dimensional akan berdampak nyata pada pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pelalawan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pembangunan

Pengertian pembangunan dalam sejarah dan strateginya telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup dan yang terakhir pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Perubahan evolutif dari pengertian di atas didasarkan atas banyak kekecewaan dan hasil umpan balik dari pelaksanaan pembangunan yang tidak mencapai sasaran-sasaran yang diinginkan serta kekurangan informasi dalam memahami persoalan-persoalan yang timbul yang sebelumnya tidak dapat diramalkan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Secara umum dapat dikemukakan bahwa pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang melibatkan berbagai perubahan dalam banyak aspek kehidupan manusia yang bertujuan dan memberi harapan kepada perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik dan lebih merata yang dalam jangka panjang agar dapat berlangsung secara berkelanjutan. Pada dasarnya, dalam pembangunan tersebut memperhatikan bagaimana pertumbuhan ekonomi dan faktor-faktor yang berkaitan dengannya seperti perubahan teknologi, institusi (kelembagaan), dan nilai-nilai sosial dapat diakomodasikan kedalam kebijaksanaan dalam situasi yang terus menerus berubah. Sehingga pengaturan dan kebijaksanaan yang sebelumnya cocok dengan keadaan suatu tahapan pembangunan, kemudian memerlukan reformasi pengaturan dan kebijaksanaan baru yang diperlukan sesuai dengan perubahan dinamika dan interaksinya antara faktor-faktor fisik, ekonomi dan sosial yang terus berubah.

Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang diinginkan, upaya- upaya pembangunan harus diarahkan kepada efisiensi (efficiency), kemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability) dalam memberi panduan kepada alokasi sumberdaya (semua capital yang berkaitan dengan natural, human, man-

made maupun sosial) baik pada tingkat nasional maupun regional dan lokal, yang sering memerlukan sumberdaya dari luar, seperti barang-barang modal untuk diinvestasikan guna mengembangkan infrastruktur ekonomi, sosial dan lingkungan (Anwar, 1999).

Keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh tiga nilai pokok, yaitu (1) berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs), (2) meningkatkan rasa harga diri (self-esteem)

masyarakat sebagai manusia, dan (3) meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude) yang merupakan salah satu dan hak asasi manusia (Todaro, 2000). Selanjutnya dijelaskan bahwa selain nilai pokok, harus memperhatikan, faktor-faktor yang mempengaruhi kelancaran proses pembangunan, yaitu jumlah dan jenis sumberdaya alam, ketepatan rangkaian kebijakan dan sasaran yang ditetapkan oleh pemerintah, tersedianya modal dan teknologi dari luar, serta kondisi-kondisi di lingkungan perdagangan internasional.

Pembangunan ekonomi di Indonesia seharusnya ditekankan pada pembangunan sektor pertanian (perikanan termasuk di dalamnya), karena sebagian besar daerah di Indonesia merupakan daerah pertanian. Tetapi pembangunan sektor lain tetap dikembangkan karena merupakan komplementer dari sektor pertanian. Menurut Todaro (2000), syarat-syarat yang harus segera dipenuhi dalam rangka merealisasikan setiap strategi pengembangan sektor-sektor pertanian dan pembangunan daerah-daerah pedesaan yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat banyak adalah :

1. Struktur usaha tani, pola pemilikan dan penggunaan lahan harus disesuaikan dengan tujuan utama yang bersisi ganda, yaitu peningkatan produksi bahan pangan pada satu sisi, serta pemerataan segala manfaat atau keuntungan-keuntungan kemajuan pertanian pada sisi yang lain.

2. Semua manfaat dari pembangunan pertanian berskala kecil tidak akan dapat direalisir secara nyata tanpa didukung oleh serangkaian kebijakan pemerintah yang secara sengaja diciptakan untuk memberikan rangsangan atau insentif- insentif, kesempatan atau peluang-peluang ekonomi, dan berbagai kemudahan yang diperlukan untuk mendapatkan segenap input utama guna

memungkinkan para petani kecil meningkatkan tingkat output dan produktivitas mereka.

3. Keberhasilan pembangunan pedesaan selain sangat tergantung pada kemajuan-kemajuan petani kecil, juga ditentukan oleh hal-hal penting lainnya yang meliputi: (1) upaya-upaya untuk meningkatkan pendapatan riil, baik di sektor pertanian maupun non pertanian, melalui penciptaan lapangan kerja, industrialisasi dipedesaan, dan pembenahan pendidikan, kesehatan dan gizi penduduk, serta penyediaan berbagai bidang pelayanan sosial dan keejahteraan lainnya, (2) penanggulangan masalah ketimpangan distribusi pendapatan di daerah pedesaan serta ketidakseimbangan pendapatan dan kesempatan ekonomi antara daerah pedesaan dengan perkotaan, serta (3) pengembangan kapasitas sektor atau daerah pedesaan itu sendiri dalam rangka menopang dan memperlancar langkah-langkah perbaikan tersebut dari waktu ke waktu.

2.2. Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Konsep pembangunan berkelanjutan telah menjadi agenda internasional dalam pertemuan Komisi Dunia untuk Pembangunan dan Lingkungan (World Commission on Environmental and Development (WCED)) tahun 1987 dan telah dikonfirmasikan oleh negara-negara dunia menjadi prioritas internasional dalam konvensi Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) untuk lingkungan dan pembangunan

(United Nation Convention on Environment Development (UNCED)), 1992. Kemudian dalam Agenda 21, konsep tersebut dibahas dalam Commission on Sustainable Development (CSD) yang mengembangkan indikator pembangunan berkelanjutan dalam skala yang beragam. Penekanan pada perikanan tangkap yang mempunyai masalah pemanfaatan sumberdaya yang tidak lestari, menjadi priotas utama (FAO, 2001). Sampai sekarang masih terjadi diskusi yang hangat tentang istilah keberlanjutan (sustainability) dan bagaimana cara mengukurnya (Alder et al., 2002). Namun demikian secara umum terdapat satu kesepakatan bahwa sustainability harus mencakup komponen ekologis, sosial, ekonomi dan etika (Antune and Santos, 1999, Costantanza et al., 1999,Garcia, Staples and Chesson, 2000 dalam Alder et al., 2002).

Konsep pembangunan berkelanjutan oleh WCED (1987) dinyatakan sebagai pembangunan yang mencukupi kebutuhan generasi sekarang dengan tidak mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhannya. Penekanan pembangunan dalam konteks ini berkaitan dengan kualitas hidup, bukan pertumbuhan ekonomi, walaupun kedua hal tersebut sangat berkaitan dalam sistem perekonomian modern. Costanza (1991), mengemukakan bahwa definisi kelestarian yang sangat berguna adalah tingkat konsumsi yang dapat dilanjutkan dalam waktu yang tak terbatas tanpa menurunkan capital stock.

Konvensi keanekaragaman hayati (Convention on Biologycal Diversity (CBD)) menyatakan bahwa pemanfaatan yang lestari (sustainable use) sebagai pemanfaatan komponen keanekaragaman hayati dengan cara dan pada tingkat yang tidak mengarah pada penurunan keanekaragaman hayati dalam jangka panjang, sehingga dapat tetap menjaga potensi sumberdaya tersebut untuk mencukupi kebutuhan dan keinginan generasi sekarang dan yang akan datang (McNeely, 1999).

Konsep pembangunan berkelanjutan juga dapat dilihat dalam konsep FAO Council (1988) dalam FAO (2001) sebagai pengelolaan dan perlindungan sumberdaya alam dan perubahan orientasi teknologi dan kelembagaan dalam beberapa cara yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan berusaha untuk melindungi tanah, air, tumbuhan, dan sumberdaya genetis hewan agar tidak menurunkan kualitas lingkungan dimana secara teknis tepat, secara ekonomis berguna, dan secara sosial dapat diterima. Sementara itu dalam konsep Council of Australia Government (1992) dalam FAO (2001) menyatakan sebagai penggunaan, perlindungan dan enhancing sumberdaya masyarakat sehingga secara proses ekologis dapat terjaga dan total kualitas hidup sekarang maupun dimasa mendatang dapat ditingkatkan.

2.3. Wilayah Pesisir

Secara geografis, wilayah pesisir didefinisikan sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, dimana proses-proses biologi dan fisika yang kompleks memainkan peranan penting (Scura et al., 1992; Dahuri et al.,1996).

Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line) maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas (boundaries) yaitu sejajar dengan garis pantai (long shore) dan batas tegak lurus garis pantai (cross shore). Untuk keperluan pengelolaan, penetapan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantai relatif lebih mudah dan jelas, yaitu dengan mengacu pada batasan suatu wilayah administrasi. Sedangkan penetapan batas-batas wilayah pesisir yang tegak lurus terhadap garis pantai lebih sulit dilakukan. Dari implementasi program pengelolaan wilayah pesisir yang telah dilakukan di beberapa negara, menurut Dahuri (1999) dapat diperoleh pelajaran sebagai berikut: pertama, batas wilayah pesisir ke arah darat pada umumnya adalah jarak secara arhitrer dari rata-rata pasang tinggi, dan batas ke arah laut umumnya adalah batas jurisdiksi provinsi. Kedua, untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat suatu wilayah pesisir dapat ditetapkan dua macam, yaitu; batas untuk wilayah perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day-to- day management).

Batas perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan (hulu), dimana terdapat aktivitas manusia yang berpengaruh/berdampak secara nyata

(significant) terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir. Sehingga pada suatu program pengelolaan wilayah pesisir yang menetapkan dua batasan wilayah pengelolaan di atas, maka wilayah perencanaan akan selalu lebih luas daripada wilayah pengaturan. Dalam wilayah pengelolaan keseharian, pemerintah (pihak pengelola) memiliki kewenangan penuh untuk mengeluarkan atau menolak ijin kegiatan pembangunan. Sedangkan untuk wilayah perencanaan kewenangan seperti di atas melibatkan dan menjadi tanggung jawab bersama instansi pengelola daerah hulu atau laut lepas.

Untuk batas administrasi ke arah laut, berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah ditetapkan wilayah kewenangan daerah kabupaten adalah 1/3 dari kewenangan provinsi, yaitu

±14 mil laut dari garis pantai. Definisi wilayah pesisir yang dimaksud dalam kajian ini disamping definisi-definisi seperti di atas juga mengadopsi definisi wilayah pesisir menurut Soegiarto (1976), yaitu wilayah pertemuan antara daratan dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan baik

kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat alami laut seperti pasang surut, angin laut, dan intrusi air laut, sedangkan batas ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami di darat seperti; sedimentasi, aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti; penggundulan hutan dan pencemaran.

Wilayah pesisir ditinjau dari konsep wilyah termasuk dalam wilayah homogen, wilayah nodal, wilayah administratif dan wilayah perencanaan. Sebagai wilayah homogen, wilayah pesisir merupakan wilayah sentra produksi ikan, namun biasanya juga dikatakan sebagai wilayah dengan tingkat pendapatan penduduk tergolong di bawah garis kemiskinan. Sebagai wilayah nodal, wilayah pesisir seringkali sebagai wilayah belakang dengan wilayah perkotaan sebagai intinya. Bahkan seringkali wilayah pesisir dianggap sebagai halaman belakang (back yard) yang merupakan tempat pembuangan segala macam limbah. Sehubungan dengan fungsinya sebagai wilayah belakang, maka wilayah pesisir merupakan penyedia input (pasar input) bagi inti dan pasar bagi barang- barang jadi (output). Sebagai wilayah administrasi, wilayah pesisir dapat berupa wilayah administrasi yang relatif kecil yaitu kecamatan atau desa, namun dapat pula berupa kabupaten/kota dalam bentuk pulau kecil. Sedangkan sebagai wilayah perencanaan, batas wilayah pesisir lebih ditentukan oleh kriteria ekologis, sehingga melewati batas-batas wilayah administratif. Terganggunya keseimbangan biofisik-ekologis dalam wilayah ini akan berdampak negatif yang tidak hanya dirasakan oleh daerah tersebut tetapi juga daerah sekitarnya yang merupakan kesatuan wilayah sistem (kawasan). Oleh karena itu dalam pembangunan dan pengembangan wilayah ini diperlukan suatu perencanaan terpadu yang tidak menutup kemungkinan adanya lintas batas administratif (Budiharsono, 2001).

Arsyad (1999) menjelaskan bahwa jika kita membahas perencanaan pembangunan ekonomi daerah maka pengertian wilayah yang paling banyak digunakan adalah sebagai wilayah adminitratif, karena :

Dalam melaksanakan kebijakan dan rencana pembangunan daerah diperlukan tindakan-tindakan dari berbagai lembaga pemerintah. Oleh karena itu, akan lebih praktis jika suatu negara dipecah menjadi beberapa

daerah ekonomi berdasarkan satuan adminitratif yang ada.

Daerah yang batasannya ditentukan secara admimstratif lebih mudah dianalisis, karena biasanya pengumpulan data diberbagai daerah dalam suatu negara, pembagiannya didasarkan pada satuan administratif.

2.4. Konsep Pembangunan Perikanan dan Kelautan

Pembangunan perikanan bertujuan untuk memanfaatkan sumberdaya secara optimal tanpa mengganggu kelestariannya serta diharapkan dapat memberikan kesejahteraan pada masyarakat melalui penyerapan tenaga kerja dan dapat meningkatkan pendapatan negara melalui pajak pendapatan dan devisa dari ekspor produknya. Sedangkan kebijakan pembangunan perikanan, termasuk sumberdaya pesisir pada hakekatnya merupakan proses politik yang mempunyai pengertian, bahwa kebijakan tersebut tersusun dan terimplementasikan melalui proses negosiasi antar berbagai stakeholders. Oleh karena itu keberhasilan segenap kaidah pembangunan perikanan berkelanjutan yang baik seperti di atas sangat tergantung pada kemauan dan komitmen segenap

stakeholders tersebut (Retraubun, 2001).

Beberapa pertimbangan yang diperlukannya dalam pembangunan perikanan yang berkelanjutan diantaranya meliputi :

1. Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dan aktivitas pengelolaannya harus didasarkan pada ekosistem kelautan tertentu dan teridentifikasi dengan baik.

2. Memelihara daya dukung sumberdaya terhadap aktivitas pemanfaatan dalam jangka panjang.

3. Menghidupi tenaga kerja dalam bidang perikanan dalam masyarakat yang lebih luas.

4. Memelihara tingkat kesehatan dan kesatuan ekosistem kelautan untuk pemanfaatan yang lain, termasuk didalamnya keanekaragaman hayati, ilmu pengetahuan, nilai intrinsik, struktur tropis dan kegunaan ekonomi lainnya seperti pariwisata dan rekreasi.

Tujuan dari pembangunan berkelanjutan akan sejalan dengan tujuan pembangunan perikanan seperti misalnya memelihara stok sumberdaya perikanan

dan melindungi habitatnya. Namun demikian mengelola sumberdaya perikanan untuk pembangunan yang berkelanjutan bersifat multi-dimensional dan aktivitas bertingkat (multi level activities), yang harus mempertimbangkan lebih banyak aspek dibandingkan dengan daya tahan hidup ikan dan perikanan itu sendiri (FAO, 2001). McGoodwin (1990) menyatakan bahwa dalam menganalisis sumberdaya perikanan, konsekuensi sosial dan ekonomi harus diperhitungkan sama halnya dengan konsekuensi teknis dan etika. Alder et al., (2000) menyatakan bahwa tantangan bagi pengelola perikanan adalah menilai kelestarian sumberdaya tersebut dengan pendekatan yang bersifat multi disiplin yang mampu mengintegrasikan topik yang beragam tersebut.

Menurut Anwar (1994), alternatif pengelolaan sumberdaya perairan pesisir adalah perlu adanya suatu pemikiran yang mengarah kepada terjadinya pelimpahan kewenangan pengelolaan yang diberikan kepada komunitas masyarakat nelayan atau pemerintah desa guna menjaga keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya pesisir dimasa yang akan datang. Hal ini dapat ditempuh dengan beberapa cara, yaitu :

1. Dilimpahkannya hak-hak untuk memperoleh akses terhadap sumberdaya perairan pesisir yang dapat menjamin kepentingan individual, kelompok ataupun masyarakat nelayan.

2. Pelimpahan wewenang dan tanggung jawab pengelolaan pemerintah pusat kepada kelompok masyarakat pesisir atau nelayan lokal, prosesnya berlangsung secara bertahap tergantung dari kemampuan masyarakat untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi secara efisien dan efektif.

3. Dikembangkannya suatu zona pemungutan dan tangkapan yang eksklusif yang disebut hak ulayat atau hak pakai teritorial (teritorial use right).

Pada perkembangannya menurut Dahuri (1999), konstribusi sektor perikanan terhadap sektor pertanian menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Data terakhir menunjukkan bahwa perikanan menyumbang sekitar 10,3 % per tahun terhadap PDB pertanian dengan tingkat pertumbuhan yang positif. Pada masa krisis dewasa ini sektor perikanan menyumbang secara signifikan, sekitar 1,87 % pada produk domestik bruto Indonesia sampai kuartal rill

menurut harga konstan (BPS Oktober, 1998). Dengan demikian sektor perikanan dapat dijadikan andalan pertumbuhan perekonomian dalam arti luas.

Menurut Dahuri (1999), proses pemanfaatan sumberdaya perikanan ke depan harus dilakukan dalam kesamaan visi pembangunan perikanan, yaitu suatu pembangunan perikanan yang dapat memanfaatkan sumberdaya ikan beserta ekosistemnya secara optimal bagi kesejahteraan dan kemajuan bangsa Indonesia, terutama nelayan dan petani ikan secara berkelanjutan. Terdapat tiga syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk mewujudkan visi pembangunan perikanan tersebut. Pertama, sektor perikanan harus mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi secara nasional (makro) melalui peningkatan devisa, peningkatan pendapatan rata-rata para pelakunya serta mampu meningkatkan sumbangannya terhadap PDB. Kedua, sektor perikanan harus mampu memberikan keuntungan secara signifikan kepada para pelakunya dengan cara mengangkat tingkat kesejahteraan para pelaku perikanan yang ada saat ini yang masih sangat tertinggal dibanding dengan sektor-sektor lain. Ketiga, pembangunan perikanan yang akan dilaksanakan selain dapat menguntungkan secara ekonomi juga harus ramah secara ekologis, artinya pembangunan harus memperhatikan kelestarian dan daya dukung lingkungan baik terhadap sumberdaya perikanan itu sendiri maupun ekosistem lainnya.

Selanjutnya dijelaskan oleh Dahuri (2001), ada delapan strategi dan kebijakan yang diperlukan dalam pembangunan sektor perikanan dan kelautan masa mendatang adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan produksi dan nilai tambah perikanan dan kelautan secara efisien, optimal dan berkelanjutan, melalui kebijakan untuk mendukung pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan secara lestari, pengembangan kapasitas penangkapan, pengembangkan investasi perikanan dan kelautan dan pengembangkan teknologi budidaya laut.

2. Peningkatan ekspor produk perikanan melalui adanya kebijakan mutu, promosi dan pengembangan terminal ekspor.

3. Pemberdayaan masyarakat nelayan melalui kebijakan pemberian kredit lunak bagi usaha kecil (nelayan) dan kebijakan kemitraan pengusaha kecil dan besar.

4. Pembangunan sarana dan prasarana. 5. Pembangunan pulau-pulau kecil. 6. Manajemen tata ruang.

7. Penguatan sumberdaya manusia (SDM) dan llmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

8. Penegakan hukum dan peningkatan kapasitas kelembagaan.

Kusumastanto (2002) menambahkan, agar bidang kelautan menjadi sebuah sektor unggulan dalam perekonomian nasional, maka diperlukan suatu kebijakan pembangunan yang bersifat terintegrasi antar institusi pemerintah dan sektor pembangunan. Untuk mengarah pada kondisi tersebut, maka diperlukan suatu kebijakan pembangunan kelautan (ocean development policy) sebagai bagian dari

ocean policy yang nantinya menjadi "payung" dalam mengambil sebuah kebijakan yang bersifat publik. Penciptaan payung ini dibangun oleh sebuah pendekatan kelembagaan (institutional arrangement) yang lingkupnya mencakup dua domain dalam suatu sistem pemerintahan yakni eksekutif dan legislatif. Dalam konteks ini maka kebijakan perikanan dan kelautan pada akhimya menjadi kebijakan ekonomi politik yang nantinya menjadi tanggung jawab bersama pada semua level institusi eksekutif yang mempunyai keterkaitan kelembagaan maupun sektor pembangunan. Sementara pada level legislatif adalah bagaimana lembaga ini mampu menciptakan instrumen kelembagaan (peraturan perundangan) pada

level pusat maupun daerah untuk mendukung kebijakan pembangunan perikanan.

2.5. Teori Lokasional dan Sektor Basis

Pemahaman tentang bagaimana keputusan mengenai lokasi mutlak diperlukan bila membahas kegiatan pada ruang dan menganalisa bagaimana suatu wilayah tumbuh dan berkembang. Keputusan mengenai lokasi yang diambil oleh unit-unit pengambilan keputusan akan menentukan struktur tata ruang wilayah yang terbentuk. Unit-unit pengambilan keputusan dalam penentuan lokasi dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu: (1) rumah tangga; (2) perusahaan; dan (3) pemerintah. Setiap unit pengambil keputusan mempunyai kepentingan sendiri berdasarkan aktivitas ekonomi yang dilakukan. Aktivitas ekonomi rumah tangga adalah (a) penjualan jasa tenaga kerja dan (b) konsumsi; aktivitas perusahaan

meliputi (a) pengumpulan input, (b) proses produksi dan (c) proses pemasaran, dengan tujuan memaksimalkan keuntungan yang diperoleh. Sementara itu pemerintah disamping mempunyai peran melindung kepentingan masyarakat juga bertindak sebagai locator dari berbagai aktivitas yang ditanganinya seperti penentuan lokasi sebagai sarana dan fasilitas pelayanan umum.

Untuk mengetahui kecenderungan potensi keunggulan suatu komoditas disuatu lokasi tertentu, analisis yang sering digunakan adalah analisis basis ekonomi yaitu Location Quotient Analysis (LQ). Metode LQ secara umum merupakan metode analisis yang digunakan untuk menunjukkan lokasi pemusatan atau basis suatu aktifitas. Disamping itu, LQ juga digunakan untuk mengetahui kapasitas ekspor perekonomian suatu wilayah serta tingkat kecukupan barang/jasa dari produksi lokal suatu wilayah.

LQ merupakan suatu indeks untuk membandingkan pangsa sub wilayah dalam aktivitas tertentu dengan pangsa total aktivitas tersebut dalam total aktivitas wilayah. Asumsi yang digunakan dalam LQ adalah sedikit kondisi geografis yang relatif seragam. Pola-pola aktivitas bersifat seragam serta setiap aktivitas menghasilkan produk yang sama. Berbagai dasar ukuran dalam pemakaian LQ

harus disesuaikan dengan kepentingan penelitian dan sumber data yang tersedia. Jika penelitian dimaksudkan untuk mencari sektor yang kegiatan ekonominya dapat memberikan kesempatan kerja sebanyak-banyaknya maka yang dipakai sebagai dasar ukuran adalah jumlah tenaga kerja sedangkan bila keperluannya untuk menaikkan pendapatan daerah, maka pendapatan merupakan dasar ukuran yang tepat, sedangkan jika hasil produksi maka jumlah hasil produksi yang dipilih. LQ juga menunjukkan efisiensi relatif wilayah, serta terfokus pada substitusi impor yang potensial atau produk dengan potensi ekspansi ekspor (Shukla, 2000).

Menurut Tarigan (2004), dalam pengertian ekonomi regional, ekspor adalah menjual produk/jasa ke luar wilayah, baik ke wilayah lain dalam negeri maupun ke luar negeri. Tenaga kerja yang berdomisili di wilayah kita, tetapi bekerja dan memperoleh uang dari wilayah lain termasuk dalam pengertian ekspor. Pada dasarnya kegiatan ekspor adalah semua kegiatan baik produk maupun penyedia jasa yang mendatangkan uang dari luar wilayah karena kegiatan

basis. Lapangan kerja dan pendapatan di sektor basis adalah fungsi dari permintaan yang bersifat exogenous (tidak tergantung pada kekuatan intern/permintaan lokal).

Lebih lanjut menurut Tarigan (2004), mengatakan bahwa semua kegiatan lain yang bukan kegiatan basis termasuk ke dalam kegiatan/sektor service atau pelayanan, tetapi untuk tidak menciptakan pengertian yang keliru tentang arti

service disebut saja sektor non basis. Sektor non basis (service) adalah untuk memenuhi kebutuhan lokal. Karena sifatnya yang memenuhi kebutuhan lokal, permintaan sektor ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat setempat. Oleh karena itu, kenaikannya sejalan dengan kenaikan pendapatan masyarakat setempat. Dengan demikian, sektor ini terkait terhadap kondisi ekonomi setempat dan tidak bisa berkembang melebihi pertumbuhan ekonomi wilayah. Atas dasar anggapan di atas, satu-satunya sektor yang bisa meningkatkan