• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang

Definisi hutan lindung berdasarkan peraturan perundangan yang ada, diantaranya Undang-Undang No. 41/1999 pasal 1 didefinisikan sebagai kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan Keppres nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, menyebutkan enam kriteria hutan lindung yaitu kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 persen atau lebih, mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2000 meter atau lebih, kawasan dengan faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai skor 175 atau lebih, kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng lapangan lebih dari 15%, kawasan yang merupakan daerah resapan air, dan kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai.

Undang-undang nomor 41/1999 dan Peraturan Pemerintah nomor 34/2002 menyebutkan pula bahwa bentuk pemanfaatan hutan lindung terbatas pada pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dapat berupa budidaya tanaman obat, perlebahan, penangkaran. Sedangkan pemanfaatan jasa lingkungan adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi hutan lindung dengan tidak merusak lingkungan seperti ekowisata, wisata olah raga tantangan, pemanfaatan air, dan perdagangan karbon. Bentuk-bentuk pemanfaatan ini ditujukan untuk meningkatkan pendapatan daerah, peningkatan kesejahteraan dan kesadaran masyarakat sekitar hutan akan fungsi dan kelestarian hutan lindung.

Penguasaan Negara atas sumberdaya hutan merupakan amanat undang- undang dasar yang ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, hal itu tercantum dalam undang-undang dasar 1945 pasal 33. Beberapa fakta mengindikasikan terjadinya penyimpangan pencapaian tujuan tersebut, seperti yang ditunjukkan oleh Peluso (2006) yang menyatakan bahwa telah terjadi pemiskinan struktural terhadap masyarakat sekitar kawasan hutan, makin menjauhkan penduduk desa dari negara, dan menjuruskan mereka pada alternatif- alternatif ilegal menurut definisi negara dalam pemanfaatan tanah dan pengambilan spesies hutan.

Hutan lindung Gunung Ambawang Pemancingan (HLGAP) sebagai salah satu sumber daya milik bersama (common pool resources) yang dikuasai negara, maka pemerintah menetapkan serangkaian peraturan untuk melakukan pengelolaan. Menurut Tjitradjaja (2008) pada sumberdaya milik bersama yang bebas akses melekat situasi ketiadaan jaminan kepastian. Kondisi ini merupakan tantangan terbesar dalam pengelolaan sumberdaya bersama karena kebebasan individu-individu setiap komunitas lokal untuk melakukan penguasaan makin

49 besar, akibatnya terjadi konflik, tumpang tindih penggunaan lahan dan berlangsungnya fenomena tragedy of the common4 (Dharmawan et al. 2004).

Penunjukan HLGAP menjadi kawasan hutan lindung merupakan salah satu cara penting untuk menjamin agar sumber daya hutan tersebut dapat dilestarikan. Akan tetapi penunjukan hutan lindung oleh pemerintah telah menyebabkan ketidakpastian bagi masyarakat yang sejak lama telah memanfaatkan sumber daya HLGAP. Schmid (2004) memaparkan bahwa kepastian hak pemilikan sumber daya menjadi insentif bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Sedangkan rendahnya kapasitas lembaga menjadi akar penyebab ketidakmanpuan sebuah organisasi untuk melakukan fungsinya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dalam rangka mendukung misi organisasi. Hayes (2007) mengungkapkan bahwa dalam rangka untuk memahami bagaimana property right mempengaruhi pengelolaan sumber daya maka kita harus mengetahui karakteristik sumber daya dan pengguna sumberdaya tersebut.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah mengkaji kondisi eksisting di lapangan yang mempengaruhi perilaku para aktor dalam pengelolaan HLGAP.

Kerangka Teori

Pemanfaatan sumber daya hutan selama ini selalu menyebabkan munculnya kontradiksi antara kepentingan pemanfaatan secara ekonomi, kepentingan kelestarian sumber daya hutan dan kepentingan masyarakat sekitar hutan yang memanfaatkan sumber daya. Kompleksitas dari sisi kelembagaan merupakan akibat dari berbagai faktor bahwa pengelolaan hutan selama ini belum mampu mengarahkan pelaksanaan pengelolaannya secara lestari. Atje dan Roesad (2004) menyatakan bahwa sistem pengelolaan hutan Indonesia saat ini tidak cukup memiliki struktur yang efisien dalam mengatur hak atas para pihak, termasuk dari sektor lain.

Scmid (1987) mengartikan kelembagaan5 sebagai sejumlah peraturan yang berlaku dalam sebuah masyarakat, kelompok atau komunitas, yang mengatur hak, kewajiban, tanggung jawab, baik sebagai individu mauapun sebagai kelompok. Sedangkan Ostrom (1990) mengartikan kelembagaan sebagai aturan yang berlaku dalam masyarakat (arena) yang menentukan siapa yang berhak membuat keputusan, tindakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan apa yang

4Fenomena tragedy of the common

menurut Hardin (1968) merupakan sumber daya milik bersama yang aksesnya bebas dan tidak diatur akan berakhir dengan terjadinya tragedi bagi semua karena semua pemanfaat cenderung berlomba untuk mengeksploitasi sumber daya alam tersebut semaksimal mungkin.

5

Penting untuk dibedakan antara pengertian kelembagaan dan organisasi. Organisasi sepertinya dengan kelembagaan juga menyediakan mekanisme yang mengatur individu. Namun dapat dibedakan bahwa aturan dalam kelembagaan dipergunakan untuk menanta aturan main dari pemain atau organisasi yang terlibat. Sedangkan aturan dalam organisasi ditujukan untuk memenangkan permainan tersebut. Bentuk organisasi dapat meliputi organisasi politik, organisasi sosial dan organisasi pendidikan (North 1990)

50

berlaku umum di masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang mesti atau tidak boleh disediakan dan keuntungan apa yang individu akan terima sebagai buah dari tindakan yang dilakukannya. Singkatnya, kelembagaan adalah aturan main (rules of the game) yang berlaku dalam masyarakat yang disepakati oleh anggota masyarakat tersebut sebagai sesuatu yang harus diikuti dan dipatuhi (memiliki kekuatan sanksi) dengan tujuan terciptanya keteraturan dan kepastian interaksi di antara sesama anggota masyarakat.

Kelembagaan menurut Scmid (1987) dicirikan oleh komponen utama, yaitu batas yuridiksi, hak atas properti dan aturan representasi. Batas yuridiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu kelembagaan, terkandung makna bahwa batas yuridiksi berperan dalam mengatur alokasi sumberdaya. Hak atas properti mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang didefinisikan atau diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Aturan representasi mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan mengenai suatu alokasi sumberdaya. Aturan representasi menentukan alokasi distribusi sumberdaya. Implikasi bentuk kelembagaan tersebut menurut Schmid (1987) mengakibatkan „siapa mendapatkan apa‟ dalam suatu sistem ekonomi tertentu. Schmid (1987) mengatakan bahwa institusi akan efektif dijalankan jika institusi tersebut mampu mengendalikan karakteristik inheren sumberdaya alam. Beberapa karakteristik inheren terkait dengan situasi tersebut adalah biaya ekslusi tinggi, biaya transaksi, incompatibilitas dan surplus.

Terkait dengan pengelolaan sumber daya, Bromley (1991) menyebutnya rezim pengelolaan kepemilikan. Menurutnya, ada empat rezim kepemilikan, yaitu: 1. Rezime kepemilikan individu/pribadi (private property regime), yakni kepemilikan pribadi atas sesuatu di mana hak atas sesuatu tersebut melekat pada pemiliknya, sehingga aturan berkenaan dengan sesuatu tersebut ditetapkan sendiri dan hanya berlaku untuk pemiliknya.

2. Rezim kepemilikan bersama (common property regime), yakni kepemilikan oleh sekelompok orang tertentu di mana hak, kewajiban dan aturan ditetapkan dan berlaku untuk anggota kelompok tersebut

3. Rezim kepemilikan oleh negara, hak kepemilikan dan aturan-aturannya ditetapkan oleh negara, individu tidak boleh memilikinya

4. Rezim akses terbuka, tidak ada aturan yang mengatur mengenai hak dan kewajiban

Bromley (1991) menyebut dengan istilah rezim hak kepemilikan, Hanna et al. (1996) menggunakan istilah tipe kepemilikan berdasarkan pemegang pemilikan, hak pemilik dan tugas pemilik, yaitu: 1) pemilikan individual (private property) yaitu, suatu kepemilikan oleh swasta dimana hak akses, pemanfaatan, pengelolaan dan lain-lain yang melekat dengan barang atau komoditas tersebut sepenuhnya menjadi hak swasta ; 2) pemilikan bersama (common property), dimana hak akses, pemanfaatan, dan pengelolaan menjadi milik bersama dari sekelompok orang yang sudah terdefinisi secara jelas; pemilikan Negara (state property), dimana hak akses, pemanfaatan, dan pengelolaan dikendalikan oleh negara. Negara pula yang berhak mentransfer atau mengeluarkan hak atas barang/komoditas tersebut kepada pihak lain; dan 4) akses terbuka (open acces), dimanakepemilikan terbuka bukanlah hak kepemilikan karena tidak ada pihak

51 yang dapat mengklaim sebagai pemilik dari komoditas atau sumberdaya tersebut. Karakteristik masing-masing rejim tersebut berdasarkan pemegang pemilikan, hak pemilik dan tugas pemilik oleh Hanna et al. (1996) diringkas sebagaimana tersaji pada Tabel 13.

Tabel 13 Tipe rezim hak pemilikan dengan pemilik, hak pemilik dan kewajiban pemilik

Tipe Rezim Pemilik Hak Pemilik Kewajiban Pemilik Pemilik

individual

Individual Penggunaan diterima secara sosial;

mengendalikan akses

Menghindari

penggunaan yang tidak dapat diterima secara sosial

Pemilik bersama Kolektif Mengeluarkan yang bukan pemilik

Pemeliharaan ; membatasi tingkat penggunaan Pemilik negara Warga negara Menentukan aturan Memelihara tujuan

sosial

Akses terbuka Tidak ada Tidak ada Tidak ada Sumber : Hanna et al. (1996)

Berdasarkan konsep hak kepemilikan tersebut maka hak kepemilikan berdasar posisi kelompok masyarakat pada Tabel 14.

Tabel 14 Hak-hak yang terikat berdasar posisi kelompok masyarakat

Strata Hak Pemilik

(Owner) Pengelola (Proprietor) Penyewa (Claimant) Pengguna (Autorizes User) Access and withdrawal X X X X Management X X X Exclusion X X Alienation X

Sumber : Schlager dan Ostrom (1992)

Hak kepemilikan yang tidak jelas (poorly defined property rights) dianggap sebagai penyebab utama terjadinya kegagalan pasar (Byron 1999). Ada hubungan yang kuat antara hak kepemilikan yang jelas dan kualitas lingkungan (Dasqupta et al. 1995). Hal ini sesuai pula dengan pernyataan Yustika (2008) bahwa kejelasan/kepastian atas hak kepemilikan adalah hal yang paling penting untuk dipertegas sehingga setiap pengelola/pemiliknya mempunyai insentif untuk memakai dan melindungi hak kepemilikannya. Menurut Kartodihardjo (1999), kepemilikan sumberdaya menentukan bentuk kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya, yang mana kelembagaan tersebut secara langsung berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan, dan pengaturan kelembagaan lebih lanjut berkorelasi positif untuk dapat mengubah kinerja pengelolaan hutan yang diharapkan.

52

Metode

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2012 sampai bulan Januari 2013 di kawasan HLGAP, Desa Arus Deras, Kabupaten Kubu Raya, Propinsi Kalimantan Barat. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja dengan pertimbangan bahwa HLGAP memiliki potensi pasak bumi dan terdapat kegiatan pemungutan yang masuk dalam jaringan tata niaga pasak bumi di Kalimantan Barat.

Pengumpulan Data

Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data dikumpulkan dengan teknik triangulasi yaitu : wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi. Wawancara mendalam (in-depth interview) dilakukan kepada pemungut pasak bumi, tokoh masyarakat, dan Dinas Kehutanan Kabupaten Kubu Raya sebagai dinas terkait dengan pengelolan sumber daya hutan.

Observasi dilakukan dengan cara pengamatan langsung di lapangan. Penelusuran dokumen dilakukan terhadap berbagai laporan resmi kantor, jurnal, hasil-hasil penelitian, dan dokumen lainnya. Variabel yang akan diukur, pengumpulan data dan teknik analisis data untuk mencapai tujuan disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15 Tujuan penelitian, variabel yang akan diukur, pengumpulan data dan teknik analisis data

Tujuan Penelitian Variabel yang Diukur Teknik Pengumpulan data Teknik Analisis Data Output yang Diharapkan Mengkaji kondisi eksisting pengelolaan HLGAP  Potensi HLGAP  Karakteristik masyarakat  Pengelolaan HLGAP Wawancara observasi, studi literatur

 Deskriptif Memperoleh data kondisi de facto pengelolaan HLGAP

Analsis Data

Analisis data perkembangan status HLGAP dilakukan secara deskriptif. Pendeskripsian perkembangan status HLGAP dilakukan secara naratif dengan mempresentasikan hasil data dan informasi yang dikumpulkan.

53 Hasil dan Pembahasan

Keadaan Umum Kawasan HLGAP

Kawasan HLGAP terletak di Kabupaten Kubu Raya, Propinsi Kalimantan Barat. Berdasarkan administrasi pemerintahan termasuk ke dalam 2 wilayah Kecamatan, Kecamatan Kubu dan Kecamatan Teluk Pakedai, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Status kawasan hutan lindung ini ditetapkan berdasarkan surat ketetapan No 121/kpts-II/2003, yang meliputi lahan seluas 3.370 Ha dan tata batas sudah temu gelang. Meskipun luasnya hanya 0,14 % dari total luas hutan lindung di Propinsi Kalimantan Barat, ditinjau dari topografi lapangannya dan kondisi gambut yang berada di bagian bawah kaki Gunung Ambawang Pemancingan, HLGAP mempunyai peran bagi pengaturan tata air, pencegah banjir dan erosi. Peta lokasi HLGAP disajikan pada Gambar 15 dan lampiran.

Gambar 15 Peta lokasi penelitian di HLGAP

HLGAP mempunyai bentang alam yang unik. Berada pada titik 022‟1” LS - 10916‟58” BT. Toporafi bergelombang dengan ketinggian hingga 410 mdpl, kemiringan lereng 5-35%. HLGAP Dikelilingi oleh sungai besar yaitu Sungai Kapuas dan Sungai Ambawang dan berada tidak jauh dari pesisir pantai. tipe edafik disini bervariasi dari bantaran sungai hingga ke punggung bukit yang terdiri atas jenis tanah aluvial berpasir, gambut dan podsolik merah kuning.

54

Kawasan disekitar HLGAP mempunyai tipe lahan dan vegetasi yang beragam dari bantaran sungai hingga daerah puncaknya. Di bantaran sungai merupakan habitat bagi spesies bakau dan nipah (Nypa frutican). Selanjutnya secara berurutan merupakan kawasan pemukiman transmigrasi dan budidaya pertanian, komunitas belukar, perkebunan kelapa sawit, tegakan akasia alam (Acacia mangium), dan kawasan hutan perbukitan.

Keanekaragaman Tumbuhan dan Satwa

Berdasarkan hasil observasi di lapangan, tipe vegetasi yang terdapat di HLGAP merupakan hutan hujan tropika bawah antara lain jambu-jambu (Garcinia sp), bintangor (Calophyllum inophyllum), resak (Vatica rassak), kapas- kapas (Sodoricum emarginatum), mahang (Macaranga sp), medang (Litsea sp), cemara (Casuarina sp), cempedak air (Artocarpus teysmanii), kempas (Koompasia malaccensis), mendarah (Myristica iners), kelampait (Elateriospermumm tapos), ilas (Parasetamon urophyllum), nyatoh (Palaquium pseodoconeatum), pasir-pasir (Polyathia glauca), kembayau (Paratocarpus triandra), empaning (Lithocarpus dasystachyus), kemuning (Xanthophyllum sp), keranji (Dilium indum), kopi-kopi (Meonauclea calycina), jelutung (Dyera costulata), ubah (Eugenia sp), pasak bumi (Eurycoma longifolia) dan beberapa jenis vegetasi lainnya. Menurut masyarakat sekitar kawasan HLGAP, satwa yang terdapat di HLGAP antara lain pelanduk (Tragulus sp), biawak (varanus salvator), landak (Hysterix branchyura), kukang (Nycticebos coucang), binturung (Arctictis binturong), trenggiling (Manis javanica), burung enggang (Buceros rhinoceros), bajing (Callosciurus notatus), ular hijau (Dioscorea hispida).

Atribut Masyarakat

Wilayah kawasan HLGAP sebelum ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung, wilayah tersebut telah didiami oleh masyarakat transmigrasi. Berdasarkan informasi yang didapat dari tokoh masyarakat, keberadaan masyarakat yang tinggal di Desa Arus Deras yang berada di sekitar kawasan HLGAP wilayah Kecamatan Teluk Pakedai merupakan areal pemukiman transmigrasi yang berasal dari suku Jawa dan Sunda. Sejak 1954, desa itu merupakan areal pemukiman transmigrasi SOB (Staat van Oorlogh en Beleg) yang warga pemukimannya berasal dari pengiriman Eks DI/TII. Pada zaman orde baru, desa Arus Deras ditetapkan sebagai IDT (Impres Desa Tertinggal). Namun saat ini jumlah penduduk sudah berkembang dan terdiri dari berbagai macam suku yaitu, suku Jawa, Sunda, Madura, Bugis dan Cina. Berdasarkan data Kecamatan Teluk Pakedai Dalam Angka (2012), luas wilayah Desa Arus Deras adalah 10,00 km2 dengan jumlah penduduk sebesar 771 jiwa yang terdiri dari 417 jiwa penduduk laki-laki, 354 jiwa penduduk perempuan, dan tingkat kepadatan penduduk sebesar 77 jiwa/ km2.

Desa Arus Deras secara geografis terletak tepat di bawah kaki Gunung Ambawang pemancingan. Interaksi masyarakat dengan kawasan HLGAP telah lama terjadi. Menurut Dunggio (2012), semakin dekat jarak rumah penduduk

55 dengan kawasan hutan maka semakin besar pula intearksinya, demikian pula sebaliknya. Sebelum adanya penertiban illegal logging oleh pemerintah, masyarakat banyak yang memanfaatkan kayu di hutan untuk di jual. Namun saat ini pemanfaatan beberapa jenis kayu dilakukan hanya untuk keperluan kontruksi ringan untuk kebutuhan masyarakat sekitar HLGAP. Disamping memanfaatkan kayu, masyarakat memanfaatkan kawasan HLGAP untuk mengambil hasil hutan non kayu seperti tumbuhan obat pasak bumi. Pemungutan pasak bumi dilakukan berdasar pesanan dari luar dan dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat yang mengenal cukup baik tanaman pasak bumi.

Pada umumnya mata pencaharian masyarakat sekitar HLGAP masih bergantung pada usaha tani dan sebagai buruh tani. Sistem bertani yang dilakukan dengan pertanian padi pada lahan pasang surut karena kawasan tersebut merupakan daerah gambut. Sebagian juga mempraktekkan kebun campuran pada lahan kering dengan tanaman kelapa dan jagung. Namun pada tahun 2002 transmigran ini mendapat tawaran dari sebuah perusahaan swasta untuk mengolah lahan menjadi perkebunan kelapa sawit dengan sistem bagi hasil. Banyak masyarakat yang ikut program plasma perkebunan kelapa sawit di wilayah tersebut, juga bekerja sebagai buruh kebun. Perubahan mata pencaharian ini dapat dilihat dari perubahan penutupan lahan di kawasan HLGAP di dalam wilayah Kecamatan Teluk Pakedai dan Kecamatan Kubu dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Tutupan lahan di kawasan HLGAP di dalam wilayah Kecamatan

Teluk Pakedai dan Kecamatan Kubu Jenis

penutupan lahan

Kecamatan Kubu (Ha) Kecamatan Teluk Pakedai (Ha) 2010 2011 2012 2010 2011 2012 Irigasi sederhana 650 485 485 1.400 1.400 - Tadah hujan 1.450 435 435 250 250 250 Pasang surut 9.700 13.230 13.605 4.650 4.770 6.720 Tagal/kebun 5.500 5.552 5.552 - - - Ladang/huma 3.050 3.050 3.050 - - - Perkebunan 10.750 16.392 16.392 1.800 3.742 10.867 Hutan rakyat 7.004 1.080 1.080 10.672 8.610 - Tambak 26 26 26 11 11 11 Kolam/empang 8 8 8 7 7 7 Pemukiman 7.800 7.800 7.800 1.200 1.200 1.200 Hutan negara 64.800 64.800 64.800 5.300 5.300 5.300 Rawa-rawa 1.470 1.470 1.470 2.100 2.100 2.100 Lainnya 8.902 6.832 6.175 1.800 1.800 2.985. Jumlah 121.160 121.160 121.160 291.90 291.90 291.90

Sumber : Kantor BPS Kabupaten Kubu Raya (2011, 2012, 2013)

Informasi dari Tabel 16, terlihat telah terjadi penyusutan luas lahan hutan rakyat. Menurut informasi dari masyarakat perubahan pemanfaatan lahan hutan rakyat sebagian besar untuk perkebunan kelapa sawit dengan ikut sebagai petani plasma. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan masyakat, hanya

56

sekelompok kecil masyarakat yang terlibat dalam jaringan tata niaga pasak bumi. Jumlah pemungut pasak bumi di Desa Arus Deras ini hanya berjumlah 6 orang dan pengumpul 1 orang. Tengkulak yang berperan 2 orang, yaitu 1 orang warga desa Arus Desa dan satunya lagi dari luar desa. Kelompok pemungut merupakan sekelompok masyarakat Desa arus Deras yang mengenal secara baik tumbuhan pasak bumi dan proses pemungutannya. Kelompok pemungut mengenal tumbuhan pasak bumi terdiri dari dua jenis, yaitu pasak bumi jantan dan pasak bumi betina. Sifatnya yang tersebar mengelompok juga membutuhkan kemampuan pengenalan yang baik habitat pasak bumi oleh kelompok pemungut. Kegiatan pemungutan dilakukan berdasarkan pesanan dari pengumpul dan pengumpul mendapat pesanan dari tengkulak. Dalam mencari pasak bumi biasanya dilakukan secara berkelompok, yaitu antara 2-3 orang. Anggota kelompok biasanya masih mempunyai hubungan keluarga dan yang memiliki pengetahuan dan skill teknik pemungutan pasak bumi. Lokasi pemungutan pasak bumi berada dekat dengan kampung tempat tinggal yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki kurang lebih 1 jam.

Proses pencabutan akar pasak bumi membutuhkan kemampuan fisik yang kuat karena akar menghujam cukup kuat dan cukup dalam di dalam tanah. Pohon dengan diameter 2 cm, akarnya bisa mencapai kurang lebih 1 meter di dalam tanah. Oleh karena itu peralatan yang digunakan untuk mencabut akar pasak bumi menggunakan rantai chainsaw atau cengblok, palu dan parang. Sebelum proses pencabutan, batang pohon dipotong kurang lebih 30 cm dari permukaan tanah. Batang dipukul-pukul kebawah, kemudian digoyang-goyangkan ke kanan dan ke kiri agar tanah sekitar menjadi gembur. Rantai chainsaw digunakan untuk mengikat tongkat pada pangkal batang untuk mencabut akar dengan menggunakan prinsip tuas. Proses pencabutan inilah yang menguras waktu dan tenaga. Ilustrasi proses mencabut akar pasak bumi seperti pada Gambar 16.

57 Secara geografis lokasi pemungutan pasak bumi mempunyai aksesibilitas yang rendah ke pasar. Jarak lokasi pemungutan ke Pontianak kurang lebih 45 km dengan akses lewat darat dan sungai. Aksesibilitas yang rendah merupakan salah satu faktor yang membatasi akses kelancaran informasi, terutama informasi harga pasar. Kondisi ini menyebabkan berperannya pedagang perantara, yaitu pengumpul dan tengkulak dalam tata niaga pasak bumi. Peran pengumpul dalam jaringan tata niaga pasak bumi ini sebenarnya hanya sebagai koordinator pemungut saja. Kelebihannya pengumpul mempunyai anak buah yang sudah biasa melakukan ekspedisi pemungutan pasak bumi dan memiliki akses dengan tengkulak pasak bumi. Biasanya bila ada pesanan pasak bumi, tengkulak akan menghubungi pengumpul sebagai pemimpin ekspedisi. Biaya ekspedisi pemungutan pasak bumi berupa biaya transportasi, makan, dan rokok ditanggung oleh pengumpul yang mendapat modal dari tengkulak. Hasil yang diperoleh pemungut wajib dijual ke pengumpul dengan harga yang sudah ditentukan.

Keterbatasan modal mengkondisikan pengumpul untuk meminjam kepada tengkulak. Modal berupa peralatan untuk pemungutan dan uang untuk operasional di lapang. Konsekuensi dari ikatan modal ini, pengumpul harus menjual hasil pasak bumi kepada tengkulak yang memberi modal. Hubungan ketergantungan ini menciptakan kelembagaan patron klien antara pemungut, pengumpul dan tengkulak. Sedangkan di tingkat tengkulak, ada yang terikat modal dengan pedagang di Pontianak dan ada yang tidak terikat modal dengan pedagang di Pontianak. Sedangkan untuk pedagang merupakan kelompok yang memiliki status sosial ekonomi lebih tinggi yang tinggalnya di kota Pontianak yang memiliki akses pasar dan penguasaan modal.

Situasi Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya HLGAP

Situasi dapat didefinisikan sebagai karakteristik yang merupakan sumber interdependensi. Pengetahuan mengenai sumber interdependensi dari sebuah kawasan hutan lindung sangat diperlukan untuk memprediksi dampak alternatif institusi terhadap kinerja. Schmid (1987) mengatakan bahwa institusi akan efektif dijalankan jika institusi tersebut mampu mengendalikan karakteristik inheren sumberdaya alam. Berikut akan dijelaskan beberapa karakteristik inheren terkait dengan situasi yang diamati dalam penelitian ini antara lain: biaya ekslusi tinggi, biaya transaksi, incompatibilitas dan surplus

Biaya Eklusi Tinggi

Biaya eklusi merupakan seluruh biaya yang timbul untuk mengontrol atau membatasi akses pengguna ke sumberdaya. Hutan merupakan sumberdaya yang luas sehingga akses penggunaannya sulit dikontrol atau dibatasi. Karena aksesnya sulit dikontrol maka demand (permintaan) atas sumberdaya ini tinggi sementara penawarannya bersifat terbatas karena sifat alamiahnya. Berdasarkan rezim hak kepemilikan secara de jure status kawasan HLGAP merupakan state property, hal ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 259/Kpts-II/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Kalimantan Barat seluas 9.178.760 hektar dan penetapan Keputusan

58

Menteri Kehutanan Nomor 121/kpts-II/2003 tentang penetapan Kelompok Hutan Gunung Ambawang-Pemancingan seluas 3.370 hektar yang terletak di wilayah