KAJIAN PENGEMBANGAN STRATEGI DI WILAYAH
PESISIR KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU
NOFIDI H. EKAPUTRA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kajian Pengembangan Strategi Di Wilayah Pesisir Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Desember 2009
Nofidi H. Ekaputra.
ABSTRACT
NOFIDI H.EKAPUTRA. Improving Strategies Development The Coastal Area of Pelalawan Regency, The Province of Riau. Under the supervision of
HERMANTO SIREGAR and ERNAN RUSTIADI
This research was to study the problems in the coastal area of Pelalawan Regency and to give solution policies for an optimum exploitation of the resources in the coastal area. The policies resulted from this study area those made through a participative pattern, in which they were derived by means if interviews with the community and the government of Pelalawan Regency which was represented by Marine and Fishery Services in the Regency. The policies were analyzed with the help of the prime analysis software, and the method of Location Quotien (LQ) was used to determine which sectors served as the center of the development in the regency of Pelalawan.
The research results show that 1) the coastal area of Pelalawan Regency is located in two distric, i.e. the District of Kuala Kampar and the District of Teluk Meranti, 2) both districts have a great potential for the development particularly in the sectors of fishery and marine, 3) the sectors which are already well developed are plantation, agriculture, and animal husbandry, while fishery and marine are far below an optimal development, 4)in the attempt to develop the fishery and marine
sectors, in 2007 Pelalawan Regency allocated a budgeted cost of Rp. 3.594.866.145, 5) catching fish businesses in Pelalawan Regency can be
classified into two types: cathcing fish in common waters (rivers and lakes) and fishing on the sea, 6) in terms of the raising media, the fisheries in Pelalawan are distinguished into theree types: cages, fresh water ponds, and salty water ponds, 7) fish processing in Pelalawan Regency is often of an identical type to smoking and drying, 8) with the prime analysis software, it was found that the decision making should be directed to the capital and marketing aspects, 9) only three were found to possess a comparative advantage, namely, agriculture; trade, hotel and restaurant; and transportation and communication. If further elaborated into sub-sectors, there are are 13 sub-sectors having a comparative advantage, one of which is the sector of fishery and marine.
The policy analysis that must be applied in Pelalawan Regency as an initial development strategy is in the fields of silvifisheries, develoment of catching technology, management of fishing products, development of sale centers and institution’s capital, improvement of human resource at coasteal area, empowerment of social institutions, and improvement of facilities and infrastructure.
RINGKASAN
NOFIDI H. Ekaputra. Kajian Pengembangan Strategi di Wilayah Pesisir Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau. Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR
dan ERNAN RUSTIADI.
Kajian ini bertujuan untuk mengkaji permasalahan yang ada di wilayah
pesisir Kabupaten Pelalawan dan memberikan rancangan program dalam
mengambil kebijakan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir secara optimal.
Kebijakan yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah kebijakan pola partisipatif,
dimana kebijakan dihasilkan dari wawancara dengan masyarakat dan Pemerintah
Kabupaten Pelalawan melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Pelalawan. Kebijakan dianalisis dengan Metode Multi Criteria Decision Making
(MCDM) menggunakan software Preference Ratios in Multiattribute Evaluation
(PRIME) . Analisis untuk menentukan sektor mana saja yang merupakan basis dan non basis yang berkembang di Kabupaten Pelalawan, digunakan metode
Location Quotient (LQ).
Kajian ini menggambarkan kondisi, bahwa 1) wilayah pesisir Kabupaten
Pelalawan terdapat di dua kecamatan yaitu Kecamatan Kuala Kampar dan
Kecamatan Teluk Meranti. 2) kedua kecamatan tersebut memiliki potensi yang
sangat besar untuk dikembangkan, terutama di sektor perikanan dan kelautan. 3)
sektor yang telah dikembangkan dengan baik saat ini, yaitu sektor perkebunan,
pertanian dan peternakan, sedangkan sektor perikanan dan kelautan masih jauh
dari pemanfaatan secara optimal. 4) dalam rangka mengembangkan sektor
perikanan dan kelautan, Kabupaten Pelalawan sudah menganggarkan kebutuhan
biaya pada tahun 2007 sebesar Rp.3.594.866.145,00. 5) usaha penangkapan ikan
yang dilakukan oleh para nelayan di Kabupaten Pelalawan dapat dibagi menjadi
dua: yaitu usaha penangkapan ikan di perairan umum (sungai dan danau) dan
usaha penangkapan di laut. 6) budidaya perikanan di Kabupaten Pelalawan
berdasarkan media budidaya dibedakan menjadi tiga macam yaitu: budidaya ikan
di keramba, budidaya ikan di kolam, dan budidaya ikan di tambak. 7) pengolahan
ikan di Kabupaten Pelalawan sering diidentikan dengan pengolahan ikan cara
PRIME didapatkan bahwa dalam pengambilan keputusan sebaiknya diarahkan
kepada aspek permodalan dan pemasaran. 9) terdapat tiga sektor yang
mempunyai keunggulan komparatif, yaitu sektor pertanian, sektor perdagangan,
hotel dan restoran serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Sedangkan apabila
dirinci secara sub sektor, terdapat 13 sub sektor yang mempunyai keunggulan
komparatif yang salah satunya yaitu sub sektor perikanan dan kelautan.
Analisis Kebijakan yang harus diterapkan di Kabupaten Pelalawan dalam
melaksanakan pembangunan dan strategi pengembangan wilayah pesisir, yaitu
pengembangan budidaya silvifisheries, pengembangan teknologi penangkapan, pengembangan kegiatan penanganan hasil perikanan, pengembangan tempat
pelelangan ikan, peningkatan kelembagaan modal, peningkatan kualitas
sumberdaya manusia wilayah pesisir, penguatan kelembagaan masyarakat, serta
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
KAJIAN PENGEMBANGAN STRATEGI DI WILAYAH
PESISIR KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU
NOFIDI H. EKAPUTRA
NRP. A 153024065
Tugas Akhir
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada
Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tugas Akhir : Kajian Pengembangan Strategi Di Wilayah Pesisir Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau
Nama Mahasiswa : Nofidi H.Ekaputra.
NRP : A 153024065
Menyetujui,
Komisi Pembimbing:
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Ketua Anggota
Diketahui;
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
PRAKATA
Puji Syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT. karena hanya dengan limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Penelitian ini berjudul “Kajian Pengembangan Strategi di Wilayah Pesisir Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau”. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini akan membahas tentang aspek pertumbuhan ekonomi dari strategi pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau.
Penulis menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada : Bapak Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. dan Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. sebagai Ketua Program Studi yang sekaligus sebagai dosen penguji dan semua yang telah banyak membantu selama penyelesaian studi ini, terutama telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk menerapkan ilmunya pada kondisi nyata. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan juga kepada teman-teman mahasiswa Program Studi MPD Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya teman-teman program studi MPD kelas khusus Bengkalis dan semua pihak yang telah mendorong dan membantu penulisan dalam menyelesaikan penelitian ini.
Pengorbanan yang luar biasa telah diberikan oleh orang-orang yang penulis cintai, Papih Soemarto dan Mamih Jajah Rokajah yang telah memberikan dorongan moril dan terutama isteriku tercinta Tuti Rahmah Yulianti yang setia dan sabar dengan pengorbanan moril dan materil mendorong suaminya agar menyelesaikan studi ini sampai tuntas. Anak-anakku tercinta: Dibi Sareta Bielmaldi, Disa Tafira Raimalda dan Difi Adhwa Dhabith yang telah mampu memberikan dorongan moril kepada ayahnya. Serta tidak lupa kepada adik kandungku Septi Kuarta Ikhtiani, SH dan saudaraku Rizal Bahtiar, SPi serta keluarga lainnya yang tidak dapat ditulis semuanya satu persatu, karena apa yang telah mereka berikan kepada penulis selama ini tidak mungkin mampu terbalaskan. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas dorongan moril dari saudaraku Sofyan Anshori yang telah memberikan dukungan tenaga demi terselesainya tesis ini.
Akhirnya semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan semua pembaca, sehingga mampu memperkaya khasanah keilmuan pengembangan wilayah pesisir, dan berguna bagi kemaslahatan hidup dimasa datang. Amien.
Bogor, Januari 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 17 Nopember 1961, sebagai anak pertama dari empat bersaudara pada keluarga H. Soemarto, B.A, D.A.P&E dan Hj. Jajah Rokajah.
Pendidikan penulis, lulus SD Negeri Sukarasa I Bandung tahun 1973, lulus SMP Negeri XV Bandung tahun 1976, lulus SMA Negeri 2 Bandung tahun 1980 dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Islam Bandung (UNISBA), di Fakultas Teknik jurusan Planologi Desa sampai akhir semester kedua tahun 1981, karena pada tahun yang sama penulis berkonsentrasi studi di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran memilih program studi Hama dan Penyakit Tanaman dan berhasil lulus pada strata satu sebagai Sarjana Pertanian di tahun 1986.
Selama mengikuti perkuliahan strata satu, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan, yaitu sebagai Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran tahun 1984, kemudian pada tahun yang sama penulis juga terpilih sebagai Ketua Senat Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran periode 1984-1985. Setelah lulus strata satu pada April 1986, penulis diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil di Departemen Transmigrasi RI pada tahun 1987. Memasuki era otonomi daerah tahun 2000, status penulis adalah Pegawai Negeri Sipil Kabupaten Bengkalis dan Pemerintah Kabupaten Bengkalis memberikan kesempatan mengikuti pendidikan strata dua pada tahun 2003 di Institut Pertanian Bogor pada program studi Manajemen Pembangunan Daerah kelas khusus Bengkalis, saat penulis menjabat sebagai Kepala Bidang Pengawasan Pembangunan pada Badan Pengawasan Daerah Kabupaten Bengkalis.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pelalawan merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Riau.
Kabupaten ini terletak di bagian tengah pulau Sumatera dan berbatasan langsung
dengan Kabupaten Siak dan Kabupaten Kampar. Kabupaten Pelalawan dan
Kabupaten Kampar merupakan kabupaten-kabupaten yang menyangga
perkembangan wilayah Kota Pekanbaru. Kabupaten Pelalawan memiliki 12
kecamatan dengan luas wilayah mencapai 1.395.325 Ha dan dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 53 tahun 1999 tentang
Pembentukan Daerah Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten
Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna,
Kabupaten Kuantan Sengingi dan Kota Batam. Undang-undang tersebut telah
menyebabkan wilayah Kabupaten Kampar terbagi menjadi tiga kabupaten yaitu
Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Kampar.
Pelalawan sebagai kabupaten pemekaran seharusnya sudah melakukan
upaya pemberdayaan potensi wilayah pesisir yang disesuaikan dengan
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil sebagai bagian dari Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau-Pulau-Pulau
Kecil Kabupaten (RZWP-3-K). Strategi pengelolaan wilayah pesisir dimulai dari
proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya
pesisir antar sektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem
darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Salah satu hambatan belum ditetapkannya RZWP-3-K
disebabkan revisi Rancangan Peraturan Daerah (RANPERDA) tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pelalawan sebagai pedoman
RZWP-3-K sejauh ini belum ditetapkan menjadi Peraturan Daerah (PERDA). Akibatnya
RZWP-3-K mengalami kendala apabila lebih dulu disusun sebelum ditetapkannya
RTRW, karena RZWP-3-K yang disusun lebih dahulu dapat tidak sesuai dengan
rencana pengelolaan tata ruang. Salah satu faktor yang menyebabkan
rencana tata ruang kabupaten adalah adanya kebijakan pemerintah baik itu
kebijakan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi Riau.
Pada prinsip pendekatan pemberdayaan wilayah pesisir adalah kesesuaian
upaya Kabupaten Pelalawan untuk menindaklanjuti visi pembangunan nasional
dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan,
berdayasaing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri,
beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan
lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang
tinggi serta berdisiplin. Visi pembangunan Provinsi Riau adalah ingin
mewujudkan pusat perekonomian dan kebudayaan melayu dalam lingkungan
masyarakat yang agamis, sejahtera lahir dan batin di Asia Tenggara tahun 2020,
dan visi pembangunan Kabupaten Pelalawan untuk mewujudkan Kabupaten
Pelalawan maju dan sejahtera, melalui pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang
didukung oleh pertanian yang unggul dan industri yang tangguh dalam
masyarakat yang beradat, beriman, bertaqwa dan berbudaya melayu tahun 2030.
Strategi yang dituangkan terhadap pembangunan wilayah pesisir di
Kabupaten Pelalawan nantinya diharapkan mampu meminimalisir masalah
kemiskinan dan ketertinggalan kawasan dengan cara menerbitkan kebijakan dan
melaksanakan program-program pelayanan umum serta mendorong pola-pola
keterkaitan dan kemitraan usaha. Pembangunan prasarana dan sarana fisik yang
berkaitan dengan kegiatan ekonomi produktif masyarakat, seperti jalan dan
jembatan, prasarana dan sarana pelayanan kesehatan, pendidikan dasar dan
menengah serta prasarana dan sarana sosial lainnya. Pendekatan Kebijakan
pengembangan ekonomi menjadi prioritas penting untuk meningkatkan laju
pertumbuhan ekonomi dari setiap sektor lapangan usaha dan pemerataan ekonomi
wilayah untuk menciptakan lapangan kerja dan peluang berusaha yang
seluas-luasnya serta untuk mengurangi kesenjangan perkembangan antar kawasan di
dalam wilayah melalui perwujudan perekonomian daerah yang lebih efisien,
produktif, kompetitif, tanggap terhadap dinamika pasar dan berorientasi global.
Tingkat kemiskinan dan ketertinggalan kawasan pesisir menunjukkan
belum dioptimalkannya pengelolaan sumberdaya alam wilayah pesisir secara
berdayaguna dan berhasilguna menjadi salah satu alasan penyebab tingginya
tingkat kemiskinan dan dikategorikan sebagai daerah tertinggal atau sebagai
kawasan lahan tidur seperti di Kecamatan Teluk Meranti, Kecamatan Kuala
Kampar dan Kecamatan Kerumutan sehingga sejauh ini belum mampu memberi
nilai tambah ekonomi yang tinggi dalam rangka meningkatkan pendapatan dan
taraf hidup masyarakatnya (Balitbang Provinsi Riau, 2004).
Selanjutnya pada era otonomi saat ini, posisi Kabupaten Pelalawan dapat
dilihat dari dua hal, yaitu konstelasi eksternal dan internal. Dalam konstelasi
eksternal kajian ini berkaitan dengan sejauhmana mengembangkan potensi
wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan menjadi potensi Kabupaten Pelalawan
dalam memasuki globalisasi pasar bebas. Sedangkan konstelasi internal berkaitan
dengan mengembangkan potensi unggulan wilayah pesisir Kabupaten Pelalawan
terhadap peningkatan perekonomian masyarakatnya. Kedua hal ini menjadi dasar
pemikiran dalam perumusan konsep pengembangan strategi ekonomi wilayah
sesuai dengan peluang dan potensi yang strategis untuk diberdayakan lebih
optimal.
Faktor-faktor yang mendukung dan menghambat dalam mengembangkan
dan menumbuhkan ekonomi Kabupaten Pelalawan adalah posisi geo ekonomi
yang strategis di kawasan pesisir Selat Malaka dan berdekatan dengan wilayah
Johor yang telah memiliki tingkat perekonomian lebih baik. Kesamaan kawasan
ini adalah pada tatanan kultur budaya melayu sebagai cagar budaya Semenanjung
Malaka menjadi potensi dalam mengembangkan wilayah pesisir di Kabupaten
Pelalawan. Keterkaitan keberadaan Singapura, Johor dan Pelalawan memiliki latar
belakang budaya dan sejarah (cultural background) sama, sehingga akan memudahkan terciptanya kemitraan/kerjasama.
Gambaran persentase Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
berdasarkan Pelalawan dalam Angka Tahun 2005 dari sektor Pertanian,
Peternakan, Kehutanan sebesar 38,44 % dan Industri pengolahan 54,46 % atas
dasar harga berlaku dari sembilan sektor usaha yang memiliki saham pada PDRB
Kabupaten Pelalawan. Perekonomian regional Kabupaten Pelalawan memiliki
pengolahan adalah masih lemahnya kualitas sumberdaya manusia dalam
menghadapi persaingan dan kemampuan pengembangan potensi-potensi
sumberdaya alam. Kabupaten Pelalawan memiliki wilayah pesisir dan daerah
aliran sungai yang luas dan panjang, dengan sumberdaya alam dan tingkat
keanekaragaman yang cukup tinggi (Bappeda Kabupaten Pelalawan, 2006).
Pengembangan wilayah Kabupaten Pelalawan dalam menumbuhkan
ekonomi diperlukan sinergisme pengembangan fisik dan pemberdayaan
masyarakat secara simultan dengan memperhatikan karakteristik budaya melayu
dan kondisi geografis dominan, maka kajian pengembangan wilayah pesisir
adalah salah satu pilihan untuk membuka dan mengembangkan pemanfaatan
ruang di Kabupaten Pelalawan dalam menumbuhkan pengembangan
perekonomian wilayah. Pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan
tidak terlepas dari keterkaitan dengan pengelolaan wilayah daratan. Pembangunan
di wilayah daratan yang sering menimbulkan dampak terhadap persoalan
ekologis, seperti pencemaran, over exploitation sumberdaya dan degradasi fisik habitat serta permasalahan sosial budaya yang menghambat pembangunan
wilayah pesisir (Bappeda Kabupaten Pelalawan, 2006).
Pengelolaan wilayah pesisir seharusnya dilaksanakan secara terpadu
sebagai suatu proses untuk menyatakan pemerintah dan masyarakat, ilmu
pengetahuan dan manajemen, kepentingan sektor dan kepentingan publik dalam
menyiapkan dan melaksanakan suatu rencana terpadu untuk perlindungan dan
pengembangan ekosistem dan sumberdaya pesisir, berbagai kegiatan dari suatu
program diurutkan dalam suatu rangkaian perkembangan. Siklus tersebut sangat
membantu menguraikan hubungan yang rumit diantara berbagai ekonomi
pengelolaan wilayah pesisir. Siklus pengelolaan merupakan suatu kerangka kerja
organisasi, yang menjadi dasar penyesuaian instrumen evaluasi yang telah
berhasil di uji di lapangan dalam evaluasi akhir proyek UNDP/GEF (Budiharsono,
2001).
Pembangunan wilayah pesisir merupakan keterpaduan pilihan dalam
percepatan pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat. Paradigma
pemberdayaan masyarakat merupakan pusat pembangunan dalam proses
pembangunan wilayah (social inclution paradigm). Pembangunan wilayah pesisir siklusnya dimulai dengan proses identifikasi dan kajian permasalahannya,
persiapan rencana, adopsi dan pembiayaan, implementasi dan evaluasi,
selanjutnya berputar berdasarkan waktu, dan program pengelolaan wilayah pesisir
di negara-negara maju memerlukan waktu 15 tahun dalam penyelesaian siklus
pengelolaan pesisir, tetapi pada wilayah-wilayah tertentu, pengelolaan wilayah
pesisir dapat diselesaikan dalam waktu tujuh sampai dengan delapan tahun
(Budiharsono, 2001).
Ekosistem wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan adalah ekosistem lahan
rawa gambut dan kawasan mangrove yang tersebar merata di wilayah pesisir.
Pada umumnya lahan rawa gambut didominasi oleh hutan rawa dan sagu,
sedangkan kawasan mangrove didominasi oleh hutan bakau, api-api dan nipah.
Dari segi pengembangan wilayah, cara pemanfaatan lahan rawa gambut yang
kurang bijaksana dalam jangka panjang dikhawatirkan dapat menimbulkan
malapetaka yang sulit ditanggulangi, yaitu punahnya potensi sumberdaya lahan
yang tersedia menjadi tandus. Pemanfaatan hutan mangrove yang tidak terkendali
menimbulkan dampak negatif terhadap penurunan jumlah produksi perikanan, dan
biota laut lainnya, sedimentasi meningkat, abrasi pantai dan terjadinya intrusi air
laut yang akan mempengaruhi proses produksi kegiatan budidaya pertanian di
wilayah daratan.
Perairan Selat Malaka merupakan daerah penangkapan ikan cukup
potensial bagi nelayan, namun ketersediaan ikan di perairan Selat Malaka saat ini
sudah berindikasi mendekati potensi lestari (over fishing), karena dipengaruhi pencemaran air laut akibat padatnya pelayaran di kawasan ini. Pencurian ikan
lintas bataspun menjadi konflik sosial yang meresahkan, sehingga timbul
perselisihan para nelayan. Kondisi air laut di kawasan ini telah dipengaruhi oleh
proses sedimentasi lahan rawa gambut, limbah industri dan limbah kapal. Kondisi
air dan tingkat kekeruhan cukup tinggi karena pengaruh sedimentasi dan abrasi
pantai. Namun wilayah pesisir sepanjang kawasan Selat Malaka masih dapat
dimanfaatkan sebagai lokasi pengembangan budidaya perikanan air payau.
Tingkat pencemaran air laut tersebut diakibatkan padatnya pelayaran di Selat
populasi ikan dan biota laut lainnya. Padatnya pelayaran menyebabkan hambatan
berkumpulnya plankton-plankton sebagai sumber pakan ikan, akibatnya produksi perikanan berkurang. Kondisi tersebut perlu diteliti sejauhmana berpengaruh
terhadap populasi ikan pada perairan administratif Kabupaten Pelalawan,
khususnya di wilayah pesisir sekitar Kecamatan Kuala Kampar yang berbatasan
langsung dengan perairan Selat Malaka.
Nilai-nilai ekonomi pada wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan dalam
pemanfaatan tata ruang lahan ialah terdapatnya hutan mangrove seluas 6.203 Ha
dan budidaya tambak seluas 2.100 Ha, sedangkan fakta perkembangan PDRB
Kabupaten Pelalawan pada sektor pertanian sangat baik dimana saat ini PDRB
tahun 2005 sektor ini mencapai 38,44 % dan salah satu penyumbang sektor ini
adalah bidang perikanan dan kelautan (BPS Kabupaten Pelalawan, 2005).
Tabel 1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Pelalawan Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000 – 2004
LapanganUsaha 2000 2001 2002 2003 2004
LapanganUsaha 2000 2001 2002 2003 2004
7 Pengangkutan & Komunikasi
LapanganUsaha 2000 2001 2002 2003 2004
Sumber : BPS Kabupaten Pelalawan, 2005
Kondisi geografis Kecamatan Kuala Kampar yang terletak di pesisir
pantai timur pulau Sumatera sangat strategis sebagai jalur perdagangan dan
berdampingan dengan kawasan pembangunan pulau Batam dan Karimun, dan
berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia dan Singapura.
Berdasarkan lokasi yang strategis ini, diyakini perdagangan lintas batas antara
Kabupaten Pelalawan khususnya di Kecamatan Kuala Kampar dengan
negara-negara sekitarnya secara tradisional telah terwujud sejak lama, dan
diharapkan meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir, sehingga pada
akhirnya ”Bagaimana mengembangkan strategi wilayah pesisir dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Pelalawan ?”.
1.2. Perumusan Masalah
Wilayah pesisir Kabupaten Pelalawan adalah ekosistem lahan rawa
gambut dan kawasan mangrove, pada wilayah pantai saat ini pengembangannya
ialah untuk kegiatan budidaya perikanan air payau (tambak). Laut di wilayah
Kabupaten Pelalawan dimanfaatkan sebagai sarana transportasi, namun potensi
Kabupaten Pelalawan dipengaruhi proses sedimentasi, lahan rawa gambut, limbah
industri dan limbah kapal, hutan mangrove sebagai lokasi pengembangan udang,
ikan dan biota laut, mangrove juga sebagai penahan abrasi pantai akan tetapi
kebutuhan untuk industri arang dan kayu bulatnya dipasarkan ke Malaysia
mengakibatkan menurunnya luasan mangrove. Hal-hal yang belum dikembangkan
adalah menjadi kawasan wisata, industri, dan pelabuhan bertaraf
nasional/internasional, selanjutnya pengembangan wilayah pesisir harus diarahkan
kepada ”strategi membangun dan mengembangkan perekonomian wilayah pesisir
di Kabupaten Pelalawan melalui sektor unggulannya”.
Komoditas yang dapat dikembangkan sepanjang pantai pesisir ialah
tanaman sagu dan tanaman kelapa pada sektor perkebunan, mangrove pada sektor
kehutanan, budidaya udang, kepiting, kerang dan ikan laut pada sektor perikanan,
penangkaran Burung Walet pada sektor peternakan, dukungan panorama pantai
untuk sektor pariwisata merupakan komoditas-komoditas perekonomian yang
menjadi sumber mata pencaharian masyarakat sekitar wilayah pesisir. Diperlukan
rumusan dengan mengkaji ”sektor basis apa yang akan mempengaruhi
pelaksanaan pembangunan dan pengembangan di wilayah pesisir Kabupaten
Pelalawan ?”.
Masalah wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan secara nyata belum
dikembangkan secara optimal menjadi kawasan perekonomian andalan, sehingga
belum mampu mendorong meningkatkan perekonomian masyarakat, sehingga
perlu dirumuskan pengembangan potensi dengan pendekatan pada pertumbuhan
perkonomian andalan dalam konstelasi eksternal dan internal, yaitu akan
menimbulkan daya tarik dalam persaingan dengan negara tetangga dan
kabupaten-kabupaten lainnya di Provinsi Riau. Oleh karena itu, diperlukan
rumusan untuk ”merekomendasikan strategi pembangunan dan pengembangan
wilayah pesisir di Kabupaten Pelalawan ?”.
1.3. Tujuan dan Manfaat Kajian
Kajian yang baik harus memiliki tujuan dan manfaat agar memberikan
arah bagaimana hasilnya dapat ditindaklanjuti sebagai rancangan program yang
Adapun kajian ini bertujuan untuk merumuskan strategi pengembangan wilayah
pesisir di Kabupaten Pelalawan yang termanfaatkan dengan baik nantinya.
Secara khusus kajian pembangunan wilayah pesisir Kabupaten
Pelalawan memiliki tujuan :
1. Menganalisis strategi pembangunan dan pengembangan wilayah pesisir di
Kabupaten Pelalawan.
2. Menganalisis sektor basis yang mempengaruhi upaya pembangunan dan
pengembangan di wilayah pesisir Kabupaten Pelalawan
3. Merekomendasikan strategi pembangunan dan pengembangan wilayah pesisir
di Kabupaten Pelalawan.
Kajian ini merupakan analisis kuantitatif atas pengembangan wilayah
pesisir di Kabupaten Pelalawan. Kajian ini sekaligus sebagai perancangan
program pembangunan di wilayah pesisir yang diharapkan dapat dimanfaatkan
menjadi bahan masukan kepada Pemerintah Kabupaten Pelalawan dalam
pengembangan program-program wilayah pesisir yang secara dimensional akan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Pembangunan
Pengertian pembangunan dalam sejarah dan strateginya telah mengalami
evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan kepada
pertumbuhan ekonomi, kemudian pertumbuhan dan kesempatan kerja,
pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada pendekatan kebutuhan dasar
(basic needs approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup dan yang terakhir pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Perubahan evolutif dari pengertian di atas didasarkan atas banyak kekecewaan dan hasil umpan balik dari
pelaksanaan pembangunan yang tidak mencapai sasaran-sasaran yang diinginkan
serta kekurangan informasi dalam memahami persoalan-persoalan yang timbul
yang sebelumnya tidak dapat diramalkan serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
Secara umum dapat dikemukakan bahwa pembangunan ekonomi
merupakan suatu proses yang melibatkan berbagai perubahan dalam banyak aspek
kehidupan manusia yang bertujuan dan memberi harapan kepada perbaikan
tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik dan lebih merata yang dalam
jangka panjang agar dapat berlangsung secara berkelanjutan. Pada dasarnya,
dalam pembangunan tersebut memperhatikan bagaimana pertumbuhan ekonomi
dan faktor-faktor yang berkaitan dengannya seperti perubahan teknologi, institusi
(kelembagaan), dan nilai-nilai sosial dapat diakomodasikan kedalam
kebijaksanaan dalam situasi yang terus menerus berubah. Sehingga pengaturan
dan kebijaksanaan yang sebelumnya cocok dengan keadaan suatu tahapan
pembangunan, kemudian memerlukan reformasi pengaturan dan kebijaksanaan
baru yang diperlukan sesuai dengan perubahan dinamika dan interaksinya antara
faktor-faktor fisik, ekonomi dan sosial yang terus berubah.
Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang diinginkan,
man-made maupun sosial) baik pada tingkat nasional maupun regional dan lokal, yang sering memerlukan sumberdaya dari luar, seperti barang-barang modal untuk
diinvestasikan guna mengembangkan infrastruktur ekonomi, sosial dan
lingkungan (Anwar, 1999).
Keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh tiga nilai pokok,
yaitu (1) berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya (basic needs), (2) meningkatkan rasa harga diri (self-esteem)
masyarakat sebagai manusia, dan (3) meningkatkan kemampuan masyarakat
untuk memilih (freedom from servitude) yang merupakan salah satu dan hak asasi manusia (Todaro, 2000). Selanjutnya dijelaskan bahwa selain nilai pokok, harus
memperhatikan, faktor-faktor yang mempengaruhi kelancaran proses
pembangunan, yaitu jumlah dan jenis sumberdaya alam, ketepatan rangkaian
kebijakan dan sasaran yang ditetapkan oleh pemerintah, tersedianya modal dan
teknologi dari luar, serta kondisi-kondisi di lingkungan perdagangan internasional.
Pembangunan ekonomi di Indonesia seharusnya ditekankan pada
pembangunan sektor pertanian (perikanan termasuk di dalamnya), karena
sebagian besar daerah di Indonesia merupakan daerah pertanian. Tetapi
pembangunan sektor lain tetap dikembangkan karena merupakan komplementer
dari sektor pertanian. Menurut Todaro (2000), syarat-syarat yang harus segera
dipenuhi dalam rangka merealisasikan setiap strategi pengembangan sektor-sektor
pertanian dan pembangunan daerah-daerah pedesaan yang berorientasi pada
kesejahteraan masyarakat banyak adalah :
1. Struktur usaha tani, pola pemilikan dan penggunaan lahan harus
disesuaikan dengan tujuan utama yang bersisi ganda, yaitu peningkatan
produksi bahan pangan pada satu sisi, serta pemerataan segala manfaat atau
keuntungan-keuntungan kemajuan pertanian pada sisi yang lain.
2. Semua manfaat dari pembangunan pertanian berskala kecil tidak akan dapat
direalisir secara nyata tanpa didukung oleh serangkaian kebijakan pemerintah
yang secara sengaja diciptakan untuk memberikan rangsangan atau
insentif-insentif, kesempatan atau peluang-peluang ekonomi, dan berbagai kemudahan
memungkinkan para petani kecil meningkatkan tingkat output dan
produktivitas mereka.
3. Keberhasilan pembangunan pedesaan selain sangat tergantung pada
kemajuan-kemajuan petani kecil, juga ditentukan oleh hal-hal penting lainnya
yang meliputi: (1) upaya-upaya untuk meningkatkan pendapatan riil, baik di
sektor pertanian maupun non pertanian, melalui penciptaan lapangan kerja,
industrialisasi dipedesaan, dan pembenahan pendidikan, kesehatan dan gizi
penduduk, serta penyediaan berbagai bidang pelayanan sosial dan
keejahteraan lainnya, (2) penanggulangan masalah ketimpangan distribusi
pendapatan di daerah pedesaan serta ketidakseimbangan pendapatan dan
kesempatan ekonomi antara daerah pedesaan dengan perkotaan, serta (3)
pengembangan kapasitas sektor atau daerah pedesaan itu sendiri dalam
rangka menopang dan memperlancar langkah-langkah perbaikan tersebut dari
waktu ke waktu.
2.2. Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Konsep pembangunan berkelanjutan telah menjadi agenda internasional
dalam pertemuan Komisi Dunia untuk Pembangunan dan Lingkungan (World Commission on Environmental and Development (WCED)) tahun 1987 dan telah dikonfirmasikan oleh negara-negara dunia menjadi prioritas internasional dalam
konvensi Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) untuk lingkungan dan pembangunan
(United Nation Convention on Environment Development (UNCED)), 1992. Kemudian dalam Agenda 21, konsep tersebut dibahas dalam Commission on Sustainable Development (CSD) yang mengembangkan indikator pembangunan berkelanjutan dalam skala yang beragam. Penekanan pada perikanan tangkap
yang mempunyai masalah pemanfaatan sumberdaya yang tidak lestari, menjadi
priotas utama (FAO, 2001). Sampai sekarang masih terjadi diskusi yang hangat
Konsep pembangunan berkelanjutan oleh WCED (1987) dinyatakan sebagai pembangunan yang mencukupi kebutuhan generasi sekarang dengan tidak
mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhannya.
Penekanan pembangunan dalam konteks ini berkaitan dengan kualitas hidup,
bukan pertumbuhan ekonomi, walaupun kedua hal tersebut sangat berkaitan
dalam sistem perekonomian modern. Costanza (1991), mengemukakan bahwa
definisi kelestarian yang sangat berguna adalah tingkat konsumsi yang dapat
dilanjutkan dalam waktu yang tak terbatas tanpa menurunkan capital stock.
Konvensi keanekaragaman hayati (Convention on Biologycal Diversity (CBD)) menyatakan bahwa pemanfaatan yang lestari (sustainable use) sebagai pemanfaatan komponen keanekaragaman hayati dengan cara dan pada tingkat
yang tidak mengarah pada penurunan keanekaragaman hayati dalam jangka
panjang, sehingga dapat tetap menjaga potensi sumberdaya tersebut untuk
mencukupi kebutuhan dan keinginan generasi sekarang dan yang akan datang
(McNeely, 1999).
Konsep pembangunan berkelanjutan juga dapat dilihat dalam konsep FAO
Council (1988) dalam FAO (2001) sebagai pengelolaan dan perlindungan sumberdaya alam dan perubahan orientasi teknologi dan kelembagaan dalam
beberapa cara yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan generasi sekarang
dan yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan berusaha untuk melindungi
tanah, air, tumbuhan, dan sumberdaya genetis hewan agar tidak menurunkan
kualitas lingkungan dimana secara teknis tepat, secara ekonomis berguna, dan
secara sosial dapat diterima. Sementara itu dalam konsep Council of Australia Government (1992) dalam FAO (2001) menyatakan sebagai penggunaan, perlindungan dan enhancing sumberdaya masyarakat sehingga secara proses ekologis dapat terjaga dan total kualitas hidup sekarang maupun dimasa
mendatang dapat ditingkatkan.
2.3. Wilayah Pesisir
Secara geografis, wilayah pesisir didefinisikan sebagai suatu wilayah
peralihan antara daratan dan lautan, dimana proses-proses biologi dan fisika yang
Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line) maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas (boundaries) yaitu sejajar dengan garis pantai (long shore) dan batas tegak lurus garis pantai (cross shore). Untuk keperluan pengelolaan, penetapan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantai relatif lebih
mudah dan jelas, yaitu dengan mengacu pada batasan suatu wilayah administrasi.
Sedangkan penetapan batas-batas wilayah pesisir yang tegak lurus terhadap garis
pantai lebih sulit dilakukan. Dari implementasi program pengelolaan wilayah
pesisir yang telah dilakukan di beberapa negara, menurut Dahuri (1999) dapat
diperoleh pelajaran sebagai berikut: pertama, batas wilayah pesisir ke arah darat
pada umumnya adalah jarak secara arhitrer dari rata-rata pasang tinggi, dan batas ke arah laut umumnya adalah batas jurisdiksi provinsi. Kedua, untuk kepentingan
pengelolaan, batas ke arah darat suatu wilayah pesisir dapat ditetapkan dua
macam, yaitu; batas untuk wilayah perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day-to-day management).
Batas perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan (hulu),
dimana terdapat aktivitas manusia yang berpengaruh/berdampak secara nyata
(significant) terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir. Sehingga pada suatu program pengelolaan wilayah pesisir yang menetapkan dua batasan wilayah
pengelolaan di atas, maka wilayah perencanaan akan selalu lebih luas daripada
wilayah pengaturan. Dalam wilayah pengelolaan keseharian, pemerintah (pihak
pengelola) memiliki kewenangan penuh untuk mengeluarkan atau menolak ijin
kegiatan pembangunan. Sedangkan untuk wilayah perencanaan kewenangan
seperti di atas melibatkan dan menjadi tanggung jawab bersama instansi pengelola
daerah hulu atau laut lepas.
Untuk batas administrasi ke arah laut, berdasarkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah ditetapkan wilayah
kewenangan daerah kabupaten adalah 1/3 dari kewenangan provinsi, yaitu
±14 mil laut dari garis pantai. Definisi wilayah pesisir yang dimaksud dalam
kajian ini disamping definisi-definisi seperti di atas juga mengadopsi definisi
wilayah pesisir menurut Soegiarto (1976), yaitu wilayah pertemuan antara
kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat alami laut
seperti pasang surut, angin laut, dan intrusi air laut, sedangkan batas ke arah
laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami di
darat seperti; sedimentasi, aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh
kegiatan manusia di darat seperti; penggundulan hutan dan pencemaran.
Wilayah pesisir ditinjau dari konsep wilyah termasuk dalam wilayah
homogen, wilayah nodal, wilayah administratif dan wilayah perencanaan.
Sebagai wilayah homogen, wilayah pesisir merupakan wilayah sentra produksi
ikan, namun biasanya juga dikatakan sebagai wilayah dengan tingkat pendapatan
penduduk tergolong di bawah garis kemiskinan. Sebagai wilayah nodal,
wilayah pesisir seringkali sebagai wilayah belakang dengan wilayah perkotaan
sebagai intinya. Bahkan seringkali wilayah pesisir dianggap sebagai halaman
belakang (back yard) yang merupakan tempat pembuangan segala macam limbah. Sehubungan dengan fungsinya sebagai wilayah belakang, maka wilayah
pesisir merupakan penyedia input (pasar input) bagi inti dan pasar bagi barang-barang jadi (output). Sebagai wilayah administrasi, wilayah pesisir dapat berupa wilayah administrasi yang relatif kecil yaitu kecamatan atau desa, namun dapat
pula berupa kabupaten/kota dalam bentuk pulau kecil. Sedangkan sebagai
wilayah perencanaan, batas wilayah pesisir lebih ditentukan oleh kriteria
ekologis, sehingga melewati batas-batas wilayah administratif. Terganggunya
keseimbangan biofisik-ekologis dalam wilayah ini akan berdampak negatif yang
tidak hanya dirasakan oleh daerah tersebut tetapi juga daerah sekitarnya yang
merupakan kesatuan wilayah sistem (kawasan). Oleh karena itu dalam
pembangunan dan pengembangan wilayah ini diperlukan suatu perencanaan
terpadu yang tidak menutup kemungkinan adanya lintas batas administratif
(Budiharsono, 2001).
Arsyad (1999) menjelaskan bahwa jika kita membahas perencanaan
pembangunan ekonomi daerah maka pengertian wilayah yang paling banyak
digunakan adalah sebagai wilayah adminitratif, karena :
Dalam melaksanakan kebijakan dan rencana pembangunan daerah
diperlukan tindakan-tindakan dari berbagai lembaga pemerintah. Oleh
daerah ekonomi berdasarkan satuan adminitratif yang ada.
Daerah yang batasannya ditentukan secara admimstratif lebih mudah
dianalisis, karena biasanya pengumpulan data diberbagai daerah dalam
suatu negara, pembagiannya didasarkan pada satuan administratif.
2.4. Konsep Pembangunan Perikanan dan Kelautan
Pembangunan perikanan bertujuan untuk memanfaatkan sumberdaya
secara optimal tanpa mengganggu kelestariannya serta diharapkan dapat
memberikan kesejahteraan pada masyarakat melalui penyerapan tenaga kerja dan
dapat meningkatkan pendapatan negara melalui pajak pendapatan dan devisa
dari ekspor produknya. Sedangkan kebijakan pembangunan perikanan, termasuk
sumberdaya pesisir pada hakekatnya merupakan proses politik yang mempunyai
pengertian, bahwa kebijakan tersebut tersusun dan terimplementasikan
melalui proses negosiasi antar berbagai stakeholders. Oleh karena itu keberhasilan segenap kaidah pembangunan perikanan berkelanjutan yang
baik seperti di atas sangat tergantung pada kemauan dan komitmen segenap
stakeholders tersebut (Retraubun, 2001).
Beberapa pertimbangan yang diperlukannya dalam pembangunan
perikanan yang berkelanjutan diantaranya meliputi :
1. Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dan aktivitas
pengelolaannya harus didasarkan pada ekosistem kelautan tertentu dan
teridentifikasi dengan baik.
2. Memelihara daya dukung sumberdaya terhadap aktivitas pemanfaatan dalam
jangka panjang.
3. Menghidupi tenaga kerja dalam bidang perikanan dalam masyarakat yang
lebih luas.
4. Memelihara tingkat kesehatan dan kesatuan ekosistem kelautan untuk
pemanfaatan yang lain, termasuk didalamnya keanekaragaman hayati, ilmu
pengetahuan, nilai intrinsik, struktur tropis dan kegunaan ekonomi lainnya
seperti pariwisata dan rekreasi.
Tujuan dari pembangunan berkelanjutan akan sejalan dengan tujuan
dan melindungi habitatnya. Namun demikian mengelola sumberdaya perikanan
untuk pembangunan yang berkelanjutan bersifat multi-dimensional dan aktivitas
bertingkat (multi level activities), yang harus mempertimbangkan lebih banyak aspek dibandingkan dengan daya tahan hidup ikan dan perikanan itu sendiri
(FAO, 2001). McGoodwin (1990) menyatakan bahwa dalam menganalisis
sumberdaya perikanan, konsekuensi sosial dan ekonomi harus diperhitungkan
sama halnya dengan konsekuensi teknis dan etika. Alder et al., (2000) menyatakan bahwa tantangan bagi pengelola perikanan adalah menilai kelestarian
sumberdaya tersebut dengan pendekatan yang bersifat multi disiplin yang mampu
mengintegrasikan topik yang beragam tersebut.
Menurut Anwar (1994), alternatif pengelolaan sumberdaya perairan pesisir
adalah perlu adanya suatu pemikiran yang mengarah kepada terjadinya pelimpahan
kewenangan pengelolaan yang diberikan kepada komunitas masyarakat
nelayan atau pemerintah desa guna menjaga keberlanjutan pemanfaatan
sumberdaya pesisir dimasa yang akan datang. Hal ini dapat ditempuh dengan
beberapa cara, yaitu :
1. Dilimpahkannya hak-hak untuk memperoleh akses terhadap sumberdaya
perairan pesisir yang dapat menjamin kepentingan individual, kelompok
ataupun masyarakat nelayan.
2. Pelimpahan wewenang dan tanggung jawab pengelolaan pemerintah pusat
kepada kelompok masyarakat pesisir atau nelayan lokal, prosesnya
berlangsung secara bertahap tergantung dari kemampuan masyarakat untuk
memecahkan permasalahan yang dihadapi secara efisien dan efektif.
3. Dikembangkannya suatu zona pemungutan dan tangkapan yang eksklusif yang
disebut hak ulayat atau hak pakai teritorial (teritorial use right).
Pada perkembangannya menurut Dahuri (1999), konstribusi sektor
perikanan terhadap sektor pertanian menunjukkan kecenderungan yang semakin
meningkat. Data terakhir menunjukkan bahwa perikanan menyumbang sekitar
10,3 % per tahun terhadap PDB pertanian dengan tingkat pertumbuhan yang
positif. Pada masa krisis dewasa ini sektor perikanan menyumbang secara
menurut harga konstan (BPS Oktober, 1998). Dengan demikian sektor perikanan
dapat dijadikan andalan pertumbuhan perekonomian dalam arti luas.
Menurut Dahuri (1999), proses pemanfaatan sumberdaya perikanan ke
depan harus dilakukan dalam kesamaan visi pembangunan perikanan, yaitu
suatu pembangunan perikanan yang dapat memanfaatkan sumberdaya ikan
beserta ekosistemnya secara optimal bagi kesejahteraan dan kemajuan bangsa
Indonesia, terutama nelayan dan petani ikan secara berkelanjutan. Terdapat tiga
syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk mewujudkan visi pembangunan
perikanan tersebut. Pertama, sektor perikanan harus mampu menciptakan
pertumbuhan ekonomi secara nasional (makro) melalui peningkatan devisa,
peningkatan pendapatan rata-rata para pelakunya serta mampu meningkatkan
sumbangannya terhadap PDB. Kedua, sektor perikanan harus mampu
memberikan keuntungan secara signifikan kepada para pelakunya dengan cara
mengangkat tingkat kesejahteraan para pelaku perikanan yang ada saat ini yang
masih sangat tertinggal dibanding dengan sektor-sektor lain. Ketiga,
pembangunan perikanan yang akan dilaksanakan selain dapat menguntungkan
secara ekonomi juga harus ramah secara ekologis, artinya pembangunan harus
memperhatikan kelestarian dan daya dukung lingkungan baik terhadap
sumberdaya perikanan itu sendiri maupun ekosistem lainnya.
Selanjutnya dijelaskan oleh Dahuri (2001), ada delapan strategi dan
kebijakan yang diperlukan dalam pembangunan sektor perikanan dan kelautan
masa mendatang adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan produksi dan nilai tambah perikanan dan kelautan secara
efisien, optimal dan berkelanjutan, melalui kebijakan untuk mendukung
pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan secara lestari,
pengembangan kapasitas penangkapan, pengembangkan investasi perikanan
dan kelautan dan pengembangkan teknologi budidaya laut.
2. Peningkatan ekspor produk perikanan melalui adanya kebijakan mutu,
promosi dan pengembangan terminal ekspor.
3. Pemberdayaan masyarakat nelayan melalui kebijakan pemberian kredit
lunak bagi usaha kecil (nelayan) dan kebijakan kemitraan pengusaha kecil dan
4. Pembangunan sarana dan prasarana.
5. Pembangunan pulau-pulau kecil.
6. Manajemen tata ruang.
7. Penguatan sumberdaya manusia (SDM) dan llmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK).
8. Penegakan hukum dan peningkatan kapasitas kelembagaan.
Kusumastanto (2002) menambahkan, agar bidang kelautan menjadi sebuah
sektor unggulan dalam perekonomian nasional, maka diperlukan suatu kebijakan
pembangunan yang bersifat terintegrasi antar institusi pemerintah dan sektor
pembangunan. Untuk mengarah pada kondisi tersebut, maka diperlukan suatu
kebijakan pembangunan kelautan (ocean development policy) sebagai bagian dari
ocean policy yang nantinya menjadi "payung" dalam mengambil sebuah kebijakan yang bersifat publik. Penciptaan payung ini dibangun oleh sebuah
pendekatan kelembagaan (institutional arrangement) yang lingkupnya mencakup dua domain dalam suatu sistem pemerintahan yakni eksekutif dan legislatif.
Dalam konteks ini maka kebijakan perikanan dan kelautan pada akhimya menjadi
kebijakan ekonomi politik yang nantinya menjadi tanggung jawab bersama pada
semua level institusi eksekutif yang mempunyai keterkaitan kelembagaan maupun
sektor pembangunan. Sementara pada level legislatif adalah bagaimana lembaga
ini mampu menciptakan instrumen kelembagaan (peraturan perundangan) pada
level pusat maupun daerah untuk mendukung kebijakan pembangunan perikanan.
2.5. Teori Lokasional dan Sektor Basis
Pemahaman tentang bagaimana keputusan mengenai lokasi mutlak
diperlukan bila membahas kegiatan pada ruang dan menganalisa bagaimana suatu
wilayah tumbuh dan berkembang. Keputusan mengenai lokasi yang diambil oleh
unit-unit pengambilan keputusan akan menentukan struktur tata ruang wilayah
yang terbentuk. Unit-unit pengambilan keputusan dalam penentuan lokasi dapat
dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu: (1) rumah tangga; (2) perusahaan; dan (3)
pemerintah. Setiap unit pengambil keputusan mempunyai kepentingan sendiri
berdasarkan aktivitas ekonomi yang dilakukan. Aktivitas ekonomi rumah tangga
meliputi (a) pengumpulan input, (b) proses produksi dan (c) proses pemasaran,
dengan tujuan memaksimalkan keuntungan yang diperoleh. Sementara itu
pemerintah disamping mempunyai peran melindung kepentingan masyarakat juga
bertindak sebagai locator dari berbagai aktivitas yang ditanganinya seperti penentuan lokasi sebagai sarana dan fasilitas pelayanan umum.
Untuk mengetahui kecenderungan potensi keunggulan suatu komoditas
disuatu lokasi tertentu, analisis yang sering digunakan adalah analisis basis
ekonomi yaitu Location Quotient Analysis (LQ). Metode LQ secara umum merupakan metode analisis yang digunakan untuk menunjukkan lokasi pemusatan
atau basis suatu aktifitas. Disamping itu, LQ juga digunakan untuk mengetahui kapasitas ekspor perekonomian suatu wilayah serta tingkat kecukupan barang/jasa
dari produksi lokal suatu wilayah.
LQ merupakan suatu indeks untuk membandingkan pangsa sub wilayah dalam aktivitas tertentu dengan pangsa total aktivitas tersebut dalam total aktivitas
wilayah. Asumsi yang digunakan dalam LQ adalah sedikit kondisi geografis yang relatif seragam. Pola-pola aktivitas bersifat seragam serta setiap aktivitas
menghasilkan produk yang sama. Berbagai dasar ukuran dalam pemakaian LQ
harus disesuaikan dengan kepentingan penelitian dan sumber data yang tersedia.
Jika penelitian dimaksudkan untuk mencari sektor yang kegiatan ekonominya
dapat memberikan kesempatan kerja sebanyak-banyaknya maka yang dipakai
sebagai dasar ukuran adalah jumlah tenaga kerja sedangkan bila keperluannya
untuk menaikkan pendapatan daerah, maka pendapatan merupakan dasar ukuran
yang tepat, sedangkan jika hasil produksi maka jumlah hasil produksi yang
dipilih. LQ juga menunjukkan efisiensi relatif wilayah, serta terfokus pada substitusi impor yang potensial atau produk dengan potensi ekspansi ekspor
(Shukla, 2000).
Menurut Tarigan (2004), dalam pengertian ekonomi regional, ekspor
adalah menjual produk/jasa ke luar wilayah, baik ke wilayah lain dalam negeri
maupun ke luar negeri. Tenaga kerja yang berdomisili di wilayah kita, tetapi
bekerja dan memperoleh uang dari wilayah lain termasuk dalam pengertian
ekspor. Pada dasarnya kegiatan ekspor adalah semua kegiatan baik produk
basis. Lapangan kerja dan pendapatan di sektor basis adalah fungsi dari
permintaan yang bersifat exogenous (tidak tergantung pada kekuatan intern/permintaan lokal).
Lebih lanjut menurut Tarigan (2004), mengatakan bahwa semua kegiatan
lain yang bukan kegiatan basis termasuk ke dalam kegiatan/sektor service atau pelayanan, tetapi untuk tidak menciptakan pengertian yang keliru tentang arti
service disebut saja sektor non basis. Sektor non basis (service) adalah untuk memenuhi kebutuhan lokal. Karena sifatnya yang memenuhi kebutuhan lokal,
permintaan sektor ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat
setempat. Oleh karena itu, kenaikannya sejalan dengan kenaikan pendapatan
masyarakat setempat. Dengan demikian, sektor ini terkait terhadap kondisi
ekonomi setempat dan tidak bisa berkembang melebihi pertumbuhan ekonomi
wilayah. Atas dasar anggapan di atas, satu-satunya sektor yang bisa meningkatkan
perekonomian wilayah melebihi pertumbuhan alamiah adalah sektor basis.
2.6. Analisis Perencanaan
Perencanaan adalah suatu proses yang berkesinambungan yang mencakup
keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan berbagai alternatif penggunaan
sumberdaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pada masa yang akan datang
(Conyers dan Hill, 1994). Pengertian tujuan dalam definisi di atas menunjukkan
bahwa perencanaan erat hubungannya dengan perumusan kebijakan
(Tjokroamidjojo, 1993).
Berdasarkan definisi tersebut berarti ada empat elemen dasar
perencanaan yakni:
1. Merencanakan berarti memilih. Perencanaan merupakan proses memilih
diantara berbagai kegiatan yang diinginkan karena tidak semua yang
diinginkan tersebut dapat dilakukan dan tercapai secara simultan. Hal ini
menyiratkan bahwa hubungan antara perencanaan dengan proses
pengambilan keputusan sangat erat, terutama sekali berkaitan dengan
faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan dan urut-urutan
tindakan di dalam proses pengambilan keputusan.
menunjukkan segala sesuatu yang dianggap berguna dalam pencapaian
suatu tujuan tertentu. Sumberdaya ini mencakup sumberdaya alam,
sumberdaya manusia, sumberdaya modal dan keuangan. Perencanaan
mencakup proses pengambilan keputusasan tentang bagaimana proses
pengambilan keputusan penggunaan sumberdaya yang tersedia
sebaik-baiknya.
3. Perencanaan merupakan alat untuk mencapai tujuan. Konsep perencanaan
sebagai alat pencapaian tujuan muncul berkenaan dengan sifat dan proses
penetapan tujuan.
4. Perencanaan untuk masa depan. Salah satu elemen penting dalam
perencanaan adalah elemen waktu. Tujuan-tujuan perencanaan dirancang
untuk dicapai pada masa yang akan datang dan oleh karena itu
perencanaan berkaitan dengan masa depan (Conyers dan Hill, 1994). Karena
perencanaan dimaksudkan untuk waktu yang akan datang, maka setiap
perencana selain merumuskan tujuan juga harus menelaah situasi dimasa
mendatang dengan tepat dan harus mampu memperhitungkan akibat yang
akan ditimbulkan. Untuk itu diperlukan penyelidikan dan analisis atas dasar
data dan keterangan masa lalu. Dengan analisis dapat diketahui potensi dan
masalah yang dihadapi, sehingga dapat dipilih serangkaian alternatif tindakan
guna mengatasi permasalahan tersebut (Warpani, 1999).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dijelaskan bahwa analisis
perencanaan merupakan ilmu yang menyelidiki dan menguraikan proses yang
berkesinambungan yang mencakup keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan
berbagai alternatif penggunaan sumberdaya untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu pada masa yang akan datang.
Dalam hubungannya dengan analisis kebijakan, analisis perencanaan
merupakan analisis kebijakan yang berbentuk prospektif. Analisis kebijakan
prospektif memberikan informasi dan transformasi sebelum aksi kebijakan
dimulai (Dunn, 1998). Berdasarkan hal tersebut, Walter Williams dalam Dunn (1998) mendefinisikan analisis kebijakan merupakan suatu alat untuk
mensintesakan informasi yang dipakai dalam merumuskan alternatif dan
bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam
pengambilan keputusan kebijakan yang secara konseptual tidak termasuk
mengumpulkan informasi.
Kebijakan didefinisikan oleh Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt dalam
Dunn (1998) sebagai suatu "keputusan tetap" yang dicirikan oleh konsistensi dan
pengulangan (repetitiveness) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut. Kebijakan adalah dasar bagi
pelaksanaan kegiatan atau pengambilan keputusan. Sedangkan keputusan adalah
suatu pilihan terhadap berbagai alternatif yang bersaing mengenai sesuatu hal.
Kesulitan memperoleh informasi yang cukup serta bukti-bukti yang sulit
dibuktikan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya pengambilan
keputusan (kebijakan).
Untuk mendapatkan hasil yang baik maka penentu kebijakan atau
perencana harus menyusun setiap perencanaan pembangunan yang mengandung
unsur-unsur pokok perencanaan pembangunan, yaitu :
1. Kebijakan dasar atau strategi dasar rencana pembangunan. Unsur ini
merupakan dasar dari seluruh rencana, yang kemudian dituangkan dalam
unsur-unsur pokok perencanaan pembangunan lainnya.
2. Adanya kerangka rencana makro. Dalam kerangka tersebut berbagai
variabel pembangunan dihubungkan.
3. Perkiraan sumberdaya bagi pembangunan khususnya sumber pembiayaan
pembangunan.
4. Uraian tentang kerangka kebijakan yang konsisten, misalnya kebijakan
fiskal, penganggaran serta kebijakan sektoral lainnya.
5. Perencanaan pembangunan adalah program investasi yang dilakukan
secara sektoral disertai penyusunan rencana sasaran.
6. Perencanaan pembangunan adalah administrasi pembangunan yang
mendukung usaha perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
2.7. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu
2.7.1 Pembangunan Ekonomi Wilayah Pesisir
Berkenaan dengan pembangunan ekonomi, Arsyad (1999)
mendefinisikannya sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan
riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh
perbaikan sistem kelembagaan. Jadi pembangunan ekonomi harus dipandang
sebagai suatu proses saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pembangunan ekonomi yang dapat
diidentifikasi dan dianalisa dengan seksama.
Keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh tiga nilai pokok,
yaitu (1) berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya (basic needs), (2) meningkatnya rasa harga diri (self-esteem) masyarakat dan manusia, dan (3) meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
memilih (freedom from servitude) yang merupakan salah satu dari hak asasi manusia (Todaro, 2000).
Kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia pada masa lalu terlalu
menekankan kepada strategi tradisional yang mengutamakan kepada akumulasi
dari capital fisik (psysical atau man-made capital), yang megabaikan keterkaitannya dengan kapital-kapital lain, seperti kapital alami (natural capital), kapital manusia (human capital) dan kapital sosial (social capital). Oleh karena selama itu pertumbuhan ekonomi Indonesia dipandang tidak seimbang
(unbalanced growth), karena sumber-sumber pertumbuhan ekonomi tersebut terlalu banyak berasal dari ekploitasi natural assets seperti hutan, sumberdaya bahari (ikan dan lainnya), mineral, minyak dan gas bumi secara menguras.
Kemudian hasil-hasil dari sumberdaya lain tersebut ditransformasikan menjadi
capital fisik (jaringan jalan, komunikasi, pabrik-pabrik, perumahan, pembangkit
tenaga listrik, jaringan irigasi dan lain-lain) yang terakumulasi dengan tingkat
yang relatif tinggi (6 – 7 %) dan disebut pertumbuhan ekonomi. Sedangkan
investasi pada kapital-kapital lain (natural, human dan social) banyak diabaikan, bahkan dengan pelaksanaan program yang sentralistik banyak merusak terhadap
Permasalahan masyarakat di wilayah pesisir di Indonesia hampir memiliki
kesamaan, seperti yang telah diteliti oleh Tri Ratna Saridewi (2003) tentang Studi
Pembangunan Ekonomi Wilayah Pesisir di Kabupaten Subang. Dimana dari hasil
penelitian tersebut didapatkan beberapa kesimpulan bahwa masyarakat yang ada
di wilayah pesisir Kabupaten Subang memiliki permasalahan seperti terhadap
permodalan dan pemasaran. Tingkat kemiskinan yang ada di wilayah pesisir
Kabupaten Subang merupakan penyebab terbatasnya dana operasional dalam
usaha memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir yang ada.
Keterbatasan faktor pemasaran hasil produk juga merupakan permasalahan
yang dihadapi oleh nelayan untuk menjual hasil tangkapan dan budidaya yang
mereka kembangkan. Dengan menggunakan alat analisis (software) Analysis Hierarchy Process (AHP), maka didapatkan beberapa kebijakan yang menjadi prioritas untuk dijalankan seperti: meningkatkan pendapatan masyarakat di
wilayah pesisir, meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan meningkatkan
posisi tawar. Sedangkan usaha yang perlu dikembangkan di wilayah pesisir, yaitu:
usaha budidaya silvifisheries (monokultur dan polikultur), budidaya pertambakan (monokultur dan polikultur) dan peningkatan kegiatan pengolahan hasil perikanan
seperti pengolahan ikan segar, penggaraman/pengeringan pemindangan dan
pembuatan terasi. Sedangkan dari hasil analisa location quotient didapatkan, bahwa sektor perikanan tangkap merupakan sektor basis di Blanakan dan
Pusakanegara, sedangkan sektor perikanan tambak merupakan sektor basis di
Legonkulon dan Pusakanegara Kabupaten Subang.
2.7.2 Pengembangan Wilayah Pesisir
Permasalahan pengembangan wilayah pesisir dalam bentuk administrasi
desa-desa telah dilakukan penelitian oleh Edi Susilo (2003) tentang Analisis
Pengembangan Desa-desa Pesisir Teluk Saleh Kabupaten Dompu. Penelitian
tersebut menganalisis pengembangan wilayah pesisir sebagai kawasan strategis.
Peranan strategis pengembangan wilayah pesisir hanya tercapai jika
memenuhi persyaratan-persyaratan berikut: (1) basis ekonomi (economic base) wilayah yang bertumbuh atas sumberdaya-sumberdaya domestik yang terbaharui
linkage) dan ke depan (forward linkage) terhadap berbagai sektor ekonomi lainnya di daerah yang bersangkutan secara signifikan, sehingga perkembangan
sektor basis dapat menimbulkan efek ganda (multiplier effect) terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya di daerah yang bersangkutan, (3) efek ganda
yang signifikan dari sektor-sektor basis dan sektor-sektor turunan dan
penunjangnya dengan penciptaan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat (sektor
rumah tangga), sektor pemerintah lokal/daerah (sektor pajak/retribusi) dan PDRB
wilayah, (4) keterkaitan lintas regional di dalam maupun antar wilayah yang
tinggi (inter and inter-regional interaction) akan lebih menjamin aliran alokasi dan distribusi sumberdaya yang efisien dan stabil sehingga menurunkan
ketidakpastian (uncertainty), dan (5) terjadinya learning process secara berkelanjutan yang mendorong terjadinya koreksi dan peningkatan secara terus
menerus atau berkelanjutan.
Pemusatan aktifitas ekonomi berdasarkan konsentrasi tenaga kerja
menurut mata pencaharian dengan analisa LQ menunjukkan sektor pertanian
(termasuk perikanan) merupakan sektor basis di wilayah pesisir Kabupaten
Dompu Provinsi Nusa Tenggara Barat. Namun demikian secara umum dijelaskan
bahwa wilayah pesisir kurang berkembang dibandingkan dengan wilayah non
pesisir, dengan alasan sebagai berikut :
1. Kualitas sumberdaya manusia yang relatif rendah.
Umumnya berpendidikan rendah sehingga wawasan dan cara pandang
terhadap suatu masalah harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan yang
dimilikinya.
2. Tingkat ekonomi wilayah pesisir masih rendah.
Keterbatasan masyarakat pesisir dalam melakukan aktifitas kegiatan terbatas
pada kegiatan perikanan (menangkap ikan) membawa dampak kepada
semakin rendahnya kinerja ekonomi masyarakat.
3. Sulitnya memperoleh modal dan investasi.
Kendala yang umum dialami oleh masyarakat nelayan adalah keterbatasan
dalam hal modal usaha, sehingga banyak dijumpai nelayan masih
menggunakan sarana penangkapan tradisional.
Umumnya usaha pengolahan ikan laut dilakukan dengan cara diasinkan atau
dikeringkan dan diperkirakan 25 % dari total hasil tangkapan. Namun perlu
dikembangkan teknologi tepat guna dalam proses pengolahan ikan, sehingga
diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi peningkatan pendapatan
masyarakat nelayan.
2.7.3 Pengembangan Wilayah Berbasis Sumberdaya Alam yang Berkelanjutan
Kajian konservasi lahan di hulu DAS Citarum dalam upaya mendukung
pengembangan wilayah berbasis sumberdaya alam yang berkelanjutan telah
diteliti Nurul Febriani (2008). Menurut Rustiadi, et al., (2003) pengembangan lebih menekankan kepada proses meningkatkan dan memperluas. Pengembangan
adalah sesuatu yang tidak dari nol, atau tidak membuat sesuatu yang sebelumnya
tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada tetapi
kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan dan diperluas. Selanjutnya dalam hal
pengembangan masyarakat (nelayan) tersirat pengertian bahwa masyarakat yang
dikembangkan sebenarnya sudah memiliki kapasitas (bukannya tidak memiliki
sama sekali) namun perlu ditingkatkan kapasitasnya (capacity building). Secara filosofis suatu proses pembangunan/pengembangan dapat diartikan sebagai upaya
yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat
menyediakan berbagai alternatif pengelolaan sumberdaya alamnya yang ramah
lingkungan.
Dalam menentukan prioritas pengelolaan wilayah berbasis sumberdaya
alam berkelanjutan didasarkan kepada hasil wawancara dengan masyarakat yang
terlibat terlebih dahulu dan juga kepada para stakeholder, dalam penentuan strategi pengelolaan sumberdaya wilayah yang berkelanjutan. Selanjutnya
alternatif dan prioritas kebijakan dalam pengelolaan wilayah yang berkelanjutan
dengan aspek ekonomi, sosial, ekologi dan kelembagaan masyarakat (nelayan)
dilakukan analisis dengan Multi Criteria Desicion Making (MCDM) yang menggunakan software Preference Ratios in Multiattribute Evaluation (PRIME). Menurut Jankowski (1994) pengelolaan wilayah untuk mencari alternatif
memerlukan sejumlah pendekatan untuk menghitung kriteria yang banyak guna
membentuk struktur pendukung proses pengambilan keputusan, namun harus
memenuhi beberapa faktor, yaitu; (i) mempunyai kemampuan dalam menangani
jenis data yang bervariasi (kuantitatif, kualitatif dan campuran) dan pengukuran
yang intangible; (ii) dapat mengakomodasi perbedaan yang diinginkan dalam penentuan kriteria; (iii) dapat menerapkan skema bobot yang bervariasi untuk
suatu prioritas stakeholder yang berbeda; (iv) tidak membutuhkan penentuan nilai ambang sehingga tidak terjadi penurunan skala dari variabel yang continue pada skala nominal; dan (v) prosedur analisis relatif sederhana.
Peneliti memberikan implikasi kebijakan dalam pengembangan wilayah
berbasis sumberdaya alam yang berkelanjutan didasarkan terhadap 3 (tiga)
skenario alternatif kebijakan pengelolaan wilayah dengan menggunakan analisis
multikriteria, prioritas pengelolaan untuk masa yang akan datang adalah
diterapkan sebagai pengembangan wilayah. Kebijakan ini baik secara langsung
maupun tudak langsung akan menimbulkan konsekuensi dalam berbagai aspek,
yaitu ekonomi, sosial dan ekologi. Implikasi kebijakan terhadap pengelolaan
wilayah menguraikan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, yaitu :
1. Persepsi dan partisipasi masyarakat.
Pengelolaan wilayah memerlukan partisipasi masyarakat dan harus diterima
oleh masyarakat lokal. Pengertian masyarakat tidak hanya terbatas pada
masyarakat pengelola, tetapi juga seluruh pihak yang berkepentingan terhadap
pengelolaan. Penerimaan terhadap konservasi dalam penelitian ini pada
gilirannya akan menciptakan partisipatif aktif dari masyarakat dalam
keikutsertaan untuk melakukan kegiatan konservasi di Hulu DAS Citarum.
Penerimaan masyarakat diperlukan untuk menumbuhkan rasa kepemilikan
(sence of belonging) terhadap konservasi atau pengelolaan wilayah sehingga muncul kesadaran untuk senantiasa aktif dalam melaksanakan
konservasi/pengelolaan wilayah.
2. Nilai ekonomi kawasan.
Nilai ekonomi akan mengalami peningkatan dibandingkan kondisi saat ini,