• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Kecukupannya Terhadap Jumlah penduduk di Kota Bekasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Kecukupannya Terhadap Jumlah penduduk di Kota Bekasi"

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN

KECUKUPANNYA TERHADAP JUMLAH PENDUDUK

DI KOTA BEKASI

FEBRIANA WIDIASTUTI

A14070024

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

i

RINGKASAN

FEBRIANA WIDIASTUTI. Analisis Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Kecukupannya Terhadap Jumlah penduduk di Kota Bekasi. Dibimbing oleh SANTUN R.P SITORUS dan DYAH RETNO PANUJU.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan unsur utama tata ruang kota. RTH perlu ada di antara struktur bangunan sebagai pelunak dan penyejuk lingkungan. Pemerintah di Indonesia pada umumnya memiliki kesulitan untuk meningkatkan RTH sehingga hanya sekedar mempertahankan luasannya bahkan di sebagian kota target luasan RTH menjadi semakin diperkecil. Kota Bekasi merupakan salah satu bagian integral wilayah Jabodetabek yang memiliki perkembangan pesat. Sebagai kota yang berkembang pesat, maka penggunaan lahan cenderung digunakan untuk lahan-lahan terbangun seperti perumahan, perkantoran, dan perindustrian. Tujuan penelitian ini adalah 1) mengetahui laju perubahan luas RTH dan kecukupannya terhadap jumlah penduduk di kota Bekasi, 2) mengetahui laju pertumbuhan penduduk dan perkembangan wilayah di kota Bekasi, 3) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH, 4) mengetahui areal yang berpotensi untuk dijadikan RTH dan kecukupannya berdasarkan jumlah penduduk, dan 5) menyusun upaya penambahan RTH di Kota Bekasi.

(3)

dalam pemeliharaan RTH yang ada di lingkungan sekitar masyarakat, 8) Mengoptimalkan program insentif dan disinsentif, 9) mengoptimalkan areal jalur di sekitar sisten utilitas kota untuk RTH, 10) Optimalisasi fungsi RTRW sebagai acuan pengendalian RTH, 11) Optimalisasi pengawasan kegiatan pembangunan, 12) Penyusunan anggaran khusus RTH.

(4)

iii

SUMMARY

FEBRIANA WIDIASTUTI. An Analysis of Greenery Open Space (GOS) and Its Adequacy Based on Population in the Bekasi City. Supervised by SANTUN R.P SITORUS and DYAH RETNO PANUJU.

Greenery Open Space (RTH) is a major element of urban spatial structure. It should exist among buildings as a buffer of the environment. Government in Indonesia generally have difficulties to increase the greenery open space and they just try to maintaining the area, even the acreage target in some cities is reduced. Bekasi City is part of the Jabodetabek area which develop rapidly. As a fast developing city, built up area such as housing, offices, and industrial accupied the land. The purpose of this study are 1) to determine the change rate of greenery open space and its adequacy based on population of Bekasi City, 2) to examine the rate of population growth and development of urban areas in Bekasi City, 3) to understand factors affecting the changes of greenery open space in Bekasi City, 4) to identify potential area for greenery open space area expansion and to analyze its adequacy based on population, and 5) to formulate efforts increasing the green open space area in Bekasi City.

In the period 2003 to 2010, greenery open space decreased slightly in Bekasi City. It was characterized by negative rate at -2% per annum. The population of Bekasi City increased continually with average growth at 3.8% and average density growth at 4% annually. Hierarchy of Bekasi City in 2003 and 2006 was shifting in structure. It was characterized by increasing of hierarchy 2 and decreasing of hierarchy 3. Greenery open space was converted significantly in hierarchy 1 and the largest change was taken place in hierarchy 3. In 2010, facilities, and increasing economic facilities. The efforts to enlarge greenery open space area can be, 1) optimizing the performance of greenery open space management with explisit coordination, 2) increasing cooperation between government and third-parties, 3) optimizing the Southern of Bekasi City which is potential for greenery open space enlargement and optimizing the Northern area with vertical development, 4) taking strick policy about occupation of illegal settlements, 5) optimizing the cooperation with third parties to increase the funds to develop RTH, 6) developing vertical greenery to increase greenery open space, 7) empowering local communities to maintain greenery open space, 8) optimizing incentive and disincentives program, 9) optimizing the area around city utilities system for greenery open space, 10) optimizing RTRW functions as a reference control for RTH, 11) optimizing control of development activities, 12) formulating special budget for RTH.

(5)

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN

KECUKUPANNYA TERHADAP JUMLAH PENDUDUK

DI KOTA BEKASI

Febriana Widiastuti

A14070024

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pertanian

Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

POGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

v

Judul Skripsi : Analisis Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Kecukupannya Terhadap Jumlah penduduk di Kota Bekasi

Nama Mahasiswa : Febriana Widiastuti

NRP : A14070024

Menyetujui,

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. NIP. 1962113 198703 1003

Tanggal lulus:

Pembimbing 2

Dyah Retno Panuju, S.P, M.Si NIP. 19710412 199702 2 005 Pembimbing 1

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Febriana Widiastuti, dilahirkan di Trenggalek, Provinsi Jawa Timur pada tanggal 20 Februari 1989. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Supriyadi dan Ibu Gunarti.

Penulis memulai pendidikan formal di TK Dharma Wanita I pada tahun 1994-1995. Kemudian, pada tahun 1995 penulis meneruskan pendidikan di SD Negeri III Karangan dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di SLTP Negeri I Karangan dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Trenggalek dan menyelesaikan pada tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Program USMI di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

(8)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul ”Analisis Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Kecukupannya Terhadap Jumlah penduduk di Kota Bekasi”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Santun R.P Sitorus selaku dosen pembimbing I dan Ibu Dyah Retno Panuju, S.P, M.Si selaku dosen pembimbing II, atas segala bimbingan, kesabaran dan pengarahan yang diberikan kepada penulis.

2. Dr. Suwarli dan Pemerintah Daerah Kota Bekasi yang telah membantu dalam proses pengumpulan data, serta Dr. Ir. Widiatmaka sebagai dosen penguji dalam ujian akhir penelitian ini.

3. Ibunda tercinta Gunarti, Ayahanda Supriyadi, dan adik-adikku Kresna dan Bintang, yang telah memberikan semangat, dukungan, kasih sayang, baik dalam bentuk moril maupun materil serta doa kepada penulis.

4. Dosen dan staf Laboratorium Perencanaan dan Pengembangan Wilayah yang banyak membantu selama penulis melaksanakan penelitian. Farid, Angga, dan Rahmat yang telah membantu dalam survei lapang.

5. Teman-teman seperjuangan (Citra, Nindi, Chitae, Achi, Lili, Ufi, dan Sisharyanto) yang telah berjuang bersama-sama dalam menyelesaikan penelitian kami. Rahmat Hadi Wibowo yang selalu memberikan semangat. Keluarga Gareulis (Woro, Rianda, Viya, Evie, Imas, Dewi, Shinta), dan semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan dalam penyempurnaan skripsi ini.

Bogor, Maret 2012

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Manfaat Penelitian... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. RTH dalam Penataan Ruang Wilayah Perkotaan ... 5

2.2. Ruang Terbuka Hijau ... 7

2.3. Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau ... 8

2.4. Fungsi dan Manfaat Ruang terbuka Hijau ... 10

2.5. Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan ... 13

2.6. Pertumbuhan Penduduk dan Keterkaitannya Dengan Perubahan Penggunaan lahan ... 15

BAB III BAHAN DAN METODE ... 17

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 17

3.2. Jenis Data, Sumber Data dan Alat penelitian ... 18

3.3. Metode Penelitian... 19

3.3.1. Persiapan ... 19

3.3.2. Pengumpulan Data... 20

3.3.3. Survei Lapang ... 20

3.3.4. Analisis dan Interpretasi Data ... 20

3.3.4.1. Penentuan Laju Perubahan Luas RTH dan Kecukupan RTH Terhadap Jumlah Penduduk Di Kota Bekasi ... 20

3.3.4.2. Penetuan Laju Pertumbuhan Penduduk dan Perkembangan Wilayah di Kota Bekasi ... 23

3.3.4.3. Menganalisis Faktor-faktor Penentu Perubahan Luas RTH... 25

(10)

ix

3.3.4.5. Menyusun upaya penambahan RTH di Kota Bekasi ... 27

3.3.5. Penyusunan skripsi ... 28

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ... 29

4.1. Sejarah Kota Bekasi ... 29

4.2. Wilayah Administrasi ... 29

4.3. Kondisi Geografis ... 30

4.4. Topografi ... 31

4.5. Iklim ... 31

4.6. Morfologi ... 31

4.7. Hidrologi ... 31

4.8. Jenis Tanah dan Geologi... 32

4.9. Kondisi Sosial Ekonomi ... 32

4.10. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bekasi (2000-2010) ... 34

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN... 36

5.1. Analisis Laju Perubahan RTH Kota Bekasi Tahun 2003-2010 ... 36

5.2. Analisis Kecukupan RTH Kota Bekasi Berdasarkan Jumlah Penduduk ... 41

5.3. Analisis Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk... 42

5.4. Hirarki dan Perkembangan Wilayah Kota Bekasi ... 46

5.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Luas RTH ... 52

5.6. Analisis Areal yang Berpotensi untuk Perluasan RTH ... 56

5.7. Rekomendasi Upaya Penambahan RTH ... 59

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

6.1. Kesimpulan ... 65

6.2. Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk ...14

2. Hubungan Antara Tujuan Penelitian, Sumber data, dan Teknis Analisis...18

3. Variabel-variabel Dalam Analisis Skalogram Sederhana ...24

4. Variabel Bebas Pada Analisis Regresi Berganda ...26

5. Matriks SWOT...28

6. Dinamika Perubahan Luas RTH di Kota Bekasi Tahun 2003-2010 ...36

7. Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk dan Kecukupannya ...41

8. Jumlah dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan Periode Tahun 2000-2004... ...44

9. Jumlah dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan Periode Tahun 2005-2010... ...45

10.Hirarki Wilayah Berdasarkan Kecamatan di Kota Bekasi Tahun 2003 dan 2006... ...46

11.Perubahan Hirarki Wilayah di Kota Bekasi Tahun 2003-2006 ...47

12.Luasan Konversi RTH (ha/tahun) pada Hirarki Wilayah Tahun 2006...50

13.Hasil Analisis Regresi ...53

14.Kecukupan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Dibandingkan dengan RTH Eksisting dan RTH Arahan Pertambahan ...58

15.Matrix Kombinasi Strategi Penambahan RTH di Kota Bekasi ...62

(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1. Lokasi Penelitian ...17

2. Wilayah Administrasi Kota Bekasi Sebelum dan Setelah Pemekaran ...30

3. Peta Sebaran RTH Kota Bekasi 2003 ...38

4. Peta Sebaran RTH Kota Bekasi 2010 ...39

5. Ruang Terbuka Hijau di Kota Bekasi ...40

6. Grafik Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Bekasi Periode Tahun 1997-2010 ...43

7. Grafik Laju Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Bekasi Periode Tahun 1997-2010 ...44

8. Peta Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2003 ...48

9. Peta Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2010 ...49

10.Boxplot Laju Perubahan RTH per Kelurahan dan Hirarki ...51

11.Grafik Luasan areal yang Berpotensi Sebagai RTH per Kecamatan di Kota Bekasi...56

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Teks Halaman

1. Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2003 ...70

2. Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2010 ...72

3. Titik Pengamatan Lapang ...74

(14)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan unsur utama tata ruang kota. Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) RTH perlu ada di antara struktur bangunan (hutan bangunan) sebagai pelunak dan penyejuk lingkungan.

RTH berfungsi sebagai “paru-paru” kota. Pada prinsipnya, RTH dimaksudkan agar dapat menekan efek negatif yang ditimbulkan lingkungan terbangun di perkotaan, seperti peningkatan temperatur udara, penurunan tingkat peresapan air, kelembaban udara, dan polusi. Semakin sedikit RTH secara akumulatif bisa berakibat fatal, yaitu dicirikan dengan naiknya suhu bumi dan perubahan cuaca karena kenaikan suhu bumi. Saat ini banyak pohon-pohon di daerah perkotaan yang di potong atau di tebang oleh pemerintah dengan alasan mengganggu lalu lintas dan instalasi listrik atau untuk keperluan menambah lebar jalur lalu lintas kendaraan bermotor. Penebangan pohon-pohon tersebut seringkali tidak diikuti dengan upaya penanaman kembali dengan pohon yang baru.

Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) menyatakan berdasarkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil (1992) dan dipertegas lagi pada KTT Johannesburg, di Afrika Selatan 10 tahun kemudian, telah disepakati bersama bahwa sebuah kota idealnya memiliki luas RTH minimal 30% dari total luas kota (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2006). Begitu pula dalam UU No 26 tahun 2007, dinyatakan bahwa wilayah kabupaten atau perkotaan harus membuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang RTH sebesar minimal 30% dari luas wilayah. RTH yang dimaksud berupa RTH publik dan RTH privat dengan proporsi masing-masing 20% dan 10%. Penetapan besaran luasan RTH ini disebut sebagai bagian dari pengembangan RTH kota. Upaya penataan wilayah perkotaan sesuai dengan pengembangan kota akan menciptakan keseimbangan dan keserasian antara lingkungan alam dan lingkungan binaan.

(15)

manusia berupa limbah padat maupun limbah cair yang semakin menumpuk dan tak terkendali sehingga menjadi media pertumbuhan penyakit. Upaya-upaya pelestarian fungsi lingkungan dilakukan dengan menyisihkan sebagian ruang kota. Ruang kota tersebut dimaksudkan bukan untuk diproyeksikan untuk permukiman, seperti sempadan sungai, danau, atau laut.

Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) juga menyatakan bahwa kota-kota Indonesia pada umumnya memiliki kesulitan untuk meningkatkan RTH kota-kota sehingga hanya sekedar mempertahankan luasannya bahkan di sebagian kota target luasan RTH kota menjadi semakin menyempit. Target luasan RTH yang semakin menyempit itu pun konon sulit untuk direalisasikan akibat terus adanya tekanan pertumbuhan dan kebutuhan sarana dan prasarana kota, seperti struktur fisik bangunan dan panjang jalur jalan yang semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Hal ini merupakan salah satu bukti kurang dihargainya eksistensi RTH dan bahkan sering dikorbankan. Padahal sebenarnya RTH mempunyai nilai ekologis dan ekonomis tinggi bagi terwujudnya lingkungan kota yang sehat secara fisik maupun psikologis.

Eksistensi RTH di perkotaan sering diabaikan karena dianggap tidak memberikan keuntungan ekonomi secara langsung dan akibatnya luas areal RTH semakin berkurang. Berkurangnya RTH ini terjadi akibat meningkatnya kebutuhan lahan seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk yang meningkat dari waktu ke waktu akan memberikan implikasi pada tingginya tekanan pada pemanfaatan lahan sehingga perlu mendapat perhatian khusus terutama berkaitan dengan penyediaan ruang untuk permukiman, fasilitas umum dan sosial serta ruang-ruang publik di perkotaan.

(16)

3

Perkembangan kota merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Kebijakan pemerintah kota mengenai arahan perkembangan kota perlu diiringi dengan penegakan peraturan. Pembangunan kota perlu disertai dengan pelestarian RTH kota non-pertanian (Putri 2010). Berdasarkan data BAPPEDA Kota Bekasi (2007), ketersediaan RTH di Kota Bekasi hanya sebesar 3,58% dari luas total Kota Bekasi. Bahkan, di Kota Bekasi masih belum terdapat taman kota yang berfungsi sebagai taman bermain serta tempat sosialisasi dan interaksi antar penduduk kotanya. Oleh karena itu, Bekasi saat ini masih kekurangan luas RTH. Ironisnya lagi, meski luas RTH sudah minim sebagian lahan RTH tersebut masih beralih fungsi menjadi kompleks perumahan dan lain sebagainya.

Sempitnya RTH terutama di permukiman padat penduduk di perkotaan berdampak pada makin menurunnya kualitas lingkungan dan kenyamanan kota. Hal ini juga membuat warga berebut menggunakan setiap jengkal lahan yang kosong untuk beraktivitas. Bahkan bisa terjadi perebutan ruang terbuka antar warga sehinga menimbulkan perselisihan yang berpotensi pada perkelahian.

Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) menyatakan sehubungan dengan meningkatnya jumlah penduduk dengan segala aktivitas dan keperluan,

seperti cukup tersedianya „ruang rekreasi‟ gratis, maka sebuah kota dimana pun dan bagaimana pun ukuran dan kondisinya pasti memerlukan RTH. RTH tersebut seharusnya memenuhi persyaratan terutama kualitas keseimbangan pendukung keberlangsungan fungsi kehidupan, adanya pengelolaan dan pengaturan sebaik mungkin, serta konsistensi penegakkan hukumnya.

(17)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. RTH kota Bekasi semakin berkurang dari tahun ke tahun sehingga diduga RTH di Kota Bekasi tidak dapat memenuhi kebutuhan warga untuk kegiatan sehari-hari seperti rekreasi, olah raga, bersosialisasi.

2. Kota Bekasi memiliki perkembangan pesat dengan jumlah penduduk yang terus meningkat yang diduga mempengaruhi ketersediaan RTH.

3. Banyak faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH di Kota Bekasi. 4. Ketersediaan lahan di Kota Bekasi semakin kecil khususnya untuk RTH.

5. Keberhasilan upaya penambahan luas RTH sesuai arahan UU No 26 tahun 200 masih kecil.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui laju perubahan luas RTH dan kecukupannya terhadap jumlah penduduk di Kota Bekasi.

2. Mengetahui laju pertumbuhan penduduk dan perkembangan wilayah di Kota Bekasi.

3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH.

4. Mengetahui areal yang berpotensi untuk dijadikan RTH dan kecukupannya berdasarkan jumlah penduduk.

5. Menyusun upaya penambahan RTH di Kota Bekasi.

1.4. Manfaat Penelitian

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. RTH dalam Penataan Ruang Wilayah Perkotaan

Perkembangan kota merepresentasikan kegiatan masyarakat yang berpengaruh pada suatu daerah. Suatu daerah akan tumbuh dan berkembang berkaitan dengan penduduk, aktivitas, dan penggunaan lahan. Perencanaan kota yang selama ini menitikberatkan pada aspek fisik semata dirasakan kurang dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi (Sinulingga, 2005).

Lebih lanjut Sinulingga (2005) menyatakan bahwa perkembangan kota yang cepat menuntut adanya pengaturan pemanfaatan ruang perkotaan yang mempertimbangkan sifat lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial budaya. Ruang adalah wadah semua interaksi sistem sosial (kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya) dengan ekosistem (sumberdaya alam dan buatan) berlangsung. Interaksi ini tidak selalu secara otomatis berlangsung seimbang dan saling menguntungkan berbagai pihak. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kemampuan, kepentingan dan adanya sifat perkembangan ekonomi yang akumulatif.

Berdasarkan pada UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penataan ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruangdan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.

(19)

tata ruang kota anatara lain penyediaan ruang yang cukup untuk setiap jenis penggunaan secara efisien untuk kenyamanan bagi lingkungan kegiatan manusia kota (Sinulingga, 2005).

Perencanaan tata ruang perkotaan seyogyanya dimulai dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan yang secara alami harus diselamatkan (kawasan lindung) untuk menjamin kelestarian fungsi lingkungan dan kawasan-kawasan yang secara alami rentan terhadap bencana. Kawasan-kawasan-kawasan inilah yang seharusnya dikembangkan menjadi ruang terbuka hijau. Agar keberadaan RTH di perkotaan dapat berfungsi secara efektif baik secara ekologis maupun planologis. Pengembangan RTH tersebut sebaiknya dilakukan secara berhirarki dan terpadu dengan sistem struktur ruang yang ada di perkotaan (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2006).

Brown dan Jacobson dalam Leitmann (1999) menyatakan bahwa perlindungan sistem lingkungan di perkotaan dapat dilakukan dengan mengalokasikan kawasan lindung. Kota dapat meningkatkan kualitas manusia dan lingkungan alam melalui konservasi sumberdaya maupun tingginya standar kualitas lingkungan.

Ruang Terbuka Hijau sebagai ruang alami merupakan bagian yang sangat penting bagi suatu kota berkaitan dengan penanggulangan masalah lingkungan. RTH dapat memberikan kenyamanan dan kesejahteraan bagi warga kota yaitu: sebagai penyumbang ruang bernafas yang segar, paru-paru kota, sumber air tanah, mencegah erosi, keindahan, dan kehidupan satwa, menciptakan iklim, serta sebagai sumber pendidikan.

Correa (1988) dalam Utami (2011), dalam penelitiannya menyatakan bahwa apabila diabstraksikan kebutuhan akan hal-hal yang bersifat sosial dapat dikelompokkan unsur utama yaitu: ruang keluarga yang digunakan untuk keperluan pribadi, daerah untuk bergaul/sosialisasi dengan tetangga, daerah tempat pertemuan warga, dan daerah ruang terbuka utama yang digunakan untuk kegiatan bersama seluruh warga masyarakat.

(20)

7

berimplikasi pada suhu kota yang semakin meningkat. Menurut Saputro (2010), suhu udara rata-rata lebih tinggi pada area terbuka dari pada area rumput dan naungan. Hal ini karena pada area terbuka terkena radiasi matahari secara langsung. Radiasi matahari langsung akan segera memanaskan permukaan perkerasan dan selanjutnya memanaskan suhu udara di atasnya. Peningkatan suhu udara pada area yang ternaungi lebih rendah karena kemampuan tajuk pohon yang efektif dalam penyerapan panas dan mengurangi pemantulan.

Saputro (2010), dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa area parkir pada bangunan-bangunan perkantoran dan perbelanjaan dengan area hijau yang minim kurang efektif dalam menurunkan suhu udara di sekitarnya. Selain itu, semakin besar persentase perkerasan terhadap luasan total menyebabkan suhu udara semakin meningkat, begitu sebaliknya.

Pola pemanfaatan ruang terbagi menjadi dua kawasan, yaitu kawasan lindung dan budidaya. Kawasan lindung yang dimaksud adalah kawasan yang berfungsi konservasi serta kawasan budidaya yang dapat berfungsi lindung bagi ekologi kota, termasuk di dalamnya adalah lahan pertanian, taman kota, sempadan sungai, jalur hijau jalan, taman pulau jalan, jalur hijau rel kereta api, jalur hijau bawah tegangan tinggi, dan RTH kota non-pertanian lainnya. Sedangkan kawasan budidaya mencakup kawasan perumahan, kawasan pemerintahan, perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan, industri dan pergudangan, pariwisata dan rekreasi, serta pertahanan dan keamanan (Putri, 2010).

Menurut Putri (2010), tingginya proporsi lahan terbangun dalam kawasan dapat mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan (run-off) dan berkurangnya debit air yang diresap oleh tanah. Perkembangan kawasan budidaya kota dapat mengakibatkan penyempitan saluran drainase. Hal ini menyebabkan frekuensi dan peluang kejadian banjir yang tinggi pada musim hujan.

2.2. Ruang Terbuka Hijau

(21)

Pertanian IPB (2005) dalam makalah lokakarya Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan dalam rangkaian acara Hari Bakti Pekerjaan Umum ke 60 menyatakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut.

Menurut Sugandhy dan Hakim (2007), dalam konteks pemanfaatan, pengertian ruang terbuka hijau kota mempunyai lingkup lebih luas dari sekedar pengisian hijau tumbuh-tumbuhan. Konsep RTH mencakup pula pengertian dalam bentuk pemanfaatan ruang terbuka bagi kegiatan masyarakat. Lebih lanjut, sesuai dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 tahun 1988 tentang Penataan Ruang terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan, dinyatakan bahwa ruang terbuka hijau (RTH) sebagai ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk areal/kawasan maupun dalam bentuk memanjang/jalur yang penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan dengan pengisian hijau tanaman.

2.3. Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau

Menurut Sugandhy dan Hakim (2007), ruang terbuka hijau kota dapat diklasifikasikan baik dalam tata letak maupun fungsinya. Berdasarkan letaknya, ruang terbuka hijau kota bisa berwujud ruang terbuka kawasan pantai (coastal open spaces), dataran banjir sungai (river flood plain), ruang terbuka pengamanan jalan bebas hambatan (greenways), dan ruang terbuka pengaman kawasan bahaya kecelakaan di ujung landasan bandar udara.

Hasni (2009) mengatakan, klasifikasi Ruang Terbuka Hijau dapat dibagi menjadi: (a) kawasan hijau pertamanan kota, (b) kawasan hijau hutan kota, (c) kawasan hijau rekreasi kota, (d) kawasan hijau kegiatan olahraga, (e) kawasan hijau pemakaman, (f) kawasan hijau pertanian, (g) kawasan hijau jalur hijau, (h) kawasan hijau pekarangan.

(22)

9

a. Jalur hijau: pohon peneduh jalan raya, jalur hijau dibawah kawat listrik tegangan tinggi, jalur hijau di tepi jalan kereta api, jalur hijau di tepi sungai. Jalur ini dapat dikembangkan di dalam kota atau di luar kota sebagai RTH guna memperbaiki kualitas lingkungan perkotaan.

b. Taman kota: taman dapat diartikan sebagai tanaman yang ditanam dan ditata sedemikian rupa untuk mendapatkan komposisi yang indah

c. Kebun dan halaman: jenis tanaman yang ditanam di kebun dan halaman biasanya jenis yang menghasilkan buah serta yang tidak diharapkan buahnya.

d. Kebun raya, hutan raya, dan kebun binatang: kebun raya. Hutan raya, dan kebun bunatang, dapat dimasukkan dalam salah satu bentuk RTH. Tanaman dapat berasal dari daerah setempat, daerah lain, maupun luar negeri.

e. Hutan lindung: daerah dengan lereng yang curam harus dijadikan kawasan hutan karena rawan longsor. Demikian pula dengan daerah pantai yang rawan abrasi air laut, sebaiknya dijadikan hutan lindung. f. Kuburan dan taman makam pahlawan: tempat pemakaman biasanya

banyak ditanam pepohonan.

(23)

2.4. Fungsi dan Manfaat Ruang terbuka Hijau

Pada dasarnya RTH dimaksudkan untuk menekan efek negatif yang ditimbulkan lingkungan terbangun diperkotaan, seperti peningkatan temperatur udara, penurunan tingkat peresapan air dan kelembaban udara, polusi dan lain sebagainya. Vegetasi memiliki peranan sangat besar dalam kehidupan. Peranan penghijauan kota sangat tergantung pada vegetasi yang ditanam. Dari berbagai peranan vegetasi dan manfaat vegetasi, maka manfaat dan fungsi penghijauan atau ruang terbuka hijau (RTH), adalah (Amir dalam Hendrawan, 2003):

a. Paru-paru kota: tanaman sebagai elemen hijau pada pertumbuhannya menghasilkan zat asam (O2) yang sangat diperlukan bagi makhluk hidup untuk pernapasan.

b. Pengatur lingkungan (mikro): vegetasi akan menimbulkan lingkungan setempat menjadi sejuk, nyaman, dan segar.

c. Pencipta lingkungan hidup: penghijauan dapat menciptakan ruang bagi makhluk hidup di alam yang memungkinkan terjadinya interaksi secara alamiah.

d. Penyeimbang alam (edapis): merupakan pembentukan tempat hidup alami bagi satwa yang hidup disekitarnya.

e. Oro-hidrologi: pengendalian untuk penyediaan air tanah dan pencegahan erosi.

f. Perlindungan bagi kondisi fisik alami sekitarnya: seperti angin kencang, terik matahari, gas, atau debu.

g. Mengurangi polusi udara: vegetasi dapat menyerap polutan tertentu. h. Vegetasi dapat menyaring debu dengan tajuk dan kerimbunan

dedaunannya.

i. Mengurangi polusi air: vegetasi dapat membantu membersihkan air. j. Mengurangi polusi suara (kebisingan): vegetasi dapat menyerap suara. k. Keindahan (estetika): unsur-unsur penghijauan yang direncanakan

dengan baik dan menyeluruh akan menambah keindahan kota.

(24)

11

m.Nilai pendidikan: komunitas vegetasi yang ditanam dengan keanekaragaman jenis dan karakter akan memberikan nilai ilmiah sehingga sangat bermanfaat untuk pendidikan, seperti hutan kota adalah laboratoriium alam.

n. Rekreasi dan pendidikan: jalur hijau dengan aneka vegetasi mengandung nilai-nilai ilmiah.

o. Sosial, politik, dan ekonomi: tumbuhan mempunyai nilai sosial yang tinggi.

p. Penghijauan perkotaan: menjadi indikator atau petunjuk bagi lingkungan, kemungkinan ada hal-hal yang membahayakan yang terjadi atas pertumbuhan dan perkembangan kota.

Menurut Hasni (2009), RTH memiliki berbagai fungsi seperti edaphis, orologis, hidrologis, klimatologis, higienis, edukatif, estetis, dan sosial ekonomis. Fungsi tersebut dapat dipenuhi oleh semua jenis RTH yang ada di perkotaan, dengan pengertian sebagai berikut:

a. Fungsi edaphis yaitu sebagai tempat hidup satwa dan jasad renik lainnya, dapat dipenuhi dengan penanaman pohon yang sesuai.

b. Fungsi hidro-orologis adalah perlindungan terhadap kelestarian tanah dan air.

c. Fungsi klimatologis adalah terciptanya iklim mikro sebagai efek dari proses fotosintesis dan respirasi tanaman.

d. Fungsi protektif: melindungi dari gangguan angin, bunyi, dan terik matahari melalui kerapatan dan kerindangan pohon perdu dan semak. e. Fungsi higienis adalah kemampuan RTH untuk mereduksi polutan baik

di udara maupun di air.

f. Fungsi edukatif adalah RTH bisa menjadi sumber pengetahuan masyarakat tentang berbagai hal, misalnya macam dan jenis vegetasi, asal muasalnya, nama ilmiahnya, manfaat serta khasiatnya.

(25)

h. Fungsi sosial ekonomis adalah RTH sebagai tempat berbagai kegiatan sosial dan tidak menutup kemungkinan memiliki nilai ekonomi seperti pedagang tanaman hias atau pedagang musiman seperti di lapangan Gasibu di Bandung pada hari Minggu pagi.

Dalam penelitian Sancho (2005), disebutkan bahwa konsep alun-alun sebagai ruang terbuka hijau yaitu ruang terbuka berupa taman kota yang selain memiliki fungsi ekologi dan estetika juga berfungsi sebagai kawasan rekreasi dan sosialisasi, tempat dimana orang dapat merasakan suasana aman dan damai melalui suasana indah yang ditimbulkan.

Dalam masalah perkotaan, RTH merupakan bagian atau salah satu subsistem dari sistem kota secara keseluruhan. RTH sengaja dibangun untuk memenuhi berbagai fungsi dasar yang secara umum dibedakan menjadi (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2006):

1. Fungsi bio-ekologis (fisik), yang memberikan jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara, pengatur iklim mikro, peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat satwa, penyerap polutan, dan penahan angin.

2. Fungsi sosial, ekonomi (produktif), dan budaya yang mampu menggambarkan ekspresi budaya lokal. RTH merupakan media komunikasi warga kota, tempat rekreasi, tempat pendidikan, dan penelitian.

3. Ekosistem perkotaan; produsen oksigen, tanaman berbunga, berbuah, dan berdaun indah, serta menjadi bagian dari usaha pertanian dan kehutanan.

4. Fungsi estetis, meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro maupun makro.

(26)

13

jauh jarak dari taman, suhu udara cenderung semakin tinggi, dan sebaliknya (Harti, 2005).

2.5. Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan

Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah kota.

Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006), Ruang Terbuka Hijau kota merupakan bagian dari wilayah perkotaan yang ditentukan berdasarkan berbagai pertimbangan. Pertimbangan umum penentuan luas RTH antara lain bahwa RTH antara kota dalam suatu hamparan kompak setidaknya mempunyai luas 0,25 hektar, sedangkan proporsi minimal adalah 10% dari wilayah perkotaan atau disesuaikan dengan kondisi setempat.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No: 05/PRT/M/2008 Penyediaan RTH di wilayah perkotaan meliputi:

1. Penyediaan RTH berdasarkan Luas Wilayah

a) Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai berikut:

 ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH privat;

 proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat;

 apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya.

(27)

meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.

2. Penyediaan RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu

Fungsi RTH pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau pengamanan, sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam, pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar fungsi utamanya tidak terganggu.

RTH kategori ini meliputi: jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi, RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan RTH pengamanan sumber air baku/mata air.

3. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk

Untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per kapita sesuai peraturan yang berlaku seperti yang tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk

No Unit

1 250 jiwa Taman RT 250 1,0 Di tengah lingkungan RT

2 2500 jiwa Taman RW 1.250 0,5 Di pusat kegiatan RW

5 480.000 jiwa Taman kota 144.000 0,3 Di pusat wilayah/kota

Hutan kota disesuaikan 4,0 Di dalam/kawasan pinggiran

Untuk

fungsi-fungsi tertentu disesuaikan 12,5

Disesuaikan kebutuhan

(28)

15

Dahlan dalam Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) menyatakan bahwa penetapan luasan RTH (termasuk didalamnya Taman Hutan) kota yang harus dibangun, ditetapkan sebagai berikut:

a. Berdasarkan proporsi luas kota, RTH dinyatakan menurut perkiraan kasar (begitu saja mengikuti apa yang telah ada) diharapkan mencapai luasan 10%, 20%, 25%, 30%, 40%, 50%, dan bahkan ada yang menetapkan 60%, seperti kota Canberra, ibu kota Australia.

b. Berdasarkan jumlah penduduk, luas RTH kota di beberapa negara ditentukan sebagai berikut : di Malaysia 1,9 m2 per penduduk dan Jepang 5 m2 per penduduk. Dewan Kota Lancashire, Inggris menetapkan 11,5 m2, Amerika 60 m2, Jakarta mengusulkan taman untuk bermain dan berolahraga 1,5 m2/penduduk.

c. Berdasarkan isu-isu penting, Luas RTH yang harus disediakan sebuah kota yang kekurangan air bersih, ditetapkan berdasarkan pemenuhan kebutuhan akan air.

d. Berdasarkan pendekatan kebutuhan oksigen, RTH kota yang harus disediakan mengacu pada jumlah penduduk dan jumlah kendaraan bermotor serta jumlah industri.

2.6. Pertumbuhan Penduduk dan Keterkaitannya Dengan Perubahan Penggunaan Lahan

(29)
(30)

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kota Bekasi dan kegiatan analisis data dilakukan di studio bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2011-Januari 2012. Gambar 1 menunjukkan lokasi penelitian ini.

(31)

3.2. Jenis Data, Sumber Data dan Alat Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari citra QUICKBIRD Kota Bekasi tahun 2003 dan 2010 dalam bentuk digital yang diakses secara bebas melalui website earth.google.com dan data survei lapang. Data sekunder meliputi data PODES (Potensi Desa) Kota Bekasi Tahun 2003 dan 2006 dan beberapa peta penunjang lainnya (Peta Administrasi Kota Bekasi, Peta RTRW, Peta RTH Kota Bekasi) diperoleh dari BAPPEDA dan Dinas Tata Ruang Kota Bekasi. Data jumlah penduduk diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bekasi.

Citra QUICKBIRD yang digunakan adalah citra tahun 2003 dan 2010 karena diharapkan citra tersebut dapat mempresentasikan keadaan RTH tahun 2003 dan saat ini. Namun, data PODES yang digunakan adalah tahun 2003 dan 2006 karena data tahun ini adalah yang paling relevan dan dapat diperbandingkan. Data PODES tahun 2006 diharapkan dapat mewakili keadaan pada PODES tahun 2008. Keterkaitan antara tujuan penelitian, sumber data dan teknik analisis data tertera dalam Tabel 2.

Tabel 2. Hubungan Antara Tujuan Penelitian, Sumber Data, dan Teknik Analisis

No Tujuan Jenis data yang digunakan Sumber pengumpulan

(32)

19

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa perangkat lunak yaitu Arc GIS 9.3, ArcView GIS 3.3, Microsoft Office 2007, Statistica 8.0 serta kamera digital, dan GPS.

3.3. Metode Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dibagi dalam lima tahapan, yaitu 1) Persiapan, 2) Pengumpulan Data, 3) Survei Lapang, 4) Analisis dan Interpretasi Data, 5) Penyusunan skripsi

3.3.1. Persiapan

(33)

3.3.2. Pengumpulan Data

Pada tahapan ini dilakukan pengumpulan data di lapangan dan instansi terkait yang dibutuhkan untuk penelitian. Data yang dikumpulkan terdiri dari data spasial, data numerik, dan data pendukung hasil survai lapang. Data spasial berupa peta RTRW, citra QUICKBIRD, Peta Administrasi Kota Bekasi, dan Peta penggunaan lahan. Data numerik berupa data-data statistik meliputi data demografi/jumlah penduduk, dan data jumlah fasilitas (PODES).

3.3.3. Survei Lapang

Survei lapang meliputi pengamatan penggunaan lahan berupa RTH di Kota Bekasi dan wawancara dengan penduduk (responden) menggunakan kuesioner tentang riwayat penggunaan lahan di beberapa titik contoh terpilih. Pemilihan titik-titik contoh didasarkan pada perubahan penggunaan lahan RTH menjadi penggunaan lahan lain atau sebaliknya dengan luasan relatif besar.

3.3.4. Analisis dan Interpretasi Data

Metode analisis yang digunakan adalah analisis spasial, deskripsi grafik dan tabel, teknik pendugaan perubahan, analisis skalogram, analisis regresi berganda dengan metode forward stepwise regression, dan analisis kecukupan RTH berdasarkan jumlah penduduk sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum no 5 tahun 2008, dan analisis SWOT.

3.3.4.1. Penentuan Laju Perubahan Luas RTH dan Kecukupan RTH Terhadap Jumlah Penduduk di Kota Bekasi

(34)

21

Analisis Spasial

Proses analisis spasial meliputi proses koreksi geometrik dan proses digitasi pada citra QUICKBIRD Kota Bekasi dan peta-peta yang dibutuhkan dengan menggunakan Arc GIS 9.3. Koreksi geometrik bertujuan untuk merujuk citra QUICKBIRD tersebut pada peta dasar yang telah terkoreksi secara geometrik sehingga diperoleh citra yang sama atau mirip dengan geometri di bumi yang sebenarnya. Proses koreksi geometrik tersebut meliputi penentuan titik-titik kontrol tanah; penentuan sistem referensi koordinat, datum, dan jenis transformasi; serta proses rektifikasi (Wikantika dan Agus, 2006).

Citra QUICKBIRD 2003 dan 2010 yang telah dikoreksi kemudian diinterpretasi secara visual berdasarkan kenampakan penutupan lahan khususnya kenampakan RTH. Proses interpretasi ini disebut dengan interpretasi secara manual. Interpretasi secara manual adalah interpretasi data penginderaan jauh yang mendasarkan pada pengenalan ciri/karakteristik objek secara keruangan. Karakteristik objek dapat dikenali berdasarkan pada sembilan unsur interpretasi yaitu bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona/warna, tekstur, situs, asosiasi, dan konvergensi bukti (Lillesand dan Kiefer, 1990). Digitasi dilakukan secara on screen menggunakan Arc GIS 9.3 sehingga menghasilkan peta RTH tahun 2003 dan 2010. Digitasi on screen merupakan proses pengubahan data grafis digital dalam struktur data vektor yang disimpan dalam bentuk point, line, atau, area. Interpretasi kenampakan RTH pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. RTH jalur hijau jalan.

Karakteristik visual: berwarna hijau, memanjang membentuk jalur atau berbentuk pulau dengan pola teratur, berasosiasi dengan jalan kota dan jalan tol.

b. RTH sempadan sungai

Karakteristik visual: berwarna hijau, bentuknya seperti jalur memanjang mengikuti pola sungai yang berkelok-kelok, berasosiasi dengan sungai, dan tekstur agak kasar

c. RTH olahraga

(35)

d. RTH tempat pemakaman umum

Karakteristik visual: berbentuk mengelompok, berasosiasi dengan vegetasi berwarna hijau hijau, terdapat titik-titik berwarna putih (nisan), pola tidak teratur, dan tekstur agak kasar.

e. RTH Taman

Karakteristik visual: berwarna hijau, berbentuk mengelompok dengan luasan tertentu, dan teratur, terletak di tengah kota.

f. RTH privat.

Karakteristik visual: berwarna hijau, bentuknya tidak beraturan, berasosiasi dengan bangunan/permukiman, dan polanya tidak teratur. Hasil digitasi dari kedua citra tersebut akan menghasilkan data mengenai luas RTH tahun 2003, luas RTH tahun 2010, dan perubahan luas RTH selama periode 2003-2010. Untuk memperoleh matrix transisi, dilakukan proses tumpang tindih (overlay) dengaan peta-peta yang dibutuhkan. Dari hasil matriks ini akan diperoleh hasil yang kemudian digunakan sebagai data analisis selanjutnya.

Analisis Kecukupan RTH terhadap Jumlah Penduduk Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008

Luas RTH yang dibutuhkan ditentukan berdasarkan jumlah penduduk, yaitu dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk dengan standar luas RTH per penduduk. Kebutuhan RTH kota berdasarkan jumlah penduduk ditetapkan berdasarkan pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, yaitu dengan total 20 m2/penduduk sebagaimana tertera pada Tabel 1 pada Bab Tinjauan Pustaka. Persamaan untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk adalah sebagai berikut:

��� = � � ... m2/orang Keterangan:

k = Nilai ketentuan luas RTH per penduduk berdasarkan Permen PU no 05/PRT/M/2008.

(36)

23

3.3.4.2. Penetuan Laju Pertumbuhan Penduduk dan Perkembangan Wilayah di Kota Bekasi

Laju pertumbuhan penduduk diperoleh dengan melakukan analisis pendugaan perubahan dan analisis deskripsi dan tabel sedangkan perkembangan wilayah Kota Bekasi di perolah dengan melakukan analisis skalogram sederhana.

Analisis Skalogram

Metode ini digunakan untuk mengetahui hirarki pusat-pusat pengembangan dan sarana/prasarana pembangunan yang ada di suatu wilayah. Penetapan hirarki pusat-pusat pertumbuhan dan pelayanan tersebut didasarkan pada jumlah jenis dan jumlah unit sarana dan prasana pembangunan dan fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang tersedia. Metode ini memberikan hirarki yang lebih tinggi pada wilayah yang mempunyai perkembangan lebih maju, yaitu yang memiliki jumlah jenis dan jumlah unit sarana/prasarana pembangunan yang lebih banyak. Metode ini lebih menekankan kriteria kuantitatif dibandingkan kriteria kualitatif yang menyangkut derajat fungsi sarana/prasarana pembangunan, distribusi penduduk, dan jangkauan pelayanan sarana prasarana pembangunan. Penentuan tingkat perkembangan wilayah dibagi menjadi tiga, yaitu:

 Hirarki I, jika perkembangan wilayah ke-j ≥ (rataan jumlah jenis fasilitas wilayah ke -j+ simpangan baku jumlah jenis fasilitas ke-j).  Hirarki II, jika rataan jumlah jenis fasilitas wilayah

ke-j<=perkembangan wilayah ke-j<( rataan jumlah jenis fasilitas wilayah ke -j+ simpangan baku jumlah jenis fasilitas ke-j).

 Hirarki III, jika perkembangan wilayah ke-j < rataan jumlah jenis fasilitas wilayah ke-j.

(37)

Tabel 3. Variabel-variabel Analisis Skalogram Sederhana

4 Fasilitas sosial Jumlah Tempat Peribadatan 1 Jumlah Variabel 25

Teknik Pendugaan Perubahan

Perubahan secara sistematis dapat diduga dari fungsi pertumbuhan dan peluruhan. Teknik ini dapat digunakan untuk menduga pertumbuhan ataupun peluruhan seiring dengan waktu, ukuran atau jarak dari posisi referensi. Rumus matematis dari teknik pendugaan perubahan adalah:

��� = ��ı − ���

�� Xto = nilai variabel tahun awal

(38)

25

Deskripsi Grafik dan Tabel

Analisis ini merupakan penjabaran data secara deskriptif melaui tabel atau pun grafik. Melalui metode ini dapat diketahui keadaan wilayah, pola perubahan ruang terbuka hijau, laju hubungan peluruhan/pertumbuhan ruang terbuka hijau, laju pertumbuhan penduduk, dan kecukupan RTH kota dengan jumlah penduduk.

3.3.4.3. Menganalisis Faktor-faktor Penentu Perubahan Luas RTH

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH yang terjadi di Kota Bekasi dilakukan melalui analisis regresi berganda dengan metode forward stepwise regression. Analisis ini dipilih karena terdapat banyak faktor yang mempengaruhi dalam menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH. Metode forward stepwise regression dipilih karena jumlah yang digunakan banyak dan berpeluang asumsi tidak saling berkorelasinya antar vaiabel bebas tidak akan dapat dipenuhi.

Analisis Regresi Berganda

Regresi berganda adalah suatu metode analisis yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara variabel tujuan (dependent variable) dengan bebrapa variabel penduga (independent variable). Sasaran dari metode regresi berganda adalah penggunaan variabel penduga untuk memprediksi variabel tujuan. Dengan kata lain analisis regrasi berganda digunakan untuk menduga nilai suatu parameter regresi berdasarkan data yang diamati. Model yang dihasilkan dapat digunakan sebagai penduga yang baik jika asumsi-asumsi berikut dapat dipenuhi:

a. E (ei) = 0 untuk setiap i; dimana i = 1,2,...,n; artinya rata-rata galat adalah

nol

b. Kov (ei,ej) = 0, i ≠ j, artinya kovarian pengamatan ke-i dan ke-j = 0,

dengan kata lain tidak ada autokorelasi antara galat pengamatan yang satu dengan yang lain.

c. Var (ei2) = σ2; untuk setiap i dimana i = 1,2,...,n; artinya setiap galat

(39)

d. Kov (ei,x1i) = Kov (ei,x2i) = 0; artinya kovarian setiap galat pengamatan

dengan setiap variabel bebas yang tercakup dalam persamaan linier berganda sama dengan nol.

e. Tidak ada multikolinearitas; artinya tidak ada hubungan linier yang eksak antara variabel-variabel penjelas, atau variabel penjelas harus saling bebas. f. Ei ≈ N (0;σ), galat pengamatan menyebar normal dengan rata-rata nol dan

ragam σ2 .

Persamaan (model) yang akan dihasilkan adalah:

Y = A0+A1X1+...+AnXn

Dimana:

Y = Luas perubahan RTH 2003-2010 (ha)

X = Variabel bebas sebagaimana disajikan dalam Tabel 4. A = Koefisien variabel

Tabel 4. Variabel Bebas Pada Analisis Regresi Berganda

No Variabel bebas No Variabel bebas

1 Perubahan jumlah penduduk 2003-2009 (jiwa)

11 Jarak ke fasilitas kesehatan (km)

2 Perubahan jumlah fasilitas pendidikan (unit)

12 Jarak ke fasilitas sosial (km)

3 Perubahan jumlah fasilitas ekonomi (unit)

13 Alokasi rth dalam RTRW (ha)

4 Perubahan jumlah fasilitas kesehatan (unit)

14 Luas RTH tahun 2003 (ha)

5 Perubahan jumlah fasilitas sosial (unit) 15 *Dummy1 (hirarki) 6 Jarak ke kecamatan yang membawahi

(km)

16 *Dummy2 (hirarki)

7 Jarak ke pusat kota (km) 17 Perubahan luas lahan terbangun 2003-2010 (ha)

8 Jarak terdekat ke kota lain (km) 18 Perubahan luas lahan kosong 2003-2010 (ha)

9 Jarak ke fasilitas pendidikan (km) 19 Luas Lahan terbangun tahun 2003 (ha) 10 Jarak ke fasilitas ekonomi (km) 20 Luas lahan kosong tahun 2003 (ha)

Keterangan: *= hirarki wilayah: hirarki 1 (dummy 1=0, dummy 2=1); hirarki 2 (dummy 1=1, dummy 2=0); hirarki 3 (dummy 1=1, dummy 2=1).

(40)

27

3.3.4.4. Mengidentifikasi Areal Yang Berpotensi Untuk RTH

Mengidentifikasi areal yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi RTH dilakukan dengan analisis spasial, yaitu melalui proses digitasi visual secara on screen pada citra QUICKBIRD 2010 berdasarkan kondisi eksisting penggunaaan lahan Kota Bekasi berupa lahan kosong yang mempunyai luasan cukup besar. Proses digitasi tersebut juga didasarkan pada peta penggunaan lahan 2010 untuk menghindari kemungkinan kesalahan interpretasi. Hasil dari digitasi tersebut berupa peta arahan areal pertambahan RTH. Peta arahan areal pertambahan RTH tersebut kemudian di overlay dengan peta administrasi wilayah Kota Bekasi sehingga dihasilkan luasan areal arahan pertambahan RTH per kecamatan.

Luas areal arahan pertambahan RTH per kecamatan yang diperoleh dari hasil digitasi kemudian dijumlahkan dengan RTH eksisting tahun 2010 untuk dihubungkan dengan luas kebutuhan RTH tahun berdasarkan jumlah penduduk tahun 2010. Dari hubungan tersebut dapat diketahui apakah luas areal pertambahan RTH tersebut dapat memenuhi kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk atau tidak. Perhitungan ini dilakukan dengan analisis deskripsi grafik dan tabel.

3.3.4.5. Menyusun Upaya Penambahan RTH di Kota Bekasi

Untuk menyusun upaya-upaya penambahan RTH yang tepat, maka dalam penelitian ini menggunakan analisis SWOT. Dalam analisis SWOT ini dilakukan identifikasi faktor internal dan dan faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pengadaan dan pengelolaan RTH di Kota Bekasi.

Analisis SWOT

(41)

kelemahan, peluang, dan ancaman) dalam kondisi saat ini yang disebut dengan analisis situasi (Iskandarini, 2004). Berdasarkan analisis situasi akan terbentuk matrix yang menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategi sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 5.

Opportunities (O) Strategi SO Strategi WO

Tentukan faktor-faktor

Strategi ini dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk memanfaatkan peluang sebesar-besarnya

 Strategi ST

Strategi ini menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman

 Strategi WO

Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.

 Strategi WT

Strategi ini didasarkan ppada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.

3.3.5. Penyusunan skripsi

(42)

BAB IV

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1. Sejarah Kota Bekasi

Berdasarkan Undang-Undang No 14 Tahun 1950, terbentuk Kabupaten Bekasi. Kabupaten bekasi mempunyai 4 kawedanan, 13 kecamatan, dan 95 desa. Kecamatan Bekasi yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bekasi mempunyai perkembangan yang pesat. Pesatnya perkembangan Kabupaten Bekasi menuntut adanya pemekaran Kecamatan Bekasi menjadi Kota Administratif Bekasi. Pembentukan Kota Administratif ini di tuangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahin 1981. Pada awal pembentukan ini Kota Administratif Bekasi hanya terdiri dari 4 kecamatan, yaitu kecamatan Bekasi Timur, Kecamatan Bekasi Barat, Kecamatan Bekasi Utara, dan Kecamatan Bekasi Selatan yang meliputi 18 kelurahan dan 8 desa. Peresmian Kota Administratif Bekasi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 April 1982 dengan walikota pertama adalah H. Soedjono.

Pada perkembangannya, Kota Administratif Bekasi mengalami Perkembangan yang cukup pesat. Oleh karena itu, status Kota Administratif Bekasi diubah menjadi Kotamadya (Kota) Bekasi. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1996 (http://bekasikota.go.id).

4.2. Wilayah Administrasi

(43)

Batas-batas wilayah administrasi wilayah kota bekasi adalah: Sebelah Utara : Kabupaten Bekasi

Sebelah Selatan : Kabupaten Bogor Sebelah Barat : Kota Jakarta Timur Sebelah Timur : Kabupaten Bekasi

(a) (b)

Gambar 2. Wilayah Administrasi Kota Bekasi Sebelum (a) dan Setelah Pemekaran (b)

4.3. Kondisi Geografis

(44)

31

4.4. Topografi

Wilayah Kota Bekasi terletak pada ketinggian rata-rata kurang 25 m di atas permukaan air laut. Ketinggian kurang dari 25 meter berada pada Kecamatan Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, dan Pondok Gede, sedangkan ketinggian antara 25-100 meter di atas permukaan air laut berada di Kecamatan Bantargebang, Jatiasih dan Jatisampurna (BAPPEDA Kota Bekasi, 2005).

4.5. Iklim

Sepanjang tahun 2009 keadaan di Kota Bekasi cenderung panas, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari dan Februari yaitu masing-masing tercatat 311 mm dan 302 mm dengan hari hujan masing-masing 10 hari. Jumlah hujan terendah terjadi pada bulan Juli sebesar 0 mm, dengan kata lain tidak ada hari hujan sama sekali. Jumlah curah hujan yang tercatat sepanjang tahun 2009 adalah 1.518 mm (BAPPEDA Kota Bekasi, 2010).

4.6. Morfologi

Keadaan morfologi wilayah Kota Bekasi umumnya relatif datar dengan kemiringan lahan bervariasi antara 0-2%. Wilayah Kota Bekasi tidak terdapat bukit dan secara keseluruhan kondisi morfologi lahannya adalah datar yang menyebar pada seluruh wilayah kecamatan di Kota Bekasi (BAPPEDA Kota Bekasi, 2005).

4.7. Hidrologi

Wilayah Kota Bekasi dialiri 3 (tiga) sungai utama yaitu Sungai Cakung, Sungai Bekasi dan Sungai Sunter, beserta anak-anak sungainya. Sungai Bekasi mempunyai hulu di Sungai Cikeas yang berasal dari gunung dengan ketinggian kurang lebih 1.500 meter dari permukaan air laut.

(45)

yang terdapat di bagian selatan wilayah Kota Bekasi (industri di wilayah Kabupaten Bogor).

Kondisi air tanah di wilayah Kota Bekasi sebagian cukup potensial untuk digunakan sebagai sumber air bersih terutama di wilayah selatan Kota Bekasi, tetapi untuk daerah yang berada di sekitar TPA Bantargebang kondisi air tanahnya kemungkinan besar sudah tercemar. Kondisi air tanah yang terdapat di Bekasi Timur sebagian mengandung zat besi (BAPPEDA Kota Bekasi, 2005).

4.8. Jenis Tanah dan Geologi

Struktur geologi wilayah Kota Bekasi didominasi oleh pleistocene volcanik facies. Struktur aluvium menempati sebagian kecil wilayah Kota Bekasi bagian utara sedangkan struktur miocene sedimentary facies terdapat di bagian timur wilayah Kota Bekasi sepanjang perbatasan dengan DKI Jakarta.

Kedalaman efektif tanah sebagian besar di atas 91 cm. Jenis tanah latosol dan aluvial, serta tekstur tanah didominasi tekstur sedang dan halus. Komposisi perbandingan berdasarkan luasnya adalah: tekstur halus seluas 17.260 ha (82%), tekstur sedang seluas 3.368 ha (16%) dan tekstur kasar seluas 421 ha (2%) (BAPPEDA Kota Bekasi, 2005).

4.9. Kondisi Sosial Ekonomi

(46)

33

Kecamatan Bekasi Timur dimana Kepadatannya mencapai 18.387 jiwa per km2 pada tahun 2010, sedangkan yang paling rendah kepadatan penduduknya adalah kecamatan Bantargebang yaitu 5.631 jiwa per km2 (BPS Kota Bekasi, 2010).

Upaya perbaikan di bidang pendidikan dilakukan melalui pengadaan sarana dan prasarana serta menyelenggarakan berbagai program pendidikan untuk meningkatkan kualitas guru. Jumlah sekolah dan guru bertambah tiap tahunnya. Data terakhir tercatat terdapat 773 SD/MI dengan jumlah guru 6.542 orang, 292 SLTP/MTs dengan jumlah guru 5.734 orang, 123 SMU/MA dengan jumlah guru 3.240 orang, dan 91 SMK dengan jumlah guru 1.922 orang.

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, jumlah tenaga kerja pun turut meningkat. Berdasarkan catatan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Bekasi, jumlah pencari kerja terdaftar pada tahun 2008 sebesar 42.376 orang sedangkan pada tahun 2009 sebesar 45.316 orang. Sebagian besar pekerja tersebut adalah mereka yang berpendidikan SLTA yaitu 28.311 orang dan Akademi/Universitas sekitar 14.968 orang (Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi, 2010).

Sektor industri masih merupakan sektor yang memberikan kontribusi terbesar terhadap pendapatan daerah Kota Bekasi. Pada tahun 2009 jumlah perusahaan Industri Besar dan Sedang di Kota Bekasi berjumlah 221. Secara keseluruhan jumlah pekerja di sektor Industri Besar dan Sedang berjumlah 52.669 orang pada tahun 2009, dengan jumlah tenaga kerja di sub sektor Industri makanan dan minuman menempati jumlah pekerja tertinggi yaitu 8.910 pekerja (Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi, 2010).

(47)

(13,28), sedangkan sisanya seperti pertanian, pertambangan, bangunan, bank, mempunyai proporsi yang kecil (dibawah 5%).

4.10. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bekasi (2000-2010)

Secara umum, pengembangan kawasan terbangun di Kota Bekasi diarahkan untuk menarik perkembangan fisik kota ke bagian Selatan yang selama ini belum terbangun sehingga dapat mewadahi kegiatan-kegiatan fungsional kota yang akan dikembangkan, baik perumahan, perdagangan dan jasa serta industri. Pada bagian Utara (dari jalan tol Jakarta-Cikampek) lebih merupakan pemantapan terhadap fungsi-fungsi yang telah ada.

Pengembangan struktur tata ruang Kota Bekasi diarahkan terbentuknya empat wilayah pengembangan (WP) atau bagian wilayah kota (BWK), yaitu: BWK Pusat kota (Bekasi Timur, Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Bekasi Utara), BWK Pondok Gede (Pondok Gede dan Jati Asih), BWK Bantar Gebang (Bantar Gebang dan sekitarnya), BWK Jati Sampurna (Jati Sampurna).

Secara umum pengembangan perumahan di Kota Bekasi diarahkan pada terbentuknya kawasan-kawasan perumahan baru yang didasarkan pada intensitas pemanfaatan lahannya. Perumahan kepadatan tinggi dikembangkan terutama di BWK Pusat Kota dan sebagian BWK Pondok Gede yang selama ini sudah Berkembang. Perumahan Kepadatan sedang dikembangkan di sebagian BWK Pondok Gede, sebagian BWK Bantar Gebang, dan sebagian BWK Jati Sampurna. Perumahan Kepadatan rendah dikembangkan di sebagian BWK Bantar Gebang dan sebagian BWK Jati Sampurna.

Secara spasial, pemanfaatan ruang kawasan terbangun di Kota Bekasi yang dikembangkan pada masa yang akan datang mempunyai pola pemanfaatan ruang yang berbeda yaitu:

(48)

35

primer yang menghubungkan Pusat Kota Bekasi dengan DKI Jakarta dan Pusat Kota Bekasi dengan Cikarang sebagai porosnya.

2. Pola linear Utara-Selatan diterapkan pada BWK Bantar Gebang dan Jati Sampurna. Dalam hal ini jaringan jalan kolektor yang ada pada kedua BWK tersebut merupakan poros perkembangan kawasan terbangun kota. Di BWK Jatisampurna (koridor Pondokgede-Jatisampurna), kawasan perdagangan dan jasa dikembangkan sejalan dengan pengembangan kawasan-kawasan perumahan baru yang menggunakan koridor tersebut sebagai akses utamanya. Di BWK Bantar Gebang, kegiatan industri akan menjadi penarik perkembangan linear pada koridor Selatan tersebut yang diikuti oleh perdagangan dan jasa untuk melayani kebutuhan lokal kawasan-kawasan perumahan yang dikembangkan di sekitarnya.

(49)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Laju Perubahan RTH Kota Bekasi Tahun 2003-2010

Laju perubahan RTH di Kota Bekasi dianalisis berdasarkan hasil digitasi Citra QUICKBIRD 2003 dan 2010. Tabel 6 menunjukkan dinamika perubahan luas RTH di Kota Bekasi tahun 2003-2010.

Tabel 6. Dinamika Perubahan Luas RTH di Kota Bekasi Tahun 2003-2010

Kecamatan Bekasi Barat 143,38 4,68 106,50 4,18 -36,88 -0,04 Bekasi Selatan 173,35 5,66 139,80 5,49 -33,54 -0,03 Bekasi Timur 107,17 3,50 97,30 3,82 -9,87 -0,01 Bekasi Utara 110,57 3,61 90,74 3,56 -19,83 -0,03 Jati Asih 540,85 17,66 411,84 16,17 -129,01 -0,03 Medan Satria 64,20 2,10 67,12 2,63 2,92 0,01 Rawalumbu 193,10 6,31 174,75 6,86 -18,35 -0,01 Jati Sampurna 475,84 15,54 321,90 12,64

Pondok Gede 258,67 8,45 105,92 4,16 **-179,87 **-0,03 Pondok Melati * * 126,82 4,98

Bantar Gebang 995,51 32,51 366,58 14,39 ***-90,61 ***-0,01 Mustika Jaya * * 538,32 21,13

Jumlah 3062,64 100,00 2547,59 100,00 -515,05 -0,02

Keterangan: *=kecamatan pemekaran dari kecamatan urutan sebelumnya; **=dihitung dari penjumlahan Kecamatan Jati Sampurna, Pondok Gede, dan Pondok Melati; ***=dihitung dari penjumlahan Kecamatan Bantar Gebang dan Mustika Jaya.

Pada tahun 2003, luasan RTH di Kota Bekasi sebesar 3.062,64 ha, sedangkan luasan RTH pada tahun 2010 sebesar 2.547,59 ha. Terjadi penurunan luas RTH di Kota Bekasi selama tahun 2003 hingga 2010 sebesar 515,05 ha. Penurunan luas RTH ini salah satunya disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk sehingga lahan-lahan RTH privat terutama lahan-lahan kebun campuran milik warga digunakan untuk pembangunan perumahan. RTH publik yang berupa jalur hijau jalan, taman, dan jalur hijau sempadan sungai luasannya bertambah namun dengan luasan relatif kecil sehingga tidak mampu mengkompensasi penurunan luasan RTH privat yang telah terpakai.

(50)

37

hingga 2010 telah terjadi penurunan luas RTH setiap tahun. Kecamatan yang mengalami laju pengurangan RTH paling tinggi setiap tahunnya adalah Kecamatan Bekasi Barat (-4%). Hal ini diduga karena Kecamatan Bekasi Barat mempunyai pekembangan wilayah yang cepat karena kecamatan ini merupakan salah satu pusat kegiatan kota sehingga lahan RTH juga cepat terkonversi menjadi penggunaan lain. Kecamatan Medan Satria memiliki laju perubahan RTH bernilai positif yaitu 1% per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kecamatan tersebut mengalami peningkatan luasan RTH. Peningkatan luasan RTH di Medan Satria terjadi karena terbangunnya Banjir Kanal Timur (BKT), sehingga di sekitar BKT difungsikan sebagai RTH. Untuk mengkonsistenkan satuan di wilayah yang mengalami pemekaran pada tahun 2004, maka di wilayah pemekaran tersebut perhitungan laju perubahan luas RTH disatukan. Pada gabungan Kecamatan Pondok Gede, Pondok Melati, dan Jati Sampurna, laju perubahan RTH yang terjadi negatif sebesar -3% per tahun. Laju penurunan RTH tersebut terjadi karena perubahan penggunaan lahan RTH terutama RTH privat milik warga menjadi jalan tol. Laju perubahan RTH di Bantar Gebang dan Mustika Jaya juga dihitung secara bersama menghasilkan laju perubahan RTH sebesar -1% per tahun.

(51)

wilayah yang tinggi yang bisa mengakibatkan beralihnya penggunaan lahan RTH menjadi penggunaan lahan terbangun.

Pada tahun 2010 kecamatan yang memiliki luasan RTH terbesar adalah Kecamatan Jati Asih dengan luasan sebesar 411,84 ha dan yang terkecil adalah Kecamatan Medan Satria. Meskipun terjadi peningkatan luas RTH di Kecamatan Medan

Satria namun kecamatan ini tetap memiliki proporsi RTH yang kecil dibandingkan

dengan kecamatan lainnya. Peta sebaran RTH tahun 2003 dan 2010 tertera pada Gambar 3 dan 4. Gambar 5 menunjukkan RTH di Kota Bekasi yang diperoleh dari hasil pengecekan lapang.

(52)

39

(b)

(53)
(54)

41

5.2. Analisis Kecukupan RTH Kota Bekasi Berdasarkan Jumlah Penduduk

Untuk bisa melakukan aktifitas dengan nyaman, penduduk membutuhkan luas RTH sebesar 20 m2 sebagaimana tertera dalam Permen PU No. 5 tahun 2008. Tong Yiew dalam Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) menyatakan bahwa di Malaysia luas RTH per penduduk yang ditetapkan sebesar 1,9 m2 dan Jepang 5 m2 per penduduk. Dewan Kota Lancashire, Inggris menetapkan kebutuhan RTH per penduduk sebesar 11,5 m2, Amerika 60 m2, Jakarta mengususlkan taman untuk bermain dan berolahraga 1,5 m2 per penduduk (Rifai dalam Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2006). Tabel 7 menunjukkan kecukupan RTH di Kota Bekasi terhadap jumlah penduduk di Kota Bekasi pada tahun 2010.

Tabel 7. Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk dan Kecukupannya

Kecamatan

Jumlah 2.336.489 21.049 4209,80 4672,98 2547,59 -2125,39

(55)

secara umum lahan di Kota Bekasi telah banyak berubah menjadi lahan terbangun seperti perumahan, industri, perdagangan, perkantoran, dan jasa, sedangkan penduduk selalu meningkat setiap tahunnya.

Berdasarkan Tabel 7 tampak bahwa luas kebutuhan RTH berdasarkan 20% luas wilayah Kota Bekasi (4209,80 ha)juga belum bisa dipenuhi oleh Kota Bekasi bahkan luasan tersebut lebih kecil daripada luas kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk (4672,98 ha). Karena luasan kebutuhan RTH berdasarkan 20% luas wilayah Kota Bekasi lebih kecil dan juga merupakan ketentuan yang tertuang dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang maka target luasan ini harus dicapai lebih dulu. Setelah Mencapai luasan tersebut, dilakukan perluasan areal RTH sehingga dapat mencapai luasan kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk untuk menunjang kenyamanan penduduk dalam beraktifitas.

5.3. Analisis Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk

Sejak Kota Bekasi terbentuk pada 10 Maret 1997, jumlah penduduk di Kota Bekasi terus mengalami peningkatan. Pertumbuhan yang terjadi cukup tinggi tiap tahunnya. Pada tahun 2010 penyebaran penduduk Kota Bekasi masih didominasi oleh 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Bekasi Utara sebanyak 310.198 jiwa, Kecamatan Bekasi Barat sebanyak 270.569 jiwa, Kecamatan Bekasi Timur sebanyak 248.046 jiwa, dan Kecamatan Bojong Gede sebanyak 246.413 jiwa.

Penyebaran penduduk Kota Bekasi lebih banyak terkonsentrasi di wilayah Barat dan pusat kota (Pondok Gede dan Bekasi Barat) yang berbatasan dengan DKI Jakarta serta di bagian Utara dan Timur (Bekasi Utara dan Bekasi Timur) yang berbatasan dengan Kabupaten Bekasi. Hal ini disebabkan oleh akses jaringan jalan yang baik di kedua wilayah karena dilalui oleh jalan negara dan jalan tol serta dilengkapi dengan jalan kota. Wilayah Barat dan pusat memiliki lokasi yang sangat strategis karena berbatasan dengan DKI Jakarta dan masih dalam wilayah tarikan pelayanan DKI Jakarta. Sementara itu, wilayah Timur dan Utara memiliki ketersediaan fasilitas dan prasarana penunjang perkotaan yang lengkap.

Gambar

Gambar 1. Lokasi Penelitian
Tabel 2. (Lanjutan)
Tabel 3. Variabel-variabel Analisis Skalogram Sederhana
Tabel 4. Variabel Bebas Pada Analisis Regresi Berganda
+7

Referensi

Dokumen terkait

05/PRT/M/2008 menjelaskan bahwa penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah adalah sebagai berikut: (1) ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH publik dan

Kota Bogor dapat dikatakan belum cukup dalam memenuhi luasan RTH khususnya lahan bervegetasi pohon untuk kebutuhan oksigen akibat terjadinya perubahan tutupan

Ruang Terbuka Hijau Kota Medan, 3) Ketersediaan lahan hutan mangrove dalam. Peta Tutupan Lahan

Analisis Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Keterkaitannya dengan Kenyamanan Kota Samarinda. Dibimbing oleh SANTUN RISMA PANDAPOTAN SITORUS dan BAMBANG SULISTYANTARA. Banyaknya

Dengan demikian diperlukan adanya pengendalian penggunaan lahan dari segi ketersediaan RTH yang diawali dengan menganalisis pola sebaran, jenis dan karakteristik

Luasan RTH Kota Medan yang optimal berdasarkan Inmendagri No.14 Tahun 1988 sebesar 40% adalah 10,604.0 ha, sedangkan berdasarkan pendekatan Geravkis kebutuhan oksigen pada tahun

Menurunnya kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik yang ada di perkotaan, baik berupa ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka non-hijau telah mengakibatkan menurunnya

Berdasarkan data diatas ada beberapa indikator yang memiliki nilai yang sangat penting dalam mencapai target RTH yaitu yang Pertama perluas RTH, melihat perkembangan RTH di Kota Bekasi