ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA BUDIDAYA
ANGGREK DI TAMAN ANGGREK RAGUNAN
SKRIPSI
DINI DAMAYANTI H34070037
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
DINI DAMAYANTI. Analisis Struktur Biaya Usaha Budidaya Anggrek di Taman Anggrek Ragunan). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan RACHMAT PAMBUDY)
Anggrek merupakan tanaman hias yang memiliki potensi untuk dikembangkan di Indonesia. Selain Indonesia memiliki jenis anggrek yang sangat beragam, iklimnyapun cocok untuk melakukan budidaya anggrek. Di DKI Jakarta, anggrek merupakan salah satu tanaman yang menjadi prioritas untuk dikembangkan karena dapat diusahakan pada luas lahan yang terbatas dengan hasil yang optimal. Taman Anggrek Ragunan (TAR) merupakan salah satu pusat promosi dan pemasaran anggrek pot di DKI Jakarta. Untuk menjaga kontinuitas produksi anggrek, petani di TAR memiliki kebun penunjang. Luas kebun yang diusahakan sangat bervariasi dan menjadi indikasi bahwa usaha budidaya anggrek dilakukan pada skala berbeda-beda. Efisiensi skala produksi sangat penting bagi petani anggrek agar penggunaan sumberdaya yang dimiliki dapat diatur sefisien mungkin sehingga memperoleh keuntungan yang maksimal.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan usaha anggek secara umum di TAR, menganalisis struktur biaya produksi usaha anggrek pada tiap skala usaha, menganalisis skala usaha anggrek yang paling efisien dan menentukan jumlah produksi anggrek pada masing-masing usaha pada saat break even point. Teknik penentuan sampel menggunakan teknik stratified random sampling dengan mengelompokan petani kedalam tiga skala usaha berdasarkan luas lahan. Kemudian dipilih satu usaha anggrek secara acak untuk mewakili setiap kelompok sehingga jumlah sampel yang diteliti sebanyak tiga petani. Konsep dan alat analisis yang digunakan adalah analisis terhadap struktur biaya usaha budidaya anggrek berdasarkan skala usaha yang dipisahkan berdasarkan jenis anggrek. Untuk melihat efisiensi struktur biaya dapat dilihat dari biaya total per pot. Selain itu dilakukan pula analisis efisiensi pendapatan R/C ratio dan perhitungan titk impas (break even point).
Berdasarkan hasil penelitian, keragaan usaha anggrek di TAR dapat dikelompokan menjadi empat segmen yaitu usaha pembibitan, budidaya dari seedling, budidaya dari remaja dan pemasaran. Jenis anggrek yang dibudidayakan sangat bervariasi yaitu Dendrobium, Phalaenopsis, Vanda, Cattleya dan Oncidium. Nunky Orchis (usaha I) dan Syams Orchid (usaha III) melakukan budidaya semua jenis anggrek dalam satu tempat yang sama sedangkan I-yon Orchid (usaha II) melakukan sistem pemeliharaan anggrek yang terpisah antara anggrek Phalaenopsis dengan anggrek yang lainnya. Jika dilihat dari total pot anggrek secara keseluruhan maka semakin meningkatnya skala usaha (luas lahan), jumlah tanaman anggrek yang diproduksi semakin banyak.
meningkatnya skala usaha maka biaya tetap per pot semakin menurun sedangkan biaya variabel per pot yang dikeluarkan untuk setiap jenis anggrek sangat bervariasi tergantung dari biaya bibit yang diperoleh usaha.
Berdasarkan analisis struktur biaya, maka dapat ditentukan biaya produksi per pot untuk setiap jenis anggrek di masing-masing skala. Biaya produksi anggrek Dendrobium usaha I sebesar Rp 10.466/pot, usaha II sebesar Rp 9.440/pot dan usaha III sebesar Rp 7.128/pot. Terlihat adanya kecenderungan dengan meningkatnya skala usaha maka biaya per pot semakin menurun. Biaya produksi anggrek Phalaenopsis usaha I sebesar Rp 13.716/pot, usaha II sebesar Rp 10.891/pot dan usaha III sebesar Rp 24.458/pot. Biaya produksi anggrek Phalaenopsis yang efisien terdapat pada usaha II. Biaya produksi anggrek Vanda usaha I sebesar Rp 27.074/pot, usaha II sebesar Rp 32.355/pot dan usaha III sebesar Rp 29.255/pot. Biaya produksi anggrek Catleya usaha I sebesar Rp 22.074/pot, usaha II sebesar Rp 27.355/pot dan usaha III sebesar Rp 29.255/pot. Biaya produksi anggrek Vanda dan Cattleya yang efisien terjadi pada usaha I. Perbedaan biaya produksi yang dihasilkan masing-masing usaha pada setiap jenis anggrek disebabkan perbedaan biaya perolehan bibit yang besar. Semakin kecil biaya bibit yang dikeluarkan usaha maka biaya produksi per pot akan semakin efisien karena lebih dari 50 persen dari total biaya per pot berasal dari biaya bibit.
Berdasarkan analisis pendapatan atas biaya total dan biaya tunai pada tahun 2010 bahwa usaha I dan usaha III memperoleh pendapatan yang negatif sedangkan usaha II memperoleh pendapatan yang positif. Hal ini berarti usaha I dan III pada tahun 2010 mengalami kerugian sedangkan usaha II memperoleh keuntungan. Berdasarkan analisis efisiensi pedapatan yang dilihat dari R/C ratio untuk usaha I dan III memiliki R/C ratio < 1 sedangkan untuk usaha II R/C ratio > 1. Hal ini disebabkan untuk usaha I dan III mengalami penurunan penjualan pada tahun 2010. Berdasarkan nilai R/C ratio yang diperoleh usaha anggrek yang efisien berada pada usaha II.
ANALISIS STRUKTUR BIAYA USAHA BUDIDAYA ANGGREK DI TAMAN ANGGREK RAGUNAN
DINI DAMAYANTI H34070037
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Skripsi : Analisis Struktur Biaya Usaha Budidaya Anggrek di Taman Anggrek Ragunan
Nama : Dini Damayanti
NIM : H34070037
Disetujui, Pembimbing
Dr. Ir. Rachmat Pambudy, MS
NIP. 19591223 198903 1 002
Diketahui
Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS
NIP. 19580908 198403 1 002
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Struktur Biaya Usaha Budidaya Anggrek di Taman Anggrek Ragunan” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 14 Desember 1989. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Yahya E dan Ibu Saidah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Petukangan Utara 07 pagi pada tahun 2001 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SMP Negeri 110 PetukanganSe latan. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMA Negeri 47 Jakarta diselesaikan pada tahun 2007.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas segala berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Struktur Biaya Usaha Budidaya Anggrek di Taman Anggrek Ragunan”. Penelitian ini bertujuan menganalisis struktur biaya produksi usaha anggrek pada tiap skala usaha di Taman Anggrek Ragunan, menentukan skala usaha anggrek yang paling efisien dan menentukan jumlah produksi anggrek pada masing-masing skala usaha pada saat kondisi break even point. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak dalam rangka pengembangan agribisnis anggrek di Indonesia khususnya di Taman Anggrek Ragunan. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi bahan masukan maupun referensi bagi penelitian selanjutnya.
UCAPAN TERIMAKASIH
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga memberikan kekuatan, kemudahan serta kesehatan dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada :
1.
Dr. Ir. Rachmat Pambudy, MS. selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.2.
Ir. Wahyu Budi Priatna. MS dan Suprehatin, SP, MAgribuss atas kritik dan saran serta kesediaannya menjadi dosen penguji pada ujian sidang Penulis.3.
Dr. Ir. Nunung Kusnadi MS atas bimbingan, arahan dan kesediaan waktuyang telah diberikan kepada penulis.
4.
Seluruh dosen pengajar dan staf Departemen Agribisnis yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama kegiatan perkuliahan.5.
Kedua orang tua tercinta, Bapak, Ibu, kedua adikku (Melinda dan Ichsan) dan Fahmi Baihaqi yang selalu memberikan doa, kasih sayang, semangat, dukungan baik moral maupun materi, serta menjadi motivasi penulis untuk meyelesaikan skripsi ini.6.
Anggriani Putri S yang telah menjadi pembahas pada seminar penulis dan memberikan masukan-masukan terhadap penyelesaian skripsi.7.
Pengelola Taman anggrek Ragunan, terutama Bapak Usman, Bapak Rosyid dan Ibu Lami yang bersedia memberikan bantuan dan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.8.
Ibu Nurul, Ibu Sri, Bapak Wiyono dan seluruh petani anggrek di Taman Anggrek Ragunan yang telah bersedia memberikan informasi kepada penulis.9.
Cher, Eka, Tari, Irwan, Defri dan sahabat AGB44 atas semangat dan sharingselama penelitian hingga penulisan skripsi, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih atas bantuannya.
5.3.1. Sejarah Singkat Usaha ... 39
5.3.2. Lokasi dan Layout Perusahaan ... 40
5.3.3. Struktur Organisasi ... 41
5.3.4. Penyedia Sarana Produksi ... 41
5.3.5. Teknik Budidaya dan Pemeliharaan Anggrek ... 42
5.3.6. Kegiatan Pemasaran ... 43
5.4. Usaha Budidaya Anggrek Skala II (Iyon Orchid) ... 44
5.4.1. Sejarah Singkat Usaha ... 44
5.4.2. Lokasi dan Layout Perusahaan ... 45
5.4.3. Struktur Organisasi ... 46
5.4.4. Penyedia Sarana Produksi ... 46
5.4.5. Teknik Budidaya dan Pemeliharaan Anggrek ... 47
5.4.6. Kegiatan Pemasaran ... 48
5.5. Usaha Budidaya Anggrek Skala III (Syams Orchid) ... 48
5.5.1. Sejarah Singkat Usaha ... 48
5.5.2. Lokasi dan Layout Perusahaan ... 49
5.5.3. Struktur Organisasi ... 50
5.5.4. Penyedia Sarana Produksi ... 50
5.5.5. Teknik Budidaya dan Pemeliharaan Anggrek ... 51
5.5.6. Kegiatan Pemasaran ... 52
VI ANALISIS SRUKTUR BIAYA USAHA BUDIDAYA ANGGREK ... 53
6.1. Analisis Struktur Usaha Budidaya Anggrek ... 53
6.1.1 Struktur Usaha Budidaya Anggrek Dendrobium. ... 54
6.1.2 Struktur Usaha Budidaya Anggrek Phalaenopsis ... 60
6.1.3 Struktur Usaha Budidaya Anggrek Vanda. ... 65
6.1.4 Struktur Usaha Budidaya Anggrek Cattleya. ... 70
6.2. Analisis Pendapatan ... 72
6.3. Analisis Break Even Point (BEP) ... 76
VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 79
7.1.Kesimpulan ... 79
7.2.Saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA ... 81
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Kontribusi Kelompok Komoditas pada PDB Holtikultura
Tahun 2005-2009 ... 1 2. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor dan Impor
Anggrek Indonesia Tahun 2006–2010 ... 3 3. Data Produksi Tanaman Hias di Indonesia Tahun 2005-2009
(ton) ... 4 4. Stratifikasi Petani Anggrek di Taman Anggrek Ragunan 2011 27 5. Struktur Biaya Usaha Anggrek pada Skala Usaha Berbeda ... 29 6. Komponen Biaya Tetap Usaha Budidaya Anggrek
Dendrobium dari Seedling hingga Berbunga di Tiga
Skala Usaha (8 bulan) ... 55 7. Komponen Biaya Variabel Usaha Budidaya Anggrek
Dendrobium dari Seedling hingga Berbunga di Tiga
Skala Usaha (8 bulan) ... 57 8. Struktur Biaya Usaha Budidaya Anggrek Dendrobium
di Tiga Skala Usaha ... 59 9. Komponen Biaya Tetap Usaha Budidaya Anggrek
Phalaenopsis dari Seedling hingga Berbunga di Tiga
Skala Usaha (12 bulan) ... 61 10. Komponen Biaya Variabel Usaha Budidaya Anggrek
Phalaenopsis dari Seedling hingga Berbunga di Tiga
Skala Usaha (12 bulan) ... 62 11. Struktur Biaya Usaha Budidaya Anggrek Dendrobium
di Tiga Skala Usaha ... 64 12. Komponen Biaya Tetap Usaha Budidaya Anggrek
Vanda dari Seedling hingga Berbunga di Tiga
Skala Usaha (18 bulan) ... 66 13. Komponen Biaya Variabel Usaha Budidaya Anggrek
Vanda dari Seedling hingga Berbunga di Tiga
Skala Usaha (18 bulan) ... 68 14. Struktur Biaya Usaha Budidaya Anggrek Vanda
di Tiga Skala Usaha ... 69 15. Struktur Biaya Usaha Budidaya Anggrek Cattleya
di Tiga Skala Usaha ... 70 16. Rata-Rata Penjualan Anggrek per Bulan di Tiga Skala Usaha
17. Analisis Pendapatan Budidaya Anggrek di Tiga Skala Usaha
Tahun 2010 ... 76 18. Nilai Titik Impas (BEP) di Tiga Skala Usaha ... 78
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Sistem Agribisnis Anggrek di DKI Jakarta... 9
2. Fungsi Produksi ... 17
3. Kurva Amplop Skala Usaha ... 19
4. Kurva Skala Usaha dengan Biaya Konstan... 20
5. Kerangka Pemikiran Operasional ... 25
6. Struktur Organisasi Taman Anggrek Ragunan ... 35
7. Bentuk Kurva Struktur Biaya Anggrek Dendrobium di Tiga Skala Usaha ... 60
8. Bentuk Kurva Struktur Biaya Anggrek Phalaenopsis di Tiga Skala Usaha ... 65
9. Bentuk Kurva Struktur Biaya Anggrek Vanda di Tiga Skala Usaha ... 70
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Data Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman
Anggrek, 2009 ... 81
2. Daftar Petani Anggrek di Taman Anggrek Ragunan Tahun 2011 ... 82
3. Tabel Angka Acak ... 83
4. Komponen Penyusutan Usaha Nunky Orchid ... 84
5. Komponen Penyusutan Usaha I-yon Orchid di Serpong ... 84
6. Komponen Penyusutan Usaha I-yon Orchid di Sawangan ... 85
7. Komponen Penyusutan Usaha Syams Orchid ... 85
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang memiliki
perkembangan cukup pesat yang memberikan dampak positif bagi perekonomian
Indonesia. Perkembangan tersebut dapat dilihat dari peningkatan kontribusi
kelompok komoditas terhadap PDB hortikultura dari tahun ke tahun (Tabel 1).
Tabel 1. Kontribusi Kelompok Komoditas pada PDB Hortikultura Tahun 2005- 2009
No Kelompok Komoditas
Nilai PDB (Milyar Rp.) Persentase Pertumbuhan Pertahun (%)
2005 2006 2007 2008 2009 2006 2007 2008 2009 1
Buah-buahan
31.694 35.448 42.362 47.060 48.437 11.84 19.50 11.09 2.93
2 Sayuran 22.630 24.694 25.587 28.205 30.506 9.12 3.62 10.23 8.16
61.792 68.639 76.795 84.203 88.334 11.08 11.88 9.65 4.91
Sumber : Dirjen Hortikultura (2010)
Berdasarkan Tabel 1, komoditas hortikutura dibagi menjadi empat bagian
yaitu buah-buahan, sayuran, biofarmaka dan tanaman hias. Kontribusi komoditas
hortikultura terhadap nilai PDB mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Kontribusi terbesar terhadap nilai PDB hortikultura berasal dari buah-buahan
yaitu sebesar Rp 48.437 miliyar pada tahun 2009 sedangkan kontribusi yang
terkecil berasal dari biofarmaka yaitu sebesar Rp 3.897 miliyar pada tahun 2009.
Tanaman hias berada diurutan ke tiga dalam kontribusinya terhadap PDB yaitu
sebesar Rp 5.494 miliyar. Namun, tanaman hias mengalami peningkatan yang
sangat signifikan pada tahun 2009 yaitu sebesar 8,04 persen.
Tanaman hias memiliki prospek yang masih cukup cerah untuk
dikembangkan baik di pasar domestik maupun pasar mancanegara. Jumlah
penduduk Indonesia yang cukup besar dan pendapatan yang cenderung meningkat
setiap tahunnya merupakan pasar yang besar bagi perkembangan tanaman hias.
keindahan maka permintaan terhadap tanaman hias akan semakin meningkat.
(Saragih, 2010).
Salah satu tanaman hias yang diminati oleh masyrakat adalah anggrek.
Anggrek merupakan tanaman hias yang sangat populer karena memiliki jenis
yang beragam. Indonesia memiliki kurang lebih 5.000 spesies anggrek dari 20.000
sampai 30.000 spesies yang berasal dari 700-an genera yang tersebar di seluruh
dunia. Selain itu, Indonesia juga memiliki iklim yang cocok untuk budidaya
anggrek1. Hal tersebut merupakan potensi dalam mengembangkan agribisnis
anggrek.
Anggrek merupakan tanaman yang memiliki segmen pasar tertentu.
Anggrek biasanya dipergunakan untuk berbagai keperluan seperti upacara
keagamaan, hiasan dan dekorasi ruangan, ucapan selamat serta ungkapan dukacita
sehingga konsumen anggrek merupakan para penggemar dan pencinta anggrek,
pedagang keliling tanaman anggrek, pedagang tanaman anggrek pada kios di
tempat-tempat tertentu dalam kota, perhotelan, perkantoran, gedung-gedung
pertemuan, pengusaha pertamanan, toko bunga, florist, pesta-pesta dan
perkawinan. Jenis-jenis anggrek yang banyak diminta pasar adalah Vanda
Douglas, Dendrobium dan Golden Shower. Untuk memenuhi permintaan
konsumen anggrek dalam negeri, selain dipenuhi oleh produksi dalam negeri juga
dari impor untuk jenis-jenis tertentu, seperti Phalaenopsis dan Dendrobium.2
Nilai ekspor anggrek secara keseluruhan selama lima tahun dari tahun
2006-2010 mengalami pasang surut yaitu pada tahun 2006 sebesar $ 1.232.199
turun menjadi $ 1.166.671 tahun 2007 dan turun kembali sebesar $ 740.751 tahun
2008. Pada tahun 2009 ekspor anggrek mengalami peningkatan sebesar $
1.040.544. Namun, tahun 2010 mengalami penurunan hingga sebesar $ 899.397.
Begitu pula dengan nilai total impor anggrek yang juga mengalami fluktuasi yaitu
pada tahun 2006 nilai impor anggrek sebesar $ 548.601 turun menjadi $ 480.204
tahun 2007 dan tahun 2008 impor anggrek mengalami penurunan yaitu sebesar $
78.265. Pada tahun 2009 impor anggrek mengalami peningkatan yaitu sebesar $
1
Ir. Agus Wediyanto M.Sc. 2010. Akan dibawa Kemana Anggrek Indonesia?
http://pai.or.id/artikel/3-opini/2-akan-dibawa-kemana-anggrek-indonesia.html [13 Januari 2011]
2
434.071 dan tahun 2010 nilai impor anggrek turun hingga hanya mencapai $
40.154 (Tabel 2)
Tabel 2. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor dan Impor Anggrek Indonesia,
Tahun 2006–2010.
Tahun Ekspor Impor
Volume (kg) Nilai (US$) Volume (kg) Nilai (US$)
2006 362.705 1.232.199 309.047 548.601
2007 202.804 1.166.671 72.689 480.204
2008 164.104 740.751 34.651 78.265
2009 121.664 1.040.544. 64.343 434.071
2010 55.842 899.397 26.801 40.154
Sumber: Dirjen Hortikultura (2011)
Penurunan nilai ekspor dan impor tanaman anggrek Indonesia tahun 2007
disebabkan karena pengaruh trend tanaman hias di dalam negeri, dimana tanaman
Anthurium sedang booming dan dijual dengan harga yang tinggi sehingga banyak
petani anggrek yang beralih membudidayakan Athurium karena tertarik dengan
keuntungan yang diperoleh. Hal tersebut juga yang menyebabkan produksi
anggrek di Indonesia mengalami penurunan pada tahun 2007 yaitu sebesar
9.484.393 ton. Namun, penurunan produksi tersebut hanya berlangsung sesaat
karena usaha anggrek memiliki daya tarik sendiri yaitu harga jual yang stabil dan
memiliki segmen pasar tertentu sehingga tahun 2008 produksi anggrek Indonesia
meningkat kembali sebesar 15.430.040 ton dan tahun 2009 mencapai 16.205.949
ton (Tabel 3)3
DKI Jakarta merupakan salah satu sentra produksi dan pemasaran anggrek
di Indonesia. Anggrek merupakan salah satu komoditas unggulan yang menjadi
prioritas untuk dikembangkan di DKI Jakarta karena pengusahaan anggrek
memiliki nilai lebih bila dibandingkan dengan usaha pertanian pada umumnya.
Anggrek dapat diusahakan pada luas lahan yang terbatas dengan hasil yang
optimal (Hartono, 2003). Menurut BPS tahun 2009, provinsi DKI Jakarta
mendapat peringkat kelima dalam produksi anggrek dengan luas panen sebesar
131.235 m2 menghasilkan anggrek sebanyak 1.2558.047 tangkai. Produksi
anggrek tertinggi berada diwilayah Jawa Barat yaitu sebanyak 5.582.076 tangkai,
3
kemudian Kalimantan Barat sebanyak 2.005.276 tangkai, selanjutnya Jawa Timur
sebanyak 2.180.521 tangkai dan Banten sebanyak 1.453.304 tangkai. Secara jelas
Data Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Anggrek Sentra Produksi
di Indonesia Tahun 2009 dapat dilihat pada yang terdapat pada Lampiran 1.
Tabel 3. Data Produksi Tanaman Hias di Indonesia, Tahun 2005-2009 (ton)
Komoditas Tahun
2005 2006 2007 2008 2009
Anggrek 7,902,403 10,703,444 9,484,393 15,430,040 16,205,949
Kuping gajah 2,615,999 2,017,535 2,198,990 2,764,552 3,833,100
Gladiol 14,512,619 11,195,483 11,271,385 8,524,252 9,775,500
Pisang-pisangan
1,131,568 1,390,117 1,427,048 5,187,631 4,124,174
Krisan 47,465,794 63,716,256 66,979,260 99,158,942 107,847,072
Mawar 60,719,517 40,394,027 59,492,699 39,131,603 60,191,362
Sedap malam 32,611,284 30,373,697 21,687,493 25,180,043 51,047,807
Melati 22,552,537 24,795,995 15,775,751 20,357,698 28,307,326
Palem 751,505 986,340 1,171,768 1,094,096 1,260,408
Dracaena 1,313,621 905,039 2,041,962 1,845,490 2,262,505 Anyelir 2,216,123 1,782,046 1,901,509 2,995,153 5,320,824
Usaha anggrek yang berkembang di DKI Jakarta sangat bervariasi.
Meskipun sebagian besar konsumen menikmati anggrek pada saat berbunga,
namun usaha anggrek yang berkembang tidak hanya memproduksi anggrek
berbunga. Hal tersebut karena istilah panen dalam tanaman anggrek berbeda
dengan istilah panen pada tanaman hortikultura lainnya. Jika tanaman holtikultura
seperti sayuran dipanen ketika berbuah dan hanya satu kali musim panen, maka
untuk tanaman anggrek setiap tahapan budidaya anggrek dapat dipanen atau dijual
sesuai dengan kebutuhan konsumen. Sehingga usaha anggrek yang berkembang
adalah usaha pembibitan anggrek, usaha budidaya anggrek dan usaha pemasaran
anggrek. Usaha tersebut saling melengkapi satu dengan yang lainnya dan setiap
usaha tersebut merupakan input bagi usaha yang lainnya. Terdapat pula usaha
anggrek yang melakukan integrasi didalam pengelolaannya yaitu mulai dari
Efisiensi skala produksi sangat penting bagi petani anggrek agar
penggunaan sumberdaya yang dimiliki dapat diatur sefisien mungkin sehingga
memperoleh keuntungan yang maksimal (Murbyanto, 1989). Perbedaan skala Departemen Pertanian dalam arah dan pengembangan terhadap komoditas
anggrek, mengklasifikasikan industri anggrek di Indonesia dalam berbagai skala
usaha yaitu (1) UKM anggrek potong dengan skala usaha 1.000 - 2.500 m2 dan
diperkirakan dapat menghasilkan 10.000 - 25.000 tangkai bunga; (2) usaha
anggrek potong skala besar, dengan skala usaha 3.000 m2 hingga lebih dari 1 ha,
yang dapat menghasilkan bunga antara 30.000 sampai 100.000 tangkai; (3) usaha
tanaman pot berbunga kecil menengah, dengan skala usaha 1.000 - 25.000 m2.
Soekartawi (2002) membahas mengenai kriteria atau ciri-ciri skala
usahatani. Usahatani skala usaha yang besar umumnya bermodal besar,
berteknologi tinggi, manajemennya modern, lebih bersifat komersial dan
sebaliknya usahatani skala kecil umumnya bermodal pas-pasan, teknologinya
tradisional, lebih bersifat usahatani sederhana dan sifat usahanya subsisten serta
bersifat untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri dalam kehidupan
sehari-hari.
Adanya peluang bisnis anggrek dari meningkatnya produksi anggrek,
harga jual anggrek yang cenderung stabil serta perhatian Pemerintah Daerah DKI
Jakarta dalam pengembangan bisnis anggrek menyebabkan banyak orang yang
tertarik untuk membudidayakan anggrek. Di masyarakat, usaha anggrek dilakukan
dalam skala yang berbeda-beda. Namun, belum ada batasan yang baku mengenai
kriteria besar-kecilnya suatu usaha. Kriteria yang paling sering digunakan dalam
penelitian untuk menentukan besar kecilnya skala adalah luas lahan dan jumlah
tenaga kerja.
Industri anggrek yang dikembangkan di DKI Jakarta adalah anggrek bunga
potong dan tanaman pot berbunga. Pemerintah Daerah DKI Jakarta berperan aktif
dalam membantu pengembangan agribisnis anggrek di DKI Jakarta dengan
menyediakan tempat yang dijadikan sebagai pusat produksi dan pemasaran yaitu
pusat pemibitan anggrek di Lebak Bulus Jakarta Selatan, pusat promosi dan
pemasaran anggrek potong di Rawa Belong dan pusat produksi dan pemasaran
1.2. Perumusan Masalah
Taman Anggrek Ragunan (TAR) merupakan salah satu pusat promosi dan
pemasaran tanaman anggrek pot yang ada di wilayah DKI Jakarta. Pusat promosi
ini menempati lahan seluas lima hektar milik Pemda DKI Jakarta yang secara
tidak langsung fasilitas dan pengelolaan Taman Agggrek Ragunan ini berada
dibawah Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta. Jumlah kavling yang terdapat
di TAR sebanyak 46 kavling dengan luasan 1000 m2 / kavling yang terdiri dari 32
petani.
Namun, pada tahun 2007 petani anggrek di TAR mulai mengalami
pergeseran. Tanaman Athurium yang sedang trend membuat petani anggrek di
TAR turut memanfaatkan kondisi untuk meraih keuntungan dengan beralih
memproduksi tanaman hias tersebut. Biaya produksi dan perawatan anggrek yang
relatif lebih besar terutama untuk pupuk dibandingkan tanaman Anthurium serta
penjualan anggrek yang menurun merupakan alasan petani untuk memproduksi
tanaman hias selain anggrek.
Saat ini, sekitar 60 persen dari kawasan TAR didominasi tanaman hias.
Namun, masih terdapat enam belas kavling yang tetap mempertahankan
mengusahakan anggrek. Jenis usaha yang dilakukan oleh kavling tersebut sangat
beragam mulai dari usaha pembibitan, usaha budidaya dan usaha pemasaran
anggrek. Sebagian besar petani di TAR melakukan usaha budidaya dan pemasaran
anggrek. Untuk menjaga kontinuitas produksinya, petani di TAR memiliki kebun
penunjang. Kebun tersebut rata-rata berada di sekitar wilayah sekitar Jakarta
seperti Bogor, Depok dan Tanggerang. Luas kebun yang diusahakan dan jumlah usaha tersebut akan menyebabkan perbedaan dalam pengalokasian jumlah
penggunaan inputnya. Semakin besar suatu skala usaha maka semakin besar pula
jumlah penggunaan inputnya, tersebut mengakibatkan biaya total yang
dikeluarkan semakin besar. Untuk mengukur tingkat efisiensi biaya dapat dilihat
berdasarkan struktur biaya dari masing-masing skala usaha. Oleh karena itu,
analisis struktur biaya anggrek sangat penting dilakukan. Alasannya karena setiap
petani anggrek dapat menguasai pengaturan biaya produksi dalam usahataninya
tetapi petani tersebut tidak mampu mengatur harga komoditi anggrek yang
Dari uraian di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini
adalah :
komoditi yang bersifat komersial. Penentuan jumlah produksi anggrek yang
hendak diproduksi dan dijual dipengaruhi oleh besarnya biaya produksi.
Informasi mengenai jumlah produksi anggrek minimal yang harus
diproduksi/dijual penting untuk dipelajari. Hal itu dapat diketahui dengan
melakukan analisis titik impas (break even point).
tenaga kerja sangat bervariasi. Secara jelas daftar kavling-kavling yang masih
tetap mengusahakan anggrek, jenis usaha yang dilakukan, luas lahan dan jumlah
tenaga kerja dapat dilihat pada Lampiran 2.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat perbedaan luas lahan dan jumlah
tenaga kerja yang digunakan petani dalam melakukan usaha anggrek. Lahan dan
tenaga kerja merupakan salah satu faktor-faktor produksi dalam usahatani. Faktor
tersebut dapat menjadi indikasi bahwa usaha budidaya anggrek dilakukan dengan
skala yang berbeda-beda. Beragamnya faktor-faktor produksi yang digunakan
dalam suatu usahatani membuat petani harus mengalokasikan faktor-faktor
produksinya tersebut secara efisien. Penggunaan faktor produksi yang efisien
sangat berpengaruh terhadap struktur biaya produksi.
Beragamnya skala usaha akan mengakibatkan struktur biaya yang
berbeda-beda pada masing-masing skala usaha. Secara teoritis, dengan
meningkatnya skala usaha akan mengakibatkan struktur biaya yang semakin
rendah. Maka dari itu dalam menentukan skala usaha harus mempertimbangkan
struktur biaya yang akan terjadi apabila suatu skala usaha dilakukan. Oleh karena
itu dalam merencanakan dan mengembangkan usaha anggrek, perlu diketahui
informasi mengenai skala usaha efisien yang sebaiknya dipilih oleh petani.
Struktur biaya memegang peranan penting dalam kegiatan produksi suatu
4) Berapa besarnya jumlah produksi anggrek pada masing-masing skala usaha
pada saat kondisi break even point?
3) Manakah skala usaha anggrek yang paling efisien?
Penelitian ini diharapkan agar berguna sebagai wadah untuk melatih
kemampuan analisis serta pengaplikasian konsep-konsep ilmu yang diperoleh
selama kuliah. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai skala usaha kepada peneliti lain, sebagai referensi dan studi
perbandingan untuk penelitian selanjutnya. c. Bagi Penulis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi pemerintah untuk
menentukan kebijakan perkembangan anggrek khususnya di Taman Anggrek
Ragunan.
b. Bagi Pemerintah
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan
pertimbangan bagi pengusaha anggrek dalam melakukan perencanaan dan
pengembangan bisnis anggrek. a. Bagi Perusahaan
1.5. Kegunaan Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi untuk mengetahui skala usaha yang
paling efisien berdasarkan struktur biaya di wilayah Taman Anggrek Ragunan.
Struktur biaya usaha anggrek dibatasi pada usaha budidaya tanaman anggrek pot
plant yang diusahakan dari seedling hingga berbunga. 1.4. Ruang Lingkup
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah tersebut, maka tujuan
penelitian ini adalah : 1.3. Tujuan Penelitian
4) Menentukan jumlah produksi anggrek pada masing-masing skala usaha
pada saat kondisi break even point.
3) Menganalisis skala usaha anggrek yang paling efisien.
Pengembangan agribisnis anggrek diwilayah DKI Jakarta sebaiknya lebih
diprioritaskan pada subsistem penyediaan bibit, tanaman pot dan jasa
perdagangan. Selain itu, diperlukan sentra-sentra pemasaran baik berupa pasar
bunga ataupun pelelangan bunga. Peranan pemerintah DKI Jakarta telah cukup
baik dalam mengembangkan agribisnis anggrek. Beberapa sentra-sentra
pengembangan anggrek telah didirikan oleh pemerintah DKI Jakarta seperti pusat 2.1. Agribisnis Anggrek
Agribisnis merupakan sebuah paradigma baru dalam memandang
pertanian. Agribisnis dipandang sebagai suatu sistem yang saling terintegrasi dari
setiap subsistemnya yaitu subsistem hulu, subsistem usahatani, subsistem hilir,
subsistem pemasaran dan jasa penunjang. Hartono (2003) telah melakukan
penelitian mengenai Karakteristik Agribisnis Anggrek serta Peranan Dinas
Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta. Dalam penelitiannya menyebutkan bahwa
agribisnis anggrek diwilayah DKI Jakarta dibagi menjadi ke dalam empat
subsistem yaitu subsistem penyediaan bibit, subsistem tanaman pot, subsistem
bunga potong dan subsistem jasa pemasaran. Berikut ini adalah gambar sistem
agribisnis anggrek di wilayah DKI Jakarta.
Subsistem hulu (penyediaan bibit
dan sarana produksi) Importir seedling, Petani pembibitan, Toko penyedia input dan sarana prosuksi
II. TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 1. Sistem Agribisnis Anggrek di DKI Jakarta Subsistem Jasa penunj
Balai Pengkajian Teknologi Laboratorium Pemda DKI tani, LKMA, UPT Pusat Prom Pemasaran Hasil Pertanian dan Ha
Pada tahap seedling jumlah pot dan luas lahan yang dibutuhkan lebih besar dibanding compot karena setiap satu pot ditanam delapan anakan sedangkan
Penelitian tentang usahatani anggrek telah dilakukan oleh Rosmiati (2006)
yang berjudul “Analisis Usahatani Anggrek Phaleonopsis paada Rumah Bunga
Rizal (RBR) di Bandung, Jawa Barat”. Pada penelitian tersebut, analisis usahatani
anggrek dibedakan menurut tahapan perkembangannya yaitu tahap compot,
seedling dan remaja. Tahap compot berarti setiap satu pot yang berukuran 12 cm terdapat 30 anakan anggrek yang berukuran seragam. Lama waktu yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan compot sekitar empat bulan. Biaya tetap sebesar
Rp 160.838 dan biaya variabel sebesar Rp 18.359.520 sedangkan biaya
penyusutan peralatan termasuk kedalam biaya yang diperhitungkan yaitu sebesar
Rp 5.863.511. Hasil R/C atas biaya total sebesar 1,13 dan BEP sebesar 415.
Anggrek merupakan tanaman yang dikonsumsi keindahan bunganya.
Kesegaran bunga ketika sampai ke konsumen merupakan hal yang sangat penting.
Nurmalinda (1997) melakukan penelitian mengenai tataniaga dan penanganan
pascapanen bunga anggrek Dendrobium potong di Jabotabek. Dalam pemasaran
bunga anggrek Dendrobium potong di Jabotabek terdapat empat macam saluran
pemasaran yaitu (a) petani–pedagang pengumpul-pedagang bunga-konsumen; (b)
petani-pedagang bunga-konsumen; (c) petani eksportir dan (d) petani-konsumen.
Saluran (b) dalam pemasaran anggrek Dendrobium lebih efisien dibandingkan
dengan saluran lainnya. Kegiatan pascapanen anggrek yang dipasarkan di lokal
Jabotabek sampai saat ini masih dilakukan secara sederhana. Untuk
memperpanjang waktu kesegaran bunga umumnya hanya dilakukan perendaman
dengan air biasa. Untuk ekspor sudah dilakukan sortasi dan klasifikasi (S, M, dan
L), pangkal batang dibalut dengan kapas basah yang diberi larutan chrisal dan
dibungkus plastik serta dikemas dengan menggunakan kotak karton berukuran 70
cm x 30 cm x 20 cm.
pembibitan anggrek di Lebak Bulus Jakarta Selatan, pusat promosi dan pemasaran
anggrek potong di Rawa Belong dan pusat produksi dan pemasaran anggrek potdi
Taman Mini Indonesia Permai dan Taman Anggrek Ragunan. Namun,
keberadaannya belum mampu dioptimalkan sehingga manfaatnya kurang
2.2. Struktur Biaya
Penelitian tentang struktur biaya telah banyak dilakukan terhadap
komoditas pertanian dalam arti luas. Pada bidang perikanan, Sari (2007)
melakukan penelitian tentang “Pengaruh Struktur Biaya terhadap Kegiatan
Penangkapaan Ikan dengan Cantrang di PPI Blanakan, Kabupatan Subang, Jawa
Barat”. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa struktur biaya
penangkapan cantrang terdiri atas biaya investasi, biaya tetap dan biaya variabel.
Biaya investasi yang dikeluarkan sebesar Rp 188.000.000 – Rp 275.100.000.
Biaya terbesar yang dikeluarkan adalah biaya variabel yaitu sebesar Rp
458.397.000 – Rp 796.500.000 sedangkan biaya terkecil adalah biaya tetap yaitu
sebesar Rp 43.066.000 – Rp 61.072.000 per tahun.
Tahap dewasa merupakan tahap akhir dari pembesaran anggrek. Lama
pertubuhannya sekitar lima bulan. Resiko kegagalan pada tahap ini relatif kecil
karena tumbuhan telah kuat dan mampu beradaptasi dengan lingkungan tumbuh.
Biaya tetap sebesar Rp 277.632 dan biaya variabel sebesar Rp 171.316.530
sedangkan biaya penyusutan peralatan termasuk ke dalam biaya yang
diperhitungkan yaitu sebesar Rp 7.329.389. Hasil R/C atas biaya total sebesar
1,64 dan BEP sebesar 723.
Pembesaran anggrek setelah tahap seedling adalah tahap remaja. Lama
pertubuhannya sekitar lima bulan setelah tahap seedling dengan menggunakan pot
yang berukuran 10 cm. Biaya tetap sebesar Rp 277.632 dan biaya variabel sebesar
Rp 87.736.000 sedangkan biaya penyusutan peralatan termasuk kedalam biaya
yang diperhitungkan yaitu sebesar Rp 7.329.389. Hasil R/C atas biaya total
sebesar 1,82 dan BEP sebesar 1.221.
waktu tumbuhnya sama yaitu empat bulan. Biaya tetap yang dikeluarkan terdiri
dari biaya pajak PBB dan listrik yaitu sebesar Rp 181.267. Biaya variabel terdiri
dari biaya bibit, pupuk daun Vitabloom, pupuk multitonik, penggunaan media
tanam moss obat-obatan dan tenaga kerja yaitu sebesar Rp 45.360.000 sedangkan
biaya penyusutan peralatan termasuk kedalam biaya yang diperhitungkan yaitu
sebesar Rp 5.863.511. Hasil R/C atas biaya total sebesar 1,82 dan BEP sebesar
Pada bidang peternakan, Bantani (2004) melakukan penelitian mengenai
“Analisis Struktur Biaya dan Pendapatan Usaha Pemotongan Ayam Tradisional di
Kelurahan Kebon Pedes, Bogor, Jawa Barat”. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah menggunakan metode sensus dengan 37 responden yang
terbagi kedalam dua kelompok yaitu pemotong I sebanyak 21 reponden dan
Peotong II sebanyak 16 responden. Kriteria pembagian kelompok tersebut Pada petani penyuling analisis struktur biaya dibedakan berdasarkan skala
usaha, petani penyuling berskala besar mengeluarkan biaya produksi yang lebih
besar. Namun jika dilihat dari keuntungan yang diperoleh, semakin besar skala
usaha penyulingan nilam menunjukkan usaha tersebut semakin efisien karena
seluruh kapasitas produksi dapat dimanfaatkan dengan baik. Pada awal pendirian
dan pengoperasian usaha petani penyuling membutuhkan biaya yang sangat besar
untuk membeli mesin dan pabrik sebagai biaya investasi. Petani penyuling skala
kecil dalam pengoperasian usaha kurang efisien karena masih terdapat idol
capacity atau kapasitas produksi yang belum termanfaatkan oleh petani penyuling
usaha kecil.
Penerimaan yang diperoleh berkisar antara Rp 605.340.000 – Rp
967.200.000 dengan keuntungan yang diperoleh antara Rp 86.287.500 – Rp
130.126.500. Berdasarkan analisis perhitungan persamaan regresi hubungan solar
dengan jumlah trip cantrang adalah Y = 2499 – 0,16X + ε dengan nilai korelasi
sebesar 0,916 yang artinya hubungan antara harga solar dengan jumlah trip
cantrang sangat erat dan berdasarkan uji t struktur biaya dapat mempengaruhi
kegiatan penangkapan ikan dengan cantrang.
Pada bidang kehutanan, Asikin (2005) telah melakukan penelitian
mengenai struktur biaya pengusahaan nilam (Pogostemon sp.) di Kabupaten
Sukabumi dan Bogor. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa struktur biaya
pengusahaan nilam baik ditingkat petani, petani penyuling maupun industri
minyak nilam terdiri atas biaya tetap dan biaya variabel. Petani modal sendiri
mengeluarkan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan petani bagi hasil
karena terdapat perlakuan tambahan sehingga terdapat biaya pengeringan dan
pemasaran. Namun, perlakuan tersebut mengakibatkan keuntungan yang diperoleh
Berdasarkan uraian di atas terdapat perbedaan struktur biaya dari komoditi
perikanan, kehutanan, peternakan dan pertanian. Untuk komoditas pertanian dan
kehutanan, struktur biaya lebih besar terdapat pada biaya investasi sedangkan
struktur biaya pada komoditi perikanan terutama perikanan tangkap dan
peternakan dipemotangan ayam, struktur biaya terbesar pada biaya variabel
terutama untuk bahan bakar (solar) pada perikanan tangkap dan biaya pembelian
ayam hidup pada usaha pemotongan ayam. Tanaman hias merupakan salah satu
komoditas pertanian dibidang tanaman hortikultura. Oleh sebab itu, penelitian ini Pada bidang pertanian, Rahmayanti (2008) melakukan penelitian tentang
“Analisis Struktur Biaya dan Optimalisasi Pola Tanam Sayuran Organik di
Permata Hati Organic Farm Cisarua, Bogor”. Perusahaan Permata Hati
memproduksi sebanyak 34 komoditi yang ditanam di dalam bedengan dengan luas
10 m2 dengan pola tanam monokultur dan tumpangsari. Struktur biaya dalam
memproduksi sayuran organik bervariasi, namun variasi tersebut hanya terdapat
pada biaya variabel yaitu komponen benih. Hal tersebut disebabkan harga jual dan
jumlah benih yang dibutuhkan setiap bedengnya berbeda-beda sedangkan biaya
tetap yang dibebankan untuk semua komoditi adalah sama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar usaha pemotongan
ayam pada pemotong I dan pemotong II maka persentase biaya varibel semakin
meningkat sedangkan persentase biaya tetapnya semakin menurun. Total biaya
yang dikeluarkan oleh pemotong I mencapai Rp 179.870.790.97 per hari dengan
biaya per kg sebesar Rp 6.624,52 sedangkan total biaya pada pemotong II sebesar
Rp 27.540.860,25 per hari dengan biaya per kg sebesar Rp 7.343,19. Nilai R/C
usaha pemotong I dan pemotong II secarra regresi memiliki nilai kecenderungan
positif yang berarti peningkatan jumlah ayam yang dipotong mengakibatkan nilai
R/C semakin besar. Analisis titik impas pada skala usaha pemotong I dan
pemotong II berdasarkan analisis regresi sederhana menunjukan kecenderungan
yang semakin menurun, artinya semakin besar jumlah ayam yang dipotong maka
persentase nilai titik impas semakin kecil.
berdasarkan perolehan pasokan ayam hidup. Analisis yang digunakan adalah
analisis struktur biaya, pendapatan dan analisis efisiensi menggunakan R/C rasio
2.3. Skala Usaha
Skala usaha sangat erat kaitannya dengan efisiensi suatu usaha. Efisiensi
suatu usaha terdiri dari efisiensi ekonomis, tenis dan alokatif. Semakin efisien
suatu usaha dapat ketahui berdasarkan biaya minimum atau pendapatan
maksimum. Menurut Mubyarto (1989), semakin besar skala usaha belum tentu
menunjukan usaha tersebut efisien. Hal tersebut sangat tergantung dari jenis
tanaman/komoditas yang diusahakan dan hasil panen yang diperoleh.
Beberapa penelitian mengenai hubungan skala usaha dengan efisiensi telah
banyak dilakukan. Sobari (1993) melakukan penelitian mengenai “Skala Usaha
dan Efisiensi Ekonomi Relatif Usahatani Rumput Laut”. Petani rumput laut
dikelompokan menjadi tiga skala usaha berdasarkan luas usahatani. Luas rata-rata
usahatani rumput laut skala kecil adalah 127,71 m2, skala usaha sedang 378,80 m2
dan skala besar 818,75 m2. Berdasarkan hasil penelitian, produksi rumput laut
yang dihasilkan oleh petani skala kecil lebih rendah bila dibandingkan dengan
skala usaha besar akan tetapi, produktivitas rata-rata yang dihasilkan petani kecil
lebih besar bila dibandingkan petani skala besar. Hal tersebut terjadi karena
adanya kecenderungan pada skala besar kurang efisien dalam penggunaan input
benih dibandingkan skala usaha kecil, tetapi untuk penggunaan input tidak tetap
lainnya semakin besar skala usaha maka semakin efisien.
Usahatani rumput laut berada pada kondisi skala usaha naik (increasing
returns to scale) yang berarti keuntungan yang diperoleh petani masih dapat
ditingkatkan dengan meningkatkan skala usahanya dan faktor input tetap yang
berpengaruh nyata adalah lahan dan modal. Terdapat perbedaan efisiensi ekonomi
antara petani skala kecil dengan petani skala sedang; petani skala sedang dengan
petani skala besar sedangkan petani skala kecil dan petani skala besar terdapat
kesamaan efisiensi ekonomi. Efisiensi ekonomi terbaik dicapai oleh petani skala
usaha sedang.
Penelitian dengan topik yang sama dilakukan juga oleh Rindayati (1995)
terhadap usaha peternakan sapi perah rakyat di Kabupaten Malang. Penelitian
tersebut dilakukan di dua koperasi yang berbeda yaitu koperasi SAE wilayah menduga bahwa struktur biaya tanaman hias yang terbesar berada pada biaya
Pujon sebagai koperasi besar dan Koperasi Unit Desa (KUD) Sumber Makmur
Ngantang sebagai koperasi kecil. Dari masing-masing koperasi tersebut diambil
sebanyak 30 responden dengan menggunakan metode stratified randomsampling.
Kriteria dalaam penentuan strata adalah jumlah kepemilikan sapi laktasi yaitu
untuk skala kecil jumlah kepemilikan sapi betina produktif kurang dari lima ekor
dan skala besar kepemilikan sapi betina produktif lebih dari lima ekor.
Berdasarkan hasil penelitian usaha sapi perah ditempat penelitian belum
memberikan tingkat keuntungan yang maksimum karena penggunaan input tidak
tetap belum dialokasikan secara optimal. Input tidak tetap yang berpengaruh
terhadap keuntungan adalah harga konsentrat, hijauan dan tenaga kerja, sedangkan
input tetap yang berpengaruh adalah jumlah kepemilikan sapi laktasi, nilai investasi dan tingkat pendidikan peternak. Usaha peternakan sapi perah tersebut
berada pada rata-rata kepemilikan 4,58 ekor yang berada pada kondisi skala usaha
konstan (constan return to scale). Berdasarkan analisis kesamaan efisiensi relatif
di daerah Pujon dan Ngantang menunjukan bahwa tingkat penggunaan input pada
usaha sapi perah skala kecil memperoleh keuntungan yang relatif sama dengan
skala besar.
Efisiensi suatu usaha sangat tergantung dari penggunaan input yang
optimal dan memilih skala usaha yang optimal. Semakin besar suatu skala usaha
maka semakin besar pula jumlah penggunaan inputnya, tersebut mengakibatkan
biaya total yang dikeluarkan semakin besar. Namun, suatu usaha dikatakan lebih
efisien dibading usaha lainnya yang sejenis apabila perubahan skala usaha yang
semakin besar mengakibatkan biaya total rata-rata yang dihasilkan semakin
menurun. Pengusahaan usahatani yang terdapat di masyarakat dapat
dikelompokkan kedalam tiga kondisi skala usaha yaitu ekonomi skala usaha
meningkat (increasing returns to scale), ekonomi skala usaha konstan (constan
returns to scale), ekonomi skala usaha menurun (decreasing returns to scale). Usaha anggrek merupakan usahatani yang diduga berada pada salah satu kondisi
Berdasarkan gambar tersebut, bentuk grafik dari fungsi produksi
merupakan kurva melengkung dari kiri bawah ke kanan atas setelah sampai pada
titik tertentu kemudian berubah arah sampai pada titik maksimum dan kemudian
berbalik turun kembali. Hubungan fungsional tersebut berlaku untuk semua faktor
produksi selain pengelolaan (management).
Untuk dapat menggambarkan fungsi produksi secara jelas dan menganalisa
peranan masing-masing faktor produksi maka salah satu faktor produksi dianggap
variabel sedangkan faktor-faktor produksi yang lainnya dianggap konstan
(Murbyanto, 1989). Gambar 2 merupakan kurva mengenai fungsi produksi dengan
faktor produksi tanah.
x1………….xn = faktor-faktor produksi
Dimana Y = adalah hasil produksi fisik
Menurut Murbyanto (1989) dalam setiap faktor-faktor produksi (input)
dapat menunjukan hubungan dengan hasil produksi (output). Hubungan tersebut
dapat dinyatakan dalam suatu bentuk fungsi produksi. Menurut Hernanto (1989)
fungsi produksi adalah menunjukkan berapa output yang dapat diperoleh dengan
menggunakan sejumlah variabel input yang berbeda. Secara matematis fungsi
produksi ditulis sebagai berikut :
Definisi usahatani menurut Bachtiar Rifai dalam Soeharjo dan Patong
(1973) adalah setiap organisasi dari alam, tenaga kerja dan modal yang ditujukan
kepada produksi di lapangan pertanian. Ketatalaksanaan organisasi itu sendiri
dapat diusahakan secara perorangan ataupun berkelompok. Berdasarkan definisi
tersebut terdapat empat unsur pokok yang menjadi faktor-faktor produksi dalam
usahatani, yaitu : tanah, tenaga kerja, modal dan pengelolaan (management)
(Hernanto, 1989). 3.1.1. Teori Produksi
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
Y = f (x1, x2,………….xn)
Adanya faktor-faktor produksi yang digunakan membuat analisis terhadap
biaya produksi dapat dibedakan berdasarkan waktu yaitu jangka pendek dan
jangka panjang. Dalam jangka pendek terdapat faktor produksi yang bersifat tetap
sehingga menimbulkan biaya tetap Biaya tetap merupakan biaya produksi yang
besarnya tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya produksi yang dihasilkan. Biaya
tetap terdiri dari gaji tenaga kerja, sewa lahan, listrik, telepon dan penyusutan
Menurut Sugiarto et al (2005), secara ekonomi biaya produksi merupakan
biaya yang dikeluarkan dalam perolehan input. Biaya input tercermin dari balas
jasa dari input tersebut terhadap pemakaian terbaiknya yang tercermin dari biaya
korbanan (opportunity cost). Sukirno (2003), biaya produksi merupakan semua
pengeluaran yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor
produksi dan membeli bahan mentah yang akan digunakan untuk menciptakan
barang-barang yang diproduksi oleh perusahaan tersebut.
Menurut Nicholson (1990) membedakan konsep biaya menjadi tiga bagian
yaitu biaya kesempatan, biaya akuntansi dan biaya “ekonomi”. Biaya ekonomi
dari suatu input merupakan nilai pembayaran yang diperlukan untuk
mempertahankan input tersebut dalam penggunaannya saat ini atau pembayaran
yang diterima input tersebut dalam penggunaan aternatif yang terbaik.
3.1.2. Struktur Biaya Gambar 2 . Fungsi Produksi Sumber : Murbyanto(1989)
Produksi
Hasil
0 y
Faktor produksi
Suratiyah (2009) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya
biaya dan pendapatan sangatlah kompleks. Namun demikian, faktor tersebut
dibagi kedalam dua golongan sebagai berikut.
Biaya minimum perusahaan dalam jangka panjang dapat diketahui dari
kurva biaya total rata-rata jangka panjang. Kurva yang menunjukan titik-titik
biaya total rata-rata minimum pada berbagai tingkat produksi disebut kurva
amplop (envelope curve). Kurva ini merupakan kurva rata-rata jangka panjang
yang melingkupi semua kemungkinan kurva biaya rata-rata jangka pendek.
Sedangkan dalam jangka panjang, faktor produksi dapat mengalami
perubahan sehingga seluruh biaya produksi dalam jangka panjang bersifat
variabel. Konsep biaya jangka panjang diperlukan oleh pengusaha untuk
menentukan kapasitas produksi dengan meminimumkan biaya produksi agar
memperoleh keuntungan yang maksimal. Dalam membuat keputusan jangka
panjang pengusaha harus mengetahui biaya produsi minimum pada berbagai
tingkat produksi. Konsep tersebut dapat digunakan oleh pengusaha dalam
menentukan skala usaha yang paling efisien.
peralatan Selain itu, biaya variabel merupakan biaya produksi yang besarnya
dipengaruhi oleh besar kecilnya jumlah produksi.
2) Faktor manajemen
Kemampuan petani dalam merespon perubahan-perubahan dari
faktor-faktor eksternal sangat penting. Dengan faktor-faktor internal manajemen maka
petani harus dapat mengantisipasi faktor eksternal yang selalu
berubah-ubah tersebut.
1) Faktor internal dan ekstenal
Faktor-faktor internal dan eksternal akan bersama-sama mempengaruhi
biaya dan pendapatan usahatani. Faktor internal yang mempengaruhi
adalah umur petani, pendidikan, pengetahuan, pengalaman, ketrampilan,
jumlah tenaga kerja kerja, luas lahan dan modal. Faktor ekternal yang
mempengaruhi adalah input (ketersediaan dan harga) dan output
3.1.2. Skala Usaha
Analisis biaya jangka panjang sangat penting untuk mengetahui apakah
suatu perusahaan beroperasi pada skala usaha yang ekonomis (economies of scale)
atau tidak ekonomis (diseconomis of scale). Suatu perusahaan dikatakan mencapai
skala ekonomis apabila penambahan produksi menyebabkan biaya produksi
rata-rata menjadi lebih rendah. Sedangkan perusahaan mencapai skala tidak ekonomis
apabila pertambahan produksi menyebabkan biaya produksi rata-rata menjadi
semakin tinggi.
Perubahaan dalam skala usaha dapat menunjukan hubungan antara
perubahan ukuran (size) usaha dengan biaya produksi rata-rata. Gambar 3
menjelaskan hubungan antara skala usaha dengan struktur biaya.
Keterangan:
Q = jumlah keluaran (output)
SMC = biaya marjinal janga pendek (short marginal cost)
SATC = total biaya variabel jangka pendek (short average total cost) MC = biaya marjinal jangka panjang (marginal cost)
LAC = total biaya jangka panjang (long-run average total cost)
Pada Gambar 3 menunjukan kurva biaya rata-rata jangka panjang
berbentuk huruf U yang ditentukan oleh return to scale yaitu perubahan output
yang disebabkan oleh perubahan pemakaian seluruh input dalam porposi yang
sama. Kurva LAC terbagi menjadi kedalam tiga bagian yaitu bagian menurun, Gambar 3. Kurva Amplop Skala Usaha
Sumber : Nicholson (1990) Biaya‐biaya
SMC 2
SMC 3 MC SATC 3
LAC
Output/period
O Q1 Q3
Biaya‐biaya
Q2 SMC 1
SATC 1
Menurut Sukirno (2003), terdapat empat faktor yang mempengaruhi skala
ekonomi yaitu 1) Spesialisasi faktor-faktor produksi, 2) Pengurangan harga bahan Pada gambar tersebut menunjukan bahwa kurva biaya rata-rata jangka
panjang bernilai konstan yang artinya perluasan usaha tidak berpengaruh terhadap
biaya produksi rata-rata jangka panjang.
titik minimum dan kemudian meningkat. Bagian pertama yaitu biaya rata-rata
jangka panjang yang menurun tedapat pada rentang output mulai dari titik O
sampai Q1 artinya perluasan skala usaha akan selalu disertai dengan penurunan
biaya rata-rata perunit. Daerah ini disebut sebagai skala usaha ekonomis
(economies of scale).
Bagian kedua yaitu di titik terendah (minimum) dari kurva LAC yang
berada di titik Q2 dan merupakan titik perpotongan antara kurva MC dengan
LAC. Pada titik ini merupakan skala usaha paling efisien karena memiliki struktur
biaya terendah sehingga merupakan pilihan pengusaha dalam jangka panjang.
Bagian terakhir yaitu biaya rata-rata jangka panjang yang berada diatas
biaya minimum yang cenderung meningkat yang terdapat pada titik Q3 artinya
perluasan skala usaha akan selalu disertai dengan kenaikan biaya rata-rata perunit.
Daerah ini disebut sebagai skala usaha tidak ekonomis (diseconomies of scale).
Bentuk kurva amplop skala usaha tidak hanya berbentuk U, terdapat
bentuk lain dari kurva skala usaha. Jika titik minimum AC adalah sama, maka
LAC akan berbentuk mendaatar (horizontal) seperti yang terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Kurva Skala Usaha dengan Biaya Konstan Sumber : Nicholson (1990)
Biaya‐biaya Biaya
SMC 1 SMC 2
SMC 3
SATC 1 SATC 2 SATC 3
LATC
Output/period
O Q3 Q2
‐biaya
Analisis R/C rasio dilakukan untuk mengetahui seberapa besar penerimaan
yang mungkin dihasilkan dari setiap rupiah yang dikeluarkan. Nilai R/C rasio
dapat digunakan sebagai tolak ukur efisiensi dari suatu aktifitas kegiatan usaha
sebagai berikut :
Pengukuran pendapatan selain dengan nilai mutlak dapat dilakukan
dengan mengukur efisiennya. Salah satu cara mengukur efisiensi usahatani adalah
dengan membandingkan penerimaan untuk setiap biaya yang dikeluarkan atau
Revenue and Cost Ratio (R/C rasio). Analisis R/C ratio ini digunakan untuk melihat keuntungan relatif suatu cabang usaha dengan cabang usaha lainnya
berdasarkan keuntungan finansial. Dalam analisis R/C rasio dapat diketahui
seberapa jauh nilai rupiah yang dipakai dalam kegiatan usaha dapat memberikan
sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya dan nilai R/C rasio ini tidak
memiliki satuan (Soeharjo dan Patong, 1973).
Pendapatan merupakan selisih dari total penerimaan usahatani dengan total
pengeluaran usahatani. Penerimaan usahatani merupakan hasil kali jumlah
produksi total dan harga jual satuan. Sedangkan pengeluaran atau biaya usahatani
adalah semua pengeluaran yang dipergunakan dalam suatu usahatani yaiu berupa
nilai penggunaan sarana produksi, upah dan lain-lain yang dikeluarkan selama
proses produksi. Total biaya atau pengeluaran tersebut dapat dihitung dengan
menjumlahkan biaya tetap dan biaya variabel (Soekartawi 2002).
Analisis pendapatan dilakukan dengan dua tujuan utama yaitu
menggambarkan keadaan yang sekarang dan menggambarkan keadaan yang akan
datang dari suatu perencanaan atau tindakan. Analisa pendapatan dapat membantu
pengusaha dalam mengukur apakah kegiatan yang dilakukan saat ini berhasil atau
tidak (Soeharjo dan Patong, 1973). 3.1.3. Analisis Pendapatan
mentah dan kebutuhan produksi lain, 3) Memungkinkan diproduksi produk
sampingan dan 4) Mendorong perkembangan usaha lain.
1. R/C rasio > 1, menunjukan bahwa setiap satu rupiah biaya yang
dikeluarkan dalam suatu usaha akan menghasilkan penerimaan yang lebih
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis BEP adalah sebagai
berikut:
Harga jual per unit – Biaya variabel per unit
Menurut Nurmalina et al (2009), titik impas (BEP) adalah titik pulang
pokok dimana total revenue (TR) = total cost (TC), pada kondisi tersebut
perusahaan tidak mengalami untung atau rugi. Jika kondisi suatu perusahaan
berada di bawah break even point, maka perusahaan tersebut masih mengalami
kerugian tetapi perusahaan tersebut masih mampu menutupi biaya operasional
perusahaan. Tujuan menganalisis BEP adalah :
Pada jangka pendek, hubungan struktur biaya dengan skala usaha dapat
dianalisis mengunakan analisis titik impas (Break Even Point). Skala usaha yang
berbeda akan menyebabkan titik BEP yang berbeda, karena struktur biaya yang
dihasilkan juga berbeda-beda.
3.1.4. Analisis Titik Impas (Break Even Point)
3. R/C rasio = 1, menunjukan bahwa setiap satu rupiah biaya yang
dikeluarkan dalam suatu usaha akan menghasilkan penerimaan sama
dengan satu. Dengan kata lain penerimaan yang diperoleh sama dengan
biaya yang dikeluarkan.
2. R/C rasio < 1, menunjukan bahwa setiap satu rupiah biaya yang
dikeluarkan dalam suatu usaha akan menghasilkan penerimaan yang lebih
kecil dari satu. Dengan kata lain usaha tersebut tidak efisien.
2. Berapa harga terendah yang harus ditetapkan agar bisnis tidak rugi
Untuk menentukan titik impas dapat dilakukan dengan rumus sebagai
berikut:
BEP (unit) = Total Biaya Tetap
1. Untuk mengetahui berapa jumlah minimal yang harus diproduksi agar
bisnis tidak rugi
2. Biaya tetap tidak mengalami perubahan meskipun volume produksi
berubah atau kegiatan berubah. Hubungan antara biaya tetap dan biaya
variabel tidak bervariasi.
1. Biaya-biaya dapat diidentifikasikan sebagai biaya tetap dan biaya
Efisiensi suatu usaha sangat tergantung dari penggunaan input yang optimal dan memilih skala usaha yang optimal. Semakin besar suatu skala usaha
maka semakin besar pula jumlah penggunaan inputnya, tersebut mengakibatkan Suatu usahatani dikatakan memperoleh keuntungan yang tinggi apabila
petani tersebut mampu memanfaatkan sumberdaya yang ada secara efektif dan
efisien. Efektif apabila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya
dengan sebaik mungkin dan efisien apabila pemanfaatan sumberdaya tersebut
menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input) (Soekartawi,
2002). Dengan keterbatasan modal yang dimiliki oleh petani, tujuan keuntungan
maksimum dalam usahatani agar efisien dapat didekati dengan menekan biaya
produksi sekecil-kecilnya.
Efisiensi merupakan salah satu indikator keberhasilan dalam suatu usaha.
Menurut Murbyanto (1989), efisiensi dalam produksi yaitu banyaknya hasil
produksi fisik yang dapat diperoleh dari satu kesatuan faktor produksi (input).
Dengan kata lain efisiensi produksi merupakan perbandingan output dan input,
yaitu berkaitan dengan tercapainya output maksimum dengan sejumlah input
tertentu atau tercapainya output tertentu dengan input yang minimum. Pencapaian
efisiensi dapat diukur dengan kriteria biaya yang minimum (cost minimization)
dan kriteria penerimaan maksimum (output maksimization).
3.1.5. Analisis Efisiensi
6. Pada saat mengestimasi besarnya BEP, barang yang diproduksi
dianggap terjual semua dalam periode yang bersangkutan. Jadi, tidak
ada sisa produk atau persediaan akhir.
5. Perusahaan hanya menjual atau memproduksi satu jenis produk. Jika
menjual lebih dari satu jenis produk, harus dianggap sebagai satu jenis
produk dengan kombinasi yang selalu tetap atau dengan kata lain
bauran pemasarannya konstan.
4. Harga jual per unit tetap sama, berapa pun jumlah unit produk yang
terjual.
3. Biaya variabel per unit tetap sama. Biaya variabel akan berubah secara
proporsional dalam jumlah keseluruhan, tapi biaya per unitnya akan
Selain menganalisis struktur biaya, dialakukan pula analisis efisiensi
usahatani R/C rasio dan analisis titik impas pada masing-masing skala usaha.
Dengan metode R/C rasio dapat diketahui tingkat kelayakan dari suatu usahatani
sedangkan dengan metode titik impas dapat diketahui pada tingkat produksi
berapa kondisi usaha anggrek berada dititik impas (keuntungan nol), sehingga
dapat diketahui tingkat produksi anggrek yang optimal untuk mendapatkan
keuntungan yang maksimal. Secara singkat alur pemikiran operasional dari
penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.
Analisis struktur biaya dilakukan dengan membandingkan tiga skala usaha
anggrek yang berbeda. Dalam penelitian seluruh responden distratifikasi ke dalam
tiga kelompok skala usaha yaitu skala usaha I (skala kecil), skala usaha II (skala
menengah) dan skala usaha III (skala besar). Pengelompokan tersebut ditentukan
berdasarkan luas lahan usaha budidaya anggrek.
Usaha anggrek yang terdapat di Taman Anggrek Ragunan memiliki
tingkat skala usaha yang berbeda-beda. Keragaman skala usaha tersebut akan
menunjukan nilai efisiensi yang berbeda pula. Perbedaan tingkat skala
mengakibatkan jumlah penggunaan input produksi yang berbeda sehingga struktur
biaya yang dihasilkan juga berbeda. Untuk mengukur skala usaha yang paling
efisien dapat diketahui dengan semakin rendahnya biaya total rata-rata atau biaya
per-unitnya
3.3. Kerangka Pemikiran Operasional
biaya total yang dikeluarkan semakin besar. Untuk mengukur tingkat efisiensi
biaya dapat dilihat berdasarkan struktur biaya dari masing-masing skala usaha.
Dengan menghitung sruktur biaya dari setiap skala, maka kita dapat
membandingkan nilai efisiensi dari masing-masing skala. Tingkat efisiensi biaya
Potensi bisnis anggrek
Perbedaan skala usaha anggrek di TAR
Kriteria pengelompokan berdasarkan luas lahan
Skala Usaha III (lahan besar) Skala Usaha II
(lahan menengah) Skala Usaha I
(lahan kecil)
• Analisis struktur biaya
• Analisis R/C rasio
• Analisis titik impas
Dibandingkan mana yang lebih efisien
Penentuan responden dalam peneltian ini menggunakan teknik stratified random sampling yaitu dengan mengklasifikasikan pengusaha anggrek yang berada di TAR ke dalam kelompok-kelompok yang mempunyai susunan
bertingkat. Setiap tingkatan memiliki karakteristik yang berbeda berdasarkan 4.3. Metode Penentuan Responden
Data sekunder merupakan data pelengkap dari data primer yang bersumber
dari literatur-literatur yang relevan. Data sekunder diperoleh dari catatan dan
dokumentasi pihak atau instansi terkait, seperti Departemen Pertanian, Badan
Pusat Stastistik, Dinas Pertanian Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, dilakukan juga
penelusuran melalui internet, buku-buku yang relevan menujang teori serta
penelitian-penelitian terdahulu sebagai bahan rujukan yang berhubungan dengan
skala usaha. Data sekunder mencakup data kontribusi holtikurtura terhadap PDB,
data produksi tanaman hias, data ekspor dan impor anggrek, data produksi dan
luas lahan anggrek per provinsi.
Jenis data yang digunakan dalam penelitan meliputi data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh dari metode pengumpulan data dengan responden
pengusaha anggrek dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah
dipersiapkan sebelumnya. Data primer pada penelitian mencakup keragaan usaha
anggrek seperti teknis budidaya, jumlah produksi, penerimaan serta informasi
lainnya yang berguna untuk menunjang penelitian. 4.2. Jenis, Sumber dan Pengumpulan Data
Lokasi penelitian ini terletak di Taman Anggrek Ragunan, Jakarta Selatan.
Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan
bahwa DKI Jakarta merupakan sentra produksi anggrek di Indonesia dan TAR
merupakan sentra produksi dan pemasaran anggrek di DKI Jakarta. Kegiatan
pengumpulan data untuk keperluan penelitian dilakukan bulan April-Mei 2011.
Waktu tersebut digunakan untuk memperoleh data dari para pengusaha anggrek
sebagai responden dan semua pihak terkait. 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Skala Usaha
Luas Lahan Jumlah
Petani
Kavling
Kecil < 0,5 ha 11 6, 7, 8, 11, 12, 17, 28, 30, 35, 39
dan 42
Menengah 0,5 ha – 2 ha 4 1, 43, 10, 27 dan 37
Besar > 2 ha 1 2 dan 4
Pertimbangan menggunakan stratified random sampling adalah 1) telah
tersedianya kerangka sampling yaitu daftar nama pengusaha anggrek di lokasi
penelitian. Daftar nama tersebut diperoleh dari ketua koperasi di TAR, 2) populasi
tidak tersebar secara geografis, 3) populasi dikelompokan berdasarkan skala
usahanya yaitu besar, menengah dan kecil. Setelah populasi selesai distratifikasi,
dari ketiga skala tersebut dipilih sebanyak satu sampel dari masing-masing skala
yang dilakukan secara random (acak) sehingga total sampel yang digunakan pada
penelitian ini sebanyak tiga perusahaan. Pemilihan satu sampel dari
masing-masing skala usaha diharapkan sampel tersebut dapat mewakili keadaan usaha
lainnya dalam satu skala usaha yang sama. Dari tabel bilangan acak tersebut,
diperoleh sebanyak sepuluh sampel yaitu kavling 42, 21, 33, 3, 35, 15, 1, 26, 5, 9,
6, 13 dan 4. Kemudian dipilih satu sampel yang mewakili di setiap kelompok Tabel 4. Stratifikasi Petani Anggrek di Taman Anggrek Ragunan 2011
Pengusaha anggrek tersebut akan diidentifikasikan lagi ke dalam tiga
kelompok tingkatan usaha yaitu: 1) Pengusaha anggrek dengan skala kecil, 2)
Pengusaha anggrek dengan skala besar, 3) Pengusaha anggrek dengan skala besar.
Pengelompokan skala usaha tersebut didasarkan pada luas lahan usaha budidaya.
Menurut Hernanto (1989), penggolongan usaha berdasarkan luas lahan dapat
dibagi menjadi empat golongan yaitu: (1) golongan petani luas atau besar dengan
luas lahan > 2 ha, (2) golongan petani sedang atau menengah dengan luas lahan
0,5 ha – 2 ha, (3) golongan petani sempit atau kecil dengan luas lahan < 0,5 ha
dan (4) golongan petani penggarap adalah petani yang tidak memiliki lahan atau
buruh tani. Data mengenai petani anggrek berdasarkan stratifikasi luas lahan dapat
dilihat pada Tabel 4.
kriteria skala usaha yang ditetapkan. Populasi dari penelitian ini adalah semua
pengusaha anggrek yang berada di TAR. Jumlah petani yang masih melakukan
Metode perhitungan stuktur biaya usahatani anggrek pada skala usaha
berbeda dapat dilihat pada Tabel 5. Secara matematis, perhitungan total biaya
N = Umur ekonomis barang (tahun)
Ns = Tafsiran nilai sisa (Rp)
Nb = Nilai pembelian barang (Rp)
Keterangan :
N
Biaya penyusutan peralatan pertanian dihitung berdasarkan metode
penyusutan garis lurus atau rata-rata, yaitu nilai pembelian dikurangi dengan nilai
tafsiran nilai sisa dibagi dengan umur ekonamis. Nilai akhir dianggap nol jika
barang tersebut tidak laku lagi dijual. Rumus yang digunakan adalah
Biaya usahatani diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost)
dan biaya tidak tetap (variabel cost). Biaya tetap didefinisikan sebagai biaya yang
jumlahnya relatif tetap dan akan terus dikeluarkan walaupun produksi yang
diperoleh banyak atau sedikit. Jadi besarnya biaya tetap tidak tergantung pada
besar kecilnya produksi yang dihasilkan. Biaya variabel adalah biaya yang
besar-kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang dihasilkan (Soekartawi, 1995). 4.4.1. Analisis Struktur Biaya
Metode pengolahan data yang dilakukan dengan menggunakan metode
kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif yang dilakukan meliputi analisis
terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan, penerimaan yang diperoleh, pendapatan
usaha tani dengan menggunakan rasio penerimaan atas biaya (R/C rasio) dan
perhitungan titik impas (break even point) dengan menggunakan program aplikasi
komputer seperti Microsoft Exel sedangkan, metode kualitatif digunakan untuk
melihat keragaan usaha petani anggrek serta menjelaskan hasil perhitungan yang
akan diuraikan secara deskriptif.
4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
yaitu kavling 42 mewakili skala usaha kecil, kavling 1 mewakili skala usaha
menengah dan kavling 4 mewakili skala usaha besar.