• Tidak ada hasil yang ditemukan

Narasi Hubungan Ayah Dengan Anak Dalam Novel Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere Ltye

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Narasi Hubungan Ayah Dengan Anak Dalam Novel Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere Ltye"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

NARASI HUBUNGAN AYAH DENGAN ANAK DALAM

NOVEL

AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG

KARYA

TERE LIYE

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh

Nur Afifah

109051000170

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

NARASI

HUBTNGAN

AYAH

DEIYGAN

ANAK

DALAM

NOVEL AYAHKU

$AKAN)

PEMBOHONG

KARYA

TERE

LTYE

Skripsi

D iajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memp eroleh

Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Peneliti

Nur Afifah

NIM: 10905i000170

NIP: I 983061 42009122401

PROGRAM

STUDI

KOMUI{IKASI

DAN

PN,NYIARAN

ISLAM

FAKULTAS

ILMU

DAI(WAH

I}AI{ ILMU

KOMUNIKASI

UI{IVERSITAS ISLAM NAGERI

SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

PENGESAHAN

PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul Narasi Hubungan Ayah dengan Anak Dalam Novel Ayahku

(Bukan) Pembohong Karya Tere Liye telah diujikan dalam sidang munaqasah

Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi IIIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada9 Januari 2014 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) pada Program Studi Komunikasi dan Penyiaran

Islam.

Sidang Munaqasah

Jakarta, I 4 J anuari 201 4

Sekertaris

Anggota

\

.$;

-\

Ketua

t97009031996903 1001

1 8200801 1 008

Penguji II

NIP: 195809101

Fita Fathurokhmah" M.Si

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 14 Januari 2014

(5)

LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

Bismillahirrahmanirrahim

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya:

Nama : Nur Afifah

NIM : 109051000170

Fakultas/Jurusan : Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi/ Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam

Jenis : Skripsi

Judul : Narasi Hubungan Ayah dengan Anak dalam Novel Ayahku

(Bukan) PembohongKarya Tere Liye

Dengan ini menyatakan bahwa saya menyetujui untuk

1. Memberikan hak bebas royalti kepada Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas penulisan karya ilmiah saya, demi pengembangan ilmu pengetahuan. 2. Memberikan hak menyimpan, mengalih mediakan atau mengalih formatkan,

mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikan, serta

menampilkannya dalam bentuk softcopy untuk kepentingan akademis kepada

Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tanpa perlu meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis atau pencipta.

3. Bersedia dan menjamin untuk menanggung secara pribadi tanpa melibatkan pihak perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dari semua bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran hak cipta dalam karya ilmiah saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan semoga dapat digunakan sebagaimana semestinya.

Jakarta, 14 Januari 2014

(6)

ABSTRAK

Nur Afifah

Narasi Hubungan Ayah dengan Anak Dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong

Karya Tere Liye

Pada zaman modern ini sering kita jumpai berbagai perkembangan teknologi komunikasi. Begitu juga dengan berdakwah. Kita bisa menggunakan media komunikasi apapun untuk berdakwah, bahkan menggunakan karya sastra, yakni novel. Sudah banyak novel-novel Islami yang beredar. Tujuan utamanya menyampaikan pesan-pesan dakwah dalam dunia tutur cerita. Salah satu novel Islami itu adalahAyahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye yang peneliti gunakan dalam

penelitian ini.

Dalam penelitian ini memiliki pertanyaan mayor: bagaimana dongeng bisa menjadi media dakwah pada anak? Dari pertanyaan mayor tersebut, maka muncul dua pertanyaan minor, yaitu, 1) pesan dakwah apa saja yang terkandung dalam novel

Ayahku (Bukan) Pembohong? 2) bagaimana isi cerita novel Ayahku (Bukan) Pembohong?

Dalam berdakwah, kita harus mengetahui strategi dan medianya agar dakwah tersebut diterima secara efektif oleh audien. Dongeng merupakan cerita yang bisa mengembangkan imajinasi anak. Maka, dongeng bisa menjadi media yang efektif untuk berdakwah pada anak, karena anak bisa langsung menangkap apa isi pesan dakwah dalam dongeng tersebut.

Penelitian ini menggunakan teori naratif Branston dan Stafford yakni teori yang mencoba untuk memahami tanda dan hubungan yang mengatur bagaimana cerita dibentuk secara berurutan dan membentuk suatu nilai. Teori sastra dan masyarakat menurut Rene Wellek dan Austin Warren, mengungkapkan bahwa dalam sebuah karya sastra dipengaruhi dari faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Bohong memiliki arti sebagai pernyataan yang salah dibuat oleh seseorang dengan tujuan pendengar percaya. Perbuatan bohong akan menimbulkan rasa saling membenci. Islam sendiri menganggap perbuatan ini sebagai perbuatan dosa besar.

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme yakni pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sembarangan. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis naratif, yakni metode yang meneliti bagaimana unsur alur dan plot pada sebuah karya sastra sehingga bisa menggerakan cerita bahkan imajinasi seseorang.

Dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong ini, terkandung pesan-pesan

dakwah untuk terus berusaha, sabar, saling tolong menolong, keteguhan hati, dan tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. isi cerita novel Ayahku (Bukan) Pembohongini mengenai seorang anak bernama Dam, yang dibesarkan oleh ayahnya

(7)

Hasil dari penelitian ini menjelaskan pada novel Ayahku (Bukan) Pembohong

terkandung pesan-pesan dakwah yang tersirat maupun tersurat. Hasil dari penelitian ini juga mengungkapkan bahwa dongeng bisa menjadi sarana yang efektif pada orang tua untuk berdakwah pada anak. Karena dongeng bisa merangsang imajinasi anak, dan anak bisa memahami sendiri makna dari dongeng yang diceritakan.

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil alamin, puji serta syukur kehadirat Allah SWT. berkat

nikmat-Nya yang tidak terhingga sehingga karya sederhana ini dapat terselesaikan

dengan baik. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada junjungan kita, Nabi

Muhammad SAW, berserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya yang setia hingga

akhir zaman.

Peneliti sangat ingin berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah

membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi dan mengajarkan penulis banyak hal.

Ucapan terimakasih tersebut terutama penulis haturkan bagi:

1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Arief Subhan M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi, Dr. Suparto, M.Ed., selaku Wakil Dekan (Wadek) I, Drs. Jumroni,

M.Si., selaku Wadek II, dan Drs. Wahidin Saputra, M.A., selaku Wadek III.

3. Rachmat Baihaky, M.A., selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaaran

Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Umi Musyarafah, M.A., selaku Sekertaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaaran

Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Fita Fathurokhmah, M.Si., selaku dosen pembimbing yang telah bersedia

meluangkan waktunya untuk membimbing peneliti dan memberikan

(9)

6. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah mendidik

serta memberikan beragam ilmu sehingga peneliti menjadi manusia yang lebih

baik. Semoga ilmu-ilmu pada Dosen dibalas dengan pahala yang tak terhingga,

7. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang telah

membantu peneliti dalam hal administrasi selama perkuliahan dan penelitian

skripsi ini.

8. Orang tua tercinta Bapak Ir. Ahmad Yani MSME., dan Ibu Hasliana SH, atas

dukungan dan kepercayaannya peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini dengan

semangat. Kiranya peneliti tidak bisa membalas rasa cinta mereka dengan karya

apapun, tetapi peneliti yakin dengan selesainya tugas akhir ini bisa membuat

mereka bangga terhadap anak perempuannya.

9. Pada kakak Abdulbasith, yang memotivasi peneliti untuk menyelesaikan skripsi

ini. Dua adik peneliti, Alm. Nur Afina serta Palaguna yang selalu bisa membuat

peneliti menyadari jika bahagia itu sederhana.

10. Teman sejak kecil, Nadya Faradhita, Mulky Belladina, dan Risha Desiana

Suhendar yang tidak jenuh mendengarkan segala keluh kesah peneliti serta selalu

memberikan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.

11. Teman-teman KPI angkatan 2009, khususnya kelas KPI E, Isni Rahmawati,

Elvira Hannum, Dwi Pranata, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu

per satu.

12. Teman-teman serta pendiri LSO SKETSA Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

(10)

13. Teman-teman dari TERAS KPI, tempat peneliti belajar mengenai dunia

jurnalistik dan ketepatan waktu, Yusuf, Bayu, Bowo, Maul, Aim, Akmal, Aryo,

dan semua teman-teman yang tidak bisa peneliti sebutkan satu per satu.

14. Teman KKN Belajar, Berkarya dan Mengabdi, yang telah memberikan kenangan

dan kerja keras selama sebulan. Meutia Rahmawati, Eni Nuraeni, Arif Rahman,

Rizky Noor Alam, Rizky Ramadhani, Ayu Lubis dan teman-teman yang tidak

bisa disebutkan satu per satu.

15. Tere Liye, penulis novel favorit yang salah satu karyanya peneliti gunakan dalam

skripsi ini. Berkat karyanya pula peneliti mendapatkan berbagai ide dan

pemahaman hidup.

16. Semua pihak yang tidak sempat peneliti sebutkan.

Pada akhirnya dengan ketidaksempurnaan ini, penulis berharap semoga karya

sederhana ini dapat bagi penulis dan pembaca. Dan semoga Allah SWT membalas

jasa baik yang telah diberikan dari berbagai pihak kepada penulis selama pembuatan

skripsi ini, baik di dunia maupun di akhirat kelak.Amin yarabbal alamin.

Jakarta, 13 Desember 2013

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berkomunikasi dengan orang lain dari belahan dunia saat ini sudah

semudah membalikan telapak tangan, dengan menggunakan kecanggihan

teknologi komunikasi. Ramalan tentang berkembang pesatnya teknologi sudah

diramalkan jauh hari oleh McLuhaan yang menyebutkan bahwa pada akhirnya

peralatan teknologi komunikasi yang telah diciptakan akan memengaruhi bahkan

membentuk kehidupan manusia itu sendiri.

Pada zaman modern ini sering kali dijumpai berbagai macam

perkembangan teknologi komunikasi baik itu dari media cetak seperti majalah,

tabloid, surat kabar, dari media elektronik dan cyber seperti televisi, radio,

internet, tetapi semua perkembangan teknologi yang ada sekarang merupakan

pengembangan dari yang sebelumnya telah diciptakan oleh manusia pada masa

lampau.

Etimologi komunikasi sendiri berasal dari bahasa Latin communico yang

artinya membagi, dan communis yang berarti membangun kebersamaan antara

dua orang atau lebih. Harold D. Lasswell mencoba membuat definisi komunikasi

(12)

effect”1 siapa, mengatakan apa, dengan media apa, kepada siapa, dan apa

akibatnya. Secara sederhana, komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari

seseorang kepada orang lain. Dalam pengertian ini artinya kegiatan komunikasi

paling tidak melibatkan dua orang yang melakukan kegiatan komunikasi, dan

dikatakan adanya proses penyampaian sebuah pesan baik secara verbal maupun

non verbal.

Komunikasi secara verbal adalah komunikasi dengan menggunakan

simbol-simbol verbal, seperti berbicara secara langsung. Sedangkan komunikasi

nonverbal adalah adalah proseskomunikasidimana pesan disampaikan

tidak secara langsung. Contohnya seperti menggunakan media cetak. Media cetak

sendiri memiliki banyak bentuk, salah satunya adalah karya sastra. Karya sastra

merupakan media untuk menuangkan ide, gagasan, dan pendapat pengarang

secara tersurat dan tersirat. Cara penulis tersebut dapat menggunakan bahasa yang

menyiratkan makna lain atau dengan bahasa kias atau bahasa simbolik.

Karya sastra adalah sebuah usaha merekam isi jiwa satrawannya.

Rekaman ini menggunakan alat bahasa. Sastra adalah bentuk rekaman dengan

menggunakan alat bahasa yang disampaikan kepada orang lain. Sehingga sastra

juga merupakan komunikasi. Bentuk rekaman atau karya sastra tadi harus dapat

dikomunikasikan kepada orang lain, karena dapat saja seseorang membuat karya

sastra. Namun kalau karya tersebut tidak dapat dipahami, dikomunikasikan

1Hafied Cangara,

Komunikasi Politik Konsep, teori, dan Strategi(Jakarta: Rajawali Pers, 2011),

(13)

kepada orang lain, dan hanya dimengerti oleh sastrawannya, maka karya

demikian sulit disebut sebagai karya sastra.2

Salah satu karya sastra yang banyak digandrungi oleh remaja saat ini

adalah novel. Novel sendiri berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya

cakupannya tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Novel

merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang

lebih mendalam dan disajikan dengan halus.

Novel sebagai karya sastra terkadang juga menggunakan bahasa yang

lugas tetapi ada kalanya juga menggunakan bahasa simbolik karena novel juga

merupakan alat bagi pengarang untuk menyampaikan ide-ide. Untuk mengetahui

makna tersirat yang berupa bahasa simbolis itulah diperlukan sebuah kajian atau

pendekatan tertentu. Kajian untuk mengetahui makna tersirat dalam novel sastra

dapat dilakukan dengan kajian semiotika.3

Novel dapat berupa fiksi atau karya sastra yang berupa rekaan, namun

dapat pula merupakan karya sastra yang nyata dan benar-benar terjadi dalam

kehidupan masyarakat pada zamanya yang kemudian diceritakan kembali dalam

bentuk karya sastra berupa novel. Setiap orang memiliki cara yang seringkali

berbeda dalam mengungkapkan pandangannya atau permikirannya terhadap

realitas yang ada di sekitar dan yang kita temui.

2Jakob Sumardjo dan Saini K.M,

Apresiasi Kesusastraan(Jakarta: Gramedia,1988), Halaman 6-7 3 Diah Nur Robbaniah, “Kajian semiotika terhadap novel Cantik Itu Luka,”

. (Skripsi S1 Fakultas

(14)

Alasan peneliti memilih media khususnya novel sebagai bahan penelitian

karena perkembangan media komunikasi berfungsi untuk menyampaikan pesan,

khususnya novel yang menonjolkan unsur sosial-budaya yang ada di masyarakat.

Banyak novel-novel modern yang menceritakan romantisme budaya suatu

kelompok masyarakat.

Pertemuan antara budaya yang diusung oleh novel-novel di Indonesia

tidak terhenti pada konteks budaya yang dihasilkan masyarakat dengan cipta,

karsa, dan karyanya tetapi juga dalam budaya agama. Hal itu terindikasikan dari

catatan sejarah novel Indonesia dimana ada beberapa novel yang memang

berangkat dan ataupun membicarakan konteks budaya agama dalam sebuah

cerita. Roman-roman seperti Ketika Cinta Bertasbih, Hafalan Shalat Delisha,

Bidadari-bidadari Surga atauGadis Berkerudung Sorban melatar belakangi atau

bahkan menitikberatkan pada nilai-nilai budaya agama.

Fenomena di atas menunjukkan bahwa budaya berdakwah melalui tulisan

tentang nilai ajaran Islam tidak dapat dikatakan telah surut. Dinamika dakwah

Islam melalui novel terus berjalan, meskipun terdapat sedikit perubahan warna di

dalamnya. Apabila menengok ulang novel “Islami” terdahulu lebih sering

diwarnai oleh budaya yang berlangsung di masyarakat maka dalam novel yang

berkembang saat ini warna yang hadir hanya terbatas dan terfokus pada budaya

“generasi muda”.

Meskipun memiliki perbedaan konteks obyek kajian, tujuan utama dari

novel “Islami” tetaplah sama yakni menyampaikan pesan-pesan Islam dalam

(15)

novel Ayahku (Bukan) Pembohong, mengenai kedekatan, penghormatan terhadap

sang ayah. Maka, novel sebagai karya sastra dalam media dakwah komunikasi

memiliki peran dalam perkembangan teknologi dalam berdakwah.

Seiring berkembangnya teknologi informasi di masyarakat, karya sastra

sebagai produk imajinatif masyarakat mengalami perkembangan dengan

munculnya teori-teori sastra strukturalisme, yang telah berhasil untuk memasuki

hampir seluruh bidang kehidupan manusia, dianggap sebagai salah satu teori

modern yang berhasil membawa manusia pada pemahaman secara maksimal.

Novel sebagai media memiliki fungsi untuk menyampaikan pesan kepada

pembaca dengan cara sastranya.

Adapun isi dari novel dipengaruhi oleh struktur isi novel tersebut.

Struktur yang dimaksud disini adalah struktur mengenai persepsi dunia dan

pengalaman, bukan entitas obejktif yang sudah eksis di dunia eksternal. Dari sni

dapat dikatakan bahwa makna atau signifikansi bukanlah semacam inti atau

esensi di dalam hal; sebaliknya, makna selalu berada di luar. Makna selalu berupa

atribut dari sebuah hal, dalam pengertian harfiah yakni makna dijadikan atribut

suatu hal oleh benak manusia, bukan terwadahi di dalamnya.4

Novel Ayahku (Bukan) Pembohong adalah salah satu karya Tere-Liye

yang terbit tahun 2012. Tere-Liye merupakan salah satu penulis yang sukses

dengan buku Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin (2010), Hafalan

Shalat Delisa(2005), Moga Bunda Disayang Allah(2005),Senja Bersama Rosie

4Peter Barry.

Pengantar Komperhensif Teori Sastra dan Budaya:Beginning Theory. (Yogyakarta:

(16)

(2008). Nama “Tere-Liye” sendiri diambil dari bahasa India dan memiliki

artiuntukmu.

Meskipun Tere Liye bisa dianggap salah satu penulis yang telah banyak

menelurkan karya-karyabest seller. Tapi jika pembacanya mencari tentang

biodata atau biografi Tere Liye. Hampir tidak ada informasi mengenai

kehidupannya serta keluarganya. Bahkan jika mencoba sendiri dengan mengecek

karya Tere Liye dan lihat di bagian belakang “tentang penulis’ dalam novelnya,

maka tidak ada yang bisa menemukan informasi mengenai Tere Liye.

Berbeda dari penulis yang lain, Tere Liye memang sepertinya tidak ingin

dipublikasikan ke umum terkait kehidupan pribadinya. Mungkin begitulah cara

yang ia pilih untuk dikenal.

Novel yang dipilih berjudul Ayahku (Bukan) Pembohong karena novel ini

menceritakan bagaimana seorang ayah mengajarkan pelajaran hidup kepada

anaknya dengan cara bercerita. Kata “bukan” pada judul dimaksudkan karena

awalnya sang anak menuduh cerita ayahnya adalah cerita bohong belaka yang

tidak masuk akal. Padahal sang ayah dikenal sebagai seorang yang sangat jujur.

Namun pada akhirnya setelah ayahnya tidak ada, anak itu menemukan bukti

bahwa cerita ayahnya bukanlah cerita bohong.

Peneliti memilih novel ini karena awalnya merasa adanya ketidak adilan

dalam memahami orangtua. Banyak sekali novel-novel yang menceritakan

tentang ibu, memahami ibu, membanggakan ibu. Namun, mengapa sedikit sekali

yang membahas mengenai ayah? Padahal ayah juga merupakan orangtua. Bahkan

(17)

kunjungi. Sedangkan buku mengenai ibu selalu ada di deretan novel remaja, novel

terlaris.

Ayah memiliki tanggung jawab untuk memimpin keluarga dan mendidik

anaknya. Setiap sosok ayah memiliki cara tersendiri dalam mendidik anaknya. Ini

yang mendasari penulis ingin melakuakan penelitian naratif, yaitu untuk

menjelaskan betapa peran ayah dalam keluarga sangatlah penting.

Masalah yang terkandung dalam karya sastra pada dasarnya merupakan

masalah masyarakat. Tanda menimbulkan reaksi pembaca untuk menafsirkannya,

proses penafsiran terjadi karena tanda yang bersangkutan mengacu pada suatu

kenyataan. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas turut menentukan bentuk

kontrusi realitas yang sekaligus menentukan makna yang muncul. Bahasa bukan

hanya mampu menceritakan realitas, tetapi sekaligus menciptakan realitas. Oleh

karena itu, peneliti tertarik mengangkat penelitian skripsi ini dengan judul

“Dongeng Sebagai Media Dakwah pada Anak, Analisis Naratif Novel Ayahku (Bukan) Pembohongkarya Tere Liye.”

B. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penelitian ini dibatasi pada

Penelitian analisis naratif hubungan ayah dengan anak dalam objek penelitian

(18)

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka perumusan masalahnya sebagai

berikut:

1. Bagaimana analisis naratif dalam novelAyahku (Bukan) Pembohong?

2. Pesan-pesan dakwah apa yang terkandung dalam novel tersebut?

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui alur dan plot dari novel Ayahku (Bukan) Pembohong

secara keseluruhan.

2. Mengetahui pesan-pesan dakwah yang terkandung dalam novel Ayahku

(Bukan) Pembohongkarya Tere Liye

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk pembaca:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan mengenai

studi analisis naratif terhadap karya sastra novel yang digunakan sebagai

media dakwah Islam.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam

mengaplikasikan teori sastra dan teori naratif dalam mengungkap

novelAyahku (Bukan) Pembohongkarya Tere Liye.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat menambah referensi pada analisis naratif

(19)

menambah wawasan kepada pembaca tentang tanda dan penanda yang ada

pada novelAyahku (Bukan) Pembohongkarya Tere Liye.

F. Metodologi Penelitian

1. Paradigma Penelitian

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah

konstruktivisme. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi)

pembelajaran kontekstual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia

sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas

dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat

fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus

mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman

nyata.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian

kualitatif ditujukan untuk memahami fenomena-fenomena sosial dari sudut

atau perspektif partisipan. Penelitian kualitatif diarahkan lebih dari sekedar

memahami fenomena tetapi juga mengembangkan teori.5

5Juang Sunanto,

(20)

3. Metode Penelitian

Metode penelitian ini adalah naratif, yaitu metode untuk memahami

identitas dan pandangan dunia seseorang dengan mengacu pada cerita-cerita

(narasi) yang ia dengarkan ataupun tuturkan di dalam aktivitasnya sehari-hari

(baik dalam bentuk gosip, berita, fakta, analisis, dan sebagainya, karena

semua itu dapat disebut sebagai ‘cerita’). Fokus penelitian dari metode ini

adalah cerita-cerita yang didengarkan di dalam pengalaman kehidupan

manusia sehari-hari.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adal

dua teknik yakni observasi non partisipan dan dokumentasi.

1. Observasi Non Partisipan

Karl Weick mendefinisikan observasi sebagai “pemilihan,

pengubahan, pencatatan, dan pengodean serangkaian prilaku dan suasana

yang berkenaan dengan organisme itu, sesuai dengan tujuan-tujuan

empiris”.6 Observasi non partisipan adalah observasi yang dalam

pelaksanaannya tidak melibatkan peneliti sebagai partisipasi atau

kelompok yang diteliti.7 Teknik ini digunakan untuk mengetahui makna

baik secara keseluruhan ataupun sebagian isi dari novel yang diteliti. Serta

mengetahui unsur instrinsik dan ekstrinsik dari novel tersebut.

6Jalaluddin Rakhmat,

Metode Penelitian Komunikasi(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), H. 83 7Kuswanto.Observasi (Pengamatan Langsung di Lapangan).”Artikel diakses pada 14 November

(21)

2. Dokumentasi

Menurut Sugiyono8 dokumentasi merupakan catatan peristiwa

yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau

karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan

misalnya catatan harian, sejarah kehidupan, ceritera, biografi, peraturan,

kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya foto, gambar

hidup, sketsa dan lain-lain. Dokumen yang berbentuk karya misalnya

karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film, buku dan lain-lain.

teknik ini digunakan untuk mengetahui bagaimana pendapat orang lain

yang sudah membaca novel ini. Peneliti mencari artikel-artikel yang

berkenaan dengan novel ini serta mengkaji pendapat mereka mengenai

novel ini.

5. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis naratif menurut Gill

Branston dan Roy Stafford, yakni dengan menganalisis alur dan plot pada

objek yang dikaji. Alur adalah rangkaian peristiwa demi peristiwa dari awal

sampai akhir cerita, sedangkan plot adalah hubungan yang mengaitkan satu

kejadian dengan kejadian lainnya sehingga saling berhubungan yang memicu

terjadinya krisis dan menggerakkan cerita menuju klimaks (puncak konflik).

8Sugiyono.

(22)

6. Tinjauan Pustaka

Dari pengamatan literatur yang ada, maka peneliti menemukan adanya

analisis yang sama tentang analisis naratif sebagai pedoman dalam penulisan

skripsi ini. Diantaranya:

skripsi-skripsi atau tesis yang berhubungan dengan analisis semiotik.

Diantaranya:

a. Skripsi karya Santi, A.W.D, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Dipenogoro. Dengan judul “Studi Analisis Naratif:

Representasi Pesantren Dalam Film 3 doa 3 cinta”. Skripsi ini

menjelaskan bagaimana film yang dibuat dengan tujuan untuk “membela”

pesantren dari tudingan sebagai tempat pengkaderan teroris ini justru juga

memberikan kritikan-kritikan terhadap lembaga pesantren itu sendiri.

b. Skripsi karya Yasmin Auliya Hayyu, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

Universitas Indonesia, dengan judul “Analiss Narasi yang ditulis oleh Siswa Kelas 4 Sekolah Dasar Negeri” penelitian ini menjelaskan

mengenai kemampuan menulis narasi para siswa kelas 4 sekolah dasar.

Serta menjelaskan mengenai munculnya informasi pada setiap komponen

narasi

7. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahsan dalam penelitian ini, penulis

membagi penelitian ini menjadi lima bab, dengan sistematika penulisan

(23)

Bab I : Pendahuluan, meliputi: Latar Belakang Masalah, Pembatasan

Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat

Penelitian, Metodologi Penelitian, Teknik Pengumpulan Data,

Teknik Analisis Data, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika Penulisan

Bab II : Landasan Teoritis dan Kerangka Konsep, meliputi: Teori Naratif

Gill Branston dan Roy Stafford, Teori Sastra dan Masyarakat Rene

Wellek dan Austin Waren, Dakwah, Novel, Bohong Menurut

Ajaran Islam

Bab III : Gambaran Umum Novel Ayahku (Bukan) Pembohong,

meliputi:deskripsi novel Ayahku (Bukan) Pembohong, Bagian

Kisah yang Dapat Diambil Pelajaran, Biografi Tere Liye.

Bab IV : Analisis dan Temuan Penelitian.

(24)

BAB II

LANDASAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEP

A. Teori Naratif Branston dan Stafford

Kebanyakan dari kita menghabiskan banyak waktu untuk bercerita

(bergosip tentang teman, bercerita mengenai lelucon dan membentuk karakter

yang tinggi: ‘lulusan yang membanggakan’ (tidak pernah ada istilah ‘mahasiswa

yang ditekan dengan keras’). Semua kultur terlihat sama dalam pembuatan cerita

yaitu dengan mengikuti cara membuat perasaan dan makna di dunia. Ada dua

poin mengenai sistematik ilmu naratif di dunia modern:

1. Teori naratif menyatakan bahwa cerita di media apapun dan di kultur apapun

tujuannya untuk membagi pesan khusus

2. Tetapi pada media tertentu memunginkan kita untuk bercerita dengan cara

yang berbeda.

Teori naratif mencoba untuk mengerti tanda dan hubungan yang mengatur

bagaimana cerita (fiksi atau fakta) dibentuk secara berurutan, dan cara ini

mungkin dapat membuat audien terlibat dalam berbagai cara yang berbeda.

Seperti kebanyakan ilmu media, pemikiran ini menyatakan bahwa aktivitas

biasanya sering dihubungkan dengan ketetapan nilai yang dominan.9

Tentu saja ada cara lain untuk memikirkan mengenai bercerita dan

menulis cerita. Bagaimanapun juga, studi media tidak terlibat dalam produksi

cerita (karena produksi cerita adalah sebuah proses yang tidak bisa diperkirakan,

9Gill Branston and Roy Stafford.

The Media Student’s Book Third Edition (London: Routledge,

(25)

pemikiran yang terlalu biasa bisa menjadi sebuah rumusan masalah). Studi narasi

mencoba memahami itu, khususnya pada kemungkinan aturan sosial dan ideologi.

Definisi yang bagus untuk naratif berasal dari Braningan10yang berpendapat ‘cara

membentuk ruang dan data sementara yaitu dengan memasukkan suatu peristiwa

di awal, pertengahan dan akhir yang membentuk pendapat tentang sifat dari

peristiwa ke dalam rantai sebab-akibat’. Teori ini memunculkan pendapat Propp,

Barthes, Todorov dan Lévi-Strauss. Mereka bekerja dengan dongeng, novel dan

cerita rakyat yang mencoba mengerti bagaimana bentuk naratif dan nilai yang

berlaku tanpa adanya pengaruh kultur khusus. Ini adalah inti dari pengaruh

pendekatan strukturalis pada naratif.

Istilah narasi mendeskripsikan bagaimana cerita berjalan, bagaimana

pesan dipilih dan diatur menjadi efek tertentu dengan audien. Plot dan cerita

adalah kunci dari istilah ini. Bordwell dan Thompson11 menggambarkan cerita

terdiri dari dua hal yaitu plot dan narasi. Plot adalah segala hal yang terlihat dan

terdengar pada sebuah cerita. Pada plot ada seleksi bagian tertentu dari sebuah

cerita yang sudah diberikan narasi. Sehingga kita bisa berfikir bagian-bagian

tersebut tersusun menjadi sesuatu yang bisa kita rangkai yang pada akhirnya

menjadi cerita. Plot juga mengandung pesan yang akan kita temukan di akhir

cerita. Karena saat kita masuk pada bagian-bagian plot, kita sibuk mencari pesan

10Edward Braningan.

Narrative Comprehension and Film,London: University Press, 1992 dalam

Gill Branston and Roy Stafford.The Media Student’s Book Third Edition (London: Routledge, 1999)

halaman 33

11David Bordwell dan Thompson Kirstin.

Film Art: An Introduction. (New York: McGraw Hill

(26)

dan juga berfikir alur cerita secara bersamaan di dalam pikiran kita, yang dikenal

sebagai mental Norman didalam psikologi.

Penulis lain menjelaskan plot adalah sebuah istilah dimana audien

membandingkan karakter dalam cerita. Dalam cerita kita tidak akan menyadari

jika plot sudah dibuat, sehingga kita tidak mungkin bisa menebak apa yang akan

terungkap pada bagian akhir cerita.

Plot adalah hubungan yang mengaitkan satu kejadian dengan kejadian

lainnya sehingga saling berhubungan yang memicu terjadinya krisis dan

menggerakkan cerita menuju klimaks (puncak konflik). Dengan kata lain, adanya

suatu peristiwa dibenturkan dengan peristiwa lain, yang saling bergesekan

sehingga memacu timbulnya konflik. Plot inilah yang sesungguhnya

menggerakan cerita dari awal sampai akhir yang menghiasinya jalannya cerita

tersebut dengan ketegangan, konflik dan penyelesaian (ending).

Di dalam plot inilah persoalan-persoalan yang dihadapi para tokoh cerita

saling digesekkan, dibenturkan satu sama lain menjadi persoalan baru yang lebih

kompleks, diseret ke puncak krisis, lalu dicari pemecahan (penyelesaian)-nya

menuju akhir cerita (ending). Plot digerakkan oleh tokoh cerita, gesekan yang

timbul karena pergerakan plot inilah yang melahir ketegangan (suspend) yang

menyulut api konflik. Kemudian plot yang mengkondisikan tokoh cerita berusaha

untuk mencari jalan keluar dari konflik yang terjadi tersebut untuk menurunkan

(27)

Dalam bentuk sederhana plot dibagi menjadi 3, yaitu:12

1. Beginning atau awal cerita

Bagian awal berfungsi sebagai eksposisi yaitu bagian yang memberikan

informasi yang diperlukan oleh pembaca agar bisa memahami jalan cerita

selanjutnya. Dibagian awal ini biasanya berisi nama tokoh-tokoh, gender,

usia, pekerjaan, kondisi sosial, tempat tinggal, dan hal-hal yang menurut

penulis penting untuk diketahui oleh pembaca. Pada awal ini biasanya

diakhir dengan cerita yang tidak stabil karena cerita yang tidak stabil inilah

yang akan memicu kejadian yang akan terjadi berikutnya.

2. Middle atau tengah cerita

Bagian tengah cerita diawali dengan hal-hal yang bisa memicu konflik

karena pada bagian tengah cerita ini berupa rangkaian konflik yang

intensitasnya semakin tinggi dan mencapai kepuncak dan disebut dengan

klimaks sebuah cerita. bagian inilah yang biasanya paling ditunggu oleh

pembaca.

3. End atau akhir cerita

Bagian akhir cerita ini berisi penyelesaian atas masalah-masalah yang

terjadi dibagian tengah cerita.

Sedangkan alur cerita adalah pergerakan cerita dari waktu ke waktu, atau

rangkaian peristiwa demi peristiwa dari awal sampai akhir cerita. Ada alur

(28)

progresif yang bergerak runtut dari awal sampai akhir (A-B-C). Alur kilas balik

(flash back) yang dimulai dari akhir cerita kemudian bergerak ke awal cerita

(C-B-A). Dan, ada alur percampuran antar kedua alur yang disebutkan di atas.

Alur cerita dibangun oleh narasi, deskripsi, dialog, dan aksi/laku (action)

dari tokoh-tokoh cerita. Alur yang baik akan sangat membantu pembaca untuk

menangkap gambaran utuh dari cerita yang disuguhkan dalam novel. Bagi

penulis, penguasaan alur cerita sangat menolong agar tidak kehilangan jejak, atau

mentok di tengah jalan.

Alur cerita mempunyai tahapan-tahapan. Tahapan-tahapan tersebut adalah

perkenalan, pembeberan mula, konflik, klimaks, anti klimaks, penyelesaian.

Tahapan-tahapan inilah yang nanti akan membentuk alur. Proses

pembentukkannya tergatung bagaimana mengatur tahapan-tahapan yang ada.

Tahapan-tahapan itu bisa dikatakan sebagai aturan baku yang akan mempermudah

kita dalam menjalankan sebuah cerita. Jenis-jenis alur dapat dibedakan menjadi

tiga, yaitu,alur maju, alur mundur, dan alur campuran.13

1. Alur maju

Alur maju atau biasa juga disebut alur lurus. Alur ini mempunyai tahapan

yang lurus mulai dari perkenalan, pembeberan mula, konflik, klimaks,

antiklimaks, penyelasaian. Biasanya penulis-penulis yang menggunakan alur

ini adalah penulis-penulis pemula. Dengan menulis menggunakan alur ini,

akan terbangun kebiasaan menulis bagi mereka karena penggunaan alur ini

13 Joni Lis Efendi, Trik Sederhana Menulis Alur dan Plot Cerita.” Artikel diakses pada 17

(29)

tidak terlalu sulit. Dan alur ini kebanyakan digunakan terhadap cerita-cerita

yang mudah untuk dicerna, seperti cerita-cerita untuk anak-anak. Tetapi,

bukan berarti alur ini tidak bisa digunakan untuk cerita-cerita serius, seperti

roman, drama, dan lain-lain.

2. Alur mundur

Alur mundur/sorot balik adalah alur yang memulai cerita dengan

penyelesaian. Alur ini lebih sering kita temui pada cerita-cerita yang

menggunakan setting waktu di masa lampau. Seorang penulis yang

menggunakan alur ini harus pintar dalam menyusun cerita agar cerita tidak

membingungkan pembaca.

3. Alur campuran

Alur ini adalah alur yang diawali dengan klimaks, kemudian melihat lagi

masa lampau dan diakhiri dengan penyelesaian. Alur ini jarang sekali

dgunakan oleh penulis karena sulit dipahami. Tapi, kalau kita mengerti

trik-trik atau cara mengatur plot cerita, kita akan mudah menggunakannya. Ini

adalah contoh penggalan cerpen yang menggunakan alur campuran.

Perbedaan mendasar antara cerita dan plot ditunjukkan oleh novelis dan

kritikus EM Forster dalam Aspek tentang Novel (1927) Forster mendefinisikan

cerita sebagai urutan kronologis peristiwa dan plot sebagai struktur kausal dan

logis yang menghubungkan peristiwa. Contoh Forster untuk menggambarkan

perbedaan antara cerita dan plot sebagai berikut:

Raja meninggal dan kemudian Ratu meninggal (cerita)

(30)

Plot dapat dianggap sebagai bagian dari wacana, karena merupakan bagian dari

cara cerita disajikan.14

Bagaimanapun cara seseorang ingin melihat plot, plot selalu dapat berupa

linear (garis) atau non-linear. Plot non-linear mungkin lebih membingungkan

audience dan plot jenis ini muncul lebih sering dalam drama modern dan

kontemporer, yang sering mempertanyakan gagasan logika dan kausalitas. Equus

Play milik Peter Shaffer misalnya, bercerita tentang terapi kejiwaan seseorang

bernama Alan. Dimulai pada akhir cerita dan kemudian menyajikan peristiwa

dalam urutan terbalik (akhiran di awal – awalan di akhir). Penonton dituntun

untuk menarik hubungan antara kejadian-kejadian yang bertujuan untuk

menjelaskan perilaku Alan.15

Lebih jelasnya, alur cerita dan plot akan dijelaskan sebagai berikut:16

1. Alur berisi kronologis cerita, walau susunannya bisa maju, kilas balik atau

gabungan. Alur hanya rangkaian cerita dari awal sampai akhir.

2. Alur bisa dijabarkan dengan gaya narasi, deskripsi dan eksposisi. Sedangkan

plot sebagian besar dengan narasi dan dialog.

3. Plot adalah pergerakan cerita dari satu kejadian demi kejadian yang saling

berkaitan, bahkan terkadang sengaja dibenturkan untuk menimbulkan adanya

ketegangan, klimaks (puncak konflik), antiklimak (penurunan konflik) sampai

ending.

14Stefanie Lethbridge and Jarmila Mildorf.

Basics of English Studies: An introductory course for students of literary studies in English (Hartford, CT: English departments of the Universities of

Tübingen, Stuttgart and Freiburg, t.t) H. 43

15Stefanie Lethbridge and Jarmila Mildorf.

Basics of English Studies: An introductory course for students of literary studies in English. H. 98

16 Joni Lis Efendi, Trik Sederhana Menulis Alur dan Plot Cerita.” Artikel diakses pada 17

(31)

4. Alur adalah badan cerita sedangkan plot adalah ruh yang menggerakan cerita.

Alur ada pada jenis tulisan lain seperti feature dan esai. Sedangkan plot khusus

ditemukan dalam cerpen dan novel.

Bagian lain dari konstruksi naratif adalah keterlibatan intonasi suara saat

bercerita. Narasi orang pertama akan menggunakan kata ‘aku’ sebagai pencerita,

dan tidak membiarkan pembaca menebak cerita karena kata ‘aku’ mengetahui

semuanya. Orang ketiga atau orang yang diluar cerita akan bercerita dengan kesan

‘dia diceritakan’ contohnya pada ‘pada zaman dahulu kala ada seorang pangeran…’ pemikiran narasi film dan televisi atau video bermula dengan suara

yang menceritakan kepada kita dari suatu sudut pandang seseorang tertentu,

biasanya mereka menhindari bentuk narasi sudut pandang orang ketiga.17

B. Teori Sastra dan Masyarakat Rene Wellek dan Austin Warren

Dalam Studi sastra yang paling banyak dibahas adalah latar (setting),

lingkungan (environment) dan hal-hal yang bersifat eksternal. Metode ekstrinsik

ini tidak terbatas pada studi tentang sastra lama, tetapi juga dapat diterapkan pada

kesustraan modern. Jadi, istilah “historis” tidak mengacu pada sastra lama, tetapi

berkaitan dengan perubahan sastra sesuai dengan perubahan waktu, suatu

permasalahan sejarah.

Sejauh mana faktor-faktor luar tadi dianggap menentukan produksi karya

sastra dan sejauh mana metode ekstrinsik dianggap mampu mengukur pengaruh

luar tersebut, tergantung dari pendekatan yang dipakai. Ilmuwan yang

17Gill Branston and Roy Stafford.

The Media Student’s Book Third Edition(London: Routledge,

(32)

menerapkan pendekatan sosial cenderung sangat determistis. Sikap radikal

mereka mungkin merupakan pengaruh aliran positivisme dan perkembangan ilmu

pengetahuan pada abad ke-19.

Diantara sekian macam pendekatan ekstrinsik, metode terbaik adalah yang

mengaitkan karya sastra dengan latar belakang keseluruhan. Tidak mungkin kita

menganggap bahwa karya sastra hanya dipengaruhi satu faktor penyebab saja.

Kita perlu menimbang faktor-faktor mana yang paling penting, lalu mencari

kaitan metode-metode yang ada dengan studi ergocentric, yakni studi yang

terpusat pada karya sastra itu sendiri.

Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa.

Teknik-teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan mantra bersifat sosial karena

merupakan konvensi dan norma masyarakat. Lagi pula sastra “menyajikan

kehidupan”, dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial,

walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia. Sastra

sering memiliki kaitan dengan institusi sosial tertentu. Sastra mempunyai fungsi

sosial atau “manfaat” yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi. Jadi, permasalahan

studi sastra menyiratkan atau merupakan masalah sosial: masalah tradisi,

konvensi, norma, jenis sastra (genre), simbol, dan mitos. Tomars

(33)

Lembaga estetik tidak berdasarkan lembaga sosial, bahkan bukan bagian dari lembaga sosial. Lembaga estetik adalah lembaga sosial dari satu tipe tertentu, dan sangat erat berkaitan dengan tipe-tipe lainnya.18

Tetapi penelitian yang menyangkut sastra dan masyarakat biasanya terlalu

sempit dan menyentuh permasalahan dari luar sastra. Sastra dikaitkan dengan

situasi tertentu, atau dengan sistem politik, ekonomi, dan sosial tertentu.

Penelitian dilakukan untuk menjabarkan perngaruh masyarakat terhadap sastra

dan kedudukan sastra dalam masyarakat. Pendekatan sosiologis ini terutama

dipakai oleh pendukung filsafat sosial tertentu. Kritikus aliran marxisme tidak

hanya mempelajari kaitan sastra dengan masyarakat, tetapi juga memberi batasan

bagaimana seharusnya hubungan itu dalam masyarakat zaman sekarang dan

masyarakat di masa mendatang yang tidak mengenal kelas. Para kritikus

marxisme melakukan kritik yang memberikan penilaian dan menghakimi,

didasarkan pada kriteria politik dan etika yang nonsastra. Mereka tidak hanya

menunjukkan apa kaitan dan dampak sebuah karya terhadap masyarakat, tetapi

mendikte kaitan dan dampak apa yang seharusnya ada.

Pembahasan hubungan sastra dan masyarakat biasanya bertolak dari frase

De Bonald bahwa “sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat” (literature is an expression of society). Tapi apa makna aksoma ini? Jika yang dimaksud bahwa

sastra secara tepat mencerminkan situasi sosial pada kurun waktu tertentu

pengertian ini keliru. Kalau hanya menyampaikan bahwa sastra menunjukkan

beberapa aspek sosial, ungkapan itu terlalu dangkal dan samar. Lebih jelas lagi

18Adolph Siegfried Tomars.

Introduction to the sociology ofArt, Mexico City. 1994 dalam Rene

Wellek dan Austin Waren. Teori Kesusastraan Edisi Terjemahan (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,

(34)

kalau dikatakan bahwa sastra mencerminkan dan mengekspresikan hidup.

Pengarang tidak bisa tidak mengekspresikan pengalaman dan pandangannya

tentang hidup. Tetapi tidak benar kalau dikatakan bahwa pengarang

mengekspresikan kehidupan secara keseluruhan, atau kehidupan zaman tertentu

secara kongkret dan menyuruh. Dengan mengatakan bahwa pengarang harus

mengekspresikan kehidupan sepenuhnya –mewakili masyarakat dan zamannya –

kita sudah memaksakan suatu kriteria penilaian tertentu. Lagi pula, istilah

“sepenuhnya” dan “mewakili” bisa diinterpretasikan secara berlainan: untuk

sebagian besar aliran kritik sosial, berarti pengarang harus peka terhadap situasi

sosial dan nasib kaum protelar. Kritik sosial yang lain bahkan menuntut

pengarang untuk menganut sikap atau ideologi yang sama dengan yang dianut

oleh kritikusnya.

Dalam kritik aliran Hegel dan Taine, kebesaran sejarah dan sosial

disamakan dengan kehebatan artistik. Seniman menyampaikan kebenaran yang

sekaligus juga merupakan kebenaran sejarah dan sosial. Karya sastra merupakan

“dokumen karena merupakan monument (document because they are

monuments)”. Dibuat postulat antara kejeniusan sastra dengan zamannya. “sifat mewakili zaman” dan “kebenarian sosial” dianggap sebagai sebab dan hasil

kehebatan nilai artistik suatu karya sastra. Karya sastra yang jelek atau yang biasa

saja – walaupun dianggap sebagai dokumen sosial yang lebih baik oleh ahli

sosiologi modern – dinilai tidak ekspresif oleh Traine; jadi, tidak mewakili

zamannya. Sastra bagi aliran ini bukan cerminan proses sosial, melainkan intisari

(35)

Tapi sebaiknya masalah kritik yang berbau penilaian kita tangguhkan dulu

sampai kita menemukan hubungan yang nyata antara sastra dan masyarakat.

Hubungan yang bersifat deskriptif (bukan normatif) dapat kita klarifikasikan

sebagai berikut.

Pertama adalah sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi

sastra. Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar

belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari

berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Yang kedua adalah isi karya

sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan

yang berkaitan dengan masalah sosial. Yang terakhir adalah permasalahan

pembaca dan dampak sosial karya sastra. Sejauh mana sastra ditentukan atau

tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial, dari latar sosial,

perubahan dan perkembangan sosial adalah pertanyaan yang termasuk dalam

ketiga jenis permasalahan di atas: sosiologi pengarang, isi karya sastra yang

bersifat sosial, dan dampak sastra terhadap masyarakat. Sebelum kira sampai

kepada masalah lebih lanjut, yaitu integrasi budaya, kita harus menjelaskan

terlebih dahulu apa yang kita maksudkan dengan ketergantungan atau hubungan

sebab-akibat antara sastra dan masyarakat.

Karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari

sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumbe utama, tetapi studi ini

(36)

dapat mengumpulkan informasi tetang latar belakang sosial, latar belakang

keluarga dan posisi ekonomi pengarang.19

Asal-usul sosial seorang pengarang hanya sedikit sekali berperan dalam

menjawab masalah status sosial, keterlibatan, dan ideologi, sebab sering

pengarang melayani kebutuhan kelas lain. keterlibatan sosial, sikap, dan ideologi

pengarang dapat dipelajari tidak hanya melalui karya-karya mereka, tetapi juga

dari dokumen biografi. Pengarang adalah seorang warga masyarakat yang

tentunya mempunyai pendapat tentang masalah-masalah politik dan sosial yang

penting, serta mengikuti isu-isu zamannya. Jika disusun secara sistematis,

masalah asal, keterlibatan dan ideology sosial akan mengarah pada sosiologi

pengarang berbagai tipe atau suatu tipe pada waktu dan tempat tertentu. Kita

dapat membedakan pengarang menurut kedar integrasi mereka dalam proses

sosial.20

Sosiologi sastra bertugas menelusuri status sosial kelas ini, meneliti

ketergantungannya pada kelas penguasa, serta mempelajari sumber ekonomi dan

prestisnya dalam masyarakat. Studi dasar ekonomi sastra dan status sosal

pengarang mau tak mau harus memperhitungkan pembaca yang menjadi sasaran

pengarang dan menjadi sumber rezekinya.

Pada masa-masa selanjutnya, agak lebih sulit untuk menelusuri hubungan

khusus antara pengarang dan publiknya, karena khalayak pembaca semakin

meluas dan heterogen. Lagi pula, hubungan antara pengarang dan publik semakin

19 Rene Wellek dan Austin Warren.

Teori Susastraan Edisi Terjemahan (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2009) H. 109-112

20Rene Wellek dan Austin Warren.

(37)

tidak langsung. Jumlah perantara yang menjadi penghubung antara pengarang dan

publik semakin banyak. Kita dapat melihat peran kembaga-lembaga sosial dan

badan-badan seperti akademi, universitas bahkan klub, salon dan restoran; kita

dapat menelusuri sejarah majalah, jurnal dan lembaga-lembaga penerbitan.

Kritikus merupakan perantara antara pengarang dan publik; sedangkan kolektor,

ahli-ahli tentang seni, pencipta buku, menunjang kehidupan jenis-jenis sastra

tertentu. Perkumpulan pengarang juga membantu menciptakan opublik untuk

pengarang atau calon pengarang.

Grafik naik turunnya reputasi dan kemasyhuran pengarang, sukses dan

bertahannya buku adalah fenomena sosial. Sebagian dari permasalahan ini

termasuk wilayah sejarah sasta, karena reputasi dan ketenaran diukur dari

pengaruh seseorang pengarang terhadap pengarang lain, serta kekuatannya dalam

mengubah tradisi sastra. Tetapi reputasi juga berkaitan dengan masalah tanggapan

pembaca. Sampai saat ini, tanggapan pembaca dari satu priode diselidiki melalui

sejumlah pernyataan resmi yang dianggap mewakili pendapat umum. Jadi

masalah “selera yang berubah-ubah” (whirligigof taste) bersifat “sosial”, dan

dapat diletakkan pada dasar sosiologi yang jelas. Hubungan karya dan publik

tertentu dapat ditelusuri melalui jumlah edisi dan jumlah buku yang terjual.21

Sastrawan dipengaruhi dan memengaruhi masyarakat: seni tidak hanya

meniru kehidupan, tetapi juga membentunya. Banyak orang meniru gaya hidup

tokoh-tokoh dunia rekaan. Mereka bercinta, melakukan tidak kejahatan atau

bunuh diri seperti cerita-cerita dalam novel. Kita dapat membuat hipotesis bahwa

21Rene Wellek dan Austin Warren.

[image:37.612.105.533.224.565.2]
(38)

anak-anak muda lebih langsung dan lebih mudah terpengaruh bacaan daripada

orang tua dan bahwa pembaca yang kurang berpengalaman memperlakukan sastra

secara lebih naïf – menganggapnya bukan sebagai suatu interpretasi tentang

kehidupan, melainkan sebagai transkrip kehidupan – dan menanggapi terlalu

serius.

“bagaimana sastra memengaruhi masyarakat?” adalah pertanyaan empiris

yang mengacu pada pengalaman. Dan karena kita mempunyai batasan sastra dan

batasan masyarakat yang luas, kita perlu mengacu bukan pada pengalaman

sejumlah ahli seni saja, melainkan pada pengalaman seluruh umat manusia.

Pendekatan yang umum dilakukan terhadap hubungan sastra dan

masyarakat adalah mempelajari sastra sebagai dokumen sosial, sebagai potret

kenyataan sosial. Memang ada semacam potret sosial yang bisa ditarik dari karya

sastra. Ini adalah pendekatan sistematis yang paling tua. Thomas Warton

(penyusun sejarah puisi inggris yang pertama) berusaha membuktikan bahwa

sastra mempunyai kemapuan merekam ciri-ciri zamannya, peculiar merit of

faithfully recording the features of the times, and of preserving the most

picturesque and expressive representation of manners22. Bagi Warton dan

pengikut-pengikutnya, sastra adalah gudang adat istiadat, buku sumber peradaban,

terutama sejarah bangkit dan runtuuhnya semangat kesatriaan. Pembaca modern

dapat memperoleh pengetahuan tentang kebudayaan asing melalui novel-novel

Sinclair Lewis, Galsworthy, Balzac, dan Turgenev.

22Rene Wellek dan Austin Warren.

(39)

Sebagai dokumen sosial, sastra sering dipakai untuk menguraikan ikhtisar

sejarah sosial. Contoh-contoh seperti itu tidak akan ada habisnya. Setiap orang

meneliti berbagi “dunia” dalam sebuah karya sastra. Tetapi penelitian semacam

ini kurang bermanfaat jika memukul rata bahwa sastra adalah cerminan

kehidupan, sebuah reproduksi, atau sebuah dokumen sosial. Penelitian semacam

ini baru berarti jika kita meneliti metode artistic yang digunakan novelis. Kita

perlu menjawab secara konkret, bagaimana hubungan potret yang muncul dari

karya sastra dengan kenyataan sosial. Apakah karya itu dimaksudkan sebagai

gambaran yang realistis? Ataukah merupakan satire, karikatur, atau idealisasi

romantis?

“Hanya seseorang yang mempunyai pengetahuan tentang struktur sebuah masyarakat dari sumber lain di luar sastra, yang dapat menyelidiki apakah dan sejauh mana tipe sosial tertentu dan prilakunya direproduksi di dalam novel.(only a person who gas a knowledge of the structure of a society from other source than purely literary ones is able to find out if, and how far, certain social types and their behavior are reproduced in the novel… what is pure fancy, what realistic observation, and what only an expression of the desires of the author must be separated in each case in a subtle manner)”23

Para pahlawan, tokoh jahat dan wanita petualang dari dunia rekaan sering

merupakan indikasi adanya sikap sosial yang serupa dengan sifat-sifat tokoh

tersebut pada masyarakat zamanya. Penelitian mengenai sikap sosial seperti ini

mengarah pada sejarah etika dan norma keagamaan. Kalau diselidiki dengan teliti

dan dengan cara yang benar, keterangan tentang masyarakat pada kurun waktu

tertentu memang dapat diperoleh dari karya-karya sastra yang secara sepintas

23 Ernest Bramstedt Kohn.

[image:39.612.98.532.206.564.2]
(40)

nampaknya tidak mirip dengan kenyataan. Misalnya, dari alegori-alegori yang

aneh, atau gmabaran kehidupan gembala dan alam perdesaan yang terlalu

diidealisasi ayaupun dalam dagelan yang terlalu kasar sekalipun.

Sastra menjadi konteks sosial dalam sebuah milieu24. Jika semboyan tiga

serangkai Taine yang terkenal ras, milieu, dan momen diterapkan, akan

menghasilkan studi kasus khusus tentang milieu. Taine memakai istilah ras secara

longgar. Kadang-kadang yang dimaksud adalah ‘karakter nasional’, atau dalam

kata bahasa Inggris dan Prancis ‘spirit’ atau semangat. Istilah momen berbaur

dengan konsep milieu. Perbedaan waktu berarti perbedaan latar, dan

permasalahan dalam analisis baru muncul bila kita mulai memisah-misahkan

milieu. Latar karya sastra yang paling dekat adalah tradisi linguistik dan

sastranya. Tradisi ini dibentuk oleh iklim budaya yang bersangkutan. Sastra hanya

berkaitan secara tidak langsungdengan situasi ekonomi, politik, dan sosial yang

konkret. Tentu saja semua segi aktivitas manusia saling berkaitan. Pada akhirnya,

kita dapat melihat hubungan antara cara produksi dengan sastra karena sistem

ekonomi menyiratkan sistem kekuasaan yang pada akhirnya mengontrol bentuk

kehidupan keluarga. Keluarga berperan dalam pendidikan, dalam bentuk konsep

seksualitas, cintam dan konvensi, tradisi serta penataan perasaan manusia.

Masalah sastra dan masyarakat dapat diletakkan pada suatu hubungan

yang lebih bersifat simbolik dan bermakna. Kita dapat memakai istilah-istilah

yang mengacu kepada integrasi sistem budaya, dan keterkaitan antara berbagai

aktivitas manusia. Sosrokin mencoba mengembangkan

kemungkinan-24

(41)

kemungkinan ini, dan menyimpulkan bahwa kadar integrasi-integrasi budaya

berbeda pada setiap kelompok masyarakat.25

Kita bisa meperdebatkan apakah kebenaran sosial mendukung

kompleksitas dan koherensi karya sastra sehingga menaikkan nilai instrinsiknya.

Tetapi banyak karya sastra yang sediri sekali atau bahkan tidak mempunyai

relevansi sosial sama sekali. Sastra yang bersifat sosial hanya merupakan satu

ragam sastra dari banyak ragam lainnya. Sifat sosial bukan merupakan intik teori

sastra, kecuali kalau kita beranggapan bahwa sastra pada dasarnya adalah ‘tiruan’

hidup dan kehidupan sosial. Tetapi sastra jelas bukan pengganti sosiologi atau

politik. Sastra mempunyai tujuan dan alasan keberadaannya sendiri.26

C. Konsep Dakwah

1. Pengertian Dakwah

Ditinjau dari segi bahasa, dakwah berasal dari bahasa Arab “da’wah

(ة و ﻋ ﺪ ﻟ ا ). Da’wah mempunyai tiga huruf asal, yaitu dal,’ain, dan wawu. Dari

ketiga huruf asal ini, terbentuk beberapa kata dengan ragam makna.

Makna-makna tersebut adalah memanggil, mengundang, meminta tolong, meminta,

memohon, menamakan, menyuruh datang, mendorong, menyebabkan,

25Prrimim Sorokin.

Fluctuation of Form of Art, Cincinnati 1973 (Vol. I of Social and Cultural

Dynamics) dalam Rene Wellek dan Austin Warren. Teori Susastraan Edisi Terjemahan (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2009) H. 132

26 Rene Wellek dan Austin Warren.

Teori Susastraan Edisi Terjemahan (Jakarta: Gramedia

(42)

mendatangkan, mendoakan, menangisi dan meratapi.27 Setidaknya ada

sepuluh macam makna dakwah dalam Al-Qur’an:28

a. Mengajak dan menyeru, baik kepada kebaikan maupun kemusyrikan;

kepada jalan ke surga atau ke neraka. Makna ini paling banyak menghiasi

ayat-ayat Al-Qur’an (46 kali). Kebanyakan dari makna ini mengarah pada

jalan keimaan (39 kali);

b. Doa;

c. Mendakwa atau menganggap tidak baik;

d. Mengadu;

e. Memanggil atau panggilan;

f. Meminta;

g. Mengundang;

h. Penyeru, yaitu malaikat Israfil yang memanggil manusia untuk mengadap

kehadirat Allah SWT;

i. Penggilan nama atau gelar;

j. Anak angkat;

Berikut ini beberapa definisi dakwah menurut para ahli:

a. Abu Bakar Zakaria mengatakan bahwa dakwah adalah usaha para ulama

dan orang-orang yang memiliki pengetahuan agama Islam untuk

memberikan pengajaran kepada khalayak umum sesuai dengan kemapuan

27 Ahmad Warson Munawir, 1997 hal 406 dalam Moh. Ali Aziz,

Ilmu Dakwah Edisi Revisi

(Jakarta: Kencana, 2009) H. 6

28Moh. Ali Aziz,

(43)

yang dimiliki tentang hal-hal yang mereka butuhkan dalam urusan dunia

dan keagamaan.29

b. Syekh Ali bin Shahih al-Mursyid, dakwah adalah sistem yang berfungsi

menjelaskan kebenaran, kebajikan, dan petunjuk (agama); sekaligus

menguak berbagai kebathilan berserta media dan metodenya melalui

sejumlah teknik, metode, dan media yang lain.30

c. M. Arifin mengatakan dakwah adalah suatu kegiatan ajaran dalam bentuk

lisan, tulisan, tingkah laku, dan sebagainya yang dilakukan secara sadar

dan terencana dalam usaha memengaruhi orang lain secara individu

maupun kelompok agar timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesdarana,

sikap, penghaatan, serta pengalaman terhadap ajaran agama,messageyang

disampaikan kepadanya tanpa ada unsur-unsur paksaan.31

d. M. Natsir mengatakan dakwah adalah usaha-usaha menyerukan dan

menyampaikan kepada perorngan manusia dan seluruh umat manusa

konsep Islam tentang pandangan dan tujuan hidup manusia di dunia ini,

dan yang meliputi amar ma’ruf nahi munkardengan berbagai macam cara

da media yang diperolehkan akhlak dan membimbing pengalamannya

dalam perikehidupan bermasyarakat dan perikehidupan bernegara.32

e. Dr. M. Bahri Ghazali, M.A mengatakan bahwa dakwah adalah

penyampaian ajaran agama Islam yang tujuannya agar orang tersebut

29Moh. Ali Aziz,

Ilmu Dakwah Edisi Revisi. H. 11 30Moh. Ali Aziz,

Ilmu Dakwah Edisi Revisi. H. 11 31Moh. Ali Aziz,

Ilmu Dakwah Edisi Revisi. H. 11 32Samsul Munir Amin,

(44)

melaksanakan ajara agama dengan sepenuh hati. Di dalam kegiatan

tabligh itu terdapat unsur-unsur ajakan, seruan, panggilan agar orang yang

dipanggil berkenan dengubah sikap dan prilakunya sesuai dengan ajaran

agama Islam yang dipeluknya.33

Penelusuran makna dakwah melalui penggunaan pembentukan kata

oleh Al-Qur’an di atas juga merupakan cara kajian semantik. Pemahaman

yang dapat ditemukan adalah bahwa dakwah bersifat persuasif yaitu mengajak

manusia secara halus. Kekerasan, pemaksaan, intimidasi, anacaman, atau

terror agar seseorang melaksanakan ajaran Islam tidak bisa dikatakan

dakwah. Pemahaman ini diperoleh dari makna dakwah yang berarti mengajak,

berdoa, mengadu, memanggil, meminta, dan mengundang. Dengan

makna-makna ini, kita juga memahami bahwa dakwah tidak menekankan hasil, tetapi

mementingkan tugas dan proses. Kita hanya berkewajiban menyampaikan

ajaran Islam dengan penuh kesungguhan. Kita tidak dituntut untuk berhasil.

Keberhasilan dakwah terkait dengan campur tangan Tuhan yaitu hidayah

Allah SWT.34

Secara umum, definisi dakwah yang ditemukakan di atas menunjuk

pada kegiatan yang betujuan perubahan positif dalam diri manusia. Perubahan

positif ini diwujudkan dengan peningkatan iman, mengingat sasaran dakwah

adalah iman. Karena tujuanya baik, maka kegiatannya juga harus baik.

Ukuran baik dan buruk adalah syariat Islam yang termasuk dalam Al-Qur’an

33M. Bahri Ghazali,

Da’wah Komunikatif: Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi Da’wah

(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997), H. 5

34Moh. Ali Aziz,

(45)

dan Hadist. Ukuran teks ini lebih stabil dibanding ukuran akal yang senantiasa

dinamis sesuai dengan konteksnya, meski teks sendiri memerlukan penafsiran

konteks. Dengan ukuran ini, metode, media, pesan, teknik harus sesuai

dengan maksud syariat Islam. Karenanya, pendakwah pun harus seorang

muslim. Berdasarkan pada rumusan definisi diatas, maka secara singkat

dakwah adalah kegiatan pengingkatan iman menurut syari’at Islam.35

Ajaran Islam yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadist

berkembang menjadi disiplin ilmu keIslaman dengan sentuhan ilmu-ilmu

motodologis semacam logika, ilmu tafsir, ilmu hadist, ushul fiqih, kaidah

bahasa arab, termasuk ilmu dakwah. metode kajiannya pun dapat mengikuti

pemikiran empirisme maupun rasionalisme. Bagi agama, hasil kajiannya

dapat dijadikan pijakan untuk melihat fungsi agama dengan menjawab

pertanyaan ‘bagaimana’ (how) dan ‘mengapa’ (why). Karena tidak ada teks

suci, maka semua objek studi ini bersifat relatif dan dialektis.

Salah satu disiplin ilmu keIslaman yang disebutkan diatas adalah ilmu

dakwah. Ilmu dakwah menekankan aspek dakwah sebagai realitas sosial,

bukan dakwah sebagai kewajiaban setiap muslim, pandangan dakwah sebagai

kewajiban akan mengarahkan ilmu dakwah sebagai kajian normatif. Kajian

normatif dakwah melibatkan Al-qur’an dan Hadist sebagai pijakan utama, ia

tidak hanya menafsirkan ayat yang terkait dengan dakwah, namun

menghubungkan secara timbal balik antara ayat dan realitas sosial.36

35Moh. Ali Aziz,

Ilmu Dakwah Edisi Revisi. H. 19 36Moh. Ali Aziz,

(46)

Rahmat37 menjelaskan fungsional dan substansial agama dengan

beberapa pertanyaan. Secara substantif, kita bertanya, “Apa yang diyakini

atau dipercaya oleh individu atau umat dari agamanya”. Kita membuat

definisi fungsional jika kita bertanya, “apa peran agama dalam kehidupan

personal dan masyarakat”. Dari pemahaman fungsional agama tersebut, kajian

empiris dakwah menjawab pertanyaan: “bagaimana Islam dapat diterima dan

dijalankan manusia, baik secara personal maupun sosial”. Karena itu, ilmu

dakwah sering terfokus pada aspek metode, teknik, dan media yang

disesuaikan dengan keadaan sasaran dan tujuan dakwah. Pengembangan ilmu

dakwah dengan memadukan bidang lain juga berngkat dari aspek metode dan

media dakwah. Contohnya komunikasi dakwah merupakan dakwah dengan

menggunakan metode dan media komunikasi. Dengan demikian, kajian

empiris dakwah tidak memperhatiakn aspek hukum dakwah, pendakwah

bentuk dan jenis pesan dakwah, serta pengelompokan mitra dakwah

berdasarkan iman. Dengan mempersempit cakupan ini, objek kajian ilmu

dakwah tidak lagi bias dan meluas. Dengan makna yang lebih luas akan

menyulitkan kita dalam menjadikannya sebagai disiplin ilmu tersendiri.38

Melihat luasnya pembahasan mengenai dakwah, maka pada penelitian

ini pengertian dakwah dibatasi pada dakwah seorang ayah kepada anaknya

untuk mengajarkan anaknya kebaikan agar anaknya memiliki pemahaman

37Rahmat (2005) halaman 33 dalam Moh. Ali Aziz,

Ilmu Dakwah Edisi Revisi(Jakarta: Kencana,

2009) H. 57

38Moh. Ali Aziz,

(47)

hidup yang baik. Ini dimaksudkan agar dakwah yang dibahas dalam penelitian

ini dapat dipahami sesuai dengan isi cerita pada novel yang dikaji.

2. Media Dakwah

Media dakwah merupakan unsur tambahan dalam kegiatan dakwah.

Maksudnya, kegiatan dakwah dapat berlangsung, meski tanpa media. Media

meliputi manusia, materi dan lingkungan yang membuat orang lain

memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap.39

Media berasal dari bahasa latin medius yang secara harfiah berarti

perantara, tengah atau pengantar.40 Dalam bahasa inggris media merupakan

bentuk jamak dari medium yang berarti tengah, antara, rata-rata. Media

merupakan saluran pembawa pesan dari sender untuk mencapai ke reciver.

Media pula yang menerjemahkan pesan-pesan tersbut agar bisa dicapai oleh

khalayak.41

Lebih lanjut beberapa definisi media dakwah dikemukakan sebagai

berikut:42

a. A. Hasjmy, menyamakan media dakwah dengan sarana dakwah dan

menyamakan alat dakwah dengan medan dakwah.

b. Abdul Kadir Munsyi, media dakwah adalah alat yang menjadi saluran

yang menghubungkan ide dengan umat.

39Gerlach & Ely dalam Arsyad (2006:3) dalam Moh. Ali Aziz,

Ilmu Dakwah Edisi Revisi(Jakarta:

Kencana, 2009) H. 403

40Arsyad (2006:3) dalam Moh. Ali Aziz,

Ilmu Dakwah Edisi Revisi(Jakarta: Kencana, 2009) H.

403

41Rulli Nasrullah.

Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber(Jakarta: Kancana. 2012). H. 42 42Moh. Ali Aziz,

(48)

c. Asmuni Syukir, media dakwah adalah segala sesuatu yang dapat

digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah

ditentukan

d. Hamzah Ya’qub, media dakwah ia

Gambar

Grafik naik turunnya reputasi dan kemasyhuran pengarang, sukses dan
gambaran yang realistis? Ataukah merupakan satire, karikatur, atau idealisasi
gambar. Setiap sisi dari sebuah lebaran kertas pada buku disebut

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) unsur-unsur yang membangun novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye, (2) aspek motivasi dalam novel Ayahku

Selain itu menganalisis aspek motivasi yang ada dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye dengan tinjauan psikologi sastra.. Kemudian Implementasi

Kepribadian Tokoh Utama dalam Novel Apa Kabar Cinta karya Izzatul Jannah Tinjauan Psikologi Sastra.. Surakarta: Universitas

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan struktur pembangun novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye, mendeskripsikan aspek motivasi yang

Kesederhanaan tidak selalu diidentikkan dengan arti serba hemat atau serba kekurangan, namun makna dari kesederhanaan di sini adalah bijak dalam mempergunakan rezeki (harta) yang

Data dalam penelitian ini adalah unsur intrinsik yang mendukung terbentuknya profil ayah dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye: ditinjau dari segi

Nilai moral yang ditemukan dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye dapat diterapkan dalam bahan pembelajaraan sastra. Berdasarkan hasil observasi yang

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan struktur pembangun novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye, mendeskripsikan aspek motivasi yang