• Tidak ada hasil yang ditemukan

PASAK BUMI ( Eurycoma longifolia Jack)

7 PEMBAHASAN UMUM

Bagian ini merupakan sintesis dari bab-bab sebelumnya yang mengkaji konservasi pasak bumi mulai dari kondisi preferensi habitat dan kondisi stok pasak bumi di hutan yang layak tebang dalam satuan kg/ha; karakteristik pengelolaan HLGAP; analisis kebijakan pemungutan hasil hutan bukan kayu; dan arena aksi kelembagaan tata niaga pasak bumi. Kajian terhadap aspek-aspek tersebut merupakan upaya untuk mengkonstruksi konservasi hasil hutan bukan kayu dengan mengambil contoh kasus pasak bumi.

Kerangka berpikir dalam bab ini mengikuti kerangka Analisis Pengembangan Institusi (Institution Analysis Development, IAD), yang dikembangkan oleh Ostrom (2008) melalui penelusuran faktor eksogen (kondisi fisik/material, atribut komunitas dan aturan main yang berlaku (rules in use)), yang mempengaruhi situasi aksi dan aktor pada kegiatan tata niaga pasak bumi, seperti disajikan pada Gambar 1.

Pengaturan Produksi

Masalah produksi terkait dengan keberadaan stok di alam. Berdasar hasil penelitian potensi stok akar yang dapat dipanen relatif sedikit karena komposisi struktur tinggi batang didominasi pada rentang 1-3 meter. Kondisi demikian menunjukkan bahwa di areal petak pengamatan lebih banyak ditemukan pada tingkat semai dan pancang, sehingga berpengaruh terhadap banyaknya stok pasak bumi yang baik untuk dipanen.

Pasak bumi sebagai barang publik, maka setiap warga desa berhak mengakses melakukan pemungutan dengan tidak ada batasan jumlah dan cenderung mengambil sebanyak mungkin. Pemanfaatan pada bagian akar secara otomatis akan mematikan pohon pasak bumi karena teknik pemungutan dilakukan dengan cara mencabut akarnya. Perilaku fisiologis waktu berbunga yang tidak menentu dan proses pertumbuhan yang lambat membuat pasak bumi yang secara ekologi merupakan tumbuhan langka dengan status terkikis (Rifai 1992), akan terancam kelestariannya dan semakin jarang ditemui (Hussein et al. 2005). Hal ini diperkuat dengan hasil survei di Kalimantan Tengah pada tahun 2004 yang menunjukkan populasi pasak bumi di hutan sudah sangat terbatas jumlahnya (Raharjo 2010). Demikian pula dari hasil estimasi stok akar pasak bumi yang dapat dipungut dalam luasan 1 hektar sebesar 0,33 kg (Kartikawati 2014). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa di areal petak pengamatan lebih banyak ditemukan tingkat semai dan pancang, sehingga berpengaruh terhadap banyaknya pasak bumi yang layak panen.

Berdasarkan Permenhut No. P35/Menhut-II/2007 pasak bumi termasuk salah satu HHBK yang menjadi urusan Departemen Kehutanan, namun dalam PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, status perlindungan pasak bumi termasuk jenis yang tidak dilindungi. Bila mengkaji Permenhut No. 19 tahun 2009 tentang Strategi Pengembangan HHBK disebutkan

84

bahwa road map HHBK sektor kehutanan (2010 s/d 2025), maka pasak bumi termasuk dalam kategori Tier 3 (level 3) yaitu: HHBK yang termasuk dalam kelompok preliminary (komoditas HHBK ekonomis yang belum dikuasai teknik budidaya dan teknologi pengolahannya). Dari berbagai peraturan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara legalitas status konservasi pasak bumi tidak termasuk dilindungi, meskipun secara ekonomi permintaan pasar pasak bumi cukup tinggi, baik untuk pasar domestik maupun luar negeri. Dengan berbagai keterbatasan dan kendala tersebut mengakibatkan kontinuitas produksi pasak bumi terganggu. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan upaya regulasi perdagangan yang diatur oleh pemerintah, baik untuk penentuan kuota, mekanisme kontrol pemungutan di alam hingga pengawasan lalu lintas perdagangannya untuk menjamin ketersediaan produksi di masa mendatang.

Pengaturan pembatasan volume yang diperdagangkan bertujuan agar perdagangan tidak melebihi kemampuan hutan untuk memproduksi dan pulih. Dengan kata lain tidak akan menyebabkan penebangan berlebihan sehingga tidak merusak hutan yang ditinggalkan. Kuota pengambilan suatu tumbuhan dan satwa ditetapkan oleh Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA) dengan peraturan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/KptsII/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkaran dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar, dalam rangka menjamin keefektifan pengendalian penangkaran maka ditetapkan batasan jumlah hasil penangkaran. Penentuan kuota dilakukan oleh suatu tim yang diketuai oleh LIPI sebagai pemegang otoritas keilmuan CITES. Tim ini melakukan penilaian dan obervasi lapangan terhadap potensi, efisiensi dan cara penebangan yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Kuota ekspor ditetapkan oleh Ditjen PHKA sebagai pemegang otoritas pengelolaan dari jenis-jenis yang masuk ke dalam CITES. Namun karena usaha budidaya pasak bumi hingga saat ini belum dilakukan maka belum ada batasan volume pemungutan. Oleh karena itu untuk memperoleh produktivitas dan nilai ekonomi pasak bumi yang tinggi, sangat diperlukan penelitian dan pengembangan tentang pengelolaan pasak bumi yang dapat menghasilkan paket IPTEK teknik budidaya (termasuk pemuliaan dan bioteknologi), pemanenan dan pengolahan serta kajian sosial ekonomi dan kebijakan pasak bumi. Paket pengelolaan yang terarah dan terintegrasi diharapkan dapat memperoleh model pengelolaan pasak bumi yang tepat di masa yang akan datang.

Akses Masyarakat Terhadap Sumberdaya Pasak Bumi

Situasi di lapangan menunjukkan bahwa pengelolaan HLGAP sebagai state property tidak ada aturan formal pada tingkat operasional sehingga HLGAP dalam kondisi open acces. Kondisi ini memicu munculnya perilaku dan penegakan hukum yang lemah atas hak properti mendorong free rider untuk tidak melakukan investasi terhadap kelestarian pasak bumi dan mendorong terjadinya kelangkaan. Situasi ini menggambarkan pemanfaatan HLGAP menimbulkan biaya ekslusi tinggi untuk penegakan hak dan kelestarian hutan terancam.

Berdasarkan rejim hak kepemilikan (Bromley 1992) kawasan Gunung Ambawang secara de jure merupakan state property dengan status hutan lindung (HL). Secara legalitas pemanfaatan sumber daya hutan di hutan lindung diatur

85 dalam Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, dan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pusat dan Daerah. Undang-undang nomor 41/1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38/2007 menyebutkan pula bahwa bentuk pemanfaatan hutan lindung terbatas pada pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK).

Kelembagaan sumberdaya alam merupakan pengorganisasian kepentingan dengan syarat utama kelembagaan adalah kepastian hukum mengenai hak-hak atas sumber daya alam. Mengacu pada teori kepemilikan (the theory of property rights) pada sumber daya pasak bumi yang berada pada hutan lindung melekat sekelompok hak (bundle of right) yang membatasi kepentingan orang atau kelompok sosial. Namun demikian konsep kepemilikan dengan strata lengkap yang dimiliki oleh pemerintah di kawasan HLGAP seperti hak memasuki, hak memanfaatkan, hak mengelola, hak mengecualikan dan hak memindahtangankan tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan. Pemerintah Kabupaten Kubu Raya selaku pengelola tidak mampu mencegah adanya pihak-pihak yang mengambil keuntungan tanpa memberikan kontribusi (free rider) terhadap pengelolaan HLGAP. Situasi seperti ini mengakibatkan hak kepemilikan dalam pengelolaan HLGAP tidak berfungsi secara efektif.

Berdasarkan karakteristik kawasan Gunung Ambawang merupakan common pool resources (CPRs), sehingga penggunaannya open access (Ostrom 2003). Kondisi ini menyebabkan setiap individu mempunyai insentif sebagai free rider untuk ikut memanfaatkan tanpa ikut berkontribusi terhadap pengelolaan pasak bumi. Karakteristik CPRs pasak bumi ini terjadi karena sebagian bersifat sebagai barang publik (public goods) dan sebagian bersifat barang privat (private goods). Karakteristik public goods ini menimbulkan terjadinya free rider dan penggunaan berlebihan (overuse) (Ostrom dan Hess, 2007). Kartodihardjo (1998) menyatakan bahwa, rendahnya strata hak akan menyebabkan pemilik hak tidak mempunyai inovasi untuk melakukan pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan.

Situasi seperti ini mengakibatkan hak kepemilikan dalam pengelolaan HLGAP tidak berfungsi secara efektif. Kepastian kepemilikan atas sesuatu yang langka sangat penting untuk dapat berlangsungnya proses transaksi dalam ekonomi pasar, sehingga semakin tinggi kepastian tersebut, biaya transaksinya semakin rendah.

Permasalahan utama disini bukanlah hak, melainkan akses yang menurut teori akses (theory of access) dikendalikan oleh sekelompok kekuasaan (web of power). Ribot dan Peluso (2003) mengemukakan bahwa hak muncul sebagai klaim yang dilegitimasi oleh seperangkat pengakuan sosial yang terwujud sebagai hukum, adat kebiasaan, dan konvensi. Ribot dan Peluso (2003) juga menekankan bahwa akses menunjuk pada kemampuan seseorang untuk memperoleh manfaat dari sesuatu. Kekuasaan lebih berperan daripada klaim dalam pengambilan manfaat atas suatu sumberdaya. Sekelompok orang mungkin tidak memiliki hak menurut hukum yang berlaku, namun kekuasaan yang melekat padanya memungkinkannya untuk mengakses sumberdaya, bahkan membuat klaim kepemilikan atau menentukan struktur penguasaan atas sumberdaya.

Karakteristik alami pengusahaan pasak bumi, atribut komunitas masyarakat sekitar kawasan HLGAP, karakteristik pasak bumi serta pengelolaan hutan negara yang open access telah melahirkan hubungan saling ketergantungan antara

86

pemungut pasak bumi dengan pedagang. Pedagang membutuhkan pemungut pasak bumi sebagai anak buah untuk melakukan ekspedisi ke hutan. Sedangkan pemungut membutuhkan pedagang untuk memasarkan pasak bumi. Adanya hubungan ketergantungan ini selanjutnya melahirkan kelembagaan tradisional tata niaga pasak bumi yang bersifat informal, tidak ada administrasi dan aturan-aturan atau kesepakatan tertulis. Adanya pihak yang berada dalam posisi lebih baik dibanding pihak lain, baik dalam segi ekonomi ataupun penguasaan informasi melahirkan bentuk kelembagaan tata niaga pasak bumi dengan sistem patron klien (Scott, 1993). Secara umum atribut komunitas pemungut, pengumpul, tengkulak dan pedagang mempunyai homogenitas dalam pemanfaatan pasak bumi yang terwujud melalui interaksi dan proses kerjasama dengan membentuk pola ketergantungan tata niaga pasak bumi. Ostrom dan Hess (2007) menyatakan bahwa komunitas yang homogen adalah apabila komunitas, baik penyedia maupun pengambil keputusan bersatu dalam pemanfaatan sumber daya bersama yang terwujud melalui proses kerjasama dan koordinasi antar pihak-pihak tersebut dalam menentukan sumber daya bersama.

Regulasi Pengelolaan Pasak Bumi

Pengawasan Peredaran Perdagangan Tumbuhan

Praktek devolusi pengelolaan sumber daya alam bila dikaitkan dengan ekonomi kelembagaan merupakan suatu langkah pendekatan dinamis untuk meningkatkan efisiensi ekonomi. Pendekatan ekonomi kelembagaan, efisiensi dapat dicapai melalui dua cara, yaitu pendekatan statis dan pendekatan dinamis (Yustika 2013). Pendekatan secara statis, efisiensi ekonomi dicapai melalui spesialisasi tenaga kerja. Sedangkan dalam pendekatan dinamis, efisiensi ekonomi diperoleh dengan jalan meningkatkan kapasitas dan inovasi teknologi sehingga produktivitasnya meningkat. Berdasar kacamata relasi antara efisiensi ekonomi dan kepastian hak akses oleh masyarakat maka devolusi merupakan insentif bagi masyarakat untuk menekan kegagalan pasar dengan mengembangkan mekanisme mendistribusikan tanggung jawab pengelolaan, mengalokasikan hak-hak penggunaan diantara kelompok, pemantauan dan pelaksanaan.

Peran pemerintah untuk mengatur regulasi tata niaga pasak bumi merupakan insentif efisiensi ekonomi dari kacamata kelembagaan ekonomi dengan pendekatan dinamis. Kegiatan pemanfaatan tumbuhan dan satwa dengan alasan ekonomi, memberikan tekanan terhadap penurunan kualitas dan populasi tumbuhan dan satwa liar di habitat alaminya. Kegiatan pemanfaatan tumbuhan dan satwa harus diawasi dan dikendalikan, sehingga tujuan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yaitu mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia, dapat diwujudkan. Melalui melalui Keppres No. 43 tahun 1978 Indonesia telah turut meratifikasi CITES (Convention on International Trade in Endangered of Wild Flora and Fauna). Harus diakui bahwa walaupun sudah diratifikasi dalam waktu yang cukup lama, tetapi peraturan CITES belum dapat diimplementasikan secara optimal untuk mendukung perdagangan tumbuhan dan

87 satwa yang berkesinambungan. Peraturan CITES mulai dari keharusan memiliki peraturan di tingkat nasional, penentuan kuota, mekanisme kontrol pengambilan tumbuhan dan satwa di alam hingga pengawasan lalu lintas perdagangannya masih belum terlaksana dengan baik.

Prosedur ekspor tumbuhan dan satwa cukup rumit. Sesuai ketentuan CITES, perdagangan tumbuhan liar diperlukan dokumen atau izin tertentu. Izin-izin ini sebenarnya merupakan keputusan (findings) dari suatu negara Pihak sebagai konfirmasi bahwa pengiriman tumbuhan ke negara lain dari negara tersebut tidak akan memberikan dampak terhadap populasi jenis tersebut di alam serta bahwa tumbuhan atau bagian tumbuhan yang dikirim tersebut telah diperoleh secara legal. Izin diterbitkan oleh Otoritas Pengelola (untuk Indonesia adalah Ditjen PHKA). Syarart untuk dapat menjadi pengedar tumbuhan dan satwa liar, diwajibkan terlebih dahulu terdaftar pada Direktorat Jenderal PHKA sesuai ketentuan saat ini, yaitu Keputusan Menteri Kehutanan No.447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar, pemohon wajib terdaftar pada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA). Izin pengambilan dan penangkapan komersial dapat diebrikan kepada perorangan, koperasi, BUMN, BUMD atau badan usaha milik swasta

Kebijakan pemanfaatan pasak bumi belum diatur meskipun saat ini pasak bumi merupakan salahsatu HHBK yang sudah menjadi komoditi ekspor bernilai tinggi. Prosedur ekspor tumbuhan dan satwa cukup rumit dan kebijakan pengelolaan pasak bumi antar lembaga terkait masih sektoral. Departemen Kehutanan merupakan lembaga yang berwenang mengelola pasak bumi sebagai salahsatu HHBK sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.35/Manhut- II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu. Sementara itu Departemen Pertanian juga memasukkan pasak bumi sebagai komoditi sektor pertanian dengan status tumbuhan yang dilindungi sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006 tentang Jenis Komoditi Tanaman Binaan Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Direktorat Jenderal Hortikultura.

Terdapat tumpang tindih perijinan pemanfaatan pasak bumi sebagai bahan baku obat tradisional. Pemerintah melalui Ditjen Pengawas Obat dan Makanan dalam mendukung pengembangan agroindustri tumbuhan obat Indonesia menetapkan pasak bumi sebagai salah satu dari 13 komoditi tumbuhan obat unggulan dengan pertimbangan bahwa komoditi tersebut bernilai ekonomi tinggi, mempunyai peluang pasar dan potensi produksi yang tinggi, serta berpeluang dalam pengembangan teknologi (Sumarno dalam Biofarmaka, 2002). Sementara untuk memperoleh perijinan ekspor komoditi yang dibawah wewenang Departemen Pertanian, pemohon harus mengajukan permohonan kepada Departemen Pertanian. Mengingat selama ini pasokan pasak bumi sebagai bahan baku obat tradisional masih memungut langsung dari hutan maka ijin pemungutan merupakan wewenang Departemen Kehutanan. Status pengelolaan pasak bumi yang berada dibawah wewenang Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan semakin memperumit proses perijinan ekspor pasak bumi.

Pasak bumi sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu yang bernilai ekonomis dan langka saat ini masih belum mendapat perhatian dari pemerintah, baik untuk status konservasi maupun regulasi perdagangannya. Potensi pasak

88

bumi di Indonesia ini menjadi target terjadinya kegiatan bioprospeksi. Malaysia merupakan salah satu negara yang banyak mengimpor pasak bumi dari Indonesia karena pada tahun 2001 Malaysia menetapkan status pasak bumi sebagai tumbuhan yang dilindungi (Lee et al. 2001). Malaysia banyak menghasilkan diversifikasi produk pasak bumi sebagai suplemen makanan yang diekspor ke berbagai negara sebagai salah satu produk unggulan Malaysia dan sudah dipatenkan di Amerika Serikat dengan nama tongkat ali (Rahardjo 2010).

Perijinan yang terlalu birokratis menyulitkan pelaku perdagangan dan bisa mendorong proses-prose yang tidak sesuai dengan prosedur. Pemerintah perlu menyederhanakan proses perijinan dan membuat sistem yang mampu mengkoordinasikan berbagai lembaga yang melakukan bioprospeksi, ekspor, kerjasama internasional dan pelaksanaan hukum.

Pengaturan Tata Niaga

Masalah krusial lainnya dalam tata niaga pasak bumi adalah pengaturan tata niaga. Pendekatan kelembagaan difokuskan pada penanganan komoditi dan penyediaan jasa-jasa pemasaran. Kelembagaan merupakan dasar perilaku pengambilan keputusan dan merupakan pusat perubahan. Interaksi kelembagaan sepanjang jaringan pemasaran dari produsen ke konsumen menentukan tingkat koordinasi dan efisiensi sistem total yang dicapai (Kurniawan 2003). Berdasarkan hasil analisis dari wawancara dengan para pelaku mulai dari pemungut sampai dengan pedagang kota (propinsi) yang terikat dalam jaringan patron klien, bervariasinya margin ini sebagai dampak tidak adanya standar kualitas yang sama antar pedagang dan kurang sempurna informasi pasar yang berkaitan dengan perkembangan harga. Dalam jaringan tersebut pengumpul memperoleh keuntungan yang paling kecil dan pedagang di kota memperoleh keuntungan yang paling besar.

Berdasarkan kondisi tersebut, maka diperlukan pengaturan manajemen rantai pasok mulai dari pemungutan hingga sampai ke pengguna atau konsumen akhir. Daryanto (2008) mengemukakan manajemen rantai pasok merujuk pada manajemen keseluruhan proses produksi, distribusi dan pemasaran, dimana konsumen dihadapkan pada produk-produk yang sesuai dengan keinginannya dan produsen dapat memproduksi produk-produknya dengan jumlah, kualitas, waktu dan lokasi yang tepat. Demikian pula Saptana dan Daryanto (2013) menyatakan bahwa secara operasional manajemen rantai pasok dapat dimaknai sebagai koordinasi rantai pasok (supply chains) sejak proses produksi, pengolahan, distribusi, pemasaran hingga konsumen akhir. Oleh karena itu dalam membangun lembaga Hutan Desa, terdapat empat hal penting dalam fasilitasi akses terhadap pasar dengan menerapkan manajemen tata niaga yaitu : 1) pembangunan dan pemeliharaan kerjasama dalam rantai tata niaga; 2) kontrol terhadap persediaan stok harus selalu dilakukan sehingga efisiensi biaya tercapai; 3) penentuan lokasi dan transportasi dalam sebuah jaringan harus dibuat berdasarkan perhitungan serta memperhatikan dampak terhadap biaya persediaan, fasilitas dan proses; 4) perlunya sistem informasi terpadu. Dengan manajemen tata niaga diperlukan adanya saling kepercayaan, komitmen, keterbukaan serta tindakan antar pihak

89 yang dapat dipertanggung jawabkan sehingga dapat menekan biaya transaksi ekonomi dan tercapai efisiensi secara berkelanjutan (Saptana dan Daryanto 2013).

Pola Interaksi Kelembagaan Tata Niaga Pasak Bumi

Karakteristik alami pengusahaan pasak bumi, atribut komunitas masyarakat sekitar gunung Ambawang dan kondisi fisik alam serta pengelolaan state property yang tidak efektif telah melahirkan interaksi saling ketergantungan komunitas tata niaga pasak bumi. Adanya pihak yang berada dalam posisi lebih baik dibanding pihak lain, baik dalam segi ekonomi ataupun penguasaan informasi melahirkan bentuk kelembagaan tata niaga pasak bumi dengan sistem patron klien. Berdasarkan hasil analisis kinerja, tata niaga pasak bumi tidak efisien dimana margin share yang diperoleh tiap pelaku pemasaran tidak merata untuk tiap tingkat pemasaran dimana pengumpul memperoleh keuntungan yang paling kecil, namun memiliki nilai ROI paling besar. Artinya, dari aspek kelestarian kondisi ini mengancam keberadaan pasak bumi di alam karena akan memacu pemungut untuk mengumpulkan pasak bumi sebesar-besarnya meskipun biaya yang dikeluarkan oleh pemungut kecil, namun sumber daya pasak bumi ditambang langsung dari hutan, bukan dari hasil budidaya.

Karakteristik komunitas yang mempengaruhi arena aksi dalam kelembagaan tata niaga pasak bumi dari masing-masing pelaku berbeda. Menurut Ostrom (2007) atribut-atribut komunitas penting yang mempengaruhi arena aksi, meliputi: nilai-nilai prilaku yang dapat diterima secara umum dalam komunitas, tingkat pemahaman umum dari partisipan potensial untuk berbagi (atau tidak berbagi) pada struktur tipe khusus di arena aksi; tingkat homogenitas dalam pilihan (preferensi) kehidupan di dalam komunitas; ukuran dan komposisi dari komunitas yang relevan; dan tingkat ketidaksamaan dalam aset dasar di antara mereka yang mempengaruhi.

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan pemungut, atribut komunitas yang mempengaruhi pemungut melakukan kegiatan pemungutan pasak bumi adalah adanya pemahaman bahwa pasak bumi merupakan tanaman yang bisa diakses untuk dipungut dan dijual; kegiatan pemungutan pasak bumi sebagai alternatif mata pencaharian; dan berdasarkan observasi hanya sekelompok kecil masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang tanaman pasak bumi dengan skill atau keahlian khusus dalam teknik pemungutan. Hal ini karena sifat akar tunggang pasak bumi membutuhkan keahlian khusus dalam melakukan pemungutan. Atribut komunitas pengumpul dan tengkulak adalah sebagai pedagang perantara yang menghubungkan pemungut dengan pasar. Pedagang, tengkulak dan pengumpul memiliki kemampuan akses informasi dan permodalan lebih baik daripada pemungut. Secara umum atribut komunitas pemungut, pengumpul, tengkulak dan pedagang mempunyai homogenitas dalam pemanfaatan pasak bumi yang terwujud melalui interaksi dan proses kerjasama dengan membentuk pola ketergantungan tata niaga pasak bumi. Ostrom dan Hess (2007) menyatakan bahwa komunitas yang homogen adalah apabila komunitas, baik penyedia maupun pengambil keputusan bersatu dalam pemanfaatan sumber daya bersama yang terwujud melalui proses kerjasama dan koordinasi antar pihak-pihak tersebut dalam menentukan sumber daya bersama.

90

Karakteristik alami pengusahaan pasak bumi, atribut komunitas masyarakat sekitar kawasan HLGAP dan kondisi fisik alam telah melahirkan hubungan saling ketergantungan antara pemungut pasak bumi dengan pedagang. Pedagang membutuhkan pemungut pasak bumi sebagai anak buah untuk melakukan ekspedisi ke hutan. Sedangkan pemungut membutuhkan pedagang untuk memasarkan pasak bumi. Adanya hubungan ketergantungan ini selanjutnya melahirkan kelembagaan tradisional tata niaga pasak bumi yang bersifat informal, tidak ada administrasi dan aturan-aturan atau kesepakatan tertulis. Adanya pihak yang berada dalam posisi lebih baik dibanding pihak lain, baik dalam segi ekonomi ataupun penguasaan informasi melahirkan bentuk kelembagaan tata niaga pasak bumi dengan sistem patron klien (Scott 1993). Hubungan patron klien mencerminkan posisi tawar menawar relatif dari kedua belah pihak. Anak buah sebagai klien sering berada dalam posisi tawar yang lemah. Akibat adanya informasi yang tidak seimbang (asymetric information) antara patron dan klien ini akan memunculkan masalah salah pilih mitra kerja (adverse selection) dan moral hazard (Lane 2003). Kondisi ini cenderung membuat individu berperilaku oportunistik yang menyebabkan munculnya persoalan bencana moral (moral hazard) seperti muncul ketidak loyalitasan pemungut sebagai anak buah yang menjual hasil pasak buminya kepada tengkulak lain. Informasi yang tidak seimbang secara teori dianggap menjadi penyebab kegagalan kebijakan dan kegagalan pasar (Pindyck & Rubinfeld 2001).

Masalah salah pilih mitra kerja (adverse selection) disebabkan karena lokasi pemungutan pasak bumi di HLGAP memiliki kondisi aksesibilitas yang rendah dan mahal serta fasilitas yang terbatas sehingga pemungut memperoleh informasi perkembangan harga hanya dari pedagang yang ada di desa. Kondisi ini yang