• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Keberadaan Central Business District (CBD) Simpang Lima Gumul terhadap Konversi Lahan Pertanian, Kabupaten Kediri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Keberadaan Central Business District (CBD) Simpang Lima Gumul terhadap Konversi Lahan Pertanian, Kabupaten Kediri"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENGARUH KEBERADAAN

CENTRAL BUSINESS DISTRICT

(CBD) SIMPANG LIMA GUMUL TERHADAP KONVERSI

LAHAN PERTANIAN, KABUPATEN KEDIRI

AS AD ALI MUTAKIN

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

3

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Keberadaan Central Business District (CBD) Simpang Lima Gumul Terhadap Konversi Lahan Pertanian, Kabupaten Kediri adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

(4)

4

ABSTRAK

AS AD ALI MUTAKIN. Pengaruh Keberadaan Central Business District (CBD) Simpang Lima Gumul terhadap Konversi Lahan Pertanian, Kabupaten Kediri. Dibimbing oleh NINDYANTORO.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pola dan karakteristik alih fungsi lahan pertanian beserta faktor dan laju alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Kediri. Metode analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis pola, karakteristik dan laju alih fungsi lahan. Sementara itu untuk menganalisis faktor-faktor digunakan model regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola dan karakteristik konversi lahan di Kabupaten Kediri secara spontan masih sangat sedikit dibandingkan dengan yang direncanakan. Pemerintah berhasil mengatasi masalah defisit lahan pertanian melalui program percetakan sawah. Secara empiris faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian pada taraf nyata ditingkat petani di Kecamatan Ngasem yang pertama adalah jumlah tanggungan, yang menunjukkkan pertumbuhan pesat pasca pembukaan kawasan. Kedua adalah jarak lahan dari pusat central business district. Ketiga adalah harga lahan pertanian per/meter persegi. Keempat adalah luas lahan yang dimiliki sebelumnya. Implikasi dari hal ini pemda perlu berkoordinasi dengan para pemilik tanah yang luas agar konversi dapat terkendali.

Kata kunci: central business district, konversi lahan, Simpang Lima Gumul

ABSTRACT

AS AD ALI MUTAKIN. The linkages of existence Central Business District (CBD) Simpang Lima Gumul with Agricultural Land Conversion, Kediri Regency . Guided by NINDYANTORO.

This study aims to examine the pattern and characteristics of agricultural land convertion and its factor and the rate of agricultural land conversion in Kediri Regency. Descriptive analysis method used to analyze the patterns, characteristics and the rate of land conversion. Meanwhile, to analyze the factors used multiple linear regression models. The results showed that the patterns and characteristics of land conversion in Kediri Regency spontaneously still very little compared by the plan. The government managed to overcome the problem of agricultural land deficit through by extensification farmland program. Empirically the factors that influence agricultural land convertion in the real level of the farmer in Ngasem Subdistrict the first is the number of dependents, which is indicating the rapid growth of the region after opening area. The second is the distance of the area from the center of he central business district. Third is the price of agricultural land per/ square meter. The fourth is land held previously. The implication of this is that local government needs to coordinate with the owners of wide land so the conversion can be controlled.

(5)

5

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

PENGARUH KEBERADAAN CENTRAL BUSINESS

DISTRICT (CBD) SIMPANG LIMA GUMUL TERHADAP

KONVERSI LAHAN PERTANIAN, KABUPATEN KEDIRI

AS AD ALI MUTAKIN

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

7

Judul Skripsi : Pengaruh Keberadaan Central Business District (CBD) Simpang Lima Gumul terhadap Konversi Lahan Pertanian, Kabupaten Kediri Nama : As Ad Ali Mutakin

NIM : H44080034

Disetujui oleh

Ir Nindyantoro, MSP Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen

(8)
(9)

8

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam selalu disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Judul skripsi ini adalah “Pengaruh Keberadaan Central Business District (CBD) Simpang Lima Gumul terhadap Konversi Lahan Pertanian, Kabupaten Kediri”, yang dilaksanakan pada bulan mei 2013 hingga Maret 2014.

Penulis mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi serta kerjasama dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada:

1. Ayahanda tercinta (Sumali), Ibunda tercinta (Siti aisah), adik saya tercinta (Tanto Wiyahya dan Abdul Rohman Zauhari), Om Yudi dan Tante ulfa, serta keluarga besar yang telah memberikan kasih sayang, motivasi, dukungan moril maupun materil, serta limpahan do’a yang tak pernah putus kepada penulis. 2. Ir Nindyantoro MSP selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu

dan tenaga untuk memberikan bimbingan, arahan, motivasi dengan penuh kesabaran serta kebaikan yang sangat membantu dan memberikan inspirasi penulis selama ini.

3. Adi Hadianto, SP, MSi selaku dosen penguji utama dan Asti Istiqomah, SP selaku dosen perwakilan departemen.

4. Kepala Kesbangpolinmas Kabupaten Kediri, Kepala BAPPEDA Kabupaten Kediri, Bapak Camat Ngasem, dan Bapak Kepala Desa beserta jajarannya serta para ketua RT dan RW yang telah membantu penulis dalam memperoleh data dan informasi.

5. Saudari Nurul Haq Sari yang telah memberikan limpahan doa, semangat, dan motivasi kepada penulis

6. Sahabat penulis: Mahmud, Pramudi, Dewi, Ruben, Ai, Daus, Dea, Anna, Kiki, Agustina, Rifki, Ayu, dan Dika kalian adalah sahabat terbaik. Terima kasih atas motivasi dan semangatnya.

7. Teman-teman di kostan Wisma Rizki : Awir, Danang, Wisnu, Caesar, Iqra, Aziz, Anang, Akbar, Dio, Esa, Gogo, Arif, dan Pem. Keluarga besar di ESL 45 dan teman-teman ESL 46 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih atas berbagai ilmu, kebersamaan, doa, semangat, bantuan, dan dukungan kalian selama ini.

8. Seluruh Dosen dan Tenaga Pendidikan Departemen ESL yang telah membantu selama penulis menyelesaikan studi di ESL.

Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam membantu proses persiapan hingga penyusunan skripsi ini. Semoga kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak khususnya kepada pembuat kebijakan dan perencanaan pembangunan di Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri

Bogor, Maret 2014

(10)

9

2.2 Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya Terhadap Perkembangan

Wilayah 12

2.3 Lahan dan Fungsi Utama Lahan 13

2.4 Konversi Lahan 14

2.4.1 Definisi Konversi 14

2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan 16

(11)

10

4.4 Metode Pengambilan Sampel 30

4.5 Metode Analisis Data 30

4.5.1 Analisis Deskriptif 31

4.5.2 Analisis Laju Alih Fungsi Lahan 31

4.5.3 Analisis Regresi Linear Berganda 32

V. GAMBARAN UMUM 37

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 37

5.1.1 Kabupaten Kediri 37

5.1.2 Kecamatan Ngasem 37

5.2 Gambaran Umum Central Business District Simpang Lima

Gumul (CBD SLG) 38

5.2.1 Potensi Kawasan Central Business District 38

5.2.2 Fasilitas Pendukung CBD SLG 39

5.3 Karakteristik Responden 42

5.3.1 Jenis Kelamin 42

5.3.2 Tingkat Umur 43

5.3.3 Tingkat Pendidikan 43

5.3.4 Jenis Pekerjaan 44

5.3.5 Alasan Konversi Lahan 45

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 47

6.1 Pola dan Karakteristik Alih Fungsi Lahan 47

6.2 Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten Kediri 52 6.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan ditingkat

Petani 54

VII. SIMPULANDAN SARAN 61

7.1 Simpulan 61

7.2 Saran 62

DAFTAR PUSTAKA 63

(12)

11

DAFTAR TABEL

Halaman 1.1 Jumlah penduduk Kabupaten Kediri Tahun 2001-2011 dengan laju

pertumbuhannya 2

4.1 Matriks metode analisis data 31

4.2 Selang nilai statistik durbin watson serta keputusannya 34 6.1 Luas alih fungsi lahan sawah tahun 2003-2009 di Kabupaten Kediri 48 6.2 Luas dan Laju Alih Fungsi Lahan Sawah 2009-2011 di Setiap

Kecamatan 50

6.3 Luas dan laju alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Kediri 53 6.4 Hasil interpretasi koefisien determinasi faktor-faktor yang

mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani 56 6.5 Jumlah penduduk Kabupaten Kediri Tahun 2001-2011 dengan laju

pertumbuhannya 57

DAFTAR GAMBAR

Halaman 3.1 Ilustrasi hubungan antara land rent dengan kapasitas penggunaan lahan 22 3.1 Pengaruh Jarak Terhadap Biaya Transportasi dan Land Rent 23

3.3 Kurva Bid-rent Individu 24

3.4 Alokasi Lahan Permukiman dengan Preferensi yang Relatif Tinggi

Terhadap Aksessibilitas 25

3.5 Diagram kerangka pemikiran 27

5.1 Hubungan jenis kelamin dengan pendidikan 42

5.2 Hubungan umur dengan status kependudukan 43

5.3 Hubungan tingkat pendidikan dengan jenis pekerjaan 44

5.4 Hubungan jenis pekerjaan dengan pendapatan 45

5.5 Hubungan alasan menjual lahan dengan pendapatan 46

6.1 Luas Lahan Sawah di Kabupaten Kediri Tahun 2001-2011 47

(13)

12

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kuisioner Penelitian 66

2 Peta Kawasan Strategis Kabupaten Kediri 69

3 Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kediri tahun

2011 dalam RTRW 70

4 Konversi lahan yang dilakukan responden 72

5 Hasil Olahan Data Regresi Linear Berganda Fungsi

Faktor-Faktor 73

(14)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus meningkat secara fluktuatif memiliki dampak terhadap meningkatnya perkembangan wilayah. Perkembangan suatu wilayah ditandai oleh perkembangan sektor ekonomi dan peningkatan kelengkapan fasilitas-fasilitas pelayanan umum di suatu wilayah, seperti sekolah, pertokoan, industri, dan lain sebagainya. Sejalan dengan itu, wilayah yang mengalami perkembangan menjadi daya tarik berpindahnya penduduk ke wilayah tersebut dan proses ini menyokong pertambahan penduduk secara signifikan.

Sejalan dengan perkembangan suatu wilayah dan meningkatnya pertambahan penduduk, kebutuhan akan lahan terus meningkat pesat. Sementara itu ketersediaan lahan pada dasarnya tidak berubah, meskipun kualitas tingkat kesuburannya dapat ditingkatkan. Pada kondisi tersebut maka peningkatan kebutuhan lahan untuk suatu kegiatan produksi akan mengurangi ketersediaan lahan untuk kegiatan produksi lainnya. Hal inilah yang menyebabkan seringnya terjadi benturan dalam penggunaan lahan.

Kabupaten Kediri merupakan salah satu wilayah yang mengalami perkembangan wilayah cukup pesat. Hal ini ditandai dengan pembangunan kawasan Central Business District (CBD) Simpang Lima Gumul yang mulai dibuka untuk umum tahun 2008. Pembangunan kawasan Simpang Lima Gumul dimulai pada tahun 2002 dan masih dalam proses penyelesaian pembangunan. Keberadaan kawasan CBD Simpang Lima Gumul memicu perkembangan sektor ekonomi, hal ini dikarenakan infrastruktur yang dibangun untuk mendukung kawasan CBD menjadi daya tarik bagi masyarakat sekitar untuk berkunjung dan juga menjadi daya tarik bagi pengusaha/investor untuk berinvestasi.

(15)

2

perkembangan land rent indutri dan permukiman yang lebih tinggi dibandingkan land rent pertanian, yang semakin memicu perubahan tataguna lahan pertanian.

Kabupaten Kediri mengalami pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pertambahan penduduk ini menyebabkan keperluan bangunan juga ikut bertambah. Tidak hanya bangunan rumah untuk tempat tinggal, tetapi juga infrastruktur lain yang mendukung masyarakat, seperti sekolah, perkantoran, rumah sakit, dan jalan raya. Adapun gambaran tren peningkatan jumlah penduduk Kabupaten Kediri dapat dilihat pada Tabel 1.1

berikut ini.

Tabel 1.1 Jumlah penduduk Kabupaten Kediri Tahun 2001-2011 dengan laju pertumbuhannya

tahun Jumlah penduduk (jiwa) Pertambahan penduduk laju penduduk (%)

2001 1.401.130

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kediri

Menurut Santoso (2013) meningkatnya perkembangan wilayah di Kabupaten Kediri dimulai ketika Bupati Kabupaten Kediri yang menjabat saat itu H. Sutrisno (2000-2010) membuat kebijakan untuk memindahkan ibukota Kabupaten Kediri. Pusat pemerintahan Kabupaten Kediri sebelumnya berada di Kota Kediri. Pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten Kediri sebelumnya telah lama direncanakan ke Kecamatan Pare, namun rencana tersebut dibatalkan.

(16)

3 1.2 Perumusan Masalah

Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena sumberdaya lahan merupakan salah satu sektor yang diperlukan dalam setiap bentuk aktivitas manusia. Penggunaan lahan pada umumnya tergantung pada kemampuan lahan dan lokasi lahan. Penggunaan lahan untuk daerah-daerah pemukiman, industri dan perdagangan tergantung pada lokasi lahan. Sedangkan untuk pertanian penggunaan lahan tergantung pada tingkat kesuburan lahan tersebut.

Lahan yang memiliki tingkat kesuburan bagus dan lokasi yang strategis akan terdapat kompetisi dalam pemanfaatannya. Kompetisi yang terjadi biasanya terdapat pada lahan-lahan subur yang berada di daerah perkotaan maupun di daerah sub urban. Kompetisi dalam pemanfaatan lahan biasanya terjadi antara sektor pertanian dengan sektor lainnya seperti pemukiman, industri maupun perdagangan. Secara umum, sumberdaya lahan akan dimanfaatkan oleh pemiliknya untuk tujuan-tujuan yang memberikan harapan memperoleh penghasilan yang tertinggi. Pemilik lahan akan menggunakan lahan yang dimilikinya sesuai dengan manfaat penggunaan tertinggi dan terbaik. Penilaian pemilik lahan untuk penggunaan terbaik dan tertinggi tergantung pada orientasi yang ingin dicapai yaitu orientasi ekonomi, sosial maupun lingkungan.

Jika penilaian lahan berdasarkan orientasi ekonomi lebih tinggi daripada orientasi lainnya maka lahan akan digunakan untuk pemanfaatan yang memberikan nilai ekonomi tinggi. Pada daerah perkotaan dan sub urban umumnya sektor pertanian terkalahkan oleh sektor pemukiman, industri maupun perdagangan sehingga lahan-lahan pertanian dikonversi menjadi pemukiman, industri maupun perdagangan. Konversi lahan pertanian menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak positif yang dirasakan adalah munculnya kawasan pemukiman baru untuk memenuhi kebutuhan perumahan, peningkatan kegiatan perdagangan serta adanya tambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari retribusi dan pajak. Selain dampak positif konversi lahan pertanian juga menyebabkan dampak negatif.

(17)

4

pertanian tersebut. Oleh karena itu, dalam pengelolaan sumberdaya lahan perlu mempertimbangkan banyak aspek. Selain aspek ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya lahan juga perlu memperhatikan aspek sosial dan lingkungan.

Berdasarkan fenomena yang terjadi, ada beberapa permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, meliputi:

1. Bagaimana pola atau karakteristik alih fungsi lahan di Kabupaten Kediri? 2. Berapakah laju alih fungsi lahan di Kabupaten Kediri?

3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian pada tingkat petani?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji pola atau karakteristik alih fungsi lahan di Kabupaten Kediri. 2. Menghitung laju alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Kediri.

3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian pada tingkat petani.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

(18)

5

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembangunan Wilayah

Jayadinata (1999) mendefinisikan wilayah dalam pengertian geografis sebagai kesatuan alam yaitu alam yang serba sama, atau homogen, atau seragam, kesatuan manusia, yaitu masyarakat serta kebudayaannya yang serba sama yang mempunyai ciri (kekhususan) yang khas, sehingga wilayah tersebut dapat dibedakan dari wilayah lain. Menurut Rustiadi dan Anwar (2000), wilayah adalah satu satuan atau unit geografis dengan batas-batas tertentu, dimana bagian bagiannya (sub wilayah) satu sama lain tergantung secara fungsional. Dari pengertian di atas dapat dikatakan pengertian wilayah bersifat relatif yaitu tidak ada batasan yang luas. Oleh karena itu, pembagian wilayah tergantung dari tujuan analisis wilayah tersebut.

Dalam konsep wilayah nodal, maka wilayah ditafsirkan sebagai sel hidup yang mengandung inti dan plasma. Inti adalah pusat atau kutub yang berfungsi sebagai pusat konsentrasi tenaga kerja, lokasi industri, dan jasa serta pasar bahan mentah. Plasma mengandung pengertian wilayah belakang (hinterland) yang berfungsi sebagai pemasok tenaga kerja, pemasok bahan mentah, serta pasar dari industri dan jasa.

Pertumbuhan penduduk, meningkatnya sarana perhubungan, menurunnya secara relatif sektor pertanian sebagai penopang kehidupan masyarakat petani di perdesaan dan daya tarik kota menyebabkan terjadinya arus urbanisasi dari desa ke kota atau dari daerah belakang atau plasma ke pusat-pusat atau inti. Disisi lain dengan adanya ketersediaan infrastruktur di pusat atau di inti, tenaga kerja yang berlimpah menyebabkan banyak industri bertumbuh di pusat dan wilayah pengenal

pinggiran kota inti. Adanya perbedaan pertumbuhan wilayah dalam lingkup suatu

negara, menyebabkan dalam suatu kawasan yang lebih luas akan terdapat beberapa

macam karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu (1). wilayah maju;

(2). wilayah sedang berkembang; (3). wilayah belum berkembang; dan (4). wilayah

tidak berkembang. Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya

berfungsi sebagai pusat pertumbuhan, biasanya terdapat pemusatan penduduk, industri,

(19)

6

pendapatan yang tinggi, tingkat pendidikan dan kualitas sumberdaya manusia yang

juga tinggi.

Wilayah yang sedang berkembang biasanya dicirikan oleh pertumbuhan yang

cepat dan merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju, karena itu mempunyai

aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju. Wilayah yang belum

berkembang dicirikan oleh tingkat pertumbuhan yang masih rendah baik secara absolut,

maupun secara relatif, namun memiliki potensi sumberdaya alam yang belum dikelola

atau dimanfaatkan. Wilayah ini masih didiami oleh tingkat kepadatan penduduk yang

masih rendah. Selain itu wilayah ini belum mempunyai aksesibilitas yang baik terhadap

wilayah lain. Struktur ekonomi wilayah ini masih didominasi oleh sektor primer dan

biasanya belum mampu membiayai pembangunan secara mandiri.

Wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh dua hal : Pertama adalah

wilayah tersebut memang tidak memiliki potensi baik potensi sumberdaya alam

maupun potensi lokal, sehingga secara alami sulit sekali berkembang dan mengalami

pertumbuhan. Kedua adalahwilayah tersebut sebenarnya memiliki potensi baik

sumberdaya alam atau lokal maupun keduanya, tetapi tidak dapat berkembang dan

tumbuh karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah

yang lebih maju. Wilayah ini dicirikan oleh tingkat kepadatan penduduk yang jarang

dan kualitas sumberdaya manusia yang rendah, tingkat pendapatan yang rendah, tidak

memiliki infrastruktur yang lengkap dan tingkat aksesibilitas yang rendah. Wilayah

yang memiliki sumberdaya yang berlimpah, namun tidak berkembang dicirikan oleh

tingkat kebocoran wilayah yang tinggi, dimana manfaat tertinggi dari manfaat

sumberdaya alam tersebut dinikmati oleh wilayah lainnya.

2.1.1 Rencana Tata Ruang Wilayah

(20)

7

pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antar Daerah dengan Daerah lainnya, dan juga mampu menjamin hubungan yang serasi antar Daerah dengan Pemerintah.

Disamping itu karena kemampuan atau kapasitas sumberdaya manusia di daerah relatif masih sangat terbatas. Oleh karena itu perlu pengurangan dominasi perencanaan dari atas yang menuju pemberdayaan perencanaan dari bawah. Walaupun perencanaan dari atas tersebut tidak selalu berarti negatif, namun sudah saatnya dilakukan upaya peningkatan pemberdayaan seluruh lapisan masyarakat dalam proses dan pelaksanaan pembangunan. Hal itu bertujuan agar keterpaduan perencanaan dari atas dengan perencanaan yang datang dari bawah dapat diwujudkan secara optimal.

Ditinjau dari kondisi yang ada saat ini, Kabupaten Kediri memiliki wilayah seluas 1.386,05 km2 dan memiliki kondisi yang beraneka ragam baik sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun perkembangan wilayahnya. Oleh karena itu, diperlukan strategi pengembangan kawasan yang baik untuk memacu perkembangan yang terarah dan untuk mengurangi kesenjangan pertumbuhan antar wilayah. Pengarahan perkembangan yang akan datang diupayakan agar pertumbuhan tersebut dapat seoptimal mungkin untuk mendorong perkembangan wilayah dan sektor yang potensial pada setiap wilayah.

Perkembangan wilayah dapat di optimalkan bila pada setiap wilayah mempunyai satu pusat dan diharapkan akan dapat mendorong perkembangan sekitarnya melalui proses interaksi wilayah. Dimungkinkan dengan adanya konsep tersebut dapat berjalan dengan baik, maka permasalahan pertumbuhan ekonomi wilayah dan pemerataan hasil pembangunan akan lebih mudah tercapai.

(21)

8

memacu perkembangan pada wilayah sekitarrnya. Kota-kota kunci ini yang nantinya akan menjadi penentu pertumbuhan atau perkembangan bagi wilayah sekitarnya, sehingga perbedaan perkembangan antar wilayah akan dapat dicegah tanpa harus mengesampingkan perkembangan wilayah yang potensial untuk berkembang BAPEDDA (2013).

Penetapan kota-kota kunci dalam tata ruang wilayah di Kabupaten Kediri di tetapkan dengan model regionalisasi atau penentuan Sub Satuan Wilayah Pengembangan (SSWP) dan setiap SSWP memiliki wilayah pendukung dan pusat SSWP harus diberi kelengkapan yang berupa penunjang sosial ekonomi dalam pelayanan sub regional. Wilayah pusat juga harus memiliki aksesibilitas yang tinggi pada wilayah sekitarnya dan ke Kediri sebagai pusat SSWP, sedangkan fasilitas sosial ekonomi harus ada pada setiap SSWP.

Berdasarkan kondisi yang ada di Kabupaten Kediri, penetapan sistem tata ruang wilayah yang direncanakan adalah dengan membagi wilayah yang ada menjadi 7 (tujuh) wilayah pengembangan dan kegiatan utamanya BAPPEDA (2011) sebagai berikut:

1. SSWP A terdiri dari Kecamatan Grogol, Tarokan dan Banyakan dengan pusat di Kecamatan Grogol. Kegiatan yang akan dikembangkan di wilayah ini antara lain pendidikan, industri kecil/menengah, perdagangan dan pertanian.

2. SSWP B terdiri dari Kecamatan Ngadiluwih, Mojo, Kras, Kandat dan Ringinrejo dengan pusat di Kecamatan Ngadiluwih. Kegiatan yang dikembangkan di wilayah ini antara lain pertanian, perdagangan, pendidikan, pariwisata dan industri kecil/menengah.

3. SSWP C terdiri dari Kecamatan Ngancar dan Wates dengan pusat di Kecamatan Wates. Kegiatan yang akan dikembangkan di wilayah ini adalah pertanian, perhubungan, perdagangan, industri kecil dan pariwisata.

4. SSWP D terdiri dari Kecamatan Ngasem, Gampengrejo, Gurah, Pagu, Kayenkidul dan Plosoklaten dengan pusat di Kecamatan Ngasem. Kegiatan yang akan dikembangkan di wilayah ini antara lain perdagangan, industri, pendidikan, pusat pemerintahan, pemasaran/jasa, pertanian dan pariwisata. 5. SSWP E terdiri dari Kecamatan Pare, Badas, Puncu, Kepung dan Kandangan

(22)

9

wilayah ini antara lain pertanian, Agro industri, perdagangan, pariwisata, perhubungan dan pendidikan.

6. SSWP F yang terdiri dari Kecamatan Papar, Plemahan, Kunjang dan Purwoasri berpusat di Kecamatan Papar dengan kegiatan yang dikembangkan yakni pertanian, perdagangan, Transportasi dan industri.

7. SSWP G terdiri dari Kecamatan Semen yang menuju perbatasan Kota Kediri, dengan pengembangan kegiatan wilayah yakni perdagangan, industri kecil, pariwisata dan pertanian.

2.1.2 Pemindahan Pusat Kota Kabupaten

Ibukota Kabupaten merupakan suatu pusat administrasi pemerintahan yang setingkat dengan kota. Di situ ditempatkan kegiatan fungsional pemerintahan yang mengurus dan menyelenggarakan segala kegiatan dan administrasi yang berada di bawahnya yaitu kecamatan. Kecamatan membawahi administrasi dibawahnya yaitu sejumlah kelurahan dan desa.

Kabupaten merupakan alat penghubung antar propinsi, antar kabupaten atau kota dalam suatu propinsi dan menjaga kesatuan wilayah administrasinya. Disamping itu Ibukota kabupaten sebagai suatu kota harus dapat berfungsi sebagai pusat pelayanaan bagi kegiatan sosial budaya, sosial ekonomi dan sosial politik suatu wilayah kabupaten. Untuk itu harus mampu menyediakan jasa pelayanaan dalam menunjang fungsi tersebut, dalam artian menyediakan sumber penghidupan dan kehidupan bagi penduduk kota itu sendiri Sugiarto (1995) dalam Indafa`a (2006).

Sejalan dengan gerak laju pembangunan saat ini, Kabupaten Kediri tumbuh dan berkembang cepat, baik fisik, perekonomian, sosial, budaya maupun jumlah penduduk. Perkembangan pembangunan di Kabupaten Kediri perlu terus dipacu dengan menumbuhkan pusat-pusat perekonomian di seluruh wilayah, untuk itu perlu diimbangi dengan pengaturan tata ruang wilayah khususnya bagi Ibukota Kabupaten Kediri. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memindahkan Ibukota Kabupaten Kediri yang sebelumnya berada di Kota Kediri ke Ngasem selaku pusat seluruh aktivitas pemerintahan dan pembangunan.

(23)

10

upaya pemindahan pusat pemerintahan dari Kota Kediri ke Ngasem pada dasarnya telah mendapatkan persetujuan prinsip dari Bupati Kediri melalui Surat Nomor 100/3967/2005 tanggal 17 Desember 2005 perihal Pengiriman Dokumen Calon Ibukota Kabupaten Kediri dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kediri Nomor 13/DPRD/2005 tanggal 14 Desember 2005 tentang Penetapan Nama dan Peta serta Batas-batas wilayah Calon Ibukota Kabupaten Kediri serta Rekomendasi Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor Pem.135/530/2005 tanggal 15 Desember 2005 mengenai rekomendasi Kecamatan Ngasem sebagai Ibukota Kabupaten Kediri.

2.1.3 Central Business District

Menurut Sitohang (1977) dalam Indafa`a (2006) pengertian CBD adalah wadah konsentrasi kegiatan bisnis. Jenis kegiatan tersebut diantaranya perdagangan, kegiatan belanja dan sebagainya, dengan karakteristik penggunaannya lebih banyak untuk kegiatan perkantoran dan pemerintahan. CBD merupakan kawasan yang didalamnya menampung aktifitas yang relatif padat atau kegiatan yang multifungsional. Kegiatan yang berada di dalamnya meliputi diantaranya yang paling menonjol adalah kegiatan perdagangan, jasa dan perkantoran.

Central Business District (CBD) atau Daerah Pusat Kegiatan (DPK) adalah bagian kecil dari kota yang merupakan pusat dari segala kegiatan politik, sosial budaya, ekonomi dan teknologi. Central Business District memiliki ciri-ciri yang membedakannya dari bagian kota yang lain, Mulyawan (2010). Ciri-ciri tersebut adalah :

a. Adanya pusat perdagangan, terutama sektor retail. b. Banyak kantor-kantor institusi perkotaan.

c. Tidak dijumpai adanya industri berat/manufaktur.

d. Permukiman jarang, dan kalaupun ada merupakan permukiman mewah(apartemen)sehingga populasinya jarang.

e. Ditandai adanya zonasi vertikal yaitu banyak bangunan bertingkat yang memiliki diferensiasi fungsi.

(24)

11

g. Adanya “ multi storey “ yaitu perdagangan yang bermacam-macam dan ditandai dengan adanya supermarket/mall.

h. Sering terjadi masalah penggusuran untuk redevelopment/renovasi bangunan.

Menurut teori konsentris Burgess (1925) Daerah Pusat Kota (DPK) atau Central Business District (CBD) adalah pusat kota yang letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota. DPK atau CBD tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu: pertama, bagian paling inti atau RBD (Retail Business District) dengan kegiatan dominan pertokoan, perkantoran, dan jasa; kedua bagian di luarnya atau WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan, dan gedung penyimpanan barang supaya tahan lama.

Dalam era otonomi yang memberlakukan pasar bebas dalam globalisasi ekonomi, Indonesia sebagai negara berkembang mulai berbenah diri, hal ini dapat terlihat di sebagian besar di kota-kota di Indonesia yang berlomba-lomba membangun daerahnya, salah satunya dapat dilihat di CBD Simpang Lima Semarang yang merupakan tren masyarakat Semarang, sebagai tempat kegiatan yang multifungsi dan diperuntukkan sebagai kawasan perdagangan, perkantoran, hunian, pendidikan dan rekreasi. Kawasan CBD Simpang Lima ini merupakan pusat perekonomian terbesar di Kota Semarang yang didukung oleh jalur segitiga perekonomian Bulu, Peterongan, Johar. Keberadaan CBD ini mampu membangkitkan perekonomian kota dan menjadi konsentrasi kegiatan utama yang komplek bagi Kota Semarang.

Kawasan menurut Pasal 1 butir 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yaitu “wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya”. Kawasan menurut Pasal 1 butir 21-30 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 terdiri dari :

(25)

12

d. Kawasan Agropolitan e. Kawasan Perkotaan f. Kawasan Metropolitan g. Kawasan Megapolitan h. Kawasan Strategis Nasional i. Kawasan Strategis Provinsi

j. Kawasan Strategis Kabupaten/Kota

Kawasan Simpang Lima Gumul termasuk di dalam kategori kawasan perdesaan (Pasal 1 butir 23 UU Nomor 26 Tahun 2007) yaitu : “Wilayah yang mempunyai kegiatan utamanya adalah pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi”.

Kawasan Simpang Lima Gumul juga termasuk di dalam kategori kawasan agropolitan (Pasal 1 butir 24 UU Nomor 26 Tahun 2007) yaitu : “Kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai system produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis”.

2.2 Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan waktu sebelumnya. Prediksi jumlah penduduk yang akan datang dapat bermanfaat untuk mengetahui kebutuhan dasar penduduk, tidak hanya di bidang sosial dan ekonomi tetapi juga di bidang pemenuhan kebutuhan akan lahan misalnya penggunaan lahan (BPS Indonesia, 2000).

Badan Pusat Statistik Indonesia (2000) menyatakan pertumbuhan penduduk suatu wilayah atau negara dapat dihitung dengan membandingkan jumlah penduduk awal (misal P0) dengan jumlah penduduk di kemudian hari (misal Pt). Tingkat

(26)

13

��= � + � � Keterangan:

P0 = jumlah penduduk awal

Pt = jumlah penduduk t tahun kemudian

r = tingkat pertumbuhan penduduk t = jumlah tahun dari 0 ke t

Menurut Fandeli et al. (2008) perkembangan penduduk menyebabkan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak memperhatikan kelestarian. Perkembangan penduduk menyebabkan kebutuhan lahan semakin meningkat dan menyebabkan peralihan fungsi hutan ke penggunaan yang lain. Selanjutnya Sitorus et al. (2010) menyatakan perkembangan jumlah penduduk yang terlalu banyak dapat mengakibatkan penggunaan sumberdaya yang berlebihan.

2.3 Lahan dan Fungsi Utama Lahan

Lahan adalah suatu wilayah daratan bumi yang ciri-cirinya mencakup semua tanda pengenal (attributes) atmosfer, lahan, geologi, timbulan (relief), hidrologi dan populasi tumbuhan dan hewan, baik yang bersifat mantap maupun yang bersifat mendaur, serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan masa kini, sejauh hal-hal tadi berpengaruh murad (significant) atas penggunaan lahan pada masa kini dan masa mendatang. Jadi, lahan mempunyai ciri alami dan budaya.

Menurut Arsyad (2010), penggunaan lahan dibagi ke dalam dua kelompok utama yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam peggunaan lahan pertanian seperti tegalan, sawah, kebun karet, hutan produksi, dan sebagainya. Sedangkan penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan atas penggunaan kota dan desa (permukiman), industri, rekreasi, dan sebagainya. Barlowe (1978) membagi penggunaan lahan untuk (1) lahan permukiman, (2) lahan industri dan perdagangan, (3) lahan bercocok tanam, (4) lahan peternakan dan penggembalaan, (5) lahan hutan, (6) lahan mineral/pertambangan, (7) lahan rekreasi, (8) lahan pelayanan jasa, (9) lahan transportasi, dan (10) lahan tempat pembuangan.

(27)

14

fisik dimana manusia berada. Faktor ini memberikan dukungan sifat-sifat alamyang sesuai dengan letaknya, keadaan bahan penunjang untuk kegiatan manusia, dan komunitas manusia, diantaranya mencakup keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi meliputi produktivitas, pemasaran, transportasi, dan kebutuhan yang dicirikan oleh keuntungan, keadaan pasar, dan transportasi. Faktor kelembagaan dicirikan oleh ada tidaknya hukum pertanahan yang berlaku di masyarakat dan tidak bertentangan dengan keadaan sosial budaya serta kepercayaan yang secara empirik dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat.

Suparmoko (1989) penggunaan lahan oleh masyarakat pada suatu wilayah merupakan pencerminan dari kegiatan manusia pada wilayah yang mendukungnya. Pemanfaatan sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaan bertujuan untuk menghasilkan barang-barang pemuas kebutuhan manusia yang terus meningkat sebagai akibat pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi. Saefulhakim dan Nasoetion (1996), menyatakan bahwa penggunaan lahan merupakan suatu proses yang dinamis, perubahan yang terus menerus, sebagai hasil dari perubahan pada pola dan besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu. Hal ini mengakibatkan masalah yang berkaitan dengan lahan merupakan masalah yang kompleks. Penggunaan lahan merupakan refleksi perekonomian dan preferensi masyarakat. Berhubung perekonomian dan preferensi masyarakat ini bersifat dinamis sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan dinamika pembangunan, maka penggunaan lahanpun bersifat dinamis bisa berkembang ke arah peningkatan kesejahteraan masyarakat dan juga sebaliknya.

2.4 Konversi Lahan

2.4.1 Definisi Konversi

(28)

15

Menurut Sumaryanto et al. (1994) menjelaskan alih guna lahan dari segi pengembangan sumberdaya merupakan suatu bentuk dari perubahan alokasi sumberdaya antara sektor penggunaan. Akibat struktur trasformasi perekonomian yang mengarah pada semakin meningkatnya peran sektor non pertanian, menyebabkan terjadinya perubahan komposisi besaran dan laju penggunaan sumberdaya (tenaga kerja, modal dan tanah) antar sektor. Lazimnya, sektor-sektor ekonomi dengan pertumbuhan yang tinggi akan diikuti dengan laju penggunaan sumberdaya yang lebih tinggi. Akibatnya relokasi sumberdaya dari sektor pertanian ke non pertanian sangat sulit dihindari.

Perkembangan sektor pertanian pada umumnya terjadi pada wilayah-wilayah yang berlahan subur. Pada wilayah-wilayah-wilayah-wilayah inilah berkembang pusat-pusat pemukiman penduduk sehingga menuntut pemerintah daerah setempat untuk membangun fasilitas-fasilitas umum dan prasarana-prasarana diwilayah tersebut. Adanya pusat pemukiman penduduk, ketersediaan prasarana dan berdasarkan pertimbangan faktor-faktor lokasi, yaitu dekatnya lokasi dengan pemukiman sebagai sumber tenaga kerja, maka penggunan lahan untuk penggunaan non pertanian seperti industri cenderung untuk berkembang di wilayah ini (Nuryati, 1995).

Konversi lahan sawah sebenarnya wajar terjadi apabila dilakukan di lahan yang kurang subur, tapi pada kenyataannya konversi lahan sawah dilakukan pada lahan-lahan sawah yang subur dan produktif. Sehingga hal ini dalam jangka yang panjang akan mendatangkan banyak masalah, seperti hilangganya produksi padi yang mengakibatkan swasembada pangan (beras) tidak tercapai, mata pencaharian menjadi berkurang yang dulu bekerja menjadi petani dan buruh tani sekarang menjadi pengangguran karena lahan garapan sudah beralih fungsi ke non pertanian. Sihaloho (2004) menjelaskan bahwa konversi lahan adalah alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian atau dari lahan non pertanian ke lahan pertanian. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dijelaskan bahwa konversi lahan dipengaruhi dua faktor utama, yaitu:

(29)

16

2. Faktor pada aras mikro yang meliputi pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi rumah tangga), dan strategi bertahan hidup rumah tangga.

2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan

Alih fungsi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun pada kenyataanya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi diatas lahan pertanain produktif. Berdasarkan hal tersebut, Pakpahan (1993) membagi faktor yang mempengaruhi konversi dalam kaitannya dengan petani, yakni faktor tidak langsung dan faktor langsung. Faktor tidak langsung antara lain perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, arus urbanisasi dan konsistensi implementasi rencana tata ruang. Sedangkan faktor langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembanguan sarana trasforasi, pertumbuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan sawah.

Faktor langsung dipengaruhi oleh faktor tidak langsung, seperti pertumbuhan penduduk akan menyebabkan pertumbuhan pemukiman, perubahan struktur ekonomi ke arah industri dan jasa akan meningkatkan kebutuhan pembanguan sarana trasfortasi dan lahan untuk industri, serta peningkatan arus urbanisasi akan meningkatkan tekanan penduduk atas lahan di pinggiran kota. Alih fungsi lahan menjadi isu penting karena sebagian besar terjadi padalahan pertanian produktif dan adanya indikasi pemusatan penguasaan lahan di satu pihak dan proses fragmentasi lahan di pihak lain (Pakpahan et al, 1993).

Konversi lahan pertanian menjadi non pertanian menurut Winoto (2005) disebabkan oleh 5 faktor yaitu:

1. Faktor kependudukan, yaitu peningkatan dan penyebaran penduduk di suatu wilayah. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan permintaan tanah. Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut berperan menciptakan tambahan permintaan lahan.

(30)

17

keluarga petani yang semakin mendesak menyebabkan terjadinya konversi lahan.

3. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimun skala ekonomi usaha yang menguntungkan.

4. Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional secara keseluruhan. Hal ini tercermin dari rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang cenderung mendorong konversi tanah pertanian untuk penggunaan tanah non pertanian.

5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari peraturan yang ada.

2.5 Land Rent

Rustiadi et al. (2009) menyatakan bahwa land rent merupakan nilai dari kegiatan yang dilakukan pada sebidang lahan yang menghasilkan pendapatan bersih tiap meter persegi per tahun. Land rent adalah nilai surplus ekonomi sebagai bagian dari nilai produk total atau pendapatan total yang ada setelah pembayaran dilakukan untuk semua faktor biaya total (Barlowe, 1986). Nilai land rent yang lebih tinggi dapat menggeser kegiatan usaha yang mempunyai land rent lebih rendah. Hal ini dapat mempengaruhi dinamika perubahan penggunaan lahan. Secara umum aktivitas industri memiliki nilai land rent paling besar kemudian perdagangan, pemukiman, pertanian, dan kehutanan. Keterkaitan nilai land rent dengan perubahan penggunaan lahan sangat erat, karena penggunaan lahan cenderung akan berubah dari aktivitas dengan land rent rendah ke aktivitas dengan land rent yang lebih tinggi. Perubahan penggunaan lahan ini merupakan akibat dari perkembangan nilai land rent usaha non pertanian yang lebih tinggi dari pada land rent pertanian di suatu lokasi yang lebih produktif.

Menurut Hardjowigeno et al (1999), lahan paling sedikit mempunyai tiga jenis nilai dalam ekonomi lahan, yaitu :

(31)

18

Menurut Barlowe (1978) nilai ekonomi lahan dapat dibedakan menjadi dua yaitu :

1. Sewa Lahan (contract rent) sebagai pembayaran dari penyewa kepada pemilik dimana pemilik melakukan kontrak sewa dalam jangka waktu tertentu. 2. Keuntungan usaha (economic rent atau land rent) yang merupakan surplus

pendapatan di atas biaya produksi atau harga input lahan yang memungkinkan faktor produksi lahan dapat dimanfaatkan dalam proses produksi.

Konsep David Ricardo yang berkaitan dengan sewa atas dasar perbedaan dalam kesuburan lahan terutama pada masalah sewa di sektor pertanian. Teori sewa model Ricardo ditentukan berdasarkan perbedaan dalam kualitas lahan yang hanya melihat faktor-faktor kemampuan lahan untuk membayar sewa tanpa memperhatikan faktor lokasi lahan. Faktor lokasi dalam menetukan nilai sewa lahan diamati oleh Von Thunen yang menemukan bahwa sewa lahan di daerah yang dekat dengan pusat pasar lebih tinggi daripada daerah yang lebih jauh dari pusat pasar. Menurut Von Thunen sewa lahan berkaitan dengan perlunya biaya transport dari daerah yang jauh ke pusat pasar (Suparmoko, 1989)

Lahan yang lokasinya dekat pasar oleh masyarakat digunakan untuk daerah pusat kegiatan ekonomi yang akan memberikan pendapatan dan kapasitas sewa yang tinggi untuk berbagai alternatif penggunaan, seperti untuk industri-industri atau kegiatan lain yang lebih menguntungkan. Bila mekanisme pasar terus berlangsung, maka penggunaan lahan yang mempunyai land rent yang lebih besar relatif mudah menduduki lokasi utama dan menekan serta menggantikan posisi penggunaan lahan yang mempunyai land rent yang lebih kecil. Secara umum besaran land rent dari berbagai kegiatan dapat diurutkan dari yang terbesar sebagai berikut : Industri, Perdagangan, Permukiman, Pertanian Intensif, Pertanian Ekstensif (Barlowe, 1978). Hal ini dapat disimpulkan bahwa sektor-sektor yang komersial dan strategis mempunyai land rent yang tinggi. Sehingga sektor-sektor tersebut berada di kawasan strategis.

2.6 Penelitian Terdahulu

(32)

19

Tujuan dari penelitian yang dilakukan Astuti (2011) adalah untuk: (1) Mengidentifikasi laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua. (2) Menganalisis keterkaitan harga lahan terhadap laju konversi lahan pertanian di Kecamatan Cisarua. (3) Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penduduk dalam mengkonversi lahan di hulu sungai.

Metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif dan kuantitatif, analisis kualitatif menggunakan metode linear berganda, analisis kuantitatif menggunakan metode Korelasi Pearson. Hasil dari penelitian yang dilakukan adalah harga lahan di tingkat Kecamatan Cisarua pada tahun 2001-2010 berhubungan positif terhadap konversi lahan. Laju konversi semakin tinggi karena harga lahan di Kecamatan Cisarua lebih murah dibandingkan dengan daerah asal mayoritas pembeli yaitu Jakarta dimana pembeli memiliki keinginan untukberinvestasi.

Anugrah, 2005 dalam penelitiannya yang berjudul analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah ke penggunaan pertanian di Kabupaten Tangerang. Tujuan dari penelitian yang dilakukan Anugrah (2005) adalah untuk: (1) mengidentifikasi perkembangan dan pola konversi lahan sawah selama sepuluh tahun terakhir di wilayah Kabupaten Tangerang. (2) mengidentifikasi dampak konversi lahan sawah seiring dengan terjainya pergeseran struktur ekonomi di Kabupaten Tangerang. (3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah ke penggunan non pertanian di Kabupaten Tanggerang.

(33)

20

Utama, 2006 dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah ke penggunan non sawah di Kabupaten Ciberon. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: (1) mengetahui berapa besar dan laju konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah di Kabupaten Cirebon, (2) mengetahui pola konversi lahan sawah dan (3) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konversi lahan sawah ke penggunan non sawah di Kabupaten Cirebon.

Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis diskritif dan kuantitatif. Analisi regresi digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang yang mempengaruhi konversi lahan sawah menggunankan metode Ordinary Least Square (OLS). Hasil dari penelitian ini adalah laju konversi di Kabupaten Cirebon pada tahun 1990-2004 sebesar 5.877 ha atau sekitar 391,47 ha per tahun. Pola konversi lahan sawah terbesar terjadi pada sawah tada hujan yaitu sebesar 41,54 persen dari luas lahan yang terkonversi. Sedangkan faktor-faktor yang memepengaruh konversi lahan adalah: kepadatan penduduk, produktivitas lahan, kontribusi PDRB non pertanian dan pertumbuhan pajanng aspal jalan.

(34)

21

III.

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis berisi tentang teori-teori yang melandasi dan mendukung penelitian. Teori yang digunakan mencakup hal-hal yang berhubungan dengan pergeseran struktur ekonomi dan konversi lahan sawah.

3.1.1. Teori konversi lahan

Menurut Pakpahan (1993) konversi lahan sawah ke penggunaan lain dapat terjadisecara langsung maupun tidak langsung. Konversi lahan sawah secara langsung umumnya terjadi sebagai akibat dari keputusan pemilik lahan sawah untuk mengalihkan lahan tersebut ke jenis pemanfaatan lain, diantaranya di pengaruhi oleh perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan ekonomi, arus urbanisasi dan konsistensi implementasi rencana tataruang, sedangkan konversi lahan secara tidak langsung terjadi sebagai akibat makin menurunnya kualitas lahan sawah ataupun makin rendahnya income opportunity dari lahan tersebut secara relatif, diantaranya dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan pertanian.

Dalam masyarakat modern lahan yang memberikan keuntungan lebih tinggi digunakan untuk keperluan industri dan perdagangan jika dibandingkan dengan penggunaan lainnya. Kemudian penggunaan untuk pemukiman , lalu diikuti dengan lahan pertanian, hutan dan yang terakhir adalah berupa lahan tandus. hal terlihat pada gambar 3.1. Apabila disajikan 3 dimensi bentuk itu menyerupai sebuah kerucut dengan pusat kota berada di tengahnya.

Dalam pelaksanaannya, ada dua gejala yang muncul jika mekanisme pasar diterapkan Barlowe (1978)

1. Semakin besar land rent maka daya saing penggunaan tanah untuk menduduki prime location semakin besar.

(35)

22

Sumber : Barlowe, 1978

Gambar 3.1. Ilustrasi hubungan antara land rent dengan kapasitas penggunaan lahan

Berdasarkan kedua teori diatas maka penggunaan lahan yang memiliki keuntungan komparatif tertinggi seperti perdagangan dan industri mempunyai kapasitas penggunaan lahan yang terbesar, sedangkan sektor pertanian mempunyai keuntungan komparatif yang lebih rendah sehingga alokasi penggunaan lahan untuk pertanian akan semakin kecil.

3.1.2. Teori Lokasi

Berdasarkan teori lokasi Von Thunen dalam Suparmoko (1989), bahwa surplus ekonomi suatu lahan banyak ditentukan oleh lokasi ekonomi (jaraknya ke kota). Menurut Von Thunen, bahwa biaya transportasi dari lokasi suatu lahan ke kota (pasar) merupakan input produksi yang penting, makin dekat lokasi suatu lahan ke kota maka makin tinggi aksesibilitasnya atau biaya transport makin rendah, oleh karena itu sewa lahan akan semakin mahal berbanding terbalik dengan jarak. Semakin jauh jarak ke pusat pasar maka biaya transportasi semakin mahal sehingga land rent semakin turun sejalan dengan semakin meningkatnya biaya transportasi.

(36)

23

sehingga biaya total produksi sebesar KT, pada kondisi demikian tidak mendapatkan surplus. Oleh karena itu land rent berbanding terbalik dengan jarak, semakin besar jarak maka land rent semakin kecil.

land rent (Rp) land rent (Rp)

P T

Land rent A

C Biaya transport

B U

O M K O L K

Jarak ke pasar (Km) Jarak ke pasar (Km) keterangan gambar :

0 : Pusat pasar P : Harga produk C : Biaya produksi M, K, L : Jarak

Sumber : Yunus 2004

Gambar 3.2. Pengaruh Jarak Terhadap Biaya Transportasi dan Land Rent Teori lokasi lahan juga dapat ditunjukkan menurut McCann (2001) yang menjelaskan bahwa dalam rangka membangun sebuah kurva Bid-rent, diasumsikan bahwa titik M merupakan pusat bisnis atau pusat kota. Sementara itu D merupakan jarak yang harus ditempuh seseorang dari permukiman menuju tempat kerja atau pusat kota. Selain itu, diasumsikan bahwa perjalanan seseorang menuju titik M akan menimbulkan biaya transportasi. Model Bid-rent dapat menunjukkan jarak permukiman dari pusat kota. Secara empiris, jika jarak permukiman semakin jauh dari pusat kota, maka sewa lahan akan lebih rendah karena semakin besarnya biaya transportasi yang harus dikeluarkan seseorang untuk menuju pusat kota tersebut.

(37)

24

tingkat utilitas masing-masing individu akan berbeda untuk setiap tingkat pendapatan. Perbedaan tingkat utilitas U individu yang digambarkan oleh kurva Bid-rent BR1, BR2 dan BR3 dimana kurva BR3 menunjukkan tingkat utilitas tertinggi, atau dapat ditulis dengan U(BR1) < U( BR2) < U( BR3). Pernyataan tersebut ditunjukkan pada gambar 3.3

Rent/m2

BR1

BR2 BR3

M D (jarak dalam meter)

Sumber : McCann (2001)

Gambar 3.3. Kurva Bid-rent Individu keterangan gambar :

BR1 : Utilitas Bid rent 1 BR2 : Utilitas Bid rent 2 BR3 : Utilitas Bid rent 3

(38)

25

Rent/m2

W

Kurva Bid rent berpendapatan tinggi

Kurva Bid rent berpendapatan menengah

Kurva Bid-rent berpendapatan rendah

M

dh d (jarak dalam meter)

dm d1

Sumber : McCann (2001)

Gambar 3.4. Alokasi Lahan Permukiman dengan Preferensi yang Relatif Tinggi Terhadap Aksessibilitas

Gambar tersebut menunjukkan bahwa kelompok yang memiliki pendapatan tinggi akan memilih tinggal di daerah yang memiliki jarak sebesar dh dari pusat kota M. Kelompok yang berpendapatan menengah akan tinggal di daerah yang berdekatan dengan perbatasan dh. Jarak lahan permukiman kelompok yang berpendapatan menengah adalah sebesar dm dari pusat kota M. Sementara itu kelompok yang berpendapatan rendah akan menempati wilayah pinggir kota yang memiliki jarak sebesar d1 dari puast kota M. Semakin dekat dengan pusat kota maka harga lahan semakin tinggi jika dibandingkan harga lahan yang jauh dari pusat kota. Hal ini karena aksessibilitas terhadap lahan tersebut.

3.2. Kerangka Operasional

(39)

26

dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mendukung pembangunan kawasan, maka akan semakin mempercepat pembangunan ditingkat kabupaten.

Perkembangan sektor ekonomi di suatu kawasan mendorong perubahan penggunaan lahan di kawasan tersebut. Hal ini mendorong perubahan penggunaan sumberdaya lahan ke penggunaan yang memberikan nilai ekonomi lebih tinggi. Lahan yang awalnya berupa lahan pertanian diubah menjadi bentuk lain yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Selain itu, pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat menyebabkan kebutuhan akan tempat tinggal serta sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup juga ikut meningkat. Keberadaan lahan yang relatif tetap memaksa lahan pertanian untuk dialihfungsikan menjadi bentuk lain berupa pemukiman dan infrastruktur kependudukan.

(40)

27

Keterangan Batasan penelitian aliran

Gambar 3.5 Diagram kerangka pemikiran Gambar Peningkatan Kebutuhan

Penggunaan lahan

Pemindahan Hak Kepemilikan Lahan

Pembangunan Wilayah Peningkatan Jumlah

Penduduk

Analisis Regresi Linear Berganda

Simpulan dan Saran Konversi lahan

Pola dan Laju Alih Fungsi Lahan

Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Konversi

Lahan ditingkat Petani Pemindahan

Ibukota Kabupaten Pembangunan

CBD

Tingkat Kelahiran

Urbanisasi Rencana Tata

(41)

28

3.3.Hipotesis

Berdasarkan landasan teori dan kajian penelitian terdahulu tentang konversi lahan, maka disusun hipotesis dari penelitian sebagai berikut ini:

1. Pemanfaatan lahan non pertanian memberikan nilai keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pertanian. Hal ini menyebabkan petani pemilik lahan cenderung untuk mengalihfungsikan lahan pertanian mereka ke non pertanian yang lebih menguntungkan secara ekonomi.

2. Jumlah tanggungan petani adalah jumlah orang yang untuk keperluan hidupnya dibiayai oleh petani. Semakin banyak jumlah tanggungan petani maka petani semakin membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhannya. Menjual lahan adalah satu cara mendapatkan tambahan dana untuk mencukupi kebutuhan hidup yang ditanggung petani. Oleh karena itu jumlah tanggungan berpengaruh positif pada laju konversi lahan.

3. Jarak lahan pertanian dari pusat kegiatan berpengaruh negatif terhadap laju konversi lahan. Menurut teori konsentris semakin menuju ke pusat maka aktifitas ekonomi akan semakin padat. Semakin dekat dengan pusat kawasan maka demand akan kepemilikan lahan semakin meningkat. Demand kepemilikan lahan yang tinggi mempengaruhi harga dari lahan tersebut. Semakin tinggi harga lahan pertanian maka keinginan petani untuk menjual lahan semakin tinggi karena akan mendatangkan keuntungan.

(42)

29

IV.

METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di tiga desa yang berbatasan langsung dengan kawasan Central Business District (CBD) Simpang Lima Gumul. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Pertimbangan memilih lokasi karena desa tersebut termasuk desa yang berkategori cukup padat yang letaknya berbatasan langsung dengan CBD. Desa tersebut adalah Desa Gogorante, Desa Paron dan Desa Tugurejo yang masuk dalam administrasi Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri. Pengambilan data primer dilaksanakan dari bulan Juni hingga September 2013.

4.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan wawancara menggunakan kuesioner kepada dua jenis responden. Untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pada tingkat petani respondenya adalah petani yang melakukan konversi lahan, petani yang tidak melakukan konversi lahan, dan petani yang mentransaksikan kepemilikan lahan. Untuk menganalisis pola, karakteristik dan juga laju konversi lahan di Kabupaten Kediri menggunakan data hasil wawancara dan data sekunder dari instansi terkait (BAPPEDA, BPN, Dinas Pertanian, DISPENDA, BPS) dan tokoh masyarakat. Metode ini memerlukan alat bantu kuesioner yang digunakan sebagai instrumen penelitian. Kuesioner merupakan lembaran yang berisi beberapa pertanyaan dengan struktur yang baku (Prasetyo dan Jannah 2005).

4.3 Jenis dan Sumber Data

(43)

30

Kecamatan Ngasem, buku bacaan, perpustakaan, dan literatur-literatur yang relevan dengan penelitian serta internet. Data sekunder digunakan untuk mengetahui laju alih fungsi lahan.

4.4 Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sample dilakukan dengan menggunakan metode snowball sampling. Teknik snowball sampling merupakan bentuk dari non probability sampling method. Metode ini dipilih karena jumlah populasi yang akan diteliti tidak diketahui secara pasti. Cara ini dilakukan dengan mencari sample pertama dan mewawancarainya. Setelah itu peneliti meminta sample pertama tadi untuk menunjukan orang lain yang kira-kira bisa dijadikan sample yang sesuai dengan kriteria yang diinginkan dan begitu pula seterusnya. Dalam hal ini populasi yang akan diteliti tidak memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sample.

Responden dalam penelitian ini terbagi dalam dua kategori, yaitu petani dengan lahan usaha taninya pernah dialihfungsikan dan petani yang pernah mentransaksikan hak kepemilikan lahannya. Petani tersebut dipilih karena dianggap tahu seluk-beluk produksi sawahnya dan mempunyai kekuasaan untuk mengalihfungsikan lahan miliknya. Penelitian ini telah dilaksanakan dengan mengambil responden sebanyak 30 orang. Penetapan sample ini didasarkan pada pendapat Juanda (2009) yang menyatakan, bahwa jika tidak ada informasi mengenai ragam dari populasi maka ukuran sample minimum yang menggunakan analisis data statistik adalah 30 responden dimana populasi di anggap menyebar normal.

4.5 Metode Analisis Data

(44)

31

Tabel 4.1 Matriks metode analisis data

No Tujuan Sumber Data Metode Analisis Data

1 Mengkaji pola atau karakteristik alih fungsi lahan di Kabupaten Kediri.

Badan Pusat Statistik dan wawancara dengan tokoh masyarakat dan petani

Analisis deskriptif

2 Menghitung laju alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Kediri.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Kediri

Analisis regresi linier dan analisis regresi logistik

Sumber : Data primer diolah, 2013

Analisis data dilakukan menggunakan alat bantu program komputer Microsoft Office Exel 2007 dan Statistical Program Service Solution (SPSS) 16.0.

4.5.1 Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan metode pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat mengenai masalah-masalah yang ada dalam masyarakat, tata cara yang berlaku, serta situasi-situasi tertentu termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap, pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena. Dengan Menggunakan analisis deskriptif, maka akan diperoleh gambaran mengenai pola atau karakteristik dan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Kediri.

4.5.2 Analisis Laju Alih Fungsi Lahan

Menurut Astuti (2011), persamaan penyusutan lahan digunakan dalam perhitungan laju alih fungsi lahan pertanian. Laju alih fungsi lahan dapat ditentukan dengan cara menghitung laju penyusutan lahan secara parsial. Laju penyusutan lahan secara parsial dapat dijelaskan secara berikut:

(45)

32

tahun sebelum t tersebut dan dikalikan dengan 100 persen. Hal ini dilakukan juga pada tahun-tahun berikutnya sehingga diperoleh laju alih fungsi lahan setiap tahun. Nilai V<0 berarti bahwa luas lahan tersebut mengalami penyusutan.

4.5.3 Analisis Regresi Linear Berganda

Dalam mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan lahan akibat alih fungsi lahan pertanian digunakan model analisis regresi linear berganda. Analisis regresi adalah sebuah alat analisis statistik yang memberikan penjelasan tentang pola hubungan (antara dua variabel atau lebih). Tujuan dari analisis regresi ini adalah meramalkan nilai rata-rata satu variabel. Metode ini sebenarnya menggambarkan hubungan antara peubah bebas atau independent (Y) dengan peubah tak bebas atau dependent (X).

Persamaan model regresi linear berganda untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut :

� = + − + �� − � � + + � ... (2) dimana:

Y = Luas lahan pertanian yang terkonversi (m²) α = Intersep

βi = Koefisien regresi

JT = Jumlah tanggungan (jiwa) JCBD = Jarak dari pusat CBD (m)

HLPP = Harga lahan permeter persegi (Rp/m²)

PDSP = Pendapatan dari sektor pertanian (dalam seribu Rp/bulan) LLDS = Luas lahan dimiliki sebelumnya (m²)

ε = Error Term/Residual

Hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini terkait variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap kegiatan alih fungsi lahan di tingkat petani adalah:

(46)

33

2. Jarak dari CBD (JCBD) adalah jarak lahan pertanian yg dikonversi atau ditransaksikan dengan pusat kawasan CBD yaitu Monumen Simpang Lima Gumul. Menurut Von Thunen semakin jauh dari pusat maka land rent dari lahan akan semakin berkurang. Hal ini karena aktivitas terpusat di pusat CBD. 3. Harga lahan permeter persegi (HLPP) adalah harga lahan per/meter persegi. Harga permeter diduga mempengaruhi keputusan menjual atau mengkonversi lahan. Karena semakin tinggi harga lahan maka permintaan akan lahan semakin menurun, sehingga mempengaruhi jumlah luas lahan yang ditransaksikan. 4. Pendapatan dari sektor pertanian (PDSP) adalah pendapatan dari pertanian

tanpa dikurangi biaya produksi pertanian dan banyaknya output yang dikonsumsi. Semakin tinggi pendapatan sektor pertanian maka penerimaan petani akan meningkat sehingga hal ini berpengaruh terhadap keputusan untuk menjual atau mengkonversikan lahan.

5. Luas lahan dimiliki sebelumnya (LLDS) adalah luas lahan petani sebelum menjual lahan sawahnya. Semakin banyak luas lahan yang dimiliki sebelumnya maka kemampuan petani untuk mengelola seluruh lahannya akan berkurang. Sehingga hal ini berpengaruh terhadap keputusan untuk menjual atau mengkonversikan lahan.

4.5.4 Pengujian Parameter Regresi

Pengujian statistik terhadap model yang dapat dilakukan adalah :

1. Uji Koefisien Determinasi yang Disesuaikan (Adj-R2)

Penambahan variabel bebas akan menyebabkan bertambahnya nilai R2. Permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan menghitung Adj-R2. Adj-R2 adalah koefisien determinasi yang telah disesuaikan, sehingga penambahan nilainya menjadi terbebas dari pengaruh penambahan jumlah variabel bebas. Arti dari nilai Adj-R2 secara harfiah sama dengan nilai R2, hanya saja Adj-R2 lebih tepat karena telah menghilangkan pengaruh dari jumlah variabel. Adj-R2 dapat dirumuskan sebagai berikut:

- = − ⁄ � − −� −

Dimana:

(47)

34

n = jumlah observasi K = jumlah koefisien

2. Uji Koefisien Regresi Menyeluruh (F)

Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebassecara bersama-sama terhadap variabel terikat. Adapun prosedur yang digunakan :

H0 : β1= β2= β3= ... = βi = 0

H1 : minimal ada satu βi≠ 0

ℎ�� = � −

Dimana:

JKR = Jumlah Kuadrat Regresi

JKG = Jumlah Kuadrat Galat/Residual k = Jumlah variabel terhadap intersep n = Jumlah pengamatan (sample)

Apabila Fhit < Ftab maka H0 diterima yang berarti bahwa variabel bebas

secara keseluruhan tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. Sedangkan apabila Fhit > Ftab maka H0 ditolak yang berarti bahwa variabel bebas berpengaruh

nyata terhadap variabel terikat.

3. Uji Koefisien Regresi Parsial (t)

Uji t dilakukan untuk menghitung koefisien regresi masing-masing variabel bebas sehingga dapat diketahui pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat. Menurut Gujarati (2002), adapun prosedur pengujiannya:

H0: β1 = 0

H1: β1≠ 0

�ℎ�� =� − �

Dimana:

b = parameter pendugaan βt = parameter hipotesis

Seβ = standar errorparameter β

Jika thit < ttabel α/2, maka H0 diterima, artinya variabel bebas yang diuji tidak

berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. Namun, jika thit > ttabel α/2, maka H0

(48)

35

Pengujian asumsi klasik terhadap model yang dapat dilakukan adalah :

1. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah pada model tersebut residual terdistribusi normal atau tidak. Model yang baik harus mempunyai residual yang terdistribusi normal atau hampir normal. Uji yang dapat digunakan adalah dengan membuat histrogram normalitas. Nilai probality yang lebih besar dari taraf nyata α menandakan residual terdistribusi secara normal.

2. Uji Heterokedastisitas

Homoskedastisitas adalah salah satu asumsi pendugaan metode kuadrat terkecil dengan ragam galat konstan dalam setiap amatan. Pelanggaran atas asumsi homoskedastisitas adalah heteroskedastisitas. Uji heteroskedastisitas digunakan untuk mengetahui varians residual (error) apakah konstan atau tidak. Menguji asumsi heteroskedastisitas dapat dilihat dari gambar scatterplot (Yamin dan Kurniawan 2009). Selain itu, dapat digunakan uji Gletjer yang meregresikan antara variabel independen dengan nilai absolut residualnya. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut :

H0 : homoskedastisitas

H1 : heteroskedastisitas

Tidak terjadi pelanggaran asumsi heteroskedastisitas jika nilai probabilitas (p-value) lebih dari alpha maka terima H0.

3. Uji Autokolerasi

Uji autokorelasi dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya korelasi antara residual dengan residual lain. Uji yang digunakan untuk mendeteksi autokorelasi adalah uji DW (Durbin Watson test). Nilai statistik DW berada diantara 1,55 dan 2,46 maka menunjukkan tidak ada autokorelasi (Firdaus 2004). Tabel 4.2 merupakan selang nilai statistik DW serta keputusannya.

Tabel 4.2 Selang nilai statistik durbin watson serta keputusannya

Hipotesis nol Keputusan Jika

(49)

36

Cara mendeteksi autokorelasi apabila nilai DW mendekati 2 maka pelanggaran asumsi autokorelasi tidak terjadi. Nilai statistik uji ini adalah :

DW ≈ 2 (1 - ρ) keterangan :

ρ = korelasi antar residual

Tidak ada autokorelasi jika ρ sama dengan nol sehingga apabila nilai DW mendekati 2 maka nilai ρ mendekati nol. Artinya, apabila nilai DW mendekati 2 maka autokorelasi tidak terjadi.

4. Uji Multikolinearitas

Gambar

GAMBARAN UMUM
Tabel 1.1 Jumlah penduduk Kabupaten Kediri Tahun 2001-2011 dengan laju
Gambar 3.1. Ilustrasi hubungan antara land rent dengan kapasitas penggunaan
Gambar 3.2.  Pengaruh Jarak Terhadap Biaya Transportasi dan Land Rent
+7

Referensi

Dokumen terkait

Macam-macam kelebihan yang anda akan dapat dengan Sistem Muslim Niaga anda tidak dapat di tempat lain Kalau anda lihat model perniagaan lain, anda perlu sediakan kedai sendiri,

Dalam menjalankan usahaternak ayam broiler, Peternakan Bapak Maulid mengalami fluktuasi tingkat mortalitas ayam broiler sehingga terjadi penyimpangan antara hasil produksi

&#34;Kejadian ini diketahui Minggu 27 April 2014 lalu sekitar jam 12.00 WIB atas perbuatan cabul terhadap sesama jenis yang dilakukan tersangka terhadap korban MDR (11),&#34; kata

Aliran sungai dari hulu ketika pasang angkutan sedimen diendapkan di alur sungai ataupun muara sungai sedangkan aliran sungai ketika surut angkutan sedimen dibawa kembali

Secara umum, tujuan terapi intravena adalah untuk memenuhi kebutuhan cairan pada klien yang tidak mampu mengonsumsi cairan oral, menambah asupan elektrolit untuk

[r]

Oleh fungsi dan konsep Suling Dewa di atas maka dapat disimpulkan bahwa setiap upacara masyarakat Sasak Kuto – kute yang menghadirkan energi metafisik

Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah 1) Apakah alasan pengangkatan anak di Kabupaten Gowa? 2) Bagaimana proses pengangkatan anak di