Hubungan Pengetahuan Keluarga
tentang Perilaku Kekerasan
dengan Kesiapan Keluarga dalam Merawat Pasien
di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan.
Oleh
MARSONO SIMATUPANG
061101061
Skripsi
Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara
Judul : Hubungan Pengetahuan Keluarga tentang Perilaku Kekerasan dengan Kesiapan Keluarga dalam Merawat Pasien di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan
Peneliti : Marsono Simatupang NIM : 061101061
Jurusan : Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara
(Siti Zahara, S.Kp, MNS)
NIP.
...Penguji 3
(Farida , S.Kep, M.Kep)
NIP.
Fakultas Keperawatan telah menyetujui skripsi ini sebagai bagian dari persyaratan
kelulusan Sarjana Keperawatan.
Pembantu Dekan I
………
Erniyati, S.Kp, MNS
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur kehadhirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan
rahmat-Nya yang telah memberikan kekuatan dan kesempatan kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi, dengan judul ”Hubungan Penegtahuan
Keluarga tentang Perilaku Kekerasan dengan Kesiapan Keluarga dalam Merawat
Pasien di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan”.
Proposal penelitian ini terlaksana karena arahan, masukan, dukungan dan
koreksi dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M. Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara.
2. Ibu Jenny M Purba, S.Kp, MNS sebagai dosen pembimbing dalam menyelesaikan
proposal ini.
3. Ibu Rika Endah N, S.Kp, M.Pd sebagai dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan bimbingan selama saya menyelesaikan akademik di Fakultas
Keperawatan.
4. Seluruh dosen dan civitas akademik Fakultas Keperawatan USU yang telah
memberi bimbingan selama perkuliahan.
5. Terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua saya yang selalu
memberikan dukungan dan doa dalam menyelesaikan skripsi.
6. Teman-teman sejawat Fakultas Keperaatan USU 2006, terima kasih atas bantuan
Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan di bidang keperawatan dan pihak-pihak yang membutuhkan dan
penulis sangat mengharapkan adanya saran yang bersifat membangun untuk
perbaikan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Medan, Juni 2010
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Tujuan Penelitian... 4
1.3. Pertanyaan Penelitian ... 4
Manfaat Penelitian ... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pengetahuan ... 6
2.1.1. Pengertian Pengetahuan ... 6
2.1.2. Tingkat Pengetahuan ... 8
2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan ... 9
2.2. Konsep Keluarga ... 10
2.2.1. Definisi Keluarga ... 11
2.2.2. Fungsi Keluarga ... 12
2.2.3. Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan ... 13
2.3. Faktor-faktor Kesiapan Keluarga ... 16
2.4. Perilaku Kekerasan ... 22
2.4.1. Definisi Perilaku Kekerasan ... 22
2.4.2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Perilaku Kekerasan pada Gangguan Jiwa ... 23
2.4.3. Tindakan Keperawatan pada Pasien Perilaku Kekerasan ... 26
BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1. Kerangka Konseptual ... 28
3.2. Defenisi Operasional ... 29
3.3. Hipotesa ... 30
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Desain Penelitian ... 31
4.2. Populasi dan Sampel Penelitian ... 31
4.5.4. Analisa Data ... 37
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian ... 38
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 47
Lampiran 1 Lembar Persetujuan Menjadi Responden Penelitian Lampiran 2 Lembar Kuesioner
Lampiran 3 Jadwal Penelitian
Lampiran 4 Surat Izin Survey awal Penelitian
Lampiran 5 Surat hasil Penelitian dari Rumah Sakit Daerah Provsu Medan Lampiran 6 Hasil Analisa Data
Lampiran 7 Anggaran Dana Penelitian
DAFTAR SKEMA
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden (n=32) ... 39
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Keluarga
tentang Perilaku Kekerasan (n=32) ... 40
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Kesiapan Keluarga dalam Merawat pasien Perilaku Kekerasan (n=32) ... 40
Tabel 4 Hubungan Pengetahuan Keluarga tentang Perilaku Kekerasan
Judul Penelitian : Hubungan Pengetahuan Keluarga tentang Perilaku Kekerasan dengan Kesiapan Keluarga dalam Merawat Pasien di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan
Jurusan : Sarjana Keperawatan Peneliti : Marsono Simatupang Tahun Akademik : 2009/2010
ABSTRAK
Perilaku kekerasan merupakan salah satu bentuk perilaku yang sering ditunjukkan oleh pasien gangguan jiwa. Pengetahuan keluarga yang adekuat sangat dibutuhkan dalam merawat pasien dengan perilaku kekerasan. Menerima kenyataan adalah kunci pertama proses penyembuhan dan pengendalian perilaku kekerasan pasien. Penelitian deskriftif korelasi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan keluarga dalam merawat pasien. Dengan ini digunakan teknik purposive sampling, sebanyak 32 responden berpartisipasi pada penelitian ini. Instrumen penelitian terdiri dari kuesioner karakteristik responden, kuesioner pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dan kuesioner kesiapan keluarga dalam merawat pasien. Data disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden (90,6 %) memiliki pengetahuan yang baik tentang perilaku kekerasan, dan memiliki kesiapan yang cukup sebanyak 84,4 %. Pada penelitian ini r = 0,138 ; p = 0,45 ; p > 0,05 . Hal ini menunjukkan bahwa hipotesa penelitian (Ha) ditolak yaitu hubungan rendah antara tingkat pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan keluarga dalam merawat pasien dirumah. Karena banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi kesiapan keluarga dalam merawat pasien yaitu struktur keluarga, sistem pendukung, sumber daya keluarga. Oleh karena itu perawat harus mampu memberikan pendidikan kesehatan jiwa dan mampu melibatkan peran serta keluarga dalam merawat pasien dirumah dan keluarga diharapkan dapat melaksanakan lima tugas kesehatan keluarga.
Judul Penelitian : Hubungan Pengetahuan Keluarga tentang Perilaku Kekerasan dengan Kesiapan Keluarga dalam Merawat Pasien di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan
Jurusan : Sarjana Keperawatan Peneliti : Marsono Simatupang Tahun Akademik : 2009/2010
ABSTRAK
Perilaku kekerasan merupakan salah satu bentuk perilaku yang sering ditunjukkan oleh pasien gangguan jiwa. Pengetahuan keluarga yang adekuat sangat dibutuhkan dalam merawat pasien dengan perilaku kekerasan. Menerima kenyataan adalah kunci pertama proses penyembuhan dan pengendalian perilaku kekerasan pasien. Penelitian deskriftif korelasi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan keluarga dalam merawat pasien. Dengan ini digunakan teknik purposive sampling, sebanyak 32 responden berpartisipasi pada penelitian ini. Instrumen penelitian terdiri dari kuesioner karakteristik responden, kuesioner pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dan kuesioner kesiapan keluarga dalam merawat pasien. Data disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden (90,6 %) memiliki pengetahuan yang baik tentang perilaku kekerasan, dan memiliki kesiapan yang cukup sebanyak 84,4 %. Pada penelitian ini r = 0,138 ; p = 0,45 ; p > 0,05 . Hal ini menunjukkan bahwa hipotesa penelitian (Ha) ditolak yaitu hubungan rendah antara tingkat pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan keluarga dalam merawat pasien dirumah. Karena banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi kesiapan keluarga dalam merawat pasien yaitu struktur keluarga, sistem pendukung, sumber daya keluarga. Oleh karena itu perawat harus mampu memberikan pendidikan kesehatan jiwa dan mampu melibatkan peran serta keluarga dalam merawat pasien dirumah dan keluarga diharapkan dapat melaksanakan lima tugas kesehatan keluarga.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk
melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah
laku tersebut (Purba, 2008). Menurut Stuart dan Laraia (1998), perilaku kekerasan
dapat dimanifestasikan secara fisik (mencederai diri sendiri, peningkatan mobilitas
tubuh), psikologis (emosional, marah, mudah tersinggung, dan menentang), spiritual
(merasa dirinya sangat berkuasa, tidak bermoral). Perilaku kekerasan merupakan
suatu tanda dan gejala dari gangguan skizofrenia akut yang tidak lebih dari satu
persen (Andri, 2008).
Perilaku kekerasan menjadi masalah di banyak Negara seperti Amerika,
Australia, dan negara-negara maju lainnya. Bentuk kekerasan yang sering terjadi
seperti perkelahian, pemukulan, penyerangan dengan senjata, tawuran, perampokan,
perkosaan, penganiayan, dan pembunuhan (Evan, 2000 & Shalaa, 2001 dikutip dari
Budiharto dkk, 2003).
Menurut Towsend (1996 dalam Purba, 2008), terdapat beberapa teori yang
menyebabkan terjadinya perilaku kekerasan. Salah satunya adalah berdasarkan teori
psikologik yaitu teori psikoanalitik dan teori pembelajaran. Pada teori psikoanalitik
menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan dan
rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan yang dapat meningkatkan
citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Sedangkan berdasarkan teori
pembelajaran, anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran orang tuanya
sendiri. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua
yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk
berperilaku kekerasan setelah dewasa. Hal ini terkait dengan pengetahuan keluarga
dan pola asuh keluarga.
Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental merupakan awal usaha
memberikan ilklim kondusif bagi anggota keluarganya. Sebab keluarga merupakan
sistem pendukung utama yang memberikan langsung pada setiap keadaan sakit klien.
Keluarga mempunyai peranan baik sebagai penyebab, penyulit, maupun
penyembuhan. Keluarga sebagai unit bertanggung jawab untuk membantu anggota
keluarga mengembangkan potensi, membantu pencapaian cita-cita atau tujuan
individu dan keluarga dan menggalakkan autonomi dan fleksibilitas diantara anggota
keluarga ( Keliat, 1992 ).
Mengingat bahwa lingkungan pergaulan yang pertama adalah keluarga, maka
tingkah laku agresif (kekerasan) dalam keluarga harus dihindarkan sehingga dapat
dikatakan bahwa keluarga meupakan salah satu penyembuhan yang sangat berarti.
Agar tercapai dukungan yang optimal maka keluarga harus memiliki pengatahuan
dan kemampuan yang berkaitan dengan lima tugas kesehatan keluarga yaitu
menganal masalah kesehatan, mengambil keputusan yang tepat untuk mengatasi
memodifikasi lingkungan untuk mampu memanfaatkan fasilitas kesehatan secara
tepat (Keliat, 1992).
Berdasarkan data di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara
Medan bahwa jumlah pasien gangguan jiwa pada tahun 2008 tercatat sebanyak 1.814
pasien rawat inap yang keluar masuk rumah sakit dan 23.532 pasien rawat jalan di
rumah sakit tersebut. Pada data yang diperoleh mulai januari sampai april 2009
tercatat bahwa 1.790 pasien rawat inap dan 3.885 pasien rawat jalan yang mengalami
gangguan jiwa skizofrenia paranoid dan gangguan psikotik dengan gejala curiga
berlebihan, galak, dan bersikap bermusuhan. Gejala ini merupakan tanda dari pasien
yang mengalami perilaku kekerasan (Medikal Record, 2009).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada bulan September
2009 terhadap tiga keluarga pasien didapat data bahwa mereka tidak tahu merawat
pasien dirumah, mereka juga megatakan kesulitan dalam memberikan obat pada
pasien dan agak kesal menghadapi perilaku pasien yang suka marah-marah bahkan
mengamuk tanpa alasan yang jelas.
Berdasarkan latar belakang peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
hubungan pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasa dengan kesiapan keluarga
1.2. Pertanyaan Penelitian
1.2.1. Bagaimana pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan pada pasien
dengan gangguan jiwa ?
1.2.2. Bagaimana kesiapan keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan pada
pasien dengan gangguan jiwa ?
1.2.3. Bagaimana hubungan pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan
dengan kesiapan keluarga merawat pasien ?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Mengidentifikasi pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan
1.3.2 Mengidentifikasi kesiapan keluarga merawat pasien perilaku kekerasan
1.3.3 Mengetahui hubungan antara pengetahuan keluarga tentang perilaku
kekerasan dengan kesiapan keluarga merawat pasien
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai
pihak, yaitu :
1.4.1. Praktek Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi tambahan bagi
perawat tentang gambaran pengetahuan keluarga sehingga memudahkan
perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan dan menyelenggarakan
1.4.2 Pendidikan Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi bagi mahasiswa
keperawatan sehingga dapat menjadi perawat yang dapat mengidentifikasi
kebutuhan pasien dan keluarga.
1.4.3. Penelitian Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data tambahan bagi
penelitian berikutnya yang terkait dengan pengetahuan keluarga dan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Pengetahuan
2.1.1. Pengertian Pengetahuan
Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu
knowledge. Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa defenisi
pengetahuan adalah kepercayaan yang benar ( knowledge is justified true belief ).
Sedangkan terminologi menurut Drs. Sidi Gazalba ( 1992 ) pengetahuan adalah apa
yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pengetahuan tersebut adalah hasil dari
kenal, sadar insaf, mengerti dan pandai.
Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau
segala sesuatu perbuatan manusia untuk memahami suatu objek tertentu.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang. Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari
oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama dari pada yang tidak didasari oleh
pengetahuan ( Notoadmojo, 1993 ). Pengetahuan dapat berwujud barang-barang fisik,
pemahamannya dilakukan dengan cara persepsi baik lewat indera maupun lewat akal,
dapat pula objek yang dipahami oleh manusia berbentuk ideal atau yang bersangkutan
dengan masalah kejiwaan.
Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental merupakan awal usaha
dalam memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluraganya. Keluarga selain
dapat menjadi sumber problem bagi anggota keluarga yang mengalami persoalan
kejiwaan keluarganya ( Notosoedirdjo & Latipun, 2005 )
Berdasarkan penelitian dari bahan National Mental Health
Assosiation/NHMA ( 2001 ), diperoleh bahwa banyak ketidakmengertian ataupun
kesalahpahaman keluarga mengenai gangguan jiwa, keluarga menganggap bahwa
seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak akan pernah sembuh lagi. Namun
faktanya, NHMA mengemukakan bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa dapat
sembuh dan dapat mulai kembali melakukan aktivitasnya.
National Mental Health Association ( NMHA ) mengemukakan hal-hal yang
perlu diketahui oleh keluarga agar dapat menyikapi dan mengontrol emosi dalam
menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa ( Koening, 1996 ),
yaitu :
Membangun harapan yang realistis dalam keluarga dan kepada penderita gangguan jiwa sehingga keluarga memiliki kesabaran dan
tetap mendukung anggota keluarganya yang mengalami gangguan
jiwa.
Pendekatan secara spiritual membantu keluarga dalam menghadapi penderita gangguan jiwa.
Mencari bantuan dari petugas kesehatan ataupun sumber media lainnya dalam mendapatkan informasi yang benar tentang gangguan
jiwa.
secara tidak langsung dapat membuat penderita gangguan jiwa dapat
mengungkapkan perasaan yang dirasakannya dan kelurga diharapkan
mengerti bahwa kondisi yang mereka alami membahayakan apabila
penderita gangguan jiwa mempercayai untuk mengungkapkan
perasaannya.
2.1.2. Tingkat Pengetahuan dalam domain kognitif
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan :
1. Tahu ( know )
Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali ( recall ) sesuatau yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari
atau rangsangan yang diterima. Oleh sebab itu tahu merupakan tingkat
penegtahuan yang paling rendah.
2. Memahami
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat mengintrepetasikan materi
tersebut secara benar.
3. Aplikasi
Aplikasi diartikan sebgai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi real ( sebenarnya ). Aplikasi ini
dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus,
4. Analisis
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur
organisasi dan masih ada kaitannya satu sam lain.
5. Sintesis
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu objek bentuk keseluruhan yang
baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formasi-formasi yang ada.
6. Evaluasi
Evaluasi berkaitan dengan kemepuan untuk melekukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini
didasarkan pada suatu kriteri yang ditentukan sendiri, atau menggunakan
kriteria-kriteria yang telah ada.
2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Notoadmojo ( 2003 ) pengetahuan dipengaruhi oleh faktor :
a. Pendidikan
Pendidikan adalah proses belajar yang berarti terjadi proses pertumbuhan,
perkembangan atau perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih
matang pada diri individu, keluarga atau masyarakat. Beberapa hasil penelitian
mengenai pengaruh pendidikan terhadap perkembangan pribadi, bahwa pada
b. Persepsi
Persepsi, mengenal dan memilih objek sehubungan dengan tindakan ysng
akan diambil.
c. Motivasi
Motivasi merupakan dorongan, keinginan dan tenaga penggerak yang berasal
dari dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu dengan mengesampingkan hal-hal
yang dianggap kurang bermanfaat. Dalam mencapai tujuan dan munculnya motivasi
dan memerlukan rangsangan dari dalam individu maupun dari luar. Motivasi murni
adalah motivasi yang betul-betul disadari akan pentingnya suatu perilaku akan
dirasakan suatu kebutujan.
d. Pengalaman
Pengalaman adalah sesuatu yang dirasakan ( diketahui, dikerjakan ) juga
merupakan kesadaran akan suatu hal yang tertangkap oleh indera manusia. Faktor
eksternal yang mempengaruhi pengetahuan antara lain meliputi : lingkungan, sosial,
ekonomi, kebudayaan dan informasi. Lingkungan sebagi faktor yang berpengaruh
bagi pengembangan sifat dan perilaku individu. Sosial ekonomi, penghasilan sering
dilihat untuk memliki hubungan antar tingkat penghasilan dengan pemamfaatan.
2.2 Konsep Keluarga
2.2.1. Defenisi Keluarga
Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan
hubungan sosial. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu kesatuan
sosial yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya. Sedangkan dalam
adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara satu
dengan lainnya, walaupun di antara mereka tidak terdapat hubungan darah (Shochib,
1998).
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya
dengan seseorang. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu membentuk
homoestatis akan dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota keluarganya
dan kemungkinan dapat meningkatkan ketahanan para anggota kelurganya dari
gangguan-gangguan mental dan ketidakstabilan emosional anggota keluarganya.
Usaha kesehtan mental sebaiknya dan seharusnya dimulai dari keluarga. Karena itu
perhatian utama dalam kesehatan mental adalah menggarap keluarga agar dapat
memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluarga yang mengalami gangguan
kesehatan mental ( Notosoedirdjo & Latipun, 2005 ).
Sebagai bagian dari tugasnya untuk menjaga kesehatan anggota keluarganya,
keluarga perlu menyusun dan menjalankan aktivitas-aktivitas pemeliharaan kesehatan
berdasarkan atas apakah anggota keluarga yakin menjadi sehat dan mencari informasi
mengenai kesehatan yang benar yang dapat bersumber dari petugas kesehatan
langsung ataupun media massa ( Friedman, 1998 ).
2.2.2. Fungsi Keluarga
Menurut Effendy ( 1998 ), ada beberapa fungsi keluarga yang dapat
dijalankan keluarga :
Fungsi pendidikan, dalam hal ini tugas keluarga adalah mendidik dan menyekolahkan anak unuk mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak
Fungsi sosialisasi anak, tugas keluarga dalam menjalankan fungsi ini adalah bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang
baik.
Fungsi perlindungan, keluarga melindungi anak dan anggota keluarga dari tindakan-tindakan yang tidak baik, sehingga anggota keluarga merasa
terlindungi dan merasa aman.
Fungsi perasaan, keluarga menjaga secara instuitif, merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota lainya dalam berkomunikasi dan berinteraksi satu
dengan lainya sehingga ada saling pengertian satu sama lain.
Fungsi religius, keluarga memperkenalkan dan mengajak anggota keluarga dalam kehidupan beragama untuk menenamkan keyakinan bahwa ada
kekuatan lainya yang mengatur kehidupan ini dan akan ada kehidupan lain
setelah dunia ini.
Fungsi ekonomis, keluarga dalam hal ini mencari sumber-sumber kehidupan dalam memenuhi fungsi-fungsi keluarga lainnya.
Fungsi biologis, keluarga meneruskan keturunan sebagai generasi penerus.
2.2.3. Tugas Keluarga dalam bidang kesehatan
Untuk dapat mencapai tujuan kesehatan keluarga, keluarga harus memiliki
tugas dalam pemeliharaan kesehatan para anggotanya dan saling memelihara.
Tugas kesehatan yang harus dilakukan oleh keluarga ( Freeman, 1981 dikutip
dari Effendy, 1998 ) yaitu :
1) Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggotanya.
dan tingkah laku ataupun aktivitas yang normal atau tidak untuk
dilakukan. Hal ini erat hubungannya dengan pengetahuan keluarga akan
gejala-gejala gangguan jiwa.
2) Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat. Segera
setelah keluarga mengetahui bahwa ada kondisi anggota keluarag tidak
sesuai dengan normal maka sebaiknya keluarga memutuskan dengan cepat
tindakan yang harus dilakukan untuk keseimbangan anggota keluarganya
dengan segera membawanya ke petugas kesehatan.
3) Memberikan pertolongan kepada anggota keluarganya yang sakit dan
yang tidak dapat membantu diri sendiri karena cacat fisik ataupun mental.
Karena penderita gangguan jiwa tidak bisa mandiri untuk memenuhi
kebutuhan aktivitas hidupnya.
4) Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan
perkembangan kepribadian anggota keluarga. Keluarga membuat iklim
yang kondusif bagi penderita gangguan jiwa di lingkungan rumah agar
merasa nyaman dan merasa tidak diikucilkan dari keluarga.
5) Mempertahankan hubungan timbale balik antara keluarga dan
lembaga-lembaga kesehtan yang menunjukkan pemanfaatan dengan baik
fasilitas-fasilitas kesehtan yang ada. Untuk kesembuhan penderita gangguan jiwa,
keluarga harus memiliki banyak informasi mengenai kesehtan jiwa
Ketidakmampuan keluarga dalam melaksanakan tugas kesehatan terdiri atas :
1) Ketidaksanggupan mengenai masalah kesehatan keluarga karena
Kurangnya pengetahuan / ketidakmampuan fakta akan penyakit ganggguan jiwa.
Rasa takut akibat masalah yang dihadapi serta aib yang harus dihadapi membuat keluarga tidak fokus dalam mengenal masalah gangguan
jiwa yang dihadapi anggota keluarga.
2) Ketidaksanggupan keluarga mengambil keputusan dalam melakukan
tindakan yang tepat, disebabkan karena :
Tindakan memahami mengenai sifat, berat dan luasnya masalah gangguna jiwa yang dihadapi keluarga.
Keluarga tidak sanggup memecahkan masalah karena kurang pengetahuan dan kurang baik itu dalam hal biaya, tenaga dan waktu
dalam penanganan anggota keluarganya yang mengalami gangguan
jiwa.
Tidak sanggup memilih tindakan diantara beberapa pilihan.
Tidak tahu tentang fasilitas kesehatan yang ada
Sikap negatif terhadap masalah kesehatan yang ada
3) Ketidakmampuan merawat anggota keluarga yang sakit, disebabkan
karena :
Tidak mengetahui keadaan penyakit misalnya sifat, penyebabnya, gejala dan perawatannya
Kurang atau tidak ada fasilitas yang diperlukan untuk perawatan
Tidak seimbang sumber-sumber yang ada dalam keluarga, misalnya keuangan dan fasilitas fisik untuk perawatan.
Konflik individu dalam keluarga, keluarga tidak peduli dan lebih menyalahkan satu dengan lainnya mengenai keadaan anggota
keluarganya.
4) Ketidakmampuan menggunakan sumber di masyarakat guna memelihara
keehatan disebabkan karena :
Rasa asing dan tidak ada dukungan dari masyarakat, adanya anggapan dan pemahaman masyarakat yang negative terhadap gangguan jiwa
membuat keluarga merasa malu.
Tidak tahu bahwa fasilitas kesehatan itu ada
Kurang percaya terhadap petugas dan lembaga kesehatan.
2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Keluarga dalam Manerima
Pasien Gangguan Jiwa
Rivai ( 1996 ) mengatakan bahwa rumah sakit jiwa seringkali mengalami
kesulitan memulangkan klien ke pihak keluarga, sebab setiap kali hanya dalam waktu
menerima kembali dengan berbagai macam alasan serta kurangnya pengertian
terhadap penanganan dan perawatan pasien mantan gangguan jiwa.
Rivai kemudian menambahkan bahwa pasien dengan perawatan pasien
dengan gangguan jiwa di rumah sakit jiwa memang memerlukan waktu yang lama,
terutama pasien dengan gangguan jiwa kronis ( menahun ), disebabkan kurangnya
keterlibatan keluarga untuk ikut serta cara perawatannya sehari-hari, sehingga
keluarga tidak siap dan tidak dapat beradaptasi dengan pasien lagi.
Dalam proses perencanaan kepulangan klien gangguan jiwa dari RSJ di awali
dengan pertemuan yang pada proses keperawatan disebut dengan proses pangkajian.
Proses pengkajian ini penting dilakukan untuk memperoleh data dari pasien dan
keluarga sehingga dapat ditemukan masalah yang dihadapi pasien dan keluarga
berhubungan dengan keadaan kesehatan pasien dan perawatannya di rumah. Biasanya
yang dikaji adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kesiapan mereka
menerima kepulangan pasien gangguan jiwa dan faktor-faktor tersebutlah yang palng
banyak menjadi alasan keluarga menolak kehadiran klien gangguan jiwa
ditengah-tengah keluarga mereka ( Suyasa, 1994 dalam Dep Kes RI 1994 ).
Adapun beberapa faktor yang perlu dikaji adalah sebagai berikut :
a. Pengetahuan keluarga
Sebagai sebuah keluarga, seharusnya mengetahui tentang peran dan tanggung
jawab dalam proses keperawatan yang direncanakan untuk perawatan klien dirumah.
Faktor ini adalah salah satu faktor yang sering kali diabaikan oleh pihak keluarga
padahal peran keluarga dalam proses penyembuhan merupakan peran yang paling
Keluarga harus menambah pengetahuan dan melengkapi dirinya dengan
berbagai pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat memperlakukan mereka
dalam keluarga secara baik dan memadai, bersifat teraupetik dan membawa anggota
keluarga tersebut kepada kesembuhan yang seteru. Perlakuan-perlakuan keluarga
terhadap salah satu anggota keluarga yang mengidap perilaku kekerasan, apabila
tidak disertai pengetahuan dan sikap yang benar dapat mengakibatkan kekambuhan
kembali.( Chandra, 2004 ).
Penelitian lain juga menunjukkan perlunya terapi pada keluarga diberikan
untuk kesiapan keluarga dalam menerima kepulangan pasien jiwa dengan membekali
mereka pengetahuan-pengetahuan tentang perawatan pasien perilaku kekerasan untuk
mendukung kesembuhan penderita ( Ayub & Wigan, 2004 ).
Sebuah keluarga dengan penderita gangguan jiwa perlu menegetahui dan
menyadari keadaan diri penderita, mengambil keputusan untuk menetukan bagaimana
sikap yang sebaiknya diambil agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Banyak keluarga yang berpendapat bahwa penderita boleh berhenti minum obat (
berobat ) apabila gejal-gejala sudah menghilang / berkurang, juga banyak keluarga
yang berpendapat bahwa penderita gangguan jiwa hanya perlu medikasi ( obat-obatan
) untuk dapat sembuh saat proses pemulihannya dirumah. Hal ini jelas keliru, terapi
bagi penderita gangguan jiwa bukan hanya pemberian obat dan rehabilitasi medik,
namun diperlukan peran keluarga guna resosialiosasi dan pencegahan kekambuhan (
b. Sruktur keluarga
Struktur keluarga meliputi pola dan proses komunukasi yang memungkinkan
anggota keluarga untuk mengekspresikan marahnya, sedih, gembira, komunikasi
yang terbuka, komunikasi yang dapat menyelesaikan konflik keluarga, suasana emosi
yang hangat, saling percata, menghargai, memperhatikan dan mnerima. Pelaksanaan
peran yang dilakukan keluarga, nilai-nilai yang dimilki dan dianut keluarga yang
dipengaruhi oleh latar belakang budaya, norma sosial yang dianut oleh masyarakat
turut mempengaruhi kesiapan keluarga ( Suyasa, 1994 dalam Dep Kes RI, 1994 ).
Menerima kenyataan adalah kunci pertama proses penyembuahan atau
pengendalian perilaku kekerasan. Keluarga harus bersikap menerima, tetap
berkomunikasi dan tidak mengasingkan penderita. Tindakan kasar, berantakan atau
mengucilkan justru akan membuat penderita semakin depresi bahkan cenderung
bersikap kasar. Akan tetapi, terlalu memanjakan juga tidak baik ( Chandra, 2004 ).
Tetapi yang kita temukan pada kenyataannya justru keluarga menjadi
emosional, kritis, bahkan bermusuhan, jauh dari sikap hangat yang dibutuhkan ketika
berhadapan dengan penderita memicu kekambuhan ( Sumarjo, 2004 ).
c. Sistem Pendukung
Keluarga sebagai sebuah kelompok yang dapat menimbulkan, mencegah atau
memperbaiki masalah kesehatan yang dalam hal ini adalah gangguan jiwa yang ada
dalam kelompoknya sendiri, oleh karena itu keluarga merupakan sistem yang
terutama sebagai pendukung bagi klien setelah pulang dari rumah sakit jiwa. Maka
dukungan keluarga dan lingkungan menjadi faktor yang penting ( Suyasa, 1994
Keluarga pasien diharapkan memberikan perhatian khusus kepada penderita.
Biasanya keluarga yang memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan mental
menyembungikannya sehingga tidak terlihat oleh tamu-tamu yang datang ke rumah
mereka. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena penderita akan merasa dikucilkan.
Yang harus dilakukan adalah menyapa penderita setiap hari dan memberikan
perhatian agar mereka tidak disingkirkan ( Chandra, 2004 ).
Kesedian keluarga untuk tetap merawat dan tetap mengakuinya sebagai
bagian dari orang yang sisanyangi sangatlah diperlukan agar mereka tetap merasa
dihargai sebagai manusia layaknya. Dukungan keluarga dan teman merupakan salah
satu obat penyembuhan yang sangat berarti bagi penderita. Dengan dibentuknya
kelompok keluarga gangguan jiwa dimasyarakat akan memungkin pasien dan
keluarga gangguan jiwa di masyarakat akan memungkinkan klien dan keluarga
mengadakan diskusi dan tukar pengalaman dalam mengatasi gejala yang timbul pada
pasien gangguan jiwa. Sayangnya masyarakat sendiri justru mengasingkan
keberadaan penderita gangguan jiwa sehingga hal ini turut mempengaruhi sikap
keluarga terhadap pasin bahkan gangguan jiwa dianggap sebagai penyakit yang
membawa aib bagi keluarga sehingga diputuskan untuk dibuang oleh keluarganya
sendiri, akhirnya faktor lingkungan dalam keluarga justru tidak mendukung
kesembuhan pasien ( Sumarjo, 2004 ).
Penyakit jiwa sampai saat ini memang masih dianggap sebagai penyakit yang
memalukan, menjadi aib bagi si penderita dan keluarganya sendiri. Masyarakat kita
menyebut penyakit jiwa pada tingkat yang paling parah seperti “gila”, sehingga
oleh keluarganya. Sebenarnya tidak ada alasan yang kuat secara etis untuk melakukan
diskriminasi dan perlakuan buruk terhadap penderita kelainan jiwa. Karena
pengucilan dan diskriminasi justru memperburuk kondisi penderita itu sendiri.
Tempat terbaik bagi penderita gangguan jiwa bukan di panti rehabilitasi atau di
rumah sakit jiwa, apalagi dijalanan. Tempat terbaik bagi mereka adalah berada di
tengah-tengah keluarganya, diantaranya orang-orang yang dicintainya. Yang mereka
btuhkan adalah perhatian, pengertian, dukungan, cinta dan kasih sayang. Perhatian
dan kasih sayang tulus dari keluarga dan orang-orang terdekatnya akan sangat
membantu proses penyembuhan kondisi jiwanya ( Tarjum, 2004 ). Sudah seharusnya
keluarga dapat mengurangi persepsi dan diskriminasi terhadap penderita gangguan
jiwa dalam keluarga dan memberikan dukungan sosial kepadanya, rasa empati,
penerimaan, mendorong untuk mulai berinteraksi sosial, dan dorongan untuk tidak
berputus asa dan terus berusaha. Terapi sosial ini akan sangat membantu penderita
gangguan jiwa dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang menjadi stressor bagi
penderita ( Nash, 2005 ).
Penyakit gangguan jiwa ini sesungguhnya dapat teratasi dengan syarat
ditangani secara tepat dan cepat. Dukungan moril dari keluarga dan orang-orang
terdekat jelas sangat penting bagi penderita. Ironisnya penerimaan merupakan hal
tersulit yang dapat diperoleh seorang penderita. Masih banyak orang tua yang malu
mengakui anaknya adalah pengidap gangguan jiwa. Penyangkalan ini justru semakin
d. Sumber daya keluarga
Sumber keuangan seperti ekonomi dan sumber keluarga. Pekerjaan pasien
yang lalu baik pekerjaan yang pokok maupun sambilan. Kemampuan pasien untuk
melakukan pekerjaan di rumah sakit jiwa dan kemungkinan klien untuk kembali ke
pekerjaan semula atau harus mengganti pekerjaan yang baru ( Suraya, 1994 dalam
Dep Kes RI 1994 ).
Faktor ini juga adalah faktor yang penting di kaji dari keluarga karena pada
umumnya kemampuan finansial keluarga pasien dengan gangguan jiwa tidak
memungkinkan untuk membiayai penyembuhan penyakit yang cenderung berjalan
kronis sehingga kejadian seperti ini memicu tindakan dan sikap keluarga terhadap
penolakan pasien gangguan jiwa ( Chandra, 2004 ).
Vijay ( 2005 ) juga mengatakan bahwa perawatan yang dibuthkan penderita
gangguan jiwa menimbulkan dampak yang besar bagi keluarga, yaitu dampak
ekonomi yang ditimbulkan berupa hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah
bagi penderita maupun keluarga yang harus merawat serta tingginya biaya perawatan
yang harus ditanggung.
2.4. Perilaku Kekerasan
2.4.1. Definisi Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan sukar diprediksi. Setiap orang dapat bertindak keras tetapi
ada kelompok tertentu yang memiliki resiko tinggi yaitu pria berusia 15-25 tahun,
orang kota, kulit hitam, atau subgroup dengan budaya kekerasan, peminum alkohol
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk
melukai atau mencelakakan individu lain yng tidak menginginkan datangnya tingkah
laku tersebut (Purba, 2008). Menurut Stuart dan Sundeen (1995), perilaku kekerasan
adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak
konstruktif.
Perasaan marah normal bagi tiap individu. Namun, pada klien perilaku
kekerasan mengungkapkan rasa kemarahan secara fluktuasi sepanjang rentang adaptif
dan maladaptif. Marah merupakan perasaan jengkel yang tiimbul sebagai respons
terhadap kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang tidak dirasakan sebagai
ancaman (Stuart & Sundeen, 1995). Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri
aktivitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang
sangat kuat biasanya ada kesalahan, yang mungkin nyata-nyata kesalahannya atau
mungkin juga tidak. Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju,
menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila
hal ini disalurkan maka akan terjadi perilaku agresif (Purba, 2008).
Keberhasilan individu dalam berespon terhadap kemarahan dapat
menimbulkan respon asertif yang merupakan kemarahan yang diungkapkan tanpa
menyakiti orang lain dan akan memberikan kelegaan pada individu serta tidak akan
menimbulkan masalah. Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan
respon pasif dan melarikan diri atau respon melawan dan menentang. Respon
Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan. Pasif merupakan
respons lanjutan dari frustasi dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan
yang sedang dialami untuk menghindari suatu tuntutan nyata. Agresif adalah
perilaku menyertai marah dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk
destruktif dan masih dapat terkontrol. Perilaku yang tampak dapat berupa muka
masam, bicara kasar, menuntut, dan kasar disertai kekerasan. Amuk atau kekerasan
adalah perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri.
Individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Apabila marah tidak
terkontrol sampai respons maladaptif (kekerasan) maka individu dapat menggunakan
perilaku kekerasan (Purba, 2008).
2.4.2. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Perilaku Kekerasan pada Klien
Gangguan Jiwa
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekrasan
menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh
Towsend (1996 dalam Purba, 2008) adalah:
1. Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap
perilaku:
a. Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem
limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai
peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem
ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan
potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka
individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian,
perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis
mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem
limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak
atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
b. Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine, asetikolin,
dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls
agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan
oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap stress.
c. Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif
dengan genetik karyotype XYY.
d. Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif
dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik
dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan
penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti
2. Teori Psikologik
a. Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan
membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan
kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti
dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya
harga diri.
b. Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya
orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan
sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan
pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka
selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang
dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain.
Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua
yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung
untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
3. Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial
terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku
berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa
kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk
yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan.
Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
2.4.3 Tindakan Keperawatan pada Pasien Perilaku Kekerasan
Menurut Purba (2008), beberapa tindakan keperawatan yang dapat dilakukan
pada pasien perilaku kekerasan dapat meliputi tindakan untuk pasien dan tindakan
untuk keluarga. Tindakan untuk pasien meliputi bina hubungan saling percaya agar
pasien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan perawat, diskusikan
bersama pasien penyebab perilaku kekerasan yang dialami, perasaan pasien jika
terjadi penyebab perilaku kekerasan, perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada
saat marah, akibat dari perilakunya, cara mengontrol perilaku kekerasan secara fisik,
obat, sosial/verbal, dan spiritual.
Tindakan untuk keluarga pasien perilaku kekerasan meliputi diskusikan
bersama keluarga tentang perilaku kekerasan (penyebab, tanda dan gejala, perilaku
yang muncul dan akibat dari perilaku tersebut), anjurkan keluarga untuk memotivasi
pasien dan memberi pujian bila pasien dapat melakukan kegiatan yang positif,
diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan bila pasien menunjukkan
gejala-gejala perilaku kekerasan, diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi pasien
yang perlu sesgera dilaporkan kepada perawat seperti melempar atau memukul
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual dalam penelitian ini menjelaskan dugaan adanya
hubungan tingkat pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan
keluarga dalam merawat pasien yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa
Daerah Provsu Medan.
- Struktur Keluarga
- Sistem Pendukung
- Sumber Daya Keluarga
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, maka metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif korelasi yaitu jenis penelitian yang digunakan untuk
mengetahui hubungan suatu variabel dengan variabel yang lain yang diusahakan
dengan mengidentifikasi kedua variabel yang ada pada responden yang sama dan
dilihat bagaimana hubungan antara keduanya ( Notoadmojo, 2002 ). Tujuan
penelitian ini untuk mengidentifikasi bagaimana hubungan antara pengetahuan
keluarga tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan keluarga dalam merawat pasien
di RS Jiwa Daerah Provsu Medan.
4.2. Populasi dan Sampel
4.2.1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian adalah seluruh keluarga dari pasien perilaku
kekerasan yang sedang menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu
Medan.
4.2.2. Sampel Penelitian
Dalam penelitian ini penentuan besar sampel dilakukan dengan menggunakan
tabel power analisis ( Polit & Hungler, 1999 ) yang memperkirakan jumlah sampel
berdasarkan derajat Ketepatan ( α ) yang besarnya 0.05, analisis kekuatan ( β ) dan
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan cara purposive
sampling dengan mengambil responden yang tersedia saat itu dan telah memenuhi
kriteria sampel yang telah ditentukan terlebih dahulu ( Nursalam, 2003 ).
Adapun kriteria yang ditentukan untuk subjek penelitian ini antara lain :
1. Keluarga ( ayah, ibu, kakak, dan adik ) yang memiliki anggota keluarga
dengan masalah utama perilaku kekerasan yang mengalami rawat inap di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan.
2. Tinggal serumah dengan pasien.
3. Terlibat langsung dalam perawatan pasien di rumah.
4. Bersedia menjadi partisipan dalam penelitian ini.
4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan pada
tanggal 17 Januari – 13 Februari 2010. Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan
bahwa Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan adalah rumah sakit
yang digunakan sebagai lahan praktek pendidikan keperawatan dan memiliki jumlah
pasien yang menderita gangguan jiwa yang banyak karena rumah sakit sebagai
rujukan.
4.4 Pertimbangan Etik
Sebelum dilaksanakan penelitian, peneliti terlebih dahulu mengajukan surat
permohonan kepada Fakultas Keperawatan dan Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah
Provinsi Sumatera Utara untuk mendapatkan persetujuan penelitian. Selanjutnya,
setelah mendapat izin, peneliti menyerahkan langsung lembar persetujuan kepada
menjelaskan maksud, tujuan dan prosedur penelitian kepada calon responden. Jika
calon responden bersedia untuk dijadikan objek penelitian, maka calon responden
terlebih dahulu harus menandatangani lembar persetujuan. Jika calon responden
menolak untuk diteliti maka peneliti akan tetap menghormati haknya.
Untuk menjaga kerahasiaan reponden, peneliti tidak mencantumkan nama
responden pada lembar pengumpulan data (kuesioner) yang diisi oleh responden.
Lembar tersebut hanya diberi nomor kode tertentu. Kerahasiaan informasi yang
diberikan oleh responden dijamin oleh peneliti dan hanya dipergunakan dalam
penelitian ini saja.
4.5. Instumen Penelitian
4.5.1 Kuesioner Penelitian
Sesuai dengan permasalahan dan variabel yang diungkap dalam penelitian ini,
maka instrumen yang digunakan adalah kuesioner dan kuesioner tersebut
dimodifikasi sendiri oleh peneliti dengan berpedoman pada konsep dan tinjauan
pustaka.
Kuesioner ini berisi pertanyaan tentang data demografi, pernyataan tentang
pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dan kesiapan keluarga merawat
pasien. Data demografi meliputi umur, jenis kelamin, suku, agama, tingkat
pendidikan, dan pekerjaan. Data pengetahuan keluarga meliputi item-item tentang
defenisi perilaku kekerasan, penyebab perilaku kekerasan, tanda dan gejala, dan cara
mengontrol. Sedangkan pengukuran kesiapan keluarga dalam merawat meliputi
item-item tentang pengetahuan keluarga, struktur keluarga, sistem keluarga, dan sumber
Kuesioner pengetahuan keluarga digunakan untuk mengidentifikasi
pengetahuan keluarga tersebut tentang perilaku kekerasan yaitu defenisi perilaku
kekerasan terdiri dari 4 pernyataan yaitu 3 pernyataan positif ( 1, 2, dan 4 ) dan satu
pernyataan negatif ( 3 ). Penyebab perilaku kekerasan terdiri dari 4 pernyataan yaitu 4
pernyatan positif ( 5, 6, 7, dan 8 ) dan tidak ada pernyataan negatif. Tanda dan gejala
terdiri dari 4 pernyataan yaitu 4 pernyataan positif ( 9, 10, 11, dan 12 ) dan tidak ada
pernyataan negatif. Cara mengontrol terdiri dari 4 pertanyaan yaitu 3 pertanyaan
positif ( 13, 14, dan 16 ) dan satu pertanyaan negatif ( 15 ). Kuesioner pengetahuan
keluarga tentang perilaku kekerasan berjumlah 16 dalam bentuk pernyataan jawaban
“ Benar “ dan “ Salah “( Burn & Grove, 1993 ).
Kuesioner kesiapan keluarga terdiri dari 16 pernyataan yang disusun dalam
bentuk tertutup dengan menggunakan skala likert. Jawaban dari responden dibuat
dalam 4 (empat) pilihan yaitu Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Setuju
(S), Sangat Setuju (SS). Untuk jawaban Sangat Tidak Setuju (STS) bernilai 0, Tidak
Setuju (TS) bernilai 1, Setuju (S) bernilai 2, dan Sangat Setuju (SS) bernilai 3.
Kategori Penilaian Pengetahuan Keluarga :
1. Baik, apabila skor 75 – 100 % ( responden menjawab 12 – 16 soal dengan
jawaban benar ) .
2. Cukup, apabila skor 56 – 74 % ( responden menjawab 6 – 11 soal dengan
jawaban benar ) .
3. Kurang, apabila skor < 56 % ( responden menjawab < 6 soal dengan jawaban
Kategori Kesiapan Keluarga dalam Merawat Pasien :
1. Baik = 32 - 48
2. Cukup = 17 - 31
3. Kurang = 0 - 16
4.5.2. Uji Validitas dan Uji Reabilitas
Uji validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau
kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen yang valid atau sahih mempunyai
validitas tinggi (Arikunto, 2006). Uji validitas pada penelitian ini dengan
menggunakan metode uji validitas isi yaitu sejauh mana sebuah instrumen penelitian
memuat rumusan sesuai dengan isi yang dikehendaki menurut tujuan tertentu
(Setiadi, 2007). Uji validitas instrumen ini dilakukan oleh staf pengajar Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara yaitu oleh ibu Jenny M Purba, S.Kp, MNS.
Uji reliabilitas instrumen adalah suatu uji yang dilakukan untuk mengetahui
seberapa besar derajat atau kemampuan alat ukur mampu mengukur secara konsisten
sasaran yang diukur. Bila suatu alat ukur dipakai dua kali untuk mengukur gejala
yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relatif konsisten, maka alat ukur
tersebut reliabel (Setiadi, 2007).
Uji reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji
cronbach alpha. Uji reliabilitas ditujukan kepada 10 orang responden yang sesuai
dengan kriteria sampel dalam penelitian ini (Nursalam & Pariani, 2001). Data yang
diperoleh dianalisa dengan sistem komputerisasi. Menurut Ghozali ( 2005 dikutip
dari Ginting, 2008) suatu instrumen dikatakan reliabel apabila diperoleh nilai
4.5.3. Pengumpulan Data
Pada tahap awal peneliti mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian
pada institusi pendidikan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
Kemudian mengirimkan permohonan izin yang diperoleh ke tempat penelitian yaitu
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan. Setelah mendapat izin,
peneliti akan melaksanakan pengumpulan data penelitian pada saat keluarga datang
berkunjung ke rumah sakit jiwa.
Peneliti menentukan responden berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
Kemudian peneliti menjelaskan tentang tujuan, waktu, manfaat, dan proses kuesioner
serta menanyakan kesediaan untuk menjadi responden atau subjek dalam peneliatian
ini. Calon responden yang bersedia, diminta untuk menandatangani lembar
persetujuan. Selanjutnya responden diminta untuk mengisi kuesioner yang diberikan
peneliti dan diberi kesempatan bertanya jika ada yang tidak dimengerti.
Setelah semua responden mengisi kuesiner tersebut, peneliti memeriksa
kelengkapan data, dan memastikan tidak ada pernyataan yang tidak terjawab. Jika ada
data yang kurang lengkap, maka dapat segera dilengkapi. Kemudian seluruh data
dikumpulkan untuk dianalisa.
4.5.4. Analisa Data
Setelah semua data terkumpul, maka peneliti melakukan analisa data melalui
beberapa tahap, yaitu dimulai dengan melakukan editing untuk memeriksa
kelengkapan data dan memastikan semua jawaban telah diisi, kemudian tabulating
(memindahkan) data dari daftar pertanyaan ke dalam tabel yang dipersiapkan,
komputer dengan menggunakan program komputerisasi. Setelah itu, cleaning yaitu
peneliti memeriksa atau mengecek kembali data yang telah dimasukkan (entry) untuk
mengetahui adanya kesalahan atau tidak. Dan dianalisa dengan menggunakan statistik
deskriptif dengan menggunakan uji Pearson Product Moment.
Hasil pengolahan data pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dan
kesiapan keluarga dalam merawat pasien akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
Pada bab ini menguraikan hasil penelitian melalui pengumpulan data terhadap
32 orang responden di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan
yang dilaksanakan pada 17 Januari – 13 Februari 2010. Data hasil penelitian ini
menguraikan tentang karakteristik responden dan pengetahuan keluarga tentang
perilaku kekerasan serta kesiapan keluarga merawat pasien.
5.1.1. Karakteristik Responden
Tabel 1 menunjukkan bahwa usia responden berada pada rentang usia 32-42
tahun (37,5 %), jenis kelamin wannita (59,4 %), suku batak (62,5 %), agama Islam
(65,6 %), pekerjaan responden adalah wiraswasta sebanyak 37,5 %. Pendidikan
mayoritas responden adalah SMA (71,9 %) dan penghasilan responden Rp 800.000,-
sebanyak 37,5 %.
Tabel 1 Distribusi frekuensi karakteristik responden (n=32)
Karakteristik Frekuensi Persentase
5.1.2. Pengetahuan Keluarga
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan mayoritas responden (90,6 %) memiliki
pengetahuan yang baik tentang perilaku kekerasan dan 9,4 % responden mempunyai
pengetahuan yang cukup. Sementara itu, tidak ada seorang pun responden yang
memiliki pengetahuan yang kurang tentang perilaku kekerasan
Tabel 2 Distribusi frekuensi pengetahuan keluarga tentang perilaku
kekerasan (n=32)
Pengetahuan Keluarga Frekuensi Persentase
Baik 29 90,6
Cukup 3 9,4
Total 32 100
5.1.3. Kesiapan Keluarga
Tabel 3 memperlihatkan sebagian besar responden (84,4 %) memiliki
kesiapan dalam kategori cukup. Sedangkan responden yang mempunyai kesiapan
baik sebanyak 15,6 %.
Tabel 3 Distribusi frekuensi kesiapan keluarga dalam merawat pasien
perilaku kekerasan (n=32)
Kesiapan Keluarga Frekuensi Persentase
Baik 5 15,6
Cukup 27 84,4
5.1.4. Hubungan tingkat pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan
dengan Kesiapan keluarga merawat pasien.
Tabel 4. Hasil uji Pearson terhadap Tingkat Pengetahuan Keluarga tentang
Perilaku Kekerasan terhadap Kesiapan Keluarga dalam Merawat pasien di ruang
rawat inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan (n= 32).
Variabel 1 Variabel 2 r p-value Keterangan
Tingkat
pengetahuan
Keluarga
Kesiapan
Keluarga
merawat
pasien
0,138 0,450 Hubungan positif dengan
interpretasi rendah
Dari tabel 4, dapat dilihat bahwa dalam penelitian ini, didapatkan nilai
koefisien korelasi Pearson Product Moment atau “r” sebesar 0.138 (p = 0,45). Kedua
variabel tersebut memiliki hubungan positif dengan interpretasi rendah. Kemudian
5.2. Pembahasan
5.2.1 Pengetahuan Keluarga tentang Perilaku Kekerasan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 90,6 % responden memiliki
pengetahuan yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa hampir seluruh responden sudah
mengetahui dan memahami tentang perilaku kekerasan yang ditunjukkan terhadap
anggota keluarga yang sedang sakit. Tingkat pengetahuan ini dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan. Pada penelitian ini sebanyak 71,9 % responden memiliki latar belakang
pendidikan SMA dan 21,9 % responden adalah lulusan dari perguruan ting gi.
Hal ini didukung oleh pendapat Notoadmojo ( 2003 ) yang mengatakan bahwa
salah satu faktor yang mempengaruhi pendidikan adalah pengetahuan. Pada
umumnya pendidikan itu akan mempertinggi taraf intelegensia individu tersebut.
Data ini juga didukung oleh hasil penelitian Ayub dan Wiguna ( 2004 )
dimana dalam penelitiannya dinyatakan bahwa salah satu hal yang paling penting
bagi keluarga adalah mencari pengetahuan sebanyak-banyaknya tentang perilaku
kekerasan sehingga keluarga memiliki keterampilan mengahadapi gejala perilaku
kekerasan. Dalam penelitiannya juga ditegaskan bahwa banyak haal yang dapat
meningkatkan terjadinya kekambuhan yang harus kelurga ketahui.
Tarjum ( 2004 ) menyatakan, bahwa keluarga harus mengubah persepsi
mereka yang berpendapat kalau perilaku kekerasan tidak bisa disembuhkan, padahal
perilaku kekerasan yang kronis sekalipun, apabila diberikan pengobatan yang ruitn
5.2.2. Kesiapan Keluarga
Dari hasil distribusi frekuensi dan persentase kesiapan keluarga dalam
merawat pasien perilaku kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan diperoleh
responden ( 15,6 % ) dengan kategori baik dan responden ( 84,4 % ) dengan kategori
kesiapan cukup. Hal ini menunjukkan bahwa responden sudah cukup siap untuk
merawat pasien dirumah.
Sarwono ( 2004 ) menyatakan bahwa penerimaan oleh keluarga pasien
haruslah menjadi yang utama didapatkan oleh penderita perilaku kekerasan. Data ini
turut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Irwanto ( 2004 ) dimana dalam
penelitiannya menemukan berbagai bentuk sikap keluarga dalam merespon kehadiran
penderita gangguan jiwa yang terjadi akibat adanya misperspsi sehingga berujung
pada tindakan yang tidak membantu kesembuhan gangguan jiwa. Ketidaktahuan ini
menyebabkan persepsi yang keliru, bahwa penyakit gangguan jiwa merupankan aib
bagi penderita maupun bagi keluarga, sehingga penderita harus disembunyikan atau
dikucilkan. Penderita yang seharusnya menerima dukungan, perhatian dan kasih
sayang keluarga dan orang-orang terdekatnya justru mendapatkan diskriminasi dan
perlakuan yang buruk dari keluarga sendiri. Hal ini jelas tidak mendukung proses
5.2.3 Hubungan pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan
kesiapan keluarga dalam merawat pasien.
Dalam penelitian ini dapat dilihat bahwa, koefisien korelasi Pearson Product
Moment atau “r” sebesar 0.138 (p = 0,45). Kedua variabel tersebut memiliki
hubungan rendah. Hasil analisa kemudian kedua variabel tersebut dapat dikatakan
tidak signifikan, dimana p>0.05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesa
penelitian (Ha) ditolak yaitu hubungan rendah antara tingkat pengetahuan keluarga
tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan keluarga dalam merawat pasien dirumah.
Karena banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi kesiapan keluarga dalam
merawat pasien yaitu struktur keluarga, sistem pendukung, sumber daya keluarga.
Struktur keluarga meliputi pola dan proses komunukasi yang memungkinkan
anggota keluarga untuk mengekspresikan marahnya, sedih, gembira, komunikasi
yang terbuka, komunikasi yang dapat menyelesaikan konflik keluarga, suasana emosi
yang hangat, saling percata, menghargai, memperhatikan dan mnerima. Pelaksanaan
peran yang dilakukan keluarga, nilai-nilai yang dimilki dan dianut keluarga yang
dipengaruhi oleh latar belakang budaya, norma sosial yang dianut oleh masyarakat
turut mempengaruhi kesiapan keluarga ( Suyasa, 1994 dalam Dep Kes RI, 1994 ).
Menerima kenyataan adalah kunci pertama proses penyembuhan atau
pengendalian perilaku kekerasan. Keluarga harus bersikap menerima, tetap
berkomunikasi dan tidak mengasingkan penderita. Tindakan kasar, berantakan atau
mengucilkan justru akan membuat penderita semakin depresi bahkan cenderung
Keluarga sebagai sebuah kelompok yang dapat menimbulkan, mencegah atau
memperbaiki masalah kesehatan yang dalam hal ini adalah gangguan jiwa yang ada
dalam kelompoknya sendiri, oleh karena itu keluarga merupakan sistem yang
terutama sebagai pendukung bagi klien setelah pulang dari rumah sakit jiwa. Maka
dukungan keluarga dan lingkungan menjadi faktor yang penting ( Suyasa, 1994
dalam Dep Kes RI, 1994 ).
Keluarga pasien diharapkan memberikan perhatian khusus kepada penderita.
Biasanya keluarga yang memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan mental
menyembungikannya sehingga tidak terlihat oleh tamu-tamu yang datang ke rumah
mereka. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena penderita akan merasa dikucilkan.
Yang harus dilakukan adalah menyapa penderita setiap hari dan memberikan
perhatian agar mereka tidak disingkirkan ( Chandra, 2004 ).
Kesedian keluarga untuk tetap merawat dan tetap mengakuinya sebagai
bagian dari orang yang disanyangi sangatlah diperlukan agar mereka tetap merasa
dihargai sebagai manusia layaknya. Dukungan keluarga dan teman merupakan salah
satu obat penyembuhan yang sangat berarti bagi penderita. Dengan dibentuknya
kelompok keluarga gangguan jiwa dimasyarakat akan memungkin pasien dan
keluarga mengadakan diskusi dan tukar pengalaman dalam mengatasi gejala yang
timbul pada pasien gangguan jiwa. Sayangnya masyarakat sendiri justru
mengasingkan keberadaan penderita gangguan jiwa sehingga hal ini turut
mempengaruhi sikap keluarga terhadap pasien bahkan gangguan jiwa dianggap
dibuang oleh keluarganya sendiri, akhirnya faktor lingkungan dalam keluarga justru
tidak mendukung kesembuhan pasien ( Sumarjo, 2004 ).
Sumber daya keluarga adalah faktor yang penting di kaji dari keluarga karena
pada umumnya kemampuan finansial keluarga pasien dengan gangguan jiwa tidak
memungkinkan untuk membiayai penyembuhan penyakit yang cenderung berjalan
kronis sehingga kejadian seperti ini memicu tindakan dan sikap keluarga terhadap
penolakan pasien gangguan jiwa ( Chandra, 2004 ).
Vijay ( 2005 ) juga mengatakan bahwa perawatan yang dibutuhkan penderita
gangguan jiwa menimbulkan dampak yang besar bagi keluarga, yaitu dampak
ekonomi yang ditimbulkan berupa hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah
bagi penderita maupun keluarga yang harus merawat serta tingginya biaya perawatan
yang harus ditanggung.
BAB 6
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan hasil penelitian data dan pembahasan dapat diambil kesimpulan
dan saran mengenai hubungan pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan
dengan kesiapan keluarga merawat pasien.
6.1. Kesimpulan
Mayoritas responden ( 90,6 % ) memiliki tingkat pengetahuan yang baik.
Sebagian responden ( 84,4 % ) memiliki kesiapan yang cukup untuk merawat pasien dirumah.
Tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan keluarga tentang perilaku kekerasan dengan kesiapan keluarga merawat pasien dirumah ( r =
0,138 ; p = 0,45 ; p > 0,05 ). Ada faktor - faktor lain yang mempengaruhi
kesiapan keluarga dalam merawat pasien antara lain : faktor ekonomi, proses
6.2. Rekomendasi
6.2.1. Untuk Praktek Keperawatan
Pada penelitian ini didapatkan keluarga memiliki pengetahuan yang baik
tentang perilaku kekerasan yang seharusnya memiliki kesiapan tinggi dalam merawat
pasien perilaku kekerasan untuk mengurangi tingkat kekambuhan pasien. Oleh karena
perawat mampu memberikan pendidikan kesehatan jiwa dan mampu melibatkan
peran serta keluarga dalam merawat pasien dirumah dan keluarga diharapkan dapat
melaksanakan lima tugas kesehatan keluarga.
6.2.2. Untuk penelitian selanjutnya.
Penelitian selanjutnya dipertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
kesiapan keluarga merawat pasien di rumah dan faktor lain yang dapat menyebabkan
DAFTAR PUSTAKA
Andri. (2008). Kongres Nasional Skizofrenia V Closing The Treatment Gap for
Schizophrenia. Dibuka pada
September 2009.
Arikunto, Suharsini. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi VI. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Ayub & Wigan. (2004). Dekatkan Pelayanan Kesehatan Jiwa ke Masyarakat. Dapat
dibuka pada
Budiharto, dkk. (2003). Karakteristik Individu yang Berhubungan dengan Perilaku Kekerasan pada Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di Jakarta Timur. Jurnal Keperawatan Indonesia. Vol VII No. 2
Burn & Grove (1993). The Practise of Nursing Research : Conduct, critique & utilization ( 2th ed). Philadelphia : W. B. Saunders.
Chandra, L.S. (2004). Schizophrenia Anonymous, A Better Future. Dapat dibuka pada
Dempsey & Dempsey. (2002). Riset Keperawatan dan Latihan. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Dep Kes RI. (1994). Kumpulan Materi Kesehatan Mental. Makalah tidak diterbitkan. Bogor.
Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Edisi 3). Jakarta: Balai Pustaka.
Effendy. (1998). Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. (Ed.2). Jakarta : EGC.
Friedman. (1998). Keperawatan Keluarga: Teori dan Praktek. (Ed.3.). Jakarta: EGC.
Ginting, P. (Ilmu dan Metode Riset. 2008). Filsafat Medan: USU Press.
Indirani, F. (2005). Mereka Bilang Aku Gila. Dapat dibuka pada
Keliat. (1996). Peran Serta Keluarga dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa. Jakarta : EGC.
Notoadmojo, S. (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta.
Notosoedirdjo & Latipun. (2005). Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan. Jakarta: EGC.
Nursalam & Pariani, S. (2001). Metodologi Riset Keperawatan: Pedoman Praktis Penyusunan. Surabaya.
Nash, J. F. (2005). Penerimaan Keluarga Skizofrenia. Dapat dibuka pada
Polit, D., F. & Hungler, B.P. (1995). Nursing Research: Principle and Methods. (5th ed). (Philadelphia: J.B Lippincoott Company.
Purba, J. M, dkk. (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan: Usu Press
Rivai. (1996). Ulasan Program Pertemuan & Penyuluhan Keluarga Klien dalam Konteks Asuhan Keperawatan di RSJP Bogor. Dapat dibuka pada
Sarwono. (2004). Pengaruh Opini Publik terhadap Teori, Diagnosa dan Terapi
Gangguan Jiwa. Dapat dibuka pada
20 Mei 2010.
Setiadi. (2008). Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Shochib, M. (1998). Pola Asuh Orang tua dalam Membentuk Anak Mengembangkan Disiplin Diri. Jakarta: Rineka Cipta.
Soemarjo. (2004). Pasien Penyakit Jiwa Butuh Kasih Sayang. Dapat dibuka pada
Stuart GW, Sundeen. (1995). Principles and Practice of Psykiatric Nursing. (5th ed). St. Louis Mosby Year Book
Tarjum. (2004). Sakit Jiwa Aib?. Dapat dibuka pada pada tanggal 9 September 2009.
Vijay. (2005). Cara Pencegahan dan Pencegahan Gangguan Jiwa. Dapat dibuka pada