PERENCANAAN JALUR INTERPRETASI ALAM
DI PULAU KAPOTA, TAMAN NASIONAL WAKATOBI
RAFIKA
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
PERENCANAAN JALUR INTERPRETASI ALAM
DI PULAU KAPOTA, TAMAN NASIONAL WAKATOBI
RAFIKA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
RINGKASAN
RAFIKA. Perencanaan Jalur Interpertasi Alam di Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi. Di bawah bimbingan NANDI KOSMARYANDI dan EVA RACHMAWATI.
Pulau Kapota merupakan salah satu pulau berpenghuni di kawasan Taman Nasional Wakatobi (TNW) yang letaknya tidak jauh dari ibukota kabupaten, dengan luas wilayah sekitar 1.804,97 ha. Pulau Kapota memiliki potensi sumberdaya kawasan yang dapat dikembangkan sebagai objek dan daya tarik wisata yaitu berupa potensi sumberdaya alam dan budaya. Melihat potensi sumberdaya kawasan tersebut pihak taman nasional memiliki rencana untuk menjadikan Pulau Kapota sebagai salah satu lokasi kegiatan ekowisata di TNW. Agar pengunjung yang datang ke Pulau Kapota mendapatkan nilai lebih dalam kunjungannya maka kegiatan ekowisata akan lebih baik lagi jika dipadukan dengan kegiatan interpretasi. Penelitian dilaksanakan di Pulau Kapota, salah satu pulau di TNW, Sulawesi Tenggara. Dilaksanakan selama dua bulan, yaitu bulan Juli-Agustus 2010. Alat dan bahan yang digunakan antara lain alat tulis, binokuler, kamera digital, tape recorder, GPS, Software Arcview 3.3, peta TNW dan kuesioner. Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi literatur, wawancara dan penyebaran kuesioner, serta observasi lapang.
Hasil penelitian menemukan berbagai objek dan daya tarik wisata di Pulau Kapota yang diklasifikasikan menjadi potensi biologis, potensi fisik, potensi sejarah dan situs keramat, serta potensi seni-budaya. Potensi biologis berupa keanekaragaman flora yang ada pada jalur pengamatan (dijumpai 16 jenis flora), fauna (dijumpai 23 jenis burung, 2 jenis mamalia, 3 jenis reptil), dan ekosistem yang khas (mangrove, lamun, terumbu karang). Potensi fisik berupa Goa Kelelawar, Mata Air Kolowowa, Danau Tailaro Nto‟oge, pantai berpasir putih dan pemandangan alam. Potensi sejarah dan situs keramat berupa benteng kerajaan masyarakat adat Kapota (Katiama dan Togo Molengo), makam penyiar agama Islam pertama di Pulau Kapota, Saru-sarua, Laudina, Watu Lulu, dan Watu Ndengu-ndengu. Potensi seni-budaya berupa kerajinan jalajah dan tenunan kain leja, tarian tradisional, dan pesta adat (Kabuenga dan Karia‟a). Sudah terdapat jalur yang menghubungkan berbagai objek dan daya tarik wisata di Pulau Kapota. Dari hasil pengamatan dijumpai tujuh jalur yang dapat digunakan untuk mencapai objek-objek tersebut, enam jalur terestrial dan satu jalur aquatik. Berdasarkan potensi objek serta kondisi fisik jalur, dari ketujuh jalur yang ada terdapat enam jalur yang direncanakan sebagai jalur interpretasi, lima jalur terestrial dan satu jalur aquatik. Jalur tersebut yaitu Jalur Interpretasi Pantai Aowolio, Jalur Interpretasi Goa Kelelawar, Jalur Interpretasi Togo Molengo, Jalur Interpretasi Banakawa, Jalur Interpretasi Hutan Sara dan Jalur Interpretasi Kapota Reef.
SUMMARY
RAFIKA. Planning Interpretation Trail in Kapota Island, Wakatobi National Park. Under the Supervision of NANDI KOSMARYANDI and EVA RACHMAWATI.
Kapota island is one of the inhabited island in Wakatobi National Park area. Located nearby the capital of district with an area approximately 1.804,97 ha. Kapota island has potential resources that can be developed as tourism object and attraction such as natural resources and cultural. Based on potential resources in the area, the national park aims to make Kapota island as one of the ecotourism activity location. In order to make Kapota island visitors get more advantages, therefore the ecotourism activity joined with interpretation programme. This research carried out in Kapota island, one of island in Wakatobi National Park, Sulawesi Tenggara Province. That was implemented for two months, July to August 2010. The equipments and materials were stationery, binoculars, digital camera, tape recorder, GPS, Software Arcview 3.3, Wakatobi National Park map, and questionnaire. Data collected by literature study, interview, questionnaire, and field observation.
The result were various tourism objects and attractions in Kapota island which can be classified as potential biology, physic, history, sacred sites, and art-culture. Biology potential such as flora diversity (16 species flora), fauna (23 species birds, 2 species mammals, 3 species reptiles), and specific ecosystem (mangrove, seagrass, coral reef). Physic potential such as Bat Cave, Kolowowa Spring, Tailaro Nto‟oge Lake, white sand beach, and landscape. History potential and sacred sites such as fort royal of indigenous people of Kapota (Katiama dan Togo Molengo), tomb of the first herald of islamic religious in Kapota island, Saru-sarua, Laudina, Watu Lulu, and Watu Ndengu-ndengu. Art-culture potential such as jalajah craft, leja woven fabric, traditional dance, and tradition feast (Kabuenga dan Karia’a). There were tracks connecting the location of tourism object and attractions in the island. From the result, found seven tracks that can be used to reach the objects, six tracks in terrestrial, and one track in aquatic. Based on potential object and the condition of track, six tracks planned as interpretation trails, five tracks in terrestrial and one track in aquatic. The tracks were Aowolio Beach, Bat Cave, Togo Molengo, Banakawa, Sara Forest, and Kapota Reef.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Perencanaan Jalur Interpretasi Alam di Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan
belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, April 2011
Rafika
Judul Skripsi : Perencanaan Jalur Interpertasi Alam di Pulau Kapota, Taman
Nasional Wakatobi
Nama : Rafika
NIM : E34063253
Menyetujui: Dosen Pembimbing
Pembimbing I, Pembimbing II,
Ir. Nandi Kosmaryandi,M.Sc.F Eva Rachmawati,S.Hut, M.Si NIP. 196606281998021001 NIP. 197703212005012003
Mengetahui: Ketua Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP. 195809151984031003
RIWAYAT HIDUP
Rafika dilahirkan di Desa Taratak Tangah, Kecamatan
Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat pada
tanggal 1 Februari 1988. Penulis merupakan anak pertama dari
5 bersaudara pasangan Bapak Usri dan Ibu Yumarnis.
Pendidikan formal di tempuh di SD Negeri 19 Taratak
Tangah, SMP Negeri 3 Lembah Gumanti, dan SMA Negeri 1
Lembah Gumanti. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut
Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Mahasiswa IPB) dan
tahun 2007 penulis tercatat sebagai mahasiswa Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Selama perkuliahan
penulis aktif dalam beberapa organisasi di IPB yaitu Organisasi Mahasiswa
Daerah IPMM (Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang), Unit Kegiatan Mahasiswa
UKF (Uni Konservasi Fauna), dan Himpunan profesi HIMAKOVA (Himpunan
Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata).
Kegiatan-kegiatan yang pernah penulis ikuti selama berada di IPB
diantaranya Eksplorasi Satwa di Cikeupuh (2006); Ekspedisi Global di Taman
Nasional Gunung Halimun Salak (2006); Studi Konservasi Lingkungan (SURILI)
di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalbar (2008); Eksplorasi Fauna
Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar Alam Rawa Danau,
Banten (2009); Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di CA Kamojang,
TWA Kawah Kamojang, dan CA Leuweung Sancang (2008); Praktek
Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango, dan KPH Cianjur (2009); Praktek Kerja Lapang Profesi
(PKLP) di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur (2010). Sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, penguasa seluruh alam,
karena berkat izin-Nya, kekuasaan-Nya serta kasih sayang-Nya karya kecil ini
dapat diselesaikan. Dengan segala hormat, penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
1. Orang tua, kakak, adik, dan segenap keluarga atas segala doa, motivasi dan
dukungannya yang tiada henti hingga studi ini dapat terselesaikan.
2. Keluarga Pak In selaku orang tua wali selama di Bogor, terima kasih banyak
atas doa, motivasi, dan dukungannya.
3. Ir. Nandi Kosmaryandi, M.Sc.F dan Eva Rachmawati, S.Hut, M.Si selaku
pembimbing penulis, terima kasih atas kesabaran dan keikhlasannya dalam
memberikan ilmu, bimbingan dan nasehat kepada penulis.
4. Seluruh staf pengajar Fakultas Kehutanan IPB yang telah banyak memberikan
ilmu pengetahuan.
5. Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi Bpk Wahju Rudianto, S.Pi yang telah
memberikan izin tempat penelitian, serta kepada staf Balai TNW yang sudah
banyak membantu demi kelancaran penelitian ini.
6. Ketua SPKP Banakawa Bpk Suhaeri, Nyong, Tari, Vivi, Inal, Tarsan, dan Oji
yang telah banyak membantu dan mau direpotkan selama di lapangan, dan
teman-teman KPA yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
7. Rekan-rekan mahasiswa “CENDRAWASIH 43” terima kasih atas kebersamaan kita selama ini.
8. Teman-teman UKF, terima kasih karena selalu membuatku tertawa di saat
sedih dan berbagi banyak hal selama di IPB.
9. Keluarga besar HIMAKOVA khususnya keluarga besar KPM “TARSIUS” terima kasih banyak atas persahabatannya (Yunus Liv_8 terima kasih atas
bantuannya membuat video).
10.Semua pihak yang telah membantu demi kelancaran penulisan skripsi ini yang
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perencanaan Jalur Interpretasi Alam di Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Keberadaan Taman Nasional Wakatobi sebagai kawasan pelestarian alam
dan daerah tujuan wisata sangat memerlukan adanya interpretasi untuk
memberikan pemahaman kepada pengunjung bahwa kawasan yang dikunjunginya
merupakan kawasan khusus dan membutuhkan perlakuan khusus juga.
Pemahaman inilah yang diharapkan dapat mendorong pengunjung agar mau
berpartisipasi dalam melestarikan sumberdaya alam yang ada di Taman Nasional
Wakatobi. Kegiatan interpretasi akan berjalan dengan lancar apabila dilaksanakan
secara terencana, oleh karena itu harus disusun perencanaan interpretasinya
terlebih dahulu.
Selama penyusunan skripsi ini, tidak dapat dipungkiri banyak sekali
hambatan yang dihadapi. Berkat kearifan dan kemurahan-Nya serta bantuan dari
berbagai pihak, skripsi ini dapat diselesaikan. Tak ada gading yang tak retak, tak
ada manusia yang sempurna. Dengan segala kerendahan hati, penulis
mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak yang berkepentingan dengan
karya ini. Akhirnya dengan kemampuan yang terbatas dan segala kekurangan,
penulis masih berharap semoga karya ini bermanfaat bagi penulis dan para
pembaca.
Bogor, April 2011
DAFTAR ISI
2.2.1 Defenisi Interpretasi ... 4
2.2.2 Tujuan Interpretasi ... 4
2.2.3 Unsur-Unsur Interpretasi ... 5
2.2.4 Metode Interpretasi ... 7
2.2.5 Jalur Interpretasi ... 7
2.2.6 Program Interpretasi ... 8
4.4 Pengumpulan Data... 19
5.3 Sarana dan Prasarana Pendukung Interpretasi ... 81
5.4 Pengunjung Taman Nasional Wakatobi ... 82
5.5 Sumberdaya Manusia Pengelola Kegiatan Wisata Pulau Kapota . 85 5.6 Arah Pengembangan Kawasan Pulau Kapota ... 87
5.7 Perencanaan Jalur Interpretasi Alam di Pulau Kapota ... 88
5.7.1 Jalur Interpretasi Pantai Aowolio ... 88
5.8 Perencanaan Fasilitas Pendukung Interpretasi ... 111
5.8.1 Pusat Informasi (Information Center)... 113
5.8.2 Tempat Pembuangan Sampah ... 114
5.8.4 Perencanaan Peta Kawasan ... 114
5.8.5 Homestay ... 115
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 117
6.2 Saran ... 118
DAFTAR PUSTAKA ... 119
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Peta kawasan Taman Nasional Wakatobi. ... 10
2. Peta jalur perjalanan ke Taman Nasional Wakatobi. ... 17
3. Perahu jonson sebagai alat transportasi lokal. ... 17
4. Peta lokasi penelitian. ... 18
5. Kelapa cabang empat ... 29
6. Potensi tumbuhan mangrove ... 32
7. Ekosistem karang ... 34
8. Pintu masuk horizontal Goa Kelelawar... 36
9. Fauna dan ornamen goa di ruangan pertama ... 36
10.Ornamen goa pada dinding dan atap goa di ruangan kedua ... 37
11.Ornamen goa pada lorong ... 38
12.Kolam air yang terdapat di dalam goa (tampak dari atas)... 38
13.Mata Air Kolowowa ... 39
14.Kondisi air Danau Tailaro To‟oge ... 40
15.Bentuk Danau Tailaro Nto‟oge tampak dari atas ... 40
16.Peta posisi/letak lokasi pantai berpasir di Pulau Kapota ... 41
17.Hamparan pasir putih Pantai Aowolio ... 42
18.Bentuk fisik Watu Sahu‟u ... 42
19.Kondisi pantai pada saat air surut ... 43
20.Kegiatan meti-meti... 43
21.Pemandangan di Pantai Kolowowa ... 44
22.Kegiatan budidaya rumput laut... 45
23.Pantai Umala ... 46
24.Bekas Benteng Katiama yang sudah tertutupi rumput ... 46
25.Makam Bapak Barakati di dalam Togo Molengo. ... 47
26.Batu Banakawa yang dikeramatkan oleh masyarakat Pulau Kapota. ... 48
27.Situs keramat Saru‟sarua ... 49
28.Tugu Saru‟sarua ... 50
29.Tanjung Laudina. ... 50
31.Kerajinan jalajah ... 52
32.Kain tenun khas Kapota ... 52
33.Kegiatan memintal benang pada oluri. ... 53
34.Kegiatan menggabungkan benang dengan daro. ... 53
35.Pesta adat pingitan ... 55
36.Peserta karia yang berlari keliling kampung ... 56
37.Lifo yang berisi bermacam-macam kue ... 56
38.Pesta kabuenga ... 58
39.Posisi peserta acara kabuenga sesuai perannya. ... 58
40.Acara Kabuenga ... 60
41.Peta potensi jalur interpretasi alam di Pulau Kapota ... 61
42.Peta potensi jalur interpretasi alam di Perairan Kapota ... 62
43.Peta potensi objek dan daya tarik wisata di jalur SPKP-Pantai Aowolio ... 64
44.Peta potensi objek dan daya tarik wisata di jalur Pantai Kapota-Goa Kelelawar. ... 67
45.Peta potensi objek dan daya tarik wisata di jalur SPKP-Togo Molengo ... 70
46.Kondisi Jalur SPKP-Banakawa ... 71
47.Peta potensi objek dan daya tarik wisata di jalur SPKP-Banakawa. ... 73
48.Peta potensi objek dan daya tarik wisata di jalur SPKP-Hutan Sara ... 76
49.Kondisi jalur Hutan Sara-Saru‟sarua ... 77
50.Peta potensi objek dan daya tarik wisata di jalur Hutan Sara-Saru‟sarua ... 79
51.Jumlah pengunjung Taman Nasional Wakatobi tahun 1996-2009. ... 82
52.Tujuan kunjungan wisata Taman Nasional Wakatobi. ... 83
53.Diagram tujuan pengunjung datang ke Pulau Kapota ... 85
54.Diagram sumberdaya kawasan yang paling menarik menurut pengunjung ... 85
55.Struktur organisasi SPKP Banakawa di Pulau Kapota ... 86
56.Peta jalur interpertasi Pantai Aowolio. ... 90
57.Pola alur setapak untuk interpretasi di jalur interpretasi Pantai Aowolio ... 91
58.Peta jalur interpertasi Goa Kelelawar ... 94
59.Pola alur setapak untuk interpretasi di jalur interpretasi Goa Kelelawar ... 95
61.Pola alur setapak interpretasi di jalur interpretasi Togo Molengo ... 99
62.Peta jalur interpertasi Banakawa ... 103
63.Pola alur setapak interpretasi di jalur interpretasi Batu Banakawa. ... 104
64.Peta jalur interpertasi Hutan Sara. ... 107
65.Pola alur setapak interpretasi di jalur interpretasi Hutan Sara... 108
66.Lokasi diving di Jalur Interpretasi Kapota Reef. ... 110
67.Peta lokasi sarana dan prasarana interpretasi di Pulau Kapota... 112
68.Desain lawa yang akan dijadikan sebagai pusat informasi. ... 113
69.Peta objek wisata Pulau Kapota ... 115
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Penduduk Kabupaten Wakatobi menurut kecamatan tahun 2010 ... 14
2. Jumlah penduduk Pulau Kapota ... 16
3. Informasi rute perjalanan menuju Taman Nasional Wakatobi ... 16
4. Rekapitulasi pengumpulan data ... 21
5. Jenis burung yang dapat dijumpai di Pulau Kapota ... 30
6. Rute dan kondisi jalur yang akan ditempuh menuju Pantai Aowolio ... 63
7. Rute dan kondisi jalur yang akan ditempuh menuju goa ... 65
8. Rute dan kondisi jalur yang akan ditempuh menuju Togo Molengo ... 68
9. Rute jalur yang akan ditempuh menuju Batu Banakawa ... 72
10.Rute jalur dan kondisi jalur yang akan ditempuh menuju Hutan Sara ... 74
11.Rute jalur yang akan ditempuh menuju Saru‟sarua ... 78
12.Rumah penginapan yang sudah tersedia di Pulau Kapota... 82
13.Karakteristik responden pengunjung ... 84
14.Objek utama di jalur interpretasi Pantai Aowolio ... 89
15.Materi interpretasi yang perlu disiapkan untuk kegiatan interpretasi ... 92
16.Objek utama di jalur interpretasi Goa Kelelalawar ... 93
17.Objek utama di jalur interpretasi Togo Molengo ... 97
18.Materi interpretasi di jalur interpertasi Togo Molengo ... 100
19.Objek utama di jalur interpretasi Banakawa ... 101
20.Materi interpretasi di jalur interpretasi Banakawa ... 105
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Jenis-jenis flora yang dijumpai di Pulau Kapota ... 122
2. Deskripsi fauna burung sebagai objek interpretasi di Pulau Kapota ... 123
3. Beberapa jenis tumbuhan mangrove yang dapat dijumpai di Pulau Kapota ... 134
4. Jenis-jenis lamun yang dapat dijumpai di Perairan Kapota ... 134
5. Jenis-jenis terumbu karang yang dapat dijumpai di Perairan Kapota ... 135
6. Hasil pemetaan Goa Kelelawar ... 136
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Taman Nasional Wakatobi (TNW) merupakan salah satu kawasan
konservasi perairan laut yang tersusun atas empat pulau besar yaitu Pulau
Wangi-wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko dengan luas penutupan
lahannya 97% berupa lautan. Singkatan nama dari keempat pulau ini jugalah
nama Wakatobi diambil. Selain pulau besar tersebut di dalam kawasan Wakatobi
terdapat pulau-pulau kecil, baik yang berpenghuni maupun tidak berpenghuni.
Berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan oleh WWF pada tahun 2006
teridentifikasi 22 pulau masuk ke dalam kawasan TNW, salah satunya adalah
Pulau Kapota.
Pulau Kapota merupakan salah satu pulau berpenghuni yang terletak di
bagian barat laut Pulau Wangi-wangi dengan luas sekitar 1.804,97 ha (Balai TNW
2008). Berdasarkan mitos yang berkembang di masyarakat, nenek moyang
mereka merupakan salah satu orang pertama yang mendiami kawasan Wakatobi.
Sehingga sampai saat ini masyarakat Pulau Kapota diakui sebagai salah satu
masyarakat adat dari 9 masyarakat adat Kepulauan Wakatobi yang dikenal dengan
nama Masyarakat Adat Kapota. Seperti masyarakat adat lainnya di Indonesia,
Masyarakat Adat Kapota memiliki budaya khas yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai objek dan daya tarik wisata. Selain potensi budaya, di
Pulau Kapota juga terdapat potensi sumberdaya alam yang menarik seperti goa,
kelapa bercabang empat, danau, pantai berpasir, ekosistem yang khas dan objek
lainnya. Perpaduan antara potensi budaya dan keindahan alam merupakan suatu
tawaran yang menarik untuk berkunjung ke Pulau Kapota.
Pihak taman nasional memiliki rencana untuk menjadikan Pulau Kapota
sebagai salah satu lokasi kegiatan ekowisata. Hal ini dilihat dari banyaknya
potensi sumberdaya kawasan yang terdapat di pulau tersebut. Karena pulau
Kapota berada di dalam kawasan konservasi maka kegiatan ekowisata akan lebih
baik lagi jika mengandung unsur interpretasi. Unsur interpretasi dalam ekowisata
merupakan hal yang amat penting, inilah yang membedakan ekowisata dengan
menciptakan pengalaman ekowisata yang bermakna dalam meningkatkan
pengetahuan, kesadaran, serta penghargaan pengunjung terhadap lingkungan dan
budaya yang dikunjunginya. Oleh karena itu, untuk menunjang kegiatan
ekowisata di Pulau Kapota sangat diperlukan suatu perencanaan interpretasi.
Salah satu unsur yang penting dalam perencanaan interpretasi selain
potensi objek dan daya tarik wisata, juga diperlukan suatu perencanaan jalur untuk
mencapai objek tersebut. Sebenarnya saat ini telah terdapat jalur yang dapat
menghubungkan objek-objek wisata di Pulau Kapota, namun di dalam jalur belum
terdapat unsur interpretasi. Oleh karena itu, dalam menyusun perencanaan
interpretasi diperlukan suatu kajian yang dapat menginventarisasi potensi objek
dan daya tarik wisata, serta mengidentifikasi jalur yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai jalur interpretasi.
1.2. Tujuan
Penelitian ini, secara umum dilakukan untuk menyusun perencanaan jalur
interpretasi alam di Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi. Untuk mencapai
tujuan tersebut ada beberapa tujuan khusus yang harus dicapai, yaitu:
1. Menginventarisasi potensi objek dan daya tarik wisata
2. Mengidentifikasi jalur yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai jalur
interpretasi
1.3. Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dasar (base line) untuk
pengembangan objek dan daya tarik wisata di Pulau Kapota dan jalur-jalur untuk
mencapai objek tersebut, sehingga dapat menjadi masukan bagi taman nasional
dan pemerintah daerah dalam menyusun perencanaan pengelolaan ekowisata di
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Taman Nasional
Taman nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang dimaksud taman nasional yakni kawasan
pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi
dan dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Zonasi yang dimaksud pada
pengertian taman nasional tersebut menurut Peraturan Pemerintah Nomor 68
tahun 1998 adalah:
1. Ditetapkan sebagai zona inti, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya; mempunyai
kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan atau belum
diganggu manusia; mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar
menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses
ekologis secara alami; mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan
contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi; mempunyai
komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langkaa atau
yang keberadaannya terancam punah. Zona rimba mempunyai tujuan utama
sebagai tempat untuk pelestarian, tetapi tidak seketat pada zona inti. Kegiatan
ringan seperti mendaki, wisata alam terbatas, rehabilitasi dan pembangunan
sarana (jalan setapak, papan penunjuk, shelter) secara terbatas dapat
dimungkinkan.
2. Ditetapkan sebagai zona pemanfaatan, apabila memenuhi kriteria sebagai
berikut: mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa
formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik;
mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya
tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; kondisi
3. Ditetapkan sebagai zona rimba, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangbiakan dari
jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi; memiliki keanekaragaman
jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan;
merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu.
Taman nasional memiliki fungsi sebagai kawasan perlindungan sistem
penyangga kehidupan, kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan
satwa, dan kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya. Setyadi (2006) menyebutkan bahwa salah satu tujuan
pengelolaan taman nasional adalah mengelola penggunaan kawasan oleh
pengunjung untuk kepentingan inspiratif, pendidikan, budaya, dan rekreasi
dengan tetap mempertahankan areal tersebut pada kondisi alamiah atau mendekati
alamiah.
2.4 Interpretasi
2.2.1 Defenisi Interpretasi
Interpretasi adalah suatu kegiatan bina cinta alam yang khusus ditujukan
untuk pengunjung kawasan konservasi alam yang merupakan kombinasi dari
enam hal, yaitu pelayanan informasi, pelayanan pemanduan, pendidikan, hiburan
dan promosi (Dirjen PHPA 1988). Sedangkan menurut Tilden (1957) interpretasi
merupakan kegiatan edukatif yang sasarannya mengungkapkan pertalian makna,
dengan menggunakan objek aslinya baik oleh pengalaman langsung maupun
dengan menggunakan media ilustrasi dan bukan keterangan-keterangan yang
hanya berdasarkan fakta saja.
Sharpe (1982), mendefinisikan interpretasi sebagai bentuk pelayanan
kepada pengunjung taman, hutan, suaka alam, dan tempat rekreasi sejenis.
Kegiatan interpretasi yang dilakukan dapat menghubungkan pengunjung dengan
kawasan konservasi sebaik-baiknya. Dirjen PHPA (1988) dalam buku Pedoman
Interpretasi Taman Nasional, menuliskan bahwa interpretasi taman nasional dapat
dijadikan alat untuk mencapai tujuan pengelolaan dan sekaligus sebagai bentuk
merupakan salah satu dasar kebijaksanaan yang ditetapkan baik untuk saat ini,
maupun yang akan datang.
2.2.2 Tujuan Interpretasi
Tujuan kegiatan interpretasi secara umum menurut Dirjen PHPA (1988)
adalah untuk membantu pengunjung agar kunjungannya lebih menyenangkan dan
lebih kaya akan pengalaman, dengan cara meningkatkan kesadaran, penghargaan
dan pengertian akan kawasan rekreasi yang dikunjungi dengan cara pemanfaatan
waktu yang lebih efisien selama kunjungan. Selain itu juga bertujuan untuk
mencapai tujuan pengelolaan kawasan rekreasi yang bijaksana, dengan cara
meningkatkan penggunaan sumberdaya secara bijaksana dan menanamkan
pengertian bahwa kawasan rekreasi yang dikunjungi tersebut adalah tempat yang
istimewa, sehingga memerlukan perlakuan khusus juga sekaligus menekan
serendah mungkin pengaruh kuat manusia terhadap sumberdaya yang ada.
2.2.3 Unsur-Unsur Interpretasi
Dirjen PHPA (1988) menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan interpretasi
terdapat tiga unsur pokok yang menjadi satu kesatuan sehingga interpretasi dapat
berlangsung sebagaimana mestinya, yaitu:
1. Pengunjung
Muntasib dan Rachmawati (2009) menuliskan bahwa pengunjung adalah
setiap orang yang mengunjungi suatu negara yang bukan merupakan tempat
tinggal yang biasa, dengan alasan apapun juga, kecuali mengusahakan sesuatu
pekerjaan yang dibayar oleh negara yang dikunjunginya. Dalam hal ini termasuk
wisatawan dan pelancong. Wisatawan adalah pengunjung sementara yang paling
sedikit tinggal selama 24 jam di negara yang dikunjunginya dengan tujuan untuk
keperluan rekreasi, liburan, kesehatan, studi keagamaan, olah raga, kepentingan
keluarga dan hubungan dagang.
Interpretasi yang disajikan kepada pengunjung agar mencapai sasaran,
maka perlu adanya pendataan dan analisa beberapa hal yang berkaitan dengan
pengunjungnya di taman nasional yang bersangkutan, asal pengunjung,
waktu-waktu yang ramai pengunjung (Dirjen PHPA 1988).
2. Pemandu wisata alam (Interpreter)
Interpretasi merupakan sebuah program menyeluruh untuk
menggambarkan cerita secara keseluruhan. Pelayanan interpretasi harus
menyampaikan tentang sebuah cerita tertentu dengan proporsional artinya tidak
berlebihan dan bukan asal saja, tentang ekosistem atau peninggalan-peninggalan
sejarah/budaya (Muntasib dan Rachmawati 2009). Seseorang yang bertugas
memberikan pelayanan interpretasi tersebut adalah pemandu wisata. Pemandu
wisata alam adalah seseorang yang ditunjuk secara resmi oleh pimpinan utama
taman nasional setempat berdasarkan peraturan dan kriteria yang telah ditentukan
untuk melaksanakan kegiatan interpretasi sesuai dengan program yang telah
disusun (Dirjen PHPA 1988).
Kualitas pemandu wisata alam sangat menentukan program interpretasi
yang diselenggarakan. Syarat kemampuan yang harus dimiliki pemandu wisata
alam (Dirjen PHPA 1988) adalah sebagai berikut:
a. Menguasai beberapa ilmu atau ahli dalam bidang ilmu tertentu yang
berkaitan dengan sesuatu yang menjadi objek interpretasi. Ilmu tersebut
tentunya harus sejalan dengan kebutuhan pengelolaan kawasan alam, antara
lain biologi, geologi, klimatologi, fisika, sejarah kependudukan, peninggalan
budaya, dan sebagainya
b. Menguasai pengetahuan di bidang pendidikan dan komunikasi massa serta
sekaligus mampu mempraktekkan dalam tugasnya sebagai pemandu wisata
alam
c. Menguasai cara-cara melaksanakan interpretasi secara benar, bukan hanya
sekedar memberi informasi, karena informasi bukanlah interpretasi.
d. Menguasai cara-cara pengendalian diri
e. Berpenampilan bersih dan rapi
f. Memiliki rasa hormat yang memadai dan jangan sekali-kali menganggap
rendah pengunjung, sungguhpun ada pertanyaan yang dikemukakannya
3. Objek Interpretasi
Objek interpretasi adalah segala sesuatu yang ada di taman nasional
bersangkutan, digunakan sebagai objek dalam menyelenggarakan interpretasi
(Dirjen PHPA 1988). Objek interpretasi dapat digolongkan menjadi dua macam,
yaitu objek interpretasi berupa potensi sumberdaya alam dan potensi sejarah
ataupun budaya. Objek interpretasi sumberdaya alam suatu kawasan konservasi
dapat berupa flora, fauna, tipe-tipe ekosistem yang khas, pemandangan laut
(termasuk biota bawah laut), goa, danau, air terjun, dan fenomena alam lainnya.
Sedangkan objek interpretasi sejarah ataupun budaya dapat berupa batu-batu
megalithik, situs-situs sejarah dan benda-benda peninggalan purbakala, bekas
pemukiman yang sudah lama ditinggalkan, pemukiman dan perkehidupan
penduduk asli baik yang ada di dalam kawasan konservasi maupun sekitarnya,
sejarah kawasan, legenda yang hidup di kalangan masyarakat setempat, dan
sebagainya.
2.2.4 Metode Interpretasi
Metode interpretasi adalah cara-cara yang digunakan untuk melaksanakan
interpretasi. Penentuan penggunaan metode interpretasi didasarkan pada faktor
penentunya yaitu pengunjung dan objek interpretasi, secara garis besar terdapat
dua macam metode interpretasi (Dirjen PHPA 1988) yaitu:
1. Interpretasi Langsung
Metode interpretasi langsung dilakukan dengan cara mempertemukan
pengunjung taman nasional dengan objek interpretasi, sehingga pengunjung dapat
secara langsung melihat, mendengar, atau bila mungkin mencium, merasakan, dan
meraba objek-objek interpretasi yang diperagakan. Interpretasi dengan metode ini
dapat berupa tamasya berkeliling atau berjalan-jalan dengan pemandu wisata alam
maupun percakapan atau diskusi di lokasi dengan/tanpa demonstrasi.
2. Interpretasi Tidak Langsung
Metode tidak langsung dilakukan dengan cara menggunakan bahan atau
peralatan bantu guna memperkenalkan objek interpretasi. Dalam metode ini dapat
dilaksanakan dengan menyajikan pemutaran film atau slide program, dalam
taman nasional setempat, ataupun dalam bentuk percakapan di suatu ruangan
antara pengunjung dengan pemandu wisata alam sambil memperagakan satwa
atau offset, juga dapat memperdengarkan suara rekaman binatang maupun sumber
bunyi lainnya.
2.2.5 Jalur Interpretasi
Pembuatan jalur interpretasi merupakan bagian dari program interpretasi.
Jalur ini merupakan alat kontrol bagi pengunjung yang memasuki tempat-tempat
menarik untuk tujuan menghargai dan mengetahui nilai-nilai kawasan konservasi
yang didampingi oleh pemandu. Menurut Douglass (1982), jalur interpretasi
adalah suatu rute yang dibuat untuk mengarahkan pengunjung ke tempat-tempat
di mana objek-objek geologis, biologis, sejarah dan budaya yang menarik akan
dijelaskan kepada pengunjung dengan bantuan pemandu, tanda-tanda, leaflet atau
peralatan elektrik sehingga pengunjung mendapatkan pengetahuan tentang
faktor-faktor lingkungan secara langsung di lapangan. Menurut Soewardi (1978), bahwa
pembangunan jalur interpretasi bertujuan untuk mengamati studi keadaan fisik
dan geologi, hutan, tanaman, margasatwa, dan aspek-aspek kawasan lainnya.
Tujuan pengembangan jalur interpretasi menurut Douglass (1982) adalah:
1. Menjamin perlindungan dan pelestarian objek rekreasi
2. Pengawasan dan pelayanan yang lebih baik terhadap pengunjung
3. Pengembangan metode interpretasi alam, baik langsung maupun melalui papan
pengumuman dan tanda-tanda lain di lapangan.
Kriteria jalur interpretasi yang baik menurut Berkmuller (1981) adalah:
1. Mengarahkan pada pemandangan yang spektakuler, seperti air terjun, goa,
aliran sungai, pohon keramat, kawah, dan sebagainya
2. Jalur tidak licin, tidak curam, tidak tergenang dan tidak berlumpur
3. Jalur dilengkapi dengan rambu-rambu dan penunjuk arah yang jelas
4. Jalur tidak lurus dan jarak antara jalur satu dengan lain tidak terlalu jauh
5. Jalur tidak melalui komunitas tumbuhan yang rapuh dan habitat satwaliar yang
mudah terganggu.
Panjang jalur interpretasi yang baik menurut Berkmuller (1981) ditentukan
sebenarnya di lapangan dan kondisi orang yang berjalan di jalur tersebut. Waktu
berjalan pada jalur, umumnya tidak melebihi 45 menit berjalan kaki dan yang
terbaik adalah 15-30 menit. Menurut Douglass (1982), panjang jalur interpretasi
alam yang dianjurkan tidak melebihi 0,5 mil (800 m), lebar 0,5-2 m dan lereng
maksimal 15%. Jalur di rancang untuk keperluan berbagai macam sarana
transportasi, tetapi umumnya di rancang untuk keperluan pejalan kaki.
2.2.6 Program Interpretasi
Dirjen PHPA (1988) menyebutkan bahwa program interpretasi merupakan
suatu pola pelaksanaan interpretasi yang di susun menurut waktu dan skenario
cerita tertentu yang bertujuan menjelaskan mengenai apresiasi terhadap
lingkungan dengan nilai-nilai historis dan alam yang penting. Program interpretasi
menghubungkan fenomena alam atau budaya suatu taman atau areal sejenis
kepada pengunjung dengan menggunakan variasi metode yang luas dalam
menerangkan masalah yang utama. Sedangkan menurut Sharpe (1982), program
interpretasi adalah segala hal yang berkaitan dengan usaha interpretasi, termasuk
personil, fasilitas, dan semua kegiatan interpretasi di suatu areal kelompok,
BAB III
GAMBARAN UMUM KAWASAN PENELITIAN
3.1 Letak, Luas dan Batas Administrasi
Taman Nasional Wakatobi secara geografis terletak di antara 5°12' - 6°10'
LS dan 123°20' -124°39' BT. Kepulauan Wakatobi secara administratif awalnya
termasuk dalam Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara, namun sejak
tahun 2004 terbentuknya Kabupaten Wakatobi merupakan hasil pemekaran dari
Kabupaten Buton dengan letak dan luas yang sama dengan TNW. Kepulauan
Wakatobi secara geografis berbatasan dengan:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Banda dan Pulau Buton
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores, dan
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Pulau Buton dan Laut Flores.
Sumber : Balai TNW 2008 Gambar 1 Peta kawasan Taman Nasional Wakatobi.
3.2 Sejarah Kawasan
Kepulauan Wakatobi dan perairan disekitarnya seluas ± 1.390.000 ha
ditunjuk sebagai taman nasional pada tanggal 30 Juli 1996 berdasarkan SK
Menhut No. 393/Kpts-VI/1996, dan ditetapkan sebagai taman nasional pada
tanggal 19 Agustus 2002 berdasarkan SK Menhut No. 7651/Kpts-II/2002. Taman
berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian
Alam No.198/Kpts/DJVI/1997 tanggal 31 Desember 1997, terdiri atas: zona inti,
zona pelindung bahari, zona pariwisata, zona pemanfaatan lokal dan zona
pemanfaatan umum. Namun karena proses penetapannya dianggap belum melalui
tahapan proses konsultasi di berbagai tingkatan serta pembagian ruangnya belum
sesuai dengan fungsi peruntukan serta kebutuhan yang berkembang, maka
penetapan zonasi lama banyak menimbulkan konflik di lapangan.
Pemberlakuan Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah
daerah, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.32 tahun 2004,
telah meningkatkan kesadaran pemerintah daerah dan masyarakat untuk
melakukan pembagian kewenangan dan tanggung jawab antara pemerintah daerah
dan pemerintah pusat. Semangat penerapan undang-undang tersebut juga
menyangkut pengelolaan sumberdaya alam yang selama ini dirasakan kurang
memperhatikan kepentingan daerah dan masyarakat. Dalam perkembangannya,
pada tahun 2003 melalui Undang-undang No.29 tahun 2003, Kabupaten Wakatobi
dibentuk sebagai pemekaran dari Kabupaten Buton. Letak dan luas kabupaten
baru ini sama persis dengan letak dan luas TNW.
3.3 Kondisi Fisik
Bentuk topografi daerah Kabupaten Wakatobi umumnya datar dan terdapat
beberapa mikro atol seperti Karang Kapota, Karang Kaledupa, dan Karang Tomia.
Konfigurasi terumbu karang pada umumnya datar, kadang-kadang muncul di
permukaan dengan beberapa daerah yang bertubir-tubir karang yang tajam.
Perairan lautnya mempunyai konfigurasi perairan mulai dari datar hingga
melandai ke arah laut, dan beberapa daerah perairan bertubir curam. Kedalaman
airnya bervariasi, dengan bagian terdalam terletak di sebelah Barat dan Timur
Pulau Kaledupa yaitu sedalam 1.044 m.
Kepulauan Wakatobi terletak berdekatan dengan garis khatulistiwa. Hal ini
menjadikan Kabupaten Wakatobi beriklim tropis. Wakatobi juga mengenal
adanya musim angin barat dan musim angin timur. Musim angin barat
berlangsung dari bulan Desember-Maret yang ditandai dengan sering terjadinya
yang ditandai dengan kondisi laut yang teduh, gelombang tenang dan jarang
terjadi hujan. Peralihan musim ini biasa disebut dengan musim pancaroba, yaitu
pada bulan Oktober-November dan bulan April-Mei. Kondisi gelombang air laut
tidak menentu, sangat tergantung dengan cuaca. Suhu harian berkisar antara 19 – 34C. Data sepuluh tahun terakhir menyebutkan jumlah curah hujan di Kepulauan
Wakatobi tidak begitu tinggi. Jumlah curah hujan terendah terjadi pada bulan
September (2,5 mm) dan curah hujan tertinggi pada bulan Januari yang dapat
mencapai 229,5 mm (Balai TNW 2008).
3.4 Kondisi Biologi
Kepulauan Wakatobi masuk ke dalam kawasan segitiga karang dunia
(coral triangle centre) yaitu wilayah yang memiliki keanekaragaman terumbu
karang dan keanekaragaman hayati lainnya (termasuk ikan) tertinggi di dunia,
yang meliputi Philipina, Indonesia sampai Kepulauan Solomon (Supriatna 2008).
Sementara itu kekayaan sumberdaya laut TNW dikelompokkan menjadi 8
sumberdaya penting, yaitu terumbu karang, mangrove, padang lamun, tempat
pemijahan ikan, tempat bertelur burung pantai, pantai peneluruan penyu, dan
cetacean (Balai TNW 2007).
Sampai saat ini di dalam ekosistem terumbu karang tercatat 396 jenis
karang keras, sebanyak 28 marga karang lunak dan 31 jenis karang jamur. Jenis
terumbu karang di kepulauan ini terdiri dari terumbu karang cincin (atol reef),
terumbu karang tepi (fringing reef), terumbu karang penghalang (barrier reef) dan
karang gosong (patch reef). Berdasarkan hasil citra satelit, diketahui bahwa luas
terumbu karang di Kepulauan Wakatobi adalah 88.161,69 ha. Adapun komponen
utama yang menyusun terumbu karang di Kepulauan Wakatobi yaitu karang hidup
(terdiri dari hard coral dan soft coral) dan karang mati (dead coral), serta
organisme lain yang bersimbiosis dengan karang (Balai TNW 2007).
Letak Kepulauan Wakatobi berada di kawasan segitiga karang dunia,
sehingga kawasan ini memiliki jenis ikan yang beragam. Berdasarkan indeks
keragaman ikan karang, ditemukan sekitar 942 spesies ikan karang di wilayah
perairan Wakatobi (Balai TNW 2008). Peringkat ini menempatkan Wakatobi pada
di Komodo. Famili paling beragam spesiesnya adalah wrasse (Labridae), damsel
(Pomacentridae), kerapu (Serranidae), kepe-kepe (Chaetodontidae), surgeon
(Acanthuridae), kakatua (Scaridae), cardinal (Apogonidae), kakap (Lutjanidae),
squirrel (Holocentridae) dan angel (Pomacanthidae).
Hasil monitoring BTNW-WWF-TNC tahun 2006, tercatat 2 jenis penyu
yang dijumpai di Kepulauan Wakatobi, yaitu penyu sisik (Eretmochelys
imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas) (Balai TNW 2008). Kemudian juga
tercatat 9 jenis lamun di Perairan Wakatobi diantaranya Enhalus acororides,
Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Halodule pinifolia, Cymodocea
rotundata, Syringodium isoetifolium, Thalassodenron ciliatum, Halodule
uninervis, Cymodocea serullata. Selain ekosistem karang dan biota laut lainnya
Kepulauan Wakatobi juga memiliki ekosistem non karang seperti mangrove.
Tercatat 22 jenis tumbuhan mangrove dari 13 famili mangrove sejati, antara lain
Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, Osbornia octodonta, Ceriops tagal,
Xylocarpus moluccensis, Scyphiphora hydrophyllacea, Bruguiera gymnorrhiza,
Avicennia marina, Pemphis acidula, dan Avicennia officinalis (Balai TNW 2008).
Diantara berbagai keanekaragaman sumberdaya TNW, terdapat beberapa
jenis satwa langka dan dilindungi oleh pemerintah. Beberapa spesies yang
termasuk jenis langka dan terancam adalah penyu sisik (Eretmochelys imbricata),
penyu hijau (Chelonia mydas), ikan napoleon (Cheilinus undulatus), kepiting
kenari (Birgus latro), kima (Tridacna sp.), lola (Trochus niloticus) dan cumi-cumi
berbintik hitam. Sementara itu jenis burung laut yang terdapat di TNW seperti
angsa batu coklat (Sula leucogaster plotus), cerek melayu (Charadrius peronii),
dan raja udang erasia (Alcedo anthis). Adapun dari famili Cetacean tercatat
beberapa jenis yang tergolong terancam punah seperti paus sperma (Physeter
macrocephalus), paus pemandu sirip pendek (Globicephala macrorhyncus), paus
pembunuh (Orcinus orca), paus pembunuh kerdil (Feresa attenuata),
lumba-lumba totol (Stenella attenuata), lumba-lumba-lumba-lumba gigi kasar (Steno bredenensis),
lumba-lumba abu-abu (Grampus griseus), lumba-lumba hidung botol (Tursiops
3.5Sosial Budaya Masyarakat
Penduduk Kabupaten Wakatobi menurut Survey Penduduk Antar Sensus
(SUPAS) pada tahun 2010 berjumlah 103.432 jiwa. Secara keseluruhan disajikan
pada tabel 1.
Tabel 1 Penduduk Kabupaten Wakatobi menurut kecamatan tahun 2010
No Kecamatan Jumlah Penduduk (Jiwa) Persentase
1 Wangi-wangi 25.974 25.11%
2 Wangi-wangi Selatan 27.257 26.35%
3 Biningko 9.339 9.03%
Sumber : Hasil Proyeksi SUPAS (BPS Kabupaten Wakatobi) dan registrasi penduduk
Masyarakat Wakatobi terdiri dari 9 masyarakat adat, yaitu masyarakat
Adat Wanci, masyarakat Adat Mandati, masyarakat Adat Liya dan masyarakat
Adat Kapota yang terdapat di Pulau Wangi-wangi dan Pulau Kapota. Selanjutnya
masyarakat Adat Kaledupa yang terdapat di P. Kaledupa, masyarakat Adat Waha,
masyarakat Adat Tongano dan masyarakat Adat Timu yang terdapat di P. Tomia,
serta masyarakat Adat Mbeda-beda di P. Binongko. Selain itu terdapat dua
masyarakat yang merupakan masyarakat pendatang yaitu masyarakat Bajo dan
masyarakat Cia-cia yang berasal dari etnis Buton. Setiap masyarakat adat tersebut
memiliki bahasa yang khas untuk adatnya masing-masing, tetapi walaupun bahasa
yang digunakan berbeda-beda mereka bisa saling memahami kalau terjadi
komunikasi (Balai TNW 2008).
Penduduk Wakatobi sebagian besar beragama Islam. Kepercayaan terhadap
hal-hal mistik masih dipercaya dan dilakukan dalam kehidupan masyarakat
Wakatobi. Masyarakat masih melakukan ritual doa-doa dan permintaan di lokasi
tertentu yang dianggap mistis. Pelaksanaan ritual masyarakat dilakukan dengan
membawa daun sirih, buah pala, dan koin lama sebagai suatu syarat. Kehidupan
damai dan saling menghargai antara sesama manusia merupakan penerapan dalam
kehidupan bermasyarakat di Wakatobi.
Penduduk Wakatobi memiliki bahasa daerah dalam berkomunikasi.
Masyarakat desa masih menggunakan bahasa daerah dengan fasih dan lancar
berkomunikasi. Bahasa daerah yang digunakan masyarakat Wakatobi merupakan
rumpun bahasa suai yang pemakaiannya meliputi dialek Wanci, dialek Kaledupa,
dialek Tomia dan dialek Binongko. Keempat dialek di Wakatobi disebut wilayah
bahasa atau region. Region di Wakatobi memiliki perbedaan-perbedaan dalam hal
penyebutan atau penamaan benda-benda tertentu.
3.6 Deskripsi Lokasi Penelitian
Pulau Kapota merupakan salah satu pulau di TNW, luas kawasannya
sekitar 1804,967 ha (Balai TNW 2009). Pulau Kapota terletak di bagian sebelah
selatan Pulau Wangi-Wangi dan dikelilingi oleh Laut Banda. Secara administratif
pemerintahan, Pulau Kapota masuk ke dalam Kabupaten Wakatobi, Propinsi
Sulawesi Tenggara. Sedangkan berdasarkan wilayah pengelolaan masuk ke dalam
unit pengelolaan Balai Taman Nasional Wakatobi atau Seksi Pengelolaan Taman
Nasional Wilayah I.
Pulau Kapota yang terdiri dari 5 desa yaitu Desa Kapota, Desa Kapota
Utara, Desa Kabita, Desa Kabita Togo dan Desa Wisata Kollo, merupakan etnis
Wakatobi asli. Kebudayaan etnis asli masih kental sehingga belum mengalami
akulturasi. Penduduk di pulau ini masih hidup berdampingan dengan teratur,
rukun, dan saling menghargai. Agama yang mereka anut 100% agama Islam, akan
tetapi kepercayaan terhadap hal-hal mistik masih cukup kental di kalangan
masyarakat. Masyarakat masih melakukan ritual doa-doa dan permintaan di lokasi
tertentu yang dianggap mistis.
Mata pencarian masyarakat di Pulau Kapota lebih banyak sebagai nelayan
dan petani, beberapa menjadi pengrajin jelajah, pengrajin tenun, pertukangan, dan
PNS. Jumlah penduduk di Pulau Kapota pada tahun 2009 sebanyak 3.647 orang
(Tabel 2).
Tabel 2 Jumlah penduduk Pulau Kapota
No Desa Laki-laki Perempuan Jumlah Persentase
1. Kapota 428 579 1.007 27,61%
3.7 Aksesibilitas
Rute perjalanan menuju Kabupaten Wakatobi dapat dilakukan dari
berbagai daerah seperti Bali, Jakarta, dan Makassar. Berdasarkan hasil survey
lapang pada tahun 2010, jalur yang digunakan untuk menuju ke Taman Nasional
Wakatobi bisa melalui laut dan udara (Tabel 3).
Tabel 3 Informasi rute perjalanan menuju Taman Nasional Wakatobi
Jalur Rute Waktu Armada Harga tiket* Keterangan Keterangan : *Patokan harga berdasarkan hasil survey lapang tahun 2010
Gambar 2 Peta jalur perjalanan ke Taman Nasional Wakatobi.
Pulau Kapota terletak ±3 km dari ibukota Kabupaten Wakatobi di
kecamatan yang dominan digunakan oleh masyarakat adalah perahu jonson
(Gambar 3) dengan frekuensi perjalanan 5-8 kali dalam sehari dan lama
perjalanan sekitar 30 menit. Sedangkan di dalam kawasan Pulau Kapota, biasanya
masyarakat menggunakan alat transportasi lokal berupa motor, sepeda, dan
gerobak yang terbuat dari kayu (sebagai alat untuk mengangkut barang-barang
bawaan dari pasar).
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Pulau Kapota (Gambar 4) yang merupakan
salah satu pulau di Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Pelaksanaan
penelitian dilakukan selama 2 bulan (21 Juni- 22 Agustus 2010).
Gambar 4 Peta lokasi penelitian.
4.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian antara lain alat tulis,
binokuler, kamera digital (Power Shot SX 120 IS), tape recorder, GPS (Garmin
GPSmap 12 CX), Software Arcview 3.3, peta TNW, dan komputer/laptop.
Sedangkan bahan yang digunakan antara lain kuesioner, panduan wawancara,
literatur, dan buku panduan pengenalan jenis flora dan fauna.
4.3 Jenis Data yang Dikumpulkan
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung di
tersebut adalah potensi sumberdaya alam, sejarah dan seni budaya, posisi
koordinat objek, kondisi jalur interpertasi, sarana dan prasarana wisata,
pengunjung, dan pengelola. Sedangkan data sekunder merupakan data yang
diperoleh dari studi pustaka ataupun wawancara dengan pihak pengelola, petugas
di lapangan, dan pengunjung. Data sekunder ini bukan data pokok tetapi sebagai
pelengkap data primer. Data tersebut adalah kondisi umum TNW dan Pulau
Kapota, dan peta TNW. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.
4.4 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan untuk mendapatkan segala bentuk data dan
informasi yang dapat menunjang penyusunan laporan penelitian. Pengumpulan
data dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga metode yaitu studi literatur,
wawancara/penyebaran kuesioner, dan observasi lapang (Tabel 4). Kegiatan studi
literatur dilakukan apabila data dan informasi yang dibutuhkan tidak didapatkan
selama di lapangan. Studi literatur dilaksanakan pada awal kegiatan, pelaksanaan
dan penyusunan laporan penelitian.
Kegiatan wawancara dan penyebaran kuesioner merupakan kegiatan yang
langsung berinteraksi dengan responden. Kegiatan wawancara dilakukan secara
terstruktur dan tidak terstruktur sehingga lebih memudahkan peneliti dalam
memperoleh data dari responden. Responden yang akan diwawancarai adalah
pengelola wisata dan masyarakat, dengan penentuannya sebagai berikut:
1. Penentuan pengelola TNW sebagai responden
Penentuan pengelola TNW sebagai responden dilakukan dengan cara
purposive sampling yaitu pemilihan secara langsung pengelola yang ahli
dibidangnya dan pengelola tersebut dapat memberikan informasi yang berkaitan
dengan masalah dan tujuan penulisan. Pengelola tersebut adalah:
a) Pengelola yang ahli dalam bidang flora dan fauna,
b)Pengelola yang ahli dalam bidang mangrove, lamun, dan terumbu karang,
c) Pengelola yang ahli dalam bidang biota laut,
2. Penentuan masyarakat sebagai responden
Penentuan masyarakat sebagai responden dilakukan secara purposive
sampling yaitu pemilihan secara langsung masyarakat yang mengetahui potensi
sumberdaya alam, sejarah dan budaya di kawasan Pulau Kapota, dan data lain
yang menunjang penelitian (Tabel 4). Responden tersebut adalah tokoh
masyarakat (kepala desa) dan tokoh adat Pulau Kapota sebanyak 2 orang.
Kemudian juga dilakukan wawancara kepada masyarakat yang pernah menjadi
panitia acara adat (event-event budaya yang pernah dilakukan) sebanyak 2 orang,
dan masyarakat yang terlibat dalam kegiatan wisata seperti pemandu wisata
sebanyak 4 orang.
Penyebaran kuesioner ditujukan kepada pengunjung untuk mendapatkan
gambaran mengenai karakteristik pengunjung, tujuan kedatangan, objek yang
disukai pengunjung, dan data lain yang menunjang penelitian (Tabel 4).
Penentuan pengunjung sebagai responden dilakukan secara sample non-random
secara kebetulan, sebanyak 30 orang. Teknik ini dilakukan terhadap pengunjung
yang tidak sengaja dijumpai selama di lapangan dan bersedia membantu peneliti
(Wardiyanta 2006). Selain itu pemilihan teknik ini juga karena kegiatan penelitian
berlangsung pada musim barat (musim hujan), dimana kondisi gelombang air
cukup besar (tinggi ombak mencapai 5-7 m) sehingga pengunjung yang datang ke
TNW tidak banyak dan sulit ditemukan.
Kegiatan observasi lapang dilakukan dengan mengunjungi langsung lokasi
penelitian. Data jalur yang didapat berdasarkan hasil studi literatur maupun
wawancara, kemudian dilakukan verifikasi di lapangan. Kegiatan observasi
lapang juga untuk merekam track jalur dan koordinat posisi flora, fauna dan
objek yang menarik di sepanjang jalur dengan menggunakan GPS. Data-data
tersebut kemudian diolah dalam bentuk peta dengan menggunakan Software
Acrview 3.3. Saat melakukan verifikasi dilakukan pencatatan kondisi jalur,
panjang dan lebar jalur, objek-objek wisata yang ditemui sepanjang jalur, jarak
antar objek dan waktu tempuhnya, alat transportasi yang digunakan dan
pencatatan sarana dan prasarana pendukung interpretasi yang sudah ada atau perlu
direncanakan. Dalam observasi lapang ini juga dilakukan dokumentasi terhadap
Tabel 4 Rekapitulasi pengumpulan data
Jenis Data Cara
Pengumpulan Data Sumber Data 1) Potensi Objek Wisata dan Posisinya
a.Potensi sumberdaya alam
- Terestrial (data flora¹ dan fauna², gua alam, mata air, pemandangan alam, dll)
- Aquatik (pantai, pemandangan laut termasuk kehidupan bawah laut seperti jenis terumbu karang, dan jenis ikan karang, dll)
b.Potensi sejarah dan budaya
- Sejarah (situs-situs sejarah, benda-benda peninggalan purbakala³)
- Budaya (letak dan kondisi pemukiman; kehidupan penduduk asli Pulau Kapota; cerita budaya, sejarah atau mitos-mitos yang hidup pada masyarakat)
2) Kondisi jalur interpretasi (topografi/ kemiringan jalur, panjang dan lebar jalur, jarak antar objek interpretasi, waktu tempuh yang diperlukan, alat transportasi yang digunakan) 3) Pengunjung
a.Karakteristik pengunjung b.Tujuan utama berkunjung
c.Objek Interpretasi yang disukai pengunjung (posisi objek) 4) Sumberdaya Manusia (SDM) wisata
a. SDM yang ada saat ini b. Kualitas SDM
c. Kendala yang dihadapi pengelola
d. Arah pengembangan kawasan Pulau Kapota oleh pengelola
a.Peta dasar (peta TNW, peta topografi, peta jalan)
b.Peta tematik (batas administrasi kawasan laut, dan peta sebaran flora, fauna dan terumbu karang)
7) Sarana dan prasarana pendukung jalur interpretasi (jenis fasilitas yang ada, jumlah yang ada disepanjang jalur, posisi, kegunaan, kondisi saat ini)
8) Bentuk pelayanan/pemanduan wisata yang telah ada 9) Jumlah pengunjung 5 tahun terakhir
Studi literatur dan keindahan dan keistimewaan,waktu berbunga,kegunaan, lokasi dalam jalur
2. Fauna: Jenis dan famili, ciri morfologi, habitat dan penyebaran, status kelangkaan, keistimewaan, perilaku, tempat dan waktu terlihat.
4.5 Pengolahan dan Analisis Data
Kegiatan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi pengumpulan data,
editing data, dan penyajian data. Data yang telah diperoleh selama penelitian
kemudian dikumpulkan dan dilakukan editing data, yaitu mengoreksi data-data
yang telah dikumpulkan tersebut. Dari hasil editing, apabila terdapat data yang
kurang maka dilakukan perbaikan atau pengumpulan ulang, dan data yang
dianggap tidak perlu dipisahkan. Kegiatan ini dilakukan pada saat pelaksanaan
penelitian dan penyusunan laporan. Setelah data dikumpulkan dan di edit,
kemudian data diolah dan disajikan dalam bentuk tabel, grafik-grafik, dan peta.
Selanjutnya data-data tersebut dianalisis secara deskriptif dan digunakan dalam
penyusunan perencanaan jalur interpretasi. Pertimbangan dalam pemilihan jalur
sebagai jalur interpretasi adalah :
a) Dilihat dari kondisi fisik jalur, apakah aman dilewati pengunjung atau tidak
b)Pada jalur yang dipilih terdapat objek-objek menarik untuk diinterpretasikan
dan objek-objek tersebut paling banyak disukai oleh pengunjung
c) Pada jalur terdapat informasi dari pengelola yang diharapkan dapat
disampaikan kepada pengunjung
d)Memiliki rentang jarak tempuh yang tidak terlalu panjang dan diperkirakan
dapat diakses oleh pengunjung sehingga penyampaian informasi dapat tepat
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Potensi Objek dan Daya Tarik Wisata di Pulau Kapota
Objek wisata atau dengan istilah tourist attraction yaitu segala sesuatu
yang menjadi daya tarik bagi orang untuk mengunjungi suatu daerah tertentu
(Sufika 2004). Pulau Kapota merupakan salah satu pulau di Wakatobi yang
memiliki sumberdaya kawasan dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek
dan daya tarik wisata. Potensi tersebut berupa keanekaragaman hayati, keunikan
dan keaslian budaya, keindahan bentang alam, gejala alam dan peninggalan
sejarah/budaya.
Hasil penelitian, di Pulau Kapota terdapat beberapa potensi objek dan daya
tarik wisata. Objek-objek tersebut kemudian diidentifikasi dan dikelompokkan
berdasarkan potensi biologis, potensi fisik, potensi sejarah dan situs-situs keramat,
serta potensi seni dan budaya. Keseluruhan potensi objek dan daya tarik wisata ini
merupakan sumberdaya ekonomi sekaligus dapat menjadi suatu media pendidikan
dalam pelestarian lingkungan.
5.1.1 Potensi Biologis
Potensi biologis yang dapat dijadikan sebagai objek dan daya tarik wisata
bagi pengunjung adalah potensi flora, fauna dan beberapa ekosistem laut yang
khas seperti ekosistem mangrove, lamun, dan terumbu karang. Potensi-potensi ini
memiliki daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang ingin mengetahui lebih jauh
mengenai sumberdaya alam yang terdapat di kawasan konservasi. Data-data yang
akurat mengenai jenis-jenis flora dan fauna yang ada di Pulau Kapota belum ada,
sehingga data yang disajikan merupakan hasil temuan selama pengamatan di
lapangan.
a. Potensi Flora
Flora merupakan salah satu potensi objek yang dapat ditawarkan kepada
pengunjung di Pulau Kapota. Di setiap rute jalur yang dilalui oleh pengunjung
terdapat jenis-jenis flora yang menarik. Pemilihan jenis ini berdasarkan hasil
pengamatan peneliti yang dilihat dari keunikan, keindahan, keistimewaan,
kelangkaan, dan manfaat/kegunaan yang dimiliki oleh tumbuhan tersebut dan
juga didasarkan pada hasil wawancara dengan pengelola mengenai jenis flora
yang biasanya disukai atau ditanyakan oleh pengunjung. Menurut pengelola,
umumnya pengunjung lebih menyukai/tertarik dengan jenis-jenis tumbuhan yang
tidak dijumpai di tempat asalnya, diantaranya jenis flora endemik dan jenis flora
yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan.
Jenis-jenis flora yang dijumpai selama observasi lapang pada jalur
pengamatan yaitu sebanyak 16 jenis (Lampiran 1). Jenis ini merupakan tumbuhan
di daratan yang dapat dilihat dan dijangkau oleh pengunjung. Dari keseluruhan
flora yang teridentifikasi, belum dijumpai flora yang endemik. Jenis yang
dijumpai merupakan jenis-jenis flora yang umum terdapat di Indonesia dan jenis
flora yang dapat dijadikan sebagai objek interpretasi yaitu sebanyak 10 jenis.
Jenis-jenis tersebut adalah:
1) Bambu (Bamboo sp.)
Bambu (Bamboo sp.) merupakan tumbuhan yang hidup secara liar maupun
di tanam, dengan ciri morfologi berbentuk bulat memanjang, terdapat ruas-ruas
(panjang tiap ruas sekitar 40-50 cm), memiliki ranting-ranting kecil di tiap ruas
dan memiliki daun yang memanjang, serta memiliki rongga. Tumbuhan ini juga
merupakan tumbuhan yang hidup secara berumpun, yang satu rumpunnya dapat
mencapai 40-100 batang. Bambu atau biasa di kenal dengan nama vemba dalam
bahasa Kapota, memiliki nilai tersendiri bagi masyarakat Kapota. Berdasarkan
hasil wawancara dengan tokoh adat, bambu merupakan tanaman yang hidup
secara liar di alam terutama banyak tumbuh di hutan adat (Sara).
Bambu yang sebagian besar hidup pada hutan adat yang dikelola oleh Sara
sehingga pemanfaatannya diatur oleh aturan adat yang menyebabkan kelestarian
tumbuhan ini sangat terjaga. Pemanfaatan dengan bebas hanya dilakukan oleh
masyarakat pada bambu yang hidup di luar hutan adat. Untuk memanfaatkan
bambu yang ada di hutan adat terlebih dahulu harus meminta izin kepada Sara.
Dalam hal ini ternyata Sara menetapkan aturan tersebut dengan alasan agar
kelestarian bambu dapat terjaga dan dapat dimanfaatkan oleh generasi yang akan
datang, baik untuk membuat rumah maupun sumber bahan makanan. Berdasarkan
hasil pengamatan terdapat tiga hutan bambu di tiga jalur yang berbeda (jalur akan
Berdasarkan wawancara dengan tokoh adat setempat, luas hutan bambu di hutan
adat diperkirakan mencapai 2-3 ha.
Masyarakat Kapota memanfaatkan tanaman ini untuk membuat anyaman
atau biasa dikenal dalam bahasa kapota jalaja, yang nantinya dapat digunakan
untuk dinding rumah. Bambu juga merupakan sumber makanan bagi masyarakat
Kapota, yaitu bagian mudanya (tunas bambu) yang jika diolah dapat dijadikan
sayur atau biasa dikenal dengan sayur rebung. Selain itu juga digunakan sebagai
wadah untuk membuat luluta (nasi bambu). Potensi lain yang tidak kalah
pentingnya adalah bambu merupakan bahan baku untuk membuat alat tangkap
ikan tradisional yang lebih dikenal dengan nama bubu. Bubu merupakan alat
tangkap yang di buat dari anyaman bambu untuk menangkap ikan-ikan di dasar
laut. Menurut masyarakat bubu yang terbuat dari bambu dapat bertahan hingga 2
tahun.
2) Beringin (Ficus benyamina)
Beringin atau dikenal dengan gendi dalam bahasa Kapota merupakan
tumbuhan yang memiliki ukuran pohon yang besar dengan diameter batang bisa
mencapai lebih dari 2 m dan tingginya bisa mencapai 25 m. Nilai yang terkandung
dalam tumbuhan ini adalah masyarakat selalu beranggapan bahwa pohon beringin
mengandung hal-hal yang mistik. Bentuk pohonnya besar, batang tegak berwarna
coklat kehitaman dan memiliki akar menggantung dari batang yang dianggap
sebagai tempat tinggal makhluk gaib. Bentuk pemahaman seperti ini
menyebabkan jenis tumbuhan ini sangat ditakuti oleh masyarakat, sehingga
kelestariannya di Pulau Kapota sangat terjaga. Bentuknya yang besar dan sangat
rimbun serta buahnya yang lebat merupakan potensi lain yang dimiliki pohon
beringin karena dimanfaatkan sebagai habitat dan sumber pakan berbagai jenis
burung. Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan beberapa jenis burung di pohon
beringin, baik sore maupun pagi hari. Pandangan masyarakat yang menganggap
pohon beringin sebagai sesuatu yang sakral, menjadikan pohon ini tetap lestari.
Dilihat dari aspek konservasi, anggapan masyarakat ini selain dapat menjaga
kelestarian pohon tersebut juga dapat mendukung kelestarian habitat dan sumber
3) Anggrek (Famili Orchidaceae)
Anggrek merupakan tumbuhan hidup epifit pada pohon dan
ranting-ranting tanaman lain. Habitat tanaman anggrek dibedakan menjadi 4 kelompok,
yang pertama adalah anggrek epifit, yaitu anggrek yang tumbuh menumpang pada
pohon lain tanpa merugikan tanaman inangnya dan membutuhkan naungan dari
cahaya matahari. Kedua adalah anggrek terestrial, yaitu anggrek yang tumbuh di
tanah dan membutuhkan cahaya matahari langsung. Ketiga adalah anggrek litofit,
yaitu anggrek yang tumbuh pada batu-batuan dan tahan terhadap cahaya matahari
penuh. Keempat adalah anggrek saprofit, yaitu anggrek yang tumbuh pada media
yang mengandung humus atau daun-daun kering, serta membutuhkan sedikit
cahaya matahari.
Hasil wawancara dengan masyarakat, diketahui bahwa terdapat beberapa
tumbuhan anggrek di Pulau Kapota, namun sampai saat ini belum ada data yang
pasti mengenai jenis-jenis anggrek tersebut. Hal ini dibuktikan dengan hasil
observasi lapang yang menemukan dua jenis anggrek berbeda berdasarkan media
tumbuhnya. Ditemukan anggrek yang hidup menumpang pada pohon lain dan
anggrek yang hidup pada subtrat batuan. Namun keterbatasan peneliti jenis-jenis
tersebut belum bisa diidentifikasi lebih lanjut.
4) Jambu Mete (Anacardium ocidentale)
Jambu Mete (Anacardium ocidentale) merupakan salah satu tanaman
industri yang potensial dengan produk utama berupa biji (kacang) mete. Tanaman
ini memiliki buah yang keras, melengkung dan panjangnya ± 3 cm, berwarna
hijau kecoklatan, bijinya bulat panjang, melengkung, pipih dan berwarna putih.
Jambu mete merupakan tanaman jangka panjang yang sangat berlimpah di Pulau
Kapota. Sebagian besar perkebunan masyarakat di dominasi dengan tanaman ini.
Berdasarkan wawancara dengan masyarakat, Pulau Kapota dapat menghasilkan
jambu mete hingga 10 ton. Jambu mete juga merupakan oleh-oleh khas dari
Sulawesi Tenggara. Jambu mete memiliki khasiat untuk obat, masyarakat Kapota
biasanya menggunakan daun tanaman ini sebagai obat anti radang. Untuk
mengobati anti radang, biasanya masyarakat merebus segenggam daun muda