• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konservasi Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack) ditinjau dari Aspek Kelembagaan Tata Niaga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konservasi Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack) ditinjau dari Aspek Kelembagaan Tata Niaga"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

i

KONSERVASI PASAK BUMI (

Eurycoma longifolia

Jack) DITINJAU

DARI ASPEK KELEMBAGAAN TATA NIAGA

SITI MASITOH KARTIKAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Konservasi Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack.) ditinjau dari Aspek Kelembagaan Tata Niaga adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

SITI MASITOH KARTIKAWATI. Konservasi Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack.) ditinjau dari Aspek Kelembagaan Tata Niaga. Dibimbing oleh ERVIZAL A.M ZUHUD, AGUS HIKMAT dan HARIADI KARTODIHARDJO.

Pasak bumi merupakan salah satu hasil hutan asli di Kalimantan Barat yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Kondisi populasi pasak bumi saat ini sudah dikategorikan sebagai tumbuhan langka dengan status terkikis (Rifai 1992). Pemenuhan pasak bumi selama ini masih bergantung pada hasil pemungutan dari hutan. Tujuan penelitian ini adalah : (1) mengkaji preferensi habitat pasak bumi dan melakukan estimasi stok pasak bumi yang bisa dipungut agar produktivitas pasak bumi tetap lestari, (2) mengkaji kondisi eksisting yang mempengaruhi perilaku para aktor dalam pengelolaan Hutan Lindung Gunung Ambawang-Pemancingan (HLGAP), (3) menganalisis isi peraturan yang terkait dengan hasil hutan bukan kayu (HHBK), (4) menganalisis kinerja kelembagaan tataniaga pasak bumi yang ada. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Kubu Raya dan Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan dengan observasi dan wawancara mendalam. Analisis data menggunakan kerangka analisis pengembangan institusi (institutional analysis and development framework) (Ostrom 2005).

Penelitian terdiri atas empat bagian yang mengkaji konservasi pasak bumi mulai dari kondisi preferensi habitat dan kondisi stok pasak bumi di hutan yang layak tebang dalam satuan kg/ha; karakteristik pengelolaan HLGAP; analisis kebijakan pemungutan hasil hutan bukan kayu; dan arena aksi kelembagaan tata niaga pasak bumi. Kerangka berpikir mengikuti kerangka Analisis Pengembangan Institusi (Institution Analysis Development, IAD) melalui penelusuran faktor eksogen (kondisi fisik/material, atribut komunitas dan aturan main yang berlaku (rules in use)), yang mempengaruhi situasi aksi dan aktor pada kegiatan tata niaga pasak bumi

Penelitian pertama bertujuan mengkaji preferensi habitat dan estimasi stok pasak bumi sehingga diharapkan bisa untuk menghitung stok pemanenan pasak bumi secara lestari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi stok akar yang dapat dipanen sebesar 0,33 kg/ha. Hal ini disebabkan komposisi struktur tinggi batang didominasi pada rentang 1-3 meter. Kondisi demikian menunjukkan bahwa di areal petak pengamatan lebih banyak ditemukan pada tingkat semai dan pancang, sehingga berpengaruh terhadap banyaknya stok pasak bumi yang baik untuk dipanen. Hasil analisis komponen utama keberadaan jumlah individu pasak bumi dicirikan oleh kelembaban udara. Hal tersebut sesuai dengan sifat pasak bumi yang toleran terhadap cahaya pada tingkat semai. Hal itu ditunjukkan dengan banyaknya dijumpai individu pasak bumi yang tumbuh di sekitar pohon induknya dan berasosiasi dengan pohon yang bertajuk lebar

(5)

pengelolaan HLGAP sebagai state property tidak ada aturan formal pada tingkat operasional sehingga penegakan hukum atas hak properti lemah. Kondisi ini menyebabkan HLGAP dalam kondisi open acces yang memicu munculnya perilaku free rider untuk tidak melakukan investasi terhadap kelestarian pasak bumi yang berakibat terjadinya kelangkaan. Situasi ini menggambarkan pemanfaatan HLGAP menimbulkan biaya ekslusi tinggi untuk penegakan hak dan kelestarian hutan.

Penelitian ketiga bertujuan untuk menganalisis isi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hasil hutan bukan kayu. Analisis dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan analisis substansi berdasarkan indikator yang telah ditetapkan, yaitu : pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pengelolaan hasil hutan bukan kayu, pelibatan masyarakat, dan wewenang pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan HHBK saat ini belum terkoordinasi dengan baik. Pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan HHBK belum bekerjasama secara sinergi dan belum memberikan hasil yang optimal untuk pengelolaan sumber daya hasil hutan bukan kayu. Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan satu di antara upaya mengatasi permasalahan kehutanan Indonesia. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilakukan pada tingkat provinsi, kabupaten/kotan serta pada unit pengelolaan.

Penelitian pada bagian keempat bertujuan untuk mengkaji kinerja tata niaga pasak bumi serta memahami karakteristik kelembagaan tata niaga dengan perilaku pemungut dan pedagang. Penelitian dilakukan dengan pendekatan ekonomi kelembagaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik alami pengusahaan pasak bumi, atribut komunitas masyarakat sekitar Gunung Ambawang dan kondisi fisik alam serta pengelolaan state property yang tidak efektif telah melahirkan interaksi saling ketergantungan komunitas tata niaga pasak bumi. Adanya pihak yang berada dalam posisi lebih baik dibanding pihak lain melahirkan bentuk kelembagaan tataniaga pasak bumi dengan sistem patron klien. Berdasarkan hasil analisis kinerja, tata niaga pasak bumi tidak efisien dimana margin share yang diperoleh tiap pelaku pemasaran tidak merata untuk tiap tingkat pemasaran di mana pengumpul memperoleh keuntungan yang paling kecil, namun memiliki nilai pengembalian investasi (return of investment) paling besar. Artinya, dari aspek kelestarian kondisi ini mengancam keberadaan pasak bumi di alam karena akan memacu pemungut untuk mengumpulkan pasak bumi sebanyak-banyaknya.

Berdasarkan serangkaian penelitian yang telah dilakukan menghasilkan implikasi kebijakan perlu adanya stimulus kerelaan pasak bumi sebagai aset yang bernilai ekonomis yang didukung dengan prasyarat teknis/inovasi, kelembagaan, kebijakan dan sumber daya manusia. Prasyarat teknis perlu upaya pengembangan budidaya; prasyarat kelembagaan mendorong perubahan kelembagaan dengan pembangunan KPH dan devolusi hutan desa; prasyarat kebijakan mendorong terciptanya regulasi pemerintah satu pintu yang mampu mengkoordinasikan berbagai lembaga terkait dengan pengelolaan HHBK; dan prasyarat sumberdaya manusia : peningkatan kapasitas masyarakt lokal dalam melakukan pengelolaan kawasan HLGAP.

(6)

SUMMARY

SITI MASITOH KARTIKAWATI. Conservation of Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack.) : a review on institutional aspect of trade system. Supervised by ERVIZAL A.M ZUHUD, AGUS HIKMAT and HARIADI KARTODIHARDJO.

Pasak bumi is one of the indigenous forest products in West Kalimantan that has economical value with the increasing market demand from year to year. Pasak bumi can be considered as a medicinal plant with all the part of the plant can be used (root, stem, root bark and leaves). Condition of pasak bumi's population is now classified as a rare plant with eroded status. The demand for the plants is still fulfilled by harvesting directly from the forest, instead from the cultivation one. The purpose of this study was, (1) to assess the habitat preferences of the pasak bumi and to estimate it stock so that it can be harvested in order to maintain sustainable productivity, (2) to assess situations that affect the behavior of the actors in the management HLGAP, (3) to analyze the content of regulatory policy related to NTFPs, (4) to analyze the performance of existing trading system of pasak bumi. The research was conducted in Kubu Raya District and the Municipality of Pontianak, West Kalimantan. The collection of primary and secondary data was done by observation and in-depth interviews. Analysis of the data was using the analytical framework of institutional development (institutional analysis and development framework) (Ostrom, 2005).

The study consisted of four sections that examined the conservation of pasak bumi started from habitat preference conditions and conditions of the pasak bumi's stock in the forest ready to be harvested in units of kg / ha; HLGAP management characteristics; policy analysis of non-timber forest product harvesting; and area of institutional action of pasak bumi's trade system. The analysis follows the framework analysis of Institutional Development (Institution Analysis Development, IAD) searches through exogenous factors (physical conditions / materials, community attributes and rules in use), which influenced the action's situation and actors in the marketing activities of the pasak bumi.

The first study was aimed to examine the habitat preferences and stock estimation of pasak bumi per hectare that could be expected to be able to calculate stock of pasak bumi for sustainable harvesting. The results showed that the potential stock of root that can be harvested relatively low that was equal to 0.33 kg / ha. This was due to the composition of structural height of stems predominantly in the range of 1-3 meters. These conditions indicated that in the area of observation, the plots are more common in seedlings and saplings phase, and therefore contributes to the amount of stock of pasak bumi ready to be harvested. A habitat preference of the pasak bumi was characterized by humidity. This is in accordance with the nature of the pasak bumi which is intolerant to light for seedlings. This was indicated by the number of individuals of the pasak bumi found growing around the mother tree which is associated with wide leaves.

(7)

showed that the management of HLGAP as state property doesn't have formal rules at the operational level so that HLGAP always in open access conditions. These conditions lead to the occurrence of behavior and weak law enforcement of property right which encourages free riders not to invest for the preservation of the pasak bumi and push the shortage. This situation illustrates the use of HLGAP caused high exclusion costs for enforcement of rights and the preservation of endangered forests.

The third study was aimed to analyze the content of regulatory policy related to NTFPs. Descriptive analyzes were performed using analysis of substances based on predefined indicators, namely: the use of non-timber forest products, management of non-timber forest products, community involvement, and government authority. The results showed that the management of NTFPs is currently not well coordinated. Parties related to the management of NTFPs do not currently work in synergy and not provide optimum results for resource management of non-timber forest products. The concept of Forest Management Unit (FMU)(KPH) is one of the efforts to solve the problems of Indonesian forestry. Establishment of forest management areas was done at the provincial, district as well as the management unit.

Research on the fourth section was aimed to assess the performance of the marketing of pasak bumi and understand the characteristics of the behavior of institutional trading system with collectors and traders' behavior. The study was conducted with institutional economic approach which views the behavior as part of the structure-conduct-performance (Structure-Conduct-Performance). The results showed that the natural characteristics of the pasak bumi's exploitation, attribute of communities around the Ambawang mountains and the natural physical conditions and the ineffective management of state property lead to the occurrence of interdependence interaction of trade system of pasak bumi's community. The existence of parties who are in a better position than the others, both in terms of economic or information's control shaped the pasak bumi's trading system into patron-client system. Based on the results of performance analysis, trading systems of pasak bumi are not efficient where the margin share taken by each marketing actors was uneven for each level marketing in which collector has the smallest gain, but has the greatest ROI. Meaning, from the sustainability aspect, this condition threatens the existence of the pasak bumi in forest because it will spur collectors to collect the pasak bumi as many as possible since the costs incurred by collectors is small, because the pasak bumi was harvested directly from the forest, not from cultivation one.

Based on the research that has been done gave policy implications in need for stimulus policy implications willingness to pasak bumi as economically valuable asset with the necessary innovation; institutional, policy, and human resources. Tecnhnical prerequisites necessary aquaculture development effort; institutional prerequisites with development of FMU(KPH) and devolution of forest village; prerequisitespolicy encourage the establishment of one-door government regulation that is able to coordinate the various agencies associated with the management of NTFPs; human resources prerequisitescapacity building local communities in managing HLGAP region.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

KONSERVASI PASAK BUMI (

Eurycoma longifolia

Jack) DITINJAU

DARI ASPEK KELEMBAGAAN TATA NIAGA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS

Guru besar dalam bidang Manajemen Kawasan Hutan Konservasi/Kepala Departemen

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB

Dr. Ir. Didik Widyatmoko, M.Sc

Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor-LIPI

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Bejo Santosa , MSi

Staf Ahli Bidang Revitalisasi Industri Kehutanan Kementerian Kehutanan

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F.Trop

(11)

Judul Tesis : Konservasi Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack) ditinjau dari Aspek Kelembagaan Tata Niaga

Nama : Siti Masitoh Kartikawati NIM : E361090021

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Ervizal A.M Zuhud, MS Ketua

Dr Ir Agus Hikmat, MScFTrop

Anggota

Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

Prof Dr Ir Ervizal A.M Zuhud, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 18 Juli 2014

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ialah konservasi pasak bumi, dengan judul Konservasi Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack) ditinjau dari Aspek Kelembagaan Tata Niaga.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Ervizal A.M Zuhud, MS, Dr Ir Agus Hikmat, MScFTrop dan Bapak Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS selaku pembimbing, yang telah banyak memberikan waktu, tenaga, arahan, dan bimbingan dalam penulisan disertasi ini. Penghargaan penulis sampaikan juga kepada seluruh dosen dan staf Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB. Selanjutnya terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menempuh pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS dan Dr Ir Didik Widyatmoko, MSc selaku dosen penguji dalam ujian tertutup; Dr Ir Bejo Santosa, MSi dan Dr Ir Rinekso Soekmadi, MScFTrop selaku dosen penguji pada ujian terbuka yang telah memberikan saran masukan bagi penyempurnaan tulisan ini.

Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada ibu tercinta atas segala doa, motivasi dan kasih sayang yang tiada henti serta almarhum Bapak yang selalu menjadi inspirasi, energi dan motivasi penulis dalam menjalani hidup. Karya ilmiah ini penulis persembahkan kepada bapak dan ibu tercinta Drs H. Abdul Rasyid Mukhtar (alm) dan Dra Hj Siti Badarul Chajati. Terimakasih penulis ucapkan juga kepada suami tercinta Harry Herwindo SP atas ridhanya yang memprioritaskan penulis untuk tetap fokus kuliah dan merawat alm. Bapak ketika masih sakit hingga akhir hayat beliau. Serta seluruh keluarga, terutama kakak tertua penulis Dr Ir Siti Badriyah Rushayati, MSi dan Ir Dusanto Kristihono, MSi yang selama ini banyak mendorong, memotivasi dan mendampingi penulis, serta kakak-kakak dan adik atas doa, motivasi dan perhatiannya selama ini yang luar biasa tanpa henti terus mengiringi. Semoga kita bisa terus beriringan saling memotivasi maju bersama sesuai amanah alm. bapak dan ibu. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada kakakku Iis Siti Aisyah, ST MT Phd dan Dr Eva Achmad,Shut MSc yang membantu dalam terjemahan bahasa Inggris; Dr Ir Wiwik Ekyastuti, MSi yang menemani penelusuran tata niaga pasak bumi ke Malaysia; Dr Erwidodo, MSc sebagai salah satu reviewer jurnal yang banyak memberi masukan dan penyempurnaan dalam salah satu bab disertasi yang penulis publikasikan pada Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan; Ir Suyamto; Heriyanto SHut; Riyo Suseno dan Wahyu Erwanto, yang telah memberikan bantuan dan dukungan dilapangan selama proses penelitian. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitain 6

Kebaruan 7

Kerangka Pikir 11

2 TINJAUAN KARAKTERISTIK PASAK BUMI

(Eurycoma longifolia Jack) 15

Bioekologi Pasak Bumi. 15

Biologi Reproduksi Pasak Bumi 18

Manfaat Pasak Bumi Secara Tradsional 19

Kandungan Kimia Pasak Bumi 20

Kajian Farmakologis Pasak Bumi 20

Pasokan dan Permintaan Pasak Bumi Sebagai Bahan Baku Tumbuhan

Obat 25

Upaya Konservasi Pasak Bumi 29

3 PREFERENSI HABITAT DAN ESTIMASI STOK PASAK BUMI 31

Latar Belakang 31

Metode 32

Hasil dan Pembahasan 36

Simpulan 47

4 KARAKTERISTIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN

LINDUNG GUNUNG AMBAWANG-PEMANCINGAN 48

Latar Belakang 48

Metode 52

Hasil dan Pembahasan 53

Simpulan 61

5 ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN HASIL HUTAN

BUKAN KAYU 62

Latar Belakang 62

Metode 63

Hasil dan Pembahasan 63

(14)

6 ARENA AKSI KELEMBAGAAN TATA NIAGA PASAK BUMI 71

Latar Belakang 71

Metode 73

Hasil dan Pembahasan 74

Simpulan 82

7 PEMBAHASAN UMUM 83

Pengaturan Produksi 83

Akses Masyarakat Terhadap Sumber Daya Pasak Bumi 84

Regulasi Pengelolaan Pasak Bumi 86

Pola Interaksi Kelembagaan Tata Niaga Pasak Bumi 89 Pembangunan KPH dan Devolusi Pengenlolaan Kawasan HLGAP 91

8 SIMPULAN DAN IMPLIKASI 95

DAFTAR PUSTAKA 97

LAMPIRAN 105

(15)

DAFTAR TABEL

1 Volume serapan pasak bumi pada industri obat tradisional 26 2 Volume simplisia pasak bumi pada industri obat tradisional 26

3 Harga pasak bumi pada pasar e-commerce 28

4 Harga ekspor pasak bumi pada pasar e-commerce UD Sumatera Pasak Bumi (http://www.tongkatali.org/order-retail-tongkatali.htm) 28 5 Tujuan penelitian, variabel yang akan dikur, pengumpulan data dan

teknik analisis 33

6 Rataan kondisi iklim mikro habitat pasak bumi pada strata ketinggian

dan waktu pengamatan pagi, siang, sore 37

7 Kondisi iklim mikro rataan harian habitat pasak bumi pada lokasi

penelitian yang berbeda 37

8 Asosiasi pasak bumi pada lokasi penelitian yang berbeda 39

9 Sifat kimia tanah di HLGAP 39

10 Pedoman pengharkatan hasil analisa tanah 40

11 Sifat fisik tanah di HLGAP 40

12 Pola sebaran pasak bumi di kawasan HLGAP 44

13 Tipe rezim hak pemilikan dengan pemilik, hak pemilik dan kewajiban

pemilik 51

14 Hak-hak yang terikat berdasar posisi kelompok masyarakat 51

15 Tujuan penelitian dan variabel yang diukur 49

16 Tutupan lahan di kawasan HLGAP dii dalam wilayah kecamatan Teluk

Pakedai dan Kecamatan Kubu 55

17 Teknik pengumpulan data menurut tujuan penelitian 74 18 Hak dan kewajiban para pelaku dalam pola patron klien 75 19 Sebaran margin tata niaga pada setiap tingkatan lembaga tata niaga

pasak bumi 79

20 Rekapitulasi margin tata niaga pada setiap tingkatan lembaga tata niaga

(16)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka analisis konservasi pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) ditinjau dari kelembagaan tata niaga (Modifikasi dari Ostrom 2005) 12

2 Profil pasak bumi 15

3 Akar pasak bumi 15

4 Simplisia pasak bumi dalam bentuk potongan dan cacah 27 5 Cawan dari akar pasak bumi dan jamu ramuan pasak bumi 27

6 akar pasak bumi 27

7 Distribusi populasi pasak bumi berdasar ketinggian tempat 36 8 Analisis komponen utama jumlah individu pasak bumi dan parameter

habitat pasak bumi. 38

9 Populasi pasak bumi yang ditemukan sepanjang jalur penelitian 41 10 Struktur kelas pertumbuhan populasi pasak bumi 42

11 Struktur kelas diameter populasi pasak bumi 43

12 Struktur kelas tinggi populasi pasak bumi 43

13 Sebaran pasak bumi secara berkelompok dan tumbuh dekat dengan

induknya 45

14 Grafik persamaan eksponensial pendugaan berat akar pasak bumi

dengan variabel bebas tinggi batang 45

15 Peta lokasi 53

16 Proses mencabut akar pasak bumi dengan menggunakan prinsip tuas 56 17 Perilaku dan hubungan ketergantungan dalam kelembagaan patron klien

tata niaga pasak bumi 76

18 Pola tata niaga pasak bumi pada kelembagaan patron klien 77 19 Pola tata niaga pasak bumi pada kelembagaan tidak terikat modal 77

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta lokasi penelitian 105

2 Identifikasi Peraturan perundang-undangan terkait dengan

pemanfaatan HHBK 106

3 Identifikasi Peraturan perundang-undangan terkait dengan

pengelolaan HHBK 110

4 Identifikasi Peraturan perundang-undangan terkait dengan pelibatan

masyarakat dalam pengelolaan HHBK 114

5 Identifikasi Peraturan perundang-undangan terkait dengan

(17)

DAFTAR SINGKATAN

HLGAP = Hutan Lindung Gunung Ambawang-Pemancingan HHBK = Hasil Hutan Bukan Kayu

CPR = common pool resources KPH = Kesatuan Pengelolaan Hutan

KPHP = Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi KPHL = Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung KPHK = Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi ROI = Return on Investment

PCA = Principal Component Analysis BPOM = Badan Pengawas Obat dan Makanan

CITES = Convention on International trade in Endangered Species IOT = Industri Obat Tradisional

(18)
(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Istilah konservasi atau conservation dapat diartikan sebagai suatu usaha pengelolaan yang dilakukan oleh manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam sehingga dapat menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya secara berkelanjutan untuk generasi manusia saat ini, serta tetap memelihara potensinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi generasi generasi yang akan datang. Berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, pengertian konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi merupakan manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang (World Conservation Strategy 1980). Berdasarkan pengertian tersebut, konservasi mencakup berbagai aspek positif, yaitu perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan secara berkelanjutan, restorasi, dan penguatan lingkungan alam. Tujuan utama konservasi menurut World Conservation Strategy ada tiga, yaitu: (a) memelihara proses ekologi yang esensial dan sistem pendukung kehidupan, (b) mempertahankan keanekaan genetis , dan (c) menjamin pemanfaatan jenis (spesies) dan ekosistem secara berkelanjutan.

Pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack.) merupakan salah satu sumber daya alam hayati berupa hasil hutan bukan kayu. Pasak bumi adalah salah satu jenis tumbuhan obat yang banyak ditemukan di hutan-hutan Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Birma (Siregar et al. 2003; Minosky 2004). Menurut Heyne (1987), tumbuhan pasak bumi banyak ditemukan di bagian barat kepulauan Nusantara kecuali Pulau Jawa. Tumbuhan ini berupa terna dengan ketinggian mencapai 10 m yang merupakan anggota Simarubaceae (Rifai 1975). Pasak bumi di Malaysia dikenal dengan sebutan tongkat ali, bedara merah, atau bedara putih, sedangkan di Thailand dikenal dengan nama plaa-lai-pueak, hae pan chan, plaalai phuenk atau phiak. Pasak bumi di Indonesia mempunyai beragam nama daerah, antara lain pasak bumi (Kalimantan), widara putih (Jawa), bidara laut, mempoleh (Bangka), penawar pahit (Melayu), dan beseng (Sumatra) (Padua et al. 1999).

(20)

2

dan yang paling dikenal adalah sebagai afrodisiak (Nainggolan & Simanjutak 2005). Secara tradisional pemakaian pasak bumi sebagai obat afrodisiak sudah dilakukan turun temurun oleh masyarakat di Indonesia. Menurut Sangat et al. (2000), ada sekitar 7 etnis yang biasa menggunakan pasak bumi untuk pengobatan, yaitu etnis suku Talang Mamak (Riau), suku Melayu (Riau), suku Anak Dalam (Jambi), suku Sakai (Riau), suku Daya Ngaju (Kalimantan Tengah), suku Dayak Tanjung (Kalimantan Timur), suku Kutai (Kalimantan Timur) dan suku Punan Lisum. Pemanfaatan pasak bumi oleh suku Dayak Meratus secara eksklusivitas merupakan jenis tumbuhan obat yang paling disukai karena adanya khasiat dan keyakinan bahwa akar pasak bumi merupakan obat kuat, khususnya sebagai obat pembangkit nafsu sex (Kartikawati 2003). Pasak bumi digunakan juga untuk mengobati demam dan tapal untuk sakit kepala, luka, borok, bisul, ketombe dan sipilis (Padua et al. 1999).

Beberapa kajian farmakologis sudah banyak dilakukan sebelumnya. Pasak bumi terkenal sebagai salah satu tumbuhan obat afrodisiak karena mengandung metabolit sekunder berupa bahan bioaktif yang dapat berfungsi untuk mengatasi disfungsi seksual atau untuk meningkatkan libido (Ang et al. 2003, 2004; Nainggolan & Simanjutak 2005; Asiah 2007; Rahardjo 2010; Pratomo 2012). Pasak bumi juga terbukti memiliki senyawa anti kanker. Ekstrak metanol, n-butanol, kloroform, dan air dari akar pasak bumi sudah diuji efek sitotoksisitasnya dengan MTT menggunakan sel KB, DU-145, RD, MCF-7, CaOV-3, dan MDBK. Semua ekstrak kecuali ekstrak air mempunyai efek sitotoksik terhadap semua sel kanker (Nurhanan et al. 2005). Hal ini diperkuat dengan hasil kajian zat bioaktif F16 yang diekstraks dari akar pasak bumi dapat menghambat proliferasi MCF-7 sel kanker payudara manusia dengan menginduksi apoptosis (Tee et al. 2007). Penelitian senyawa anti kanker pada pasak bumi juga dilaporkan oleh Nurani (2011), ekstrak etanol akar pasak bumi dapat berperan sebagai kemopreventif sel kanker payudara melalui mekanisme pemacuan apoptosis dan penghambatan proliferasi. Pasak bumi juga sebagai sumber potensial senyawa antibakteri. Ekstrak alkohol dan aseton dari daun dan batang pasak bumi mengandung agen antibakteri (Farouk & Benafri 2007). Selain beberapa penelitian ekstrak akar pasak bumi juga menunjukkan aktivitas antimalaria. Ekstrak pasak bumi terbukti mampu pula untuk pengobatan osteoporosis laki-laki (Effendi et al. 2012), sitotoksik (Kuo et al. 2003, 2004), anti leukemia, antimalaria, dan disentri (Chan et al. 2005).

Manfaat yang beragam tersebut menyebabkan permintaan pasak bumi sebagai bahan baku obat tinggi, sehingga mendorong eksploitasi di hutan alam. Kondisi populasi pasak bumi saat ini sudah dikategorikan sebagai tumbuhan langka dengan status terkikis (Rifai 1992). Namun, selama ini kebutuhan pasak bumi hanya mengandalkan dari pemungutan pasak bumi liar dari hutan dengan cara mencabut akarnya. Pemanenan dengan cara destruktif seperti mencabut pada bagian akar merupakan faktor penting yang harus diperhatikan untuk kelestarian tumbuhan (Kala et al. 2004; Farooquee et al. 2004; Ghimire et al. 2005).

(21)

3 bumi (Eurycoma longifolia Jack) di kelompok hutan Sungai Manna-Sungai Nasal, Bengkulu (Heriyanto et al. 2006); studi habitat dan sebaran pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) di hutan Pikul Desa Sahan Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang (Lesmana 2005); kajian ekologis pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) di areal HPH PT. Siak Raya Timber Riau (Julisasi 1992); studi potensi tumbullan obat akar Kuning (Arcangelisia flava (L.) Merr), pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack), seluang belum (Luvunga eleutherandra Dalz) dan gingseng kalimantan (Psycotria valetonii Hochr) di Areal Kerja HPN PT. Manimbun Djaja (Djajanti Group) Kalimantan Tengah (Nuryamin 2000); Studi potensi pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) dan kemungkinan pemanfaatannya di areal kerja HPH PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat (Supriyadi 1998); data botani tumbuhan pasak bumi (Rifai 1975). Publikasi penelitian tentang pasak bumi banyak meneliti tentang aspek kandungan bioaktif pasak bumi

Kelembagaan tata niaga yang ada saat ini belum efektif untuk mengontrol produksi pasak bumi. Pasak bumi sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu yang bernilai ekonomis dan langka saat ini masih belum mendapat perhatian dari pemerintah, baik untuk status konservasi maupun regulasi perdagangannya. Malaysia merupakan salah satu negara yang banyak mengimpor pasak bumi dari Indonesia karena pada tahun 2001 Malaysia menetapkan status pasak bumi sebagai tumbuhan yang dilindungi (Lee et al. 2001). Malaysia banyak menghasilkan diversifikasi produk pasak bumi sebagai suplemen makanan yang diekspor ke berbagai negara sebagai salah satu produk unggulan Malaysia dan sudah dipatenkan di Amerika Serikat dengan nama tongkat ali (Rahardjo 2010). Kajian mengenai status konservasi pasak bumi ditinjau dari aspek kelembagaan ekonomi belum pernah dilakukan. Oleh karena itu fokus kajian ini adalah bagaimana kondisi ekologi dapat digunakan untuk menentukan potensi pasak bumi dalam satuan kg/ha sehingga dapat menjadi dasar pertimbangan jumlah pasak bumi yang bisa dipanen perhektar dan kebijakan pemerintah yang mendorong kelembagaan tata niaga pasak bumi yang adil dan keberlanjutan.

Perumusan Masalah

Pasak bumi merupakan salah satu hasil hutan asli di Kalimantan yang mempunyai nilai ekonomis dengan tingkat permintaan pasar yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Namun demikian data pasokan dan serapan pasak bumi tidak terdokumentasikan secara baik. Berdasarkan penelitian Kemala et al. (2003), serapan pasak bumi untuk Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat rata-rata untuk simplisia sebesar 2.154 kg/tahun dan untuk terna sebesar 15.078 kg/tahun. Sedangkan serapan untuk Industri Obat Tradisional (IOT) di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat rata-rata untuk simplisia sebesar 34 ton/tahun dan untuk terna sebesar 241 ton/tahun.

(22)

4

secara ekonomi, kepentingan kelestarian pasak bumi, dan kepentingan masyarakat sekitar dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka merupakan masalah yang harus segera dicarikan jalan keluarnya, sebelum keberadaan pasak bumi yang statusnya langka tersebut terlanjur punah. Menjadi penting saat ini untuk dapat menentukan kebijakan dalam pengelolaan kelestarian pasak bumi baik secara ekologi maupun kelestarian secara ekonomi sehingga tujuan konservasi pasak bumi dapat tercapai mengingat adanya masalah ekologi, ekonomi dan sosial dalam pemanfaatannya.

Permasalahan dari aspek sosial ekonomi, berdasar hasil penelitian Purwandari (2001), harga pasak bumi pada tahun 1999 di pasar dalam negeri sebesar Rp. 1.650/kg. Berdasarkan data perusahaan UD Sumatera Pasak Bumi yang merupakan eksportir pasak bumi berkedudukan di Deli Serdang, harga ekspor produk berupa cacahan akar (chipped root) pada tahun 2013 mencapai 249.16 USD/kg. Sedangkan produk berupa ekstrak 1 : 200 harganya 3242.85 USD/kg dan ekstrak 1 : 50 harganya 1625 USD/kg. Harga tersebut meningkat dibandingkan pada tahun 2012, yaitu untuk ekstrak 1:50 sebesar 375 USD/kg dan untuk ekstrak 1:200 sebesar 900 USD/kg (www.tongkatali.org 2013).

Permasalahan pada sisi ekologi adalah kelangkaan pasak bumi terjadi karena beberapa faktor, yaitu faktor biologi reproduksi, tipe benih, gangguan habita pasak bumi serta pemanfaatan pada bagian akar. Secara biologi reproduksi pasak bumi terdiri dari 2 tipe tumbuhan yaitu dioceous dan monoceous. Jenis dioceous tergolong unik karena terdiri dari pohon jantan dan pohon betina. Pohon jantan dapat menghasilkan buah namun gugur pada saat muda. Selain itu memiliki bunga yang dapat tumbuh namun putiknya steril, sedangkan pohon betina mampu menghasilkan benih dan memiliki benang sari namun steril. Oleh karena itu proses penyerbukannya kemungkinan dibantu oleh serangga dan penyerbukan silang (Padua 1999). Menurut Hussein et al. (2005), selama ini perbanyakan pasak bumi hanya mengandalkan biji dari alam. Padahal sebagai tumbuhan yang memiliki tipe benih rekalsitran, presentase kecambahnya cenderung rendah dan memerlukan waktu yang cukup lama akibat embrio zigotik yang belum matang pada saat pemencaran. Benih dengan pertumbuhan embrio yang belum berkembang saat penyebaran tidak akan dapat berkecambah pada kondisi perkecambahan normal dan karenanya tergolong kategori dorman. Copeland dan McDonald (1995) mengemukakan bahwa benih rekalsitran mempunyai masa hidup yang singkat dan sukar untuk disimpan karena kadar airnya yang tinggi menyebabkan benih mudah terkontaminasi mikroba dan lebih cepat mengalami kemunduran bahkan kematian.

(23)

5 Selain kondisi lingkungan dan ekologi, kelangkaan dapat juga terjadi karena adanya ketidak jelasan hak kepemilikan (property right) (Deacon 1999; Mendelsohn 1994; Barbier & Burgess 2001; Ferreira 2004). Karakteristik pasak bumi sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu yang terdapat pada HLGAP merupakan sumberdaya bersama (common pool resources)1 yang dikuasai oleh negara. Pemungutan pasak bumi di kawasan HLGAP yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat sekitar kawasan untuk di jual di duga merupakan salah satu faktor yang ikut mendorong terjadinya kelangkaan pasak bumi. Menurut Tjitradjaja (2008), pada sumber daya milik bersama yang bebas akses melekat situasi ketiadaan jaminan kepastian. Ferreira (2004) menyatakan bahwa bahwa batasan yang tidak lengkap tentang hak atas properti (property right) berdampak buruk terhadap hutan yang berkontribusi pada deforestasi. Ketika hutan dalam kondisi open access, para pihak atau free rider 2 bertindak tanpa mempertimbangkan eksternalitas negatif yang ditanggung oleh pihak lain atas aktivitasnya, dan tindakan ini akan menyebabkan ekstraksi atas sumber daya melebihi kapasitas optimalnya. Kepemilikan atas sesuatu menjadi penting manakala sesuatu tersebut bersifat langka. Kepastian kepemilikan atas sesuatu yang langka sangat penting untuk dapat berlangsungnya proses transaksi dalam ekonomi pasar, sehingga semakin tinggi kepastian tersebut, biaya transaksinya semakin rendah.

Zuhud (2007) menyatakan bahwa perilaku konservasi berkaitan erat dengan stimulus-sikap. Prasyarat terwujudnya konservasi di kehidupan dunia nyata adalah terciptanya sikap masyarakat dan sikap pengelola yang didorong kuat oleh tri-stimulus amar konservasi, yaitu stimulus alamiah (stimulus yang berkaitan dengan kelangkaan, karakteristik populasi dan regenerasi, fungsi ekologis), stimulus manfaat

(nilai ekonomi dan manfaat sebagai tumbuhan obat) dan stimulus religius (nilai-nilai spritual, etika, budaya yang mendorong terjadinya kerelaan berkorban untuk konservasi). Fenomena permintaan pasak bumi yang tinggi tetapi tidak mendorong kegiatan aksi budidaya oleh masyarakat sehingga yang terjadi pasak bumi semakin langka. Kondisi ini juga tidak membuat harga jual pasak bumi menjadi tinggi di pasar dalam negeri. Situasi ini merupakan kondisi terjadinya kegagalan pasar dimana mekanisme pasar tidak mampu mengendalikan permintaan untuk menyeimbangkannya dengan penawaran yang terbatas. Harga tidak dapat dijadikan instrumen pembatas sehingga pasar mengalami kegagalan. Kegagalan pasar ini di duga karena pelakunya tidak memiliki perilaku dan kapasitas seperti yang diharapkan oleh pemerintah (Kartodihardjo 1998). Perilaku free rider yang melakukan pemungutan pasak bumi di kawasan HLGAP tanpa

1

Common pool resources (sumberdaya milik bersama) merupakan istilah yang cukup populer dalam membahas hak-hak penguasaan atas sumberdaya. Istilah ini merujuk kepada suatu sumberdaya alam, sumberdaya buatan atau fasilitas yang bernilai yang tersedia bagi lebih dari satu orang dan merupakan subjek yang cenderung terdegredasi sebagai akibat kecenderungan

overuse (Ostrom, 1990). Ostrom (1990) menjelaskan dua karakteristik utama CPRs, yaitu: (1) memiliki sifat substractibility atau rivalness didalam pemanfaatannya, dalam arti setiap konsumsi seseorang atau pemanenan atas sumber daya pasak bumi akan mengurangi kemampuan atau jatah orang lain didalam memanfaatkan sumber daya pasak bumi tersebut; (2) adanya biaya (cost) yang harus dikeluarkan untuk membatasi akses pada sumber daya pasak bumi untuk pihak-pihak lain yang menjadi pemanfaat (beneficiaries).

2Free rider adalah mereka yang ikut menikmati barang publik tanpa mengeluarkan kontribusi

(24)

6

mempertimbangkan eksternalitas negatif yang ditanggung oleh pihak lain atas aktivitasnya merupakan wujud tidak terjadi stimulus religi berupa kerelaan berkorban untuk aksi konservasi pasak bumi. Perilaku free riders tidak memperlakukan pasak bumi sebagai aset dengan melindungi dan melestarikan karena hal tersebut dianggap sebagai penghambat untuk memaksimalkan keuntungannya.

Berdasarkan berbagai potensi dan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana preferensi habitat pasak bumi dan melakukan estimasi stok pasak

bumi di hutan alam perhektar

2. Bagaimana kondisi eksisting yang mempengaruhi perilaku para aktor dalam pengelolaan HLGAP,

3. Bagaimana isi peraturan yang terkait dengan hasil hutan bukan kayu (HHBK),

4. Bagaimana kinerja kelembagaan tata niaga pasak bumi yang ada

Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis status ekologi dan perdagangan pasak bumi yang berkelanjutan. Tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Mengkaji preferensi habitat pasak bumi dan melakukan estimasi stok pasak bumi di hutan alam perhektar

2. Mengkaji kondisi eksisting yang mempengaruhi perilaku para aktor dalam pengelolaan Hutan Lindung Gunung Ambawang-Pemancingan (HLGAP), 3. Menganalisis isi peraturan yang terkait dengan hasil hutan bukan kayu

(HHBK),

4. Menganalisis kinerja kelembagaan tata niaga pasak bumi yang ada

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang diharapkan adalah sebagai berikut :

1. Manfaat hasil penelitian ini terhadap ilmu pengetahuan adalah memberikan kajian baru mengenai kelembagaan tata niaga hasil hutan bukan kayu khususnya pasak bumi yang mempunyai nilai ekonomi tinggi namun keberadaannya di alam mulai langka.

(25)

7 Kebaruan (Novelty)

Nilai kebaruan dilihat dari tiga hal yaitu fokus, ilmiah dan terdepan di bidangnya (Ekawati 2011). Pertama, fokus penelitian ini mengenai konservasi pasak bumi. Kedua, berdasarkan review hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan berbagai jurnal penelitian belum ada penelitian mengenai konservasi pasak bumi yang dianalisis terintegrasi dari dari aspek ekologi, kebijakan dan kelembagaan tata niaga. Ketiga, proses penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah dengan mengikuti kerangka analisis pengembangan institusi atau institutional analysis and development framework (IAD) (Ostrom 2005).

Review hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lain dilakukan untuk mengkaji nilai kebaruan dari penelitian ini dengan melihat pada aspek kajian manfaat pasak bumi, ekologi pasak bumi dan kelembagaan tata niaga adalah :

a. Kajian etnobotani pasak bumi berdasarkan etnis

Sangat et al. (2000) dan Kartikawati (2004) meneliti pemanfaatan pasak bumi berdasar etnis di Indonesia. Sangat et al. (2000) menyatakan ada sekitar 7 etnis yang biasa menggunakan pasak bumi untuk pengobatan, yaitu etnis suku Talang Mamak (Riau), suku Melayu (Riau), suku Anak Dalam (Jambi), suku Sakai (Riau), suku Daya Ngaju (Kalimantan Tengah), suku Dayak Tanjung (Kalimantan Timur), suku Kutai (Kalimantan Timur) dan suku Punan Lisum. Pasak bumi juga dimanfaatkan oleh suku Dayak Meratus (Kalimantan Selatan) (Kartikawati 2004).

b. Kajian etnobotani pasak bumi berdasarkan jenis penyakit

Kartikawati (2004) melakukan penelitian untuk menyelesaikan tesis pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) IPB dengan judul Pemanfaatan Sumberdaya Tumbuhan Oleh Masyarakat Dayak Meratus di Kawasan Hutan Pegunungan Meratus. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemanfaatan pasak bumi oleh Dayak Meratus secara eksklusivitas merupakan jenis tumbuhan obat yang paling disukai karena adanya khasiat dan keyakinan bahwa akar pasak bumi merupakan obat kuat, khususnya sebagai obat pembangkit nafsu sex. Padua et al. (1999) melalui lembaga Plant Resources of Southeast Asia (PROSEA) melakukan inventarisasi dan dokumentasi semua sumberdaya nabati termasuk salah satunya pasak bumi. Dari hasil inventarisasi pemanfaatan pasak bumi digunakan untuk mengobati demam, tapal untuk sakit kepala, luka, borok, bisul, ketombe dan sipilis. c. Kajian farmakologis pasak bumi sebagai afrodisiak (meningkatkan seksual)

1. Ang et al. (2003), melakukan penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Phytomedicine dengan judul Effects of Eurycoma longifolia Jack on sexual qualities in middle aged male rats.

2. Ang et al. (2004), melakukan penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Basic Clin Physiol Pharmacol dengan judul Sexual arousal in sexually sluggish old male rats after oral administration of Eurycoma longifolia Jack.

(26)

8

Pengaruh ekstrak etanol akar pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) terhadap perilaku seksual mencit putih.

4. Asiah et al. (2007), melakukan penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Tropical Forest Science.dengan judul Determination of bioactive peptide (4.3kDa) as an aphrodisiac marker in six Malaysia plants.

5. Pratomo (2012), melakukan penelitian untuk menyelesaikan disertasi pada program studi Biologi Reproduksi, Sekolah Pascasarjana IPB dengan judul Kinerja pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) dalam peningkatan kualitas reproduksi tikus (Rattus norvegicus) jantan.

d. Kajian farmakologis pasak bumi memiliki senyawa anti kanker

1. Tee et al. (2007), melakukan penelitian yang berjudul A fraction from Eurycoma longifolia jack extract, induces apoptosis via a caspase-9-independent manner in MCF-7 cells, dipublikasikan di jurnal Anticancer Res.

2. Nurani (2011), melakukan penelitian untuk menyelesaikan disertasi di Universitas Gadjah Mada dengan judul Anti kanker senyawa aktif akar pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) kajian in vitro pada sel T47D dan in vivo pada kanker payudara pada tikus SD yang diinduksi DMBA. 3. Salamah et al. (2010), melakukan penelitian dengan judul Efek

antiangiogenik ekstrak metanol akar pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) pada membran korio alantois (CAM) embrio ayam yang terinduksi bFGf yang dipublikasikan di Majalah Obat Tradisional.

e. Kajian farmakologis pasak bumi memiliki senyawa anti bakteri

1. Farouk dan Benafri (2007), melakukan penelitian dengan judul Antibacterial activity of Eurycoma longifolia Jack. A Malaysian medicinal plant yang dipublikasikan dalam jurnal Saudi Med J.

2. Ridzuan et al. (2005), melakukan penelitian dengan judul effect of Eurycoma longifolia extract on the Glutathione level in Plasmodium falciparum infected erythrocytes in vitro yang dipublikasikan dalam jurnal Tropical Biomedicine.

f. Kajian farmakologis pasak bumi memiliki senyawa anti malaria dan anti leukemia

1. Ridzuan et al. (2007), melakukan penelitian dengan judul Eurycoma longifolia extract-artemisinin combination: parasetemia suppression of Plasmodium yoelii-infected mice yang dipublikasikan dalam jurnal Tropical Biomedicine.

2. Al-Salahi et al. (2013), melakukan penelitian yang berjudul in vitro anti-proliferatif and apoptotic activities of Eurycoma longifolia Jack (Simaroubaceae) on HL-60 cell line, yang dipublikasikan dalam Tropical Journal Pharmaceutical Research.

3. Yusuf et al. (2013), melakukan penelitian yang berjudul A new quassinoid of four isolated compounds from extract Eurycoma longifolia Jack, roots and their in-vitro antimarial activity yang dipublikasikan dalam

(27)

9 g. Kajian farmakologis pasak bumi memiliki senyawa anti osteoporosis

Effendi et al. (2012), melakukan review artikel yang berjudul Eurycoma longifolia : medicinal plant in the prevention and treatment of male osteoporosis due to androgen deficiency yang dipublikasikan dalam Hindawi Publishing Corporation : Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine.

h. Kajian farmakologis pasak bumi untuk fertilitas

1. Siburian dan Marlinza (2009), melakukan penelitian dengan judul Efek pemberian ekstrak akar pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) pada tahap prakopulasi terhadap fertilitas mencit (Mus musculus L) betina, yang dipublikasikan dalam jurnal Biospecies.

2. Abdulghani et al. (2012), melakukan penelitian dengan judul the ameliorative effects of Eurycoma longifolia Jack om testosteron-induced reproductive disorders in female rats, yang dipublikasikan dalam jurnal Reproductive Biology.

i. Kajian farmakologis pasak bumi memiliki senyawa anti inflamasi

Van Anh TT et al. (2014), melakukan penelitian yang berjudul NF-kB inhibitor from Eurycoma longifolia, yang dipublikasikan dalam Journal of Natural Products.

j. Penelitian yang terkait dengan kondisi ekologi pasak bumi sebagai berikut : 1. Ginting (2010), melakukan penelitian untuk menyelesaikan tesis pada

Program Studi Magister Ilmu Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara dengan judul Kajian Ekologi Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack) dan Pemanfaatan Oleh Masyarakat di Sekitar Hutan Bukit Lawang.

2. Nuryamin (2000), melakukan penelitian untuk menyelesaikan skripsi pada Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dengan judul Studi potensi tumbuhan obat akar kuning (Arcangelisia flava (L.) Merr), pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack), seluang belum (Luvunga eleutherandra Dalz) dan gingseng kalimantan (Psycotria valetonii Hochr) di Areal Kerja HPN PT. Manimbun Djaja (Djajanti Group) Kalimantan Tengah.

3. Julisasi (1992), melakukan penelitian untuk menyelesaikan skripsi pada Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dengan judul Studi Potensi Tumbuhan Obat pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) di areal HPH PT. Siak Raya Timber Riau.

4. Rifai (1975) meneliti data botani tumbuhan pasak bumi.

5. Supriyadi (1998) melakukan penelitian untuk menyelesaikan skripsi pada Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dengan judul Studi potensi pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) dan kemungkinan pemanfaatannya di areal kerja HPH PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat.

6. Lesmana (2005), melakukan penelitian untuk menyelesaikan skripsi pada Fakultas Kehutanan, Universitas Tanjungpura dengan judul Studi habitat dan sebaran pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) di hutan Pikul Desa Sahan Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang.

(28)

10

kelompok hutan Sungai Manna-Sungai Nasal, Bengkulu, yang dipublikasikan dalam Bulletin Plasma Nutfah.

k. Penelitian yang terkait dengan kelembagaan tata niaga sebagai berikut : 1. Soehartono (1999), melakukan penelitian untuk menyelesaikan disertasi

degan judul Status and distribution of Aqualaria spp in Indonesia and sustainability of gaharu trade pada Institute of Ecology and Natural Resource Management, University of Edinburgh, United Kingdom. Penelitian ini mengulas mengenai kelestarian perdagangan gaharu di Indonesia dan mengevaluasi status konservasi gaharu menurut Konvensi CITES. Kelestarian gaharu dikaji berdasarkan penilaian kecenderungan volume dan nilai perdagangan gaharu dalam 15 tahun terakhir. Data dan informasi di kumpulkan dari 6 propinsi di Indonesia (Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, DKI Jakarta dan Jawa Timur). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perdagangan gaharu menurun. Dari 61 perusahaan eksportir yang terdaftar pada tahun 1996 hanya tinggal 18 perusahaan yang masih aktif pada tahun 1997. Tujuh dari esportir (70%) menyatakan bahwa keuntungan dari bisnis gaharu sangat kecil, kondisi tersebut disebabkan sulitnya mendapatkan gaharu dengan kualitas terbaik, sementara biaya untuk menjalankan perusahaan semakin mahal. Hanya 2 dari 10 eksportis yang memiliki perkebunan gaharu.

2. Haris (1999), melakukan penelitian untuk menyelesaikan tesis yang berjudul Analisis ekonomi kelembagaan tata niaga bahan olahan karet rakyat (bokar): suatu pendekatan hubungan prinsipal-agen, pada Program Studi Pembukaan Wilayah Desa, Program Pascasarjana IPB. Penelitian ini menunjukkan kelembagaan tradisional masih merupakan kelembagaan pilihan sebagian besar petani dalam melakukan tranksaksi dalam bentuk ikatan hubungan prinsipal agen. Internalisasi masalah buruknya pilihan (adverse selection) dan bencana moral (moral hazard) dalam transaksi terjadi karena proses transaksi berulang-ulang sehingga pelaku transaksi memahami karakter masing-masing. Biaya transaksi yang berpengaruh secara nyata terhadap besarnya peluang opsi kelembagaan lelang dibandingkan kelembagaan tradisional adalah ketersediaan informasi harga di pedagang, prosedur transaksi dan periode transaksi.

(29)

11 Melihat dari beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penelitian yang mengkaji pasak bumi dari pendekatan aspek kelembagaan tata niaga dan kebijakan belum pernah dilakukan. Penelitian ini mencoba mengkaji konservasi pasak bumi dengan menggunakan pendekatan ekologi, kelembagaan pasar dan kebijakan. Pendekatan ekologi dilakukan untuk mendukung informasi kondisi habitat dan stok pasak bumi di alam. Pendekatan kelembagaan pasar untuk mengkaji hubungan transaksi antar pelaku dengan tujuan mengetahui efektifitas lembaga tata niaga pasak bumi yang berkelanjutan. Sedangkan pendekatan kebijakan untuk mengkaji kebijakan dari pemerintah tentang pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, khususnya pasak bumi. Dengan ketiga pendekatan tersebut diharapkan dapat diimplementasikan dan mendukung penguatan status konservasi pasak bumi secara berkelanjutan yang didukung dengan kelembagaan tata niaga pasak bumi.

Kerangka Pikir

Analisis kinerja kelembagaan pemanfaatan pasak bumi di kawasan HLGAP dilakukan dengan mengikuti kerangka analisis pengembangan institusi (institutional analysis and development framework) (Ostrom 2005), melalui penelusuran faktor eksogen (kondisi fisik, atribut komunitas dan aturan main yang berlaku) yang mempengaruhi situasi aksi dan aktor dalam pengelolaan pemanfaatan pasak bumi. Para aktor pada situasi yang melingkupinya bersama-sama dengan faktor-faktor eksogen, akan menghasilkan outcome (performance) yang selanjutnya berlaku hubungan umpan balik akan mempengaruhi aktor, dan situasi tersebut dan secara potensial mempengaruhi pihak-pihak lain. Kerangka analisis disajikan pada Gambar 1.

Faktor eksogen meliputi 3 hal, yaitu: (1) kondisi material/biofisik : karakteristik sumberdaya fisik/material) dalam produksi, konsumsi dan alokasi/disribusi barang dan jasa pada arena aksi tertentu, (2) ciri-ciri pada masyarakat (atributs of community): karakteristik masyarakat dalam mensikapi arena aksi yang melingkupinya, dan (3) aturan-aturan yang digunakan (rules in use): peraturan dan norma yang yang digunakan oleh (dan hidup di) masyarakat (para aktor) untuk mengatur hubungan-hubungannya.

Kondisi Material / Biofisik

(30)

12

sampai tinggi. Barang publik lazimnya menghasilkan manfaat non-subtractive yang dapat dinikmati oleh banyak orang, dimana sangat sulit mengekslusi orang satu persatu. Sumberdaya common-pool adalah barang yang menghasilkan manfaat dimana penerima manfaat sulit untuk mengekslusi orang lain, akan tetapi setiap orang yang memanfaatkan barang tersebut menyebabkan berkurangnya unit manfaat karena jumlah yang tersedia untuk panen terbatas.

Kondisi biofisik pada kelembagaan tata niaga pasak bumi dilihat dengan mengkaji kondisi eksisting yang mempengaruhi perilaku para aktor dalam pengelolaan kawasan HLGAP dan kondisi karakteristik pasak bumi. Kondisi eksisting yang mempengaruhi perilaku para aktor dalam pengelolaan kawasan HLGAP akan diuraikan dalam bab empat untuk mengidentifikasi tipe karakteristik sumberdaya, sedangkan karakteristik pasak bumi akan diuraikan dalam bab dua yang mengkaji tinjauan karakteristik pasak bumi dan bab tiga yang mengkaji preferensi habitat dan estimasi stok pasak bumi di hutan alam perhektar.

Berdasarkan berbagai potensi dan permasalahan yang telah diuraikan

Gambar 1 Kerangka analisis konservasi pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) ditinjau dari kelembagaan tata niaga (Modifikasi dari Ostrom 2005)

(31)

13

Atribut Komunitas

Menurut Ostrom (2007) atribut-atribut komunitas penting yang mempengaruhi arena aksi, meliputi: nilai-nilai prilaku yang dapat diterima secara umum dalam komunitas, tingkat pemahaman umum dari partisipan potensial untuk berbagi (atau tidak berbagi) pada struktur tipe khusus di arena aksi; tingkat homogenitas dalam pilihan (preferensi) kehidupan di dalam komunitas; ukuran dan komposisi dari komunitas yang relevan; dan tingkat ketidaksamaan dalam aset dasar di antara mereka yang mempengaruhi.

Atribut komunitas yang dikaji dalam kelembagaan tata niaga pasak bumi meliputi mata pencaharian, kemampuan/teknik pemungutan pasak bumi, pengetahuan tentang tumbuhan pasak bumi, dan jaringan kerja. Atribut komunitas merupakan bagian dalam pembahasan pada bab empat terkait dengan karakteristik pengelolaan HLGAP.

Aturan

Aturan adalah norma berbagi yang menjelaskan bagaimana partisipan harus, tidak boleh atau mungkin dapat melakukan sesuatu pada sebuah situasi aksi dan didukung setidaknya oleh kemampuan memberikan sanksi pada pihak-pihak yang tidak patuh terhadap aturan tersebut (Crawford dan Ostrom 2005). Manakala instruksi norma hanya tertulis pada prosedur administratif, legislasi, atau sebuah perjanjian dan tidak dikenal atau tidak ditegakkan oleh partisipan atau pihak lainnya maka aturan tersebut hanyalah sebuah bentuk aturan (rules-in-form). Aturan di sini lebih dekat kepada pengertian regulasi. Aturan dapat dianggap sebagai seperangkat instruksi untuk menciptakan situasi aksi dalam lingkungan tertentu. Aturan bersifat menggabungkan unsur-unsur untuk membangun struktur situasi aksi. Property rights merupakan salah satu bentuk aplikasi pengaturan. Aturan yang dikaji dalam kelembagaan tata niaga pasak bumi diuraikan dalam analisis kebijakan pengelolaan hasil hutan bukan kayu pada bab lima dan pada bab enam yang mengkaji arena aksi kelembagaan tata niaga pasak bumi.

Arena Aksi

Arena aksi merupakan fokus analisis yang merujuk pada ruang sosial di mana individu-individu berinteraksi: melakukan pertukaran barang dan jasa, penyelesaian masalah dan perselisihan, dan sebagainya. Arena aksi meliputi 2 hal, yaitu situasi aksi dan pelaku/aktor. Interaksi antara aktor dan situasi aksi ini membentuk pola interaksi. Masing-masing aktor akan berperilaku dan memperjuangkan kepentingannya sesuai dengan kebutuhannya masing-masing dan dipengaruhi oleh permasalahan dan kepentingan bersama dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pasak bumi.

(32)

14

analisis difokuskan pada pemahaman terhadap insentif yang diperoleh pelaku yang berbeda. Beberapa pertanyaan yang mendasari dalam analisis kelembagaan tata niaga pasak bumi ini adalah bagaimana proses penetapan harga ? bagaimana sistim permodalannya ? kapan transaksi dilakukan ? berapa biaya transaksi yang dikeluarkan ? bagaimana distribusi margin share ? bagaimana struktur pasarnya ?. Para aktor atau pelaku yang terlibat dalam jaringan tata niaga pasak bumi ini mulai dari pemungut, pengumpul, tengkulak dan pedagang besar di kota Pontianak sebagai pusat perdagangan dan ibukota di Provinsi Kalimantan Barat. Analisis arena aksi kelembagaan tata niaga pasak bumi diuraikan pada bab enam.

Hasil (Outcome) atau Kinerja (Performance)

(33)

15

2 TINJAUAN KARAKTERISTIK PASAK BUMI

(

Eurycoma longifolia

Jack)

Bioekologi Pasak Bumi

Pasak bumi adalah salah satu jenis tumbuhan obat yang banyak ditemukan di hutan-hutan Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Birma (Siregar et al. 2003; Minosky 2004). Menurut Heyne (1987), tumbuhan pasak bumi banyak ditemukan di bagian barat kepulauan Nusantara kecuali Pulau Jawa. Tumbuhan ini berupa pohon kecil dengan ketinggian mencapai 10 m yang merupakan anggota Simarubaceae (Rifai 1975). Pasak bumi di Malaysia dikenal dengan sebutan tongkat ali, bedara merah, atau bedara putih, sedangkan di Thailand dikenal dengan nama plaa-lai-pueak, hae pan chan, plaalai phuenk atau phiak. Pasak bumi di Indonesia mempunyai beragam nama daerah, antara lain pasak bumi (Kalimantan), widara putih (Jawa), bidara laut, mempoleh (Bangka), penawar pahit (Melayu), dan beseng (Sumatra) (Padua et al. 1999).

Pasak bumi merupakan sejenis pohon yang terdapat di hutan tropis, terutama di Indonesia banyak terdapat di Kalimantan dan Sumatera. Pasak bumi yang termasuk suku Simarubaceae sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat Dayak sebagai salah satu dari sekian banyak obat tradisional. Pasak bumi merupakan tumbuhan perdu atau pohon kecil yang tingginya dapat mencapai 10 m. Daun pasak bumi berbentuk lanset dengan tepi rata berukuran 2,5 – 14,2 X 0,7 - 4,5 cm. Daun majemuk menyirip ganjil dengan jumlah anak daun 11- 38 mengumpul pada ujung ranting. Bunga berwarna merah berbentuk malai dan berbulu. Buah berwarna kuning kemerahan ketika muda serta menjadi hitam pada saat tua. Pasak bumi termasuk tumbuhan berumah satu atau berumah dua (Hadad & Taryono 1998: Padua et al. 1999). Masyarakat Dayak membedakan pasak bumi dua jenis, yaitu pasak bumi bini dan pasak bumi laki. Pasak bumi bini mempunyai bentuk daun lebih besar daripada pasak bumi laki (Kartikawati 2004).

Menurut Angiosperm Phylogeny Group (2003), kedudukan taksonomi pasak bumi sebagai berikut:

Dunia : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Sapindales Famili : Simaroubaceae Genus : Eurycoma

Jenis : Eurycoma longifolia Jack

Karakteristik botani pasak bumi (Indonesian Botanic Garden 1998) sebagai berikut:

a. Batang : Umumnya tidak bercabang, tetapi ada juga yang bercabang sedikit menyerupai payung dengan kedudukan daunnya melingkar (rosette),batangnya kokoh berwarna coklat keabu-abuan, licin.

(34)

16

warna anak daunnya hijau tua berukuran 5-25 cm x1,25-3 cm, tinggirnya bergelombang, tangkai daunya berwarna coklat kehitaman

c. Buah : Panjang 1,25 cm, berbentuk oblong, ketika masak warnanya menjadi kuning kemudian memerah

Menurut Padua et al. (1999), bunga pasak bumi bersifat monoceous atau

dioceous, tetapi biasanya dijumpai sebagai dioceous. Berwarna merah jingga, lebar bunga 0,6 cm, berbulu halus dengan benjolan kelenjar di ujungnya, ada 2 (dua) kelompok tumbuhan yaitu tumbuhan berbunga jantan (tidak menghasilkan buah) dan berbunga betina (mampu menghasilkan buah).

Berdasarkan sifat-sifatnya pasak bumi dikelompokkan bersama dengan marga Quassia, Picrasma, Brucea dan Soulamea dalam suku Simarubaceae yang terdiri dari tumbuhan yang mengandung substansi pahit (bitter plant) (Indonesia Botanic Garden 1998). Morfologi tumbuhan pasak bumi disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3 berikut.

Gambar 2 Profil pasak bumi Gambar 3 Akar pasak bumi

Penelitian mengenai kondisi ekologi pasak bumi belum banyak dilakukan. Baru sedikit penelitian tentang kondisi biofisik dan lingkungan pasak bumi, diantaranya sebagai berikut :

1. Ginting (2010), melakukan penelitian untuk menyelesaikan tesis pada Program Studi Magister Ilmu Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara dengan judul Kajian Ekologi Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack) dan Pemanfaatan Oleh Masyarakat di Sekitar Hutan Bukit Lawang. Hasil penelitian menunjukkan komponen tanah terdiri atas pasir, debu dan liat, Kandungan hara juga tinggi, Suhu udara rata-rata pada siang hari 23,70C; suhu tanah rata-rata pada siang hari 24,10C; kelembaban udara rata pada siang hari 90,8 %; pH tanah rata-rata 6,4; dan intensitas cahaya rata-rata-rata-rata 113,6 x 10 Lux. Keanekaragaman tingkat pertumbuhan pohon ditemukan 72 jenis, Eurycoma longifolia memiliki INP 2,16 %. Keanekaragaman tingkat pertumbuhan tiang ditemukan 44 jenis,

(35)

17

pertumbuhan pancang ditemukan 70 jenis, Eurycoma longifolia memiliki INP 24 %. Keanekaragaman tingkat pertumbuhan semai ditemukan 69 jenis, yang didomonasi oleh pasak bumi dengan INP 24,6 %. Pada tingkat pertumbuhan pohon pasak bumi berasosiasi signifikans dengan Parkia sp, Shorea scabrida, Eury nitida dan Plemengia macrophylla. Pada tingkat pertumbuhan tiang berasosiasi signifikan dengan Shorea sp. Pada tingkat pertumbuhan pancang dan semai Eurycoma longifolia tidak berasosiasi dengan jenis lain. Pola persebaran Eurycoma longifolia pada tingkat pertumbuhan pohon adalah merata, tingkat pertumbuhan tiang, pancang, dan semai adalah mengelompok.

2. Nuryamin (2000), melakukan penelitian untuk menyelesaikan skripsi pada Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dengan judul Studi potensi tumbuhan obat akar kuning (Arcangelisia flava (L.) Merr), pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack), seluang belum (Luvunga eleutherandra Dalz) dan gingseng kalimantan (Psycotria valetonii Hochr) di Areal Kerja HPN PT. Manimbun Djaja (Djajanti Group) Kalimantan Tengah. Kondisi habitat akar kuning dan seluang belum banyak ditemukan pada daerah relatif datar. Sedangkan untuk pasak bumi banyak ditemukan pada rentang ketinggian antara 500-600 m dpl pada kelerengan > 25 %. Potensi akar kuning sebesar 145 btg/100 ha, pasak bumi 162 btg/100 ha, seluang belung 248 btg/100 ha dan gingseng kalimantan 154 btg/100 ha. Pola sebaran keempat jenis tersebut membentuk pola menyebar berkelompok dan banyak dijumpai di sekitar induknya. Dalam pendugaan berat akar dihasilkan model terpilih dibentuk dari variabel bebas diameter batang. Pendugaan berat akar pasak bumi di wilayah ini sebesar 35,81 kg. 3. Julisasi (1992), melakukan penelitian untuk menyelesaikan skripsi pada

Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dengan judul Studi potensi tumbuhan obat pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) di areal HPH PT. Siak Raya Timber Riau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah tempat tumbuh pasak bumi adalah tanah miskin hara seperti podsolik merah kuning dengan tekstur lempung liat berpasir dengan tipe struktur remah. Pasak bumi banyak ditemukan pada rentang ketinggian 0 – 100 m dpl.

4. Rifai (1975) meneliti data botani tumbuhan pasak bumi yang merupakan habitus semak atau pohon kecil dengan tinggi mencapai 10 meter, struktur daun majenmuk, menyirip ganjil, anak daun berhadapan, berbentuk lanset. Pembungaan berbentuk malai keluar dari ketiak daun, bunga berwarna merah kejinggaan dan seluruh baginnya berbulu halus. Bunga jantan selalu dengan bakal buah steril, bunga betina dengan benangsari tak berfungsi. 5. Supriyadi (1998) melakukan penelitian untuk menyelesaikan skripsi pada

(36)

18

pendugaan berat akar dari 36 sampel akar pasak bumi dihasilkan model terpilih dibentuk dari variabel bebas diameter batang. Pendugaan berat akar pasak bumi di wilayah ini sebesar 41.93 kg.

6. Lesmana (2005), melakukan penelitian untuk menyelesaikan skripsi pada Fakultas Kehutanan, Universitas Tanjungpura dengan judul Studi habitat dan sebaran pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) di hutan Pikul Desa Sahan Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tekstur tanah tempat tumbuh pasak bumi adalah pasir berlempung dengan pH tanah sangat masam. Rata-rata suhu harian 25.07oC, rata-rata kelembaban udara 91.49%, dan intensitas cahaya rata-rata 0.84 Klx. Pola persebaran mengelompok dan berasosiasi dengan meranti putih (Shorea lemellata) dan meranti merah (Shorea leprosulla). Nilai indeks nilai penting (INP) pasak bumi pada tingkat semai sebesar 22.8%, pada tingkat pancang sebesar 24. 9%.

7. Heriyanto et al. (2006), melakukan penelitian dengan judul Kajian ekologi dan potensi pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) di kelompok hutan Sungai Manna-Sungai Nasal, Bengkulu, yang dipublikasikan dalam Bulletin Plasma Nutfah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasak bumi banyak ditemukan pada ketinggian berkisar 250-300 m dpl dengan tingkat kelerengan 15-45 %. Tempat tumbuh yang disukai pada tanah miring yang tidak tergenang air. Kelimpahan pasak bumi pada setiap jalur berbeda-beda, untuk tingkat pohon adalah 2 pohon/ha pada jalur I dan jalur III. Pada jalur II, IV, dan V tidak dijumpai jenis pasak bumi. Pada tingkat belta dijumpai 10 individu/ha pada jalur I, 20 individu/ha pada jalur III, dan 20 individu/ha pada jalur V. Pada jalur II dan IV tidak dijumpai jenis pasak bumi. Pada tingkat semai dijumpai 280 individu/ha pada jalur III, 60 individu/ha pada jalur IV, dan jalur V memiliki kelimpahan 100 individu/ha. Pada jalur I dan II tidak dijumpai jenis pasak bumi.

Biologi Reproduksi Pasak Bumi

Gambar

Gambar 1  Kerangka analisis konservasi pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack)
Tabel 2   Volume simplisia pasak bumi pada industri obat tradisional
Gambar 4  Simplisia pasak bumi bentuk potongan dan bentuk cacah
Tabel 3  Harga pasak bumi pada pasar e-commerce
+7

Referensi

Dokumen terkait