• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tujuan Pengajaran Kristen

Dalam dokumen publikasi e-binaanak (Halaman 100-104)

Mandat itu menantang kita untuk mengajar setiap orang di mana pun. Ketika Tuhan memacu kreativitas kita dengan teladan-Nya, kita mengukur keberhasilan kita melalui hidup-hidup yang kita ubahkan. Tetapi, apa yang sebenarnya harus kita capai dalam hidup orang-orang yang menjadi murid Kristus?

Tujuan Pengajaran Kristen

Di satu sisi, mandat pengajaran Kristen menanggung suatu tujuan. Mereka yang belajar tentang Tuhan harus memberikan respons positif kepada-Nya. Hampir selalu, ketika tujuan pengajaran Kristen diangkat, "kedewasaan" muncul. Asumsi kita terhadap kata kunci ini cenderung terlalu umum, dan asumsi semacam itu menimbulkan kebingungan. Alkitab setidaknya menggunakan tiga kata yang berbeda sebagai tujuan pengajaran dan alat ukur kedewasaan. Kedewasaan harus terlihat dalam relasi, moralitas, dan teologi. 1 Timotius, Ibrani, dan Efesus menyatakan tanda-tanda kedewasaan ini dengan jelas. Banyak pasal lain yang setema dengan pasal-pasal itu. Namun, kejelasan

pengungkapan dari pasal-pasal ini membuat pasal-pasal ini menjadi rangkuman yang ideal.

1 Timotius 1:5: "Tujuan nasihat itu ialah kasih yang timbul dari hati yang suci, dari hati nurani yang murni dan dari iman yang tulus ikhlas." Untuk tujuan-tujuan kita, inti pokok dari ayat ini benar-benar jelas dan hampir tidak mengherankan. Tujuan Paulus dalam pengajarannya adalah untuk menghasilkan KASIH dalam hidup para murid. Jika kasih itu belum ada, tujuan perintah itu belum tercapai. Ayat yang sederhana ini mengikat sejumlah besar ayat dalam Perjanjian Baru. Perhatikan bagaimana pasal-pasal berikut ini menitikberatkan kasih.

1. Perintah yang utama (Matius 22-37-38). 2. Perintah kedua (ayat 39).

3. Tanda-tanda yang membedakan seorang murid (Yohanes 13:35). 4. Buah roh (Galatia 5:22-23).

5. Buah yang utama dalam karunia (1 Korintus 13:1).

6. Cara untuk menyatakan apakah seseorang itu mengasihi Allah (1 Yohanes 4:20). 7. Pertanyaan yang dijawab Petrus hingga tiga kali (Yohanes 21:15-18).

Dengan kata lain, hingga seorang murid menghasilkan kasih, tugas pengajaran belumlah selesai. Tetapi apakah kasih itu?

Bahasa Inggris modern sangat mengabaikan definisi alkitabiah dengan menggunakan kasih untuk menutupi begitu banyak pengalaman yang berbeda. Tetapi karena posisi kasih yang sentral, kasih menerima perlakuan yang luas dan tepat dalam Perjanjian Baru. Sayangnya, pasal yang penting sering kali gagal menyentuh pemikiran kita. Saat kita menyebut kasih, orang-orang akan berkata, "O, ya ..." dan kemudian mengabaikan pengajarannya lagi.

 

Untuk menghindari jebakan itu, perhatikan apakah Anda bisa mengenali sebuah pasal dari daftar pernyataan berikut yang mencerminkan kebenaran pasal tersebut, tetapi menggunakan kata-kata yang berbeda untuk menggambarkannya.

1. Roh Kudus tidak memberikan ketidaksabaran. Dapatkah saya benar-benar mengasihi Tuhan dan menjadi tidak sabar?

2. Roh Kudus tidak memberikan ketidakbaikan hati. Dapatkah saya benar-benar mengasihi Tuhan dan menjadi tidak baik hati?

3. Roh Kudus tidak memberikan kecemburuan terhadap kekuatan, kecantikan, kepandaian, keberhasilan, uang, kekuasaan, hubungan, atau seseroang yang dimiliki oleh orang lain. Dapatkah saya benar-benar mengasihi Tuhan dan menjadi cemburu?

Meskipun kita dapat belajar tiga belas kata-kata yang seperti itu lagi, yang menjelaskan kasih dengan sangat tepat dalam hal perilaku, dengan tiga itu saja Anda mungkin sudah mengenali bahwa yang dimaksud adalah 1 Korintus 13. Bayangkan apa yang akan terjadi bila orang Kristen setiap hari hidup di luar tiga definisi pertama dan hanya

mengukur keberhasilan atau kegagalan mereka dalam setiap hubungan berdasar pada ketidaksabaran, ketidakbaikan, dan kecemburuan!

Sebagai guru, kita tidak akan pernah puas sampai kita melihat kasih terus dibagikan dengan murah hati dalam hidup murid-murid kita. Jika melihat tingkat perceraian di antara orang Kristen, konflik pribadi yang tidak terhitung dalam gereja, dan seringnya pemisahan diri para pemimpin Kristen, dalam bidang ini saja, kita memiliki banyak pekerjaan yang harus dikerjakan. Tetapi kasih bukanlah satu-satunya kriteria kedewasaan yang disebutkan dalam Perjanjian Baru.

Ibrani 5:14: "Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai panca indera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat."

Penulis Ibrani menyebutkan dua hal yang menggambarkan murid yang dewasa. Pertama, mereka dapat memakan "makanan keras" dan kedua, mereka dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat karena mereka telah berulang kali melatih kepekaan moral mereka. "Makanan keras" dan "kepekaan yang terlatih" secara strategis terkait dalam ayat ini. Lagipula, firman Tuhan harus secara radikal

memengaruhi pemikiran kita, sehingga kita benar-benar memikirkan pemikiran Allah. Ketika kita "memikirkan pemikiran Allah", penilaian kita terhadap berbagai hal menjadi lebih "ilahi". Ketika pemikiran kita menjadi lebih "saleh", kita menangkap perbedaan antara yang baik dan yang jahat, memampukan kita untuk membuat pilihan moral yang tepat.

Sama seperti prinsip kasih, pilihan-pilihan moral mengatur perilaku kita kepada Tuhan maupun orang lain. Tetapi, dalam analisa akhir, semua pilihan-pilihan moral

berhubungan langsung kepada Tuhan karena semua dosa pada dasarnya bertentangan dengan Tuhan (Mazmur 51). Meskipun kedewasaan orang Kristen menunjukkan

 

kemampuan untuk membuat pilihan moral yang benar, namun hal itu tidak menjamin kekebalan terhadap pilihan yang salah.

Lagi, kita tidak mencapai tujuan pengajaran Kristen hingga murid Kristus dapat terus membuat pilihan moral yang baik; hingga mereka menjadi cukup tertarik untuk menguji pilihan-pilihan hidup mereka dengan standar alkitabiah. Orang-orang tidak boleh dinilai tidak dewasa karena mereka tidak senang mendengarkan kuliah yang membosankan selama berjam-jam tentang Alkitab (meskipun kuliah itu entah bagaimana dianggap sebagai "makanan keras"). di sisi lain, murid yang dewasa perlu memiliki rasa ingin tahu dan ketertarikan untuk mendiskusikan aspek-aspek yang rumit tentang Alkitab dan penerapannya dalam kehidupan mereka. Dalam analisa akhir, kedewasaan harus diukur dengan pilihan-pilihan moral yang baik, dan untuk membuat pilihan moral yang baik diperlukan latihan. Bila krisis moral yang saat ini sedang terjadi di antara para pemimpin gereja mencerminkan kondisi umum di gereja secara keseluruhan, tentu saja tugas ini nampak sangat besar!

Di samping pentingnya kedua hal ini, kasih dan moralitas masih meninggalkan gambaran tujuan pengajaran Kristen yang belum lengkap. Kasih dan moralitas

membantu kita memikirkan perilaku kita terhadap orang lain dan Tuhan. Tetapi teologi membantu kita memikirkan Tuhan sendiri. Kedewasaan Kristen menuntut stabilitas teologis.

Efesus 4:11-14, "Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan,"

Meskipun lebih panjang dari dua ayat lainnya, ayat ini berbicara tentang para guru, kedewasaan, dan pengajaran (teologi). Kata-kata Paulus tampaknya merujuk pada kepada tujuan dan hasil. Dengan kata lain, saat kita dapat mencapai tujuan

kedewasaan, kita juga menuai stabilitas teologis. Keseluruhan ide ini sangat cocok dengan ayat di Ibrani yang mengatakan bahwa orang-orang Kristen yang dewasa dapat memakan makanan yang keras. Apakah kita memiliki alasan untuk percaya bahwa makanan yang keras dan teologi adalah konsep yang berbeda? Para murid tidak lagi harus menjadi korban guru yang pandai bicara, persuasif, dan egois. Sebaliknya, mereka seharusnya dapat melihat maksud-maksud palsu dan pemikiran-pemikiran mereka yang tidak benar tentang Tuhan. Tugas ini tampaknya mustahil mengingat betapa banyak guru yang mempromosikan diri sendiri di televisi, radio, dan komunitas kita di mana pun. Namun demikian, pengajaran yang baik memerlukan tingkat

kerumitan teologi yang memberi kekebalan kepada para murid dari para guru seperti itu dan doktrin mereka yang salah.

 

Rasul Paulus juga menyatakan bahwa "pelayanan" juga merupakan hasil kedewasaan. Apakah terlalu biasa untuk mengatakan bahwa kita diajar untuk melayani? Meskipun bukan prasyarat untuk pelayanan, kedewasaan yang sejati tidak dapat dipisahkan dari pelayanan kepada tubuh Kristus.

Bila kedewasaan adalah tujuannya, bagaimana kita bisa mengukur kemajuannya? Bagaimana keadaan kita? Sudahkah kita mencapai kedewasaan itu? Bila pengikut Kristus bersedia melayani tubuh Kristus, kita seharusnya menganggap bahwa dari sikap itu, kita telah mengalami kemajuan. Menariknya, para pendeta, pekerja pemuda, para pemimpin, dan staf lain dalam pendidikan Kristen terus berjuang untuk merekrut cukup pekerja untuk pelayanan Kristen. Karena itu, pelayanan pengajaran membutuhkan penekanan yang terus-menerus.

Sebagai tujuan pengajaran Kristen, kedewasaan nampak sudah cukup jelas ketika diukur dengan kasih, moralitas, stabilitas teologis, dan pelayanan. Hal-hal tersebut sudah bukan lagi sesuatu yang baru dalam komunitas Kristen. Namun, setelah hampir 2000 tahun sejarah gereja, kita belum mencapai tujuan itu. Kebutuhan pengajaran Kristen tetap sama besarnya sampai sekarang.

Ini akan selalu menjadi masalah. Setiap generasi, setiap orang yang baru bertobat harus mulai dengan informasi yang sedikit atau tanpa informasi sama sekali dan memulai perjalanannya sekali lagi bersama Kristus. Orang Kristen yang bertumbuh sekalipun tetap membutuhkan peringatan dan dorongan ketika mereka bergerak ke arah kedewasaan. Masyarakat yang teknologinya semakin maju tidak mengurangi kebutuhan ini. Murid-murid Yesus masih membutuhkan pengajaran dan guru! (t/Ratri) Diterjemahkan dan disesuaikan dari:

Judul buku: The Christian Educator's Handbook on Teaching Judul asli artikel: Biblical Foundations for a Philosophy of Teaching

Penulis: Michael S. Lawson

Penerbit: Victor Books, Amerika 1988 Halaman: 61 -- 68

 

Dalam dokumen publikasi e-binaanak (Halaman 100-104)