Latar Belakang
Pasak bumi adalah salah satu jenis tumbuhan obat langka yang merupakan tumbuhan asli Indonesia. Mardisiswojo dan Harsono (1968) menyatakan bahwa pasak bumi adalah tumbuhan liar yang banyak terdapat di Sumatera dan Kalimantan di dataran rendah sampai ketinggian 500 m dari permukaan laut. Persebaran pasak bumi meliputi Kalimantan, Sumatera, Semenanjung Malaya, Burma Selatan, Laos, Kamboja dan Vietnam (Rifai 1975; Siregar et al. 2003). Pasak bumi di Indonesia mempunyai beragam nama daerah antara lain; pasak bumi (Kalimantan), widara putih (Jawa), mempoleh (Bangka), besan (Sumut), tongkat ali (Aceh). Menurut Rifai (1975), pasak bumi pada umumnya berbentuk semak atau pohon yang tingginya dapat mencapai 10 meter, berdaun majemuk menyirip ganjil, batangnya berwarna kuning, kulit batang keras dan rasanya sangat pahit.
Habitat pasak bumi banyak dijumpai di punggung-punggung bukit dengan kondisi lahan yang miring hingga pada ketinggian 700 m dpl dengan sifat sebaran menyebar berkelompok (Heyne 1987; Nuryamin 2000; Julisasi 1992). Tumbuhan ini tumbuh pada temperatur rata-rata 25oC dengan kelembaban udara 86% setelah melalui masa muda tumbuhan ini membutuhkan lebih banyak sinar matahari untuk membantu perkembangan vegetatif dan system reproduksinya. Pasak bumi berbunga dan berbuah sepanjang tahun. Biasanya bunga mekar sekitar bulan juni sampai juli. Sementara buahnya masak pada bulan September (Padua et al. 1999). Menurut Rifai (1992), kondisi populasi pasak bumi saat ini sudah dikategorikan sebagai tumbuhan langka dengan status terkikis. Kelangkaan tersebut terjadi karena beberapa faktor, yaitu faktor biologi reproduksi, tipe benih, gangguan habitat pasak bumi serta pemanfaatan pada bagian akar. Secara biologi reproduksi pasak bumi terdiri dari 2 tipe tumbuhan yaitu dioceous dan monoceous. Jenis dioceous tergolong unik karena terdiri dari pohon jantan dan pohon betina. Pohon jantan dapat menghasilkan buah namun gugur pada saat muda. Selain itu memiliki bunga yang dapat tumbuh namun putiknya steril, sedangkan pohon betina mampu menghasilkan benih dan memiliki benang sari namun steril. Oleh karena itu proses penyerbukannya kemungkinan dibantu oleh serangga dan penyerbukan silang (Padua 1999). Menurut Hussein et al. (2005), selama ini perbanyakan pasak bumi hanya mengandalkan biji dari alam. Padahal sebagai tumbuhan yang memiliki tipe benih rekalsitran, presentase kecambahnya cenderung rendah dan memerlukan waktu yang cukup lama akibat embrio zigotik yang belum matang pada saat pemencaran. Benih dengan pertumbuhan embrio yang belum berkembang saat penyebaran tidak akan dapat berkecambah pada kondisi perkecambahan normal dan karenanya tergolong kategori dorman. Copeland dan McDonald (1995) mengemukakan bahwa benih rekalsitran mempunyai masa hidup yang singkat dan sukar untuk disimpan karena kadar airnya yang tinggi menyebabkan benih mudah terkontaminasi mikroba dan lebih cepat mengalami kemunduran bahkan kematian.
32
Berdasar kriteria biofisik dan lingkungan, data potensi, populasi dan persebaran pasak bumi belum banyak diteliti. Baru sedikit penelitian tentang kondisi biofisik dan lingkungan pasak bumi, diantaranya adalah kajian ekologi pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) dan pemanfaatan oleh masyarakat di sekitar Hutan Bukit Lawang (Ginting 2010); kajian ekologis pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) di areal HPH PT. Siak Raya Timber Riau (Julisasi 1992); studi potensi tumbuhan obat akar Kuning (Arcangelisia flava (L.) Merr), pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack), seluang belum (Luvunga eleutherandra Dalz) dan gingseng kalimantan (Psycotria valetonii Hochr) di Areal Kerja HPN PT. Manimbun Djaja (Djajanti Group) Kalimantan Tengah (Nuryamin 2000); data botani tumbuhan pasak bumi (Rifai 1975); Studi potensi pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) dan kemungkinan pemanfaatannya di areal kerja HPH PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat (Supriyadi 1998). Publikasi penelitian tentang pasak bumi banyak meneliti tentang aspek kandungan bioaktif pasak bumi. Habitatnya yang hanya di daerah tertentu (sebagian Sumatera dan Kalimantan) menyebabkan pasak bumi di ambang kepunahan, sehingga perlu adanya upaya konservasi dan budidaya agar keberadaannya tetap terjaga.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji preferensi habitat dan melakukan estimasi stok pasak bumi di hutan alam perhektar.
Metode Penelitian
Lokasi
Penelitian dilakukan pada bulan November 2012 di Hutan Lindung Gunung Ambawang-Pemancingan (HLGAP). Berdasarkan administrasi pemerintahan, areal tersebut termasuk ke dalam 2 wilayah Kecamatan, Kecamatan Kubu dan Kecamatan Teluk Pakedai, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Status kawasan hutan lindung ini ditetapkan berdasarkan surat ketetapan No 121/kpts-II/2003, yang meliput lahan seluas 3.370 Ha.
Kawasan HLGAP mempunyai bentang alam yang unik. Berada pada titik 022‟1” LS - 10916‟58” BT. topografi bergelombang dengan ketinggian hingga 410 mdpl, kemiringan lereng 5-35%. Dikelilingi oleh sungai besar dan berada tidak jauh dari pesisir pantai. tipe edafik bervariasi dari bantaran sungai hingga ke punggung bukit yang terdiri atas jenis tanah aluvial berpasir, gambut dan podsolik merah kuning (Depnakertrans Kab. Pontianak, 2006).
Kawasan di sekitar HLGAP mempunyai tipe lahan dan vegetasi yang beragam dari bantaran sungai hingga daerah puncaknya. Di bantaran sungai merupakan habitat bagi spesies bakau dan nipah (Nypa frutican). Selanjutnya secara berurutan merupakan kawasan pemukiman transmigrasi dan budidaya pertanian, komunitas belukar, perkebunan kelapa sawit, dan kawasan hutan perbukitan.
33 Metode
Pengukuran dan pengamatan parameter dilakukan dengan pengambilan data pada petak pengamatan dengan metode jalur berpetak sebanyak 5 jalur yang masing-masing dibagi ke dalam petak ukur berukuran 20 x 20 meter. Petak pengamatan seluas 1 ha tersebut dianggap dapat menggambarkan kondisi populasi dan potensi berat akar pasak bumi. Populasi pasak bumi dihitung pada masing- masing plot pengamatan yang disesuaikan dengan tingkat pertumbuhannya serta populasi pasak bumi secara keseluruhan pada plot ukuran 20x20 meter. Kriteria tingkat pertumbuhan adalah (a) tingkat tingkat tiang adalah tumbuhan berkayu yang berdiameter 10-19 cm, (b) tingkat pancang adalah tumbuhan yang berdiameter kurang dari 10 cm dan tingginya di atas 1,5 meter, dan (c) vegetasi tingkat semai adalah tumbuhan yang tingginya 0-1,5 meter. Data yang dicatat pada setiap petak ukur adalah jumlah pasak bumi, tinggi, diameter batang, dan kondisi habitat (suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya). Data jumlah individu dan kondisi iklim mikro pada masing-masing ketinggian dianalisis dengan analisis komponen utama (Principal Component Analysis/PCA) (Bengen 1998). Berat akar pasak bumi diukur dengan mengambil sampel tiap kelompok pasak bumi berdasar diameter. Variabel yang diukur, pengumpulan data dan teknik analisis data untuk mencapai tujuan disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Tujuan penelitian, variabel yang akan diukur, pengumpulan data dan teknik analisis data
Tujuan Penelitian Variabel yang Diukur Teknik Pengumpulan data Teknik Analisis Data Output yang Diharapkan Mengkaji preferensi habitat dan estimasi stok pasak bumi Jumlah (btg/ha) Berat akar Pola sebaran Iklim mikro (Suhu, kelembaban, intensitas cahaya)
Sifat fisik dan kimia tanah Inventarisasi Studi literatur Indeks Morissita Indeks keseragaman Indeks pengelompokan Morissita terstandar Pendugaan stok pasak bumi PCA (Principal Component Analysis Memperoleh data preferensi habitat dan estimasi stok pasak bumi yg dapat dipanen perhektar
34
Analisis Data
Estimasi Stok Akar Pasak Bumi
Variabel yang digunakan untuk estimasi berat akar pasak bumi adalah berat akar sebagai variabel tak bebas dan diameter serta tinggi sebagai variabel bebas yang kemudian dimasukkan ke dalam setiap persamaan yang ada. Hal ini dilakukan untuk mengetahui hubungan korelasi yang tepat dengan melihat fenomena data yang ada sehingga bentuk persamaan yang sesuai dapat diketahui. Sedangkan untuk menentukan persamaan yang sesuai dilihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yang terbesar menunjukkan bentuk persamaan yang tepat. Persamaan yang digunakan untuk estimasi berat akar pasak bumi sebagai berikut : a. Persamaan Regresi Linier Sederhana (Steel and Torrie 1993)
Bila berat akar di notasikan dengan notasi Y dan diameter batang dinyatakan dengan notasi D, maka persamaan regresi linier adalah :
Yba = a0 + a1 D
Sedangkan apabila tinggi/batang dinyatakan dengan notasi T, maka persamaan regresi linier adalah :
Yba = a0 + a1 T
b. Persamaan Exponensial (Steel and Torrie 1993) Variabel bebas : diameter, maka Y = b Da1 Variabel bebas : tinggi, maka Y = a Ta1
Pola Sebaran
Bentuk sebaran suatu jenis tumbuhan sangat diperlukan untuk keberhasilan pengelolaan dan teknik pemanfaatannya. Dalam suatu populasi biasanya terdapat pola sebaran seragam, menyebar atau mengelompok. Untuk mengetahui pola sebaran tumbuhan pasak bumi menggunakan metode Morrisita yang meliputi perhitungan indeks sebaran Morrisita, indeks keseragaman, indeks pengelompokan dan Morissita terstandar (Kreb 1989).
a. Indeks Sebaran Morissita
Indeks sebaran Morissita digunakan untuk mengetahui pola sebaran suatu tumbuhan yang dinyatakan dengan persamaan :
Σ x2 - Σ x Iδ = n
(Σ x)2 - Σ x Keterangan : Iδ = Indeks sebaran Morissita
n = Jumlah jalur
x = Jumlah individu pada setiap jalur ke-i b. Indeks Keseragaman
X0,975–n + Σ xi Mu =
35 Keterangan : Mu = Indeks keseragaman
X0,975 = Nilai Chi square tabel dengan derajat bebas n-1 dan selang kepercayaan 97.5 %
c. Indeks Pengelompokan
X0,025– n + Σ xi Mc =
Σ xi– 1 Keterangan : Mu = Indeks pengelompokan
X0,025 = Nilai Chi square tabel dengan derajat bebas n-1 dan selang kepercayaan 2.5 %
d. Morissita Terstandar (Ip)
Setelah diketahui nilai-nilai dari indeks Morissita, derajat keseragaman dan derajat pengelompokan, maka dapat dicari nilai standar Morissita untuk menunjukkan pola penyebaran tumbuhan. Standar Morissita mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :
1. Bila Iδ ≥ Mc ≥ 1,0, maka Iδ - Mc Ip = 0.5 + 0.5 ( ) N – Mc 2. Bila Mc > Iδ ≥ 1,0, maka Iδ - 1 Ip = 0.5 ( ) Mc - 1 3. Bila 1,0 > Iδ > Mu, maka
Iδ - 1 Ip = - 0.5 ( ) Mu – 1 4. Bila 1,0 > Mu > Iδ , maka Iδ - Mu Ip = - 0.5 + 0.5 ( ) Mu
Standar Morissita memiliki selang nilai – 1,0 sampai dengan 1,0 dengan batas selang kepercayaan 0.5 dan 0.5 sehingga dengan nilai Ip dapat diketahui pola penyebaran tumbuhan bila :
Ip = 0, menunjukkan pola penyebaran acak (random)
Ip > 0, menunjukkan pola penyebaran mengelompok (clumped) Ip < 0, menunjukkan pola penyebaran seragam/merata (uniform)
36
Hasil dan Pembahasan
Kondisi Habitat Pasak Bumi
Kondisi habitat pasak bumi di hutan lindung Gunung Ambawang- Pemancingan (HLGAP) mempunyai bentang alam yang unik. Berada pada titik 022‟1” LS - 10916‟58” BT, topografi bergelombang dengan ketinggian hingga 410 mdpl, kemiringan lereng 15% - 45%. Dikelilingi oleh sungai besar dan berada tidak jauh dari pesisir pantai. Berdasarkan pengukuran terhadap kondisi fisik di setiap petak penyebaran, secara keseluruhan pasak bumi dapat diketemukan pada ketinggian dengan kisaran 5 – 410 m dpl. Distribusi populasi pasak bumi secara topografi semakin tinggi ketinggian tempat dari permukaan laut semakin besar populasi pasak bumi seperti terlihat dari sebaran populasi pasak bumi pada Gambar 7.
Gambar 7 Distribusi populasi pasak bumi berdasar ketinggian dari permukaan laut (m dpl) di HLGAP
Berdasarkan keberadaannya ini pasak bumi mempunyai rentang penyebaran topografi yang cukup lebar. Berdasarkan material koleksi pasak bumi di Herbarium Bogoriense, pasak bumi dapat ditemukan pada daerah dengan ketinggian 0 – 700 m dpl. Hal ini sesuai pula dengan hasil penelitian Supriyadi (1998) di areal HPH PT. Suka Jaya Makmur di daerah Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat yang menyatakan bahwa pasak bumi tercatat ditemukan pada ketinggian 290 – 650 m dpl. Penelitian Nuryamin (2000) di areal HPH PT. Manimbun Djaya (Djajanti Group) Kalimantan Tengah, pasak bumi ditemukan pada rentang ketinggian antara 320 – 700 m dpl dengan jumlah paling banyak pada daerah dengan rentang antara 500 – 600 m dpl. Faktor ketinggian tempat dari permukaan laut ini berkaitan dengan penyebaran faktor-faktor iklim seperti suhu, curah hujan, kelembaban, intensitas cahaya matahari serta penyebaran tipe ekosistem yang kemudian dapat mempengaruhi keberadaan atau penyebaran suatu jenis tumbuhan (Ewusie 1990). Berdasar ketinggian tempat, semakin tinggi dari permukaan laut suhu dan intensitas cahaya semakin kecil, sebaliknya nilai kelembaban udara semakin meningkat. Handoko (1993)
9 19 18 28 40 0 10 20 30 40 50 5 - 80 m 80 - 160 160 - 240 240 - 320 320 - 402 Ju m lah ( In d /h a)
37 menyebutkan bahwa kelembaban udara akan semakin kecil jika suhu meningkat dan begitu juga sebaliknya. Suhu dan intensitas cahaya akan semakin kecil dengan semakin tingginya tempat tumbuh. Keadaan ini disebabkan karena berkurangnya penyerapan (absorbsi) dari udara. Hasil pengukuran iklim mikro di kawasan HLGAP disajikan pada Tabel 6, dan penelitian sebelumnya mengenai kondisi iklim mikro habitat pasak bumi disajikan pada Tabel 7.
Tabel 6 Rataan kondisi iklim mikro habitat pasak bumi pada strata ketinggian dan waktu pengamatan pagi, siang, sore
Ketinggian (m dpl)
Suhu (°C) RH (%) Cahaya (klx) Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore 5-80 22 29 27 59 80 66 0.93 1.56 1.06 80-160 24 29 26 60 87 70 0.91 1.26 0.87 160-240 23 28 26 57 90 72 0.85 1.41 0.96 240-320 24 26 25 68 95 73 0.52 0.86 0.63 320-402 24 27 25 68 90 69 0.49 0.71 0.53
Sumber : data primer
Keterangan : waktu pengamatan : pagi (07.00-09.00); siang (12.00-14.00); sore (15.00-16.00)
Berdasarkan hasil pengukuran terlihat bahwa suhu harian berkisar antara 22 o
C – 29oC, kelembaban harian berkisar antara 57% – 96%, dan intensitas cahaya berkisar antara 0.49 – 1.56 klx. Kondisi tersebut secara biologis kawasan hutan dalam keadaan suhu sedang, intensitas cahaya cukup rendah dan kelembaban yang cukup tinggi mengakibatkan proses pengeringan akan berjalan lambat, mendorong pertumbuhan mikroorganisme, mendorong pemecahan bahan-bahan organik dan pelarutannya ke dalam tanah untuk selanjutnya diserap oleh tumbuhan (Kartasapoetra 2008). Kondisi iklim seperti ini bisa memperlama proses dormansi biji di hutan alam yang menyebabkan biji terserang oleh jamur sehingga membusuk, menghambat pertumbuhan anakan pada lantai hutan. Beberapa hasil penelitian tentang kondisi iklim mikro habitat pasak bumi juga menunjukkan kondisi biologis yang hampir sama seperti pada Tabel 7 berikut.
Tabel 7 Kondisi iklim mikro rataan harian habitat pasak bumi pada lokasi penelitian yang berbeda
Lokasi Suhu (oC) Kelembaban udara (%) Intensitas cahaya (Klx) Pontianak 1 25 87 1.06 Bengkayang 2 26 96 0.87 Medan 3 24 91 1.14
Sumber : 1. Fuadi (2005 ), 2. Lesmana (2005), 3. Ginting (2010)
Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) digunakan untuk menganalisis berbagai variabel lingkungan untuk mengidentifikasi preferensi habitat pasak bumi. Hasil analisis PCA pada Gambar 8 memperlihatkan jumlah individu pasak bumi dicirikan oleh kelembaban udara. Hal tersebut sesuai dengan sifat pasak bumi yang toleran terhadap cahaya pada tingkat semai.
38
Pertumbuhan awal (perkecambahan dan pertumbuhan sampai tingkat semai) pasak bumi memerlukan kondisi tempat tumbuh yang lembab dan tanah gembur. Hal itu ditunjukkan dengan banyaknya dijumpai individu pasak bumi yang tumbuh di sekitar pohon induknya dan berasosiasi dengan pohon yang bertajuk lebar. Dominasi pohon-pohon dengan permukaan daun lebar pada hutan hujan tropis menghalangi masuknya cahaya matahari sehingga tingkat kelembabannya tinggi (Ferdinand 2007). Grafik analisis komponen utama jumlah individu pasak bumi dan parameter habitat pasak bumi di kawasan HLGAP disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Analisis komponen utama jumlah individu pasak bumi dan parameter habitat pasak bumi
Pasak bumi pada beberapa petak pengamatan ditemukan tumbuh berdampingan dengan pohon kempas (Kompassia mallacensis), nyatoh (Palaquium sp), ilas (Parasetamon urophyllum), bintangur (Calophyllum inophyllum) dan meranti (Shorea sp). Hal ini sesuai pula dengan hasil penelitian Julisasi (1992), Nursyam (1994), dan Supriyadi (1998) yang melakukan perhitungan nilai derajat asosiasi pasak bumi terhadap beberapa vegetasi tingkat pohon yang diduga mempunyai hubungan yang erat dengan keberadaan pasak bumi di hutan. Nilai derajat asosiasi dari beberapa hasil penelitian tersebut disajikan pada Tabel 8.
39 Tabel 8 Asosiasi pasak bumi pada lokasi penelitian yang berbeda
Riau1 Sumatera Selatan2 Kalimantan Barat3
Jenis DA Jenis DA Jenis DA
Shorea sp 78.6 Shorea sp 32.4 Koompassia malaccensis
29.7 Syzygium acutangalum 46.0 Koompassia
malaccensis
29.5 Shorea leprosula
24.6 Callophylum sp 34.5 Litsea sp 19.0 Quercus sp 21.0 Gonistylus forbesii 21.6 Ochanostachys
amentase 18.3 Dyera costulata 18.9 Koompassia malaccensis 15.7 Scapium macropodum 16.1 Shorea acuminata 13.8
Sumber : 1. Julisasi (1992) 2. Nursyam (1994) 3. Supriyadi (1998) Keterangan : DA = derajat asosiasi
Tipe edafik pada kawasan HLGAP disini bervariasi dari bantaran sungai hingga ke punggung bukit yang terdiri atas jenis tanah aluvial berpasir, gambut dan podsolik merah kuning. Berdasarkan data hasil penelitian Fuadi (2005), sifat kimia tanah kawasan HLGAP dan pedoman pengharkatan hasil analisa tanah disajikan pada Tabel 9 dan Tabel 10.
Tabel 9 Sifat kimia tanah di kawasan HLGAP Sampel N (%) P (ppm) K (me/100 g) K (me/100g) pH (H2 O) C (%) KTK (me/100g) 0-30 cm 0.21 4.47 0.11 4.98 4.98 1.81 12.79 30-60 cm 0.18 0.87 0.08 4.31 4.31 0.97 12.73 Sumber : Fuadi (2005)
Berdasarkan hasil analisis data, kadar N-total tanah, Fosfor (p) dan Kalium (K) pada kedalaman 0-30 cm cenderung lebih tinggi dibandingkan pada kedalaman 30-60 cm. Hal ini karena kandungan bahan organik hasil dekomposisi serasah banyak terdapat pada lapisan atas tanah (top soil). Hasil pengukuran pH tanah semakin masuk kedalam tanah pH semakin asam. Pada kedalaman 0-30 cm sebesar 4.98 termasuk kategori tanah masam, sedangkan pH tanah untuk kedalaman 30-60 cm sebesar 4.31 kategori sangat masam. Berdasarkan parameter C-Organik dan KTK dengan mengacu kepada kriteria penilaian sifat kimia, status kesuburan areal ini tergolong rendah. Hal ini sesuai pula dengan hasil penelitian Lesmana (2005) di hutan Pikul Kabupaten Bengkayang yang menyatakan jenis tanah tempat tumbuh pasak bumi merupakan jenis podsolik merah kuning dengan pH tanah menunjukkan tanah sangat masam dengan kandungan hara rendah. Namun demikian berdasarkan hasil penelitian dari Ginting (2010) di sekitar hutan
Bukit Lawang menunjukkan bahwa kandungan unsur hara tempat tumbuh pasak
bumi di tempat tersebut cukup tinggi. Hal ini berarti pasak bumi dapat tumbuh di tanah yang miskin hara juga dapat tumbuh baik pada tanah yang subur. pasak bumi dapat bertahan hidup pada tanah yang miskin hara, tetapi tidak menyukai tanah tergenang. pasak bumi banyak dijumpai pada tanah dengan kondisi lahan agak miring atau pada lereng-lereng bukit.
40
Tabel 10 Pedoman pengharkatan hasil analisa tanah No
. Parameter Satuan
Harkat Sangat
Rendah Rendah Sedang Tinggi
Sangat Tinggi 1 C-Organik % <1,0 1-2 2-3 3-5 >5 2 N total % <0,1 0,1-0,2 0,2-0,5 0,5-0,75 >0,75 3 C/N rasio <5 5-10 11-15 16-25 >25 4 P tersedia Ppm <10 10-15 16-25 26-35 >35 5 Ca meq/100 g <2,0 2,0-5,9 6,0-10,9 11,0-20,0 >20,0 6 Mg meq/100 g <0,4 0,4-1,0 1,1-2,0 2,1-8,0 >8,0 7 K meq/100 g <0,1 0,1-0,3 0,4-0,5 0,6-1,0 >1,0 8 Na meq/100 g <0,1 0,1-0,3 0,4-0,7 0,8-1,0 >1,0 9 KTK meq/100 g <5,0 5,1-16,0 16,1-24,0 24,1-40,0 >40,0 10 Kejenuhan Basa % <10,0 10,1-35,0 35,1-50,0 50,1-70,0 >70,0 11 pH H2O sangat masam Masam agak masam Netral agak alkalis Alkalis < 4,5 4,5-5,5 5,6-6,5 6,6-7,5 7,5-8,5 >8,5 Sumber : Laboratorium Biotrop, Bogor
Menurut Hardjowigeno (1992) tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah. Tekstur tanah merupakan perbandingan antara butir-butir pasir, debu dan liat. Kawasan HLGAP termasuk jenis podsolik merah kuning (PMK) dengan tekstur liat sampai liat berpasir dengan kandungan pasir antara 23.36% - 46.81%,
debu antara 10.61% - 16.16% dan liat antara 37.43% - 67.03%. Dengan nilai
bobot isi berkisar 0.91-1.02 gr/cm3 (standar bobot isi 1.1-1.6 gr/cm3)
mempermudah akar tanaman dan air menembus lapisan tanah tersebut serta tanah mempunyai kemampuan yang baik dalam mengikat air dan udara (Hardjowigeno
2007). Kondisi tanah seperti ini akan memungkinkan bagi pertumbuhan perakaran
tunggang pasak bumi yang menembus tegak lurus dalam lapisan tanah.
Karakteristik tanah sebagai tempat tumbuh pasak bumi pada tanah yang
bersifat agak asam dengan tekstur tanah liat berpasir sesuai dengan data botani
pasak bumi pada Herbarium Bogoriense yang menyatakan bahwa pasak bumi
menyukai tanah yang asam dan bersifat silisikola (Rifai 1975). Hasil penelitian Julisasi (1992) di areal HPH PT. Siak Raya Timber, Riau menyatakan bahwa
pasak bumi menghendaki tanah yang gembur dan berdrainase baik yang dicirikan dengan tekstur lempung liat berpasir dengan struktur remah. Begitu juga dengan
hasil penelitian Ginting (2010) di sekitar hutan Bukit Lawang yang menunjukkan
komponen tanah tempat tumbuh pasak bumi terdiri atas pasir, debu dan liat. Hasil analisis fisik tanah HLGAP disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Sifat fisik tanah di HLGAP
Parameter Analisis Hasil Analisis Sampel Tanah
0 – 30 cm 0 – 60 cm Struktur Bentuk agregat Ukuran (mm) Kemantapan agregat (%) Kelas ukuran Granular 4,14 Sedang (54.09 %) Butir dan remah
Granular 2.25 Sedang (59.09 %) Butir dan remah
41 Tabel 11 Lanjutan
Parameter Analisis Hasil Analisis Sampel Tanah
0 – 30 cm 0 – 60 cm Tekstur (%) Pasir Debu Liat 23.36 10.61 67.73 46.81 16.16 37.43 Kadar air (%) Bobot isi (gr/cm3) Kerapatan zarah (gr/ml) Porositas (%) 46.01 0.91 2.58 64.73 25.92 1.02 2.61 60.92 Sumber : Fuadi (2005)
Kondisi Populasi Pasak bumi
Menurut Primack (1998), suatu populasi yang stabil biasanya mempunyai distribusi umur yang khas, dengan perbandingan antara individu muda, dewasa dan tua akan terdapat perbandingan tertentu. Anggota suatu kelas umur terutama individu muda kadangkala tidak ditemukan atau terdapat dalam jumlah yang terlalu sedikit, gejala ini biasanya menunjukkan bahwa populasi akan menurun. Sebaliknya bila anakan dan individu terdapat dalam jumlah besar, hal ini mungkin menunjukkan bahwa populasi berada dalam keadaan stabil dan bahkan mungkin akan mengalami peningkatan.
Hasil penelitian, dari 25 petak pengamatan ukuran 20 x 20 meter (1 ha), populasi pasak bumi ditemukan hampir di semua petak pengamatan yaitu, di 23 petak sebanyak 114 individu. Hasil penelitian hanya 2 petak pengamatan yang tidak terdapat pasak bumi, yaitu pada jalur 1 petak 1 dan pada jalur 2 petak 4 karena kondisi berbatu dan banyak didominasi vegetasi bambu dan rotan. Hasil perhitungan jumlah populasi tertinggi ditemukan pada jalur 1 sebanyak 47 individu, sedangkan terendah terdapat pada jalur 3 yaitu 10 individu. Populasi pasak bumi pada jalur pengamatan dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Populasi pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) yang ditemukan sepanjang jalur pengamatan di HLGAP
47 21 10 20 16 0 10 20 30 40 50 1 2 3 4 5 Ju m lah ( in d /h a) Jalur Pengamatan
42
Berdasarkan struktur kelas pertumbuhan di seluruh jalur pengamatan, pada tingkat semai berjumlah 71 (62.28%), pancang 42 (36.84%) dan tiang 1 (0.87 %). Secara ekologis struktur tersebut menunjukkan struktur populasi pasak bumi normal, karena dalam hutan alam suatu vegetasi yang normal ditunjukkan dengan bentuk kurva “J” terbalik, artinya bahwa jumlah semai lebih banyak dibandingkan dengan pancang, pancang lebih banyak daripada tiang, dan tiang lebih banyak daripada pohon. Struktur pertumbuhan populasi pasak bumi disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Struktur kelas pertumbuhan populasi pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) di HLGAP
Kecilnya jumlah tingkat pancang dan tiang ini terjadi karena lajunya pemungutan akar pasak bumi pada tingkat tersebut atau pada kelas diameter berkisar 10-20 cm. Laju pemungutan pasak bumi pada tingkat pancang dan tiang tersebut berpotensi mengakibatkan kelangkaan karena mematikan pohon induk. Menurut Hussein et al. (2005), selama ini perbanyakan pasak bumi hanya mengandalkan biji dari alam. Padahal sebagai tumbuhan yang memiliki tipe benih rekalsitran, presentase kecambahnya cenderung rendah dan memerlukan waktu yang cukup lama akibat embrio zigotik yang belum matang pada saat pemencaran. Benih dengan pertumbuhan embrio yang belum berkembang saat penyebaran tidak akan dapat berkecambah pada kondisi perkecambahan normal dan karenanya tergolong kategori dorman. Fenomena ini seringkali diklasifikasikan sebagai dormansi morfologis, menunjuk kepada tingkat morfologis dari embrio yang belum matang. Copeland dan McDonald (1995) mengemukakan bahwa benih rekalsitran mempunyai masa hidup yang singkat dan sukar untuk disimpan karena kadar airnya yang tinggi menyebabkan benih mudah terkontaminasi mikroba dan lebih cepat mengalami kemunduran bahkan kematian. Kondisi iklim mikro di kawasan HLGAP yang menunjukkan kondisi kawasan hutan suhu sedang, intensitas cahaya cukup rendah dan kelembaban yang cukup tinggi mengakibatkan memperlama proses dormansi biji di hutan alam yang