SE
K O L A
H
P A
S C
A S A R JA NA
ANALISIS FAKTOR–FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
HASIL PANEN KELOMPOK PETANI JAGUNG
DI KABUPATEN ACEH TENGGARA
TESIS
Oleh
IRVAN ISKANDAR
037019034
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS FAKTOR–FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
HASIL PANEN KELOMPOK PETANI JAGUNG
DI KABUPATEN ACEH TENGGARA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Dalam Program Ilmu Manajemen Pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
IRVAN ISKANDAR 037019034
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL PANEN
KELOMPOK PETANI JAGUNG DI
KABUPATEN ACEH TENGGARA
Nama : Irvan Iskandar
Nomor Pokok : 037019034
Program Studi : Ilmu Manajemen
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Rismayani, SE, MS) (Prof. Dr. Ir. Sumono, MS
Ketua Anggota
)
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. Dr. Rismayani, SE, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B, M.Sc)
Telah diuji pada
Tanggal : 22 Desember 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Rismayani, MS
Anggota : 1. Prof. Dr. Ir. Sumono, MS
2. Dr. Arlina Nurbaity Lubis MBA
PERNYATAAN
Dengan ini, saya menyatakan bahwa Tesis saya yang berjudul :
”Analisis Faktor–Faktor Yang Mempengaruhi Hasil panen kelompok petani Jagung di Kabupaten Aceh Tenggara”
Adalah karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan oleh siapapun juga sebelumnya.
Sumber-sumber daya yang diperoleh dan digunakan telah dinyatakan secara jelas dan jelas.
Medan, November 2010 Yang membuat Pernyataan,
ANALISIS FAKTOR–FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL PANEN KELOMPOK PETANI JAGUNG
DI KABUPATEN ACEH TENGGARA
ABSTRAK
Tanaman jagung merupakan salah satu komoditi strategis, bernilai ekonomis dan mempunyai peluang untuk dikembangkan. Dalam beberapa tahun terakhir, kebutuhan akan jagung terus meningkat lebih tinggi dibandingkan laju produksi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruh hasil panen jagung petani kelompok di Kabupaten Aceh Tenggara.Pertanian tradisional diarahkan menjadi pertanian modern (agribisnis) yaitu upaya peningkatan pendapatan petani melalui reorientasi kebijakan dan pengembangan pertanian. Orientasinya dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hasil panen. Pendekatan yang digunakan adalah
survey (primer) dengan cluster stratified random sampling, menggunakan
multiple regression analysis. Populasi penelitian mencakup seluruh kelompok petani yang tersebar di Kabupaten Aceh Tenggara dengan kegiatan melakukan penanaman di jagung.Hasil panen petani jagung dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : jenis bibit, luas lahan, jenis lahan, jenis pupuk, obat-obatan dan pengetahuan para petani kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan dan pengaruh dari faktor tersebut, baik secara bersama maupun parsial, relatif kuat dan berpengaruh nyata terhadap produksi jagung. Reorientasi dan revitalisasi kebijakan pembangunan pertanian di Aceh Tenggara harus segera dilakukan dengan meningkatkan perhatian dan pemberian insentif oleh pemerintah daerah baik berupa pemberian bibit unggul, pupuk, obat-obatan serta peningkatan pengetahuan melalui bimbingan teknis yang berkesinambungan.
ANALYSIS OF FACTORS THAT INFLUENCED CORN HARVEST THROUGH FARMERS GROUP IN
SOUTHEAST ACEH
ABSTRACT
Corn is a strategic commodity, economical, and possible to develop. Data showed that in current year, demand of corn domestic increase significantly (more higher) rather than supply. The aim of the reasearch is to identify the factors that could be influence in farmer’s harvet of corn. Research used survey approach (primary data), cluster stratified random sampling which multiple regression analysis.Corn harvest influenced by factors: seed, plants wide, kind of land, fertilizer, insecticide-pesticide and knowledge. Result showed that all the factors had corellated and influeced, both general and partial, in corn harvest. Develpoing corn production should be done basically by local goverment, reorientation and revitalisation of policy, improve the attention and provide more incentive, finally create more value added for the farmers and communtiy.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, atas segala rahmat dan karunia Allah SWT yang
berlimpah, sehingga penulis mampu meneyelesaikan tesis dengan judul “
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL
PANEN JAGUNG PETANI KELOMPOK DI KABUPATEN ACEH
TENGGARA”.
Penulisan tesis ini juga terlaksana berkat dukungan dari berbagai pihak
yang pada kesempatan ini tidak lupa penulis sampaikan terima kasih
sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat ;
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM), SP.A (K),
selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan
kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan menyelesikan Sekolah
Pascasarjana.
2. Bapak Prof. Dr.Ir. A. Rahim Matondang, MSI, selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang senantiasa dengan sabar dan
secara berkesinambungan meningkatkan layanan pendidikan di Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Paham Ginting, MS., selaku Ketua Program Studi Ilmu
Manajemen Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera.
4. Ibu Prof. Dr. Rismayani, SE, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang
telah banyak memberikan saran dan kritik yang konstruktif dalam
membimbing penulis sejak awal hingga selesainya tesis ini.
5. Bapak Prof. Dr. Ir. Sumono, MS selaku Direktur PPs USU dan juga selaku
6. Ibu Dr. Arlina Nurbaity Lubis, MBA selaku Anggota Dosen Pembanding
yang telah banyak memberikan saran dan kritik yang konstruktif dalam
membimbing penulis sejak awal hingga selesainya tesis ini.
7. Drs. HB. Tarmizi, SU selaku Anggota Dosen Pembanding yang telah banyak
memberikan saran dan kritik yang konstruktif dalam membimbing penulis
sejak awal hingga selesainya tesis ini.
8. Drs. Syahyunan, M.Si selaku Anggota Dosen Pembanding yang telah banyak
memberikan saran dan kritik yang konstruktif dalam membimbing penulis
sejak awal hingga selesainya tesis ini.
9. Para Dosen di lingkungan PPs USU, khususnya Program Studi Pascasarjana
Ilmu Manajemen.
10.Ayahanda Drs. H. Syahbudin BP, MM , dan Ibunda Hj. Murni Dewi Selian
yang telah memberi petunjuk dan memotivasi baik secara moril maupun
material kepada penulis untuk mengikuti Program Pascasarjana hingga
selesai.
11.Istri dan ananda yang tercinta yang telah memberikan dukungan sepenuhnya
kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
12.Teman saya Pahala Indra Budi Sitompul sebagai sahabat dan tim kelompok
belajar dalam menempuh Program Sekolah Pascasarjana.
13.Rekan-rekan mahasiswa dilingkungan PPs USU, khususnya Program Studi
Ilmu Manajemen.
14.Jajaran Pimpinan, Staf Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Tenggara yang telah
Meskipun penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk dapat
membuat penelitian ini dengan sebaik-baiknya namun sebagai manusia biasa
penulis mempunyai keterbatasan kemampuan dan pengetahuan, sehingga tulisan
ini jauh dari sempurna, baik dalam penyajian maupun isinya. Penulis
mengucapkan terima kasih atas kritikan untuk membangun dan menyempurnakan
tulisan ini. Semoga tulisan ini bermanfaat dan berguna kepada pembaca dan
khususnya pada penulis sendiri.
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan serta memaafkan semua
kesalahan dan dosa kita. Amin.
Medan, November 2010
Penulis
Irvan Iskandar
RIWAYAT HIDUP
Pada Tanggal 30 April 1979, terlahir seorang Putra dari pasangan Suami/Istri Drs.
H. Syahbuddin BP, MM dan Hj. Murni Dewi Selian. Diberi nama Irvan Iskandar,
beragama Islam, berdomisili di Jalan Raje Bintang No. 136 Kuta Cane, dan telah
menikah dengan Elviana Sembiring, SKM, MM, dikarunia 2 orang putri yang
diberi nama Chumaira Nayla Balqis dan Delyanoor Ilva Syah.
Pada tahun 1991 menamatkan Pendidikan Sekolah Dasar dari SD Negeri 01 Kuta
Cane, Tahun 1994 menamatkan Pendidikan MTsN Medan, Tahun 1997
menamatkan Pendidikan Sekolah Menengah Umum dari SMU Negeri 4 Medan,
dan Tahun 2002 menamatkan Pendidikan Strata-1 (S1) dari Jurusan Manajemen
Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Bandung (UNISBA), dan kini kuliah di
Program Studi Ilmu Manajemen Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera
Utara, Medan.
Dari Bulan Agustus 2002 hingga Bulan Juni 2004 bekerja di Biro Pemerintahan
Sekretariat Provinsi Aceh, bulan April 2005 hingga bulan Oktober 2007 bekerja di
Kantor Dinas Koperasi Kabupaten Aceh Tenggara, Bulan Oktober 2007 hingga
bulan Februari 2008 bekerja di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten
Aceh Tenggara, dari Februari hingga Agustus 2008 bekerja di Bagian Umum dan
Perlengkapan Sekretariat Daerah Aceh Tenggara, bulan Agustus 2008 hingga Kini
DAFTAR ISI
2.1.1. Transformasi Struktural Pertanian ... 15
2.1.2. Pengertian Produksi dan Produsen Pertanian ... 17
2.1.3. Sistem Produksi Pertanian ... 18
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 46
3.2. Metode Penelitian ... 46
3.3. Jenis dan Sumber Data ... 46
3.4. Populasi dan Sampel ... 47
3.5. Identifikasi Variabel Penelitian ... 49
3.6. Definisi Operasional Variabel ... 50
3.7. Metode Analisis Data ... 52
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 54
4.1. Gambaran Umum Aceh Tenggara ... 54
4.2. Hasil Penelitian ... 63
4.2.1. Karakteristik Responden ... 63
4.2.2.1. Variabel Jenis Bibit ... 65
4.2.2.2. Variabel Jenis Lahan ... 66
4.2.2.3. Variabel Luas Lahan ... 66
4.2.2.4. Variabel Pupuk ... 67
4.2.2.5. Variabel Obat-obatan ... 69
4.2.2.6. Variabel Pengetahuan ... 71
4.3. Pembahasan ... 73
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 75
5.1. Kesimpulan ... 75
5.2. Saran ... 76
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1.1. Perkembangan Produksi Jagung Berdasarkan Negara
Tahun 1999 – 2007 (ribu Ton) ... 2
1.2. Perkembangan Produksi dan Perdagangan Jagung Dunia 1999 – 2007 (Ribu Ton) ... 3
1.3. Perkembangan Rata-rata Luas Panen (ha) dan Pertumbuhan (%) Periode 1999 – 2007 ... 4
1.4. Perkembangan Produksi Jagung Kabupaten Aceh Tenggara 1990 – 2009 ... 6
1.5. Perkembangan Perbandingan Harga Jagung Aceh Tenggara Sumatera Utara 1990 – 2009 ... 8
2.1. Kebutuhan Benih Jagung pada Berbagai Jarak Tanam ... 28
3.1. Daftar Nama Kecamatan, Jumlah Desa dan Jumlah Kelompok Petani Berdasarkan Komoditi Utama di Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2010 ... 48
3.2. Teknik Sampling Penelitian Petani Jagung di Kabupaten Aceh Tenggara, 2010 ... 49
3.3. Distribusi Sampel Penelitian Menurut Kecamatan di Kabupaten Aceh Tenggara, 2010 ... 49
4.1. Rincian Luas Daerah Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2009 ... 54
4.2. Rincian Luas Lahan Sawah dan Bukan Sawah (ha) Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2009 ... 55
4.3. Potensi Lahan Pertanian Kabupaten Aceh Tenggara Tahun
4.7. Mata Pencaharian Penduduk Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2009 ... 60
4.8. Produktifitas Sektor Pertanian Kabupaten Aceh Tenggara, 2009 ... 61
4.9. Luas Tanam Intensifikasi (ha) Kabupaten Aceh Tenggara, 2009 ... 61
4.10. Perkembangan Produktifitas Tananaman Jagung Kabupaten Aceh Tenggara 1990 – 2009... 63
4.11. Karakterisitk Responden Penelitian, 2010 ... 64
4.12. Status Petani Jagung dan Luas Lahan ... 65
4.13. Jenis Bibit Tanaman Jagung yang Digunakan ... 66
4.14. Jenis Lahan yang Dimanfaatkan untuk Menanam Jagung .. 66
4.16. Penggunaan Pupuk pada Tanaman Jagung ... 67
4.17. Alasan Penggunaan Pupuk ... 68
4.18. Jenis Pupuk yang Digunakan ... 69
4.19. Frekwensi Hama dan Penyakit pada Tanaman Jagung ... 69
4.20. Konsultasi Hama dan Penyakit ... 69
4.21. Terjadinya Hama dan Penyakit ... 70
4.22. Hama dan Penyakit Dapat Diatasi ... 70
4.23. Sumber Pengetahuan Tentang Tanaman Jagung ... 71
4.24. Merasa Cukup dengan Pengetahuan Tanaman Jagung ... 72
4.25. Dengan Bekal Pengetahuan, Hasil Panen Meningkat ... 72
4.26. Reliability Statistics ... 73
4.27. Case Processing Summary ... 73
4.28. Model Summary ... 73
4.29. Anovab 4.30. Coefficients ... 73
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Panen Jagung di
Kabupaten Aceh Tenggara ... 14
2.1. Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Mengatasi Kelebihan
Produksi Pada Saat Panen Raya ... 41
2.2. Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Mengatasi Kekurangan
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
ANALISIS FAKTOR–FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL PANEN KELOMPOK PETANI JAGUNG
DI KABUPATEN ACEH TENGGARA
ABSTRAK
Tanaman jagung merupakan salah satu komoditi strategis, bernilai ekonomis dan mempunyai peluang untuk dikembangkan. Dalam beberapa tahun terakhir, kebutuhan akan jagung terus meningkat lebih tinggi dibandingkan laju produksi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruh hasil panen jagung petani kelompok di Kabupaten Aceh Tenggara.Pertanian tradisional diarahkan menjadi pertanian modern (agribisnis) yaitu upaya peningkatan pendapatan petani melalui reorientasi kebijakan dan pengembangan pertanian. Orientasinya dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hasil panen. Pendekatan yang digunakan adalah
survey (primer) dengan cluster stratified random sampling, menggunakan
multiple regression analysis. Populasi penelitian mencakup seluruh kelompok petani yang tersebar di Kabupaten Aceh Tenggara dengan kegiatan melakukan penanaman di jagung.Hasil panen petani jagung dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : jenis bibit, luas lahan, jenis lahan, jenis pupuk, obat-obatan dan pengetahuan para petani kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan dan pengaruh dari faktor tersebut, baik secara bersama maupun parsial, relatif kuat dan berpengaruh nyata terhadap produksi jagung. Reorientasi dan revitalisasi kebijakan pembangunan pertanian di Aceh Tenggara harus segera dilakukan dengan meningkatkan perhatian dan pemberian insentif oleh pemerintah daerah baik berupa pemberian bibit unggul, pupuk, obat-obatan serta peningkatan pengetahuan melalui bimbingan teknis yang berkesinambungan.
ANALYSIS OF FACTORS THAT INFLUENCED CORN HARVEST THROUGH FARMERS GROUP IN
SOUTHEAST ACEH
ABSTRACT
Corn is a strategic commodity, economical, and possible to develop. Data showed that in current year, demand of corn domestic increase significantly (more higher) rather than supply. The aim of the reasearch is to identify the factors that could be influence in farmer’s harvet of corn. Research used survey approach (primary data), cluster stratified random sampling which multiple regression analysis.Corn harvest influenced by factors: seed, plants wide, kind of land, fertilizer, insecticide-pesticide and knowledge. Result showed that all the factors had corellated and influeced, both general and partial, in corn harvest. Develpoing corn production should be done basically by local goverment, reorientation and revitalisation of policy, improve the attention and provide more incentive, finally create more value added for the farmers and communtiy.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia (1997-1998) terutama bagi
Indonesia, memberikan pelajaran yang sangat berharga bahwa para pelaku
ekonomi pada sektor pertanian mampu bertahan dan memberikan kontribusi yang
positif terhadap pertumbuhan ekonomi (Mubyarto, 2004). Kenaikan harga-harga
pangan yang terjadi tidak cukup merangsang bagi produksi pertanian, bahkan
peluang tersebut dimanfaatkan oleh negara tetangga (Vietnam dan Thailand). Hal
ini mengindikasikan bahwa pondasi sektor pertanian yang dibangun selama ini
tidak dibangun dengan kokoh dan mendasar. Reorientasi dan revitalisasi
kebijakan pembangunan pertanian harus segera dilakukan.
Salah satu reorientasi kebijakan pertanian adalah merubah paradigma yang
selama ini terlanjur berkembang, yaitu penyediaan harga pangan murah, yang
secara jelas hanya menguntungkan bagi konsumen dan di sisi lain tidak
memberikan rangsangan bagi para pelaku pada sektor pertanian. Dengan
demikian, revitalisasi kebijakan pertanian harus diarahkan pada kesejahteraan
petani yang berasaskan kerakyatan dan keadilan.
Upaya meningkatkan kesejahteraan petani dilakukan sejalan dengan upaya
menciptakan ketahanan pangan (food security). Konsekwensi logis dari upaya ini
adalah tuntutan keterlibatan pemerintah secara aktif dan nyata, misalnya
berbagai komoditi pertanian, peningkatan fasilitas dan insentif pertanian, yang
kesemua itu berlaku universal bagi komoditi unggulan, termasuk tanaman jagung.
Jagung merupakan salah satu komoditi strategis dan bernilai ekonomis, serta
mempunyai peluang untuk dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber
utama karbohidrat protein setelah beras. Disamping itu jagung berperan sebagai
pakan ternak bahan baku industri (termasuk industri perunggasan) dan rumah
tangga (Ditjen Tanaman Pangan, 2002). Beberapa tahun terakhir, kebutuhan akan
jagung terus meningkat. Rata-rata kebutuhan jagung domestik setiap tahun
meningkat sebesar 6,6% sementara laju produksi hanya sekitar 2,5% setiap
tahunnya, sementara rata-rata produksi jagung nasional sekitar 3,2 ton/ha/tahun,
(Deptan, 2007). Hal ini membuktikan walaupun ditingkatkan produksinya,
permintaan terhadap jagung akan tetap nyata (effective demand).
Tabel I.1 diatas memberikan gambaran bahwa produksi jagung disetiap
negara menunjukkan peningkatan yang cenderung fluktuatif. Negara produsen
jagung terbesar adalah U.S dan dari 16 negara produsen tersebut, Indonesia berada
pada urutan terakhir. Hasil produksi setiap negara, tidak secara langsung
diperdagangkan dalam pasar internasional. Pemenuhan kebutuhan domestik
menjadi prioritas masing-masing negara. Sebagai catatan, bahwa produksi jagung
yang diperdagangkan di pasar dunia relatif konstan atau sekitar 11,5 persen dari
produksi jagung dunia.
Tabel 1.2. Perkembangan Produksi dan Perdagangan Jagung Dunia 1999- 2007 (Ribu Ton)
Tahun Produksi Perdagangan Dunia Persentase (%)
1999 538.575 62.226 11,55
Produk jagung yang diperdagangkan di pasar dunia sebagian besar berasal
dari Amerika Serikat, China, Fiji, Mexico dan Argentina. Namun tidak semua
negara produsen jagung menjadi negara pengekspor. Brazil merupakan salah satu
produsen jagung dunia, tetapi bukan merupakan negara eksportir jagung. Hal ini
dikarenakan tingginya kebutuhan domestik akan jagung, sehingga hampir semua
produksinya dialokasikan untuk pemenuhan dalam negeri. Hal serupa terjadi pada
Uni Eropa, dimana produksi jagung hampir diperuntukkan bagi negara-negara 8
berperan sebagai negara eksportir jagung, sekaligus berperan sebagai negara
importir.
Indonesia, yang terdiri dari ribuan pulau dan bercirikan negara agraris,
menjadikan tanaman jagung juga sebagai salah satu komoditi unggulan yang
selama ini dilakukan oleh masyarakat (petani) baik sebagai tanaman utama
maupun sebagai tanaman tumpang sari. Tabel dibawah ini menunjukkan bahwa
luas tanaman jagung, khususnya luas panen, berbeda-beda antara satu propinsi
dengan propinsi lainnya.
Tabel 1.3. Perkembangan Rata-rata Luas Panen (ha) dan Pertumbuhan (%)Periode 1999-2007
Propinsi Luas Panen (ha) Rata-rata Pertumbuhan (%)
I. Sumatera
Propinsi Luas Panen (ha) Rata-rata Pertumbuhan
2. Kalimantan Tengah 4.816 8,08
Sumber : BPS, 1999-2007 (diolah)
Melalui tabel diatas, konstribusi Pulau Jawa & Madura menduduki urutan
pertama, sebesar 1.941.797 ha (58,06%). Bila dilihat dari rata-rata pertumbuhan
per tahun selama kurun waktu tersebut, pertumbuhan luas panen pulau Sumatera
adalah yang paling tinggi yaitu rata-rata 8,77 persen per tahun. Salah satu propinsi
di Sumatera yang memiliki peluang dalam meningkatkan produksi jagung adalah
Propinsi Aceh. Jika dilihat dari struktur perekonomian, dominan seluruh
kabupaten bercirikan pertanian, termasuk Aceh Tenggara.
Kabupaten Aceh Tenggara merupakan daerah penghasil jagung terbesar di
Propinsi Aceh. Dilihat dari keunggulan komparatif, kabupaten ini sangat
diuntungkan karena berbatasan lansung dengan Provinsi Sumatera Utara yang
memiliki industri pengolahan jagung. Berdasarkan data statisik (BPS Agara,
2008), saat ini sekitar 80% dari total 152.042 orang penduduk Kabupaten Aceh
Tenggara tinggal di wilayah pedesaan. Lebih dari 78.72% diantaranya
menggantungkan hidup pada sektor pertanian.
Tabel 1.4. Perkembangan Produksi Jagung Kabupaten Aceh Tenggara 1990-2009
Tahun Produksi (ton) Perkembangan (%)
1990 147.453 -
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Tenggara, 2010
Melalui tabel diatas, secara jelas bahwa produksi menunjukkan
pertumbuhan yang fluktuatif. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 1992
dimana masyarakat secara massal melakukan penanaman jagung secara serentak
karena beberapa pengalaman petani sebelumnya mampu memberikan nilai tambah
yang baik bagi keluarga. Hal itu mendorong masyarakat untuk menanam jagung.
Disisi lain, penurunan terbesar terjadi pada tahun 2002-2004, yang disebabkan
oleh kondisi mencekam akibat konflik. Akibatnya, masyarakat tidak berani untuk
turun ke ladang untuk menanam jagung. Sebagai informasi, bahwa lahan produksi
Para petani di Kabupaten Aceh Tenggara memiliki ciri antara lain : petani
gurem. Dalam kegiatannya, para petani tersebut banyak menghadapi kendala,
yaitu tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk menggunakan alat dan mesin
pertanian (alsintani), banyaknya hama, harga pupuk dan obat-obatan yang relatif
mahal serta tidak menentunya curah hujan. Disamping itu, sifat jagung yang
volumenya besar tetapi nilainya relatif kecil (bulky), tidak tahan disimpan lama,
lokasinya yang terpencar, rantai pemasaran yang relatif panjang (transit market),
belum tersedianya industri pengolahan jagung serta tanaman yang bersifat
musiman menjadikan harga jual jagung menjadi sangat fluktuatif. Misalnya, saat
panen raya harga jatuh mendekati Rp. 1.600 dan pada saat paceklik harga berada
pada kisaran Rp.2.200. Singkatnya, harga memiliki pengaruh terhadap pendapatan
dan kesejahteraan petani.
Disisi lain, perbedaan harga antar daerah juga menjadi stimulator bagi
daerah lainnya dalam memanfaatkan peluang tersebut. Selama ini, harga jual di
pasar Aceh Tenggara relatif lebih rendah dari pada harga di Sumatera Utara. Hal
ini disebabkan, karena di Sumatera Utara terdapat sejumlah industri pengolahan
jagung, baik berupa pakan ternak maupun lainnya yang menuntut tersedianya
bahan baku secara berkesinambungan. Berikut ditampilkan tabulasi data,
perbandingan harga jual jagung antara Aceh Tenggara dengan Sumatera Utara.
Tabel 1.5. Perkembangan Perbandingan Harga Jagung Aceh Tenggara – Sumber : Dinas Pertanian Kab Aceh Tenggara, 2010
Kiranya, disinilah, peran pemerintah melalui kebijakannya diharapkan
dapat menjadi stimulator yang bermuara pada terciptanya kestabilan harga yang
menguntungkan bagi para petani. Analisis keunggulan komparatif dan daya saing
usahatani jagung sudah banyak dilakukan. Secara umum, dapat disimpulkan
bahwa usahatani jagung mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif, tidak
hanya pada regim substitusi impor tetapi juga pada regim promosi ekspor.
Artinya, usahatani jagung menghasilkan keuntungan yang layak dan mempunyai
Relevan dengan peluang pasar, Rachman (1998) mengungkapkan bahwa
menurut pola perdagangan, Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam
usahatani jagung, baik untuk tujuan perdagangan antar daerah, substitusi dan
tujuan peningkatan ekspor layak diusahakan di hampir semua daerah di Indonesia.
1.2. Perumusan Masalah
Melalui uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah penelitian
sebagai berikut : faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi hasil panen jagung
petani kelompok di Kabupaten Aceh Tenggara?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruh hasil panen jagung petani kelompok di Kabupaten
Aceh Tenggara.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat untuk :
1. Pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten), khususnya Dinas terkait
(Pertanian) dalam menentukan program pengembangan komoditi unggulan
sektor pertanian khususnya tanaman jagung di Propinsi Aceh.
2. Sebagai landasan dalam penyusunan, arah dan kebijakan pengembangan
3. Sebagai wawasan dan memperkayah khasanah keilmuan bagi penulis,
khususnya mengenai fakor-faktor (controlable) yang dapat mempengaruhi
hasil panen jagung para petani di Kabupaten Aceh Tenggara.
4. Sebagai acuan atau landasan untuk penelitian selanjutnya terutama yang
terkait dengan tanaman jagung.
1.5. Kerangka Berfikir
Badan Litbang Pertanian (1999) mengarahkan pertanian tradisional
menjadi pertanian modern (agribisnis) yaitu upaya peningkatan pendapatan petani
melalui reorientasi kebijakan penelitian dan pengembangan pertanian, dan
mendukung pengembangan agribisnis, yaitu perubahan dari peningkatan kuantitas
menjadi peningkatan kualitas. Badan Litbang Pertanian sendiri telah
melaksanakan program Prima Tani pada beberapa wilayah di Indonesia, dengan
mengembangkan model agribisnis terintegrasi secara vertikal dan horizontal
berbasis lahan marjinal dalam program pengembangan model agribisnis berbasis
inovasi teknologi pertanian. Program ini dilaksanakan untuk mendukung
pengembangan komoditas pertanian unggulan dalam suatu kawasan dengan
didukung oleh beberapa unsur terkait (kelembagaan) dalam proses produksi dan
pemasaran hasil. Tujuan akhir dari program ini adalah mendukung upaya
peningkatan pendapatan petani dan unsur yang terkait dalam usahatani dan
pemberdayaan masyarakat pertanian pada umumnya. Sejalan dengan hal tersebut,
kiranya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hasil panen jagung :
1. Jenis bibit. Penggunaan jenis bibit yang berbeda diyakin dapat mempengaruhi
bibit hybrida lebih banyak memberikan hasil panen daripada penggunaan bibit
lokal, (Dahlan et.al, 1996).
2. Luas lahan. Terdapat kecenderungan pada masyarakat bahwa semakin besar
luas lahan yang digunakan maka semakin banyak produksi yang dihasilkan.
Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian yang menyatakan bahwa senjang
hasil antara rata-rata produksi yang dicapai petani saat ini dengan potensi hasil
kemampuan lahan masih cukup lebar, (Swastika dkk, 2001).
3. Jenis lahan. Budidaya tanaman jagung pada dasarnya dapat dilaksanakan pada
dua kelompok lahan, yaitu lahan kering dan lahan basah (baik sawah irigasi
maupun sawah tadah hujan). Penggunaan lahan basah diyakini mampu
memberikan hasil panen yang relatif banyak dibandingkan lahan kering. Hal
ini menyebabkan para petani berupaya memanfaatkan lahan basah yang ada
untuk budidaya tanaman jagung (Kasryno, 2002). Disisi lain, pada awal tahun
1980-an, lahan kering lebih dominan digunakan untuk tanaman jagung
daripada lahan basah (Mink et al. 1987).
4. Pupuk, merupakan salah satu faktor input yang memegang peran penting dalam
produktitas tanaman. Teknik penggunaan pupuk dan Mutu dan produksi jagung
di Sulawesi Selatan dapat ditingkatkan melalui penggunaan pupuk NPK dan
pupuk S, (Syafruddin et.al 1998) dan (Subandi, 1998).
5. Pengetahuan, dari hasil pengkajian (Litbang Deptan Bengkulu 2007) dapat
disimpulkan bahwa diperlukan perbaikan teknik budidaya, melalui peningkatan
pengetahuan para petani melalui pengenalan terhadap teknologi baru,
penggunaan benih bermutu, penyesuaian dosis pupuk, dan perlakuan benih
pengetahuan baru, terkait dengan pengelolaan dan penanganan pasca panen
mengingat hal ini turut mempengaruhi kualitas jagung. Selama ini, peningkatan
produksi jagung di Indonesia belum diikuti oleh penanganan pascapanen yang
baik. Petani kurang mendapatkan informasi tentang kegiatan panen dan
pascapanen yang dapat mengurangi biaya dan menekan susut mutu jagung.
Karena itu, petani di beberapa wilayah pengembangan jagung masih belum
merasakan nilai tambah dengan meningkatnya kualitas produk biji jagung
(Firmansyah 2006).
Upaya meningkatkan kesejahteraan petani jagung melalui perbaikan pada
proses penanaman dan penanganan pasca panen merupakan kegiatan yang dapat
dilakukan secara bersama, yang pada akhirnya diharapkan harga jual mereka
mengalami peningkatan. Singkatnya, harga memegang peranan yang penting.
Semakin tinggi harga jual maka semakin meningkat pula keinginan untuk
berproduksi (sebagai insentif). Harga jual di daerah lain juga mempengaruhi harga
jual pada daerah tetangga. Purwoto dkk (2005) melakukan kajian terhadap
pengaruh harga komoditi jagung di daerah lain (tetangga) terhadap harga jagung
di daerah penghasil, secara tegas dinyatakan bahwa ada korelasi harga di tingkat
dunia (luar negeri) dan derajat integrasi spatial baik antara pasar dunia dan pasar
domestik, maupun antar pasar domestik dalam era liberalisasi perdagangan
dengan mengambil studi kasus di Sulawesi Selatan.
Simatupang dan Syafaat (1999) menjelaskan melalui analisis dekomposisi
fluktuasi harga di pasar domestik ditemukan bahwa dibandingkan kondisi kuartal
IV 1998, harga jagung pada kondisi kuartal I 1999 mengalami penurunan 0,6
yang sama terjadi depresiasi rupiah. Disisi lain, pada saat harga jagung dunia
menurun, pemerintah justru meningkatkan derajat liberalisasi perdagangan
melalui penghapusan beberapa hambatan tarif. Hal ini terlihat dari pertumbuhan
komponen sisa yang negatif (-16,2%), yang mengindikasikan bahwa penurunan
harga domestik lebih banyak disebabkan oleh penurunan siklus harga dunia dan
peningkatan liberalisasi perdagangan. Terdapatnya korelasi negatif antara harga
jagung domestik dengan nilai tukar memberi makna adanya penguatan nilai tukar
cenderung akan menurunkan harga jagung domestik.
Instrumen penting lainnya yaitu kebijakan pemerintah. Mubyarto (2004)
menjelaskan bahwa pemerintah tidak boleh menyerah menghadapi kekuatan
kekuatan ekonomi dunia yang bersemangat kapitalistik-neoliberal seperti
“kesepakatan-kesepakatan” WTO dan “Konsensus Washington” 1989. Pedoman
kebijakan pembangunan pertanian didasarkan atas asas kerakyatan, keadilan, dan
nasionalisme, yang harus berpihak pada bagian masyarakat yang lemah dan
miskin. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat digambarkan kerangka pemikiran
Sumber : Badan Litbang Pertanian, 1999
Gambar 1.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Panen Jagung di Kabupaten Aceh Tenggara
1.6. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis
sebagai berikut : Jenis Bibit, Jenis Lahan, Luas Lahan, Pupuk, Obat-obatan dan
Pengetahuan merupakan faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap hasil
panen jagung petani kelompok di Kabupaten Aceh Tenggara.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Produksi Pertanian
2.1.1. Transformasi Struktural Pertanian
Chenery dan Sirquin, dalam teori perubahan struktural, sebagai hasil studi
empiris yang dilakukan terhadap beberapa negara pada tahun 1950-1970,
mengemukakan bahwa semakin maju suatu negara semakin dominan sumbangan
sektor industri (dan sektor jasa) terhadap pendapat nasional dibandingkan dengan
sumbangan sektor pertanian (Todaro, 1997). Lebih lanjut Chenery dan Sirquin
menyatakan bahwa titik yang membagi negara miskin dan negara maju adalah
titik dimana sumbangan sektor industri dan sektor pertanian berimpit. Dengan
kata lain, bahwa keberhasilan proses industrialisasi merupakan prasyarat menuju
negara maju.
Proses industrialisasi yang terjadi pada masa orde baru yang dilakukan
dengan gencar, cepat dan berhasil melakukan transformasi struktural
perekonomian Indonesia, ternyata belum mengait ke belakang (backward linkage)
ke sektor pertanian. Dengan kata lain, sektor pertanian tidak mendapatkan
perhatian yang cukup seimbang dibandingkan dengan sektor industri. Ini
berakibat pada tertinggalnya sektor petanian dari sektor industri. Tidak saja dalam
struktur PDB, tetapi juga juga dalam struktur masyarakat, dimana sampai saat ini
masyarakat yang hidup di sektor pertanian (petani) tak kunjung sejahtera
Transformasi struktural bukan berarti meninggalkan sektor pertanian
menuju sektor industri, tetapi menjadikan pangsa sektor industri terhadap PDB
yang lebih besar dari sektor pertanian, yang disebabkan oleh pertumbuhan sektor
industri yang lebih tinggi akibat faktor eksternalitas industrialisasi yang lebih
besar. Transformasi struktural yang telah dicapai di atas, akan kurang berarti
apabila masih menyisakan adanya ketimpangan antarsektor atau ketertinggalannya
suatu sektor dalam pembangunan. Karena proses pembangunan adalah proses
yang saling mengkait antara satu sektor dengan sektor yang lain. Ketertinggalan
suatu sektor dalam pembangunan akan mengakibatkan pertumbuhan
pembangunan yang tidak seimbang dan tidak kokoh. Hal ini terbukti ketika terjadi
krisis ekonomi yang melanda pada tahun 1998. Sektor industri mengalami
keterpurukan yang dahsyat, sementara sektor pertanian – sektor yang tertinggal itu
sebagian besar masih mampu bertahan.
Setidaknya ada beberapa faktor yang bisa diungkapkan bahwa sektor
pertanian menjadi penting dalam proses pembangunan, yaitu:
1. Sektor pertanian menghasilkan produk-produk yang diperlukan sebagai
input sektor lain, terutama sektor industri, seperti: industri tekstil, industri
makanan dan minuman.
2. Sebagai negara agraris (kondisi historis) maka sektor pertanian menjadi
sektor yang sangat kuat dalam perekonomian dalam tahap awal proses
pembangunan. Populasi di sektor pertanian (pedesaan) membentuk suatu
proporsi yang sangat besar. Hal ini menjadi pasar yang sangat besar bagi
konsumsi, terutama produk pangan. Sejalan dengan itu, ketahanan pangan
yang terjamin merupakan prasyarat kestabilan sosial dan politik.
3. Karena terjadi transformasi struktural dari sektor pertanian ke sektor industri
maka sektor pertanian menjadi sektor penyedia faktor produksi (terutama
tenaga kerja) yang besar bagi sektor non-pertanian (industri).
4. Sektor pertanian merupakan sumber daya alam yang memiliki keunggulan
komparatif dibanding bangsa lain. Proses pembangunan yang ideal mampu
menghasilkan produk-produk pertanian yang memiliki keunggulan
kompetitif terhadap bangsa lain, baik untuk kepentingan ekspor maupun
substitusi impor (Tambunan, 2001).
2.1.2. Pengertian Produksi dan Produsen Pertanian
Dalam melakukan usaha pertanian, produksi diperoleh melalui suatu proses
yang cukup panjang dan penuh resiko. Menurut Kartasapoetra dkk (1986)
Panjangnya waktu yang dibutuhkan tidak sama tergantung pada jenis
komoditas yang diusahakan karena produk-produk pertanaian memiliki sifat
(1) Dalam memproduksi hasil bumi, sifatnya hanya mengatur yaitu agar
tanaman dapat tumbuh dengan baik, dengan baiknya pertumbuhan tanaman
tersebut maka akan didapat hasil yang baik, (2) Produksinya bersifat inelastis,
artinya tidak dapat diperbesar sekehendak hati dalam waktu-waktu yang
dikehendaki, mengingat segala sesuatunya tergantung pada iklim dan kondisi
tanah, dan (3) Lekas rusak, maka usaha peningkatan produk tergantung dari
pasar atau para konsumen, dekatnya pasar, lancarnya pemasaran, banyaknya
permintaan dan terciptanya harga yang wajar merupakan pangkal kegairahan
Selanjutnya Komarudin (1991) menyatakan bahwa proses produksi
mencakup satu operasi yang terpisah atau lebih, mungkin bersifat mekanis,
kimiawi, perakitan, gerakan, hubungan pribadi atau administrasi. Oleh sebab
itu dalam proses nya produsen perlu mempertimbangkan, jumlah dan mutu
yang diperlukan, waktu siklus produksi dan penyerahan produknya, serta
pemilihan dan penggunaan metode produksi yang paling ekonomis untuk
mencapai jumlah, mutu dan waktu yang diperlukan. Berbagai komoditas bisa
dilakukan dua kali sampai tiga kali dalam satu tahun. Sedangkan Daniel
(2004) menyatakan bahwa produksi merupakan terjemahan dari production,
yang merupakan sejumlah hasil dalam satu lokasi dan waktu tertentu.
Dapat disimpulkan bahwa produksi adalah suatu aktivitas mengubah
masukan (input) yang dilakukan oleh individu maupun kelompok tertentu
(Produsen) berupa faktor-faktor produksi yang kemudian melalui suatu proses
transformasi dalam satuan waktu tertentu dihasilkan keluaran berupa produk
yang memiliki nilai manfaat.
2.1.3. Sistem Produksi Pertanian
Pada dasarnya produksi pertanian merupakan penciptaan atau penambahan
manfaat, baik bentuk, tempat, waktu maupun gabungan dari manfaat tersebut.
Dengan demikian yang dimaksud dengan sistem produksi pertanian
merupakan gabungan dari beberapa unit atau elemen yang saling berhubungan
dan saling menunjang untuk melaksanakan proses produksi tertentu (Ahyari,
2002). Beberapa elemen yang termasuk kedalam sistem produksi pertanian
tersebut adalah komoditi yang akan dihasilkan, lokasi untuk menghasilkannya,
produksi yang berlaku. Secara umum dapat dikatakan sistem produksi
pertanian ini akan memerlukan input, yang kemudian diproses dalam sistem
produksi untuk kemudian mendapatkan output.
Sistem produksi pertanian terdiri dari beberapa subsistem, demikian pula
input untuk sistem produksi akan terdiri dari beberapa macam tergantung
kepada sistem produksi yang dipergunakan. Untuk melaksanakan proses
produksi pertanian diperlukan adanya beberapa masukan untuk sistem
produksi, antara lain adalah bahan baku yang dipergunakan, tenaga kerja
langsung yang diperlukan, dana yang tersedia untuk modal kerja serta hal-hal
lain yang diperlukan. Dengan adanya masukan sistem produksi pertanian
tersebut maka akan dapat dilaksanakan kegiatan produksi dengan
mempergunakan sistem produksi yang ada. Bahan baku yang dapat
dipergunakan akan menjadi input dari sistem produksi. Jumlah dan jenis dari
bahan baku tentunya akan terkait dengan sistem produksi, yaitu kepada
komoditi yang akan dihasilkan serta alat yang digunakan untuk menghasilkan
komoditi tersebut. Dengan demikian, bahan baku ini akan mempunyai
ketergantungan pula terhadap sistem produksi yang dipergunakan.
Terkait penggunaan tenaga kerja langsung, keterampilan khusus sangat
dibutuhkan. Tanpa adanya keterampilan khusus yang dimiliki oleh tenaga
kerja seperti operator Hand traktor atau traktor maka pelaksanaan produksi
melalui pengolahan tanah yang berupa faktor produksi akan mempunyai hasil
yang kurang memuaskan. Untuk melaksanakan kegiatan produksi sangat
dibutuhkan dana sebagai modal kerja yang juga merupakan input yang
kerja, maupun penyediaan bahan baku serta biaya lainnya yang diperlukan
akan mengakibatkan terganggunya pelaksanaan produksi dalam perusahaan
tersebut.
2.1.4. Faktor Produksi Tanaman Jagung
Pengusaha (dalam hal ini petani) akan selalu berpikir bagaimana ia
mengalokasikan input yang paling efisien untuk dapat memperoleh produksi
(output) yang maksimal. Hubungan fisik antara input dan output disebut
fungsi produksi yang bergantung pada sejumlah variabel : iklim dan cuaca,
tanah, mutu bibit, alat-alat, pupuk, pestisida, modal dan tenaga kerja. Jumlah
input yang tepat dapat ditentukan melalui perencanaan, pelaksanaan serta
pengendalian yang akurat. Daniel (2004) menyatakan bahwa masing – masing
faktor produksi memiliki fungsi yang berbeda dan saling terkait satu sama
lain.
Kelana (1994) mendefinisikan fungsi produksi sebagai proses perubahan
dari input menjadi output. Suatu fungsi produksi menunjukkan output
maksimum yang bisa diproduksi pada setiap kombinasi input dalam jangka
waktu tertentu. Fungsi produksi yang eksplisit akan memberikan indikasi
secara tepat kuantitas output yang akan di produksi pada tingkat input tertentu.
Untuk dapat melakukan produksi yang baik maka penggunaan faktor produksi
harus dikelola. Penggunaan lahan sangat tergantung pada keadaan lingkungan
lahan berada. Pembagian penggunaan lahan menurut topografinya sangat
penting karena mencirikan karektiristik usaha tani didaerah tersebut.
Topogarfi lahan menggambarkan kategori lahan antara lain : lahan dataran
yang bertempat tinggal dilokasi tersebut. Elevasi atau ketinggian tempat dari
muka laut mempunyai peranan dalam usaha tani. Berdasarkan ketinggian,
tanah atau lahan dapat dibedakan :
1. Lahan dataran tinggi >= 700 m dari atas permukaan laut. Lahan dataran
tinggi terdiri dari lahan kering dataran tinggi dan lahan basah dataran tinggi.
2. Lahan dataran rendah <= 700 m dari permukaan laut. Lahan dataran rendah
terdiri dari lahan kering datan rendah, lahan sawah dataran rendah, lahan
sawah tadah hujan, lahan pesisir, lahan rawa, dan lahan pasang surut.
Kesuburan lahan pertanian akan menentukan produktivitas tanaman. Lahan
yang subur akan menentukan hasil yang lebih tinggi dari pada lahan yang
tingkat kesuburannya rendah. Lahan pertanaian berkaitan dengan tekstur tanah
yang pada akhirnya menentukan jenis tanah : tanah liat, grumosol, alluvial dan
sebagainya. Jenis tanah perlu menjadi perhatian dalam usaha pertanian karena
keadaan dan jenis tanah akan memberikan atau mengarahkan petani kepada
pilihan komoditas, pilihan pemupukan, pilihan teknologi, serta pilihan metode
dalam melakukan pengolahan tanah tersebut. Spesifikasi dari tanah tersebut
memang tidak selamanya menjadi baku. Disamping diperlukan kesuburan fisis
yang baik, juga diperlukan kesuburan kimiawi yang baik agar tanaman dapat
tumbuh dengan baik.
Modal merupakan semua harta berupa uang, tabungan, tanah, rumah, mobil
dan sebagainya yang dimiliki. Modal tersebut dapat mendatangkan
penghasilan bagi si pemilik modal. Modal dapat dibagi dua yaitu :
1. Modal tetap, artinya barang-barang dalam proses produksi yang dapat
2. Modal bergerak, artinya barang-barang dalam proses produksi yang hanya bisa
dipakai satu kali.
Dalam usaha pertanian dikenal modal fisik dan modal manusiawi. Modal
fisik atau modal material yaitu berupa alat-alat pertanian, bibit, pupuk, ternak,
dan lain-lain. Sedangkan modal manusiawi adalah biaya yang dikeluarkan
untuk pendidikan, latihan, kesehatan, dan lain-lain. Modal pertanian selalu
diukur dengan uang, karena uang merupakan alat tukar yang sah dan berlaku
di mana-mana. Oleh karena itu dalam usaha tani modal dapat diklasifikasikan
sebagai bentuk kekayaan berupa uang maupun barang yang digunakan untuk
menghasilkan sesuatu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
suatu proses produksi.
Setiap usaha pertanian yang akan dilaksanakan pasti membutuhkan tenaga
kerja. Biasanya usaha pertanian skala kecil akan menggunakan tenaga kerja
dalam keluarga yang tidak membutuhkan keahlian secara khusus. Usaha tani
keluarga digerakkan dan dikelola dibawah pimpinan sang ayah. Bila terjadi
kekurangan tenaga kerja, mereka biasanya saling tolong menolong antar famili
atau antar keluarga yang bertetangga. Dengan semakin meningkatnya
kebutuhan manusia dan semakin majunya usaha pertanian, sehingga
dibutuhkan tenaga kerja dari luar keluarga yang khusus dibayar sebagi tenaga
kerja upahan. Sebaliknya usaha pertanian skala besar, lebih banyak
menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga dengan cara menyewa. Tenaga
kerja dari luar tersebut memiliki keahlian seperti menggunakan traktor. Dalam
analisa tenaga kerja diperlukan standarisasi untuk mengalokasikan sebaran
kerja pada saat berlangsungnya kegiatan tersebut dapat dihindarkan. Oleh
karena itu, tenaga kerja tidak bisa dipisahkan dengan manusia atau penduduk.
Melalui uraian diatas serta beberapa kajian yang telah dilakukan, maka
fungsi produksi (hasil panen) khususnya pada tanaman jagung, dapat
dijelaskan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
1. Dahlan et.al, (1996) menjelaskan bahwa penggunaan jenis bibit yang
digunakan masyarakat, khususnya pada tanaman jagung sangat menentukan
jumlah hasil panen. Saat ini, terdapat 2 (dua) jenis, yaitu bibit lokal dan bibit
hibrida. Bibit lokal merupakan hasil pembiakan dari tanaman sebelumnya yang
dianggap oleh petani sebagai bibit yang baik, dengan pemilihan berdasarkan
kriteria tertentu. Sedangkan bibit hibrida, merupakan pengembangan dari hasil
uji lab yang dihasilkan oleh para produsen bibit, dimana kualitas dan produksi
yang dihasilkan dapat diestimasi dan bibit ini harganya relatif lebih mahal
daripada bibit lokal. Oleh karena itu, masyarakat petani cenderung lebih
menggunakan bibit lokal yang diperoleh tanpa adanya tambahan biaya. Potensi
hasil jagung varietas hybrida rata-rata mencapai 5-6 ton per hektar.
2. Swastika dkk (2001) mengemukakan pendapatnya bahwa senjang hasil antara
rata-rata produksi yang dicapai petani saat ini dengan potensi hasil kemampuan
lahan masih cukup lebar. Selain itu, semakin besar luas lahan yang ditanami
maka semakin besar hasil panen.
3. Kasryno (2002) menjelaskan bahwa penggunaan jenis lahan untuk budidaya
tanaman jagung juga menentukan hasil panen. Lahan yang relatif basah (baik
sawah tadah hujan maupun sawah irigasi) cenderung lebih banyak
tanaman jagung memerlukan kadar air yang relatif banyak dibandingkan
tanaman lain. Hal ini sejalan dengan hasil penelitiannya, bahwa terdapat
kecenderungan peningkatan penggunaan lahan basah untuk tanaman jagung
yang dilaksanakan oleh para petani (diperkirakan saat ini areal pertanaman
jagung pada lahan sawah irigasi dan lahan sawah tadah hujan meningkat
masing-masing menjadi 10-15% dan 20-30% terutama pada daerah produksi
jagung komersial). Fenomena ini juga didukung oleh Mink et al. (1987)
dimana hasil penelitian nya dengan jangka waktu pengamatan 18 tahun
menunjukkan bahwa sekitar 79% areal pertanaman jagung terdapat pada lahan
kering, 11% pada lahan sawah irigasi, dan sisanya (10%) pada lahan sawah
tadah hujan.
4. Syafruddin et.al (1998) menjelaskan bahwa teknik penggunaan pupuk yang
tepat dan benar akan dapat meningkatkan mutu dan hasil panen tanaman
jagung. Hal ini, ia buktikan dengan melakukan penelitian di Propinsi Sulawesi
Selatan dimana hasil panen tanaman jagung meningkat secara signifikan
melalui penggunaan pupuk NPK dan pupuk S. Bahkan pada lahan kering,
Subandi (1998) mengemukakan bahwa dengan pemupukan berimbang
produksi jagung di lahan kering di Nusa Tenggara dapat mencapai 3,4 hingga
6,5 ton per hektar.
2.1.5. Teknik Budi Daya Jagung
Bercocok tanam pada prinsipnya mempunyai tujuan utama untuk
memperoleh produksi maksimal. Khusus, tanaman jagung, ditanam untuk
dipetik hasilnya yang berupa biji jagung. Biji-biji ini terbentuk dalam satu
dalam bentuk makanan, maupun diproses terlebih dahulu diolah menjadi
tepung jagung. Sedangkan konsumsi jagung secara tidak langsung digunakan
untuk makanan ternak. Kanisius (1993) menyatakan produksi tanaman adalah
kegiatan atau sistem budidaya tanaman yang melibatkan beberapa faktor
produksi seperti tanah, iklim, varietas, pengelolaan serta alat-alat agar
diperoleh hasil maksimum secara berkesinambungan.
Persiapan dan pelaksanakan merupakan suatu kegiatan yang sangat
dibutuhkan secara signifikan dimulai dengan penyiapan lahan, pengolahan
lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman agar dicapai panenan yang baik.
Lahan yang digunakan untuk tempat bertanam akan menentukan
kebijaksanaan perencanaan tanam seperti tempat bertanam, iklim, benih
(varietas) yang digunakan serta alat-alat yang akan digunakan. Tanaman
jagung toleran terhadap berbagai jenis tanah seperti tanah yang berstektur
ringan, misalnya andosol, dan latosol asalkan memiliki (pH) yang memadai
serta tanah yang berstektur berat, misalnya grumosol bila aerasi dan drainase
tanah diatur dengan baik. Adisarwanto dan Astuti (2000) menyatakan tempat
bertanam jagung dibagi menjadi dua bagian yaitu : penanaman dilahan kering
dan penanaman dilahan persawahan.
Jagung dapat tumbuh pada suhu 13◦ C - 38◦ C dan mendapatkan sinar
matahari secara penuh. Suhu udara yang ideal untuk perkecambahan benih adalah
30◦C - 32◦C dengan kapasitas air tanah antara 25% - 60%. Selama pertumbuhan,
tanaman jagung membutuhkan suhu optimum antara 23◦C - 27◦C. Unsur iklim
penting yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan fase reproduktif terutama
Benih sebagai bahan utama atau modal pokok dalam budidaya jagung harus
dipersiapkan. Benih yang diperlukan, dikaitkan dengan tujuan dan perencanaan
penanaman. Benih yang baik adalah jenis benih vareitas unggul, benih yang
berasal dari varietas unggul memiliki daya tumbuh yang tinggi (lebih dari 90
persen), mempunyai viabilitas yaitu dapat mempertahankan kelangsungan
pertumbuhannya menjadi tanaman yang baik. Mutu benih sangat menentukan
tingkat produktivitas jagung yang dicapai. Penggunaan benih yang bermutu tinggi
bersifat lebih respons terhadap teknologi produksi yang diterapkan dan
menentukan kepastian populasi tananaman yang tumbuh.
Mutu benih ditetapkan melalui standarisasi yang bersertifikasi dari Direktorat
Jenderal Tanaman Pangan. Adisarwanto dan Astuti (2000) menyatakan untuk
memperoleh benih unggul yang bermutu bisa dilakukan dengan berbagai macam
cara yaitu :
1. Menggunakan benih bersari bebas, yaitu varietas yang benihnya dapat
digunakan terus menerus pada setiap penanaman. Benih bersari bebas
berasal dari pemilihan pada saat pemungutan hasil (panen) yang mempunyai
sifat-sifat unggul seperti bulir lebih besar, umur pendek, produksi tinggi,
tahan terhadap serangan hama dan penyakit, tahan terhadap perubahan suhu
atau iklim, batangnya kokoh (tidak mudah roboh ketika terkena angin),
tahan terhadap kadar garam yang tinggi, serta tahan terhadap kemasaman
tanah (pH). Beberapa varietas bersari bebas yang beredar dipasaran antara
lain Arjuna, Bisma, Logaligo, Kalingga, Wiyasa, Rama, dan Wisanggeni.
2. Menggunakan benih hibrida, yang diperoleh dari hasil seleksi kombinasi,
satu spesies untuk mendapatkan genotype (sifat-sifat dalam) yang unggul,
biasa disebut breeding (hibridisasi). Beberapa varietas hibrida yang beredar
dipasaran antara lain Hibrida jenis C, Pioneer, CPI, BISI, IPB dan Semar.
Soekartawi (2002) menyatakan pertanian di Indonesia dicirikan banyaknya
penggunaan tenaga kerja manusia dikarenakan luas usaha relatif sempit, relatif
kurang dari satu hektar, peranan tenaga kerja yang bersifat kekeluargaan relatif
lebih besar mengakibatkan tenaga kerja dari luar masih kurang diperlukan dan
penggunaan tenaga kerja mesin masih relatif sedikit hanya berkisar pada tenaga
pendukung saja. Secara umum alat-alat yang digunakan untuk bercocok tanam
jagung seperti cangkul, alat tanam dengan tugal, alat penyemprotan, sedangkan
pada lahan yang luas digunakan tenaga mesin seperti jettor atau traktor untuk
melakukan pembajakan serta mesin penanam untuk melakukan kegiatan
penanaman. Tata cara pengolahan tanah tergantung pada jenis atau keadaan tanah.
Rukmana (1997) menyatakan pengolahan tanah untuk tanaman jagung dapat
dilakukan dengan cara yaitu :
1. Tanpa olah tanah (TOT) atau disebut Zerro tillage dilakukan pada lahan
yang bertekstur ringan, tanah hanya dicangkul untuk lubang tanam serta
pada lahan tersebut perlu diberi mulsa untuk mengatasi erosi dan menekan
jumlah gulma.
2. Pengolohan tanah minimum (minimum tillage) dilakukan pada tanah yang
peka terhadap erosi seperti tanah yang berpasir atau tanah ringan,
mencangkul dengan kedalaman 15-25 cm hingga tanah menjadi gembur
3. Pengolahan tanah maksimum atau sempurna (maximum tillage) dilakukan
pada tanah yang berstektur berat dengan mencangkul atau membajak selama
dua kali atau lebih sedalam 15-20 cm, gulma dan sisa tanaman dibenamkan
serta tanah digaru sampai rata, dan dilakukan paling lambat seminggu
sebelum waktu tanam.
Penanaman jagung juga perlu memperhatikan faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi yang akan diperoleh. Faktor-faktor yang perlu
diperhatikan tersebut adalah waktu tanam, jarak tanam, dan cara menanam. Waktu
tanam perlu diperhatikan dengan cermat agar penanaman dapat dilakukan dengan
baik. Warisno (1998) menyatakan dari beberapa jenis lahan tersebut waktu
tanamnya berbeda-beda. Pertama, pada tanah tegal dan pekarangan sebaiknya
penanaman dilakukan pada musim labuhan yaitu saat hujan mulai turun sekitar
bulan September hingga November, Bisa juga pengolahan tanah pada musim
marengan yaitu pada saat hujan mulai berakhir sekitar bulan Februari sampai
dengan Maret dengan syarat pengairan selama musim kemarau terjamin. Kedua,
pengolahan tanah pada tanah sawah sebaiknya dilakukan setelah tanaman padi
dipanen.
Berbagai pengaturan jarak tanaman perlu dilakukan guna mendapatkan
produksi yang optimal. AAK (1998) menyatakan pengaturan jarak tanaman akan
menentukan kebutuhan benih. Dalam tabel 2.1 dibawah ini disajikan beberapa
pilihan bagi petani untuk menentukan jarak tanam dalam satuan hektare.
Tabel 2.1. Kebutuhan Benih Jagung Pada Berbagai Jarak Tanam
Jarak Tanam Jumlah Tanaman
75 x 20
AAK (1998) menyatakan penanaman dilakukan dengan cara penugalan pada
lahan yang sempit dan pekarangan. Tugal adalah alat semacam tongkat yang
terbuat dari kayu dan pada salah satu ujungnya dibuat meruncing. Tugal tersebut
ada yang bermata tunggal, ada juga bermata dua atau segi tiga sesuai dengan
lubang yang dibentuk. Kedalaman lubang antara 2,5 cm sampai dengan 5 cm.
Setelah lubang terbentuk, benih yang dipersiapkan sebelumnya dimasukkan
kedalam lubang tersebut sesuai dengan jumlah lubang. Selanjutnya lubang yang
sudah ada benihnya ditutup dengan baik. Penanaman ini dilakukan oleh dua orang
yaitu satu orang yang membuat lubang, sedangkan yang lain mengisi lubang
dengan benih sekaligus menutup lubang. Kedalaman dan penutupan lubang sangat
berpengaruh terhadap kecepatan perkecambahan benih. Sedangkan pada lahan
yang sangat luas dan datar, dengan jumlah tenaga kerja manusia yang terbatas,
penanaman dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi berupa mesin
penanam sekaligus penutup lubang.
Pertumbuhan tanaman jagung jua memerlukan curah hujan yang merata. Air
sangat berperan dalam peningkatan produksi. Keterlambatan penambahan air pada
fase kecambah, berbunga, pengisian, dan pemasakkan biji tentu akan
mempengaruhi kuantitas dan kualitas biji yang dihasilkan. Selanjutnya Rukmana
(1997) menyatakan jagung yang kekurangan air dan mengalami kelayuan selama
1-2 hari pada saat pembungaan dapat menurunkan hasil sampai 22 %, bila
kelayuan pada tanaman terjadi selama 5-8 hari, akan mengakibatkan penurunan
hasil hingga 50 %. Cara pemberian air di daerah yang kering dilakukan 1- 2
minggu sekali atau tergantung pada keadaan tanah dengan cara mengalirkan air
melalui saluran pemasukkan air (bedengan). Sedangkan pada lahan persawahan
pengairan berasal dari saluran irigasi.
Setelah bibit jagung tumbuh, maka perlu dipelihara sebaik-baiknya.
Pemeliharaan tanaman jagung meliputi kegiatan pokok seperti penyulaman,
penyiangan dan pembubunan, pemupukan serta pengairan bagi daerah yang
kering (Rukmana, 1997). Penyulaman dilakukan jika ada benih yang rusak atau
tidak tumbuh. Kegiatan ini dilakukan sekitar 7-10 hari setelah tanam dengan
menggunakan benih yang sejenis. Penyulaman yang terlambat (lebih dari 15 hari
setelah tanam) mengakibatkan pertumbuhan jagung tidak merata dan menyulitkan
kegiatan pemeliharaan berikutnya. Supaya tanaman dapat tumbuh dengan baik
maka dibutuhkan kegiatan penyiangan untuk pengendalian atau pengurangan
gulma (rumput liar) yang tumbuh diareal penanaman. Gulma (rumput liar) yang
tumbuh di areal penanaman adalah pesaing dalam hal kebutuhan sinar matahari,
air, dan unsur hara. Tergantung perkembangannya, penyiangan gulma dapat
dilakukan 2-3 kali. Penyiangan pertama dilakukan sebelum pemupukan susulan
yang kedua. Penyiangan kedua dapat dilakukan sebulan setelah penyiangan
pertama disertai dengan pembubunan, dan penyiangan ketiga dapat dilakukan jika
dianggap perlu, yaitu jika pertumbuhan gulma terlihat subur atau lebat.
kimiawi yaitu dengan menggunakan herbisida seperti Gramoxone, Roundup,
Sundup dan lain sebagainnya.
Selama pertumbuhan, tanaman jagung membutuhkan unsur hara yang
memadai. Untuk memenuhinya dilakukan pemupukkan, baik secara organik
sebanyak 15-20 ton/hektar maupun dengan menggunakan pupuk yang anorganik
seperti Urea 300 Kg/Ha, TSP atau SP-36 100 Kg/Ha, dan KCL 50 Kg/Ha.
Berdasarkan keperluannya, jagung dapat dipanen pada tingkat kemasakan
yang berbeda. Pemanenan masak susu dilakukan untuk keperluan sebagai sayur.
Jagung semi dapat dipanen pada umur 47-48 hari setelah tanam untuk dataran
rendah, dan 60 hari setelah tanam untuk dataran tinggi. Jagung masak susu atau
Semi (baby corn) memiliki ciri-ciri antara lain :
a. Tanaman masih kelihatan segar dan masih berwarna hijau.
b. Panjang rambut jagung antara 3-5 cm.
c. Biji mulai terisi zat pati yang berbentuk seperti cairan susu atau santan.
d. Biji belum keras dan bila dipijit akan keluar cairan putih seperti susu atau
santan.
Pemanenan saat masak lunak dilakukan untuk keperluan jagung rebus,
jagung bakar, atau jagung sayur. Jagung masak lunak atau jagung manis (sweet
corn) memiliki ciri-ciri antara lain :
a. Ujung daun bagian bawah mulai kering.
b. Keadaan tongkol agak besar dan agak berat.
c. Biji jagung mulai agak keras dan bila dipijit akan keluar isi seperti tepung
Pemanenan jagung pada tingkat masak tua merupakan pemanen yang paling
banyak dilakukan petani. Jagung hasil panen ini digunakan untuk berbagai
keperluan konsumsi, misalnya untuk makanan pokok, pembuatan tepung jagung,
makanan ternak serta untuk keperluan lainnya. Jagung dapat dipanen setelah
tanaman berumur antara umur 90 hari sampai dengan 110 hari tergantung pada
varietas yang digunakan. Jagung masak tua atau masak mati memiliki cirri-ciri :
a. Batang, daun, dan kelobot buah berubah warna menjadi kuning bahkan
sebagian besar sudah mengering.
b. Semua bagian tanaman telah kering dan mati.
c. Biji jagung sudah tampak keras, dan mengilap.
d. Bila ditekan dengan kuku tangan, bijinya tidak tampak bekas tekanan
e. Kadar air sudah mencapai 30% - 35%.
Dalam melakukan kegiatan pemanenan, hal yang perlu diperhatikan sekali
adalah keadaan cuaca. Hasil panen jagung persatuan hektarnya adalah berkisar
antara 7 – 9 ton/ha, tergantung pada potensi hasil, kesuburan lahan, dan teknik
budi daya yang dipraktekkan. Tata cara panen jagung adalah sebagai berikut :
a. Petik tongkol dengan tangan hingga terlepas dari batangnya dan sekaligus
mengupas kulitnya.
b. Dilakukan pada hari yang cerah (tidak ada hujan).
c. Dimasukkan kedalam sebuah wadah seperti goni atau bakul.
d. Setelah sampai ditempat penampungan, segera dihamparkan dilantai yang
bersih dan kering.
Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air serendah mungkin, agar
energinya, pengeringan pada jagung dapat dibedakan menjadi pengeringan alami
dan pengeringan buatan. Pengeringan alami merupakan pengeringan yang
dilakukan dengan bantuan sinar matahari (penjemuran). Agar didapat hasil
pengeringan yang baik, sebaiknya disediakan areal yang cukup luas karena
pengeringan jagung tidak boleh dilakukan dengan cara menumpukkannya. Tata
cara pengeringan jagung yaitu :
a. Penjemuran dilakukan dengan menggunakan lantai jemur, alas anyaman
bambu, dan tikar.
b. Pengeringan tongkol dilakukan sampai kadar air ± 18 %.
c. Pada proses pengeringan tongkol sampai kadar air ± 18 %, tongkol jangan
dimasukkan kedalam karung dalam waktu yang cukup lama, akan
menyebabkan biji jagung akan mengalami kerusakan.
Apabila hujan terus menerus, pengeringan dapat dilakukan dengan
menggunakan alat pengering mekanis atau mengalirkan udara yang panas ke
tempat-tempat pengeringan. Beberapa jenis alat yang biasa digunakan adalah
omprongan, alat pengering dengan aerasi dan alat pengering tipe continuos.
Setelah pengeringan dilakukan maka kegiatan selanjutnya adalah pemipilan.
Pemipilan merupakan kegiatan melepaskan biji dari tongkol, memisahkan
tongkol, dan memisahkan kotoran dari jagung pipilan. Tujuan pemipilan adalah
untuk menghindari kerusakan, menekan kehilangan, memudahkan pengangkutan,
dan memudahkan pengolahan selanjutnya. Pemipilan dapat dilakukan apabila
tongkol sudah cukup kering, kadar air biji jagung berkisar 17% - 20%. Pemipilan
menggunakan tongkat yang dipukul pada sebuah karung yang berisi
jagung-jagung yang masih bertongkol.
Selain menggunakan tangan, pemipilan jagung dapat dilakukan dengan
bantuan alat yang sederhana seperti kikian, Pemipil tipe Sulawesi Utara, pemipil
tipe silinder (tipe F11.223), pemipil model ARS-2002, pemipil model TPI, dan
tipe Ramapil, maupun pemipil yang menggunakan mesin seperti pemipil tipe
Senapil. Sebelum jagung hasil pemipilan dijual, kegiatan panenan yang terakhir
adalah melakukan penyimpanan atau penggudangan. Kegiatan penyimpanan
terdiri dari dua cara. Pertama, penyimpanan jagung dalam bentuk berkolobot
dilakukan dengan cara mengikat jagung dalam besaran tertentu seperti 15 tongkol
– 20 tongkol atau 30 tongkol – 40 tongkol, kemudian digantung dan diletakkan
secara tersusun diatas para-para. Kedua, Jagung yang telah dipipil, dapat juga
disimpan dalam sebuah wadah plastik yang kedap udara, dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut :
a. Jagung yang telah dipipil dimasukkan kedalam sebuah wadah plastik yang
kedap udara seperti karung plastik.
b. Karung-karung plastik tersebut diletakkan diatas balok kayu untuk
mencegah kontak langsung antara karung dengan lantai sehingga karung
tidak lembab dan sirkulasi udara terjamin.
c. Untuk mencegah serangan-serangga sehingga daya simpannya menjadi lebih
panjang, karung-karung tersebut disemprot dengan cairan insektisida Silosan
2.2. Kebijakan Pemerintah
2.2.1. Pengertian Harga
Harga merupakan persoalan yang fundamental baik bagi penjual maupun
pembeli. Harga dapat membantu dalam menentukan jumlah volume penjualan dan
dapat pula mempengaruhi biaya-biaya produksi bilamana pengeluaran sejalan
dengan volume penjualan atau besarnya produksi. Harga, nilai, dan faedah
(utility) merupakan konsep-konsep yang sangat berkaitan. Faedah (utility) adalah
atribut suatu produk yang dapat memuaskan kebutuhan. Sedangkan nilai adalah
ungkapan secara kuantitatif tentang kekuatan barang untuk dapat menarik barang
lain dalam pertukaran. Untuk melaksanakan pertukaran tersebut digunakan pasar
sebagai tempatnya. Dimana pasar merupakan mekanisme pada saat pembeli dan
penjual suatu komoditi mengadakan interaksi menentukan harga dan kuantitasnya
(Samuelson dan Nordhaus, 1992)
Berbagai pengertian harga, antara lain sebagai mana yang dikemukakan oleh
(Basu Swasta dan Irawan, 1990) menyatakan bahwa harga adalah jumlah uang
yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi produk dan
pelayanannya. Sedangkan Samuelson dan Nordhaus (1992) menyatakan bahwa
harga merupakan nilai suatu barang dalam satuan mata uang
Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa harga pasar
merupakan suatu mekanisme saat pembeli dan penjual mengadakan interaksi
kuantitasnya. Harga ditetapkan oleh pembeli dan penjual yang saling bernegoisasi,
penjual akan meminta harga lebih tinggi dari pada yang mereka harap akan
diterima., dan pembeli akan menawar kurang dari pada yang mereka harap
dibayar. Dalam perekonomian saat ini untuk mengadakan pertukaran atau untuk
mengukur nilai suatu komoditi dengan menggunakan uang. Jumlah uang yang
digunakan dalam pertukaran tersebut mencerminkan tingkat harga dari suatu
barang. Barang yang dinilai dengan harga tersebut perlu ditetapkan untuk
mendekatkan produsen dengan konsumen melalui transaksi jual – beli.
2.2.2. Metode Penetapan Harga
Gitosudarmo (1994) menyatakan beberapa penentapan harga yaitu
berdasarkan pada biaya, konsumen, dan persaingan.
Selanjutnya Basu Swastha (1990) menyatakan tingkat harga yang terjadi
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti (1) kondisi perekonomian, (2)
Penawaran dan permintaan, (3) elastisitas permintaan, (4) persaingan, (5) biaya,
(6) tujuan manajer, (7) pengawasan pemerintah.
Dalam dunia nyata sulit untuk mengumpulkan data yang akurat tentang
penerimaan marjinal (MR) dan biaya marjinal (MC), agar dapat menentukan
tingkat output dan harga yang optimal pada titik dimana MR dan MC. Metode
penentuan harga yang paling luas dipergunakan adalah cost-plus pricing (
penetapan harga di atas biaya) atau disebut juga markup pricing/full cost pricing.
Praktek penetapan harga diatas biaya mencerminkan perbedaan dalam biaya
marjinal dan elastisitas permintaan merupakan cara yang efisien untuk beroperasi