IDENTIFIKASI
DRUG RELATED PROBLEMS
(DRPs) PADA
PASIEN KANKER PAYUDARA DI INSTALASI RAWAT INAP
RSU Dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2011 – 2012
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
YOGI SATRYA PARADA SIHOMBING
NIM 101501036
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
IDENTIFIKASI
DRUG RELATED PROBLEMS
(DRPs) PADA
PASIEN KANKER PAYUDARA DI INSTALASI RAWAT INAP
RSU Dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2011 – 2012
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
YOGI SATRYA PARADA SIHOMBING
NIM 101501036
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
IDENTIFIKASI
DRUG RELATED PROBLEMS
(DRPs) PADA
PASIEN KANKER PAYUDARA DI INSTALASI RAWAT INAP
RSU Dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2011 – 2012
OLEH:
YOGI SATRYA PARADA SIHOMBING
NIM 101501036
Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Pada Tanggal: 7 Februari 2015
Medan, Maret 2015 Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara a.n. Dekan
Wakil Dekan I,
Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt. NIP 195807101986012001
Pembimbing I,
Dr. Poppy Anjelisa Z. Hsb., M.Si., Apt. NIP 197506102005012003
Pembimbing II,
Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. NIP 195301011983031004
Panitia Penguji,
Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. NIP 195103261978022001
Dr. Poppy Anjelisa Z. Hsb., M.Si., Apt NIP 197506102005012003
Dr. Wiryanto, M.S., Apt. NIP 195110251980021001
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena limpahan rahmat
kasih dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang
berjudul ”Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Kanker
Payudara di Instalasi Rawat Inap RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung
Tahun 2011 – 2012”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera
Utara.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada
Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan fasilitas selama masa
pendidikan, Ibu Dr. Poppy Anjelisa Z. Hsb., M.Si., Apt., dan Bapak Prof. Dr. Urip
Harahap, Apt., selaku pembimbing yang telah memberikan waktu, bimbingan dan
nasehat selama penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini, Bapak Drs.
Suryadi Achmad, M.Sc., Apt., selaku penasehat akademik yang memberikan
bimbingan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Farmasi.
Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang
telah mendidik selama perkuliahan, Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt., Bapak Dr.
Wiryanto, M.S., Apt., dan Ibu Dra. Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt., selaku dosen
penguji yang memberikan masukan, kritik, arahan dan saran dalam penyusunan
skripsi ini.
Penulis juga ingin mempersembahkan rasa terima kasih yang tak terhingga
v
pengorbanannya dengan tulus dan ikhlas, untuk abang Ronny Sahputra
Sihombing, dan teman-teman Farmasi Klinis dan Komunitas 2010 serta Sains dan
Teknologi Farmasi 2010 yang selalu setia memberi doa, dorongan dan semangat.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya, oleh
karena itu sangat diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak guna perbaikan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga
skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang farmasi.
Medan, Maret 2015 Penulis,
vi
IDENTIFIKASI
DRUG RELATED PROBLEMS
(DRPs) PADA
PASIEN KANKER PAYUDARA DI INSTALASI RAWAT INAP
RSU Dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2011 – 2012
ABSTRAK
Pengobatan untuk kanker payudara dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, salah satunya adalah dengan kemoterapi. Pengobatan kanker payudara dengan kemoterapi umumnya secara kombinasi obat, sehingga ada kemungkinan terjadi interaksi obat. Selain itu, kemoterapi dapat menimbulkan banyak efek samping, sehingga diperlukan terapi penunjang kemoterapi. Pasien kanker payudara yang menjalani rawat inap dapat mengalami peningkatan ataupun penurunan kualitas hidup. Penurunan kualitas hidup pasien kanker payudara dapat terjadi karena kanker yang semakin parah atau karena adanya masalah terkait penggunaan obat.
Berdasarkan hal tersebut, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi masalah terkait penggunaan obat pada pasien kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung tahun 2011 – 2012 yang meliputi interaksi obat, pemberian obat yang salah dan ketiadaan terapi tambahan bagi pasien. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, pengambilan data secara retrospektif terhadap data rekam medik dan evaluasi dilakukan secara teoritik berdasarkan literatur. Kriteria subjek penelitian meliputi pasien perempuan dengan diagnosis kanker payudara dengan/tanpa penyakit penyerta, yang dirawat inap di Ruang Mawar (Ruang Bedah Wanita) RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada Januari 2011 sampai dengan bulan Desember 2012.
Interaksi obat yang terjadi meliputi interaksi antara obat kemoterapi dengan obat kemoterapi, yaitu antara siklofosfamid dengan doksorubisin dan antara kapesitabin dengan tamoksifen, serta antara obat kemoterapi dengan obat penunjang, yaitu antara siklofosfamid dengan deksametason, antara siklofosfamid dengan ondansetron dan antara sisplatin dengan ondansetron. Pemberian obat yang salah yang ditemukan pada penelitian ini adalah pemberian asam mefenamat pada pasien yang menjalani kemoterapi regimen CA (siklofosfamid dan doksorubisin). Ketiadaan terapi tambahan yang ditemukan adalah ketiadaan terapi
granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) pada pasien geriatri.
vii
IDENTIFICATION OF DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) OF HOSPITALIZED BREAST CANCER PATIENTS AT RSU Dr. H. ABDUL
MOELOEK BANDAR LAMPUNG DURING 2011 - 2012 ABSTRACT
Medication for breast cancer can be done in various ways, one of them is by chemotherapy. Medication for breast cancer often given as a drug combination, therefore there is a probability for drug interaction to occurs. Moreover, chemotherapy can cause many side effects, therefore supportive therapy is needed. Hospitalized breast cancer patient’s quality of life may experience improvement or degeneration. Degeneration of hospitalized breast cancer patient’s quality of life can be caused by increased malignancy or by drug related problem.
Based on statement mentioned above, the research about identification of drug related problems (DRPs) of hospitalized breast cancer patient, included drug interaction, wrong drug and absence of additional therapy, is held. This study was conducted with descriptive design, the data acquired retrospectively for medical record and evaluation is conducted theoritically based on literature. The patient's criteria as a subject in this study were hospitalized in Ruang Mawar (Ruang Bedah Wanita) in RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung from January 2011 until December 2012.
Drug interactions that occured are drug interactions between chemotherapy drugs including cyclophosphamide with doxorubicin and capecitabine with tamoxifen, as well as drug interactions between chemotherapy drug and supportive drug including cyclophosphamide with dexamethasone, cyclophosphamide with ondansetron and cisplatin with ondansetron. Wrong drug that has been administered is mefenamic acid which has been administered after CA (cyclophosphamide and doxorubicin) regimen chemotherapy. The absence of additional therapy that occurred is the absence of granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) therapy for management of cancer in older patient.
viii
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 4
1.3 Perumusan Masalah ... 5
1.4 Hipotesis ... 6
1.5 Tujuan Penelitian ... 6
1.6 Manfaat Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1 Proliferasi Sel ... 8
2.1.1 Siklus Sel ... 8
2.1.2 Pengaturan Proliferasi Sel ... 10
ix
2.2.1 Etiologi dan Patogenesis ... 13
2.2.2 Klasifikasi ... 14
2.3 Kemoterapi ... 17
2.4 DRPs ... 19
2.4.1 Definisi DRPs ... 19
2.4.2 Klasifikasi DRPs ... 20
BAB III METODE PENELITIAN ... 23
3.1 Jenis Penelitian ... 23
3.2 Populasi dan Sampel ... 23
3.2.1 Populasi ... 23
3.2.2 Sampel ... 23
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 24
3.4 Definisi Operasional ... 24
3.5 Instrumen Penelitian ... 25
3.5.1 Sumber Data ... 25
3.5.2 Teknik Pengumpulan Data ... 26
3.5.3 Analisis Data ... 26
3.6 Bagan Alur Penelitian ... 27
3.7 Langkah Penelitian ... 27
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 29
4.2 Jumlah Pasien yang Memulai Kemoterapi Kanker Payudara pada Tahun 2011 Berdasarkan Kelompok Usia ... 30
4.3 Penggunaan Obat Kemoterapi ... 31
x
4.5 Identifikasi Drug Related Problems(DRPs) ... 38
4.5.1 Interaksi Obat ... 40
4.5.1.1 Siklofosfamid dengan Doksorubisin ... 43
4.5.1.2 Kapesitabin dengan Tamoksifen ... 51
4.5.1.3 Siklofosfamid dengan Deksametason ... 53
4.5.1.4 Siklofosfamid dengan Ondansetron ... 55
4.5.1.5 Sisplatin dengan Ondansetron ... 58
4.6.2 Pemberian Obat yang Salah ... 61
4.6.3 Ketiadaan Terapi Tambahan ... 65
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 69
5.1 Kesimpulan ... 69
5.2 Saran ... 70
DAFTAR PUSTAKA ... 71
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Efek samping kemoterapi ... 18
Tabel 4.1 Jumlah pasien yang memulai kemoterapi kanker payudara
pada tahun 2011 berdasarkan kelompok usia ... 30
Tabel 4.2 Obat-obat kemoterapi yang banyak digunakan untuk terapi kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada tahun 2011 – 2012 ... 32
Tabel 4.3 Obat-obat penunjang kemoterapi yang banyak digunakan untuk terapi kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul
Moeloek Bandar Lampung pada tahun 2011 – 2012 ... 34
Tabel 4.4 Pasien-pasien rawat inap kanker payudara dengan kombinasi obat kemoterapi dan obat penunjang kemoterapi yang berbeda-beda antara satu pasien dengan yang lain di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada tahun
2011 – 2012 ... 39
Tabel 4.5 Gambaran penggunaan obat dan kejadian interaksi obat pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di
RSUAM Bandar Lampung ... 41
Tabel 4.6 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara siklofosfamid dengan doksorubisin (kasus I) pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar
Lampung ... 44
Tabel 4.7 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara siklofosfamid dengan doksorubisin (kasus II) pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar Lampung... 45
Tabel 4.8 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara siklofosfamid dengan doksorubisin (kasus III) pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar
Lampung ... 46
xii
Tabel 4.10 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara kapesitabin dengan tamoksifen pada pasien kanker payudara
di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar Lampung ... 51
Tabel 4.11 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara siklofosfamid dengan deksametason (kasus I) pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar Lampung... 53
Tabel 4.12 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara siklofosfamid dengan deksametason (kasus II) pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar
Lampung ... 54
Tabel 4.13 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara siklofosfamid dengan ondansetron (kasus I) pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar Lampung... 56
Tabel 4.14 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara siklofosfamid dengan ondansetron (kasus II) pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar Lampung ... 57
Tabel 4.15 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara sisplatin dengan ondansetron (kasus I) pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar Lampung ... 59
Tabel 4.16 Terjadi interaksi obat secara farmakologi antara sisplatin dengan ondansetron (kasus II) pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar Lampung ... 60
Tabel 4.17 Gambaran kejadian pemberian obat yang salah pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar Lampung... 62
Tabel 4.18 Terjadi pemberian obat yang salah pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar Lampung... 63
Tabel 4.19 Gambaran kejadian ketiadaan terapi tambahan pada pasien kanker payudara di instalasi rawat inap di RSUAM Bandar Lampung ... 66
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Skema hubungan variabel bebas dengan variabel terikat ... 5
Gambar 2.1 Siklus sel ... 9
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data Pengobatan Pasien ... 77
Lampiran 2. Guideline dari National Comprehensive Cancer Network
untuk Manajemen Kanker pada Pasien Lanjut Usia ... 126
Lampiran 3. Surat Permohonan Izin Penelitian di RSU Dr. H. Abdul
Moeloek Bandar Lampung ... 127
Lampiran 4. Surat Izin Melakukan Penelitian di RSU Dr. H. Abdul
Moeloek Bandar Lampung ... 128
Lampiran 5. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Kegiatan Penelitian di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar
vi
IDENTIFIKASI
DRUG RELATED PROBLEMS
(DRPs) PADA
PASIEN KANKER PAYUDARA DI INSTALASI RAWAT INAP
RSU Dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2011 – 2012
ABSTRAK
Pengobatan untuk kanker payudara dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, salah satunya adalah dengan kemoterapi. Pengobatan kanker payudara dengan kemoterapi umumnya secara kombinasi obat, sehingga ada kemungkinan terjadi interaksi obat. Selain itu, kemoterapi dapat menimbulkan banyak efek samping, sehingga diperlukan terapi penunjang kemoterapi. Pasien kanker payudara yang menjalani rawat inap dapat mengalami peningkatan ataupun penurunan kualitas hidup. Penurunan kualitas hidup pasien kanker payudara dapat terjadi karena kanker yang semakin parah atau karena adanya masalah terkait penggunaan obat.
Berdasarkan hal tersebut, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi masalah terkait penggunaan obat pada pasien kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung tahun 2011 – 2012 yang meliputi interaksi obat, pemberian obat yang salah dan ketiadaan terapi tambahan bagi pasien. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, pengambilan data secara retrospektif terhadap data rekam medik dan evaluasi dilakukan secara teoritik berdasarkan literatur. Kriteria subjek penelitian meliputi pasien perempuan dengan diagnosis kanker payudara dengan/tanpa penyakit penyerta, yang dirawat inap di Ruang Mawar (Ruang Bedah Wanita) RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada Januari 2011 sampai dengan bulan Desember 2012.
Interaksi obat yang terjadi meliputi interaksi antara obat kemoterapi dengan obat kemoterapi, yaitu antara siklofosfamid dengan doksorubisin dan antara kapesitabin dengan tamoksifen, serta antara obat kemoterapi dengan obat penunjang, yaitu antara siklofosfamid dengan deksametason, antara siklofosfamid dengan ondansetron dan antara sisplatin dengan ondansetron. Pemberian obat yang salah yang ditemukan pada penelitian ini adalah pemberian asam mefenamat pada pasien yang menjalani kemoterapi regimen CA (siklofosfamid dan doksorubisin). Ketiadaan terapi tambahan yang ditemukan adalah ketiadaan terapi
granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) pada pasien geriatri.
vii
IDENTIFICATION OF DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) OF HOSPITALIZED BREAST CANCER PATIENTS AT RSU Dr. H. ABDUL
MOELOEK BANDAR LAMPUNG DURING 2011 - 2012 ABSTRACT
Medication for breast cancer can be done in various ways, one of them is by chemotherapy. Medication for breast cancer often given as a drug combination, therefore there is a probability for drug interaction to occurs. Moreover, chemotherapy can cause many side effects, therefore supportive therapy is needed. Hospitalized breast cancer patient’s quality of life may experience improvement or degeneration. Degeneration of hospitalized breast cancer patient’s quality of life can be caused by increased malignancy or by drug related problem.
Based on statement mentioned above, the research about identification of drug related problems (DRPs) of hospitalized breast cancer patient, included drug interaction, wrong drug and absence of additional therapy, is held. This study was conducted with descriptive design, the data acquired retrospectively for medical record and evaluation is conducted theoritically based on literature. The patient's criteria as a subject in this study were hospitalized in Ruang Mawar (Ruang Bedah Wanita) in RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung from January 2011 until December 2012.
Drug interactions that occured are drug interactions between chemotherapy drugs including cyclophosphamide with doxorubicin and capecitabine with tamoxifen, as well as drug interactions between chemotherapy drug and supportive drug including cyclophosphamide with dexamethasone, cyclophosphamide with ondansetron and cisplatin with ondansetron. Wrong drug that has been administered is mefenamic acid which has been administered after CA (cyclophosphamide and doxorubicin) regimen chemotherapy. The absence of additional therapy that occurred is the absence of granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) therapy for management of cancer in older patient.
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Radikal bebas merupakan molekul-molekul yang sangat reaktif di dalam
tubuh. Ketika radikal bebas tidak dapat didestruksi secara bertahap, akumulasinya
di dalam tubuh menghasilkan fenomena yang disebut stres oksidatif. Proses ini
berperan besar dalam perkembangan penyakit degeneratif, salah satunya kanker.
Banyak sekali sumber radikal bebas yang dapat masuk dan terbentuk di dalam
tubuh, di antaranya melalui pernapasan, lingkungan yang tidak sehat dan akibat
mengonsumsi makanan yang berlemak ataupun yang tidak sehat. Karsinogenesis
merupakan suatu proses yang memberikan hasil suatu transformasi sel normal
menjadi neoplastik yang disebabkan oleh perubahan genetik yang menetap atau
mutasi. Tumor tumbuh dari sel tunggal yang mengalami transformasi oleh
penumpukan atau akumulasi proses mutasi. Berdasarkan estimasi Globocan,
International Agency for Research on Cancer (IARC) 2012, insiden kanker
payudara sebesar 40 per 100 ribu perempuan, kanker leher rahim 17 per 100 ribu
perempuan, kanker paru 26 per 100 ribu laki-laki, kanker kolorektal 16 per 100
ribu laki-laki. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013,
prevalensi tumor atau kanker di Indonesia adalah 1,4 per 1000 penduduk atau
sekitar 330.000 orang. Kanker tertinggi di Indonesia pada perempuan adalah
kanker payudara dan kanker leher rahim, sedangkan pada laki-laki adalah kanker
2
Kanker payudara menempati peringkat kelima penyebab kematian akibat
kanker (522.000 kematian) dan sementara itu merupakan penyebab paling sering
kematian akibat kanker pada wanita di daerah-daerah yang kurang berkembang
(324.000 kematian, 14,3% dari total), juga merupakan penyebab kedua kematian
akibat kanker di daerah-daerah yang lebih berkembang (198.000 kematian, 15,4%
dari total) setelah kanker paru-paru. Kanker payudara adalah kanker yang umum
kedua di dunia, dan sejauh ini, merupakan kanker yang paling sering dijumpai
pada wanita dengan perkiraan sebanyak 1,67 juta kasus kanker baru yang
terdiagnosis pada tahun 2012 (25% dari seluruh kanker). Berdasarkan data Sistem
Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2009, kanker payudara menempati urutan
pertama pada pasien rawat inap di seluruh rumah sakit di Indonesia 21,69%,
disusul kanker leher rahim 17%. Laporan kanker dunia memperkirakan angka
kejadian kanker akan meningkat menjadi 15 juta kasus baru di tahun 2020
(Ashton, et al., 2009; IRCA, 2012; Rasjidi, 2009).
Kanker payudara adalah neoplasma ganas yaitu suatu pertumbuhan
jaringan payudara abnormal dengan pertumbuhan berlebihan dan tidak ada
koordinasi dengan pertumbuhan jaringan normal, tumbuh infiltratif dan destruktif
serta dapat bermetastase dan akan tetap tumbuh dengan cara yang berlebihan
setelah stimulus yang menimbulkan pertumbuhan itu berhenti. Neoplasma
merupakan kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel-sel normal yang
mengalami proliferasi, tumbuh terus-menerus secara tidak terbatas, tidak
berkoordinasi dengan jaringan sekitarnya. Kanker payudara terjadi karena
hilangnya kontrol atas proliferasi sel payudara dan apoptosis sehingga sel
3
Hilangnya fungsi apoptosis menyebabkan ketidakmampuan mendeteksi kerusakan
sel akibat kerusakan DNA (Indrati, 2005).
Pada dasarnya regimen kemoterapi FAS (fluorourasil, adriamisin,
siklofosfamid) dapat menyebabkan lesi pada deoxyribonucleic acid (DNA)
melalui mekanisme yang berbeda. Lesi tersebut akan menyebabkan kerusakan
DNA. Kerusakan DNA yang tidak dapat diperbaiki dapat menginduksi apoptosis.
Kerusakan DNA akibat pemberian kemoterapi FAS akan merangsang gen p53
menginduksi apoptosis. Sel yang mempunyai mutasi p53 akan resisten terhadap
stimuli apoptosis kemoterapi. Kejadian mutasi p53 pada karsinoma payudara
dihubungkan dengan sifat agresif dan buruknya ketahanan hidup. Mutasi p53 akan
menyebabkan gangguan stabilitas serta integritas genom dan sel akan terus
berproliferasi (Muhartono, 2012).
Samuel (2011) mengatakan bahwa pasien kanker seringkali tidak patuh
terhadap pengobatan dengan berbagai alasan, antara lain masalah biaya, ingin
mencoba pengobatan alternatif serta tidak tahan terhadap efek samping seperti
kerontokan rambut, daya tahan tubuh yang menurun, sariawan, mual dan muntah.
Di samping itu, proses pengobatan kanker yang memakan waktu tidak sebentar,
takut akan kematian serta tidak adanya dukungan keluarga seringkali juga
membuat pasien frustasi dan akhirnya berhenti berobat (drop-out).
Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diinginkan
yang dialami oleh pasien, yang melibatkan, atau dicurigai melibatkan, terapi obat,
dan mengganggu pencapaian tujuan terapi yang diinginkan. Masalah yang dialami
oleh pasien yang melibatkan pengobatan dapat dikategorikan ke dalam salah satu
4
kesalahan-kesalahan tindakan, atau kebutuhan akan pengobatan tambahan,
sinergis, atau preventif, serta masalah ketidakpatuhan (Strand, et al., 1990).
DRPs pada pasien kanker payudara yang pernah dipublikasikan adalah
DRPs pada pasien kanker payudara di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
periode Januari 2004 – Juni 2005. Dari 25 kasus yang diteliti, terdapat 11 kasus
yang mengalami DRPs, dengan perincian 4 kasus butuh terapi obat tambahan
(need for additional therapy), 1 kasus tidak perlu terapi obat (unnecessary drug
therapy), 6 kasus dosis kurang atau dosis terlalu rendah (dosage too low), dan 1
kasus dosis terlalu tinggi (dosage too high) (Damayanti, 2006).
Sejauh yang diketahui penulis, penelitian tentang DRPs pada pasien
kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung belum pernah
dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah
terjadi DRP pada pasien kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar
Lampung tahun 2011 – 2012 yang meliputi interaksi obat, kesalahan pemberian
obat (wrong drug) dan tidak adanya terapi tambahan (adjuvant) bagi pasien.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk penerapan farmasi klinis
di Instalasi Farmasi RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung dalam
penanganan obat sitostatika (handling of cytotoxic drugs).
1.2 Kerangka Pikir Penelitian
Penelitian ini mengkaji tentang identifikasi DRPs pada pasien kanker
payudara di instalasi rawat inap RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung
Tahun 2011 – 2012. Dalam penelitian ini, obat-obat yang tercatat dalam rekam
5
dan DRPs kategori interaksi obat, pemberian obat yang salah dan ketiadaan terapi
tambahan sebagai variabel terikat (dependent variable). Hubungan kedua variabel
tersebut digambarkan dalam kerangka pikir penelitian seperti ditunjukkan pada
Gambar 1.1.
Variabel Bebas Variabel Terikat
Gambar 1.1 Skema hubungan variabel bebas dengan variabel terikat
1.3.1 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah pada
penelitian ini adalah:
a.apakah terjadi DRP kategori interaksi obat secara farmakologi pada pasien
kanker payudara di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar
Lampung?
b.apakah terjadi DRP kategori pemberian obat yang salah pada pasien kanker
payudara di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar
Lampung?
c.apakah terjadi DRP kategori ketiadaan terapi tambahan pada pasien kanker
payudara di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar
Lampung? Obat-obat yang tercatat dalam rekam
medis pasien kanker payudara
DRPs
Kategori: 1. Interaksi obat
2. Pemberian obat yang salah 3. Ketiadaan terapi tambahan
6
1.4 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis pada penelitian
ini adalah:
a.terjadi DRP kategori interaksi obat secara farmakologi pada pasien kanker
payudara di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar
Lampung.
b.terjadi DRP kategori pemberian obat yang salah pada pasien kanker payudara di
instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.
c.terjadi DRP kategori ketiadaan terapi tambahan pada pasien kanker payudara di
instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
a.mengetahui adanya interaksi obat pada pasien kanker payudara di instalasi
rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.
b.mengetahui adanya pemberian obat yang salah pada pasien kanker payudara di
instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.
c.mengetahui adanya ketiadaan terapi tambahan pada pasien kanker payudara di
7
1.6 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk:
a. peneliti, dapat menambah pengetahuan peneliti tentang DRPs.
b.masyarakat, dapat memperoleh gambaran kejadian DRPs pada penyakit kanker
payudara.
c. rumah sakit, diharapkan dari hasil penelitian dapat digunakan untuk bahan
evaluasi bagi pihak rumah sakit mengenai pelaksanaan pengobatan kanker
payudara dalam praktik di rumah sakit tersebut.
d.penelitian ini diharapkan dapat mendorong minat mahasiswa atau peneliti lain
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Proliferasi Sel
Proliferasi sel menghasilkan dua sel yang berasal dari satu sel. Keadaan ini
membutuhkan pertumbuhan sel yang kemudian diikuti oleh pembelahan (divisi)
sel. Pertumbuhan sel yang tidak terkendali merupakan ciri khas kanker. Sel kanker
secara umum berisi biomolekul yang diperlukan untuk bertahan, proliferasi,
diferensiasi, kematian sel dan ekspresi tipe sel dengan fungsi khusus (specific
functions). Kegagalan regulasi fungsi inilah yang menghasilkan perubahan fenotip
dan kanker (Brody dan Rudel, 2003; Tan, 2001).
Pada jaringan normal, proliferasi sel mengarah kepada penambahan
jaringan di mana jumlah sel tidak hanya tergantung kepada proliferasi sel tetapi
juga oleh kematian sel. Kematian sel terprogram (apoptosis) adalah proses
dikeluarkannya sel-sel yang rusak. Keseimbangan antara produksi sel baru dan
kematian sel itulah yang mempertahankan sel yang tepat pada jaringan
(homeostasis) (Brody dan Rudel, 2003).
2.1.1 Siklus Sel
Divisi sel terdiri dari dua proses yang berurutan, terutama ditandai dengan
repikasi DNA dan segregasi kromosom yang bereplikasi menjadi dua sel yang
terpisah. Secara umum sel divisi terbagi dua tahap: mitosis (M) yaitu proses divisi
inti, dan interfase yaitu fase selingan diantara dua fase M. Tahap mitosis dibagi
atas profase, metafase, anafase dan telofase. Tahap interfase terdiri dari G1, S dan
9
disebut G1. Pada fase ini, sel bersiap-siap untuk sintesis DNA dan diikuti dengan
gap yang disebut G2, yaitu fase ketika sel siap untuk mitosis. Sel pada G1,
sebelum berkomitmen replikasi DNA, akan memasuki fase istirahat disebut G0.
Sel pada G0 berada pada keadaan tidak tumbuh atau sel tidak berproliferasi
(Kissane, 1990).
Siklus sel dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Siklus Sel
(Sumber: Pathologic Basis of Disease 7th ed., 2005. Kumar, Abbas, Fausto)
Siklus sel adalah suatu proses yang tertata amat teratur untuk
menggandakan dan menebarkan informasi genetik dari satu generasi sel ke
generasi yang berikutnya. Selama proses ini berjalan, DNA harus digandakan
secara tepat dan salinan kromosom harus dibagikan tepat sama jumlah pada kedua
Pertumbuhan dalam jumlah besar
Sel-sel labile yang bergilir secara terus menerus (misalnya epidermis,
epitelium saluran pencernaan)
Sel-sel permanen (misalnya neuron,
miosit kardiak) Sel-sel stabil
(misalnya hepatosit)
SIKLUS SEL
Duplikasi
Pemeriksaan kerusakan DNA (cekpoin G1/S)
Titik restriksi Duplikasi sentrosom
Pembelahan sel
Pemeriksaan kerusakan DNA atau DNA yang belum
terduplikasi (cekpoin G2/M)
10
sel anak yang terbentuk. Siklus sel dapat dibedakan menjadi beberapa tahap yang
terpisah jelas yaitu:
Fase G1 Suatu interval atau celah antara mitosis (fase M) dan sintesis DNA
(fase S), selama fase ini sel dapat mengalami stimulasi dari berbagai
mitogen dan faktor pertumbuhan (growth factor) ekstraselular
Fase S Pada fase ini, DNA digandakan dengan cara membuat salinan
komplemennya (complementary copy)
Fase G2 Suatu interval atau celah antara penyempurnaan sintesis DNA (fase S)
dan mitosis (fase M)
Fase M Pada fase ini, terjadi pembentukan benang-benang mitotik yang
terpisah pada kedua kutub sel, pemisahan khromatid menjadi dua
bagian yang sama persis dalam kualitas dan kuantitas (two sister
chromatids) dan pembelahan sel (Karsono, 2009).
2.1.2 Pengaturan Proliferasi Sel
Dalam pengaturan proliferasi sel tahap G1/S memegang peranan
terpenting. Pada lebih kurang sepertiga akhir fase G1 terdapat suatu periode yang
disebut titik restriksi. Titik restriksi sebenarnya hanya merupakan salah satu dari
cekpoin yang terdapat dalam siklus sel. Peraturan siklus sel menetapkan bahwa
harus dapat dipastikan semua langkah dalam setiap fase sudah benar-benar
sempurna selesai pada waktu memasuki fase berikutnya. Untuk itu, beberapa
cekpoin pemantau keutuhan DNA ditempatkan secara strategis di akhir fase G1
dan pada ambang peralihan fase G2/M guna mencegah gerak maju atau
perambatan siklus pada sel yang mengalami mutasi atau kerusakan. Titik restriksi
11
keutuhan DNA. Dalam keadaan tidak terfosforilasi, pRB mengikat protein lain
yaitu E2F. E2F adalah suatu faktor transkripsi. Bila DNA dalam keadaan utuh
maka terjadi fosforilasi pRB oleh CDK4/CDK6 (cyclin dependent kinase). Akibat
fosforilasi pRB, maka pRB tidak dapat lagi mengikat E2F. E2F yang terlepas akan
menyebabkan transkripsi beberapa gen termasuk di antaranya gen untuk cyclin E.
Cyclin E dibutuhkan sel untuk menembus titik restriksi. Beberapa protein dapat
menghambat fosforilasi pRB, antara lain p53, p16INK4a, p19ARF dan p21. p53
bekerja mengaktifkan p21 dan pada gilirannya p21 menghambat CDK4/6. p19ARF
bekerja dengan cara menginaktivasi MDM2. Inaktif MDM2 tidak dapat
menghambat p53 sehingga p53 dapat mengaktifkan p21. p16INK4a bekerja
langsung menginaktivasi CDK4/6 sehingga tidak dapat memfosforilasi pRB.
Apabila terjadi kerusakan DNA, maka siklus sel akan dihambat terutama di G1.
Bila kerusakan DNA tak mungkin diperbaiki maka sel akan melakukan apoptosis
(Karsono, 2009).
Sinyal-sinyal yang berasal dari TGF-β (transforming growth factor β)
mengendalikan berbagai proses selular seperti proliferasi, identifikasi,
diferensiasi, apoptosis dan pembentukan dalam embriogenesis. Umumnya
sinyal-sinyal dari TGF-β mempunyai efek negatif terhadap pertumbuhan sel, oleh karena
itulah tidak mengherankan bila inaktivasi jalur sinyal TGF-β berperan dalam
tumor genesis. Ikatan TGF-β sebagai ligand terhadap reseptornya akan
mengakibatkan hetero-dimerisasi reseptor TGF-β. Selanjutnya reseptor ini akan
memfosforilasi Smad4, Smad4 terfosforilasi akan membentuk dimer dengan
Smad4 inaktif dan tertranslokasi ke inti sel. Di dalam inti sel dimer Smad4 akan
12
inhibitor siklus sel baik dari keluarga INK maupun dari keluarga KIP (Karsono,
2009).
Proses apoptosis dapat terjadi melalui beberapa jalur. Salah satu jalur yang
mempunyai kaitan erat dengan kanker adalah melalui induksi apoptosis oleh
protein p53. Protein p53 merespon kerusakan DNA atau stres sel yang meliputi
aktivitas onkogen (gen pendorong terbentuknya tumor), hipoksia (kekurangan
oksigen dalam sel), erosi telomerase (pemendekan DNA akibat non-aktif-nya
enzim telomerase) dan stres sel yang lain (Stokloza dan Golab, 2005)
Aktivitas transkripsi dari p53 bergantung pada pembentukan tetramer dari
protein tersebut yang berinteraksi dengan DNA dengan urutan yang spesifik
(sequence-specific). Tiap subunit p53 terdiri dari 4 domain yang berbeda
fungsinya. Residu 1 sampai residu 44 merupakan ujung N yang sedikit terlipat
sebagai domain pengaktif transkripsi. Domain inti merupakan bagian yang
berinteraksi dengan DNA dan berawal dari residu 102 sampai residu 292. Residu
320 sampai residu 356 bertanggung jawab atas pembentukan tetramer, sedangkan
residu 356 sampai residu 393 merupakan domain regulator (Zhao et al., 2001).
Kurang lebih 55% sel tumor pada manusia kehilangan fungsi p53 akibat
mutasi. Hilangnya fungsi p53 menyebabkan kerusakan DNA atau kecacatan pada
sel yang lain yang tidak diikuti dengan penghentian penggandaan dan/atau proses
apoptosis meskipun terjadi kenaikan konsentrasi p53 (Bykov et al., 2002; Joerger
13
2.2 Kanker Payudara
2.2.1 Etiologi dan Patogenesis
Ada 3 pengaruh penting pada kanker payudara:
a. Faktor genetik
Faktor genetik berpengaruh dalam peningkatan terjadinya kanker
payudara. Pada percobaan tikus dengan galur sensitif kanker, melalui
persilangan genetik didapatkan tikus yang terkena kanker. Ada faktor
turunan pada suatu keluarga yang terkena kanker payudara. Kelainan ini
diketahui terletak di lokus kecil di kromosom 17q21 pada kanker
payudara yang timbul saat usia muda (Restifo dan Wunderlich, 2001).
b. Hormon
Kelebihan hormon estrogen endogen atau lebih tepatnya terjadi
ketidakseimbangan hormon terlihat sangat jelas pada kanker payudara.
Banyak faktor resiko yang dapat disebutkan seperti masa reproduksi
yang lama, nulipara, dan usia tua saat mempunyai anak pertama akan
meningkatkan estrogen pada siklus menstruasi. Wanita pasca
menopause dengan tumor ovarium fungsional dapat terkena kanker
payudara karena adanya hormon estrogen berlebihan. Suatu penelitian
menyebutkan bahwa kelebihan jumlah estrogen di urin, frekuensi
ovulasi, dan umur saat menstruasi dihubungkan dengan meningkatnya
resiko terkena kanker payudara (Bast, 1985; Sobin dan Wittekind,
2002). Epitel payudara normal memiliki reseptor estrogen dan
progesteron. Kedua reseptor ditemukan pada sebagian besar kanker
14
factor-alpha/epitehlial growth factor, platelet-derived growth factor),
fibroblast growth factor dan growth inhibitor disekresi oleh sel kanker
payudara manusia. Banyak penelitian menyatakan bahwa growth
promoters terlibat dalam mekanisme autokrin dari tumor. Produksi GF
tergantung pada hormon estrogen, sehingga interaksi antara hormon
disirkulasi, reseptor hormon pada sel kanker dan GF autokrin
merangsang sel tumor menjadi lebih progresif (Restifo dan Wunderlich,
2001; Junqueira, et al., 1995; Whiteside dan Haberman, 2003).
c. Faktor lingkungan dan gaya hidup
Pengaruh lingkungan diduga karena berbagai faktor antara lain alkohol,
diet tinggi lemak, dan infeksi virus. Hal tersebut mungkin
mempenga-ruhi onkogen dan gen supresi tumor dari kanker payudara (Restifo dan
Wunderlich, 2001).
2.2.2 Klasifikasi
Berdasarkan gambaran histologis, WHO membuat klasifikasi kanker
payudara sebagai berikut (Sobin dan Wittekind, 2002; Junqueira, et al., 1995;
Robbin, et al., 1994).
a. Kanker payudara non invasif
i. Karsinoma intraduktus non invasif
Karsinoma intraduktus adalah karsinoma yang mengenai duktus
disertai infiltrasi jaringan stroma sekitar. Terdapat 5 subtipe dari
karsinoma intraduktus, yaitu komedokarsinoma, solid, kribriformis,
papiler, dan mikrokapiler. Komedokarsinoma ditandai dengan
15
Karsinoma jenis ini dapat meluas ke duktus ekskretorius utama,
kemudian menginfiltrasi papilla dan areola, sehingga dapat
menyebabkan penyakit Paget pada payudara.
ii. Karsinoma lobular in situ
Karsinoma ini ditandai dengan pelebaran satu atau lebih duktus
terminal dan/atau tubulus, tanpa disertai infiltrasi ke dalam stroma.
Sel-sel berukuran lebih besar dari normal, inti bulat kecil dan
jarang disertai mitosis.
b. Kanker payudara invasif
i. Karsinoma duktus invasif
Karsinoma jenis ini merupakan bentuk paling umum dari kanker
payudara. Karsinoma duktus infiltratif merupakan 65 – 80% dari
karsinoma payudara. Secara histologis, jaringan ikat padat tersebar
berbentuk sarang. Sel berbentuk bulat sampai poligonal, bentuk inti
kecil dengan sedikit gambaran mitosis. Pada tepi tumor, tampak sel
kanker mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitar seperti sarang,
kawat atau seperti kelenjar. Jenis ini disebut juga sebagai
infiltrating ductus carcinoma not otherwise specified (NOS),
scirrhous carcinoma, infiltrating carcinoma atau carcinoma
simplex.
ii. Karsinoma lobular invasif
Jenis ini merupakan karsinoma infiltratif yang tersusun atas sel-sel
berukuran kecil dan seragam dengan sedikit pleimorfisme.
16
rendah. Sel infiltratif biasanya tersusun konsentris disekitar duktus
berbentuk seperti target. Sel tumor dapat berbentuk signet ring,
tubuloalveolar, atau solid (Chapoval, et al., 1998).
iii. Karsinoma musinosum
Pada karsinoma musinosum ini didapatkan sejumlah besar mukus
intraseluler dan ekstraseluler yang dapat dilihat secara makroskopis
maupun mikroskopis. Secara histologis, terdapat 3 bentuk sel
kanker. Bentuk pertama, sel tampak seperti pulau-pulau kecil yang
mengambang dalam cairan musin basofilik. Bentuk kedua, sel
tumbuh dalam susunan kelenjar berbatas jelas dan lumennya
mengandung musin. Bentuk ketiga terdiri dari susunan jaringan
yang tidak teratur berisi sel tumor tanpa diferensiasi, sebagian besar
sel berbentuk signet ring.
iv. Karsinoma meduler
Sel berukuran besar berbentuk poligonal atau lonjong dengan batas
sitoplasma tidak jelas. Diferensiasi dari jenis ini buruk, tetapi
memiliki prognosis lebih baik daripada karsinoma duktus infiltratif.
Biasanya terdapat infiltrasi limfosit yang nyata dalam jumlah
sedang di antara sel kanker, terutama dibagian tepi jaringan kanker.
v. Karsinoma papiler invasif
Komponen invasif dari jenis karsinoma ini berbentuk papiler.
vi. Karsinoma tubuler
Pada karsinoma tubuler, bentuk sel teratur dan tersusun secara
17
merupakan karsinoma dengan diferensiasi tinggi (Abbas, et al.,
2005).
vii. Karsinoma adenokistik
Jenis ini merupakan karsinoma invasif dengan karakteristik sel
yang berbentuk kribriformis. Sangat jarang ditemukan pada
payudara.
viii. Karsinoma apokrin
Karsinoma ini didominasi dengan sel yang memiliki sitoplasma
eosinofilik, sehingga menyerupai sel apokrin yang mengalami
metaplasia. Bentuk karsinoma apokrin dapat ditemukan juga pada
jenis karsinoma payudara yang lain.
2.3 Kemoterapi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan terapi kanker
payudara, antara lain stadium kanker, usia, ukuran dari tumor, menopause dan
apakah sel-sel kanker memiliki reseptor terhadap hormon tertentu (misalnya
estrogen) atau protein-protein khusus pada permukaan reseptor (Anonimb, 2013).
Kemoterapi adalah suatu pengobatan sistemik yang melibatkan
penggunaan obat antikanker atau obat-obat sitotoksik yang biasanya diberikan
melalui injeksi ataupun secara oral. Kemoterapi seringkali digunakan sebagai
terapi tambahan pada perawatan yang lain, seperti pembedahan atau terapi radiasi.
Kemoterapi biasanya diberikan 1 – 2 minggu setelah operasi. Namun, untuk
tumor yang lebih besar, sebaiknya dilakukan kemoterapi pra-operasi (Damayanti,
18
Pengobatan kanker dengan kemoterapi telah dibuktikan lebih efektif jika
digunakan secara kombinasi dua atau lebih jenis obat. Obat-obat yang digunakan
secara kombinasi hendaknya telah menunjukkan efektivitas ideal pada
penggunaan tunggal, memiliki mekanisme yang berbeda satu dengan yang lain,
dan memiliki profil toksisitas yang berbeda sehingga dapat digunakan pada dosis
optimal (Damayanti, 2006).
Resiko penggunaan obat-obat sitotoksik adalah obat-obat ini dapat
menyebabkan proliferasi pada jaringan yang normal. Efek samping ini dapat
menurunkan kualitas hidup pasien tersebut. Pada Tabel 2.1 disajikan keterangan
mengenai efek samping dari pengobatan kanker dengan kemoterapi yang umum
terjadi berdasarkan skala waktu kejadian efek samping tersebut (Damayanti,
[image:34.595.116.513.443.621.2]2006).
Tabel 2.1 Efek samping kemoterapi
Waktu Kejadian Efek Samping
Kemoterapi Efek Samping Kemoterapi
Immediate (terjadi dalam hitungan jam) gagal ginjal akut, anafilaksis, iritasi kulit, Plebitis, hyperuricaemia, mual/muntah, demam
Awal (terjadi dalam hitungan hari) Ototoksisitas, hipomagnesemia, diare, stomatitis, konjungtivitis, alopecia, myelotoxicity
Tertunda (terjadi dalam hitungan minggu) hiperpigmentasi, hepatocellular toxicity, Fibrosis pulmo, neurophaty perifer, anemia
Lambat (terjadi dalam hitungan bulan/
19
2.4 DRPs
2.4.1 Definisi DRPs
DRPs adalah adalah kejadian yang tidak diinginkan pasien terkait terapi
obat, dan secara nyata maupun potensial berpengaruh pada outcome yang
diinginkan pasien. Suatu kejadian dapat disebut DRPs apabila terdapat dua
kondisi, yaitu: (a) adanya kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien, kejadian
ini dapat berupa keluhan medis, gejala, diagnosa penyakit, ketidakmampuan
(disability) yang merupakan efek dari kondisi psikologis, fisiologis, sosiokultur
atau ekonomi; dan (b) adanya hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi
obat (Strand, et al., 1990).
2.4.2 Klasifikasi DRPs
Jenis-jenis DRPs dan penyebabnya menurut Cipolle, et al. (2004) disajikan
sebagai berikut:
a. Membutuhkan terapi tambahan obat
i. Pasien mempunyai kondisi medis baru yang membutuhkan terapi
awal pada obat.
ii. Pasien mempunyai penyakit kronik yang membutuhkan terapi obat
berkesinambungan.
iii. Pasien mempunyai kondisi kesehatan yang membutuhkan
farmakoterapi kombinasi untuk mencapai efek sinergisme atau
potensiasi.
iv. Pasien dalam keadaan resiko pengembangan kondisi kesehatan baru
yang dapat dicegah dengan penggunaan pencegah penyakit melalui
20 b. Terapi obat yang tidak perlu
i. Pasien yang sedang mendapatkan pengobatan yang tidak tepat
indikasi pada waktu itu.
ii. Pasien yang tidak sengaja maupun sengaja menerima sejumlah racun
dari obat atau bahan kimia, sehingga menyebabkan rasa sakit pada
waktu itu.
iii. Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat, alkohol, dan rokok.
iv. Kondisi kesehatan pasien lebih baik diobati dengan terapi tanpa obat.
v. Pasien yang mendapatkan beberapa obat untuk kondisi yang mana
hanya satu terapi obat yang terindikasi.
vi. Pasien yang mendapatkan terapi obat yang tidak tepat dihindarkan
dari reaksi efek samping yang disebabkan oleh pengobatan lainnya.
c. Terapi obat salah
i. Pasien menerima obat yang paling tidak efektif untuk indikasi
pengobatan.
ii. Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang
digunakan.
iii. Bentuk sediaan obat tidak tepat.
d. Dosis terlalu rendah
i. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk memberikan respon
kepada pasien.
ii. Konsentrasi obat dalam darah pasien di bawah batas terapetik yang
21
iii. Selang waktu pemberian obat terlalu jarang sehingga tidak
menghasilkan respon yang diinginkan.
e. Reaksi obat yang merugikan
i. Pasien memperoleh reaksi alergi dalam pengobatan.
ii. Ketersediaan obat dapat menyebabkan interaksi dengan obat lain
atau makanan pasien.
iii. Penggunaan obat menyebabkan terjadinya reaksi yang tidak
dikehendaki yang tidak terkait dengan dosis.
iv. Penggunaan obat yang kontraindikasi.
f. Dosis terlalu tinggi
i. Dosis terlalu tinggi untuk memberikan respon kepada pasien.
ii. Pasien dengan konsentrasi obat di dalam darah di atas batas
teurapetik obat yang diharapkan.
iii. Obat, dosis, rute atau perubahan formulasi tidak tepat untuk pasien.
iv. Dosis dan frekuensi pemberian tidak tepat untuk pasien.
g. Kepatuhan
i. Pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat (penulisan,
pengobatan, pemberian atau pemakaian).
ii. Pasien tidak patuh dengan aturan yang diberikan untuk pengobatan.
iii. Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya
mahal.
iv. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena
22
v. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena sudah
23
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu penelitian yang
bertujuan untuk mendapatkan gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan
secara objektif. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif yaitu penelitian
dengan mengkaji informasi atau mengambil data yang telah lalu (Strom dan
Kimmel, 2006).
3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien rawat inap kanker
payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung tahun 2011 sampai
dengan tahun 2012.
3.2.2 Sampel
Pada penelitian ini, sebagai subjek adalah data pengobatan pasien rawat
inap kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung tahun
2011 sampai dengan tahun 2012, yaitu rekam medis pasien rawat inap pasien
kanker payudara serta hasil wawancara dengan apoteker pelaksana penanganan
obat kemoterapi. Pengambilan sampel dilakukan dengan memperhatikan
kombinasi obat kemoterapi beserta obat penunjangnya sehingga didapat
24
berbeda-beda antara satu pasien dengan yang lain. Subjek yang diambil harus
memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.
Kriteria inklusi merupakan persyaratan umum yang dapat diikutsertakan
ke dalam penelitian. Adapun yang menjadi kriteria inklusi adalah:
a.pasien dengan diagnosis kanker payudara dengan/tanpa penyakit penyerta, yang
dirawat inap di Ruang Mawar (Ruang Bedah Wanita) RSU Dr. H. Abdul
Moeloek Bandar Lampung pada Januari 2011 sampai dengan bulan Desember
2012.
b.perempuan.
Kriteria eksklusi merupakan keadaan yang menyebabkan subjek tidak
dapat diikutsertakan. Adapun yang menjadi kriteria eksklusi adalah:
a. data pasien yang tidak lengkap (tidak memuat informasi dasar yang dibutuhkan
dalam penelitian).
b. data tidak jelas terbaca.
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung
pada bulan Mei 2014 – Juni 2014.
3.4 Definisi Operasional
a.Rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang data
subjektif pasien, data objektif pasien, penatalaksanaan dan pelayanan lain
25
b.Data subjektif pasien adalah data yang diperoleh langsung dari pasien melalui
anamnese berdasarkan sudut pandang pasien.
c.Data objektif pasien adalah data yang diperoleh melalui suatu pengukuran dan
pemeriksaan yang memenuhi standar yang diakui.
d.Penatalaksanaan adalah tindakan, proses dan cara pelayanan kesehatan yang
diberikan pada pasien untuk menangani suatu fenomena kesehatan, dalam
penelitian ini adalah kanker payudara.
e.DRPs adalah kejadian yang tidak diinginkan pasien terkait terapi obat dan
secara nyata maupun potensial berpengaruh pada outcome yang diinginkan
pasien.
f. Kategori DRPs antara lain interaksi obat, obat salah dan ketiadaan terapi
tambahan.
g.Interaksi obat adalah pasien mempunyai kondisi medis akibat interaksi
obat-obat, obat-makanan dan obat-hasil laboratorium.
h.Obat salah adalah pasien mendapatkan obat yang tidak aman, tidak paling
efektif dan kontraindikasi dengan kondisi pasien tersebut.
i. Ketiadaan terapi tambahan adalah pasien tidak mendapatkan terapi tambahan
untuk menunjang terapi yang sedang dijalankan.
3.5 Instrumen Penelitian 3.5.1 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini yaitu data sekunder berupa rekam medis
pasien kanker payudara rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar
26
3.5.2 Teknik Pengumpulan Data
Pengambilan data dilakukan dengan mengumpulkan rekam medis pasien
kanker payudara rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung
tahun 2011 sampai dengan tahun 2012. Adapun teknik pengumpulan data yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah:
a.pengelompokan data rekam medis berdasarkan kriteria inklusi.
b.pengelompokan identitas, pengobatan yang diberikan, data klinis dan data
laboratorium pasien.
c.identifikasi DRPs berdasarkan studi literatur.
3.5.3 Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini akan dianalisis secara deskriptif.
Data kuantitatif disajikan dalam bentuk tabel sedangkan data kualitatif disajikan
dalam bentuk uraian.
3.6 Bagan Alur Penelitian
27
Gambar 3.1 (Lanjutan)
3.7 Langkah Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. meminta rekomendasi Dekan Fakultas Farmasi USU untuk dapat melakukan
penelitian di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.
b.menghubungi Direktur Utama RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung
untuk mendapatkan izin melakukan penelitian dan pengambilan data dengan
membawa surat rekomendasi dari fakultas.
c.mengumpulkan data berupa rekam medis yang tersedia di RSU Dr. H. Abdul
Moeloek Bandar Lampung.
Rekam medis pasien
Pengelompokan data berdasarkan kriteria
inklusi
Penentuan ketiadaan terapi tambahan
Penarikan kesimpulan Analisis data Identifikasi DRPs
Penentuan interaksi obat
28
d.menganalisis data dan informasi yang diperoleh sehingga didapatkan
29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek pada mulanya
merupakan Rumah Sakit Onderneming Pemerintahan Hindia Belanda yang
didirikan pada tahun 1914 untuk buruh perkebunan. Saat itu bangunan Rumah
Sakit masih semi permanen dengan kapasitas 100 tempat tidur. Setelah Indonesia
merdeka RSUD Dr. H. Abdul Moeloek menjadi RSU Pemerintah Sumatera
Selatan tahun 1950 – 1964 untuk selanjutnya menjadi RSU Tanjung Karang -
Teluk Betung saat Lampung menjadi provinsi sendiri. Setelah menjadi RSUD
Provinsi Lampung pada tahun 1965, sesuai SK Gubernur Lampung, pada tanggal
7 Agustus 1984, Rumah Sakit ini berubah nama menjadi RSUD Dr. H. Abdul
Moeloek hingga saat ini.
Sesuai SK Menkes RI Nomor 1163/Menkes/SK/XII/1993, RSUD Dr. H.
Abdul Moeloek dikategorikan menjadi RSUD Kelas B Non Pendidikan.
Berdasarkan Peraturan daerah Provinsi Lampung No. 8 tahun 1995, pada tanggal
27 Februari 1995, RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Daerah Tingkat I
Lampung disahkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan surat keputusan No. 139
Tahun 1995. Kemudian RSUD Dr. H. Abdul Moeloek ditetapkan menjadi Rumah
Sakit Unit Swadana Daerah berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Lampung No.
12 Tahun 2000. Selanjutnya seiring berjalannya waktu perkembangan terakhir
menjadi RSUD Tipe B Pendidikan tepatnya tanggal 23 Juli 2008 dan RSUD-PPK-
30
pada tanggal 24 September 2009. RSUD Dr. H. Abdul Moeloek merupakan
Rumah Sakit Rujukan tertinggi di provinsi Lampung. Dalam rangka upaya
peningkatan pelayanan kesehatan yang bermutu, efektif, efisien dan optimal, pada
tahun 2000 dilakukan relokasi kelas perawatan dan jumlah tempat tidur yang
sebelumnya 555 tempat tidur dikurangi menjadi 400. Pada tahun 2005, kapasitas
ditambah menjadi 460 tempat tidur mengingat jumlah pasien yang terus
meningkat.
4.2 Jumlah Pasien yang Memulai Kemoterapi Kanker Payudara pada Tahun 2011 Berdasarkan Kelompok Usia
Berdasarkan hasil pengamatan dari buku catatan rekam medis di RSU Dr.
H. Abdul Moeloek Bandar Lampung periode Januari 2011 – Desember 2012
diperoleh seluruh data pasien kanker payudara yang memulai kemoterapi kanker
payudara pada tahun 2011 di instalasi rawat inap di RSU Dr. H. Abdul Moeloek
Bandar Lampung sebanyak 252 pasien. Untuk mengetahui jumlah pasien yang
memulai kemoterapi kanker payudara pada tahun 2011 berdasarkan kelompok
usia secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Jumlah pasien yang memulai kemoterapi kanker payudara pada tahun
2011 berdasarkan kelompok usia
No Usia (Tahun) Jumlah Pasien %
1 < 30 tahun 16 6,35
2 30 – 50 tahun 147 58,33 3 > 50 tahun 89 35,32
[image:46.595.111.515.578.669.2]31
Pada Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa dari 252 pasien, jumlah pasien yang
memulai kemoterapi kanker payudara pada tahun 2011 paling banyak terdapat
pada kelompok usia 30 – 50 tahun, yaitu sebanyak 147 pasien atau 58,33%. Hal
ini sesuai dengan pernyataan bahwa kejadian kanker payudara paling banyak
terjadi pada wanita berusia di atas 30 tahun (Chandrasoma dan Taylor, 1995).
4.3 Penggunaan Obat Kemoterapi
Obat sitotoksik yang merupakan golongan obat dari kelas terapi
antineoplastik dan imunomodulator diberikan kepada pasien kanker payudara
sebagai agen kemoterapi. Obat-obat kemoterapi yang banyak digunakan untuk
terapi kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada
32
Tabel 4.2Obat-obat kemoterapi yang banyak digunakan untuk terapi kanker
payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada tahun 2011 - 2012
Tingkatan Penyebaran Kanker Regimen Kemoterapi
Early Breast Cancer (Stadium I dan
II) Dosetaksel Doksorubisin Siklofosfamid Doksorubisin Siklofosfamid Dosetaksel
Locally Advanced Breast Cancer
(Stadium III) Paklitaksel Doksorubisin Siklofosfamid Siklofosfamid 5-Fluorourasil Dosetaksel Doksorubisin Siklofosfamid 5-Fluorourasil Paklitaksel Trastuzumab Rituksimab
Metastatic Breast Cancer (Stadium
IV) Dosetaksel Sisplatin Paklitaksel Siklofosfamid Doksorubisin Siklofosfamid Dosetaksel Siklofosfamid Metotreksat 5-Fluorourasil Doksorubisin Siklofosfamid Paklitaksel Doksorubisin Metotreksat 5-Fluorourasil
Pada Tabel 4.2 ditunjukkan bahwa untuk setiap tingkatan penyebaran
kanker, regimen kemoterapi yang digunakan tidak selalu sama. Sisplatin lebih
[image:48.595.115.513.129.634.2]33
kanker yang lebih lanjut. Doksorubisin adalah obat golongan antibiotik sitotoksik,
siklofosfamid dan sisplatin adalah obat golongan alkilator, sedangkan
5-fluorourasil dan metotreksat adalah obat golongan antimetabolit. Paklitaksel dan
dosetaksel merupakan obat-obat golongan taksan yang diindikasikan untuk kanker
payudara. Trastuzumab dan rituksimab adalah antibodi monoklonal yang memiliki
selektivitas relatif untuk jaringan tumor dan memiliki toksisitas yang relatif
rendah (Calabresi dan Chabner, 2003).
Obat-obat sitotoksik sebagai agen kemoterapi diberikan baik secara injeksi
intravena maupun secara oral. Obat-obat sitotoksik memiliki efek samping
spesifik pada saluran cerna yaitu mual dan muntah. Masing-masing obat dapat
menyebabkan mual-muntah dengan bermacam-macam tipe. Obat-obat tersebut
dapat menginduksi mual-muntah karena merangsang atau memberikan stimulus
pada chemoreceptor trigger zone (CTZ) pada medulla, korteks serebral dan pada
periferal di saluran cerna. Reseptor lain yang berhubungan dengan kejadian
mual-muntah adalah dopamin, serotonin, histamin, opioid dan asetilkolin (Calabresi dan
Chabner, 2003).
4.4 Penggunaan Obat Penunjang Kemoterapi
Pasien kanker payudara tidak hanya menggunakan obat-obat sitotoksik,
tetapi juga menggunakan obat-obat lain yang berguna mengatasi efek samping
akibat kemoterapi, radioterapi, pembedahan, dan juga untuk mempertahankan
leukosit dalam batas normal, mengobati infeksi, mengatasi anemia, perdarahan,
memenuhi kebutuhan cairan dan nutrisi, dan lain-lain untuk menunjang
kemoterapi. Terapi penunjang sama pentingnya dengan kemoterapi. Sebagai
34
psikologik pasien. Untuk lebih jelas, obat-obat penunjang kemoterapi yang
banyak digunakan untuk terapi kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek
Bandar Lampung pada tahun 2011 – 2012 dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Tabel 4.3 Obat-obat penunjang kemoterapi yang banyak digunakan untuk terapi
kanker payudara di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada tahun 2011 – 2012
No. Golongan Obat Jenis Obat
1 Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat
Antiemetik
Antagonis
5-HT3 Ondansetron
Lain-lain
Deksametason Difenhidramin-HCl Metoklopramid-HCl
Psikofarmaka Diazepam
2 Obat yang mempengaruhi gizi dan darah
Obat untuk anemia dan
kelainan darah lainnya Asam folat
Vitamin Vitamin B kompleks
3 Obat yang bekerja pada saluran cerna
Antitukak Antagonis reseptor H2
Ranitidin
Antidiare Atapulgit aktif
4 Obat yang bekerja pada saluran pernapasan
Antitusif Dekstrometorfan-HBr
Antihistamin Difenhidramin-HCl
5 Obat yang bekerja sebagai analgesik Analgesik opioid Tramadol-HCl Analgesik non-opioid Parasetamol
6
Obat yang digunakan untuk penyakit pada sistem
kardiovaskular
Antihipertensi Kaptopril
7 Obat antiinflamasi Kortikosteroid Metilprednisolon
8 Obat yang digunakan untuk pengobatan
infeksi Antibakteri
Metronidazol Seftriakson Siprofloksasin
Pada Tabel 4.3 nampak bahwa obat yang digunakan sebagai penunjang
kemoterapi dapat digolongkan menjadi 8 kelas terapi obat. Obat yang bekerja
pada sistem saraf pusat adalah obat golongan antiemetik dan psikofarmaka.
[image:50.595.113.512.177.625.2]35
mencegah mual dan muntah yang berhubungan dengan operasi dan pemberian
kemoterapi kanker. Obat ini digunakan baik secara oral maupun secara injeksi
intravena dengan infus yang diberikan sebelum kemoterapi.
Obat jenis metoklopramid-HCl, difenhidramin-HCl dan deksametason
biasa digunakan sebagai kombinasi dengan antagonis serotonin untuk mencapai
efek yang optimal. Metoklopramid-HCl yang merupakan suatu obat kolinergik
dapat mengatasi mual-muntah secara sentral maupun perifer. Secara sentral, obat
ini akan mempertinggi ambang rangsang chemoreceptor trigger zone (CTZ),
sedangkan secara perifer obat ini dapat menurunkan kepekaan viseral yang
menghantarkan rangsang aferen dari saluran cerna ke pusat muntah di otak.
Deksametason merupakan kortikosteroid yang secara luas digunakan untuk
mengatasi mual-muntah akibat kemoterapi. Penggunaan obat antimual lebih
efektif bila diberikan secara kombinasi (Damayanti, 2006).
Pada pasien yang mengalami gangguan susah tidur, diberikan obat jenis
diazepam yang termasuk dalam golongan obat psikofarmaka. Gangguan susah
tidur ini dapat disebabkan perasaan subjektif yang dirasakan pasien pada saat
berada di rumah sakit. Pada sebagian pasien, berada di rumah sakit dapat
menimbulkan perasaan tidak nyaman seperti kecemasan dan kegelisahan.
Perasaan gelisah antara lain dapat disebabkan oleh adanya efek samping
kemoterapi seperti mual dan muntah yang mengganggu yang dialami pasien
tersebut (Damayanti, 2006).
Gangguan keseimbangan nutrisi dapat memperburuk kondisi pasien saat
berada di rumah sakit. Selain dari makanan yang sudah disediakan di rumah sakit,
36
kasus kanker payudara akan gizi yang diperlukan untuk menjaga kesehatannya.
Obat gizi dan darah diberikan kepada pasien kanker payudara untuk memberi
asupan vitamin dan mineral tambahan untuk menjaga organ tubuh agar tetap
berfungsi secara optimal. Obat ini dapat mengatasi gejala kekurangan nutrisi,
mengatasi kelelahan dan menambah tenaga pada pasien kanker payudara. Obat
untuk anemia dan kelainan darah lainnya diberikan pada pasien untuk mengatasi
gejala kurang darah pada pasien kanker payudara. Terjadinya anemia pada
penderita kanker dapat disebabkan karena aktivasi sistem imun tubuh dan sistem
inflamasi. Aktivasi tersebut menghasilkan beberapa sitokin yang merangsang
terjadinya anemia. Selain itu, kanker yang menginvasi sumsum tulang dapat
meningkatkan proses fibrosis yang akan mengurangi volume rongga sumsum
tulang sehingga menyebabkan gangguan pelepasan sel darah yang matang dari
sumsum tulang (Kar, 2005).
Obat yang bekerja pada saluran cerna digunakan untuk mengatasi keluhan
pada saluran cerna yang dialami pasien kanker payudara pascakemoterapi. Obat
golongan antitukak antagonis reseptor H2 seperti ranitidin dapat membantu
mengatasi mual-muntah. Berdasarkan literatur, yaitu Informatorium Obat
Nasional Indonesia (2000), ranitidin dapat menghambat reseptor histamin (H2)
sehingga rangsangan mual-muntah tidak dihantarkan atau tidak sampai ke otak.
Sel-sel kanker dapat menyebar ke organ lain, salah satunya adalah ke
paru-paru. Penyebaran (metastasis) pada paru-paru akan mengganggu fungsi normal sel
paru sehingga pasien seringkali mengeluhkan adanya penyakit pada
paru-paru, seperti batuk dan keluhan sesak napas. Untuk mengatasi keluhan tersebut,
37
penyebaran sel kanker pada paru-paru. Antitusif diberikan kepada pasien yang
mengalami batuk kering untuk menekan batuk ataupun untuk mengurangi
frekuensi batuk (Damayanti, 2006).
Obat antihistamine H1 sering digunakan sebagai obat pilihan pertama
untuk mencegah atau mengobati gejala reaksi alergi. Difenhidramin adalah obat
antihistamine yang mempunyai sedikit efek sedatif dan dapat mencegah motion
sickness. Obat-obat hormonal golongan kortikosteroid seperti metilprednisolon
juga diberikan kepada pasien dengan tujuan untuk mengatasi alergi yang diderita
oleh pasien (Katzung, 2001).
Analgesik diberikan pada pasien untuk mengatasi keluhan nyeri yang
dialami pasien. Pasien kanker payudara seringkali mengalami nyeri pada
payudaranya karena desakan sel kanker yang mencapai jaringan di sekitarnya
sehingga dapat menstimulasi pusat nyeri di otak. Analgesik golongan non-opioid
diberikan kepada pasien yang mengalami nyeri ringan atau sakit kepala,
sedangkan golongan opioid diberikan kepada pasien yang mengalami nyeri berat
yang tidak teratasi dengan penggunaan obat analgesik non-opioid (Damayanti,
2006).
Obat-obat untuk penyakit kardiovaskular diberikan kepada pasien kanker
payudara yang memiliki riwayat hipertensi. Kaptopril menghambat enzim
pengonversi peptidyl dipeptidase yang menghidrolik angiotensin I ke angiotensin
II dan menyebabkan inaktivasi bradykinin. Aktivitas hipotensi kaptopril terjadi
baik dari efek hambatan pada sistem angiotensin renin dan efek stimulasi pada
38
Obat yang digunakan untuk pengobatan infeksi diberikan pada pasien
untuk tujuan mencegah dan mengatasi terjadinya infeksi. Infeksi dapat terjadi
pada pasien yang memiliki luka operasi pada payudaranya, yang pernah
dijalaninya, oleh karena itu untuk mencegah adanya infeksi diberikan antiinfeksi.
Obat untuk mengobati infeksi juga digunakan untuk mencegah infeksi nosokomial
yang mungkin terjadi. Selain itu, obat untuk mengobati infeksi digunakan sebagai
terapi kuratif untuk menyembuhkan infeksi yang diderita pasien (Damayanti,
2006).
4.5 Identifikasi DRPs
Pasien-pasien rawat inap kanker payudara yang diidentifikasi DRPs-nya
adalah pasien-pasien rawat inap kanker payudara yang mendapat kombinasi obat
kemoterapi dan obat penunjang kemoterapi yang berbeda-beda antara satu pasien
dengan yang lain di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung, yang
39
Tabel 4.4 Pasien-pasien rawat inap kanker payudara dengan kombinasi obat
kemoterapi dan obat penunjang kemoterapi yang berbeda-beda antara satu pasien dengan yang lain di RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada tahun 2011 – 2012
No. Data Pasien Jumlah Kemoterapi (hari) Regimen Kemoterapi Injeksi Regimen Kemoterapi Oral Obat Penunjang Kemoterapi
1 2 3 4 5 6
1 No. RM: L (55)
132007 4
Siklofosfamid Metotreksat
5-Fluorourasil -
Ondansetron Deksametason Metoklopramid-HCl
Parasetamol Ranitidin
2 No. RM: T (45)
145011 3
Paklitaksel Doksorubisin
Siklofosfamid -
Metronidazol Seftriakson Ondansetron Deksametason Metoklopramid-HCl Parasetamol Tramadol Ranitidin
3 No. RM: R (44) 133406 219 (214 hari kemoterapi oral) Doksorubisin Siklofosfamid 5-Fluorourasil Paklitaksel Tamoksifen Metilprednisolon Ondansetron Deksametason Metoklopramid-HCl Parasetamol Ranitidin Vitamin B kompleks
4 No. RM: KC (41) 147018 40 (29 hari kemoterapi oral) Paklitaksel Doksorubisin
Siklofosfamid Tamoksifen
Ondansetron Deksametason Metoklopramid-HCl Parasetamol Ranitidin Siprofloksasin Vitamin B kompleks
5 J (44) No. RM: 033279 164 (155 hari kemoterapi oral) Paklitaksel Sisplati