• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tampilan Imunohistokimia COX-2 pada Lesi Gastritis, Pre-Kanker dan Kanker Lambung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tampilan Imunohistokimia COX-2 pada Lesi Gastritis, Pre-Kanker dan Kanker Lambung"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

OLEH: BETTY

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS DEPARTEMEN PATOLOGI ANATOMI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

TESIS

OLEH: BETTY No. Reg: 16.322

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Untuk Mencapai Keahlian Dalam Bidang Patologi Anatomi

Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS DEPARTEMEN PATOLOGI ANATOMI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PERANAN PEMERIKSAAN IMUNOHISTOKIMIA COX-2 PADA LESI GASTRITIS, PRE-KANKER DAN KANKER LAMBUNG

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,

dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 22 Oktober 2007

(4)

No. Register : 16.322

Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Anantomi

TESIS INI TELAH DIPERIKSA DAN DISETUJUI OLEH :

PEMBIMBING I

[ Prof.dr.Gani W.Tambunan,SpPA(K) ]

NIP : 130 279 484

PEMBIMBING II

( dr.H.Delyuzar,SpPA )

NIP : 131 882 293

Ketua Program Pendidikan Ka. Depatermen

Dokter Spesialis Patologi Anatomi Patologi Anatomi FK - USU Medan

( dr.H.Joko S.Lukito,SpPA ) ( dr.H.Soekimin,SpPA )

(5)

Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Abstrak

Kanker lambung adalah jenis kanker kedua terbanyak di dunia. Walaupun

penyebabnya belum diketahui secara pasti, namun diduga merupakan kondisi akhir

dari proses yang multifaktorial, multistep dan multigenetik. Perkembangan

karsinoma lambung menurut Correa (1975) berupa gastritis kronik-gastritis

atrofi-metaplasia intestinal yang selanjutnya mengalami kelainan genomik dan fenotip

menjadi displasia serta neoplasia. Sejak 1983, Barry Marshall dan Robert Warren

(Australia) menemukan bahwa infeksi kronis Helicobacter pylori (kadang sejak

masa anak-anak) pada lambung dapat menyebabkan gastritis atrofi, metaplasia

intestinal, displasia dan karsinoma. Lesi-lesi ini juga sering ditemukan secara

ko-insiden. Pada tahun 1994, kelompok kerja IARC (International Agency for Research

on Cancer) dan WHO telah mengklasifikasikan Helicobacter pylori sebagai

karsinogenik kelompok I. Berdasarkan beberapa studi sebelumnya menyokong

bahwa Cyclooxygenase-2 (COX-2) mempunyai tampilan yang kuat pada tumor

gastrointestinal, dan beberapa jenis kanker seperti kolorektal, pankreas,

hepatoseluler, esofagus maupun lambung. Pada penelitian ini kami melihat

tampilan COX-2 pada lesi gastritis, pre-kanker dan kanker lambung dengan

melakukan pemeriksaan imunohistokimia COX-2 terhadap 48 sampel sediaan blok

parafin dari jaringan biopsi lambung. Luas tampilan COX-2 yang terbanyak adalah

persentase luas tampilan sedang (10-50% sel epitel yang tertampil positif) baik

pada sel epitel foveolar permukaan maupun pada sel epitel kelenjar. Ini terutama

(6)

Kesimpulan

Luas tampilan hasil pulasan imunohistokimia COX-2 pada sel epitel kelenjar

ditemukan berhubungan dengan derajat progresif lambung, namun tidak pada sel

epitel foveolar permukaan.

(7)

Department of Pathology of Anatomy, Faculty Medicine of North Sumatra University

Abstract

Gastric cancer is the second most common cancer in the world. Although its cause

not yet been known surely, but estimated that is the late conditions of multifactorial,

multistep and multigenetic processes. Growth of gastric cancer according to Correa

(1975) is from chronic gastritis – gastric atrophic – intestinal metaplasia, later on

experience of the disparity of genomic and fenotype become dysplasia and

neoplasia. Since 1983, Barry Marshall and Robert Warren (Australian) find that

chronic infection of Helicobacter pylori (sometime since childhood) at stomach can

leading cause of gastric atrophic, intestinal metaplasia, dysplasia and gastric

carcinoma. These lesions also often founded co-incidence. On 1994, Working team

IARC (International Agency for Research on Cancer) and WHO have classified

Helicobacter pylori as group I carcinogenic. According to some study previously

contribute that Cyclooxygenase-2 (COX-2) have the strong expression in

gastrointestinal tumours, and some cancer type of colorectal, pancreas,

hepatocellular, oesophagus and also gastric. At this research, we see the

expression of COX-2 in gastritis, gastric pre-cancer and cancer lesion by COX-2

immunohistochemistry to 48 sample paraffin block from biopsy of stomach tissue.

The most wide COX-2 expression is moderately wide percentage of expression

(10-50% epithelial cells which are positive) both in epithelial cells of foveolar surface

and also in epithelial cells of glands. There are most founded in pre-cancer lesions

especially atrophic gastritis (25,9% epithelial cells of foveolar surface and 55,0%

(8)

Conclusion

Wide expression of resulted COX-2 immunohistochemistry staining in

epithelial cells of glands found to related to the progressive degree of gastric

lesions, but not in epithelial cells of foveolar surface).

(9)

Puji syukur ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat Rahmat dan Kasih Nya,

saya dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini, yang merupakan salah

satu persyaratan untuk memperoleh keahlian dalam bidang Patologi Anatomi di

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang

kedokteran yang begitu pesat, saya menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih

jauh dari sempurna, namun besar harapan saya kiranya tulisan ini dapat

disumbangkan dan dimanfaatkan dalam menambah kepustakaan, terutama dalam

bidang Patologi Anatomi serta bidang ilmu yang berkaitan dengan tulisan ini

tentang Tampilan Imunohistokimia COX-2 pada Lesi Gastritis, Pre-kanker dan

Kanker Lambung.

Dengan selesainya penelitian dan penulisan tesis ini, sebagai tugas akhir

studi saya, dalam kesempatan ini perkenankanlah saya untuk menyampaikan rasa

terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya terutama kepada Bapak

Rektor Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk

mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Bidang Patologi Anatomi

(10)

Utara/RSUP H.Adam Malik Medan, serta dr.H.Joko S.Lukito, SpPA, selaku Ketua

Program Pendidikan Dokter Spesialis Bidang Patologi Anatomi, yang telah bersedia

menerima, mendidik, membimbing serta senantiasa mengayomi saya setiap hari

dengan sabar selama menjalani pendidikan; juga kepada dr.T.Ibnu Alferaly, SpPA

selaku Sekretaris Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara yang telah banyak memberi masukan serta bimbingan selama

menjalani pendidikan.

Saya ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan

setinggi-tingginya khususnya kepada Pembimbing I saya, Guru Besar di

Departemen Patologi Anatomi Universitas Sumatera Utara, Prof.dr.Gani

W.Tambunan, SpPA(K), yang tidak bosan-bosannya membimbing, mendorong

serta memberi semangat kepada saya dalam menyelesaikan penelitian dan

penulisan tesis ini. Juga kepada dr.H.Delyuzar, SpPA, selaku Pembimbing II yang

dalam kesibukan sehari-hari masih menyempatkan diri untuk memberi bimbingan

dan dukungan dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis saya ini. Tidak

lupa saya ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada

Prof.dr.H.M.Nadjib Dahlan Lubis, SpPA(K), selaku Guru Besar Departemen

Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah

(11)

Husodowijoyo, SpPA, walaupun telah menjalani masa purnabakti namun tetap

semangat dan aktif dalam membimbing dan mendidik saya selama ini.

Dalam kesempatan ini saya juga mengucapkan terima kasih kepada

dr.Bethy S. Hernowo, SpPA(K),PhD, selaku Kepala Laboratorium Patologi Anatomi

Sandia di Rumah Sakit Santoso Bandung yang telah banyak meluangkan waktu

untuk membimbing dan memberi kesempatan kepada saya untuk melakukan

pemeriksaan imunohistokimia di Laboratorium Sandia Rumah Sakit Santoso

Bandung dan juga kepada para staf analis di Laboratorium Sandia Bandung serta

PT.Sanbe Farma yang telah banyak membantu saya dalam hal moril maupun

material, saya ucapkan banyak terima kasih.

Saya juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

para supervisor di Depertemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan, dr.Sumondang Pardede, SpPA;

dr.Jamaluddin Pane, SpPA; dr.Lisdine, SpPA, dr.T.Intan Kemala, M.Pd dan

dr.Stephan Udjung, SpPA yang telah banyak membimbing saya selama menjalani

pendidikan. Terima kasih juga kepada dr.Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes. yang telah

(12)

mampu melindungi dan menghantarkan saya dalam meraih cita-cita. Terima kasih

untuk suamiku tercinta atas kesabaran, pengorbanan, dorongan dan doa yang

selalu diberikan selama saya menjalani pendidikan, juga untuk putra putri yang

saya cintai dan sayangi Ericko Govardi dan Steffie Goviani, yang telah banyak

berkorban dan memberi semangat kepada mama dalam menyelesaikan pendidikan.

Dan akhirnya kepada teman sejawat para senior, PPDS, pegawai dan para

analis di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara, saya ucapkan terima kasih atas segala bantuan dan dukungan kepada saya.

Selama saya mengikuti pendidikan tentunya saya tidak luput dari kesalahan dan

kekhilafan baik yang sengaja ataupun tidak sengaja, dalam kesempatan ini saya

menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya. Semoga Tuhan yang

Maha Esa senantiasa memberikan Berkat dan Rahmat Nya kepada kita semua.

Medan, 22 Oktober 2007

Penulis,

(13)

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ... iii

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Identifikasi Masalah... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1. Tujuan Umum ... 4

1.3.2. Tujuan Khusus ... ... 4

1.4. Hipotesa ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lambung Normal... 6

2.1.1. Anatomi Dan Histologi Lambung... 6

2.1.2. Fisiologi Lambung... 9

2.2. Helicobacter pylori ... 13

(14)

2.4.3. Metaplasma Intestinal ………... 42

2.4.4. Displasia Lambung... 44

2.4.5. Kanker Lambung ... 48

2.4.6. Kanker Dini Lambung ... 52

2.5. Kerangka Konsepsional ... 54

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 55

3.1.1. Tempat Penelitian ... 55

3.1.2. Waktu Penelitian ... 55

3.2. Metode Rancangan ... 55

3.3. Kerangka Operasional ... 56

3.4. Populasi, Sampel dan Besar Sampel Penelitian ……… ... 56

3.4.1. Populasi ……….. ... 56

3.4.2. Sampel ……… ... 56

3.4.3. Besar Sampel Penelitian ………. .. 57

3.5. Kriteria Inklusi Dan Eksklusi ……… ... 58

3.5.1. Kriteria Inklusi……… ... 58

3.5.2. Kriteria Eksklusi ………... 58

3.6. Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional... 58

3.6.1. Variabel Penelitian……… ... 58

3.6.2. Definisi Operasional Variabel ... 59

3.7. Prosedur Penelitian ... 62

3.7.1. Pembuatan Sediaan Mikroskopis... 62

(15)

3.9. Instrumen Penelitian ... 67

3.10. Teknik Analisa Data ... 68

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian ... 69

4.2. Pembahasan ... 75

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 78

5.1.1. Umum ... 78

5.1.2. Khusus ... 78

5.2. Saran... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 80

LAMPIRAN-LAMPIRAN... 86

(16)

3.1. Luas tampilan imunohistokimia COX-2 pada lesi gastritis, pre-kanker

dan kanker pada lambung ………... 68

4.1. Distribusi Diagnosa Histopatologi Blok Parafin Jaringan Biopsi

Lambung Dengan Pulasan Hematoksilin Eosin... 69

4.2 Distribusi Kasus Menurut Umur ……... 70

4.3. Luas Tampilan Pulasan Imunohistokimia COX-2 Pada Sel Epitel

Foveolar Permukaan ... 70

4.4. Luas Tampilan Pulasan Imunohistokimia COX-2 Pada Sel Epitel

Kelenjar Lambung ... 71

4.5. Tampilan Pulasan Imunohistokimia COX-2 Pada Sel

Stroma ... 72

4.6. Hubungan Antara Luas Tampilan Hasil Pulasan Imunohistokimia

COX-2 Pada Sel Epitel Foveolar Permukaan Dengan Derajat Progresif Lesi

Lambung ... 73

4.7. Hubungan Antara Luas Tampilan Hasil Pulasan Imunohistokimia

COX-2 Pada Sel Epitel Kelenjar Lambung Dengan Derajat Progresif

(17)

Gambar Halaman

2.1. Anatomi lambung ... 7

2.2. Pengaliran HCO3- melalui pembuluh kapiler ………... 9

2.3. Gambaran sekresi asam oleh sel parietal ... 12

2.4. Sekresi asam lambung ... 12

2.5. Natural course of Helicobacter pylori Infection ……… 35

2.6. Skema patogenesis karsinogenesis pada lambung ………... 51

2.7. Skema Kerangka Konsepsional ... 54

(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Kanker lambung adalah jenis kanker kedua terbanyak di dunia.

Sampai saat ini kanker lambung masih merupakan masalah di dunia,

walaupun insidennya telah menurun pada beberapa dekade terakhir ini

pada beberapa negara seperti AS dan Inggris. Terdapat perbedaan insiden

di antara benua dan keragaman populasi. Angka insiden yang tertinggi

terdapat di Asia (terutama negara Jepang), Eropa Barat dan Amerika

Selatan. Di AS, kanker lambung merupakan penyebab kematian terbanyak

urutan ke-7 yang disebabkan kanker.1,2,3,4

Penyebab pasti patogenesis karsinoma lambung masih belum

diketahui, namun diduga karsinoma lambung merupakan kondisi akhir dari

proses yang multifaktorial, multistep dan multigenetik. Patogenesisnya

dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk faktor genetik, diet, lingkungan

dan infeksi virus maupun bakteri. Insiden kanker lambung banyak

ditemukan pada umur di atas 50 tahun, jarang pada umur di bawah 30

tahun. Status sosioekonomi dan pendidikan yang rendah beresiko 2 kali

lebih tinggi terhadap karsinoma lambung dibandingkan dengan

(19)

Menurut Correa (1975), berdasarkan identifikasi gambaran

histopatologi paradigma karsinogenesis lambung yang mengawali

perkembangan karsinoma lambung berupa gastritis kronik - gastritis atrofi -

metaplasia intestinal yang selanjutnya mengalami kelainan genomik dan

fenotip menjadi displasia serta neoplasia invasif. Namun sejak

ditemukannya Helicobacter pylori oleh Barry Marshall dan Robert Warren

(Australia) pada tahun 1983, telah terjadi perkembangan ilmu yang sangat

pesat di dunia kedokteran khususnya di bidang gastroenterologi dan di

dukung oleh beberapa penelitian akhir-akhir ini, telah ditemukan bahwa

infeksi Helicobacter pylori yang berlangsung kronis (kadang infeksi telah

dimulai sejak masa anak-anak) dapat menimbulkan gastritis atrofi,

metaplasia intestinal, displasia dan karsinoma. Lesi-lesi ini juga sering

dijumpai bersama-sama. Akhir-akhir ini selain dihubungkan dengan

karsinoma lambung, infeksi H.pylori juga sering dihubungkan dengan

limfoma MALT (Mucosa-associated Lymphoid Tissue). Sejak tahun 1994,

kelompok kerja IARC (International Agency for Research on Cancer) dan

WHO telah mengklasifikasikan Helicobacter pylori sebagai karsinogenik

kelompok I.1,3,4,5

Keterlibatan infeksi Helicobacter pylori dalam karsinogenesis

lambung yaitu dengan meningkatkan kadar COX-2 akan merangsang

pelepasan prostaglandin E2 dalam lesi pre-kanker dan keganasan

lambung yang berhubungan dengan Helicobacter pylori. Beberapa studi

(20)

yang diinduksi enzim Cyclooxygenase mengubah asam arakidonat menjadi

prostanoid, mempunyai tampilan kuat pada tumor gastrointestinal.

Tampilan COX-2 telah dilaporkan pada kanker kolorektal, kanker pankreas,

karsinoma hepatoselular, kanker esofagus dan kanker lambung. Pengaruh

rangsangan isoform COX terhadap keganasan telah ditemukan

berhubungan dengan peningkatan kemampuan invasif dan metastasis

tumor. Selain itu akhir-akhir ini juga terdapat studi yang menunjukkan

tampilan COX-2 pada lesi pre-kanker. Enzim ini terlibat dalam proses awal

karsinogenesis, walaupun mekanisme pasti bagaimana COX-2

memperberat perkembangan kanker masih belum jelas, namun dari data

menyokong bahwa penghambatan COX-2 akan merangsang apoptosis,

menekan proliferasi sel, menurunkan tampilan bcl-2, meningkatkan

perkembangan sel H-ras-transformed serta merangsang tampilan GF

epidermal.4

Dalam usaha menurunkan angka mortalitas pada kanker lambung,

di Jepang dilakukan program skrining massa dengan menggunakan

endoskopi saluran cerna bagian atas, sehingga penderita kanker lambung

yang asimptomatik dapat terdeteksi dalam stadium dini dan memberikan

prognosis yang lebih baik. Diagnosa kanker dini lambung pada saat ini

sekitar 20% dari seluruh kasus kanker yang baru di negara Barat dan lebih

dari 50% di Jepang. Untuk menekan insiden karsinoma lambung saat ini

adalah dengan program eradikasi terhadap H.pylori pada mukosa

(21)

1.2. Identifikasi Masalah

Deteksi dini lesi displasia (pra-kanker) sangat penting dalam usaha

pencegahan terhadap karsinoma lambung. Namun tindakan ini sulit,

karena umumnya gejala klinis yang ditimbulkan tidak spesifik,

kadang-kadang samar-samar sehingga sering terabaikan oleh klinisi. Pasien sering

datang berobat dalam keadaan sudah stadium lanjut. Cara untuk

menemukannya adalah dengan pemeriksaan endoskopi serta melakukan

biopsi jaringan terhadap lesi yang dicurigai dan dilanjutkan dengan

pengevaluasian histopatologi terhadap jaringan biopsi tersebut. COX-2

yang merupakan salah satu enzim yang terlibat dalam proses awal

karsinogenesis tidak kalah penting untuk dievaluasi tampilannya pada

histopatologi jaringan biopsi lambung. Selain untuk menegakkan diagnosa,

tindakan ini juga dapat memberikan informasi mengenai prognosa serta

untuk memfollow-up hasil pengobatan.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui peranan tampilan imunohistokimia COX-2 pada gastritis

atrofi, metaplasia intestinal, displasia dan karsinoma lambung.

1.3.2. Tujuan Khusus

Mengetahui tampilan imunohistokimia COX-2 pada displasia

(22)

1.4. Hipotesa

Hipotesa penelitian adalah :

1. Ada perbedaan luas tampilan hasil pulasan imunohistokimia COX-2

pada sel epitel foveolar permukaan dengan meningkatnya derajat

progresif lesi pada lambung.

2. Ada perbedaan luas tampilan hasil pulasan imunohistokimia COX-2

pada sel epitel kelenjar lambung dengan meningkatnya derajat

progresif lesi pada lambung.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Pemeriksaan imunohistokimia COX-2 dapat digunakan sebagai acuan

pola penanganan displasia untuk mencegah terjadinya karsinoma.

2. Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan acuan untuk

(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lambung Normal

2.1.1. Anatomi Dan Histologi Lambung

Anatomi, lambung terbagi atas daerah kardia, fundus, korpus,

antrum-pilorik dan pilorus. Bagian proksimal lambung yang berbatasan

dengan esofagus disebut kardia, dan bagian distal yang beruhungan

dengan duodenum disebut pilorik. Bagian antrum-pilorik merupakan daerah

rawan terhadap infeksi H.pylori, gastritis atrofi, tukak peptik dan karsinoma.

Lengkungan kecil pada lambung dikenal sebagai kurvatura minor, daerah

ini sering dilalui oleh makanan dan minuman, adalah daerah yang rawan

untuk terjadinya ulkus. Sedangkan lengkungan besar (kurvatura mayor),

tempat melekatnya omentum. Pada daerah kurvatura minor maupun mayor

banyak dijumpai kelenjar getah bening, ini penting terutama dalam

penanganan keganasan pada lambung dalam menentukan stadium tumor.

Dinding lambung terdiri dari lapisan mukosa, sub-mukosa, muskularis

propia, lapisan sub-serosa dan serosa. Identifikasi lapisan-lapisan ini pada

sediaan reseksi lambung penting dalam menentukan kelainan patologik

pada lambung, seperti dalam menentukan dalamnya tukak lambung

(24)

Gambar 2.1. Anatomi lambung.27

Dalam keadaan kosong, lambung membentuk lipatan-lipatan

(rugae). Seluruh dinding bagian dalam lambung terdiri dari mukosa yang

dilapisi oleh selapis epitel kolumner yang menghasilkan musin netral. Epitel

mukosa ini meluas ke bawah membentuk celah kecil (invaginasi) disebut

gastric pits” yang berfungsi sebagai saluran sekresi. Bagian dalam pit

yang berhubungan dengan kelenjar sero-mukosa disebut ”zona generatif”,

sebagai tempat regenerasi selular. Semakin ke bawah, pit dilapisi epitel

kubus yang mengandung sedikit musin. Jadi kelenjar lambung terdiri dari

komponen foveola/sel mukosa (disebut juga sebagai kripta/pit) dan

komponen sekresi yaitu bagian leher dan kelenjar mukosa. Mukosa

lambung (bagian foveola) merupakan kelenjar bentuk tubular sederhana,

sedangkan bagian sekresi (fundus dan korpus) merupakan kelenjar

berbentuk kompleks. Ada 4 daerah lambung dengan jenis mukosa yang

berbeda dan terdapat daerah transisional diantaranya. Perbedaan

(25)

foveola dan kelenjar (bagian sekresi) serta komposisi secara

mikroskopisnya. Foveola pada kelenjar di fundus (oxyntic, acidopeptic)

hanya ¼ bagian dari ketebalan mukosa, bentuk kelenjar lurus dengan

sebaran sel ”chief” (”zymogen”), sel parietal, sel endokrin dan sel ”mucous

neck”. Kelenjar di kardia dan antrum-pilorik mempunyai gambaran histologi

yang hampir sama, dengan perbandingan bagian foveola dengan kelenjar

adalah 1 : 1. Pada kelenjar terdapat 4 jenis sel epitel yaitu sel ”chief” yang

menghasilkan pepsin; (2). Sel ”Argentaffin” yang terdapat di antara sel

chief”; (3) Sel ”parietal”, penghasil asam lambung dan (4). Sel ”mucous

neck” terletak di antara sel ”parietal”. Sel parietal lebih banyak dijumpai

pada daerah yang lebih superfisial, sel ini menghasilkan faktor intrinsik,

bersama vitamin B12 akan diserap di ileum terminalis. Sel ”chief” terletak

lebih profunda dibandingkan sel parietal. Kelenjar pada daerah ini sebagian

besar menghasilkan musin.Pada antrum-pilorik terdapat sel G (50%) yang

menghasilkan gastrin; sel EC / enterochromaffin (30%) menghasilkan

5-HT[serotonin]) dan 15% sel D yang menghasilkan somatostatin.

Sedangkan pada fundus dan korpus tidak terdapat sel G, namun banyak

dijumpai sel ECL (EC-like). 1,5,6,8,9,13,14

Pembuluh darah lambung terdapat di sub-mukosa membentuk

pleksus venous sub-mukosa. Susunan pembuluh darah ini dapat beperan

sebagai pertahanan mukosa lambung terhadap asal di dalam lumen

lambung. Sel parietal mensekresi H+ ke kanalikulus. OH- dan CO2 akan

(26)

-selanjutnya dialirkan melalui pembuluh kapiler ke lumen permukaan

menyebar pada lapisan mukus.

Gambar 2.2. Pengaliran HCO3- melalui pembuluh kapiler.27

2.1.2. Fisiologi Lambung

Epitel lambung mempunyai 4 jenis sekresi yaitu cairan mukus, asam

lambung (HCl), enzim protease (pepsinogen) dan hormon (gastrin).27,28

Berdasarkan strukturnya hormon gastrointestinal dapat dibagi atas

(27)

carboxy-terminal pentapeptide yang sama. Hormon-hormon ini bekerja lebih aktif

pada reseptornya masing-masing. 27

Rangsangan nervus vagus, peptida (makanan) dan asam amino

merupakan rangsangan untuk menghasilkan gastrin pada antrum,

sedangkan asam (pH<3) menghambat pelepasan gastrin. Gastrin berfungsi

untuk merangsang sekresi sel parietal untuk menghasilkan asam lambung

dan pertumbuhan epitel kelenjar fundus. Pada daerah antrum, sel D yang

mengandung somatostatin dapat mempengaruhi sel gastrin. Somatostatin

akan mengurangi sekresi gastrin melalui aksi parakrin lokal. Hormon

sekretin dan CCK dapat merangsang parakrin melepaskan prostaglandin,

sedangkan somatostatin menurunkan sekresi sel parietal.27,28

Secara biologi molekuler, sel parietal mempunyai 3 reseptor pada

membran basolateral yang berfungsi untuk merangsang sekresi asam yaitu

histamin, reseptor kholinergik dan reseptor CCK-B untuk gastrin. (1).

Reseptor Histamin, dilepaskan oleh sel yang mirip Enterochromaffin (ECL)

dan sel mast pada lamina propia. Histamin berikatan dengan reseptor

histamin (H2) pada sel epitel. (2). Reseptor Acetylcholine, dilepaskan dari

nerve endings yang akan berinteraksi dengan reseptor sel parietal,

reseptor sel ECL (yang dilepaskan histamin) serta sel D (untuk mengurangi

pelepasan peptida inhibitor, somatostatin). (3). Reseptor Gastrin, dihasilkan

oleh sel D di antrum, dipengaruhi oleh makanan (asam amino), distensi

(28)

Gastrin berikatan dengan gastrin/reseptor CCK-B pada sel parietal dan sel

ECL (yang merangsang sekresi dengan melepaskan histamin). Potensiasi

dapat terjadi bila 2 atau lebih peptida berikatan dengan reseptor sel

parietal; respons kombinasi lebih besar daripada jumlah respons tersendiri.

Ikatan terhadap reseptor pada permukaan sel parietal, akan diikuti

interseluler messenger seperti Ca+ dan cAMP active protein kinase yang

memicu sekresi asam. Jalur akhir ini menghasilkan H+ ke dalam lumen

kanalikuler dalam pertukaran terhadap K+ dengan aksi pompa proton

(H+/K+ATPase) yang berlokasi di antara membran lumen kanalikuli

sekretori sel parietal. Pemberian benzimidazoles (Omeprazol, Lansoprazol)

bertumpuk dalam rongga asam yang teraktifasi. Selanjutnya akan

berikatan dengan H+K+-ATPase, sehingga enzim tidak teraktifasi. Dalam

mengoptimalkan pengobatan, Proton Pump Inhibitiors (PPIs) diminum 30

menit sebelum makan, agar dapat terabsorbsi dan terakumulasi pada

kanalikuli sel parietal seperti H+K+-ATPase yang dirangsang oleh

(29)

Gambar 2.3. Gambaran sekresi asam oleh sel parietal.27

Gambar 2.4. Sekresi asam lambung 27

Sekretin dapat menekan sekresi asam lambung (melalui

prostaglandin). Sekretin dihasilkan oleh sel S duodenum sebagai respons

(30)

berkompetisi dengan gastrin dalam mengikat gastrin/reseptor CCK- dan

dapat merangsang sel D untuk melepaskan somatostatin.27

Pemotongan nervus vagus ke lambung akan menghilangkan

respons sel parietal terhadap gastrin. Pengangkatan sel G secara

antrektomi akan menghilangkan respons sel parietal.27

2.2. Helicobacter pylori

Helicobacter pylori merupakan kuman batang gram negatif yang

bersifat non-invasif, panjang 2-3µm, bertumbuh lambat; berbentuk kurva

(“S”), terdapat 4-6 flagela pada salah satu pole-nya; variasi bentuk

Helicobacter pylori berupa kokoid dapat dijumpai pada pasien yang telah

diberi terapi, tidak berspora, ukuran 3,5 x 0,5 m. Varian lain dari

organisme ini dikenal sebagai H.heilmannii, kuman ini lebih jarang dijumpai

(<1% dari Helicobacter yang terisolasi), bentuknya lebih spiral. H.heilmannii

dapat bereaksi silang terhadap H.pylori pada pewarnaan imunohistokimia.

H.heilmannii juga dapat menimbulkan gastritis antrum, namun biasanya

tidak seberat gastritis H.pylori.1-3,8,14,19,21,26,27

Lokalisasi Helicobacter pylori di lambung

Helicobacter pylori adalah bakteri micro-aerophile (hanya

(31)

menginvasif mukosa lambung, hanya menempati permukaan epitel pada

lapisan mukus lambung di daerah antrum. Helicobacter pylori tidak dapat

ditemukan pada lumen lambung yang ber-pH 2, namun banyak terdapat

pada lapisan mukus lambung yang berjarak 0-15µm dari sel epitel mukosa

(pH mendekati 7). Bentuknya yang spiral dan berflagela, memberi

keuntungan pada organisme ini sehingga bakteri ini dapat berenang dari

lumen ke arah permukaan sel epitel mukosa. Helicobacter pylori

menghasilkan enzim musinase berfungsi untuk melisis musin dan

mengakibatkan mukus berkurang dan viskositasnya menurun, sehingga

mempermudah bakteri tersebut untuk melewati lapisan mukus menuju ke

permukaan sel epitel mukosa .8,18,19,26,27

Sumber energi yang dibutuhkan Helicobacter pylori berasal dari

katabolisme protein dan lemak. Banyak enzim yang berperan di dalamnya

termasuk enzim catalase, superoxide, dismute, oxidase, phospholipas dan

proteases. Enzim urease yang dihasilkan Helicobacter pylori, dibutuhkan

dalam proses kolonisasi di lambung. Urease merupakan antigen yang

sering berperan dalam imunopatologi pada Helicobacter pylori. Enzim ini

terdiri dari 2 sub-unit yaitu 30 dan 60kDa, terdapat pada permukaan tubuh

bakteri. Aktifnya enzim urease ditandai dengan adanya konsentrasi urea

pada lambung dan mukosa lambung. Urea diubah oleh enzim urease

menghasilkan amonia dan karbondioksida. Aktifitas Helicobacter pylori

(32)

pemeriksaan indikator-pH berupa perubahan warna menjadi alkali.

Pemeriksaan ini mendasari pemeriksaan klinik dengan endoskopi.8,19

Mengapa sebagian penderita carrier tidak menimbulkan gejala penyakit?

Tidak semua penderita yang terdeteksi adanya Helicobacter pylori di

dalam lambung dapat menimbulkan gejala penyakit (asimptomatis).

Beberapa faktor berhubungan langsung terhadap strain Helicobacter pylori

yaitu perbedaan genetik vacA dan cag PAI (cag Pathogeneicity islands);

polimorfik host (mutasi TP53 yang mempromosi tampilan kuat IL-1b

menimbulkan radang) serta faktor lingkungan lainnya.4,8,19

Genomik. Secara genetik H.pylori adalah heterogen, terdapat <1,5juta bp genom yang mengkode 1500 gen dengan GC relatif sedikit (39%) dan

AT-nya baAT-nyak; serta baAT-nyak strain gen yang spesifik (6-7% genom). H.pylori

mempunyai jalur metabolik genom kecil yang terbatas dan tempat yang

spesifik yang mengakibatkan kuman ini hanya bisa bertahan di lambung,

sistem repair DNA terbatas karena angka mutasi gen tinggi dan protein

pengatur yang sedikit, sehingga menyebabkan H.pylori hanya bertumbuh

pada tempat yang terbatas.

(33)

terjadinya peradangan. Dalam tubuh satu host bisa dijumpai beberapa

strain Helicobacter pylori yang berbeda. Salah satu strain mungkin lebih

patogen dibandingkan strain yang lain. Strain Helicobacter pylori sering

mengalami mutasi, baik berupa point mutasi, re-arrangment kromosom,

maupun kombinasi keduanya. Sebagai contoh kasus yaitu dilakukan isolasi

terhadap 199 strain H.pylori dari seorang pasien, isolasi strain tersebut

diulang 6 tahun kemudian pada pasien yang sama. Dari hasil pemeriksaan

dijumpai 3% lokus yang berbeda diantaranya. Ini menunjukkan angka

mutasi yang tinggi. Strain jenis I menampilkan gen cagA dan vacA yang

mengkode faktor penting dari virulensi dengan patogenisitas yang tinggi.

Namun gen ini tidak ditemukan pada strain jenis ke-2.4,8,19

Faktor Virulensi untuk kolonisasi mukosa lambung

Yang termasuk faktor virulensi adalah motilitas dan daya

kemotaksis; enzim urease untuk menyelamatkan bakteri dalam lumen

lambung; perlekatan bakteri; VacA dan CagA serta sistem sekresi tipe-4

(yang disekresi secara langsung ke dalam sitosol).

Motilitas dan kemotaksis.

Motilitas merupakan faktor yang penting, karena hanya Helicobacter

pylori mutant yang dapat berkolonisasi. Pada mukosa binatang percobaan,

(34)

koloni. Aktifitas urease H.pylori merupakan faktor kolonisasi utama. Diduga

Helicobacter pylori menghasilkan enzim pada permukaan sel, namun

organisme ini tidak dapat bekerja secara optimal pada pH asam.

Pemecahan urea menjadi amonia oleh enzim urease yang dihasilkan

H.pylori biasanya terjadi di dalam lumen lambung, amonia berfungsi untuk

melindungi sekeliling sel yang alkali terhadap asam sehingga memudahkan

bakteri melewati lingkungan lambung yang asam untuk mencapai daerah

kolonisasinya. Permukaan lambung yang ditempatinya mempunyai pH

yang relatif netral dibandingkan mukus lambung, organisme ini berlanjut

menghasilkan urease dalam jumlah banyak untuk meningkatkan

pertumbuhan organisme. Bentuk heliks dan daya motilitas merupakan

seleksi dalam lingkungan mukus. Flagela penting dalam perpindahan

bakteri dalam lumen. Bila bakteri berkontak dengan mukus maka bakteri

tersebut akan “membor” masuk ke lapisan mukus menuju permukaan sel

epitel mukosa lambung. Gerakan ini difasilitasi oleh kemotaksis.

Faktor kemotaksis. Ion Arginin dan Bikarbonat yang dihasilkan

mukosa lambung dikenal oleh reseptor spesifik Helicobacter pylori

sehingga merangsang motilitas rotasi flagela untuk berenang menuju

daerah tersebut. Flagela mengandung 2 jenis protein yaitu flagelin FlaA

(merupakan filamen utama) dan FlaB. Flagelin adalah glikosilat dengan

(35)

Menghindari sistem imun bawaan. Helicobacter pylori menimbulkan

peradangan ringan dan melangsungkan hidupnya dalam jangka waktu

lama dalam tubuh host. Peradangan ringan ini terjadi karena: (1). Flagelin

merupakan perangsang lemah terhadap sel epitel lambung melalui TLR5

(Toll-like Receptor 5); dan (2). LPS bakteri merupakan toksisitas yang

sangat rendah (500 kali lebih rendah dibandingkan LPS E.coli) untuk

mengaktifkan TLR4. Keterbatasan peradangan ini sesuai dengan sifat

peradangan kronik dan infeksi persisten, sehingga perkembangan penyakit

berlansung lama.

LPS (lipopolysacharides) dan Antigen yang mirip.

Lipopolysacharides (LPS) terdiri dari O-polysaccharide dengan

karbohidrat yang identik terhadap antigen golongan darah Lewis yang

tertampil pada permukaan sel epitel lambung (terdapat kemiripan). LPS

merupakan imunogenik yang lemah. Dengan demikian sistem imun host

tidak mampu mengenalinya (Helicobacter pylori).8,19

Perlekatan Helicobacter pylori terhadap host dan Antigen golongan

darah.

Pada pemeriksaan mikroskop elekron, perlekatan Helicobacter

pylori dengan epitel lambung sangat kuat (perlekatan “pedastal”) mirip

(36)

reseptor host yang sama (sialyated glycolipids dan fucosylated

lycoproteins) Bila terjadi metaplasia intestinal atau atrofi kelenjar lambung,

tidak akan dijumpai Helicobacter pylori.

BabA2 adalah protein OM mirip porin, yang berikatan dengan

antigen Lewis-B dan antigen H1 (antigen O; antigen golongan darah)

tertampil pada sel epitel lambung (juga eritrosit). P466 adalah strain khusus

yang mengikat golongan darah O, sedangkan strain lainnya yang umum

mengikat fucosylated antigen golongan darah A, B dan O. Dengan

demikian golongan darah O lebih mudah menderita tukak lambung, karena

strain bakteri berespons terhadap tukak lambung dengan mengenali

antigen O.19

LeB (Lewis b antigen), yang berhubungan terhadap golongan darah

O, adalah difucosylated dan dibentuk dengan tambahan Fuc (branched

fucose) yang terletak di H1. Antigen ini terbatas pada fenotip golongan

darah A dan B, hubungan antigen pada sistem golongan darah Lewis

terbentuk pada bagian terminal N-acetylgalactosamine (GalNac) atau

galactose (Gal). Ini merupakan karbohidrat inti yang umum (H1) untuk

semua antigen kelompok darah, namun pada bagian terminal terdapat 2

frucose residu pada golongan darah O (Lewis b / Leb); 2 GalNAc’s pada

golongan darah A (A-Lewis b) dan 2 Gal’s untuk goglongan darah B

(37)

SabA (perlekatan afimbril lainnya), SabA menunjukan salah satu

faktor yang penting selama interaksi lanjutan (kedua) terjadinya penyakit.

Pada orang yang sehat, interaksi primer tampak diantara BabA2 dan Leb

(Lewis b antigen). Interaksi pertama ini mempengaruhi tampilan glicolipid

pada host. Glycolipid ini adalah Slex (sialyated Lewis x

glycosophingolipids) dan dikenal dengan perlekatan afimbril, SabA. Ini

mengakibatkan perlekatan yang kuat antara bakteri terhadap sel host

sehingga mengawali perkembangan penyakit.8,19

Epidemiologi Infeksi Helicobacter pylori

Helicobacter pylori merupakan bakteri patogen yang paling sering

dijumpai di dalam lambung pada hampir setengah dari penduduk di dunia.

Prevalensi infeksi beragam. Pada negara sedang berkembang terdapat

perbedaan prevalensi yang menyolok. Keragaman ini dipengaruhi oleh

keragaman etnik dan didukung oleh faktor budaya, genetik maupun faktor

lingkungan yang berhubungan dengan faktor sosioekonomi. Banyak

penelitian mendukung bahwa prevalensi yang terdapat di daerah dengan

status sosioekonomi rendah, Helicobacter pylori telah menginfeksi

penderita sejak masa anak-anak tanpa menimbulkan gejala, dan kemudian

menjadi progresif pada waktu dewasa. Infeksi dapat ditularkan secara

faecal-oral dan oral-oral. Di negara sedang berkembang, angka prevalensi

pada anak-anak sekitar 70%, dan menetap pada umur >30 tahun.21

(38)

dihubungkan dengan meningkatnya kejadian tukak dan kanker lambung.

Sebaliknya di negara maju, data yang diperoleh menunjukkan angka

prevalensi yang lebih rendah yaitu anak-anak (5-15%) dan 20-65% pada

umur >30 tahun. Peradangan hebat pada daerah antrum sering

dihubungkan dengan tukak duodenum. Pengobatan dengan menurunkan

kadar keasaman di lambung atau vagotomi selektif lebih cendrung

menimbulkan gastritis pada korpus lambung. Dari data ini, telah

menyokong perbedaan ekologi Helicobacter pylori pada negara sedang

berkembang dan negara maju. Faktor lingkungan beragam pada sebagian

populasi ini adalah asam yang dihasilkan.1,2,3,4,7,8,17,18,21

Kontaminasi peralatan endoskopi dan forsep biopsi terhadap

Helicobacter pylori dapat terjadi setelah pemeriksan endoskopi terhadap

pasien dengan Helicobacter pylori positif. Walaupun besarnya resiko belum

diketahui, Helicobacter pylori yang ditularkan melalui endoskopi telah

pernah dilaporkan oleh Jepang dan dikenal sebagai lesi mukosa lambung

akut post-endoskopi.21

Pengobatan dengan anti-Helicobacter pylori yang gagal akan

menimbulkan kekambuhan infeksi yang berulang. Keadaan ini mendukung

bahwa bakteri ini dapat tersembunyi dan terhindar dari pengobatan

anti-Helicobacter pylori. Tempat yang mungkin merupakan tempat

(39)

Diagnosa infeksi Helicobacter pylori

Diagnosa infeksi Helicobacter pylori kadang-kadang sulit. Dalam

mengidentifikasi H.pylori dikenal beberapa metode. Metode konvensional

dalam mendiagnosa Helicobacter pylori dapat menggunakan beberapa

cara, baik teknik invasif maupun non-invasif. Yang termasuk pemeriksaan

invasif yaitu pemeriksaan endoskopik, biopsi untuk pemeriksaan

histopatologi, kultur, Rapid Urease Tests, dengan metode molekuler yaitu

Polymerase Chain Reaction (PCR) / DNA, test cairan lambung, kadar urea

/ amonium dan IgA. Pemeriksaan non-invasif, yaitu Urea Breath Test

(UBT), H.pylori stool antigen (HpSA) dan serologi (IgG, IgA), PCR air liur,

Serum C-bicarbonate* dan Ekskresi urin NH4*. (* tidak digunakan dalam

klinis)

Teknik invasif

Endoskopi.

Endoskopi banyak dipergunakan untuk mengidentifikasi lesi

lambung yang spesifik seperti tukak atau neoplasma. Gambaran

makroskopis endoskopi tidak spesifik untuk mendiagnosa gastritis kronik

atau infeksi H.pylori, kecuali pada anak-anak bila dijumpai gambaran

berupa nodular pada mukosa antrum yang sangat spesifik untuk H.pylori,

(40)

H.pylori sering terdeteksi pada mukosa yang secara makroskopisnya

normal, maka dibuat kriteria endoskopi oleh “World Congress of

Gastroenterology” di Sydney dengan batasan nilai dan hubungannya

dengan penemuan histopatologi.25

Kultur.

Pemeriksaan kultur merupakan baku emas (Gold standard) untuk

berbagai penyakit infeksi, kecuali dalam diagnosa rutin infeksi H.pylori.29

Pengisolasian H.pylori untuk kultur adalah teknik diagnosa berharga;

jumlah bakteri yang sedikit dalam sediaan biopsi sudah dapat

menghasilkan kultur positif. Untuk mencapai hasil optimal dibutuhkan

ketelitian dalam persiapan dan transport sediaan (tidak boleh kering).

Media transport khusus (contoh: brain-heart infusion broth) diperlukan, dan

disimpan pada suhu 4-7oC, sediaan dipindah ke medium kultur dalam

waktu beberapa jam. Hasil kultur positif setelah 3-5 hari. Pada umumnya

pertumbuhan H.pylori di dalam media cair digunakan untuk mempelajari

fisiologi bakteri. Penyimpanan H.pylori untuk jangka lama dibutuhkan

media brain-heart infusion broth (1020% glycerol), disimpan pada suhu

-70 - (-80)oC. Walaupun kultur mempunyai spesifisitas 100%, namun hanya

didapat pada pusat laboratorium mikrobiologi. Sensitifitas teknik hampir

90% tergantung pada pemilihan isolasi, transport dan pertumbuhan bakteri.

Dalam praktek, kultur dipergunakan untuk menguji sensitifitas antibiotika.

(41)

Urease test yang merupakan diagnosa sederhana dan akurat. Kultur

bakteri hanya digunakan untuk mempelajari virulensi dan gambaran

kolonisasi dari berbagai strain H.pylori dan hubungannya dengan berbagai

kelainan gastroduodenum.25,26,29,33

Biopsi.

Biopsi jaringan lambung dilakukan pada saat gastroduodenoskopi.

Sediaan biopsi diambil dari antrum lambung. Biopsi selain untuk

menentukan ada atau tidaknya gastritis, dapat juga digunakan untuk

melihat proses peradangan yang disebabkan H.pylori. Untuk

mengidentifikasi H.pylori dari sediaan jaringan biopsi dilakukan

pemeriksaan histopatologi, kultur maupun “Rapid Urease Test”. 1,25,30,32

Persiapan biopsi. Faktor resiko yang sering terjadi pada biopsi adalah

perforasi dan perdarahan. Pengambilan sediaan biopsi dianjurkan

mencakup mukosa lambung dan bagian superfisial muskularis mukosa.

Pada atrofi, biopsi seperti ini sulit, walaupun kadang berhasil juga

dilakukan. Tindakan biopsi mukosa lambung paling sedikit dilakukan pada

2 tempat yang berbeda. H.pylori paling sering terdapat pada antrum,

namun kemungkinan besar untuk mengidentifikasi juga dibutuhkan biopsi

pada korpus. Sebab setelah diberi pengobatan, terutama dengan ”proton

pump inhibitors”, organisme dapat dibersihkan dari antrum namun mungkin

masih menetap dalam jumlah sedikit di korpus. Jadi diharuskan membiopsi

(42)

dari gastritis. Antrum dan korpus mempunyai fungsi dan abnormalitas yang

berbeda dalam mempengaruhi resiko perkembangan penyakit tukak peptik

dan keganasan. Menurut Bayerdorffer dkk., (1).Untuk mencapai

sensitifitas yang optimal, dianjurkan pengambilan biopsi paling sedikit pada

5 tempat, namun kadang biopsi yang dilakukan pada 2 daerah berbeda

sudah memberi hasil adekuat. Klasifikasi gastritis berdasarkan sistem

Sydney, dianjurkan pengambilan 2 biopsi pada antrum dan 2 biopsi dari

korpus. Pada biopsi antrum, 1 dari dinding anterior dan 1 dari dinding

posterior, dengan masing-masing jarak paling sedikit 2cm dari

pyloro-duodenal junction. Biopsi mid-korpus diambil dari dinding anterior dan

posterior. Daerah kardia dan insisura merupakan 2 tempat yang

kadang-kadang dianjurkan, namun teknik endoskopi pada daerah kardia sulit

dilaksanakan., tetapi bila berhubungan dengan kolonisasi H.pylori maka

daerah ini biasanya sering dibiopsi. (2).Orientasi biopsi agar sediaan biopsi

dapat dipotong secara tegak lurus terhadap permukaan mukosa.1,5,25,30,32

Histopatologi.

Identifikasi H.pylori pada pemeriksaan histopatologi biopsi dan

hubungannya dengan kelainan patologi mukosa lambung merupakan

penanganan yang integral bagi pasien dengan gejala gastrointestinal

bagian atas. Standard pewarnaan histologi untuk menegakkan diagnosa

biopsi lambung adalah pewarnaan Haematoxylin dan Eosin (H&E) serta

(43)

konsisten, H.pylori terwarnai biru keunguan dengan latar belakang biru

terang. Dengan alasan bahwa pemeriksaan Giemsa yang dimodifikasi

merupakan suatu metode yang cepat dan sederhana, maka teknik ini

dipilih dalam praktek klinik rutin. Warren dan Marshall menganjurkan

melakukan pemeriksaan dengan pewarnaan khusus Warthin-Starry silver

impregnation bila ditemukan H.pylori. Menurut Potter dkk., dengan

pewarnaan Giemsa dapat diidentifiksasi sebanyak 94% kultur yang positif

dibandingkan dengan pewarnaan Warthin-Starry hanya 79%. Pewarnaan

lain yang digunakan untuk mengidentifikasi H.pylori yaitu Cresyl fast violet,

pewarnaan Gimenez, acridine orange dan sebagainya. Pemeriksaan

mikroskop elektron juga dapat memperlihatkan sejumlah bentuk morfologi

H.pylori pada mukosa lambung, ini digunakan bila mempelajari

patogenesis infeksi organisme ini. Namun teknik ini tidak menambah

keakuratan diagnosa histopatologi. Teknik imunohistokimia yang

berdasarkan antibodi monoklonal meningkatkan spesifisitas histologi bila

dibandingkan dengan metode morfologi lainnya. Pemeriksaan mikroskopis

secara langsung dengan menggunakan metode pewarnaan Gram yang

dimodifikasi memberi diagnosa yang cepat bila dilakukan pada bahan

biopsi yang segar. Metode ini mempunyai sensitifitas 88-95% dan

spesifisitas hampir 100%. Pemeriksaan mikroskopi dengan zat kontras

adalah metode lainnya, yang langsung dilihat tanpa menggunakan

(44)

Rapid Urease Tests.

Prinsip pengujian ini berdasarkan aktifitas urease H.pylori dan

ekologi lokasinya di mukosa lambung, yang melindungi bakteri ini terhadap

kompetisi dengan bakteri lain. Aktifitas bakteri pada sediaan biopsi

terdeteksi dengan peningkatan pH yang dihasilkan oleh ion amonia.

Amonia merupakan hasil hidrolisis urea dengan reaksi sbb.: Urea + H2O

Amonia + CO2. Peningkatan pH menimbulkan perubahan indikator merah

phenol pada media kultur dari warna kuning menjadi merah jambu atau

merah. Metode ini berdasarkan Christensen’s 24% Urea broth namun

dijumpai beberapa keragaman. Formulasi urease test beragam

berdasarkan volume broth atau agar, konsentrasi urea dan phenol, serta

pH dan suhu inkubasi (optimum pada 45oC). Perubahan warna

mengindikasikan infeksi H.pylori sesuai dengan test yang digunakan (CLO,

Delta West; HUT, Astra) dalam 30 menit pada sebagian besar pasien

dengan H.pylori yang positif. Sebagian penulis melaporkan hasil didapat

dalam 1 menit. Sensitifitas pemeriksaan ini berkisar 86-98% dengan

spesifisitas 95-100%. Beberapa jenis obat anti-aktifitas urease memberi

hasil test negatif palsu. H.pylori tidak dapat terdeteksi bila dilakukan kurang

dari 4minggu setelah pemberian terapi. Bila pemeriksaan eradikasi dengan

menggunakan urease dan histopatologi, biopsi diambil dari daerah antrum

dan korpus lambung. Aktifitas urease dalam lambung dapat diketahui dari

sediaan aspirasi cairan lambung dengan mengukur konsentrasi

(45)

perbandingan konsentrasi urea dengan amonium. Elektoda Amonia sensitif

terhadap deteksi urease cepat, akhir-akhir ini pemeriksaan tersebut

mengindikasikan keakuratan yang tinggi.25,26,30,33

Teknik Non-invasif

Urea breath test (UBT)

UBT merupakan hidrolisis urea terlabel 13C atau 14C oleh urease

H.pylori. Urea yang terlabel didapat melalui mulut dan pada lambung

terinfeksi 13C (atau 14C) yang diubah menjadi CO2, terlarut dalam cairan

lambung, diserap dari lambung masuk ke aliran darah dan diekspirasi

melalui pernafasan. Analisa dari sejumlah CO2 yang terlabel 13C atau 14C

mengindikasikan berapa banyak urea yang terhidrolisis oleh H.pylori.

Beberapa penulis menggunakan urea terlabel 14C sebagai pengganti UBT

karena kost yang rendah dan mudah didapat; sementara 13C yang

merupakan isotop “cold” radioaktif. Akhir-akhir ini, UBT 13C merupakan

metode pilihan karena aman dan penerapannya tidak terbatas, terutama

pada anak-anak. Sedangkan UBT 14C lebih mahal. UBT 13C telah menjadi

standard dalam European working party. Sensitifitas UBT 13C 90-98%

(46)

Serologi.

Infeksi H.pylori merangsang respons imun lokal yang kuat pada

mukosa dan sistemik. Respons imun lokal mukosa lambung yang menonjol

adalah IgA, sedangkan antibodi di dalam sirkulasi adalah IgG (IgG1,

IgG2dan IgG4). Peningkatan kadar IgA dalam darah sistemik

mengindikasikan gastritis kronik aktif yang berat. Peningkatan antibodi IgA

tanpa disertai IgG jarang. Antibodi IgM dapat terdeteksi secara singkat

setelah terpapar infeksi H.pylori akut. Teknik serologi didasari

hemaglutinasi, aglutinasi bakteri, fiksasi komplemen dan imunofluoresens

tidak langsung. Metode ini sekarang jarang digunakan sejak diperkenalkan

metode ELISAs karena diagnosa lebih cepat, sederhana dan nilai akurasi

diagnosa tinggi. Test ELISA lanjutan terutama IgG melebihi teknik serologi

dalam menentukan jumlah titer antibodi. 25,26,33

Test Molekuler.

PCR (Polymerase Chain Reaction) mampu mengisolasi dan

mereplikasi DNA H.pylori dalam bahan biologi. Pemeriksaan ini

berdasarkan teknik biologi molekuler, sangat sensitif, tidak memerlukan

organisme hidup untuk mendeteksi infeksi namun hanya fragmen (bagian)

organisme. Teknik ini telah digunakan untuk meneliti berbagai genetik

strain H.pylori yang berbeda. Teknik PCR dapat diterapkan untuk biopsi

(47)

2.3. Gastritis Akut

Gastritis akut adalah peradangan akut mukosa lambung yang

bersifat sementara. Peradangan ini bisa disertai perdarahan mukosa. Pada

keadaan yang lebih berat dapat dijumpai terlepasnya permukaan epitel

mukosa (erosi). Gastritis akut dengan erosi yang berat merupakan

penyebab utama perdarahan gastrointestinal akut.1,2

Faktor Penyebab

Patogenesis gastritis akut masih belum diketahui dengan jelas

karena mekanisme normal dari proteksi mukosa lambung tidak diketahui

dengan jelas secara menyeluruh. Keadaan ini sering dihubungkan dengan

penggunaan obat-obatan seperti NSAIDs (Non-steroidal Anti-inflammatory

Drugs), peminum alkohol yang berlebihan, perokok berat, kemoterapi,

uremia, infeksi sistemik (seperti Salmonellosis), stres berat (trauma, luka

bakar, operasi), iskemik dan shok, usaha bunuh diri dengan asam dan

basa keras, trauma mekanik (intubasi nasogastrik) serta pada keadaan

paska gasterktomi distal dengan refluks cairan empedu.2

Pada gastritis akut bisa mengakibatkan gangguan pada lapisan

mukosa lambung; rangsangan sekresi asam dengan difusi balik ion

Hidrogen ke epitel permukaan penurunan produksi bufer bikarbonat oleh

(48)

langsung terhadap epitel. Bila ditemukan satu atau lebih pengaruh tersebut

di atas, maka dipikirkan untuk dilakukan tindakan operasi. Pada keadaan

infeksi akut yang disebabkan oleh H.pylori akan merangsang sel-sel

radang neutrofil pada mukosa lambung, namun peristiwa ini biasanya luput

dari perhatian pasien.1,2,5

Gambaran klinis

Gejala tergantung pada beratnya perubahan anatomi lambung.

Pada gastritis akut mungkin tidak menunjukkan gejala secara menyeluruh,

keluhan bisa berupa nyeri epigastrik dengan adanya mual dan muntah

sampai hematemesis, melena dan mampu menimbulkan kehilangan darah

secara fatal. Penyebab utama hematemesis terutama dijumpai pada

peminum alkohol. Pada pasien dengan arthritis rematoid yang

menggunakan aspirin, hampir 25% pasien kadang-kadang mengalami

serangan gastritis akut dengan perdarahan yang tampak atau tersembunyi.

Resiko perdarahan lambung yang ditimbulkan oleh penggunaan obat

NSAIDs tergantung pada dosis obat yang digunakan, dimana resiko ini

meningkatkan komplikasi pada pasien dengan penggunaan obat dalam

(49)

Histopatologi

Beratnya lesi yang dijumpai pada lambung mempunyai spektrum

yang bervariasi, bisa terlokalisir hingga difus, dari lesi peradangan

superfisial hingga mengenai keseluruhan ketebalan mukosa dengan

perdarahan dan erosi fokal. Gastritis erosiva akut dengan erosi yang

disertai perdarahan biasanya dapat dilihat secara endoskopi. Gastritis akut

ditandai dengan edema mukosa dan sebukan sel radang neutrofil dan

kemungkinan disertai sel radang kronik. Replikasi sel epitel yang

mengalami regenerasi pada gastrik pit biasanya menonjol. Jika peristiwa

yang berbahaya ini berlangsung pendek, maka gastritis akut akan hilang

dalam waktu beberapa hari dengan digantikan oleh mukosa lambung yang

normal secara keseluruhan.2

2.4. Helicobacter pylori Dan Lesi Pada Lambung

Tukak peptik terjadi bila asam dan pepsin menganggu

keseimbangan mekanisme pertahanan mukosa gastrointestinal. Tukak

peptik timbul dengan latar belakang peradangan kronik yang beragam.

Konjetzny (1924) menyatakan bahwa “tukak tidak bisa terjadi pada mukosa

(50)

Dari beberapa penelitian yang ada dinyatakan bahwa gastritis kronik

dapat menimbulkan tukak lambung, demikian juga peranan duodenitis

kronik dalam patogenesis tukak duodeni. Banyak perbedaan pendapat

mengenai patogenesis ini. Namun sejak ditemukan H.pylori oleh Barry

Marshall dan Robert Warren (1983), telah menambah suatu perubahan

dimensi yang baru dan penting dalam patogenesis tukak peptik, dulunya

dikenal “No acid, no ulcer”, namun sekarang “No bacterium, no ulcer”.

Tukak peptik mempunyai prevalensi infeksi, dan hampir semuanya

terdapat pada tukak duodenum. Sebagian besar pasien dengan tukak

lambung (70-80%) positif terhadap H.pylori.8,21,27

Adaptasi dan kolonisasi Helicobacter pylori

Helicobacter pylori yang hidup di dalam tubuh host mempunyai 2

fenomena yang penting yaitu berkolonisasi dan menyebabkan jejas pada

jaringan. Helicobacter pylori menempati lambung melalui proses adaptasi

yang lama untuk menginfeksi dan berkoloni pada mukosa permukaan

lambung. Semua penderita yang terinfeksi Helicobacter pylori mengalami

gastritis kronis aktif. Pada umumnya penderita asimptomatis walaupun

telah terjadi peradangan. Pada sebagian kasus bisa terjadi kerusakan

mukosa dan menimbulkan tukak. Bila infeksi berlanjut kronis, kelenjar

menjadi atrofi dan metaplasia intestinal hingga berlanjut menjadi kanker

lambung. Helicobacter pylori hanya terdapat pada permukaan sel epitel

(51)

lambung di luar organ lambung (metaplasia gastrik). Duodenum mengalami

metaplasia gastrik bila banyak terpapar asam lambung. Koloni jaringan ini

akan menjadi fokus duodenitis dan akan berkembang membentuk tukak

duodeni. Infeksi Helicobacter pylori juga bisa terdapat pada mukosa jenis

lambung pada divertikulum Meckel usus halus dan besar maupun

metaplasia gastrik pada Barret’s esofagus. Antrum merupakan tempat

kolonisasi yang paling disenangi Helicobacter pylori. 8,21

Rangkaian alami Helicobacter pylori

Rangkaian alami Helicobacter pylori pada manusia seperti yang

tertera pada gambar 1. Lebih dari 80% pasien mengalami infeksi kronik

menjadi gastritis kronik yang aktif. Sebagian besar pasien dengan gastritis

kronik tanpa gejala. Hampir 5-15% pasien berlanjut menjadi gastritis antral

yang menonjol (antral predominant gastritis) dengan menghasilkan sekresi

lambung yang berlebihan dan membentuk tukak. Sebagian kecil

berkembang menjadi sindroma gastritis atrofi yang multifokal (Multifocal

Atrophic Gastritis/MAG), yang akan berakhir menjadi tukak lambung,

(52)

I nfection (Childhood)

Colonization

Acute gastritis Chronic Active Gastritis Multifocal Atrophic Gastritis

Gambar 2.5. Natural course of Helicobacter pylori Infection.21

Gastritis merupakan peradangan kronik mukosa lambung yang

menyebabkan mukosa menjadi atrofi dan metaplasia epitel. Pada belahan

dunia yang berbeda, penyebabnya juga berbeda dengan gambaran

beragam kelainan histologi yang ditimbulkan. Di negara Barat, prevalensi

histologi berupa gastritis kronik sebagian besar (50%) dijumpai pada umur

yang lebih lanjut. Sampai saat ini, etiologi utama pada infeksi kronis

adalah disebabkan oleh Helicobacter pylori.2

2.4.1. Helicobacter pylori Dan Gastritis Kronik

Insiden dan riwayat alami gastritis kronik telah jelas diuraikan secara

sistemik sejak penggunaan endoskopik biopsi lambung. Gastritis yang

dihubungkan dengan H.pylori pertama kali dikemukakan oleh Barry

(53)

superfisial dan gastritis tipe B (sedangkan tipe A adalah gastritis autoimun).

Insiden gastritis yang dihubungkan dengan H.pylori pada anak sekitar 47%,

80% pada usia remaja dan 95% dijumpai pada orang dewasa.24 Pada

keadaan normal, lambung yang tidak terinfeksi hanya mengandung sangat

sedikit sel-sel imun maupun radang. Kolonisasi H.pylori akan menimbulkan

respons peradangan (gastritis akut), ditandai sebukan sel-sel radang

limfosit polimorfonukleus (PMN). Infeksi Helicobacter pylori menyebabkan

gejala khas sindroma gastritis akut (hipoklorhidria) yang bersifat

sementara, pasien akan sembuh setelah beberapa minggu. Bila respons

awal ini gagal menghilangkan infeksi, maka akan terjadi penimbunan

sel-sel radang neutrofil, sel-sel T, sel-sel B dan makrofag pada mukosa lambung. Jika

radang hanya terbatas pada foveola dan tidak menimbulkan atrofi, ini

disebut gastritis superfisial kronik. Beberapa minggu kemudian, sebukan

sel radang dan imun sampai ke stroma, bila semakin hebat dapat

menimbulkan gastritis kronik aktif. 1,8,21,22

Perubahan Degenerasi Sel Epitel Permukaan

Pada degenerasi sel epitel permukaan dijumpai penipisan lapisan

musin dan sel-sel terlepas (eksfoliate), yang merupakan gambaran khas

gastritis kronik yang dihubungkan dengan Helicobacter pylori aktif.

Terdapat hubungan perbandingan H.pylori yang melekat erat terhadap

plasma membran. Ini mendukung efek langsung dari bahan toksik yang

(54)

menghasilkan vakuola sitotoksin secara in vitro. Amonia yang dihasilkan

melalui aktifitas urease (enzim yang dihasilkan bakteri) juga merupakan

bahan toksik terhadap sel. Mono-N-chloramine yang terbentuk karena

interaksi amonia dengan hypochlorous acid dihasilkan oleh neutrofil yang

teraktifasi. Phospholipases yang dihasilkan oleh H.pylori dapat merusak

epitel permukaan. Phospholipases A2 dan C mengganggu phospholipid

bilayer normal membran sel epitel dan mempengaruhi integritas seluler. Di

samping itu, H.pylori juga membebaskan arachidonic acid, yang

selanjutnya diubah menjadi leucotrienes dan eicosanoids, yang akan

meningkatkan permeabilitas membran dengan melepaskan mukus dan

menimbulkan efek peradangan; serta mengurangi lapisan mukus. Mukus

yang terinfeksi H.pylori kurang hidrofobik dibandingkan mukus normal,

kemungkinan sebagian diperantarai oleh phospholipases. H.pylori

mensintesa faktor aktifasi platelet secara langsung atau menyebabkan

pelepasan sel mast untuk mengaktifkan platelet dan thrombosis, oklusi

mikrosirkulasi dan hilangnya intergritas epitel karena iskemik. Endotoksin

yang dihasilkan H.pylori menyebabkan kerusakan endotel kapiler.1,2,23,31

Aktifitas Neutrofil

Sebukan neutrofil polimorfik merupakan gambaran khas gastritis

kronik yang dihubungkan dengan H.pylori dan jika terdapat gastritis ini

menandakan suatu keadaan yang aktif. Sel radang PMN bisa dijumpai

(55)

terdapat di sekitar isthmus pit, pada kasus berat sebukan sel radang di

dalam lumen akan membentuk “abses pit”. Keadaan ini tidak dijumpai pada

metaplasia intestinal maupun gastritis atrofi, karena H.pylori akan

tereliminasi dengan sendirinya. Sel radang PMN akan menghilang setelah

diobati. Sebukan sel neutrofil PMN pada mukosa merupakan respons imun

mukosa terhadap antigen H.pylori, karena perlekatan molekul pada endotel

pembuluh darah. Kemotaksis PMN ditimbulkan oleh aktifasi komplemen

sebagai hasil antibodi spesifik, Leukotrin dan Interleukin (IL-8). Sebukan

sel radang PMN pada fase infeksi akut merupakan mekanisme non-imun

yang penting (contoh: aktifasi komplemen melalui jalur alternatif dan

pelepasan kemotaksis bakteri secara langsung).1,23,31

Peradangan kronik

Dalam keadaan normal, daerah antral mukosa lambung tidak

terdapat sel radang kronik. Pada mukosa antrum, kadang bisa terdapat

kelompokan kecil limfoid di dekat muskularis mukosa, namun tidak pada

lamina propia superfisial. Sebukan sel-sel radang kronik limfosit, sel

plasma dan sedikit sel eosinofil merupakan gambaran khas pada gastritis

kronik (kecuali gastritis stadium akhir yang disertai atrofi kelenjar dan

metaplasia intestinal dimana sebukan sel radang minimal) sebagai respons

(56)

Densitas sebukan sel radang kronik ini berhubungan dengan luas

dan tingkat kolonisasi H.pylori yang paling banyak di antrum. Adanya folikel

limfoid pada mukosa sangat erat hubungannya dengan gastritis H.pylori.

Folikel limfoid lebih menonjol pada anak-anak. H.pylori menghasilkan

antigen penting yaitu enzim urease, endotoksin LPS, heat-shock protein

62K, protein sitotoksin 87K dan 128K. Pada awalnya, antigen ini diterima

oleh monosit di lamina propria, sehingga dihasilkan TNF , IL-1 dan 6.

TNF menimbulkan perlekatan leukosit dengan sel endotel dan menarik

leukosit ke daerah infeksi. Setelah diproses, reaksi langsung dari antigen,

IL-1 dan 6 akan merangsang sel T-helper (CD4+) sehingga dihasilkan

beberapa sitokin, seperti IL-4,5,6,8 serta IFN (Interferon ). IL-8 berperan

penting untuk kemotaksis PMN (dihasilkan oleh limfosit) yang disuplai oleh

epitel sebagai respons terhadap infeksi H.pylori, IL-8 ini dapat ditingkatkan

oleh sitokin lainnya.1,23,31

IL-6 merangsang diferensiasi sel B menjadi sel plasma yang

menghasilkan antibodi spesifik. IL juga merangsang tampilan HLA-DR

kelas II pada sel epitel lambung yang kemudian menjadi APC.

Kecendrungan sel radang PMN berkumpul mengelilingi bagian proliferatif

isthmus pit menimbulkan kerusakan yang letal terhadap stem sel sehingga

(57)

2.4.2. Gastritis Atrofi

Gastritis atrofi adalah penipisan lapisan mukosa lambung yang

ditandai dengan hilangnya kelenjar karena jejas mukosa yang berulang dan

kronis. Insidens gastritis atrofi yang dihubungkan dengan H.pylori tidak

terdeteksi pada anak-anak (0%), namun pada remaja 13% dan orang

dewasa 34%.24 Atrofi paling banyak ditemukan di antrum. Gambaran awal

atrofi berupa fokus yang multipel (Multifokal Atrophic Gastritis) pada daerah

peralihan antrum dan korpus di daerah kurvatura minor. Bila berlangsung

kronis akan mengenai seluruh antrum, namun korpus hanya relatif sedikit.

Hilangnya kelenjar dapat diakibatkan oleh erosi atau tukak pada mukosa

yang disertai rusaknya lapisan kelenjar, proses radang kronik dan kerusakan

yang terjadi sedikit demi sedikit (“piecemeal”). Pada umumnya regenerasi

dapat melalui berbagai jalur diferensiasi. Pada daerah yang mengalami

regenerasi menghasilkan gambaran kelenjar metaplasia “pseudo-pilorik

(pada korpus) dan metaplasia intestinal. Prevalensi dan beratnya atrofi pada

pasien gastritis meningkat sesuai dengan meningkatnya umur. Faktor

makanan tertentu dapat mempengaruhi keadaan ini seperti konsumsi garam

berlebihan, makanan diasap, nitrit, nitrosamin. Nitrosamin dapat dirubah

menjadi nitrit, yang membantu kolonisasi an-aerobik bakteri ini dalam

suasana hiprokhlorhidria lambung. Konsumsi sayuran dan buah-buahan

antioksidan vitamin C, E, -karoten dan selenium dapat mencegah

(58)

Diduga peralihan gastritis non-atrofi menjadi atrofi berhubungan

dengan lamanya infeksi H.pylori dengan beratnya radang. Namun, jenis

gastritis kronis lainnya (gastritis autoimun atau gastritis reaktif) tidak

mempunyai efek yang sama. Penurunan prevalensi H.pylori pada lambung

disertai peningkatan atrofi kelenjar terjadi karena alasan sebagai berikut:

(1). H.pylori hanya dapat berkoloni pada epitel lambung, (tidak pada

metaplasia intestinal yang sering menyertai gatritis atrofi, sama seperti

reseptor sel intestinal kurang spesifik untuk perlekatan H.pylori); (2).

Hipokhlorhidria akibat hilangnya sel parietal (bertentangan untuk H.pylori

karena untuk bertumbuh dibutuhkan lingkungan asam); dan (3). Asam

glikoprotein yang disekresi oleh sel epitel metaplastik merupakan lingkungan yang tidak sesuai untuk H.pylori (bila dibandingkan glikoprotein netral yang dihasilkan oleh lapisan mukus normal). Dengan

alasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa bila H.pylori tidak

ditemukan pada gastritis atrofi, bukan berarti meniadakan peranan infeksi

sebagai penyebab gastritis.23

Pada penelitian yang dilakukan pada tikus di laboratorium, infeksi

H.felis dalam jangka panjang mengindikasikan peranan langsung dari

infeksi. Gastritis atrofi pada manusia yang dihubungkan dengan H.pylori

disebabkan oleh efek bakteri langsung maupun respon radang terhadap

infeksi H.pylori. Kerusakan seluler diakibatkan oleh sitotoksin, hasil amonia

atau protease, Reactive Oxygen Metabolites (ROMs) dan sel-sel radang

Gambar

Gambaran sekresi asam oleh sel parietal .................................
Gambar 2.1. Anatomi lambung.27
Gambar 2.2. Pengaliran HCO3- melalui pembuluh kapiler.27
Gambar 2.4. Sekresi asam lambung 27
+7

Referensi

Dokumen terkait

lebih jauh tentang pengaruh madu, terutama terhadap pengurangan luas lesi pada lambung tikus putih (Rattus norvegicus strain wistar) jantan. Pada penelitian

Berdasarkan hasil penelitian mengenai “Karakteristik Klinis Penderita Kanker Payudara dengan Tampilan Imunohistokimia Triple Negative (TNBC ) di RSUP Haji Adam Malik dan

Kesimpulan: Hasil penelitian sediaanbeads dari alginat yang mengandung ekstrak kunyit bersifat tertahan di lambung dan memberikan efek penyembuhan terhadap lesi lambung pada

AKTIVITAS ANTIFERTILITAS EKSTRAK ETANOL DAUN JAMBU BIJI (Psidium guajava L.) BERDASARKAN ANALISIS SEMEN DAN TAMPILAN IMUNOHISTOKIMIA CYCLOOXYGENASE-2 PADA TESTIS.. MENCIT

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui ekspresi enzim COX-2 pada sel epitel luminal dan epitel glandular uterus, akibat pemberian kurkumin setelah stimulasi

Penelitian telah dilakukan terhadap 40 sampel dan mendapatkan distribusi frekuensi penderita karsinoma sel basal berdasarkan subtipe KSB, hasil pulasan

KARAKTERISTIK KLINIS PENDERITA KANKER PAYUDARA DENGAN TAMPILAN IMUNOHISTOKIMIA TRIPLE NEGATIVE (TNBC) DI RSUP HAJI ADAM MALIK DAN DEPARTEMEN PATOLOGI.. ANATOMI FK USU MEDAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan gambaran struktur histopatologi (ketebalan lapisan amnion-korion) dan tampilan imunohistokimia fibronektin pada selaput ketuban