NARASI HUBUNGAN AYAH DENGAN ANAK DALAM
NOVEL
AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG
KARYA
TERE LIYE
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh
Nur Afifah
109051000170
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
NARASI
HUBTNGAN
AYAH
DEIYGAN
ANAK
DALAM
NOVEL AYAHKU
$AKAN)
PEMBOHONG
KARYA
TERE
LTYE
Skripsi
D iajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memp eroleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Peneliti
Nur Afifah
NIM: 10905i000170
NIP: I 983061 42009122401
PROGRAM
STUDIKOMUI{IKASI
DAN
PN,NYIARANISLAM
FAKULTAS
ILMU
DAI(WAH
I}AI{ ILMU
KOMUNIKASI
UI{IVERSITAS ISLAM NAGERI
SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
PENGESAHAN
PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Narasi Hubungan Ayah dengan Anak Dalam Novel Ayahku
(Bukan) Pembohong Karya Tere Liye telah diujikan dalam sidang munaqasah
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi IIIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada9 Januari 2014 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) pada Program Studi Komunikasi dan Penyiaran
Islam.
Sidang Munaqasah
Jakarta, I 4 J anuari 201 4
Sekertaris
Anggota
\
.$;
-\
Ketua
t97009031996903 1001
1 8200801 1 008
Penguji II
NIP: 195809101
Fita Fathurokhmah" M.Si
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 14 Januari 2014
LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
Bismillahirrahmanirrahim
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya:
Nama : Nur Afifah
NIM : 109051000170
Fakultas/Jurusan : Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi/ Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam
Jenis : Skripsi
Judul : Narasi Hubungan Ayah dengan Anak dalam Novel Ayahku
(Bukan) PembohongKarya Tere Liye
Dengan ini menyatakan bahwa saya menyetujui untuk
1. Memberikan hak bebas royalti kepada Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas penulisan karya ilmiah saya, demi pengembangan ilmu pengetahuan. 2. Memberikan hak menyimpan, mengalih mediakan atau mengalih formatkan,
mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikan, serta
menampilkannya dalam bentuk softcopy untuk kepentingan akademis kepada
Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tanpa perlu meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis atau pencipta.
3. Bersedia dan menjamin untuk menanggung secara pribadi tanpa melibatkan pihak perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dari semua bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran hak cipta dalam karya ilmiah saya.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan semoga dapat digunakan sebagaimana semestinya.
Jakarta, 14 Januari 2014
ABSTRAK
Nur AfifahNarasi Hubungan Ayah dengan Anak Dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong
Karya Tere Liye
Pada zaman modern ini sering kita jumpai berbagai perkembangan teknologi komunikasi. Begitu juga dengan berdakwah. Kita bisa menggunakan media komunikasi apapun untuk berdakwah, bahkan menggunakan karya sastra, yakni novel. Sudah banyak novel-novel Islami yang beredar. Tujuan utamanya menyampaikan pesan-pesan dakwah dalam dunia tutur cerita. Salah satu novel Islami itu adalahAyahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye yang peneliti gunakan dalam
penelitian ini.
Dalam penelitian ini memiliki pertanyaan mayor: bagaimana dongeng bisa menjadi media dakwah pada anak? Dari pertanyaan mayor tersebut, maka muncul dua pertanyaan minor, yaitu, 1) pesan dakwah apa saja yang terkandung dalam novel
Ayahku (Bukan) Pembohong? 2) bagaimana isi cerita novel Ayahku (Bukan) Pembohong?
Dalam berdakwah, kita harus mengetahui strategi dan medianya agar dakwah tersebut diterima secara efektif oleh audien. Dongeng merupakan cerita yang bisa mengembangkan imajinasi anak. Maka, dongeng bisa menjadi media yang efektif untuk berdakwah pada anak, karena anak bisa langsung menangkap apa isi pesan dakwah dalam dongeng tersebut.
Penelitian ini menggunakan teori naratif Branston dan Stafford yakni teori yang mencoba untuk memahami tanda dan hubungan yang mengatur bagaimana cerita dibentuk secara berurutan dan membentuk suatu nilai. Teori sastra dan masyarakat menurut Rene Wellek dan Austin Warren, mengungkapkan bahwa dalam sebuah karya sastra dipengaruhi dari faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Bohong memiliki arti sebagai pernyataan yang salah dibuat oleh seseorang dengan tujuan pendengar percaya. Perbuatan bohong akan menimbulkan rasa saling membenci. Islam sendiri menganggap perbuatan ini sebagai perbuatan dosa besar.
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme yakni pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sembarangan. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis naratif, yakni metode yang meneliti bagaimana unsur alur dan plot pada sebuah karya sastra sehingga bisa menggerakan cerita bahkan imajinasi seseorang.
Dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong ini, terkandung pesan-pesan
dakwah untuk terus berusaha, sabar, saling tolong menolong, keteguhan hati, dan tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. isi cerita novel Ayahku (Bukan) Pembohongini mengenai seorang anak bernama Dam, yang dibesarkan oleh ayahnya
Hasil dari penelitian ini menjelaskan pada novel Ayahku (Bukan) Pembohong
terkandung pesan-pesan dakwah yang tersirat maupun tersurat. Hasil dari penelitian ini juga mengungkapkan bahwa dongeng bisa menjadi sarana yang efektif pada orang tua untuk berdakwah pada anak. Karena dongeng bisa merangsang imajinasi anak, dan anak bisa memahami sendiri makna dari dongeng yang diceritakan.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil alamin, puji serta syukur kehadirat Allah SWT. berkat
nikmat-Nya yang tidak terhingga sehingga karya sederhana ini dapat terselesaikan
dengan baik. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada junjungan kita, Nabi
Muhammad SAW, berserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya yang setia hingga
akhir zaman.
Peneliti sangat ingin berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi dan mengajarkan penulis banyak hal.
Ucapan terimakasih tersebut terutama penulis haturkan bagi:
1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Arief Subhan M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Dr. Suparto, M.Ed., selaku Wakil Dekan (Wadek) I, Drs. Jumroni,
M.Si., selaku Wadek II, dan Drs. Wahidin Saputra, M.A., selaku Wadek III.
3. Rachmat Baihaky, M.A., selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaaran
Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Umi Musyarafah, M.A., selaku Sekertaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaaran
Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Fita Fathurokhmah, M.Si., selaku dosen pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk membimbing peneliti dan memberikan
6. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah mendidik
serta memberikan beragam ilmu sehingga peneliti menjadi manusia yang lebih
baik. Semoga ilmu-ilmu pada Dosen dibalas dengan pahala yang tak terhingga,
7. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang telah
membantu peneliti dalam hal administrasi selama perkuliahan dan penelitian
skripsi ini.
8. Orang tua tercinta Bapak Ir. Ahmad Yani MSME., dan Ibu Hasliana SH, atas
dukungan dan kepercayaannya peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini dengan
semangat. Kiranya peneliti tidak bisa membalas rasa cinta mereka dengan karya
apapun, tetapi peneliti yakin dengan selesainya tugas akhir ini bisa membuat
mereka bangga terhadap anak perempuannya.
9. Pada kakak Abdulbasith, yang memotivasi peneliti untuk menyelesaikan skripsi
ini. Dua adik peneliti, Alm. Nur Afina serta Palaguna yang selalu bisa membuat
peneliti menyadari jika bahagia itu sederhana.
10. Teman sejak kecil, Nadya Faradhita, Mulky Belladina, dan Risha Desiana
Suhendar yang tidak jenuh mendengarkan segala keluh kesah peneliti serta selalu
memberikan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman KPI angkatan 2009, khususnya kelas KPI E, Isni Rahmawati,
Elvira Hannum, Dwi Pranata, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu
per satu.
12. Teman-teman serta pendiri LSO SKETSA Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
13. Teman-teman dari TERAS KPI, tempat peneliti belajar mengenai dunia
jurnalistik dan ketepatan waktu, Yusuf, Bayu, Bowo, Maul, Aim, Akmal, Aryo,
dan semua teman-teman yang tidak bisa peneliti sebutkan satu per satu.
14. Teman KKN Belajar, Berkarya dan Mengabdi, yang telah memberikan kenangan
dan kerja keras selama sebulan. Meutia Rahmawati, Eni Nuraeni, Arif Rahman,
Rizky Noor Alam, Rizky Ramadhani, Ayu Lubis dan teman-teman yang tidak
bisa disebutkan satu per satu.
15. Tere Liye, penulis novel favorit yang salah satu karyanya peneliti gunakan dalam
skripsi ini. Berkat karyanya pula peneliti mendapatkan berbagai ide dan
pemahaman hidup.
16. Semua pihak yang tidak sempat peneliti sebutkan.
Pada akhirnya dengan ketidaksempurnaan ini, penulis berharap semoga karya
sederhana ini dapat bagi penulis dan pembaca. Dan semoga Allah SWT membalas
jasa baik yang telah diberikan dari berbagai pihak kepada penulis selama pembuatan
skripsi ini, baik di dunia maupun di akhirat kelak.Amin yarabbal alamin.
Jakarta, 13 Desember 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berkomunikasi dengan orang lain dari belahan dunia saat ini sudah
semudah membalikan telapak tangan, dengan menggunakan kecanggihan
teknologi komunikasi. Ramalan tentang berkembang pesatnya teknologi sudah
diramalkan jauh hari oleh McLuhaan yang menyebutkan bahwa pada akhirnya
peralatan teknologi komunikasi yang telah diciptakan akan memengaruhi bahkan
membentuk kehidupan manusia itu sendiri.
Pada zaman modern ini sering kali dijumpai berbagai macam
perkembangan teknologi komunikasi baik itu dari media cetak seperti majalah,
tabloid, surat kabar, dari media elektronik dan cyber seperti televisi, radio,
internet, tetapi semua perkembangan teknologi yang ada sekarang merupakan
pengembangan dari yang sebelumnya telah diciptakan oleh manusia pada masa
lampau.
Etimologi komunikasi sendiri berasal dari bahasa Latin communico yang
artinya membagi, dan communis yang berarti membangun kebersamaan antara
dua orang atau lebih. Harold D. Lasswell mencoba membuat definisi komunikasi
effect”1 siapa, mengatakan apa, dengan media apa, kepada siapa, dan apa
akibatnya. Secara sederhana, komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari
seseorang kepada orang lain. Dalam pengertian ini artinya kegiatan komunikasi
paling tidak melibatkan dua orang yang melakukan kegiatan komunikasi, dan
dikatakan adanya proses penyampaian sebuah pesan baik secara verbal maupun
non verbal.
Komunikasi secara verbal adalah komunikasi dengan menggunakan
simbol-simbol verbal, seperti berbicara secara langsung. Sedangkan komunikasi
nonverbal adalah adalah proseskomunikasidimana pesan disampaikan
tidak secara langsung. Contohnya seperti menggunakan media cetak. Media cetak
sendiri memiliki banyak bentuk, salah satunya adalah karya sastra. Karya sastra
merupakan media untuk menuangkan ide, gagasan, dan pendapat pengarang
secara tersurat dan tersirat. Cara penulis tersebut dapat menggunakan bahasa yang
menyiratkan makna lain atau dengan bahasa kias atau bahasa simbolik.
Karya sastra adalah sebuah usaha merekam isi jiwa satrawannya.
Rekaman ini menggunakan alat bahasa. Sastra adalah bentuk rekaman dengan
menggunakan alat bahasa yang disampaikan kepada orang lain. Sehingga sastra
juga merupakan komunikasi. Bentuk rekaman atau karya sastra tadi harus dapat
dikomunikasikan kepada orang lain, karena dapat saja seseorang membuat karya
sastra. Namun kalau karya tersebut tidak dapat dipahami, dikomunikasikan
1Hafied Cangara,
Komunikasi Politik Konsep, teori, dan Strategi(Jakarta: Rajawali Pers, 2011),
kepada orang lain, dan hanya dimengerti oleh sastrawannya, maka karya
demikian sulit disebut sebagai karya sastra.2
Salah satu karya sastra yang banyak digandrungi oleh remaja saat ini
adalah novel. Novel sendiri berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya
cakupannya tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Novel
merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang
lebih mendalam dan disajikan dengan halus.
Novel sebagai karya sastra terkadang juga menggunakan bahasa yang
lugas tetapi ada kalanya juga menggunakan bahasa simbolik karena novel juga
merupakan alat bagi pengarang untuk menyampaikan ide-ide. Untuk mengetahui
makna tersirat yang berupa bahasa simbolis itulah diperlukan sebuah kajian atau
pendekatan tertentu. Kajian untuk mengetahui makna tersirat dalam novel sastra
dapat dilakukan dengan kajian semiotika.3
Novel dapat berupa fiksi atau karya sastra yang berupa rekaan, namun
dapat pula merupakan karya sastra yang nyata dan benar-benar terjadi dalam
kehidupan masyarakat pada zamanya yang kemudian diceritakan kembali dalam
bentuk karya sastra berupa novel. Setiap orang memiliki cara yang seringkali
berbeda dalam mengungkapkan pandangannya atau permikirannya terhadap
realitas yang ada di sekitar dan yang kita temui.
2Jakob Sumardjo dan Saini K.M,
Apresiasi Kesusastraan(Jakarta: Gramedia,1988), Halaman 6-7 3 Diah Nur Robbaniah, “Kajian semiotika terhadap novel Cantik Itu Luka,”
. (Skripsi S1 Fakultas
Alasan peneliti memilih media khususnya novel sebagai bahan penelitian
karena perkembangan media komunikasi berfungsi untuk menyampaikan pesan,
khususnya novel yang menonjolkan unsur sosial-budaya yang ada di masyarakat.
Banyak novel-novel modern yang menceritakan romantisme budaya suatu
kelompok masyarakat.
Pertemuan antara budaya yang diusung oleh novel-novel di Indonesia
tidak terhenti pada konteks budaya yang dihasilkan masyarakat dengan cipta,
karsa, dan karyanya tetapi juga dalam budaya agama. Hal itu terindikasikan dari
catatan sejarah novel Indonesia dimana ada beberapa novel yang memang
berangkat dan ataupun membicarakan konteks budaya agama dalam sebuah
cerita. Roman-roman seperti Ketika Cinta Bertasbih, Hafalan Shalat Delisha,
Bidadari-bidadari Surga atauGadis Berkerudung Sorban melatar belakangi atau
bahkan menitikberatkan pada nilai-nilai budaya agama.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa budaya berdakwah melalui tulisan
tentang nilai ajaran Islam tidak dapat dikatakan telah surut. Dinamika dakwah
Islam melalui novel terus berjalan, meskipun terdapat sedikit perubahan warna di
dalamnya. Apabila menengok ulang novel “Islami” terdahulu lebih sering
diwarnai oleh budaya yang berlangsung di masyarakat maka dalam novel yang
berkembang saat ini warna yang hadir hanya terbatas dan terfokus pada budaya
“generasi muda”.
Meskipun memiliki perbedaan konteks obyek kajian, tujuan utama dari
novel “Islami” tetaplah sama yakni menyampaikan pesan-pesan Islam dalam
novel Ayahku (Bukan) Pembohong, mengenai kedekatan, penghormatan terhadap
sang ayah. Maka, novel sebagai karya sastra dalam media dakwah komunikasi
memiliki peran dalam perkembangan teknologi dalam berdakwah.
Seiring berkembangnya teknologi informasi di masyarakat, karya sastra
sebagai produk imajinatif masyarakat mengalami perkembangan dengan
munculnya teori-teori sastra strukturalisme, yang telah berhasil untuk memasuki
hampir seluruh bidang kehidupan manusia, dianggap sebagai salah satu teori
modern yang berhasil membawa manusia pada pemahaman secara maksimal.
Novel sebagai media memiliki fungsi untuk menyampaikan pesan kepada
pembaca dengan cara sastranya.
Adapun isi dari novel dipengaruhi oleh struktur isi novel tersebut.
Struktur yang dimaksud disini adalah struktur mengenai persepsi dunia dan
pengalaman, bukan entitas obejktif yang sudah eksis di dunia eksternal. Dari sni
dapat dikatakan bahwa makna atau signifikansi bukanlah semacam inti atau
esensi di dalam hal; sebaliknya, makna selalu berada di luar. Makna selalu berupa
atribut dari sebuah hal, dalam pengertian harfiah yakni makna dijadikan atribut
suatu hal oleh benak manusia, bukan terwadahi di dalamnya.4
Novel Ayahku (Bukan) Pembohong adalah salah satu karya Tere-Liye
yang terbit tahun 2012. Tere-Liye merupakan salah satu penulis yang sukses
dengan buku Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin (2010), Hafalan
Shalat Delisa(2005), Moga Bunda Disayang Allah(2005),Senja Bersama Rosie
4Peter Barry.
Pengantar Komperhensif Teori Sastra dan Budaya:Beginning Theory. (Yogyakarta:
(2008). Nama “Tere-Liye” sendiri diambil dari bahasa India dan memiliki
artiuntukmu.
Meskipun Tere Liye bisa dianggap salah satu penulis yang telah banyak
menelurkan karya-karyabest seller. Tapi jika pembacanya mencari tentang
biodata atau biografi Tere Liye. Hampir tidak ada informasi mengenai
kehidupannya serta keluarganya. Bahkan jika mencoba sendiri dengan mengecek
karya Tere Liye dan lihat di bagian belakang “tentang penulis’ dalam novelnya,
maka tidak ada yang bisa menemukan informasi mengenai Tere Liye.
Berbeda dari penulis yang lain, Tere Liye memang sepertinya tidak ingin
dipublikasikan ke umum terkait kehidupan pribadinya. Mungkin begitulah cara
yang ia pilih untuk dikenal.
Novel yang dipilih berjudul Ayahku (Bukan) Pembohong karena novel ini
menceritakan bagaimana seorang ayah mengajarkan pelajaran hidup kepada
anaknya dengan cara bercerita. Kata “bukan” pada judul dimaksudkan karena
awalnya sang anak menuduh cerita ayahnya adalah cerita bohong belaka yang
tidak masuk akal. Padahal sang ayah dikenal sebagai seorang yang sangat jujur.
Namun pada akhirnya setelah ayahnya tidak ada, anak itu menemukan bukti
bahwa cerita ayahnya bukanlah cerita bohong.
Peneliti memilih novel ini karena awalnya merasa adanya ketidak adilan
dalam memahami orangtua. Banyak sekali novel-novel yang menceritakan
tentang ibu, memahami ibu, membanggakan ibu. Namun, mengapa sedikit sekali
yang membahas mengenai ayah? Padahal ayah juga merupakan orangtua. Bahkan
kunjungi. Sedangkan buku mengenai ibu selalu ada di deretan novel remaja, novel
terlaris.
Ayah memiliki tanggung jawab untuk memimpin keluarga dan mendidik
anaknya. Setiap sosok ayah memiliki cara tersendiri dalam mendidik anaknya. Ini
yang mendasari penulis ingin melakuakan penelitian naratif, yaitu untuk
menjelaskan betapa peran ayah dalam keluarga sangatlah penting.
Masalah yang terkandung dalam karya sastra pada dasarnya merupakan
masalah masyarakat. Tanda menimbulkan reaksi pembaca untuk menafsirkannya,
proses penafsiran terjadi karena tanda yang bersangkutan mengacu pada suatu
kenyataan. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas turut menentukan bentuk
kontrusi realitas yang sekaligus menentukan makna yang muncul. Bahasa bukan
hanya mampu menceritakan realitas, tetapi sekaligus menciptakan realitas. Oleh
karena itu, peneliti tertarik mengangkat penelitian skripsi ini dengan judul
“Dongeng Sebagai Media Dakwah pada Anak, Analisis Naratif Novel Ayahku (Bukan) Pembohongkarya Tere Liye.”
B. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penelitian ini dibatasi pada
Penelitian analisis naratif hubungan ayah dengan anak dalam objek penelitian
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka perumusan masalahnya sebagai
berikut:
1. Bagaimana analisis naratif dalam novelAyahku (Bukan) Pembohong?
2. Pesan-pesan dakwah apa yang terkandung dalam novel tersebut?
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui alur dan plot dari novel Ayahku (Bukan) Pembohong
secara keseluruhan.
2. Mengetahui pesan-pesan dakwah yang terkandung dalam novel Ayahku
(Bukan) Pembohongkarya Tere Liye
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk pembaca:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan mengenai
studi analisis naratif terhadap karya sastra novel yang digunakan sebagai
media dakwah Islam.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam
mengaplikasikan teori sastra dan teori naratif dalam mengungkap
novelAyahku (Bukan) Pembohongkarya Tere Liye.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat menambah referensi pada analisis naratif
menambah wawasan kepada pembaca tentang tanda dan penanda yang ada
pada novelAyahku (Bukan) Pembohongkarya Tere Liye.
F. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah
konstruktivisme. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi)
pembelajaran kontekstual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia
sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas
dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat
fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus
mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman
nyata.
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian
kualitatif ditujukan untuk memahami fenomena-fenomena sosial dari sudut
atau perspektif partisipan. Penelitian kualitatif diarahkan lebih dari sekedar
memahami fenomena tetapi juga mengembangkan teori.5
5Juang Sunanto,
3. Metode Penelitian
Metode penelitian ini adalah naratif, yaitu metode untuk memahami
identitas dan pandangan dunia seseorang dengan mengacu pada cerita-cerita
(narasi) yang ia dengarkan ataupun tuturkan di dalam aktivitasnya sehari-hari
(baik dalam bentuk gosip, berita, fakta, analisis, dan sebagainya, karena
semua itu dapat disebut sebagai ‘cerita’). Fokus penelitian dari metode ini
adalah cerita-cerita yang didengarkan di dalam pengalaman kehidupan
manusia sehari-hari.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adal
dua teknik yakni observasi non partisipan dan dokumentasi.
1. Observasi Non Partisipan
Karl Weick mendefinisikan observasi sebagai “pemilihan,
pengubahan, pencatatan, dan pengodean serangkaian prilaku dan suasana
yang berkenaan dengan organisme itu, sesuai dengan tujuan-tujuan
empiris”.6 Observasi non partisipan adalah observasi yang dalam
pelaksanaannya tidak melibatkan peneliti sebagai partisipasi atau
kelompok yang diteliti.7 Teknik ini digunakan untuk mengetahui makna
baik secara keseluruhan ataupun sebagian isi dari novel yang diteliti. Serta
mengetahui unsur instrinsik dan ekstrinsik dari novel tersebut.
6Jalaluddin Rakhmat,
Metode Penelitian Komunikasi(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), H. 83 7Kuswanto.“Observasi (Pengamatan Langsung di Lapangan).”Artikel diakses pada 14 November
2. Dokumentasi
Menurut Sugiyono8 dokumentasi merupakan catatan peristiwa
yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau
karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan
misalnya catatan harian, sejarah kehidupan, ceritera, biografi, peraturan,
kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya foto, gambar
hidup, sketsa dan lain-lain. Dokumen yang berbentuk karya misalnya
karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film, buku dan lain-lain.
teknik ini digunakan untuk mengetahui bagaimana pendapat orang lain
yang sudah membaca novel ini. Peneliti mencari artikel-artikel yang
berkenaan dengan novel ini serta mengkaji pendapat mereka mengenai
novel ini.
5. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis naratif menurut Gill
Branston dan Roy Stafford, yakni dengan menganalisis alur dan plot pada
objek yang dikaji. Alur adalah rangkaian peristiwa demi peristiwa dari awal
sampai akhir cerita, sedangkan plot adalah hubungan yang mengaitkan satu
kejadian dengan kejadian lainnya sehingga saling berhubungan yang memicu
terjadinya krisis dan menggerakkan cerita menuju klimaks (puncak konflik).
8Sugiyono.
6. Tinjauan Pustaka
Dari pengamatan literatur yang ada, maka peneliti menemukan adanya
analisis yang sama tentang analisis naratif sebagai pedoman dalam penulisan
skripsi ini. Diantaranya:
skripsi-skripsi atau tesis yang berhubungan dengan analisis semiotik.
Diantaranya:
a. Skripsi karya Santi, A.W.D, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Dipenogoro. Dengan judul “Studi Analisis Naratif:
Representasi Pesantren Dalam Film 3 doa 3 cinta”. Skripsi ini
menjelaskan bagaimana film yang dibuat dengan tujuan untuk “membela”
pesantren dari tudingan sebagai tempat pengkaderan teroris ini justru juga
memberikan kritikan-kritikan terhadap lembaga pesantren itu sendiri.
b. Skripsi karya Yasmin Auliya Hayyu, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia, dengan judul “Analiss Narasi yang ditulis oleh Siswa Kelas 4 Sekolah Dasar Negeri” penelitian ini menjelaskan
mengenai kemampuan menulis narasi para siswa kelas 4 sekolah dasar.
Serta menjelaskan mengenai munculnya informasi pada setiap komponen
narasi
7. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahsan dalam penelitian ini, penulis
membagi penelitian ini menjadi lima bab, dengan sistematika penulisan
Bab I : Pendahuluan, meliputi: Latar Belakang Masalah, Pembatasan
Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat
Penelitian, Metodologi Penelitian, Teknik Pengumpulan Data,
Teknik Analisis Data, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika Penulisan
Bab II : Landasan Teoritis dan Kerangka Konsep, meliputi: Teori Naratif
Gill Branston dan Roy Stafford, Teori Sastra dan Masyarakat Rene
Wellek dan Austin Waren, Dakwah, Novel, Bohong Menurut
Ajaran Islam
Bab III : Gambaran Umum Novel Ayahku (Bukan) Pembohong,
meliputi:deskripsi novel Ayahku (Bukan) Pembohong, Bagian
Kisah yang Dapat Diambil Pelajaran, Biografi Tere Liye.
Bab IV : Analisis dan Temuan Penelitian.
BAB II
LANDASAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEP
A. Teori Naratif Branston dan Stafford
Kebanyakan dari kita menghabiskan banyak waktu untuk bercerita
(bergosip tentang teman, bercerita mengenai lelucon dan membentuk karakter
yang tinggi: ‘lulusan yang membanggakan’ (tidak pernah ada istilah ‘mahasiswa
yang ditekan dengan keras’). Semua kultur terlihat sama dalam pembuatan cerita
yaitu dengan mengikuti cara membuat perasaan dan makna di dunia. Ada dua
poin mengenai sistematik ilmu naratif di dunia modern:
1. Teori naratif menyatakan bahwa cerita di media apapun dan di kultur apapun
tujuannya untuk membagi pesan khusus
2. Tetapi pada media tertentu memunginkan kita untuk bercerita dengan cara
yang berbeda.
Teori naratif mencoba untuk mengerti tanda dan hubungan yang mengatur
bagaimana cerita (fiksi atau fakta) dibentuk secara berurutan, dan cara ini
mungkin dapat membuat audien terlibat dalam berbagai cara yang berbeda.
Seperti kebanyakan ilmu media, pemikiran ini menyatakan bahwa aktivitas
biasanya sering dihubungkan dengan ketetapan nilai yang dominan.9
Tentu saja ada cara lain untuk memikirkan mengenai bercerita dan
menulis cerita. Bagaimanapun juga, studi media tidak terlibat dalam produksi
cerita (karena produksi cerita adalah sebuah proses yang tidak bisa diperkirakan,
9Gill Branston and Roy Stafford.
The Media Student’s Book Third Edition (London: Routledge,
pemikiran yang terlalu biasa bisa menjadi sebuah rumusan masalah). Studi narasi
mencoba memahami itu, khususnya pada kemungkinan aturan sosial dan ideologi.
Definisi yang bagus untuk naratif berasal dari Braningan10yang berpendapat ‘cara
membentuk ruang dan data sementara yaitu dengan memasukkan suatu peristiwa
di awal, pertengahan dan akhir yang membentuk pendapat tentang sifat dari
peristiwa ke dalam rantai sebab-akibat’. Teori ini memunculkan pendapat Propp,
Barthes, Todorov dan Lévi-Strauss. Mereka bekerja dengan dongeng, novel dan
cerita rakyat yang mencoba mengerti bagaimana bentuk naratif dan nilai yang
berlaku tanpa adanya pengaruh kultur khusus. Ini adalah inti dari pengaruh
pendekatan strukturalis pada naratif.
Istilah narasi mendeskripsikan bagaimana cerita berjalan, bagaimana
pesan dipilih dan diatur menjadi efek tertentu dengan audien. Plot dan cerita
adalah kunci dari istilah ini. Bordwell dan Thompson11 menggambarkan cerita
terdiri dari dua hal yaitu plot dan narasi. Plot adalah segala hal yang terlihat dan
terdengar pada sebuah cerita. Pada plot ada seleksi bagian tertentu dari sebuah
cerita yang sudah diberikan narasi. Sehingga kita bisa berfikir bagian-bagian
tersebut tersusun menjadi sesuatu yang bisa kita rangkai yang pada akhirnya
menjadi cerita. Plot juga mengandung pesan yang akan kita temukan di akhir
cerita. Karena saat kita masuk pada bagian-bagian plot, kita sibuk mencari pesan
10Edward Braningan.
Narrative Comprehension and Film,London: University Press, 1992 dalam
Gill Branston and Roy Stafford.The Media Student’s Book Third Edition (London: Routledge, 1999)
halaman 33
11David Bordwell dan Thompson Kirstin.
Film Art: An Introduction. (New York: McGraw Hill
dan juga berfikir alur cerita secara bersamaan di dalam pikiran kita, yang dikenal
sebagai mental Norman didalam psikologi.
Penulis lain menjelaskan plot adalah sebuah istilah dimana audien
membandingkan karakter dalam cerita. Dalam cerita kita tidak akan menyadari
jika plot sudah dibuat, sehingga kita tidak mungkin bisa menebak apa yang akan
terungkap pada bagian akhir cerita.
Plot adalah hubungan yang mengaitkan satu kejadian dengan kejadian
lainnya sehingga saling berhubungan yang memicu terjadinya krisis dan
menggerakkan cerita menuju klimaks (puncak konflik). Dengan kata lain, adanya
suatu peristiwa dibenturkan dengan peristiwa lain, yang saling bergesekan
sehingga memacu timbulnya konflik. Plot inilah yang sesungguhnya
menggerakan cerita dari awal sampai akhir yang menghiasinya jalannya cerita
tersebut dengan ketegangan, konflik dan penyelesaian (ending).
Di dalam plot inilah persoalan-persoalan yang dihadapi para tokoh cerita
saling digesekkan, dibenturkan satu sama lain menjadi persoalan baru yang lebih
kompleks, diseret ke puncak krisis, lalu dicari pemecahan (penyelesaian)-nya
menuju akhir cerita (ending). Plot digerakkan oleh tokoh cerita, gesekan yang
timbul karena pergerakan plot inilah yang melahir ketegangan (suspend) yang
menyulut api konflik. Kemudian plot yang mengkondisikan tokoh cerita berusaha
untuk mencari jalan keluar dari konflik yang terjadi tersebut untuk menurunkan
Dalam bentuk sederhana plot dibagi menjadi 3, yaitu:12
1. Beginning atau awal cerita
Bagian awal berfungsi sebagai eksposisi yaitu bagian yang memberikan
informasi yang diperlukan oleh pembaca agar bisa memahami jalan cerita
selanjutnya. Dibagian awal ini biasanya berisi nama tokoh-tokoh, gender,
usia, pekerjaan, kondisi sosial, tempat tinggal, dan hal-hal yang menurut
penulis penting untuk diketahui oleh pembaca. Pada awal ini biasanya
diakhir dengan cerita yang tidak stabil karena cerita yang tidak stabil inilah
yang akan memicu kejadian yang akan terjadi berikutnya.
2. Middle atau tengah cerita
Bagian tengah cerita diawali dengan hal-hal yang bisa memicu konflik
karena pada bagian tengah cerita ini berupa rangkaian konflik yang
intensitasnya semakin tinggi dan mencapai kepuncak dan disebut dengan
klimaks sebuah cerita. bagian inilah yang biasanya paling ditunggu oleh
pembaca.
3. End atau akhir cerita
Bagian akhir cerita ini berisi penyelesaian atas masalah-masalah yang
terjadi dibagian tengah cerita.
Sedangkan alur cerita adalah pergerakan cerita dari waktu ke waktu, atau
rangkaian peristiwa demi peristiwa dari awal sampai akhir cerita. Ada alur
progresif yang bergerak runtut dari awal sampai akhir (A-B-C). Alur kilas balik
(flash back) yang dimulai dari akhir cerita kemudian bergerak ke awal cerita
(C-B-A). Dan, ada alur percampuran antar kedua alur yang disebutkan di atas.
Alur cerita dibangun oleh narasi, deskripsi, dialog, dan aksi/laku (action)
dari tokoh-tokoh cerita. Alur yang baik akan sangat membantu pembaca untuk
menangkap gambaran utuh dari cerita yang disuguhkan dalam novel. Bagi
penulis, penguasaan alur cerita sangat menolong agar tidak kehilangan jejak, atau
mentok di tengah jalan.
Alur cerita mempunyai tahapan-tahapan. Tahapan-tahapan tersebut adalah
perkenalan, pembeberan mula, konflik, klimaks, anti klimaks, penyelesaian.
Tahapan-tahapan inilah yang nanti akan membentuk alur. Proses
pembentukkannya tergatung bagaimana mengatur tahapan-tahapan yang ada.
Tahapan-tahapan itu bisa dikatakan sebagai aturan baku yang akan mempermudah
kita dalam menjalankan sebuah cerita. Jenis-jenis alur dapat dibedakan menjadi
tiga, yaitu,alur maju, alur mundur, dan alur campuran.13
1. Alur maju
Alur maju atau biasa juga disebut alur lurus. Alur ini mempunyai tahapan
yang lurus mulai dari perkenalan, pembeberan mula, konflik, klimaks,
antiklimaks, penyelasaian. Biasanya penulis-penulis yang menggunakan alur
ini adalah penulis-penulis pemula. Dengan menulis menggunakan alur ini,
akan terbangun kebiasaan menulis bagi mereka karena penggunaan alur ini
13 Joni Lis Efendi, “Trik Sederhana Menulis Alur dan Plot Cerita.” Artikel diakses pada 17
tidak terlalu sulit. Dan alur ini kebanyakan digunakan terhadap cerita-cerita
yang mudah untuk dicerna, seperti cerita-cerita untuk anak-anak. Tetapi,
bukan berarti alur ini tidak bisa digunakan untuk cerita-cerita serius, seperti
roman, drama, dan lain-lain.
2. Alur mundur
Alur mundur/sorot balik adalah alur yang memulai cerita dengan
penyelesaian. Alur ini lebih sering kita temui pada cerita-cerita yang
menggunakan setting waktu di masa lampau. Seorang penulis yang
menggunakan alur ini harus pintar dalam menyusun cerita agar cerita tidak
membingungkan pembaca.
3. Alur campuran
Alur ini adalah alur yang diawali dengan klimaks, kemudian melihat lagi
masa lampau dan diakhiri dengan penyelesaian. Alur ini jarang sekali
dgunakan oleh penulis karena sulit dipahami. Tapi, kalau kita mengerti
trik-trik atau cara mengatur plot cerita, kita akan mudah menggunakannya. Ini
adalah contoh penggalan cerpen yang menggunakan alur campuran.
Perbedaan mendasar antara cerita dan plot ditunjukkan oleh novelis dan
kritikus EM Forster dalam Aspek tentang Novel (1927) Forster mendefinisikan
cerita sebagai urutan kronologis peristiwa dan plot sebagai struktur kausal dan
logis yang menghubungkan peristiwa. Contoh Forster untuk menggambarkan
perbedaan antara cerita dan plot sebagai berikut:
Raja meninggal dan kemudian Ratu meninggal (cerita)
Plot dapat dianggap sebagai bagian dari wacana, karena merupakan bagian dari
cara cerita disajikan.14
Bagaimanapun cara seseorang ingin melihat plot, plot selalu dapat berupa
linear (garis) atau non-linear. Plot non-linear mungkin lebih membingungkan
audience dan plot jenis ini muncul lebih sering dalam drama modern dan
kontemporer, yang sering mempertanyakan gagasan logika dan kausalitas. Equus
Play milik Peter Shaffer misalnya, bercerita tentang terapi kejiwaan seseorang
bernama Alan. Dimulai pada akhir cerita dan kemudian menyajikan peristiwa
dalam urutan terbalik (akhiran di awal – awalan di akhir). Penonton dituntun
untuk menarik hubungan antara kejadian-kejadian yang bertujuan untuk
menjelaskan perilaku Alan.15
Lebih jelasnya, alur cerita dan plot akan dijelaskan sebagai berikut:16
1. Alur berisi kronologis cerita, walau susunannya bisa maju, kilas balik atau
gabungan. Alur hanya rangkaian cerita dari awal sampai akhir.
2. Alur bisa dijabarkan dengan gaya narasi, deskripsi dan eksposisi. Sedangkan
plot sebagian besar dengan narasi dan dialog.
3. Plot adalah pergerakan cerita dari satu kejadian demi kejadian yang saling
berkaitan, bahkan terkadang sengaja dibenturkan untuk menimbulkan adanya
ketegangan, klimaks (puncak konflik), antiklimak (penurunan konflik) sampai
ending.
14Stefanie Lethbridge and Jarmila Mildorf.
Basics of English Studies: An introductory course for students of literary studies in English (Hartford, CT: English departments of the Universities of
Tübingen, Stuttgart and Freiburg, t.t) H. 43
15Stefanie Lethbridge and Jarmila Mildorf.
Basics of English Studies: An introductory course for students of literary studies in English. H. 98
16 Joni Lis Efendi, “Trik Sederhana Menulis Alur dan Plot Cerita.” Artikel diakses pada 17
4. Alur adalah badan cerita sedangkan plot adalah ruh yang menggerakan cerita.
Alur ada pada jenis tulisan lain seperti feature dan esai. Sedangkan plot khusus
ditemukan dalam cerpen dan novel.
Bagian lain dari konstruksi naratif adalah keterlibatan intonasi suara saat
bercerita. Narasi orang pertama akan menggunakan kata ‘aku’ sebagai pencerita,
dan tidak membiarkan pembaca menebak cerita karena kata ‘aku’ mengetahui
semuanya. Orang ketiga atau orang yang diluar cerita akan bercerita dengan kesan
‘dia diceritakan’ contohnya pada ‘pada zaman dahulu kala ada seorang pangeran…’ pemikiran narasi film dan televisi atau video bermula dengan suara
yang menceritakan kepada kita dari suatu sudut pandang seseorang tertentu,
biasanya mereka menhindari bentuk narasi sudut pandang orang ketiga.17
B. Teori Sastra dan Masyarakat Rene Wellek dan Austin Warren
Dalam Studi sastra yang paling banyak dibahas adalah latar (setting),
lingkungan (environment) dan hal-hal yang bersifat eksternal. Metode ekstrinsik
ini tidak terbatas pada studi tentang sastra lama, tetapi juga dapat diterapkan pada
kesustraan modern. Jadi, istilah “historis” tidak mengacu pada sastra lama, tetapi
berkaitan dengan perubahan sastra sesuai dengan perubahan waktu, suatu
permasalahan sejarah.
Sejauh mana faktor-faktor luar tadi dianggap menentukan produksi karya
sastra dan sejauh mana metode ekstrinsik dianggap mampu mengukur pengaruh
luar tersebut, tergantung dari pendekatan yang dipakai. Ilmuwan yang
17Gill Branston and Roy Stafford.
The Media Student’s Book Third Edition(London: Routledge,
menerapkan pendekatan sosial cenderung sangat determistis. Sikap radikal
mereka mungkin merupakan pengaruh aliran positivisme dan perkembangan ilmu
pengetahuan pada abad ke-19.
Diantara sekian macam pendekatan ekstrinsik, metode terbaik adalah yang
mengaitkan karya sastra dengan latar belakang keseluruhan. Tidak mungkin kita
menganggap bahwa karya sastra hanya dipengaruhi satu faktor penyebab saja.
Kita perlu menimbang faktor-faktor mana yang paling penting, lalu mencari
kaitan metode-metode yang ada dengan studi ergocentric, yakni studi yang
terpusat pada karya sastra itu sendiri.
Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa.
Teknik-teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan mantra bersifat sosial karena
merupakan konvensi dan norma masyarakat. Lagi pula sastra “menyajikan
kehidupan”, dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial,
walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia. Sastra
sering memiliki kaitan dengan institusi sosial tertentu. Sastra mempunyai fungsi
sosial atau “manfaat” yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi. Jadi, permasalahan
studi sastra menyiratkan atau merupakan masalah sosial: masalah tradisi,
konvensi, norma, jenis sastra (genre), simbol, dan mitos. Tomars
Lembaga estetik tidak berdasarkan lembaga sosial, bahkan bukan bagian dari lembaga sosial. Lembaga estetik adalah lembaga sosial dari satu tipe tertentu, dan sangat erat berkaitan dengan tipe-tipe lainnya.18
Tetapi penelitian yang menyangkut sastra dan masyarakat biasanya terlalu
sempit dan menyentuh permasalahan dari luar sastra. Sastra dikaitkan dengan
situasi tertentu, atau dengan sistem politik, ekonomi, dan sosial tertentu.
Penelitian dilakukan untuk menjabarkan perngaruh masyarakat terhadap sastra
dan kedudukan sastra dalam masyarakat. Pendekatan sosiologis ini terutama
dipakai oleh pendukung filsafat sosial tertentu. Kritikus aliran marxisme tidak
hanya mempelajari kaitan sastra dengan masyarakat, tetapi juga memberi batasan
bagaimana seharusnya hubungan itu dalam masyarakat zaman sekarang dan
masyarakat di masa mendatang yang tidak mengenal kelas. Para kritikus
marxisme melakukan kritik yang memberikan penilaian dan menghakimi,
didasarkan pada kriteria politik dan etika yang nonsastra. Mereka tidak hanya
menunjukkan apa kaitan dan dampak sebuah karya terhadap masyarakat, tetapi
mendikte kaitan dan dampak apa yang seharusnya ada.
Pembahasan hubungan sastra dan masyarakat biasanya bertolak dari frase
De Bonald bahwa “sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat” (literature is an expression of society). Tapi apa makna aksoma ini? Jika yang dimaksud bahwa
sastra secara tepat mencerminkan situasi sosial pada kurun waktu tertentu
pengertian ini keliru. Kalau hanya menyampaikan bahwa sastra menunjukkan
beberapa aspek sosial, ungkapan itu terlalu dangkal dan samar. Lebih jelas lagi
18Adolph Siegfried Tomars.
Introduction to the sociology ofArt, Mexico City. 1994 dalam Rene
Wellek dan Austin Waren. Teori Kesusastraan Edisi Terjemahan (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,
kalau dikatakan bahwa sastra mencerminkan dan mengekspresikan hidup.
Pengarang tidak bisa tidak mengekspresikan pengalaman dan pandangannya
tentang hidup. Tetapi tidak benar kalau dikatakan bahwa pengarang
mengekspresikan kehidupan secara keseluruhan, atau kehidupan zaman tertentu
secara kongkret dan menyuruh. Dengan mengatakan bahwa pengarang harus
mengekspresikan kehidupan sepenuhnya –mewakili masyarakat dan zamannya –
kita sudah memaksakan suatu kriteria penilaian tertentu. Lagi pula, istilah
“sepenuhnya” dan “mewakili” bisa diinterpretasikan secara berlainan: untuk
sebagian besar aliran kritik sosial, berarti pengarang harus peka terhadap situasi
sosial dan nasib kaum protelar. Kritik sosial yang lain bahkan menuntut
pengarang untuk menganut sikap atau ideologi yang sama dengan yang dianut
oleh kritikusnya.
Dalam kritik aliran Hegel dan Taine, kebesaran sejarah dan sosial
disamakan dengan kehebatan artistik. Seniman menyampaikan kebenaran yang
sekaligus juga merupakan kebenaran sejarah dan sosial. Karya sastra merupakan
“dokumen karena merupakan monument (document because they are
monuments)”. Dibuat postulat antara kejeniusan sastra dengan zamannya. “sifat mewakili zaman” dan “kebenarian sosial” dianggap sebagai sebab dan hasil
kehebatan nilai artistik suatu karya sastra. Karya sastra yang jelek atau yang biasa
saja – walaupun dianggap sebagai dokumen sosial yang lebih baik oleh ahli
sosiologi modern – dinilai tidak ekspresif oleh Traine; jadi, tidak mewakili
zamannya. Sastra bagi aliran ini bukan cerminan proses sosial, melainkan intisari
Tapi sebaiknya masalah kritik yang berbau penilaian kita tangguhkan dulu
sampai kita menemukan hubungan yang nyata antara sastra dan masyarakat.
Hubungan yang bersifat deskriptif (bukan normatif) dapat kita klarifikasikan
sebagai berikut.
Pertama adalah sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi
sastra. Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar
belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari
berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Yang kedua adalah isi karya
sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan
yang berkaitan dengan masalah sosial. Yang terakhir adalah permasalahan
pembaca dan dampak sosial karya sastra. Sejauh mana sastra ditentukan atau
tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial, dari latar sosial,
perubahan dan perkembangan sosial adalah pertanyaan yang termasuk dalam
ketiga jenis permasalahan di atas: sosiologi pengarang, isi karya sastra yang
bersifat sosial, dan dampak sastra terhadap masyarakat. Sebelum kira sampai
kepada masalah lebih lanjut, yaitu integrasi budaya, kita harus menjelaskan
terlebih dahulu apa yang kita maksudkan dengan ketergantungan atau hubungan
sebab-akibat antara sastra dan masyarakat.
Karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari
sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumbe utama, tetapi studi ini
dapat mengumpulkan informasi tetang latar belakang sosial, latar belakang
keluarga dan posisi ekonomi pengarang.19
Asal-usul sosial seorang pengarang hanya sedikit sekali berperan dalam
menjawab masalah status sosial, keterlibatan, dan ideologi, sebab sering
pengarang melayani kebutuhan kelas lain. keterlibatan sosial, sikap, dan ideologi
pengarang dapat dipelajari tidak hanya melalui karya-karya mereka, tetapi juga
dari dokumen biografi. Pengarang adalah seorang warga masyarakat yang
tentunya mempunyai pendapat tentang masalah-masalah politik dan sosial yang
penting, serta mengikuti isu-isu zamannya. Jika disusun secara sistematis,
masalah asal, keterlibatan dan ideology sosial akan mengarah pada sosiologi
pengarang berbagai tipe atau suatu tipe pada waktu dan tempat tertentu. Kita
dapat membedakan pengarang menurut kedar integrasi mereka dalam proses
sosial.20
Sosiologi sastra bertugas menelusuri status sosial kelas ini, meneliti
ketergantungannya pada kelas penguasa, serta mempelajari sumber ekonomi dan
prestisnya dalam masyarakat. Studi dasar ekonomi sastra dan status sosal
pengarang mau tak mau harus memperhitungkan pembaca yang menjadi sasaran
pengarang dan menjadi sumber rezekinya.
Pada masa-masa selanjutnya, agak lebih sulit untuk menelusuri hubungan
khusus antara pengarang dan publiknya, karena khalayak pembaca semakin
meluas dan heterogen. Lagi pula, hubungan antara pengarang dan publik semakin
19 Rene Wellek dan Austin Warren.
Teori Susastraan Edisi Terjemahan (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2009) H. 109-112
20Rene Wellek dan Austin Warren.
tidak langsung. Jumlah perantara yang menjadi penghubung antara pengarang dan
publik semakin banyak. Kita dapat melihat peran kembaga-lembaga sosial dan
badan-badan seperti akademi, universitas bahkan klub, salon dan restoran; kita
dapat menelusuri sejarah majalah, jurnal dan lembaga-lembaga penerbitan.
Kritikus merupakan perantara antara pengarang dan publik; sedangkan kolektor,
ahli-ahli tentang seni, pencipta buku, menunjang kehidupan jenis-jenis sastra
tertentu. Perkumpulan pengarang juga membantu menciptakan opublik untuk
pengarang atau calon pengarang.
Grafik naik turunnya reputasi dan kemasyhuran pengarang, sukses dan
bertahannya buku adalah fenomena sosial. Sebagian dari permasalahan ini
termasuk wilayah sejarah sasta, karena reputasi dan ketenaran diukur dari
pengaruh seseorang pengarang terhadap pengarang lain, serta kekuatannya dalam
mengubah tradisi sastra. Tetapi reputasi juga berkaitan dengan masalah tanggapan
pembaca. Sampai saat ini, tanggapan pembaca dari satu priode diselidiki melalui
sejumlah pernyataan resmi yang dianggap mewakili pendapat umum. Jadi
masalah “selera yang berubah-ubah” (whirligigof taste) bersifat “sosial”, dan
dapat diletakkan pada dasar sosiologi yang jelas. Hubungan karya dan publik
tertentu dapat ditelusuri melalui jumlah edisi dan jumlah buku yang terjual.21
Sastrawan dipengaruhi dan memengaruhi masyarakat: seni tidak hanya
meniru kehidupan, tetapi juga membentunya. Banyak orang meniru gaya hidup
tokoh-tokoh dunia rekaan. Mereka bercinta, melakukan tidak kejahatan atau
bunuh diri seperti cerita-cerita dalam novel. Kita dapat membuat hipotesis bahwa
21Rene Wellek dan Austin Warren.
[image:37.612.105.533.224.565.2]anak-anak muda lebih langsung dan lebih mudah terpengaruh bacaan daripada
orang tua dan bahwa pembaca yang kurang berpengalaman memperlakukan sastra
secara lebih naïf – menganggapnya bukan sebagai suatu interpretasi tentang
kehidupan, melainkan sebagai transkrip kehidupan – dan menanggapi terlalu
serius.
“bagaimana sastra memengaruhi masyarakat?” adalah pertanyaan empiris
yang mengacu pada pengalaman. Dan karena kita mempunyai batasan sastra dan
batasan masyarakat yang luas, kita perlu mengacu bukan pada pengalaman
sejumlah ahli seni saja, melainkan pada pengalaman seluruh umat manusia.
Pendekatan yang umum dilakukan terhadap hubungan sastra dan
masyarakat adalah mempelajari sastra sebagai dokumen sosial, sebagai potret
kenyataan sosial. Memang ada semacam potret sosial yang bisa ditarik dari karya
sastra. Ini adalah pendekatan sistematis yang paling tua. Thomas Warton
(penyusun sejarah puisi inggris yang pertama) berusaha membuktikan bahwa
sastra mempunyai kemapuan merekam ciri-ciri zamannya, peculiar merit of
faithfully recording the features of the times, and of preserving the most
picturesque and expressive representation of manners22. Bagi Warton dan
pengikut-pengikutnya, sastra adalah gudang adat istiadat, buku sumber peradaban,
terutama sejarah bangkit dan runtuuhnya semangat kesatriaan. Pembaca modern
dapat memperoleh pengetahuan tentang kebudayaan asing melalui novel-novel
Sinclair Lewis, Galsworthy, Balzac, dan Turgenev.
22Rene Wellek dan Austin Warren.
Sebagai dokumen sosial, sastra sering dipakai untuk menguraikan ikhtisar
sejarah sosial. Contoh-contoh seperti itu tidak akan ada habisnya. Setiap orang
meneliti berbagi “dunia” dalam sebuah karya sastra. Tetapi penelitian semacam
ini kurang bermanfaat jika memukul rata bahwa sastra adalah cerminan
kehidupan, sebuah reproduksi, atau sebuah dokumen sosial. Penelitian semacam
ini baru berarti jika kita meneliti metode artistic yang digunakan novelis. Kita
perlu menjawab secara konkret, bagaimana hubungan potret yang muncul dari
karya sastra dengan kenyataan sosial. Apakah karya itu dimaksudkan sebagai
gambaran yang realistis? Ataukah merupakan satire, karikatur, atau idealisasi
romantis?
“Hanya seseorang yang mempunyai pengetahuan tentang struktur sebuah masyarakat dari sumber lain di luar sastra, yang dapat menyelidiki apakah dan sejauh mana tipe sosial tertentu dan prilakunya direproduksi di dalam novel.(only a person who gas a knowledge of the structure of a society from other source than purely literary ones is able to find out if, and how far, certain social types and their behavior are reproduced in the novel… what is pure fancy, what realistic observation, and what only an expression of the desires of the author must be separated in each case in a subtle manner)”23
Para pahlawan, tokoh jahat dan wanita petualang dari dunia rekaan sering
merupakan indikasi adanya sikap sosial yang serupa dengan sifat-sifat tokoh
tersebut pada masyarakat zamanya. Penelitian mengenai sikap sosial seperti ini
mengarah pada sejarah etika dan norma keagamaan. Kalau diselidiki dengan teliti
dan dengan cara yang benar, keterangan tentang masyarakat pada kurun waktu
tertentu memang dapat diperoleh dari karya-karya sastra yang secara sepintas
23 Ernest Bramstedt Kohn.
[image:39.612.98.532.206.564.2]nampaknya tidak mirip dengan kenyataan. Misalnya, dari alegori-alegori yang
aneh, atau gmabaran kehidupan gembala dan alam perdesaan yang terlalu
diidealisasi ayaupun dalam dagelan yang terlalu kasar sekalipun.
Sastra menjadi konteks sosial dalam sebuah milieu24. Jika semboyan tiga
serangkai Taine yang terkenal ras, milieu, dan momen diterapkan, akan
menghasilkan studi kasus khusus tentang milieu. Taine memakai istilah ras secara
longgar. Kadang-kadang yang dimaksud adalah ‘karakter nasional’, atau dalam
kata bahasa Inggris dan Prancis ‘spirit’ atau semangat. Istilah momen berbaur
dengan konsep milieu. Perbedaan waktu berarti perbedaan latar, dan
permasalahan dalam analisis baru muncul bila kita mulai memisah-misahkan
milieu. Latar karya sastra yang paling dekat adalah tradisi linguistik dan
sastranya. Tradisi ini dibentuk oleh iklim budaya yang bersangkutan. Sastra hanya
berkaitan secara tidak langsungdengan situasi ekonomi, politik, dan sosial yang
konkret. Tentu saja semua segi aktivitas manusia saling berkaitan. Pada akhirnya,
kita dapat melihat hubungan antara cara produksi dengan sastra karena sistem
ekonomi menyiratkan sistem kekuasaan yang pada akhirnya mengontrol bentuk
kehidupan keluarga. Keluarga berperan dalam pendidikan, dalam bentuk konsep
seksualitas, cintam dan konvensi, tradisi serta penataan perasaan manusia.
Masalah sastra dan masyarakat dapat diletakkan pada suatu hubungan
yang lebih bersifat simbolik dan bermakna. Kita dapat memakai istilah-istilah
yang mengacu kepada integrasi sistem budaya, dan keterkaitan antara berbagai
aktivitas manusia. Sosrokin mencoba mengembangkan
kemungkinan-24
kemungkinan ini, dan menyimpulkan bahwa kadar integrasi-integrasi budaya
berbeda pada setiap kelompok masyarakat.25
Kita bisa meperdebatkan apakah kebenaran sosial mendukung
kompleksitas dan koherensi karya sastra sehingga menaikkan nilai instrinsiknya.
Tetapi banyak karya sastra yang sediri sekali atau bahkan tidak mempunyai
relevansi sosial sama sekali. Sastra yang bersifat sosial hanya merupakan satu
ragam sastra dari banyak ragam lainnya. Sifat sosial bukan merupakan intik teori
sastra, kecuali kalau kita beranggapan bahwa sastra pada dasarnya adalah ‘tiruan’
hidup dan kehidupan sosial. Tetapi sastra jelas bukan pengganti sosiologi atau
politik. Sastra mempunyai tujuan dan alasan keberadaannya sendiri.26
C. Konsep Dakwah
1. Pengertian Dakwah
Ditinjau dari segi bahasa, dakwah berasal dari bahasa Arab “da’wah”
(ة و ﻋ ﺪ ﻟ ا ). Da’wah mempunyai tiga huruf asal, yaitu dal,’ain, dan wawu. Dari
ketiga huruf asal ini, terbentuk beberapa kata dengan ragam makna.
Makna-makna tersebut adalah memanggil, mengundang, meminta tolong, meminta,
memohon, menamakan, menyuruh datang, mendorong, menyebabkan,
25Prrimim Sorokin.
Fluctuation of Form of Art, Cincinnati 1973 (Vol. I of Social and Cultural
Dynamics) dalam Rene Wellek dan Austin Warren. Teori Susastraan Edisi Terjemahan (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2009) H. 132
26 Rene Wellek dan Austin Warren.
Teori Susastraan Edisi Terjemahan (Jakarta: Gramedia
mendatangkan, mendoakan, menangisi dan meratapi.27 Setidaknya ada
sepuluh macam makna dakwah dalam Al-Qur’an:28
a. Mengajak dan menyeru, baik kepada kebaikan maupun kemusyrikan;
kepada jalan ke surga atau ke neraka. Makna ini paling banyak menghiasi
ayat-ayat Al-Qur’an (46 kali). Kebanyakan dari makna ini mengarah pada
jalan keimaan (39 kali);
b. Doa;
c. Mendakwa atau menganggap tidak baik;
d. Mengadu;
e. Memanggil atau panggilan;
f. Meminta;
g. Mengundang;
h. Penyeru, yaitu malaikat Israfil yang memanggil manusia untuk mengadap
kehadirat Allah SWT;
i. Penggilan nama atau gelar;
j. Anak angkat;
Berikut ini beberapa definisi dakwah menurut para ahli:
a. Abu Bakar Zakaria mengatakan bahwa dakwah adalah usaha para ulama
dan orang-orang yang memiliki pengetahuan agama Islam untuk
memberikan pengajaran kepada khalayak umum sesuai dengan kemapuan
27 Ahmad Warson Munawir, 1997 hal 406 dalam Moh. Ali Aziz,
Ilmu Dakwah Edisi Revisi
(Jakarta: Kencana, 2009) H. 6
28Moh. Ali Aziz,
yang dimiliki tentang hal-hal yang mereka butuhkan dalam urusan dunia
dan keagamaan.29
b. Syekh Ali bin Shahih al-Mursyid, dakwah adalah sistem yang berfungsi
menjelaskan kebenaran, kebajikan, dan petunjuk (agama); sekaligus
menguak berbagai kebathilan berserta media dan metodenya melalui
sejumlah teknik, metode, dan media yang lain.30
c. M. Arifin mengatakan dakwah adalah suatu kegiatan ajaran dalam bentuk
lisan, tulisan, tingkah laku, dan sebagainya yang dilakukan secara sadar
dan terencana dalam usaha memengaruhi orang lain secara individu
maupun kelompok agar timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesdarana,
sikap, penghaatan, serta pengalaman terhadap ajaran agama,messageyang
disampaikan kepadanya tanpa ada unsur-unsur paksaan.31
d. M. Natsir mengatakan dakwah adalah usaha-usaha menyerukan dan
menyampaikan kepada perorngan manusia dan seluruh umat manusa
konsep Islam tentang pandangan dan tujuan hidup manusia di dunia ini,
dan yang meliputi amar ma’ruf nahi munkardengan berbagai macam cara
da media yang diperolehkan akhlak dan membimbing pengalamannya
dalam perikehidupan bermasyarakat dan perikehidupan bernegara.32
e. Dr. M. Bahri Ghazali, M.A mengatakan bahwa dakwah adalah
penyampaian ajaran agama Islam yang tujuannya agar orang tersebut
29Moh. Ali Aziz,
Ilmu Dakwah Edisi Revisi. H. 11 30Moh. Ali Aziz,
Ilmu Dakwah Edisi Revisi. H. 11 31Moh. Ali Aziz,
Ilmu Dakwah Edisi Revisi. H. 11 32Samsul Munir Amin,
melaksanakan ajara agama dengan sepenuh hati. Di dalam kegiatan
tabligh itu terdapat unsur-unsur ajakan, seruan, panggilan agar orang yang
dipanggil berkenan dengubah sikap dan prilakunya sesuai dengan ajaran
agama Islam yang dipeluknya.33
Penelusuran makna dakwah melalui penggunaan pembentukan kata
oleh Al-Qur’an di atas juga merupakan cara kajian semantik. Pemahaman
yang dapat ditemukan adalah bahwa dakwah bersifat persuasif yaitu mengajak
manusia secara halus. Kekerasan, pemaksaan, intimidasi, anacaman, atau
terror agar seseorang melaksanakan ajaran Islam tidak bisa dikatakan
dakwah. Pemahaman ini diperoleh dari makna dakwah yang berarti mengajak,
berdoa, mengadu, memanggil, meminta, dan mengundang. Dengan
makna-makna ini, kita juga memahami bahwa dakwah tidak menekankan hasil, tetapi
mementingkan tugas dan proses. Kita hanya berkewajiban menyampaikan
ajaran Islam dengan penuh kesungguhan. Kita tidak dituntut untuk berhasil.
Keberhasilan dakwah terkait dengan campur tangan Tuhan yaitu hidayah
Allah SWT.34
Secara umum, definisi dakwah yang ditemukakan di atas menunjuk
pada kegiatan yang betujuan perubahan positif dalam diri manusia. Perubahan
positif ini diwujudkan dengan peningkatan iman, mengingat sasaran dakwah
adalah iman. Karena tujuanya baik, maka kegiatannya juga harus baik.
Ukuran baik dan buruk adalah syariat Islam yang termasuk dalam Al-Qur’an
33M. Bahri Ghazali,
Da’wah Komunikatif: Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi Da’wah
(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997), H. 5
34Moh. Ali Aziz,
dan Hadist. Ukuran teks ini lebih stabil dibanding ukuran akal yang senantiasa
dinamis sesuai dengan konteksnya, meski teks sendiri memerlukan penafsiran
konteks. Dengan ukuran ini, metode, media, pesan, teknik harus sesuai
dengan maksud syariat Islam. Karenanya, pendakwah pun harus seorang
muslim. Berdasarkan pada rumusan definisi diatas, maka secara singkat
dakwah adalah kegiatan pengingkatan iman menurut syari’at Islam.35
Ajaran Islam yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadist
berkembang menjadi disiplin ilmu keIslaman dengan sentuhan ilmu-ilmu
motodologis semacam logika, ilmu tafsir, ilmu hadist, ushul fiqih, kaidah
bahasa arab, termasuk ilmu dakwah. metode kajiannya pun dapat mengikuti
pemikiran empirisme maupun rasionalisme. Bagi agama, hasil kajiannya
dapat dijadikan pijakan untuk melihat fungsi agama dengan menjawab
pertanyaan ‘bagaimana’ (how) dan ‘mengapa’ (why). Karena tidak ada teks
suci, maka semua objek studi ini bersifat relatif dan dialektis.
Salah satu disiplin ilmu keIslaman yang disebutkan diatas adalah ilmu
dakwah. Ilmu dakwah menekankan aspek dakwah sebagai realitas sosial,
bukan dakwah sebagai kewajiaban setiap muslim, pandangan dakwah sebagai
kewajiban akan mengarahkan ilmu dakwah sebagai kajian normatif. Kajian
normatif dakwah melibatkan Al-qur’an dan Hadist sebagai pijakan utama, ia
tidak hanya menafsirkan ayat yang terkait dengan dakwah, namun
menghubungkan secara timbal balik antara ayat dan realitas sosial.36
35Moh. Ali Aziz,
Ilmu Dakwah Edisi Revisi. H. 19 36Moh. Ali Aziz,
Rahmat37 menjelaskan fungsional dan substansial agama dengan
beberapa pertanyaan. Secara substantif, kita bertanya, “Apa yang diyakini
atau dipercaya oleh individu atau umat dari agamanya”. Kita membuat
definisi fungsional jika kita bertanya, “apa peran agama dalam kehidupan
personal dan masyarakat”. Dari pemahaman fungsional agama tersebut, kajian
empiris dakwah menjawab pertanyaan: “bagaimana Islam dapat diterima dan
dijalankan manusia, baik secara personal maupun sosial”. Karena itu, ilmu
dakwah sering terfokus pada aspek metode, teknik, dan media yang
disesuaikan dengan keadaan sasaran dan tujuan dakwah. Pengembangan ilmu
dakwah dengan memadukan bidang lain juga berngkat dari aspek metode dan
media dakwah. Contohnya komunikasi dakwah merupakan dakwah dengan
menggunakan metode dan media komunikasi. Dengan demikian, kajian
empiris dakwah tidak memperhatiakn aspek hukum dakwah, pendakwah
bentuk dan jenis pesan dakwah, serta pengelompokan mitra dakwah
berdasarkan iman. Dengan mempersempit cakupan ini, objek kajian ilmu
dakwah tidak lagi bias dan meluas. Dengan makna yang lebih luas akan
menyulitkan kita dalam menjadikannya sebagai disiplin ilmu tersendiri.38
Melihat luasnya pembahasan mengenai dakwah, maka pada penelitian
ini pengertian dakwah dibatasi pada dakwah seorang ayah kepada anaknya
untuk mengajarkan anaknya kebaikan agar anaknya memiliki pemahaman
37Rahmat (2005) halaman 33 dalam Moh. Ali Aziz,
Ilmu Dakwah Edisi Revisi(Jakarta: Kencana,
2009) H. 57
38Moh. Ali Aziz,
hidup yang baik. Ini dimaksudkan agar dakwah yang dibahas dalam penelitian
ini dapat dipahami sesuai dengan isi cerita pada novel yang dikaji.
2. Media Dakwah
Media dakwah merupakan unsur tambahan dalam kegiatan dakwah.
Maksudnya, kegiatan dakwah dapat berlangsung, meski tanpa media. Media
meliputi manusia, materi dan lingkungan yang membuat orang lain
memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap.39
Media berasal dari bahasa latin medius yang secara harfiah berarti
perantara, tengah atau pengantar.40 Dalam bahasa inggris media merupakan
bentuk jamak dari medium yang berarti tengah, antara, rata-rata. Media
merupakan saluran pembawa pesan dari sender untuk mencapai ke reciver.
Media pula yang menerjemahkan pesan-pesan tersbut agar bisa dicapai oleh
khalayak.41
Lebih lanjut beberapa definisi media dakwah dikemukakan sebagai
berikut:42
a. A. Hasjmy, menyamakan media dakwah dengan sarana dakwah dan
menyamakan alat dakwah dengan medan dakwah.
b. Abdul Kadir Munsyi, media dakwah adalah alat yang menjadi saluran
yang menghubungkan ide dengan umat.
39Gerlach & Ely dalam Arsyad (2006:3) dalam Moh. Ali Aziz,
Ilmu Dakwah Edisi Revisi(Jakarta:
Kencana, 2009) H. 403
40Arsyad (2006:3) dalam Moh. Ali Aziz,
Ilmu Dakwah Edisi Revisi(Jakarta: Kencana, 2009) H.
403
41Rulli Nasrullah.
Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber(Jakarta: Kancana. 2012). H. 42 42Moh. Ali Aziz,
c. Asmuni Syukir, media dakwah adalah segala sesuatu yang dapat
digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah
ditentukan
d. Hamzah Ya’qub, media dakwah ia