• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 ANALISIS KEBIJAKAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU

Latar Belakang

Prospek HHBK dimasa yang akan datang diprediksi akan semakin penting setelah produktivitas kayu dari hutan alam semakin menurun. Reformasi sistem pengelolaan hutan yang terjadi, merubah sistem pengelolaan hutan yang semula bertumpu atau memfokuskan pada hasil hutan berupa kayu (timber based management) dan negara (state based forest management) menjadi pengelolaan hutan yang berazaskan pada sumberdaya hutan yang berkelanjutan (resources based management) dan berbasis masyarakat (community based management). Dalam upaya mengubah paradigma pengelolaan hutan tersebut maka pembangunan kehutanan tidak lagi fokus pada pemanfaatan hasil hutan berupa kayu, melainkan cenderung pada pengelolaan kawasan ekosistem hutan secara utuh termasuk pemanfaatan HHBK.

HHBK merupakan salah satu sumberdaya hutan yang memiliki keunggulan komparatif dan terkait dengan kehidupan masyarakat sekitar hutan. Pemanfaatan HHBK merupakan tradisi yang lama dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan. Ia menjadi produk alternatif sebagai sumber pendapatan mereka disamping fungsinya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Beberapa jenis HHBK yang mempunyai nilai ekonomis dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan masyarakat lokal dan sebagai sumber devisa negara. Pasak bumi merupakan salah satu HHBK yang aktif diperdagangkan di Kalimantan Barat yang memiliki nilai jual tinggi dan diminati beberapa pasar internasional seperti Emirates, AS Hongkong, Malaysia, Singapore dan beberapa negara di Eropa (Indonesia- pharmacommunity.blogspot.com, 2011)

Permasalahan dalam pengelolaan HHBK khususnya pasak bumi, kewenangan kelembagaan tidak jelas, pasar tidak menentu, masyarakat tidak mempunyai akses ke pasar dan tidak mempunyai cukup modal. Peran atau potensi HHBK yang sesungguhnya sebagai alat dalam upaya pembangunan dan konservasi di berbagai kondisi situasi dan strategi belum tergambarkan secara jelas. Secara formal, meskipun status ekologi pasak bumi merupakan tanaman langka, namun belum ada peraturan dari pemerintah yang mengatur regulasi perdagangan dan penentuan kuota.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis isi peraturan kebijakan yang terkait dengan HHBK.

63 Metode

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan HHBK.

Analisis data

Analisis data tentang produk kebijakan kehutanan ini akan dilihat dari analisis substansi (content analysis) terkait dengan pengelolaan hasil hutan bukan kayu. Analisis dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan analisis substansi berdasarkan indikator yang telah ditetapkan, yaitu : pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pengelolaan hasil hutan bukan kayu, pelibatan masyarakat, dan wewenang pemerintah.

Hasil dan Pembahasan

Peraturan Perundangan Terkait dengan Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

Sesuai ketentuan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 23, disebutkan bahwa pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan hasil hutan non kayu adalah pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) melalui pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan menerapkan prinsip kelestarian dan tetap memperhatikan fungsi hutan. Identifikasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan HHBK disajikan pada Lampiran 2.

Berbagai peraturan yang teridentifikasi tersebut, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Pasal 1 butir 8; Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 Pasal 1 butir 16; Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 Pasal 1 butir 18 menyebutkan bahwa, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. Sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Pasal 1 butir 9; Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 Pasal 1 butir 17, dan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 Pasal 1 butir 19 menyebutkan bahwa pemungutan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu adalah kegiatan untuk mengambil hasil hutan baik berupa kayu dan/atau bukan kayu dengan batasan waktu, luas dan/atau volume tertentu.

Menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 28, pada hutan produksi dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan dan pemungutan HHBK. Pada

64

butir 1 disebutkan pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Sedangkan sesuai dengan Pasal 26 pada kawasan hutan lindung kegiatan yang dilakukan terkait dengan HHBK adalah kegiatan pemungutan HHBK. Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung hanya boleh dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan. Berdasarkan kebijakan yang teridentifikasi tersebut cenderung masih terpusat pada beberapa jenis HHBK tertentu saja sehingga pemanfaatannya sangat terbatas. Seperti yang terungkap dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, PP No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, PP No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, Permenhut No P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, Permenhut No. 49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa, menyatakan bahwa pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung antara lain berupa rotan, getah, madu, buah, jamur atau sarang burung walet. Pengelolaan tumbuhan obat masih belum mendapat

Secara global saat ini terdapat kecenderungan pola hidup berbasis alam atau back to nature, termasuk masalah kesehatan melalui pengobatan tradisional. World Health Organization (WHO) telah merekomendasikan obat herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. Hal ini menunjukkan dukungan WHO untuk back to nature yang dalam hal tertentu lebih menguntungkan. Menurut WHO hingga 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal (WHO-IUCN- WWF, 1986).WHO memperkirakan permintaan tumbuhan obat sekitar US $14 juta per tahun. Sharma (2004) memperkirakan bahwa permintaan obat berbasis bahan baku tumbuhan obat ini per tahun berkisar 15% hingga 25% dan cenderung meningkat hingga tahun 2050 mencapai US $ 5 trilyun.

Acuan keberlanjutan pemanfaatan tumbuhan obat secara nasional sesuai dengan mandat dari pemerintah pada Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 100 pada ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap dijaga kelestariannya. Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku obat tradisional.

Industri obat herbal telah ada di Indonesia sejak tahun 1980-an. Pada tahun 1997 baru 449 industri yang terdiri 429 industri kecil obat tradisional (IKOT) dan 20 industri obat tradisional (IOT). Sepuluh tahun kemudian pada tahun 2008 menjadi 1166 industri yang terdiri 1037 IKOT dan 129 IOT (Balittro 2010). Berdasarkan data dari Balai Pengawas Obat dan Makanan, pada tahun 2005 terdapat 937 produk obat tradisional. Jumlah ini terus mengalami peningkatan, dan lima tahun kemudian pada tahun 2010 terdapat 1684 produk. Menurut Ditjen POM (1991) ada 283 spesies tumbuhan obat yang sudah terdaftar digunakan oleh industri Obat Tradisional di Indonesia. diantaranya 180 spesies tumbuhan obat yang berasal dari hutan tropika.

Kesepakatan global dan nasional dalam upaya pelestarian tumbuhan obat merupakan tantangan dan ancaman bagi industri pengembangan produk obat tradisional karena dengan semakin meningkatnya industri obat tradisional maka

65 jaminan ketersediaan kebutuhan bahan baku juga semakin meningkat yang selama ini banyak diambil langsung dari alam bebas. Pasak bumi sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu yang bernilai ekonomis dan langka saat ini masih belum mendapat perhatian dari pemerintah, baik untuk status konservasi maupun regulasi perdagangannya. Malaysia merupakan salah satu negara yang banyak mengimpor pasak bumi dari Indonesia karena pada tahun 2001 Malaysia menetapkan status pasak bumi sebagai tumbuhan yang dilindungi (Lee et al. 2001). Malaysia banyak menghasilkan diversifikasi produk pasak bumi sebagai suplemen makanan yang diekspor ke berbagai negara sebagai salah satu produk unggulan Malaysia dan sudah dipatenkan di Amerika Serikat dengan nama tongkat ali (Rahardjo 2010).

Serapan pasar luar negeri pasak bumi sebagai bahan baku obat dan suplemen kesehatan yang cukup tinggi merupakan suatu peluang ekonomi bagi nilai pasak bumi. Berdasar hasil penelitian Purwandari (2001), harga pasak bumi pada tahun 1999 di pasar dalam negeri sebesar Rp. 1.650/kg. Berdasarkan data perusahaan UD Sumatera Pasak Bumi yang merupakan eksportir pasak bumi berkedudukan di Deli Serdang, harga ekspor produk berupa cacahan akar (chipped root) pada tahun 2013 mencapai 249.16 USD/kg. Sedangkan produk berupa ekstrak 1 : 200 harganya 3242.85 USD/kg dan ekstrak 1 : 50 harganya 1625 USD/kg. Harga tersebut meningkat dibandingkan pada tahun 2012, yaitu untuk ekstrak 1:50 sebesar 375 USD/kg dan untuk ekstrak 1:200 sebesar 900 USD/kg (www.tongkatali.org 2013). Melihat nilai ekonomi pasak bumi yang cukup tinggi, maka penting untuk segera dilakukan jaminan pengelolaan keberlanjutan pasak bumi.

Peraturan Perundangan Terkait dengan Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

Pengawasan peredaran dan perdagangan tumbuhan

Kegiatan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan alasan ekonomi dan kesenangan, memberikan tekanan terhadap penurunan kualitas dan populasi tumbuhan dan satwa liar di habitat alaminya. Kegiatan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar harus diawasi dan dikendalikan, sehingga tujuan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yaitu mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistem.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku landasan hukum yang dipergunakan adalah Undang Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, beserta peraturan pelaksanaannya, khususnya Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, dan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Berdasarkan PP No. 8 Tahun 1999 tersebut, jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dimanfaatkan untuk keperluan : a. Pengkajian, penelitian, dan pengembangan,

b. Penangkaran, c. Perburuan,

66

d. Perdagangan, e. Peragaan, f. Pertukaran,

g. Budidaya tanaman obat-obatan, dan h. Pemeliharaan untuk kesenangan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999, tumbuhan dan satwa Indonesia dibagi dalam dua golongan yaitu, tumbuhandan satwa yang dilindungi dan tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi. Sesuai Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999, tumbuhan dan satwa liar yang dapat diperdagangkan adalah jenis tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi, yang diperoleh dari hasil penangkaran dan pengambilan atau penangkapan dari alam. Dengan terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan No. 447/Kpts-II/2003 tanggal 31 Desember 2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar, keputusan tersebut menjadi pedoman dalam menjalankan kebijakan pemanfaatan dan perdagangan tumbuhan dan satwa liar.

Indonesia telah meratifikasi Convention on International trade in Endangered Species (CITES) melalui Keputusan Presiden RI No. 43 Tahun 1978, yang membawa konsekuensi perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang dilaksanakan pemerintah Indonesia harus mengikuti ketentuan-ketentuan CITES. Misi dan tujuan dari konvensi ini adalah untuk menghindarkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa dari kepunahan di alam melalui pengembangan sistem pengendalian perdagangan jenis-jenis tumbuhan dan satwa serta produk- produknya secara internasional. Pengendalian tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa eksploitasi untuk kepentingan komersial terhadap sumber daya tumbuhan dan satwa liar merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap kelangsungan hidup suatu jenis, setelah kerusakan habitat.

Ketentuan CITES menetapkan bahwa setiap negara anggota CITES harus menunjuk satu atau lebih Otoritas Pengelola (Management Authority) dan Otoritas Keilmuan (Scientific Authority). Berdasarkan Pasal 65 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999, Departemen yang bertanggung jawab di bidang Kehutanan ditetapkan sebagai Otoritas Pengelola (Management Authority) konservasi tumbuhan dan satwa liar di Indonesia. Sedangkan Pusat Pengembangan dan Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ditetapkan sebagai Otoritas Keilmuan (Scientific Authority). Pemerintah c.q Dirjen PHKA mengatur dan mengawasi lalulintas peredaran tumbuhan alam dan satwa liar. Konsekuensi dari peran sebagai Otoritas Pengelola CITES, diantaranya adalah melekatnya tugas dan tanggung jawab dalam mengelola perdagangan tumbuhan dan satwa liar, yaitu :

a. Melaksanakan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan yang ditetapkan CITES,

b. Mengahdiri COP (Conference Of the Parties) CITES, dan

c. Melakukan koordinasi dengan instansi-instansi yang terkait dengan peredaran jenis flora dan fauna, seperti LIPI, Departemen Pertanian, Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Departemen Perhubungan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Kepolisian, dan instansi terkait lainnya.

Sistem kontrol pada CITES adalah dengan melalui sistem perijinan standar CITES yang diterbitkan oleh Management Authority, dan ditegakkan oleh

67 penegak hukum seperti Pabean (Bea Cukai) dan Kepolisian, termasuk Karantina. Kelembagaan di luar Departemen Kehutanan yang berperan strategis sebagai mitra kerja Departemen Kehutanan dalam pengendalian pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar, yang didukung dengan tugas dan wewenangnya yang melekat secara institusi adalah :

1. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

LIPI berperan sebagai otoritas keilmuan, dan memiliki wewenang untuk memberikan rekomendasi jumlah dan jenis tumbuhan dan satwa liar yang dapat diperdagangkan. Hal ini menjadi dasar bagi Direktur Jenderal PHKA dalam pembutaan keputusan penetapan kuota, dan melakukan kontrol atas perdaganagan tumbuhan dan satwa liar.

2. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Departemen Keuangan

Memiliki wewenang dalam melakukan pemeriksaan dokumen ekspor yang dimiliki para eksportir. Dokumen tersebut berupa Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar ke Luar Negeri (SATS-LN)/CITES Permit, yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal PHKA. Fokus pemeriksaan diantaranya meliputi keaslian dokumen, kebenaran isi dokumen (jumlah dan jenis spesimen yang akan dikirim), dan masa berlaku dokumen, serta pembubuhan legalitas pada dokumen SATS-LN.

3. Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian

Memiliki wewenang melakukan tindak karantina untuk memeriksa kesehatan jenis tumbuhan dan satwa liar serta kelengkapan dan kesesuaian spesimen dengan dokumen.

4. Pusat Karantina Ikan, Departemen Kelautan dan Perikanan

Memiliki wewenang melakukan tindak karantina untuk memeriksa kesehatan jenis ikan serta kelengkapan dan kesesuaian spesimen dengan dokumen.

5. Kepolisian Negara Republik Indonesia

Jajaran Kepolisian, yaitu Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki wewenang melakukan penyidikan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, termasuk perdagangan illegal tumbuhan dan satwa liar. Hal ini dilakukan bersama- sama dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu di lingkungan Departemen Kehutanan.

6. Departemen Perindustrian dan Perdagangan

Memiliki wewenang dalam memfasilitasi legalitas usaha di bidang perdagangan tumbuhan dan satwa liar kepada para eksportir, meliputi : penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) , dan penyiapan kebijakan unruk menstimulasi iklim usaha yang baik di dalam negeri dan ke luar negeri. Disamping itu juga menetapkan harga patokan tumbuhan dan satwa liar, sebagai dasar pungutan untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) terhadap perdaganagn tumbuhan dan satwa liar sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Pengelolaan Upaya Pelestarian

Memperhatikan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 19/Manhut-II/2009 tentang Penetapan Kriteria dan Indikator HHBK Unggulan dan Peraturan Menteri

68

Kehutanan Nomor 21/Manhut-II/2009 tentang Penetapan Jenis HHBK Unggulan, potensi pasar pasak bumi yang cukup besar di Provinsi Kalimantan Barat bisa untuk dikembangkan masuk sebagai HHBK unggulan propinsi. Penentuan kriteria dan indikator penetapan HHBK unggulan tersebut berdasarkan pada kriteria ekonomi, kondisi biofisik dan lingkungan, kelembagaan, sosial, dan teknologi. Sebelumnya, melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2007 tentang HHBK, pemerintah telah menetapkan rincian jenis-jenis HHBK yang menjadi urusan Departemen Kehutanan salah satunya pasak bumi. Memperhatikan Road Map HHBK (2010 sd 2025), program pengembangan HHBK yang tercantum pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 19/Manhut- II/2009, pasak bumi kategori Tier 3 (level 3), yaitu HHBK yang termasuk dalam kelompok preliminary (komoditas HHBK ekonomis yang belum dikuasai teknik budidaya dan teknologi pengolahannya).

Berdasarkan kriteria ekonomi, meskipun saat ini permintaan pasar pasak bumi cukup tinggi namun data volume produksi, nilai perdagangan dan tujuan pemasaran sangat sulit di dapat. Dari uraian pembahasan pada bab sebelumnya berdasar hasil penelusuran data di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), ditemukan volume simplisia pasak bumi yang digunakan oleh industri obat tradisional kecil sekali yaitu berkisar 10.143 – 31.169 kg. Sedikitnya data yang diperoleh karena data masih terpencar dengan data di daerah. Selain itu banyak industri obat tradisional yang tidak taat peraturan dengan melaporkan volume bahan baku obat tradisional yang digunakan. Selama ini IOT, IEBA, UKOT, dan UMOT wajib menyampaikan laporan secara berkala setiap 6 (enam) bulan meliputi jenis dan jumlah bahan baku yang digunakan serta jenis, jumlah, dan nilai hasil produksi ke BPOM. Namun dengan terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 006 tahun 2012 tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional maka penggunaan pasak bumi sebagai bahan baku obat tradisional yang tercatat di tingkat pusat menjadi terbatas hanya dari Industri Obat Tradisional (IOT) dan Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA). Pasal 42 menyebutkan birokrasi pelaporan sebagai berikut :

1. Laporan IOT dan IEBA disampaikan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. 2. Laporan UKOT disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi

dengan tembusan kepada Kepala Balai setempat.

3. Laporan UMOT disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/kota dengan tembusan kepada Kepala Balai setempat.

Adanya peraturan baru ini berdampak terhadap data base pemanfaatan pasak bumi secara keseluruhan baik dari IOT, IEBA, UKOT dan UMOT data akan terpencar di pusat dan di daerah. Dari hasil temuan ini dapat disimpulkan juga bahwa koordinasi antar intitusi yang terlibat dalam konservasi tumbuhan obat tidak terkordinasi dengan baik.

Berdasarkan kriteria kelembagaan, sosial dan teknologi budidaya dan pengolahan lanjutan juga masih terbatas. Selama ini pemungutan pasak bumi masih mengandalkan pemungutan dari alam. Usaha budidaya pasak bumi belum dilakukan. Namun dengan upaya konservasi eks situ telah dilakukan di Hutan dengan Tujuan Khusus (KDHTK) Samboja dan di BPTO Tawangmangu. Percobaan pengecambahan pasak bumi telah dilakukan oleh Rayan (2010) di ekosistem hutan Dipterocarpaceae, Kalimantan Timur. Berdasarkan Keputusan

69 Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 381/Menkes/SK/III/2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional (KONTRANAS, maka langkah kebijakan upaya budidaya dan konservasi sumber daya obat tradisional dengan sasaran tersedianya secara berkesinambungan bahan baku obat tradisional yang memenuhi standar mutu yang dapat dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yaitu :

a. Peningkatan pengembangan lintas program, untuk penetapan komoditas dan wilayah pengembangan tumbuhan obat unggulan

b. Peningkatan produksi, mutu dan daya saing komoditas tumbuhan unggulan melalui Good Agriculture Practices (GAP), Goog Agriculture Collecting Practices (GACP), dan Standart Operational Procedures (SOP) masing- masing komoditas

c. Pelaksanaan survei dan evaluasi menyeluruh tumbuhan obat yang dapat dimanfaatkan

d. Pemetaan dan kesesuaian lahan

e. Pelaksanaan konservasi untuk mencegah kepunahan akibat eksploitasi berlebihan maupun biopiracy melalui regulasi, penelitian dan pengembangan f. Pembentukan bank plasma nutfah/sumber genetik tumbuhan obat

Peraturan Perundangan Terkait dengan Pelibatan Masyarakat dalam Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

Hutan mempunyai peranan sosial yang penting bagi masyarakat sekitar hutan. Masyarakat di sekitar hutan umumnya mengelola dan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu sesuai kebutuhan secara subsisten dikonsumsi sendiri. Oleh karena itu pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat di sekitarnya sangat membantu usaha pelestarian sumber daya hutan khususnya HHBK. Apabila masyarakat sampai batas tertentu dapat memanfaatkan potensi hutan maka masyarakat diharapkan dapat mempunyai tanggung jawab untuk memeliharanya. Pengaturan akses masyarakat atas sumber daya hutan adalah masalah fundamental yang harus dibenahi agar masyarakat lokal dapat turut berperan aktif mengelola sumberdaya hutan secara baik, berkelanjutan, dan menyejahterakan. Karakteristik persebaran habitat HHBK yang terpencil menyebabkan keterbatasn akses informasi, pengetahuan dan modal. Kondisi tetrsebut menjadikan posisi masyarakat sekitar hutan lemah dan menyebabkan keberadaan pedagang perantara menjadi penting dalam menghubungkan masyarakat setempat dengan pasar. Pentingnya peran pedagang perantara bagi berlangsungnya proses transaksi tersebut melahirkan hubungan ketergantungan antara kedua belak pihak. Adanya pihak yang berada dalam posisi lebih baik dibandingkan dengan pihak lain, baik dalam segi ekonomi ataupun penguasaan informasi dan permodalan melahirkan bentuk hubungan interaksi patron klien. Pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kehutanan masih lemah karena belum didukung oleh kelembagaan masyarakat yang kuat antara lain pengetahuan dan ketrampilan yang rendah, sistem pengorganisasian yang belum sempurna, kesulitan memperoleh modal dan akses pemasaran yang belum memadai.

Terbitnya Peraturan Pemeritah (PP) No. 6 Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008 yang merupakan hasil revisi PP 34/2002 tentang Tata Hutan dan

70

Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, dan Permenhut Nomor P.47/Menhut-II/2013 tentang Pedoman, Kriteria dan Standar Pemanfaatan Hutan di Wilayah Tertentu pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) menegaskan adanya pengaturan pengelolaan pada tingkat tapak, termasuk pengaturan pemungutan hasil hutan. KPH sebagai pengelola kawasan hutan dilapangan, diharapkan mampu mendekatkan pengelolaan hutan ketingkat tapak, menangani masalah konflik masalah perambahan serta permasalahan hutan lainnya juga telah memberikan ruang yang cukup luas untuk akses masyarakat.

Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilakukan pada tingkat provinsi, kabupaten/kotan serta pada unit pengelolaan. Unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, yang kemudian disebut KPH, antara lain dapat berupa kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL), kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), dan kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK).

Beberapa hal penting yang menjadi benang merah adalah kebijakan tersebut mengedepankan : konservasi sumber daya hayati, pemungutan dilakukan dengan memperhatikan tingkat produktifitas lestarinya, serta mengedepankan kesejahteraan masyarakat dengan memberikan akses kepada masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya hutan. Sebagian besar kebijakan menyatakan bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi