PERANAN PEMERIKSAAN IMUNOHISTOKIMIA COX-2
PADA KARSINOMA NASOFARING
TESIS
OLEH:
YAYAN ANDRIANTO
No.Reg:16.323
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS DEPARTEMEN PATOLOGI ANATOMI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERANAN PEMERIKSAAN IMUNOHISTOKIMIA COX-2
PADA KARSINOMA NASOFARING
TESIS
OLEH:
YAYAN ANDRIANTO
No.Reg:16.323
Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Untuk Mencapai Keahlian Dalam Bidang Patologi Anatomi
Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS DEPARTEMEN PATOLOGI ANATOMI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERNYATAAN
PERANAN PEMERIKSAAN IMUNOHISTOKIMIA COX-2 PADA KARSINOMA NASOFARING
T E S I S
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 12 November 2008
Judul : Peranan Pemeriksaan Imunohistokimia COX-2 Pada Karsinoma Nasofaring
Nama : Yayan Andrianto No.Register :16.323
Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU Medan
TESIS INI TELAH DIPERIKSA DAN DISETUJUI OLEH :
PEMBIMBING
[ Prof.dr.H.M.Nadjib Dahlan Lubis,SpPA(K) ] NIP : 130 318 033
Ketua Program Pendidikan Ketua Departemen Dokter Spesialis Patologi Anatomi Patologi Anatomi FK-USU Medan
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah,puji syukur Kehadirat Allah
swt, karena dengan Rahmat dan Karuna Nya saya dapat menyelesaikan
penelitian dan penulisan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
keahlian dalam bidang Patologi Anatomi di Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Medan.
Tingginya prevalensi Karsinoma nasopharing di Indonesia sehingga
perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang lebih canggih sesuai dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan di bidang kedokteran. Saya menyadari
bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, namun demikian saya berharap
semoga tulisan ini dapat menambah perbendaharaan bacaan sehingga dapat
bermanfaat untuk masa yang akan datang terutama dalam bidang Patologi
Anatomi serta bidang ilmu yang berkaitan dengan tukisan ini yaitu tentang
Peranan Tampilan Imunohistokimia COX -2 pada Karsinoma Nasopharing
Dengan selesainya penelitian dan penulisan tesis ini, sebagai tugas
akhir study saya, dalam kesempatan ini perkenankanlah saya untuk
menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besanya
terutama kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak
Prof.Dr.Chairuddin P.Lubis,Sp.A(K), DTM&H, yang telah memberi
Spesialis di bidang Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Medan.
Rasa terima kasih kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Bapak Prof.dr.Gontar Alamsyah Siregar,SpPD-KGEH.
Rasa terima kasih yang tulus kepada dr.H. Soekimin,SpPA selaku
Kepala Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara /RSUP H.Adam Malik Medan.
Rasa Terima kasih kepada dr. H.Joko S.Lukito, SpPA,selaku ketua
Program Pendidikan Dokter Spesialis Bidang Patologi Anatomi, yang telah
bersedia menerima, mendidik, membimbing dan memberi dukungan kepada
saya setiap hari dengan sabar selama menjalani pendidikan. Rasa terima
kasih kepada dr.T.Ibnu Alferaly,SpPA selaku sekretaris Departemen Patologi
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah banyak
memberi bimbingan dan nasehat selama menjalani pendidikan.
Saya mengucapkan rasa terima kasih yang tulusdan ikhlas serta penghargaan
yang tinggi kepada Pembimbing saya, Guru Besar di Departemen Patologi
Anatomi Universitas Sumatera Utara, Prof.dr H.M. Nadjib Dahlan Lubis,
SpPA(K) yang dengan tiada mengenal lelah dan tiada bosan dalam
membimbing, mendukung dan memberi semangat kepada saya dalam
Rasa terima kasih yang dalam kepada Prof.dr.
Gani.W.Tambunan,SpPA(K) selaku Guru Besar Departemen Patologi Anatomi
Universitas Sumatera Utara yang telah bersedia menerima, mendidik,
membimbing dan memberi dukungan kepada saya setiap hari dengan sabar
selama menjalani pendidikan.
Rasa terima kasih yang besar kepada dr.H.Delyuzar,SpPA selaku
pembimbing akademik yang dalam kesibukan sehari-hari masih
menyempatkan diri untuk memberi bimbingan dan dukungan dalam
menyelesaikan pendidikan Ilmu Patologi ini kepada saya.
Rasa terima kasih yang besar kepada dr.Betty,SpPA yang dalam
kesibukan sehari-hari masih menyempatkan diri untuk memberi dukungan dan
motifasi dalam menyelesaikan pendidikan Ilmu Patologi ini kepada saya.
Rasa terima kasih tak terhingga kepada kedua Guru – Guru saya
dr.Antonius Harkingto Wibisono,SpPA dan dr.Soegito Husodowijoyo,SpPA,
walaupun telah menjalani masa purnabakti namun tetap aktif dan semangat
dalam membimbing dan mendidik saya selama ini.
Kepada dr.Bethy S. Hernowo,SpPA(K),PhD, selaku Kepala
Laboratorium Patologi Anatomi Sandia di Rumah Sakit Santoso Bandung
yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan memberi
kesempatan kepada saya untuk melekukan pemeriksaan Imunohistokimia di
Laborarium Sandia Rumah Sakit Santoso Bandung dan juga kepada para staf
Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para supervisor di
Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra
Utara/ RSUP H Adam Malik Medan, dr.Sumondang Pardede,SpPA,
dr.Jamaluddin Pane,SpPA, dr.T.Intan Kemala, M.Pd dan dr.Stephan Udjung,
SpPA yang telah banyak membimbing saya selama menjalani pendidikan.
Terima kasih kepada dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, yang telah banyak
membantu saya dalam menyelesaikan statistik untuk penelitian ini.
Yang mulia Ibunda Hj.Anita dan Ibu mertua Radiyah yang pada saat ini
sedang melaksanakan Ibadah Haji, berkat doa, kasih sayang, bantuan,
dorongan semangat yang penuh keikhlasan. Semoga Allah swt senantiasa
memberikan kesehatan dan kebaikan dunia dan akhirat.Amin.
Rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Mak
adang H.Hanif, dr.Hj.Mardhiah Gafar, SpPA, Dra.H.Misra Gafar Apt,Msi, Dra
Farihah,MpD, Dra Sri Wedari dan kakanda Dra. Eva Yeni SKM yang telah
begitu banyak memberikan perhatian, doa, bantuan dan dorongan semangat
yang penuh keikhlasan dan ketulusan. Semoga Allah swt selalu memberi
kebaikan di dunia dan akhirat.Amin.
Ungkapan cinta kasih yang tulus serta terima kasih untuk istriku yang
tercinta dr.Ade Muliani yang dengan setia menemani saya selama menjalani
pandidikan, memberikan doa serta semangat sehingga dapat menghantarkan
saya dalam meraih cita-cita. Untuk kedua buah hatiku yang tercinta dan
menyayangi, mendoakan dan memberi semangat kepada papi dalam
menyelesaikan pendidikan.
Rasa terima kasih untuk seluruh keluaga besar, kerabat dan sanak
keluarga yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan
dukungan,semangat dan doa, semoga Allah swt membalas semua kebaikan
di dunia dan akhirat.Amin.
Kepada seluruh teman-teman sejawat senior,PPDS,pegawai dan para
analis di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara yang telah bersama-sama dalam suka maupun duka ,saling
membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat yang tak terlepas
dari khilaf dan salah dalam kesempatan ini saya juga menyampaikan
permohonan maaf yang sebesar-besarnya.Semoga Allah swt senantiasa
melimpahkan Rahmat dan karunia Nya kepada kita semua Amin
Medan, 10 November 2008
Penulis,
Dr. Yayan Andrianto
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR xii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1. Latar belakang ... 1.2. Perumusan Masalah ... 1.3. Hipotesa
1.4. Tujuan Penelitian ... 1.4.1. Tujuan Umum ... 1.4.2. Tujuan Khusus ... 1.5. Manfaat Penelitian ...
1
2.1. Nasofaring Normal ... 2.1.1. Anantomi ... 2.1.2. Histologi ... 2.2.Bahan-Bahan Karsinogenik dan Interaksi Seluler pada
Karsinoma Nasofaring……… 2.2.1. Karsinogen Kimia dan Sinar Radiasi ……… 2.2.2. Karsinogenesis Virus dan Mikroba ……….... 2.3. Epidemiologi ……… 2.4. Etiologi ……….. 2.5. Klasifikasi dari Karsinoma Nasofaring menurut WHO …………
2.5.1. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma……… 2.5.2. Non-Keratinizing Squamous Cell Carcinoma …………..
2.5.3. BasaloidSquamousCellCarcinoma……… 2.6. Virus-virus dan Onkogenik DNA ………..
2.6.1. Epstein Barr Virus (EBV)………...
2.6.2. Siklus Hidup EBV ………..
2.6.3. Patogenesis EBV pada Karsinoma Nasofaring…..
2.6.4. Hubungan EBV dengan Cox-2 ………..
2.7. Gambaran Klinis ………. 2.8. Staging ………. 2.9. Lesi-lesi lain yang dapat dijumpai pada Nasofaring …………
2.9.1. Hairy Polyp ………. 2.9.2. Shneiderian-type papiloma ………. 2.9.3. Papilloma Skuamous ……… 2.9.4. Adenoma Pituitary Ektopik ……….
2.9.5. Salivary Gland Anlage Tumour……….. 2.9.6. Nasopharyngeal Angiofibroma ……….. 2.10. Kerangka Konsepsional ………..
13
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 26
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 3.1.1. Tempat Penelitian ... 3.1.2. Waktu Penelitian ... 3.2. Rancangan Penelitian ... 3.3. Populasi, Sampel dan Besar Sampel Penelitian ...
3.3.1. Populasi ... 3.3.2. Sampel ... 3.3.3. Besar Sampel ... 3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ...
3.4.1. Kriteria Inklusi ... 3.4.2. Kriteria Eksklusi ... 3.5. Definisi Operasional Variabel ... 3.6. Prosedur Penelitian ...
3.6.1. Pembuatan Sediaan Mikroskopis ... 3.6.2. Prosedur Pulasan Imunohistokimia anti Cox-2 ...
3.7. Alat dan Bahan Penelitian ... 3.7.1. Alat-alat Penelitian ... 3.7.2. Bahan Penelitian ... 3.8. Instrumen Penelitian ... 3.9. Teknik Analisa Data ...
29
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
4.1.1 Distribusi Diagnosa Histopatologi Blok Parafin Jaringan Biopsi
Nasofaring dengan Pulasan Hematoksilin Eosin... 34
4.1.2 Distribusi kasus menurut Jenis Kelamin………. 35
4.1.3 Distribusi Kasus Menurut Umur ……... 35
4.1.4 Luas Tampilan Pulasan Imunohistokimia COX-2 pada Sel Epitel
Karsinoma Nasofaring ... 36
4.1.5 Hubungan antara Luas Tampilan Hasil Pulasan Imunohistokimia
COX-2 pada Sel Epitel Karsinoma Nasofaring... 37
4.1.6 Hubungan Tampilan Cox-2 pada Epitel Normal dari Karsinoma
Nasofaring ... 38
4.1.7 Hubungan Tampilan COX-2 pada Epitel Displasia dari Karsinoma
Nasofaring ... 40
4.18 Hubungan Tampilan COX-2 pada Stroma dari Karsinoma Nasofaring
…... 41
4.1.9 Hubungan Tampilan COX-2 pada Pembuluh Darah dari Karsinoma
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Karsinoma nasofaring merupakan jenis karsinoma mukosa nasofaring yang ditandai dengan adanya perubahan epitel pada pemeriksaan mikroskopis. Penyakit ini merupakan jenis tumor ganas terbanyak pada daerah kepala dan leher dengan insiden sekitar 60% di Indonesia. Karsinoma nasofaring menduduki urutan ke-5 dari seluruh jenis keganasan, selain karsinoma serviks, payudara, kulit dan limfoma.1,3,19,33
Karsinoma nasofaring sudah dikenal sejak lama, namun para ahli sulit menentukan siapa sebenarnya pertama kali yang melaporkan penyakit ini dalam dunia kedokteran. Walaupun demikian, dapat dikatakan bahwa Durant-Fardel (1837) merupakan penulis yang pertama kali melaporkan karsinoma nasofaring ini. Sedangkan Schmid (1881) dan Beswort (1889),
juga pernah mengemukakan penyakit ini dalam tulisannya.19,30
Kesulitan diagnosa dini pada karsinoma nasofaring sampai sekarang masih menjadi masalah oleh karena gejala dini penyakit ini tidak khas dan letak tumor yang tersembunyi sehingga sulit diperiksa. Disamping itu pemeriksaan serologi dan histopatologi yang belum memadai, seperti pewarnaan immunohistokimia.
Karsinoma nasofaring dikenal sebagai tumor ganas yang berpotensi tinggi untuk mengadakan metastase regional maupun jauh. Hal ini menyebabkan penatalaksanaan karsinoma nasofaring menjadi sulit dan belum memberi hasil yang memuaskan.
Walaupun sekarang ini deteksi dini dari karsinoma nasofaring dimulai dari stadium dini atau prakanker, dengan tersedianya dukungan kedokteran berteknologi maju seperti aspirasi biopsi, pemeriksaan rhinoskopi, nasofaringoskopi dan histopatologi yang merupakan suatu upaya pencegahan terhadap karsinoma nasofaring tersebut, namun keberhasilan pengobatan masih jauh dari yang diharapkan.
Seperti diketahui bahwa enzim Cyclooxygenase-2 (Cox-2) merupakan
suatu sintesa prostaglandin yang terinduksi bila terdapat radang serta terlibat dalam proses peradangan dan neoplasma. Ini tertampil pada berbagai macam tumor dan turut menimbulkan karsinogenesis.
Cyclooxygenase-2 inhibitor tampak mempunyai efek supresor terhadap
pertumbuhan tumor.1
Shigeyuki Murono dkk, menunjukkan bahwa induksi dari
Cyclooxygenase-2 oleh Laten Membran Protein-1 dari Epstein Barr Virus
(EBV) menyebabkan produksi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)
pada sel-sel karsinoma nasofaring.21
K.B.Tan dkk, menyatakan bahwa ekspresi Cyclooxygenase-2 sangat
sering terlihat pada epitel nasofaring dari sel normal yang progesif, displasia dan karsinoma. Sedangkan Chan dkk, menyatakan bahwa peranan ekspresi
Cyclooxygenase-2 dapat digunakan untuk mengevaluasi prognosa pada
Akhir-akhir ini Cox-2 inhibitor telah disetujui oleh the Food and Drug Administration di Amerika Serikat sebagai pengobatan adjuvant untuk
pengobatan familial adenomatous polypposis.20
Bila Cox-2 inhibitor telah dimanfaatkan sebagai pengobatan untuk penyakit lain, peneliti menilai logis bila pengobatan karsinoma nasofaring yang rumit, dapat juga ditanggulangi dengan Cox-2 inhibitor ini. Pengobatan dengan Cox-2 inhibitor ini dapat dilakukan bila dalam jaringan dijumpai tampilan Cox-2 dalam jaringan.
Dalam tulisan ini, penulis mengemukakan beberapa aspek patologi karsinoma nasofaring terutama gambaran histopatologi yang dikaitkan
dengan tampilan over-ekspresi dari Cyclooxygenase-2 pada sel-sel epitel
karsinoma nasofaring berdasarkan klasifikasi menurut histopatologi dari WHO, dan dikaitkan dengan menilai tampilan Cox-2 pada epitel normal dan epitel displasia yang berdampingan dengan sel-sel epitel ganas apabila dijumpai, dan densiti dari pembuluh darah.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
1.3. Hipotesa
Hipotesa nol:
1.3.1.Tidak ada perbedaan proporsi derajat progresif karsinoma
nasofaring
dengan luas tampilan hasil pulasan imunohistokimia Cox-2 pada
sel
epitel karsinoma nasofaring.
1.3.2. Tidak ada perbedaan derajat tampilan imunohistokimia Cox-2 pada
epitel b
normal dengan epitel karsinoma nasofaring.
1.3.3. Tidak ada perbedaan derajat tampilan imunohistokimia Cox-2 pada epitel
displasia dengan epitel karsinoma nasofaring.
1.3.4. Tidak ada perbedaan derajat tampilan imunohistokimia Cox-2 pada stroma
dan epitel karsinoma nasofaring
1.3.5. Tidak ada perbedaan derajat tampilan imunohistokimia Cox-2 pada pembuluh darah karsinoma nasofaring.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
inhibitor dalam usaha meningkatkan keberhasilan pengobatan karsinoma nasofaring.
1.4.2. Tujuan Khusus
Mengetahui hubungan antara tipe karsinoma nasofaring dengan derajat tampilan Cox-2
Mengetahui hubungan antara keberadaan Cox-2 dengan banyak pembuluh darah.
Mengetahui hubungan antara derajat tampilan Cox-2 di jaringan stroma sekitar epitel dengan derajat tampilan Cox-2 didalam epitel itu sendiri.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Hasil pemeriksaan imunohistokimia Cox-2 dapat digunakan sebagai
tambahan untuk meningkatkan keberhasilan pengobatan karsinoma nasofaring dengan Cox-2 inhibitor.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Nasofaring Normal
2.1.1 Anatomi
Nasofaring merupakan ruang trapezoid berlokasi di posterior khoana nasal, yang berlanjut ke inferior dari batas bawah palatum. Batas superior dibentuk oleh basi-sphenoid dan basi-occiput. Batas posterior dibentuk dari fascia prevertebral dari atas dan axis. Fascia pharyngobasiler hanya dibatasi oleh jaringan lunak membentuk dinding lateral nasofaring. Tuba eustasius melintang secara bilateral di fascia ini. Tuba eustasius ditutupi oleh superior dan posterior dari kartilago (torus tubarius). Fossa dari Rosenmuller terletak di superior dan posterior torus tubarius yang merupakan dasar terpenting oleh karena daerah ini sangat sering terjadi karsinoma nasofaring. Bagian inferior nasofaring mengecil dan berlanjut sebagai orofaring dari jaringan palatum. Nasofaring merupakan kelanjutan dari Waldeyer Ring.1, 18,23,24,26,28
2.1.2. Histologi
2.2. Bahan-Bahan Karsinogenik dan Interaksi Seluler pada Karsinoma
Nasofaring
Banyak bahan-bahan yang dapat menyebabkan kelainan genetik dan merangsang transformasi neoplastik dari sel-sel. Bahan-bahan ini terdiri dari karsinogen kimia dan sinar radiasi serta karsinogenesis virus dan mikroba.
2.2.1. Karsinogen Kimia dan Sinar Radiasi
Karsinogen kimia dan sinar radiasi telah diketahui dapat menyebabkan kanker pada manusia dan bukti keterkaitan virus-virus tertentu terhadap kanker manusia semakin kuat. Masing-masing kelompok bahan-bahan itu dapat bekerja sendiri-sendiri, tetapi dapat juga bekerjasama atau sinergis.
2.2.2. Karsinogenesis Virus dan Mikroba
Banyak virus-virus DNA dan RNA telah terbukti bersifat onkogenik pada berbagai hewan, mulai dari amfibi sampai ke primata dan semakin banyak
bukti bahwa pada bentuk-bentuk tertentu kanker manusia.17
2.3. Epidemiologi
Insiden karsinoma nasofaring sangat tergantung dan geografis/ negara serta etiologi yang multi faktor. Secara global dijumpai kira-kira 65.000 kasus baru, dan sebanyak 38.000 kasus yang meninggal pada tahun 2000.
penduduknya tergolong ras Mongoloid, penduduk asli Canada, Alaska dan Afrika.2
Penemuan kasus baru karsinoma nasofaring setiap tahun diberbagai penjuru dunia cukup bervariasi. Peneliti di 17 negara Eropa, menemukan rata-rata 187 kasus baru setiap tahun. Farias dkk (2003) di Rio de Janeiro menemukan 16 kasus baru, serta Nwaorgu dan Ogunbiyi (2004) di Nigeria menemukan 12 kasus baru setiap tahun, sedangkan Israel mempunyai insiden karsinoma nasofaring yang sedang, hanya menemukan 3 kasus baru karsinoma nasofaring setiap tahun. Kasus baru sangat banyak ditemukan di Hongkong yaitu sebanyak 1146 kasus karsinoma nasofaring setiap tahunnya.
Umur dan sex, kelompok resiko tinggi insiden karsinoma nasofaring setelah usia 30 tahun dan rata-rata usia 40-60 tahun. Penelitian di Taipeh, menjumpai umur rata-rata penderita lebih muda yaitu 25 tahun. Prasad dan Rumpal (1992) menjumpai insiden karsinoma nasofaring meningkat setelah usia 20 tahun dan tidak ada lagi peningkatan insiden setelah usia 60 tahun. Kamal dan Samarrai (1999), menemukan 2 % dari kasus karsinoma nasofaring adalah penderita anak dan Huang (1990), menemukan 53 kasus (1%) karsinoma nasofaring berusia dibawah 14 tahun di Guangzhou. Karsinoma nasofaring lebih sering dijumpai pada pria dibanding wanita dan dari beberapa penelitian dijumpai perbandingan penderita pria dan wanita adalah 4:1. Namun ada penelitian yang mengemukakan perbandingan pria dan wanita hanya 2:1.2,3,18,28,33
2.4. Etiologi
pada orang yang kulit putih dibandingkan yang berkulit hitam. Beberapa penulis melaporkan adanya kecendrungan orang dengan tipe HLA tertentu dapat menderita karsinoma nasofaring. Analisa genetik pada etnis China menunjukkan Histo-Kompatibilitas Mayor pada lokus HLA-A2, B17 dan BW46 dengan peningkatan resiko terjadinya karsinoma nasofaring sebanyak dua kali lipat. Hal ini menunjukkan bahwa gen yang bertanggung jawab terhadap tumor, berhubungan erat dengan lokus HLA ini. Tetapi pada penelitian di Amerika Utara gagal menunjukkan hubungan lokus HLA dengan peningkatan resiko karsinoma nasofaring.
Polimorfik genetik dari gen CYP-2 F1 menunjukkan dapat terjadi pada
daerah Guang Dong-China. Ketika polimorfik genetik CYP-2 F1 diselidiki
dan dibantu dengan polimorfik genetik yang multipel dari satu atau beberapa gen lain maka berpotensial untuk berkembang dan berprogresif
menjadi karsinoma nasofaring. Gen XRCC-1 penting didalam DNA yang
diperbaiki. Hipotesa bahwa nukleotida polimorfik tunggal XRCC-1 (codons
194Arg → Trp dan 399Arg → Gln) dihubungkan dengan resiko karsinoma
nasofaring dan interaksi dengan rokok serta tembakau. Genotip XRCC-1
Trp yang bervariasi berhubungan dengan resiko perkembangan karsinoma
nasofaring terutama pada pria yang merokok. Pada bagian lain, dengan adanya Cyclin D1 (kunci regulasi dari siklus sel) dan diubahnya aktifitas menunjukkan perkembangan karsinoma. Proporsi dari kasus karsinoma nasofaring dianggap berasal dari genotip GG Cyclin D1 sebanyak 15% dari orang Portugis dengan karsinoma nasofaring.
Penderita karsinoma nasofaring terbukti terinfeksi EBV dan genom virus dapat diidentifikasi pada sel tumor tetapi infeksi yang disebabkan oleh EBV tidak dipengaruhi oleh faktor geografis. EBV merupakan onkogen Herpes Virus manusia yang persisten menginfeksi >90% manusia. Terbukti bahwa EBV agent penyebab dari karsinoma nasofaring yang sangat sering terjadi
immun dan diregulasi dari signal selluler yang bervariasi. Genom EBV terdapat pada seluruh jaringan karsinoma nasofaring yang mengambarkan suatu tumor marker yang ideal dari karsinoma nasofaring. Menurut
banyaknya analisa dari antibody EBV dan DNA, EBV berguna secara klinis
untuk deteksi awal, monitoring dan prognosa dari karsinoma nasofaring.
Penilaian antibody IgA dan IgG merespon kompleks antigen EBV yang
bervariasi, biasanya timbul pada serologi yang multifel dan penting untuk diagnosa awal dari karsinoma nasofaring. EBNA-1 merupakan protein viral di karsinoma nasofaring dan menggambarkan target imunoterapi sel-T. Walaupun kombinasi dari 2 sintesa peptide menggambarkan
immunodominan Epitope dari EBNA-1 dan ViralCapsidAntigen (VCA-p18),
namun pada Elisa untuk deteksi spesifik dari EBV reaktif antigen IgA dan IgG di karsinoma nasofaring juga berkembang. In-vitro infeksi EBV
menghasilkan aktifasi STAT-3 dan NF-kB signal cascade sel epitel
nasofaring. Bertambahnya ekspresi dari target steam yang menurun (c-Myc,
bcl-xl, IL-6, SOCS-1, SOCS-3, VEGF dan Cox-2) di observasi. Infeksi laten EBV menginduksi supresor aktifitas dari P-38-MAPK tetapi tidak pada PCR cascade. Ukuran ekspresi dari gen EBV laten pada karsinoma nasofaring dan contoh jaringan nasofaring normal menunjukkan bahwa diregulasi dari
kunci protein yang terjadi apoptosis (bcl-2 berhubungan dengan protein A1
dan molekul inhibitor apoptosis FAS), cek poin siklus sel (AKIP, SCYL-1 dan
NIN) dan metastase (Metaloprotein Matrix) yang dikolerasi dengan nilai dari
ekspresi gen EBV pada karsinoma nasofaring. Paparan terhadap karsinogen dilingkungan, terutama Nitrosamin diduga berhubungan dengan terjadinya karsinoma nasofaring. Karsinogen lain yang berperan pada kejadian karsinoma nasofaring adalah asap rokok, asap industri, paparan terhadap formaldehid (formalin), gas kimia dan radiasi.(Lutan 2003, Wei dan Sham 2005, Thompson 2005). Adanya radang kronik pada daerah nasofaring akan lebih rentan terhadap karsinogen lingkungan dan
Beberapa klasifikasi karsinoma nasofaring telah dikemukakan oleh sebagian pengamat. Pada tahun 1921 Regaud dan Reverchon di Prancis dan Schmincke di Jerman mengemukakan bahwa karsinoma nasofaring berasal dari transformasi elemen epitel dan jaringan limfoid nasofaring yang disebut Limphoephitelioma. Svoboda pada tahun 1967 mendemonstrasikan adanya keratin dalam sitoplasma dan mengambil kesimpulan bahwa karsinoma nasofaring adalah varian dari karsinoma sel skuamous. Mukarwi tahun 1974 dari Indonesia mengajukan klasifikasi karsinoma nasofaring dalam 5 subtipe : (1). Karsinoma Epidermoid dengan/ tanpa keratin, (2). Adenocarsinoma, (3). Adenoid Cystic Carsinoma, (4). Mucoepidermoid Carcinoma, dan (5). Nasopharyngeal Carcinoma Small Cell/ Large Cell Type. Sedangkan pada tahun 1975 EORTC (European Organisation of Reseach on Treatmen of Cancer), suatu group patologi yang menangani kasus- kasus tumor kepala dan leher, menyatakan bahwa lymphoepithelioma ini adalah sebagai sebutan anatomi kliniknya saja dan nama ini diubahnya menjadi UCNT (Undifferentiated Carcinoma of Nasopharyngeal Type). Tahun 1978 pakat patologi Eropa meninjau kembali histopatologi dengan efek kemoterapi dan mengajukan konsep klasifikasi histopatologi karsinoma nasofaring dalam 2 subtipe : (1). Squamous Cell Carcinoma (SCC) dan (2). Undifferentiated Nasopharyngeal Carcinoma (UNC). Konsep ini disebut juga klasifikasi Micheau.
Nonkeratinezing Squamous Cell Carcinoma ; 2a. Tanpa infiltrasi sel limfosit, 2b. Dengan infiltrasi sel limfosit. (3). Undifferentiated Carcinoma : 3a. Tanpa infiltrasi sel limfosit, 3b. Dengan infiltrasi sel limfosit.
Pada tahun 1991, WHO kembali mengklasifikasikan karsinoma
nasofaring atas; Squamous Cell Carcinoma dengan subtipe Keratinizing
SquamousCell Carcinoma, Non-Keratinizing Carcinoma yang dibagi atas
Differentiated dan Undifferentiated. Selanjutnya terjadi penambahan 1 kategori yaitu BasaloidSquamousCellCarcinoma.2,3,5,17,18,19,26,28,30,33
2.5. Klasifikasi dari Karsinoma Nasofaring menurut WHO
2.5.1. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Keratinizing squamous cell carcinoma merupakan karsinoma invasif,
gambaran mikroskopis dengan adanya intercellular bridge dan keratinisasi
menunjukkan diferensiasi sel skuamous yang jelas. Karsinoma ini terbagi atas well differentiated, moderetely differentiated dan poorly differentiated. Mikroskopis, sel-sel tumor membentuk kelompokan berupa pulau-pulau yang irreguler, stroma desmoplastik, sebukan sel radang limfosit yang beragam berupa sel plasma, sel neutrofil dan sel eosinofil. Sel bentuk poligonal, tersusun berlapis-lapis, batas sel jelas dengan adanya
intercellular bridge, pada bagian tengah kelompokan kadang dijumpai sel dengan inti yang jernih dan sitoplasma eosinofilik, ini menunjukkan keratinisasi selular. Sebagian sel dengan inti hiperkromatik dan nukleoli
pleomorfik dari halus hingga jelas. Jenis karsinoma ini dapat terjadi secara
de nova atau sebagai efek radiasi pada pasien dengan riwayat radioterapi
beberapa tahun yang lalu sebagai penanganan terhadap tumor
2.5.2. Non-keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Non-keratinizing Squamous Cell Carcinoma merupakan tumor yang solid dan irreguler. Terdiri dari subtipe undifferentiated dan differentiated.
Subtipe undifferentiated, merupakan jenis yang tersering dari variasi
karsinoma sel skuamous pada nasofaring atau Walderyer’s Ring.
Makroskopis, berupa massa yang luas dipermukaan epitel dengan batas
yang tidak tegas, Mikroskopis, inti bulat atau oval dengan anak inti yang
besar terletak di tengah. Sel sering berdesakan atau overlapping, kadang
inti dengan kromatin kasar dan sedikit vesikuler. Sitoplasma sedikit dan amphofilik atau eosinofilik. batas dinding maupun batas antara kelompokan sel-sel dengan jaringan sekitarnya tidak jelas, sedangkan reaksi
desmoplastik pada umumnya tidak dijumpai. Subtipe differentiated,
menunjukkan selularitas yang tinggi dan tersusun padat membentuk
gambaran plexiform. Pertumbuhan sel bersifat well differentiated, kadang
intercellular bridge tidak jelas. Bentuk sel kecil, inti hiperkromatik dengan anak inti yang tidak menonjol. Stroma dengan desmoplastik yang minimal. Kadang dapat dijumpai daerah nekrotik yang luas, sebukan sel limfosit dan sel plasma banyak. Pada sebagian besar kasus dengan sebukan berat sel neutrofil dan tidak dijumpai ulserasi.
2.5.3. Basaloid Squamous Cell Carcinoma
Sebagian basaloid squamous cell carcinoma identik dengan lesi tumor
pertumbuhannya eksofitik. Secara histologi, merupakan neoplasma invasif yang terdiri dari sel basaloid yang dihubungkan dengan komponen squamous dan menunjukkan suatu bentuk pertumbuhan yang bermacam-macam, solid, lobular, cribriform, cords, trabekula, dan seperti kelenjar atau kistik. Sel basaloid dengan pleomorfik, inti hiperkromatik, sitoplasma sedikit dan dijumpai mitosis. Inti palisade pada bagian perifer. Nekrosis komedo dijumpai pada bagian sentral dari lobular neoplastik. Dapat ditemukan penimbunan hialin atau muko-hialin interseluler.2,18,19,26,28,30
2.6. Virus-Virus dan Onkogenik DNA
Beberapa virus DNA berhubungan dengan penyebab kanker pada hewan antara lain Adenovirus, hanya menyebabkan tumor pada binatang percobaan, sedangkan Virus Papiloma Bovin, dapat menyebabkan neoplasma jinak maupun ganas pada hostnya. Empat dari berbagai virus DNA pada manusia yaitu Papilloma Virus, Ebstein Barr Virus, Hepatitis B Virus, dan Kaposi Sarkoma Herpes Virus menjadi perhatian karena virus-virus ini mempunyai implikasi dalam menimbulkan kanker pada manusia. Ada beberapa hal yang perlu diketahui tentang DNA virus yaitu (1). Virus-virus DNA pengtransformasi membentuk ikatan stabil dengan genom sel host. Virus terintegrasi ini tidak mampu menyempurnakan siklus replikasinya oleh karena gen-gen virus yang sangat diperlukan untuk menyempurnakan replikasi tersebut terputus pada waktu terjadi integrasi DNA virus. (2). Gen virus tersebut ditranskripsi sejak awal (gen-gen dini) dalam siklus kehidupan penting untuk transformasi. Gen-gen ini diekspresikan didalam sel-sel yang ditransformasikan.
2.6.1. Epstein Barr Virus (EBV)
EBV merupakan Gamma Herpes Virus yang ditemukan pada tahun
dunia dan menginfeksi >90% orang dewasa. Virus infeksi persisten ditransmisi melalui kontak terhadap air liur, infeksi primer terjadi pada
anak-anak berupa infeksi latent dari limfosit-B. EBV merupakan virus yang
dibungkus oleh double stranded genom DNA yang mengekode >85 gene.
Dua subtipe dari EBV yang diketahui untuk terjadinya infeksi ialah EBV-1
dan EBV-2. EBV mengubah pertumbuhan limfosit-B, yang dihasilkan pada
transformasi pertumbuhan permanen dari regulasi ekspresi di gen viral yang multipel. Gen tersebut terdiri dari 3 protein membran yang integral berupa
latent membran protein 1, 2a dan 2b (LMP), 6 EBV nuklear antigen (EBNA
1, 2a, 3a, 3b, 3c, dan EBNA-lp) dan non coding nuclear RNAs (Ebers). Gen
yang mengkode antigen nuklear EBV tersebut dapat pula dibedakan 2 tipe
tersebut. EBV-2 mengubah sel B menjadi kurang kuat dibandingkan EBV-1
pada masa in vitro dan ketahanan hidup pada jalur sel limfoblastoid EBV-2
lebih kurang dibanding jalur EBV-1. Perubahan berhubungan pada
penyimpangan EBNA-2 yang berlanjut. Gen hasil interaksi dihubungkan
dengan adanya homolog pada molekul antiapoptosis yang bervariasi,
sitokinesis, signal transduser, promotor infeksi EBV, immortalisasi dan
transformasi.
2.6.2. Siklus Hidup EBV
EBV dapat menginfeksi sel B dengan virus berikatan pada protein
permukaan sel CR2 (CD21) menembus Gp350/ 220 glikoprotein viral. EBV
juga menginfeksi sel epitel dan merusak CD21 melalui glikoprotein GH viral. Virus diproduksi oleh sel epitel kemudian menginfeksi limfosit B dan dapat
menetap dalam waktu yang lama. Sel terinfeksi dengan EBV menghindari
apoptosis didalam lingkungannya oleh ekspresi EBV LMP-1 dan 2A.
Molekul ini bersama-sama memberi signal kehidupan yang diperlukan, karena LMP-1 merupakan CD40 yang homolog dan LMP-2a mirip ikatan
BCR. Mekanisme ini mereduksi kehilangan dari infeksi EBV sel B oleh
infeksi primer dan menetap sebagai latent maka ekspresi gen EBV terbatas, dan yang pasti hanya terdapat LMP-2A yaitu suatu protein laten yang memberikan signal kehidupan dan menginhibisi aktivitas sel B dan pintu masuk siklus litik. Ketika reaktif terjadi, litik yang berat pada protein viral akan diekspresikan dengan aktifasi inhibisi mekanisme immun. Termasuk Interleukin 10 homolog yang menginhibisi co-stimular antigen presenting fungsi dari monosit, makrofag dan beberapa interferon yang mengurangi
pelepasan sitokin, Interferon α dan . Sebagai tambahan bcl-2 homolog
prolog sel dari survival untuk inhibisi apoptosis.1,4,5,13,14,15,18,21,28
2.6.3. Patogenesis EBV pada Karsinoma Nasofaring
Keganasan seperti karsinoma nasofaring dapat muncul dari klon sel
terinfeksi EBV setelah beberapa tahun. Pada klonal, EBV dapat
menetapkan derajat dari perkembangan tumor. Genom EBV merupakan
monoklonal yang alami dan menunjukkan bahwa infeksi EBV pada
karsinoma nasofaring terjadi lebih dulu oleh ekspansi dari klon yang malignansi, spesifik kesalahan dari imun, stimulasi proliferasi sel B oleh infeksi lain dan abrasi genetik sekunder atau mutasi merupakan faktor tambahan dari karsinogenesis.
Pada undifferentiated nasopharynx carcinoma, EBV menginfeksi sel
epitel nasofaring bagian posterior fossa Rosenmuller’s di Waldeyer’s ring.
Walaupun hubungan reseptor EBV pada sel epitel tidak tampak, tetapi
permukaan protein mengandung antigen yang dihubungkan dengan sel B.
Reseptor CD21 dapat diuraikan dan EBV banyak masuk ke sel nasofaring
berupa IgA-mediated endocytosis. EBV dapat juga dideteksi pada
karsinoma insitu, suatu prekursor undifferentiated nasopharyngeal
carcinoma. Infeksi EBV dapat terjadi sebelum neoplasma dan berkembang
menjadi fenotip keganansan. EBV-1 dan 2 dapat diimplikasikan di
nasopharyngealcarcinoma. Sangat umum dan jelas gambaran genetik yaitu kehilangan kromosom 9p21 (p16, p15 dan p14) dan 3p (rassf1a) yang timbul pada awal perkembangan tumor ini. Sering delesi meningkat pada kromosom 3p (95%) dan 9p (85%) pada invasi tumor. Gen target yang
menyimpang ialah p16 dan rassf1a, gambaran genetik abnormal pada
kromosom 3p dan 9p yang timbul sebagai predisposisi sel nasofaring
menahan infeksi EBV laten. Perubahan genetik dideteksi pada epitel
nasofaring mendahului infeksi EBV. Umumnya infeksi EBV di epitel
premalignant nasofaring mendorong ekspansi klonal dari perubahan sel nasofaring dan berubah menjadi sel malignant. Gambaran yang luas dari
undifferentiated cancer berhubungan secara universal dengan EBV yang
ada didalam bentuk laten pada sel kanker dan tidak terbatas pada sekitar jaringan. Titer antibodi EBV yang meningkat terutama klas Ig A terjadi pada karsinoma nasofaring yang kemudian dikontrol. Level antibodi bertambah dengan tidak memperdulikan geografis atau etnik. Kekuatan hubungan dari
virus ini pada karsinoma nasofaring dengan ditemukannya serum EBV-DNA
sebagai deteksi awal kanker, monitoring penyakit, respon tumor untuk
penanganan dan berulang. Analisa kwantitatif dari sel EBV-DNA yang
bebas pada plasma pasien karsinoma nasofaring mempunyai sensitif yang meninggi dan spesifik (96% dan 93% respektif), merupakan tumor marker yang baik pada kanker. Walaupun sel karsinoma nasofaring mempunyai
antigen normal untuk jalannya reaksi tetapi dikenal sesuai juga untuk EBV
-spesifik CTLs namun sel tersebut tidak rusak. EBV encode viral IL-10
bertambah pada karsinoma nasofaring dan dihubungkan dengan
2.6.4. Hubungan EBV dengan Cox-2
Cyclooxygenase (Cox) merupakan enzim pada biosintetik pathway dari
Prostaglandin (Pgs) dan Thromboxans dari Asam Arakidonat. 2 bentuk Cox
yaitu Cox-1 dan Cox-2. Cox-1 dianggap suatu protein karena bentuknya
jelas yang menunjukkan “housekeeping” gen dan pada hampir semua
jaringan normal. Cox-1 timbul sebagai respon dari produksi Prostaglandin
(Pg) dan mempunyai fungsi penting pada homeostatik. Cox-1 berisi 70 kd
subunit sedangkan Cox-2 berisi 74 kd protein yang mempunyai 60%
homolog dengan Cox-1. Cox-2 terangsang selama proses radang dan
neoplasma. Cox-2 tertampil pada beberapa tumor dan dalam
perkembangannya membuktikan bahwa akan menyebabkan karsinogenesis. Telah dilaporkan terjadi perubahan metabolisme xenobiotik, yang meningkatkan pertumbuhan tumor invasif, angiogenesis dan
menghambat apoptosis. Banyak penelitian menyatakan bahwa Cox-2
inhibitor menekan pembentukan tumor. Cox-2 didorong oleh onkogen ras
dan scr, Interleukin-1, hipoxia, beno(a) pyrene, ultraviolet, Epithelial Growth Factor, transformasi Growth Factor dan tumor suppressor protein p53
menahan ekspresi Cox-2. Cox-2 mensensitisasi Prostaglandin E2 (PGE2)
untuk menstimulasi Bcl-2 dan inhibit apoptosis serta menyokong IL-6 untuk
sintesis haptoglobin. PGE2 dihubungkan dengan tumor metastase, IL-6
dengan sel karsinoma invasif sedangkan haptoglobin dengan implantasi dan
angiogenesis. Karakteristik Cox-2 adalah mengurangi ekspresi dalam
respon glukokorticoid. Cox-2 mengandung bermacam-macam stimulasi
seperti cytokine, hormon dan mitogen. Cox-2 untuk terjadinya angiogenesis
baru-baru ini dilaporkan dimana over ekspresi Cox-2 pada sel karsinoma
colon manusia menyokong angiogenesis pada invitro yang menembus
angiogenic faktor sebagai Vaskular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan
Basic Fibroblast Growth Factor (BFGF) . Pada semua tumor, infeksi EBV merupakan laten yang predominan. Gen EBV diekspresikan pada infeksi
-3c, -lp) dan 3 LMP (LMPs.LMP1, -2a,-2b) pada tipe-2 latent merupakan EBNA 1 dan 3 LMPs yang diekspresikan pada karsinoma nasofaring dan pada nasal T/ Natural Kill Cell lymphoma. LMP1 dideteksi lebih 70% pada karsinoma nasofaring dan semua infeksi EBV preinvasif lesi nasofaring. Juga diyakini bahwa LMP1 berperan didalam karsinogenesis dari karsinoma
nasofaring. LMP1 menyokong ekspresi Cox-2 yang diperantarai oleh Nf-αβ
sebagai faktor penting menembus CTAR1 dan CTAR2 pada sel epitel
nasofaring. Induksi Cox-2 yang terjadi sebagian kecil akan menghasilkan
produksi VEGT di LMP1-expressing sel. Oleh karena LMP1 positif pada NPCS maka cendrung menyerang lebih banyak diluar nasofaring dan
lymphnode dari pada LMP1 negatif pada NPCS. Induksi Cox-2 oleh LMP1
menyokong untuk invasif angiogenesis dan LMP1 menambah produksi
Prostaglandin E2 pada sel epitel nasofaring yang ditembus induksi Cox-2.
Pada inflamasi kronik dan metabolik produk dari fagositosis sering disertai dengan pembentukan berlebihan dari reaksi oksigen dan nitrogen yang merusak DNA, lipoprotein dan membran sel. Sel inflamasi akan membebaskan metabolisme dari Asam Arakidonat atau Eisosanoid
termasuk Prostanoid, Prostaglandin dan Leukotrines. Cyclooxygenase
merupakan kunci enzim yang mengontrol rate-limiting step pada sintesa prostanoid dan sel neoplasma, serta metabolisme yang diproduksi oleh aksi
Cox-2 pada asam arakidonat menunjukkan benturan pada
bermacam-macam pathway karsinogenik. Transformasi neoplastik dari proliferaif sel
steam dan invasi tumor memerlukan suatu microenviroment dari aktifasi sel
inflamasi dan elemen sel stromal.5,8,21
2.7. Gambaran Klinis
dilakukan biopsi bila jumlah dari setiap gejala klinik mencapai 50. Kriteria klinik Digby memberi nilai untuk setiap gejala klinik sebagai berikut :
GEJALA KLINIK NILAI
Dapat dilihat atau diraba tumor padat dalam nasofaring 25
Kelenjar limfe leher membesar 25
Gejala khas hidung (epistaksis, obstruksi) 15
Gejala khas telinga (kurang pendengaran, tinnitus) 5
Paralisis satu atau lebih syaraf otak (diplopia, neuralgia, trigeminus)
5
Sakit kepala mulai unilateral 5
Eksoptalmous unilateral/ bengkak dirahang/ bengkak di temporal
5
Bila jumlah mencapai 50 maka diagnosa klinis karsinoma nasofaring dapat dipertanggungjawabkan.19,30,33
2.8. Staging
Staging dapat digunakan untuk menentukan terapi dan prognosa. Staging dari karsinoma nasofaring berupa :
Staging 0 : Karsinoma terbatas pada lapisan nasofaring, juga bisa pada
karsinoma in-situ
Staging 1 : Karsinoma terbatas pada nasofaring
Staging 2 : Karsinoma dapat menyebar dikeluar nasofaring ke cavum nasal
ke kelenjar limfe pada satu sisi dari leher mungkin atau tidak mungkin menyebar ke jaringan lunak di kerongkongan.
Staging 3 : Karsinoma menyebar ke kelenjar limfe pada dua sisi leher dan
mungkin atau tidak mungkin menyebar ke jaringan lunak di kerongkongan atau karsinoma menyebar ke kerongkongan dan kelenjar limfe pada satu-dua sisi dari leher atau karsinoma menyebar ke tulang dan kelenjar limfe satu-dua sisi leher.
Staging 4 : karsinoma dapat menyebar ke saraf wajah, kerongkongan, tulang
tengkorak atau tulang sekeliling mata atau karsinoma menyebar ke kelenjar limfe di leher, menyebabkan timbul membesar 6 cm atau karsinoma menyebar ke sisi lain dari tubuh.1,18,28
2.9. Lesi-lesi lain yang dapat dijumpai pada nasofaring
2.9.1. Hairy Polyp
Diduga merupakan kelainan perkembangan dengan manifestasi klinis
polip pada kulit dengan rambut dan kelenjar sebaseus. Hairy polyp klasik
2.9.2. Shneiderian – Type Papilloma
Jenis tumor ini jarang ditemukan, merupakan tumor jinak yang berasal dari pelapis epitel nasofaring. Biasanya ditemukan pada orang tua umur 45-79 tahun dengan mean 65 tahun, insiden pada laki-laki dibandingkan dengan wanita adalah 1 : 2-3. Secara anatomi, khoana posterior terletak di antara derivat ektodermal (Shneiderian membrane) dan derivat endodermal mukosa saluran pernafasan, masing-masing pada traktus sinonasal dan nasofaring. Perpindahan embrionik aberant dari mukosa Shneiderian normal dapat dipandang sebagai lesi nasofaring. Besar diameternya tidak lebih 2 cm. Sering bersamaan dan menyebabkan penyumbatan saluran nafas pada nasal. Secara histopatologi Shneiderian papilloma traktus sinonasal pada rongga hidung dan sinus paranasal berupa jenis yang inverted.
2.9.3. Papilloma Skuamous
Jarang tejadi pada nasofaring dan morfologinya hampir mirip dengan papiloma skuamous pada laring.
2.9.4. Adenoma Pituitary Ektopik
Secara klinis bentuk primer berupa efek occupying space, obstruksi airway, sinusitis kronik, headache, epistaxix, kebocoran cairan cerebrospinal dan gangguan penglihatan. Gambaran radiologi dapat menemukan letak lesi dan menentukan hubungan ke selle tursica. Secara histopatologi terletak pada submukosa dan tumor tidak berkapsul, solid dan organoid dan bentuk trabecula, Sel dengan inti bulat sampai oval dan kromatin menyebar, anak inti kecil dan tidak jelas dengan sitoplasma bergranul eosinofilik, amphofilik atau jenih. Hialinisasi stromal extracellular menonjol. Inti pleomorfik, mitosis dan nekrotik jarang dijumpai.
2.9.5. Salivary Gland Anlage Tumour
2.9.6. Nasopharyngeal Angiofibroma
Suatu tumor jinak dengan selluler yang tinggi dan vaskularisasi yang banyak pada mesenkim neoplasma yang sering terjadi pada laki-laki. Biasa lebih dari 1% dari seluruh tumor nasofaring, anak laki-laki dan remaja sampai laki-laki muda sering dijumpai. Tumor sering pada dinding posterolateral nasal dari nasofaring. Sering meluas ke sekeliling jaringan. Tumor berukuran 22 cm dengan rata-rata 4 cm. Bentuk polipoid dengan bulat atau membentuk multinoduler, warna merah dan pemotongan permukaan abu-abu kehitaman.
Secara histologi terdapat gambaran proliferasi vaskuler pada stroma, pembuluh darah dengan dinding tipis, seperti celah (staghorn) atau dilatasi dengan kapiler yang besar. Sel endotelial gemuk tetapi lunak. Stoma fibrous berisi sel spindel, bulat angular atau sel bentuk stella dan fibrous kolagen yang sangat banyak. Latar belakang degenerasi miksoid sering dijumpai. Inti dari sel stroma sering bland tetapi multinukleated atau pleomorfik. Sel mast dapat dijumpai tetapi elemen inflamasi tidak ada. Lesi yang lama
2.10. Kerangka Konsepsional
Faktor genetik
Mukosa Nasofaring Lingkungan
EBV
LMP 1
COX-2
VEGF
Metastase
Karsioma Karsinoma
Nasofaring Nasofaring
Displasia
Suppression ofBAB 3
Metodologi Penelitian
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
3.1.1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di laboratorium patologi anatomi fakultas kedokteran USU dan praktek swasta di Medan.
3.1.2. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan selama bulan Juli 2007 hingga juli 2008 yang meliputi studi kepustakaan, pengumpulan data, pengumpulan sampel, penelitian dan penulisan.
3.2.Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan observasional dengan pendekatan
cross-sectional, dimana pada tiap kasus tidak diberi perlakuan, namun hanya melihat hasil pulasan/ tampilan imunohistokimia Cox-2. Pengukuran variabelnya dilakukan hanya satu kali dan pada saat itu.
3.3. Populasi, Sampel dan Besar Sampel Penelitian
3.3.1. Populasi
Populasi penelitian mencakup sediaan blok parafin yang telah didiagnosa sebagai karsinoma nasofaring berdasarkan klasifikasi WHO pada Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU dan praktek swasta di Medan.
3.3.2. Sampel
3.3.3. Besar Sampel
Besar sampel yang diperkirakan pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus :
n = z.d2 .p (1-p) d2
Keterangan :
• n = jumlah populasi
• z = tingkat kepercayaan (95% Æ z-score = 1,96)
• p = proporsi (seluruh lesi), bila tidak ada dianggap 50% atau 0,5 • d = ketepatan (0,5)
Hasil perhitungan :
n = 1,96 x 0,52 x 0,5 (0,5)2 = 42,6
Maka jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 43 sampel
3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.4.1. Kriteria Inklusi
Karsinoma nasofaring dan displasia 3.4.2. Kriteria Eksklusi
• Sediaan tidak adequat (hanya mengandung darah)
• Sediaan tidak dapat didiagnosa
• Sediaan hanya sedikit sekali
• Limfoma
3.5. Defenisi Operasional Variabel
- Karsinoma Nasofaring
Merupakan suatu karsinoma yang timbul dari mukosa yang ditunjukkan pada perubahan skuamous.
- Karsinoma Sel Skuamous
Merupakan neoplasma ganas yang berasal dari pelapis epitel mukosa kavum nasal atau sinus paranasal yang terdiri dari tipe keratinisasi dan non –keratinisasi.
- Karsinoma Sel Skuamous Berkeratin
Adalah karsinoma invasif yang menunjukkan diferensiasi skuamous yang
jelas pada pemeriksaan mikroskopis baik bentuk intercellular bridge atau
berkeratin yang banyak pada tumor.
- Karsinoma Sel Skuamous yang tidak Berkeratin
Tumor ganas yang berbentuk solid dan irreguler.Yang terdiri dari berdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi.
- Karsinoma Lymphoepithelial atau Karsinoma yang tidak Berdiferensiasi
3.6. Prosedur Penelitian
3.6.1. Pembuatan Sediaan Mikroskopis
Sediaan mikroskopis dibuat dengan cara sebagai berikut :
1. Blok parafin yang telah dikumpulkan, disimpan dalam freezer sampai cukup dingin, selanjutnya dipotong tipis dengan menggunakan mikrotom
dengan tebal 4 μm. Setiap blok parafin, dipotong sebanyak 2 kali,
masing-masing untuk pulasan HE dan pulasan imunohistokimia Cox-2.
2. Sampel blok paraffin yang sudah dipotong tipis (4 μm), selanjutnya
ditempelkan pada objek gelas.
3. Untuk pulasan immunohistokimia Cox-2, digunakan kaca objek yang telah di coating agar jaringan dapat menempel pada kaca objek selama proses pulasan imunohistokimia.
Proses pembuatan coating kaca objek gelas adalah sebagai berikut : 1. Kaca objek direndam seluruhnya dalam aseton selama 10 menit
2. Masukkan dalam larutan APES (3-Aminopropyltriethoxysilene, Cat No.a 3548 sigma 5 ml + Aseton 195 ml) selama 10 menit.
3. Kaca objek selanjutnya dicuci dengan akuades
4. Keringkan dalam inkubator dengan suhu 37°C selama semalaman
5. Kaca objek siap digunakan.
Cara menempelkan potongan tipis pada kaca objek adalah menggunakan ujung pisau atau pinset yang runcing, potongan - potongan tipis dipisahkan dan diratakan dengan memasukkan potongan tersebut dalam air hangat, setelah mengembang pindahkan ke objek gelas. Selanjutnya, kaca objek
yang mengandung potongan jaringan diletakkan diatas alat pemanas (hot
plate) atau dimasukkan dalam air panas (floating bath) dengan temperatur
50-60°C. Setelah parafin melunak karena panas, potongan jaringan
menyandarkan pada alat pemanasan. Setelah kering, potongan jaringan siap untuk dipulas.
3.6.2. Prosedur Pulasan Imunohistokimia anti Cox-2
1. Siapkan preparat berupa potongan tipis jaringan 4 μm yang sudah
ditempelkan pada objek gelas yang telah dicoating
2. Preparat yang siap dipulas dimasukkan dalam inkubator 1 malam
dengan suhu 38°c
3. Deparafinisasi dengan mencelupkan preparat ke dalam cairan Xylol sebanyak 3 kali, masing-masing selama 5 menit
4. Rehidrasi dengan cara mencelupkan secara berurutan dalam Etanol 98% sebanyak 3 kali, masing-masing selama 5 menit, Alkohol 90%, 80% dan 70%, masing-masing selama 5 menit
5. Bilas dengan air mengalir selama 5 menit
6. Masukkan ke dalam H2O2 0,3 % dalam metanol dingin selama 15 menit
7. Bilas dengan akuades selama 5 menit
8. Masukkan ke dalam larutan Buffer Sitrat ( yang telah dipanaskan sebelumnya dalam microwave selama 5 menit dan kemudian sebanyak 2 kali selama 5 menit)
9. Dinginkan selama 20 menit dalam suhu ruangan
10. Bilas dengan akuades selama 5 menit dan keringkan air di sekitar potongan jaringan
11. Tandai disekeliling potongan jaringan yang ingin dipulas dengan pap pen 12. Bilas dalam larutan PBS selama 5 menit
13. Bersihkan dari sisa cairan pencuci
14. Teteskan blocking serum pada sediaan yang telah ditandai dengan pap pen selama 5 menit
15. Bilas dalam larutan PBS selama 5 menit 16. Bersihkan dari sisa cairan pencuci
17. Teteskan antibodi primer anti Cox-2 dengan pengenceran 1:50, inkubasi
18. Bilas dalam larutan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 5 menit 19. Bersihkan dari sisa cairan pencuci
20. Teteskan dengan antibodi sekunder, biotinylated universal, inkubasi
dalam tempat tertutup dengan suhu ruangan selama 10 menit
21. Bilas dalam larutan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 5 menit 22. Bersihkan dari sisa cairan pencuci
23. Teteskan dengan streptavidin-peroxidase conjugate, inkubasi dalam
tempat tertutup pada suhu ruangan selama 10 menit
24. Bilas dalam larutan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 5 menit 25. Bersihkan dari sisa cairan pencuci
26. Teteskan larutan kromogen dab selama 5-10 menit 27. Bilas dengan air mengalir
28. Counterstain dengan hematoksilin mayer selama 2 menit 29. Bilas dengan air mengalir
30. Dehidrasi dengan cara mencelupkan secara berurutan pada cairan
alkohol 70%, 80%, 90% dan etanol 98% masing-masing 20 celupan 31. Masukkan dalam cairan xylol selama 3 menit
32. Teteskan entelan dan tutup dengan kaca penutup.
3.7. Alat dan Bahan Penelitian
3.7.1. Alat-alat Penelitian
Alat-alat yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah : mikrotom, waterbath, hotplate, freezer, inkubator, staining jar, rak objek glass, rak inkubasi, pensil diamond, pipet mikro, timbangan bahan kimia, kertas saring, pengukur waktu, gelas erlenmeyer, gelas beker, tabungan sentrifuge 15 ml, microwave, spin master, thermolyte stirrer, gelas objek, kaca penutup, entelan dan mikroskop cahaya.
3.7.2. Bahan Penelitian
Pulasan imunohistokimia menggunakan metode Labelled Streptavidin
yang digunakan adalah Lyphilisised Monoclonal Antibody (NCL-COX-2), Clone 4H12 (Novocastra, Inggris), dengan pengenceran 1:50.
Novocastra Universal Detection Kit (NCL-RTU-D) terdiri dari : 1. 1 botol Blocking serum
2. 1 botol Biotinyllated Universal Secondary Antibody 3. 1 botol Streptavidin-Peroxidase Conjugate
Larutan kromogen dab yang digunakan adalah liquid dab substrate kit (ncl-l-dab) (novocastra, inggris) : 3,3’- diaminobenzidine.
Larutan PBS (Phosphate Buffered Saline) pH 7,2 ; terdiri dari : • Na2HPO4 1,92 g
• Na2H2PO4H2O 1,92 g
• NaCl 5,90 g • Dalam Akuades 1,0 l
Larutan Buffer Sitrat (Sodium Citrate Buffer) pH 6,0 terdiri dari : • 1,92 g citric acid dalam akuades 1 L
• 0,5 ml tween 20 counterstain dengan menggunakan hematoksilin
mayer.
3.8. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan adalah hasil pulasan imunohistokimia
Cox-2 terhadap sampel sediaan jaringan biopsi nasofaring. Untuk penilaian
terhadap pulasan imunohistokimia Cox-2 adalah sebagai berikut : • Kontrol positif : karsinoma nasofaring yang telah diketahui positif
• Kontrol negatif : karsinoma nasofaring dengan antibodi primer yang
digantikan dengan serum normal
• Positif : pada sitoplasma sel berupa warna coklat.
• Skor +1 : < 10% sel yang terpulas fokal
• Skor +2 : 10-49% sel yang terpulas fokal
• Skor +3 : > 50% sel yang terpulas difus
Sel-sel tumor dengan skor 0 dan +1 dinilai sebagai tampilan lemah sedangkan dengan skor +2 - +3 di nilai sebagai tampilan kuat.
Penilaian terhadap pembuluh darah dari karsinoma nasofaring:
Density pembuluh darah :
Skor 1: sedikit
Skor 2: banyak
3.9. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data dilakukan secara deskriptif. Pelaporan data penelitian
secara deskriptif adalah dengan memaparkan hasil penilaian pulasan
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
Pada pemeriksaan pulasan imunohistokimia Cox-2 terhadap 43 sediaan
blok parafin jaringan biopsi nasopharing yang didiagnosa histopatologi
dengan pulasan Haematoksilin Eosin sebagai Karsinoma Nasopharing
berdasarkan klasifikasi WHO. Adapun perincian distribusi diagnosa
histopatologi dari 43 sedian blok parafin jaringan biopsi nasopharing dengan
pulasan Haematoksilin Eosin seperti tertera dalam tabel 4.1.1.
Tabel 4.1.1. Distribusi Diagnosa Histopatologi Blok Parafin Jaringan Biopsi
Nasopharing dengan Pulasan Hematoksilin Eosin.
Diagnosa Jumlah %tase
Karsinoma sel skuamous berkeratin 1 2,3
Karsinoma sel skuamous tidak berkeratin 8 18,6
Karsinoma tidak berdiferensiasi 34 79,1
Jumlah 43 100
Diagnosa terbanyak dari 43 sampel blok parafin dengan pulasan
Hematoksilin Eosin adalah Karsinoma sel skuamous berkeratin
berjumlah 1 dari 43 kasus (2,3%), Karsinoma sel skuamous tidak
berkeratin sebanyak 8 dari 43 kasus (20,4%), dan Karsinoma tidak
berdiferensiasi sebanyak 34 dari 43 kasus (79,1%).
Tabel 4.1.2. Distribusi Kasus menurut Jenis Kelamin
Jenis Kelamin n %
Laki-laki 29 67,4
Perempuan 14 32,6
Jumlah 43 100
Jumlah kasus yang terbanyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki
yaitu 29 dari 43 kasus (67,4%) dibanding perempuan sebanyak 14 dari 43
kasus (32,6%).
Tabel 4.1.3. Distribusí Kasus menurut Umur
Umur (tahun) Frekuensi %
10 - 19 2 4,7
20 - 29 4 9,3
30 - 39 4 9,3
40 - 49 15 34,9
50 - 59 11 25,6
60 - 69 5 11,6
≥ 70 2 4,7
Jumlah 43 100
Jumlah kasus yang terbanyak ditemukan pada umur 40-49 tahun yaitu 15
dari 43 kasus (34,1%), sedangkan umur 10-19 tahun hanya 2 dari 43
Tabel 4.1.4. Luas Tampilan Pulasan Imunohistokimia Cox-2 pada Sel
Epitel Karsinoma Nasofaring
Skor Luas Tampilan Cox-2 Frekuensi %tase
0 Negatif 6 14
1 0-10% 8 18,6
2 10-49% 19 44,2
3 >50% 10 23,3
Jumlah 43 100
Sel epitel karsinoma nasofaring sebagian besar menunjukkan tampilan
Cox-2 sedang (luas tampilan 10-50%) yaitu 19 dari 43 kasus (44,2%);
tampilan Cox-2 kuat (luas tampilan >50%) sebanyak 10 dari 43 kasus
(23,3%); sedangkan tampilan Cox-2 lemah (luas tampilan 0-10%)
sebanyak 8 dari 43 kasus (18,6%). Yang tidak menampilkan Cox-2
Tabel 4.1.5. Hubungan antara Luas Tampilan Hasil Pulasan
Imunohistokimia Cox-2 pada Sel Epitel Karsinoma Nasofaring
P
Pada penelitian ini, 15 dari 34 kasus (34,9%) menunjukkan tampilan
COX-2 sedang (luas tampilan 10-49%) pada sel karsinoma tidak berdiferensiasi. Derajat tampilan Cox-2 kuat ( ≥50%) dijumpai pada 4 dari 8 kasus karsinoma sel skuamous tidak berdiferensiasi (14%) dan derajat
tampilan sedang pada karsinoma sel skuamous berkeratin yang terbanyak
ditemukan hanya 1 kasus (2,3%).
Analisa statistik dengan menggunakan uji X2, diperoleh p= 0,399Æ
proporsi derejat progresif karsinoma nasofaring dengan luas tampilan
hasil pulasan imunohistokimia Cox-2 pada sel epitel karsinoma
nasofaring menurut WHO.
Tabel 4.1.6. Hubungan derajat tampilan Cox-2 pada Epitel Normal
dari Karsinoma Nasofaring
Epitel
Derajat Cox-2
Normal Karsinoma
0 0 1
1 4 0
2 5 9
3 3 2
Jumlah 12 12
Pada penelitian ini, derajat tampilan Cox-2 pada epitel normal yang terbanyak adalah 5 dari 12 kasus dengan epitel normal yaitu derajat
tampilan sedang dan derajat tampilan Cox-2 pada karsinoma yang
berhubungan dengan epitel normal terbanyak juga dijumpai 9 dari 12
Analisa statistik dengan menggunakan uji X2, diperoleh p= 1,51Æ p
> 0,05, maka hipotesa diterima yang artinya tidak terdapat perbedaan
derajat tampilan Cox-2 pada epitel normal dari karsinoma nasofaring.
Epitel
Derajat
Cox-2
Normal Karsinoma
Rendah 4 1
Tinggi 8 11
Jumlah 12 12
Derajat tampilan Cox-2 tertinggi pada epitel normal adalah 8 dari 12 kasus epitel normal dan begitu juga dijumpai pada epitel karsinoma yang
berhubungan dengan epitel normal adalah 11 dari 12 kasus karsinoma
4.1.7. Hubungan Derajat Tampilan Cox-2 pada Epitel Displasia dari
Karsinoma Nasofaring
Epitel Derajat
COX-2
Displasia Karsinoma
0 0 0
1 5 2
2 4 6
3 1 2
JUMLAH 10 10
Pada derajat tampilan Cox-2 epitel displasia menunjukkan derajat
tampilan Cox-2 terbanyak dengan nilai sedang yaitu 4 dari 10 kasus
epitel displasia dan derajat tampilan Cox-2 sedang juga dijumpai pada 6
dari 10 kasus epitel karsinoma yang berhubungan dengan displasia.
Analisa statistik dengan menggunakan uji X2, diperoleh p = 1,41 Æ p
> 0,05, maka hipotesa diterima yang artinya tidak terdapat perbedaan
derajat tampilan Cox-2 pada epitel displasia dari karsinoma
Epitel
Derajat
Cox-2
Displasia Karsinoma
Rendah 5 2
Tinggi 5 8
Jumlah 10 10
Derajat tampilan Cox-2 terendah maupun tertinggi pada epitel
displasia adalah masiing-masing 5 kasus epitel displasia dan epitel
karsinoma yang berhubungan dengan epitel displasia adalah 8 dari 10
kasus karsinoma dengan derajat tampilan Cox-2 tertinggi.
4.1.8. Hubungan Derajat Tampilan Cox-2 pada Stroma dari Karsinoma Nasofaring
Derajat Cox-2 Stroma Karsinoma
0 33 6
1 7 8
2 3 19
3 0 10
Jumlah 43 43
Jumlah kasus yang terbanyak dari karsinoma nasofaring yang
dijumpai stroma dengan derajat tampilan Cox-2 negatif yaitu 33 dari 43
karsinoma yang berhubungan dengan stroma merupakan kasus yang
terbanyak.
Analisa statistik dengan menggunakan uji X2, diperoleh p= 5,28 Æ p
< 0,05, maka hipotesa ditolak yang artinya ada hubungan terbalik
tampilan Cox-2 pada epitel yang mengalami keganasan dengan derajat
tampilan Cox-2 pada stroma. Dalam hal ini perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut dengan sampel yang lebih banyak lagi.
Derajat Cox-2 Stroma Karsinoma
Rendah 40 14
Tinggi 3 29
Jumlah 43 43
Derajat tampilan Cox-2 terrendah pada stroma adalah 40 dari 43
kasus yang berhubungan stroma dengan karsinoma yaitu derajat tampilan
Cox-2 terbanyak dan epitel karsinoma yang berhubungan dengan stroma
adalah 29 dari 43 kasus karsinoma dengan derajat tampilan Cox-2
4.1.9. Hubungan Derajat Tampilan Cox-2 pada Pembuluh Darah dari
Karsinoma Nasofaring.
P.darah
Derajat COX-2
Sedikit Banyak Jumlah
0 6
Jumlah kasus karsinoma nasofaring yang terbanyak
dihubungkan antara pembuluh darah dengan derejat tampilan Cox-2
sedang yaitu 16 dari 30 kasus (53,3%) karsinoma nasofaring dengan
pembuluh darah yang banyak dan pembuluh darah dengan derejat
tampilan Cox-2 negatif yang banyak yaitu 6 dari 13 kasus (46,2%) dari
karsinoma nasofaring yang terdapat pembuluh darah.
Analisa statistik dengan menggunakan uji X2, diperoleh p= 0,000 Æ
p < 0,05, maka hipotesa ditolak yang artinya terdapat perbedaan
derajat tampilan Cox-2 pada pembuluh darah dari karsinoma
4.2. Pembahasan
Pada pemeriksaan jaringan biopsi nasofaring dengan pulasan
Hematoksilin Eosin didapatkan sebanyak 43 kasus karsinoma nasofaring
berdasarkan klasifikasi WHO dengan kasus karsinoma tidak berdiferensiasi
merupakan kasus yang terbanyak dengan jumlah 34 dari 43 kasus (79,1%).
Sementara untuk kasus karsinoma sel skuamous berkeratin maupun tidak
berkeratin sangat sedikit sekali dijumpai pada penelitian ini.
Dari data penelitian ini diperoleh bahwa penderita laki-laki lebih
banyak yaitu 29 dari 43 kasus (67,4% ) dan perempuan 14 dari 43 kasus
(32,7%) dengan perbandingan 2 : 1 (Tabel 4.1.2). Hal ini sesuai dengan
berbagai laporan dari penelitian serupa, yang menyatakan bahwa laki-laki
mempunyai resiko lebih besar untuk menderita karsinoma nasofaring
dibandingkan perempuan.(Munir D,2007).
Pada hasil pemeriksaan jaringan biopsi nasofaring juga diperoleh
hasil berdasarkan kelompok umur penderita karsinoma nasofaring yang
terbanyak 15 dari 43 kasus adalah antara 40-49 thn (34,9%) dan umur
10-19 tahun hanya 2 dari 43 kasus.(4,7%). Umur penderita yang termuda
adalah 18 tahun dan yang paling tua adalah 75 tahun. Sedang rata-rata
umur penderita karsinoma nasofaring pada penelitian ini adalah 46,2
Dijumpainya tampilan Cox-2 pada seluruh subtipe karsinoma nasofaring dalam penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan dalam
klasifikasi WHO dan oleh T-B Tan (2002) yang menyatakan bahwa tidak
ada hubungan antara sub tipe histologi karsinoma nasofaring dengan
tampilan Cox-2.
Derajat tampilan Cox- 2 pada sel epitel nasofaring yang terbanyak
adalah derejat tampilan Cox-2 sedang(10-50%) yang berjumlah 19 dari 43
kasus (44,2%). Sedang derajat tampilan Cox-2 kuat (> 50%) adalah 10 dari 43 kasus (23,3%) (lihat tabel 4.1.4. dan 4.1.5.). Kami berasumsi bahwa
dengan tertampilnya Cox-2 ini maka makin besar kemungkinannya menjadi
ganas. Dilaporkan juga pada penelitian ini bahwa karsinoma nasofaring
dengan tampilan Cox-2 yang terbanyak adalah jenis karsinoma tidak
berdiferensiasi. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Tan (2002)
bahwa banyak kasus karsinoma nasofaring yang tidak berdiferensiasi
menampilkan Cox-2.
Dalam penelitian ini penilaian terhadap derajat tampilan Cox-2 dalam epitel normal dan epitel displasia dilakukan secara ’internal’ yaitu epitel
normal dan epitel displasia yang ada dalam slide yang sama dengan
karsinoma. Pada kasus dijumpai epitel normal, dan kasus epitel displasia
berdampingan dengan epitel yang mengalami keganasan. Kami menilai
keganasan dengan epitel normal dan epitel displasia dengan perbandingan
internal lebih bermakna dibandingkan dengan membandingkan sediaan
yang berbeda (eksternal).
Diantara kasus karsinoma nasofaring yang diseleksi (43 kasus),
12 kasus masih terlihat epitel normal dan 10 kasus dijumpai epitel
displasia. Nampaknya derajat tampilan Cox-2 pada epitel yang
mengalami keganasan lebih tinggi dibandingkan dengan displasia.
Demikian juga halnya dengan derajat tampilan Cox-2 pada epitel yang
mengalami keganasan dibandingkan dengan epitel normal.
Namun berhubung karena kasusnya masih terlalu sedikit kami
belum dapat memastikan secara statistik dan hal ini memerlukan
penelitian lebih lanjut dengan kasus yang lebih banyak.
Derajat tampilan Cox-2 terbanyak pada stroma dari karsinoma yaitu
33 dari 43 kasus yang tidak menunjukkan tampilan Cox-2 dan derajat
tampilan Cox-2 sedang terbanyak pada karsinoma yang dihubungkan
stroma sebanyak 19 dari 43 kasus. Dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan terbalik tampilan Cox-2 pada epitel yang mengalami keganasan
dengan derajat tampilan Cox-2 pada stroma. Dalam hal ini perlu dilakukan
Derajat tampilan Cox-2 pada karsinoma nasofaring yang berhubungan dengan pembuluh darah diperoleh 16 dari 30 kasus (37,2%)
yang mempunyai banyak pembuluh darah pada derejat tampilan Cox-2
sedang. Dibandingkan dengan nilai tampilan Cox-2 negatif yang hanya 6
kasus dari 13 kasus (14%), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara peningkatan tampilan Cox-2 dengan pertumbuhan
pembuluh darah. Makin banyak pembuluh darah yang tumbuh maka akan
meningkatkan kecenderungan resiko terjadinya metastase. Hal ini sesuai