PENGARUH STRATEGI PEMBELAJARAN
KONFLIK KOGNITIF TERHADAP KEMAMPUAN
PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA
(Penelitian Quasi Eksperimen di MTs Negeri 12 Jakarta)
Skripsi
Diajukan dalam Rangka Penyelesaian Studi Strata-1 untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Disusun Oleh :
AZIZAH
109017000004
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
i
Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, September 2014.
Penelitian ini dilaksanakan di MTs Negeri 12 Jakarta tahun ajaran 2013/2014, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis pengaruh strategi
konflik kognitif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Indikator kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diukur dalam penelitian ini yaitu: (1) mengidentifikasi kecukupan data yang diperlukan, (2) menerapkan strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah, (3) menyelesaikan masalah yang muncul dalam matematika dan dalam konteks lain selain matematika, dan (4) menjelaskan dan memeriksa hasil kebenaran sesuai permasalahan asal. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
quasi eksperimen dengan rancangan penelitian the posttest only control group design. Sampel penelitian ini berjumlah 78 siswa yang terdiri dari 38 siswa pada kelas eksperimen dan 40 siswa pada kelas kontrol yang diperoleh dengan teknik
cluster random sampling.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan menggunakan strategi konflik kognitif
lebih tinggi dari pada siswa yang diajarkan dengan menggunakan strategi ekspositori. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata hasil posttest kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan menggunakan strategi konflik kognitif sebesar 64,37 dan nilai rata-rata hasil posttest kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan menggunakan strategi ekspositori sebesar 54,5. Berdasarkan hipotesis dengan menggunkan uji-t diperoleh hasil ℎ 2,50 dan pada taraf signifikansi = 5% = 0,05 sebesar 1,99, maka > . Hal ini menunjukkan bahwa
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan strategi
konflik kognitif lebih tinggi secara signifikan dari pada kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan strategi ekspositori.
ii
Education Department, Faculty of Tarbiyah and Teaching Sciences, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, September 2014.
This research was conducted in MTsN 12 jakarta on academic year 2013/2014. The purpose of this research is to analyze the influence cognitive conflicts strategy to problem solving ability of students mathematics. The indicator problem solving ability of students mathematics that was measured in this research was (1) identified sufficiency information which is needed, (2) applied exactly strategy to solve a problem, (3) solve a problem in mathematics and the other context except mathematics, and (4) explain and check the true result based on the origion problem . The method that was used in this research was Quasi Experiment designed by the posttest only control group design. The sample of this research was 78 students consisting of 38 students on experimental class and 40 students on control class that was obtained by cluster random sampling technique.
The result of this research showed that problem solving ability of students mathematics that was taught by using cognitive conflicts strategy is higher than the students that were taught by using expository strategy. It can be seen from the average score of the posttest result problem solving ability of students mathematics that was taught by using cognitive conflicts strategy was 64,37 and the average score of the posttest result problem solving ability of students mathematics that was taught by using expository strategy was 54,5. Based on hypothesis test by using t-test obtained 2,50 and on significance level = 5% = 0,05 is 1,99, so > . This showed that problem solving ability of students mathematics that was taught by using cognitive conflicts strategy significantly higher than problem solving ability of students mathematics that was taught by using expository strategy.
iii
senantiasa mencurahkan rahmat, hidayat, dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lancar. Shalawat dan salam senantiasa dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta kerabat, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya sampai akhir zaman.
Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tidak sedikit kesulitan yang dialami. Namun, berkat do’a, kerja keras, kesungguhan hati, perjuangan, dan semangat dari berbagai pihak untuk penyelesaian skripsi ini, semua itu dapat teratasi. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Kadir, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Matematuka Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Abdul Muin, S.Si, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan
Matematuka Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Maifalinda Fatra, M.Pd, selaku Dosen Penasihat Akademik yang telah memberikan arahan dan motivasi dalam perkuliahan selama ini.
5. Ibu Dr. Gelar Dwirahayu, M.Pd, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan waktu, bimbingan, arahan, motivasi, dan semangat dalam membimbing penulis selama ini.
6. Ibu Dra. Afidah Mas’ud, selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan waktu, bimbingan, arahan, motivasi, dan semangat dalam membimbing penulis selama ini.
iv
membantu penulis dalam menyediakan serta memberikan pinjaman literatur yang dibutuhkan.
9. Staff Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan Staff Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi kemudahan dalam pembuatan surat-surat serta sertifikat.
10. Ibu Zulnengsih, M.Pd selaku guru matematika yang telah memberikan izin kepda penulis dalam memberikan KBM kepada siswanya dan memberikan maukan serta informasi yang bermanfaat bagi penulis.
11. Terkhusus dan teristimewa untuk orangtuaku tercinta, Bapak Slamet (alm) dan Ibu Dr. Hj. Makiyah, M.Pd. yang tak henti-hentinya mendo’akan, memberikan dukungan moril dan materiil, meluangkan waktu, memberikan nasihat serta melimpahkan kasih sayang yang tak terhingga kepada penulis. Kedua nenekku tercinta Hj. Rohmah dan Hj. Soleha yang senantiasa mendo’akan, memberikan nasihat dan perhatian. Paman dan bibiku tercinta Halimah, Nurlela, Rosmiyati, Rodoni, Zakiyah, Siti Nuryani, Latifah, Yusro, Atiqah, Buhori, Fauziah, Dan Haryati, yang telah memberikan do’a, semangat, bantuan, dan dukungannya, serta seluruh keluarga yang menjadi kekuatan bagi penulis untuk tetap semangat dalam mengejar dan meraih cita-cita. Dan tak lupa saya ucapkan terima kasih untuk supir saya yaitu pak mul, yang sudah selalu antar jemput saya dari sekolah-rumah-kampus-rumah dengan penuh sabar.
v
G723 yang telah setia membagi kebersamaan dalam suka dan duka, terima kasih atas ketersediaannya dalam memberikan dukungan, do’a, nasihat, kasih sayang, cinta serta perhatian kepada penulis.
14. Teman-teman seperjuangan di bangku kuliah jurusan pendidikan matematika angkatan 2009 terutama PMTK 2009 A yaitu: Awy, Kiki, Intan, Sarah, Selvi, Syifa, Fitri, Firda, Ambar, Ila, Linda, Esti, Sakinah, Nurul, Citra, Pupu, Irna, Mairanti, Ario, Hanief, Cahyadi, dan Alfian. Serta teman-teman PMTK 2009 B dan PMTK 2009 C, yaitu: Ninda, Bunga, Sisi, Anis, Desy, Thoy, Meri, Ummu, Erdy, Ilham, Muchtar, dan lainnya, terima kasih atas kebersamaan selama di bangku perkuliahan, terima kasih untuk do’a, dukungan, semangat, nasihat, serta perhatian kalian yang telah diberikan kepada penulis.
Ucapan terima kasih juga ditunjukkan kepada semua pihak yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Mudah-mudahan semua do’a, bantuan, dukungan , semangat, masukan, arahan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis menjadi berkah dan rahmat dari Allah SWT. Aamiin aamiin ya robal’alamin.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis meminta kritik dan saran, demi kesempurnaan penulisan di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Jakarta, Januari 2015
vi
ABSTRAK ...i
ABSTRACT ...ii
KATA PENGANTAR ...iii
DAFTAR ISI ...vi
DAFTAR TABEL ...ix
DAFTAR GAMBAR ...x
DAFTAR LAMPIRAN ...xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Pembatasan Masalah ... 6
D. Perumusan Masalah ... 7
E. Tujuan Penelitian... 7
F. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II KERANGKA TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS A. Deskripsi Teori 1. Kemampuan Pemecahan Masalah ... 9
a. Pengertian Matematika ... 9
b. Pengertian Masalah Matematika ...12
c. Pengertian Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika ...13
2. Strategi Pembelajaran Konflik Kognitif ...18
a. Pengertian Strategi Pembelajaran ...18
b. Pengertian Strategi Konflik Kognitif ...19
3. Strategi Pembelajaran Ekspositori ...24
B. Penelitian Yang Relevan...25
vii
B. Metode dan Desain Penelitian...31
C. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel ...32
D. Instrumen Penelitian ...32
1. Validitas ...34
2. Reliabilitas ...36
3. Daya Pembeda ...37
4. Taraf Kesukaran ...39
E. Teknik Analisis Data ...40
1. Uji Normalitas ...41
2. Uji Homogenitas ...42
3. Pengujian Hipotesis ...43
F. Hipotesis Statistik ...45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ...46
1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa pada Kelas Eksperimen ...46
2. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa pada Kelas Kontrol ...48
B. Hasil Pengujian Prasyarat Analisis ...53
1. Uji Normalitas ...53
a. Uji Normalitas pada Kelas Eksperimen ...53
b. Uji Normalitas pada Kelas Kontrol ...54
2. Uji Homogenitas ...54
C. Pengujian Hipotesis ...55
D. Pembahasan...57
viii BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ...80
B. Saran ...81
DAFTAR PUSTAKA ...82
ix
Tabel 3.1 Desain Penelitian ...31
Tabel 3.2 Pedoman Penskoran Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa...33
Tabel 3.3 Hasil Perhitungan Validitas Uji Coba Instrumen ...35
Tabel 3.4 Kriteria Tingkat Reliabilitas ...37
Tabel 3.5 Kriteria Daya Pembeda ...38
Tabel 3.6 Rekapitulasi Daya Pembeda Uji Coba Instrumen ...39
Tabel 3.7 Kriteria Indeks Kesukaran...39
Tabel 3.8 Rekapitulasi Taraf Kesukaran Uji Coba Instrumen ...40
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Hasil Data Posttest pada Kelas Eksperimen ...47
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Hasil Data Posttest pada Kelas Kontrol ...48
Tabel 4.3 Perbandingan Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa pada Kelas Eksperimen dan Kelas Kotrol ...50
Tabel 4.4 Persentase Rata-Rata Indikator Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa pada Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ...51
Tabel 4.5 Rekapitulasi Hasil Uji Normalitas Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika pada Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ...54
Tabel 4.6 Rekapitulasi Hasil Uji Homogenitas Data ...55
x
Gambar 2.1 Diagram Kerangka Berpikir ...29 Gambar 4.1 Grafik Ogive Komulatif Hasil Posttest Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematika Siswa pada Kelas Eksperimen ...48 Gambar 4.2 Grafik Ogive Komulatif Hasil Posttest Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika Siswa pada Kelas Kontrol ...49 Gambar 4.3 Grafik Persentase Indikator Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematika Siswa pada Kelas Eksperimen
dan Kelas Kontrol ...52 Gambar 4.4 Kurva Uji Hipotesis Statistik ...56 Gambar 4.5 Siswa Bekerjasama dalam Permasalahan Membuat
Jaring-jaring ...59 Gambar 4.6 Hasil Pekerjaan Siswa Kelas Eksperimen pada
Tahap Pendahuluan ...60 Gambar 4.7 Hasil Pekerjaan Siswa Kelas Eksperimen pada LKS 4 ...62 Gambar 4.8 Contoh Variasi Jawaban Siswa Kelas Eksperimen pada LKS 2 ...64 Gambar 4.9 Contoh Variasi Jawaban Siswa Kelas Eksperimen pada LKS 3 ...65 Gambar 4.10 Tahapan Mempresentasikan Hasil Diskusi Siswa
di depan Kelas ...67 Gambar 4.11 Contoh Jawaban Siswa Kelas Eksperimen Soal Nomor 5b
pada Indikator PMM1 ...70 Gambar 4.12 Contoh Jawaban Siswa Kelas Kontrol Soal Nomor 5b
pada Indikator PMM1 ...70 Gambar 4.13 Contoh Jawaban Siswa Kelas Eksperimen Soal Nomor 2
pada Indikator PMM2 ...71 Gambar 4.14 Contoh Jawaban Siswa Kelas Kontrol Soal Nomor 2
pada Indikator PMM2 ...72 Gambar 4.15 Contoh Jawaban Siswa Kelas Eksperimen Soal Nomor 5a
xi
Gambar 4.18 Contoh Jawaban Siswa Kelas Kontrol Soal Nomor 1
pada Indikator PMM3 ...75 Gambar 4.19 Contoh Jawaban Siswa Kelas Eksperimen Soal Nomor 4
pada Indikator PMM3 ...76 Gambar 4.20 Contoh Jawaban Siswa Kelas Kontrol Soal Nomor 4
pada Indikator PMM3 ...76 Gambar 4.21 Contoh Jawaban Siswa Kelas Eksperimen Soal Nomor 3
pada Indikator PMM4 ...78 Gambar 4.22 Contoh Jawaban Siswa Kelas Kontrol Soal Nomor 3
xii
Lampiran 2 Nilai Hasil Belajar Matematika Siswa Pra-Penelitian ... 89
Lampiran 3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kelas Eksperimen .. 91
Lampiran 4 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kelas Kontrol ... 127
Lampiran 5 Lembar Kerja Siswa (LKS) ... 157
Lampiran 6 Kisi-Kisi Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa ... 190
Lampiran 7 Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa MTs Kelas VIII Pokok Bahasan Bangun Ruang Sisi Datar ... 191
Lampiran 8 Rubrik Penskoran Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa ... 193
Lampiran 9 Kisi-Kisi Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa ... 200
Lampiran 10 Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa MTs Kelas VIII Pokok Bahasan Bangun Ruang Sisi Datar ... 201
Lampiran 11 Rubrik Penskoran Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa ... 203
Lampiran 12 Hasil Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika ... 208
Lampiran 13 Hasil Perhitungan Uji Validitas Instrumen ... 209
Lampiran 14 Hasil Perhitungan Uji Reliabilitas Instrumen ... 210
Lampiran 15 Hasil Perhitungan Uji Taraf Kesukaran ... 211
Lampiran 16 Hasil Perhitungan Uji Daya Pembeda ... 212
Lampiran 17 Langkah-langkah Perhitungan Uji Validitas, Reliabilitas, Daya Pembeda, dan Taraf Kesukaran ... 213
xiii
Lampiran 21 Daftar Perhitungan Distribusi Frekuensi Hasil Posttest pada
Kelas Eksperimen ... 219
Lampiran 22 Daftar Perhitungan Distribusi Frekuensi Hasil Posttest pada Kelas Kontrol ... 222
Lampiran 23 Uji Normalitas Hasil Posttest pada Kelas Eksperimen ... 225
Lampiran 24 Uji Normalitas Hasil Posttest pada Kelas Kontrol ... 226
Lampiran 25 Perhitungan Uji Homogenitas Posttest dengan Uji Fisher ... 227
Lampiran 26 Uji Hipotesis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika .... 228
Lampiran 27 Tabel Nilai r Product Moment ... 230
Lampiran 28 Tabel Nilai Kritis Chi-Kuadrat ... 231
Lampiran 29 Uji Referensi ... 232
Lampiran 30 Surat Bimbingan Skripsi... 240
Lampiran 31 Surat Permohonan Izin Observasi ... 241
1 A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan disertai dengan kelebihan berupa akal dan pikiran yang dapat berguna untuk mengembangkan potensi dan kemampuan yang telah dimilikinya untuk dapat memecahkan berbagai macam persoalan yang dihadapinya dalam kehidupan. Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan, tanpa pendidikan suatu bangsa tidak akan mengalami perubahan, kemajuan, dan perkembangan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
Pentingnya pendidikan tercantum dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 tentang fungsi dan tujuan pendidikan yaitu: pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.1
Akan tetapi, tujuan pendidikan tidak akan tercapai jika dalam proses pembelajarannya tidak berlangsung secara optimal. Proses pembelajaran akan sangat ditentukan oleh pandangan seorang guru dan keyakinannya terhadap mata pelajaran yang diajarkannya, dengan guru sebagai fasilitator dan siswa sebagai subjek belajar. Guru harus mampu menciptakan suatu proses pembelajaran yang kondusif dan bermakna agar tujuan pembelajaran yang diinginkan dapat tercapai.
Salah satu mata pelajaran yang diajarkan pada semua jenjang pendidikan adalah matematika. Matematika dipandang sebagai mata pelajaran yang paling sulit, akan tetapi penting untuk diajarkan karena matematika ada pada semua bidang keilmuan dan kehidupan. Mulyono Abdurahman dalam bukunya, “Cornelius mengemukakan alasan pentingnya belajar matematika
1
karena matematika merupakan sarana berpikir yang jelas dan logis, sarana untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, sarana mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman, dan sarana untuk mengembangkan kreativitas”.2 Dengan demikian, mata pelajaran matematika itu sangat penting untuk diajarkan agar dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa dan dapat mencetak sumber daya manusia yang berkualitas.
Segala upaya telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pembelajaran matematika di Indonesia, akan tetapi prestasi belajar matematika siswa di sekolah masih tergolong rendah. Hal tersebut sejalan dengan hasil survei yang dilakukan Program For International Student Assessment (PISA), menunjukkan bahwa Indonesia baru bisa menduduki 10 besar terbawah dari 65 negara, sedangkan berdasarkan hasil survei yang dilakukan Trends International Mathematics And Science Study (TIMSS) menunjukkan siswa Indonesia berada pada peringkat yang sangat rendah dalam kemampuan (1) memahami informasi yang komplek, (2) teori, analisis dan pemecahan masalah, (3) pemakaian alat, prosedur, dan pemecahan masalah, dan (4) melakukan investigasi.3 Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan tersebut menunjukkan bahwa salah satu kemampuan yang masih tergolong rendah adalah kemampuan pemecahan masalah.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengemukakan bahwa kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu tujuan pembelajaran matematika yang harus dimiliki setiap siswa.4 Pemecahan masalah merupakan aktivitas siswa untuk merespon persoalan yang menantang dengan melibatkan beberapa kombinasi konsep dan keterampilan siswa ke dalam suatu situasi yang berbeda atau situasi baru, karena dalam proses penyelesaiannya memungkinkan siswa menggunakan kemampuan berpikirnya untuk memperoleh pengetahuan baru dengan menggunakan
2
Mulyono Abdurrahman, Anak Berkesulitan Belajar: Teori, Diagnosis, dan Remediasinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h. 204.
3
I. Wayan.As., Dokumen Kurikulum 2013, (Jakarta: CV. Az-Zahra, 2013), h. 10. 4
pengetahuan awal serta keterampilan yang telah dimiliki oleh siswa untuk diterapkan pada soal-soal pemecahan masalah yang diberikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pentingnya suatu tantangan diberikan kepada siswa agar mereka merasa termotivasi untuk memecahkan masalah yang diberikan oleh guru mereka.
Berdasarkan hasil observasi di MTsN 12 Jakarta, diperoleh informasi bahwa hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika masih rendah. Hal itu terlihat dari banyaknya siswa yang perolehan nilainya masih di bawah KKM yang ditentukan, yaitu 76 dan rata-rata nilai matematika masih rendah. Di dalam proses pembelajaran dikelas masih menggunakan strategi pembelajaran tradisional atau strategi pembelajaran yang berpusat pada pendidik, serta siswa hanya sebatas mampu menyelesaikan soal-soal yang telah dicontohkan oleh guru dan kurang mampu menyelesaikan jenis soal lain yang tidak rutin serta kurang mampunya siswa dalam mengaitkan antara satu konsep dengan konsep yang lain. Proses belajar seperti ini membuat siswa tidak aktif dalam menjalani aktivitas pembelajaran, karena siswa hanya memindahkan pengetahuan yang dimiliki guru kepada mereka, maka pengetahuan, daya pikir, dan kemampuan dalam menyelesaikan masalah yang mereka miliki tidak akan pernah bertambah atau berkembang. Padahal proses pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dapat memungkinkan peserta didik mengembangkan kecakapan berpikir, kecakapan interpesonal, serta kecakapan beradaptasi dengan baik.5
Sebuah pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja tanpa keaktifan siswa dalam membangun struktur pengetahuannya sendiri berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya.6 Idealnya aktivitas pembelajaran tidak hanya difokuskan pada upaya mendapatkan pengetahuan sebanyak-banyaknya, melainkan bagaimana menggunakan segenap pengetahuan yang
5
M. Taufiq Amir, Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning: Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar Di Era Pengetahuan, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 4.
6
didapat untuk menghadapi situasi baru atau memecahkan masalah-masalah khusus yang berkaitan dengan bidang studi yang dipelajari.
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, bahwa pada pembelajaran matematika yang telah diterapkan, kurang dapat membantu siswa di dalam memahami sebuah konsep matematika dalam memecahkan suatu permasalahan. Dalam hal ini, peneliti menduga bahwa siswa belum terbiasa di dalam mengerjakan soal-soal pemecahan masalah. Hal itu menunjukkan bahwa di dalam proses pembelajaran kegiatan pemecahan masalah belum dijadikan sebagai kegiatan utama.
Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dapat dijadikan kegiatan utama jika dikembangkan melalui suatu proses pembelajaran yang tidak hanya mentransfer pengetahuan kepada siswa, tetapi juga membantu siswa membentuk dan mengkonstruksi pengetahuan serta dapat memberdayakan kemampuan menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Pembelajaran yang demikian tidak mungkin dapat terwujud hanya melalui mendengarkan penjelasan guru, hafalan, pemberian soal-soal yang bersifat rutin, dan proses pembelajaran yang berpusat pada pendidik. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi yang tepat untuk siswa dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa, untuk mengubah situasi belajar agar berpusat pada siswa, untuk membangun pengetahuan yang dimiliki siswa agar lebih baik sehingga dapat mengatasi segala miskonsepsi yang dialami, serta dapat memotivasi siswa untuk berpikir dan menganalisis suatu permasalahan yang dihadapi.
dipelajari dengan pengetahuan yang telah dimiliki/dipelajari sebelumnya.7 Menurut Miscel, “konflik kognitif merupakan suatu situasi dimana kesadaran seorang individu mengalami ketidakseimbangan”.8 Ketidakseimbangan dalam struktir kognitif siswa terjadi disaat siswa mengalami suatu pertentangan dalam pemikirannya berkenaan dengan informasi yang telah mereka miliki.
Sedangkan menurut Drefus, “strategi konflik kognitif merupakan strategi pengubah konseptual dalam upaya mengubah miskonsepsi-miskonsepsi siswa menuju konsep yang benar”.9 Maka pada strategi konflik kognitif permasalahan akan diberikan pada kegiatan awal sebagai suatu tantangan bagi siswa untuk dapat menyelidiki dan mengekplorasi pertanyaan-pertanyaan yang diberikan guru serta pertanyaan-pertanyaan-pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari struktur kognitif siswa, sehingga siswa mengetahui definisi/pengertian, rumus, serta konsep yang lebih tepat atau lebih baik. Hal tersebut membuat siswa tidak hanya diberikan teori dan rumus matematika yang sudah jadi, akan tetapi siswa dilatih untuk belajar memecahkan masalah selama proses pembelajaran di kelas berlangsung sehingga siswa dapat membangun pemahamannya sendiri agar lebih baik.
Strategi pembelajaran konflik kognitif memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat berperan aktif dalam proses pembelajaran, baik dalam mencari dan menemukan sendiri informasi yang berupa konsep, teori serta kesimpulan dari suatu konsep dan teori.10 Maka strategi konflik kognitif sangat tepat diterapkan sebagai solusi untuk dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa, karena dalam proses pembelajarannya mengharuskan siswa untuk dapat membawa perubahan konsep atau pemahaman dari ketidakseimbangan pada struktur kognitif siswa menuju konsep atau pemahaman yang lebih baik atau lebih tepat.
7
Jarnawi Afgani Dahlan, Ade Rohayati, dan Karso, “Implementasi Strategi Pembelajaran
Konflik Kognitif dalam Upaya Meningkatkan High Order Mathematical Thinking Siswa”, Jurnal Pendidikan, Vol. 13, 2012, h. 67.
8
Ibid., h. 69. 9
I Wayan Gde Wiradana, “Pengaruh Strategi Konflik Kognitif dan Berpikir Kritis Terhadap Prestasi Belajar IPA Kelas VII SMP Negeri 1 Nusa”, h. 8, ( http://pasca.undiksha.ac.id/e-journal/index/php/jurnal_ipa/article/vuewFile/44/236.pdf), akses 4 November 2013, pukul 21:38
10
Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Strategi Pembelajaran Konflik Kognitif Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, terdapat beberapa pokok masalah yang dapat dikemukakan antara lain: 1. Soal-soal matematika yang diberikan oleh guru termasuk kategori soal
yang rutin dikerjakan, sehingga siswa tidak dilatih kemampuan penalarannya, logika, dan analisisnya. Dan hanya berkisar pada soal-soal yang melatih kemampuan berhitung saja.
2. Proses pembelajaran matematika yang diterapkan guru di kelas kurang memberikan kesempatan bagi siswa untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang dimilikinya, dan salah satu diantaranyanya adalah kemampuan pemecahan masalah.
3. Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa masih tergolong rendah
4. Strategi pembelajaran matematika yang biasa dilakukan di kelas masih menggunakan strategi pembelajaran tradisional yang berpusat kepada guru, sehingga membuat siswa cenderung kurang aktif dalam proses pembelajarannya. Siswa hanya melihat, mendengarkan, dan mencatat materi pelajaran yang disampaikan oleh guru, yang dapat membuat siswa menjadi kurang termotivasi dalam belajar karena tidak adanya suatu tantangan yang dapat merangsang kerja otak secara maksimal.
C. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari terlalu luasnya pembahasan masalah, maka penulis melakukan pembatasan masalah sebagai berikut:
untuk memecahkan masalah, (2) menerapkan strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah, (3) menyelesaikan masalah yang muncul dalam matematika dan dalam konteks lain selain matematika, dan (4) menjelaskan dan memeriksa hasil kebenaran sesuai permasalahan asal. 2. Strategi pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah strategi
pembelajaran konflik kognitif yaitu suatu kondisi yang membawa perubahan konseptual siswa dalam pengambilan keputusan berdasarkan perbedaan opini tentang topik yang diberikan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa itu sendiri sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam struktur kognitifnya, menuju konsep atau pemahaman yang lebih tepat atau lebih baik.
3. Penelitian ini akan dilakukan di MTsN 12 Jakarta pada siswa/i kelas VIII semester II tahun ajaran 2013/2014
4. Materi yang disampaikan pada penelitian ini adalah bangun ruang sisi datar
D. Perumusan Masalah
Agar penelitian lebih terarah maka penulis terlebih dahulu akan merumuskan masalah penelitiannya, yaitu:
1. Bagaimana kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada kelas eksperimen yang diajarkan dengan strategi konflik kognitif?
2. Bagaimana kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada kelas kontrol yang diajarkan dengan strategi ekspositori?
3. Apakah kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang mendapat pembelajaran dengan menggunakan strategi konflik kognitif lebih tinggi daripada kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang mendapat pembelajaran dengan menggunakan strategi ekspositori?
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk membandingkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang mendapat pembelajaran menggunakan strategi konflik kognitif dengan menggunakan strategi ekspositori.
2. Untuk mengetahui dan mengkaji kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada kelas eksperimen yang diajarkan dengan strategi konflik kognitif.
3. Untuk mengetahui dan mengkaji kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada kelas kontrol yang diajarkan dengan strategi ekspositori
F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi guru
a) Sebagai salah satu alternative pembelajaran dalam proses belajar mengajar.
b) Sebagai masukkan bagi guru untuk dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dengan menerapkan strategi konflik kognitif dalam proses pembelajaran.
2. Manfaat bagi siswa
a) Melalui strategi konflik kognitif diharapkan dapat memotivasi siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir yang dimilikinya terutama kemampuan pemecahan masalah matematika.
b) Siswa dapat membiasakan untuk memberanikan diri dalam mengidentifikasi masalah pemahaman yang dimilikinya agar dapat menumbuhkan pemahaman yang lebih tepat atau lebih baik.
3. Manfaat bagi sekolah
Sebagai alternatif upaya meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dalam pembelajaran matematika.
4. Manfaat bagi peneliti
BAB II
KERANGKA TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Deskripsi Teoritis
1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika a. Pengertian Matematika
Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang diajarkan di semua jenjang pendidikan yaitu, TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan perguruan tinggi. Bahkan matematika ada disemua bidang keilmuan atau kehidupan, karena disetiap jengkal kehidupan yang dijalani seseorang tidak terlepas dari ilmu matematika. Ilmu matematika memberikan sumbangan yang cukup besar dalam pembentukan manusia unggul, karena salah satu kriteria unggul adalah manusia yang dapat menggunakan nalarnya untuk kemajuan bangsanya dan sebaik-baiknya manusia adalah yang mampu membawa manfaat bagi manusia lainnya untuk kehidupan selanjutnya. Maka matematika disebut sebagai ratunya ilmu atau ilmu yang mandiri.1 Karena tanpa bantuan ilmu lain
matematika dapat tumbuh dan berkembang untuk ilmunya sendiri, akan tetapi ilmu lain butuh ilmu matematika untuk dapat tumbuh dan berkembang.
Kata matematika berasal dari bahasa Yunani yaitu mathematike
yang berarti mempelajari. Kata tersebut mempunyai asal kata mathema
yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science), kemudian kata
mathematike berhubungan dengan kata lainnya, yaitu mathein atau
mathanein yang artinya belajar atau berpikir.2
analisis dan konstruksi, generalitas dan individualitas, serta mempunyai cabang-cabang antara lain aritmatika, aljabar, geometri, dan analisis.3
Maka dalam mata pelajaran matematika ada istilah berpikir matematika (mathematical thinking). Menurut Utari Sumarmo, “istilah berpikir matematika diartikan sebagai cara berpikir yang berkenaan dengan proses matematika (doing math) atau cara berpikir dalam menyelesaikan tugas matematika (mathematical task) baik yang sederhana maupun yang kompleks”.4
Matematika juga didefinisikan oleh Johson dan Myklebust, matematika adalah bahasa simbolis yang terbagi menjadi dua fungsi, yaitu: fungsi praktisnya adalah untuk mengeksperikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan, sedangkan fungsi teoretisnya adalah untuk memudahkan berpikir.5
Maka dalam pembelajarannya, matematika diajarkan mulai dari pengkajian bagian-bagian yang sangat dikenal menuju arah yang tidak dikenal. Karena dari bagian-bagian tersebut siswa diajarkan untuk berpikir dari tingkat yang mudah ke tingkat yang sulit dan merasa tertantang dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru. Salah satu karakteristik matematika adalah obyek matematika bersifat abstrak, karena obyek matematika bersifat abstrak maka untuk mempelajarinya diperlukan daya nalar yang tinggi agar dapat memahami obyek-obyek matematika yang akan dipelajari.6
Paling mengemukakan bahwa matematika adalah suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi manusia dengan menggunakan informasi yang dimilikinya, serta menggunakan pengetahuan tentang bentuk, ukuran, dan perhitungan, dan yang terpenting adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri untuk dapat
3
Hamzah B. Uno dan Masri Kudrat Umar, Mengelola Kecerdasan dalam Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 109.
4
Utari Sumarmo, “Berfikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana dikembangkan pada Peserta Didik”, Makalah Matematika FPMIPA UPI, Bandung:, 2010, h. 4.
5
Mulyono Abdurrahman, Anak Berkesulitan Belajar: Teori, Diagnosis, dan Remediasinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h. 202.
6
melihat dan menggunakan hubungan-hubungan.7
Berdasarkan pendapat Paling di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang dihadapi setiap manusia, maka mereka akan menggunakan informasi, menggunakan pengetahuannya, serta menggunakan segala kemampuan yaitu kemampuan menghitung, kemampuan mengingat, dan menggunakan hubungan-hubungan.8
Maka matematika merupakan hasil penerapan pola berpikir manusia, penemuan, formulasi, dan pengembangan yang sistematik dalam pola pikir manusia agar lebih berkembang dengan baik.
Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa matematika adalah suatu mata pelajaran yang menggunakan penerapan pola pikir yang logis dengan daya nalar yang tinggi untuk menghubungkan konsep-konsep atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki siswa untuk menyelesaikan permasalah yang diberikan kepadanya. Hal tersebut sejalan dengan tujuan mata pelajaran matematika untuk semua satuan pendidikan dikdasmen yaitu: SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK. Tujuan mata pelajaran matematika di sekolah adalah agar siswa memiliki kemampuan, sebagai berikut:9
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep, dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
b. Pengertian Masalah Matematika
Masalah merupakan suatu pernyataan yang menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin yang sudah diketahui.10
Akan tetapi suatu pernyataan yang akan diberikan kepada siswa akan menentukan terkategorikannya suatu pernyataan menjadi suatu masalah atau hanyalah suatu pernyataan biasa, dapat dikatakan menjadi suatu masalah bagi seorang siswa jika dalam penyelesaiannya tidak dapat dijawab secara langsung karena harus menyeleksi informasi yang diperoleh tetapi akan menjadi pernyataan biasa bagi siswa lainnya karena siswa tersebut sudah mengetahui prosedur penyelesaiannya atau termasuk dalam kategori masalah yang rutin.
Sejalan dengan itu, sebagian besar ahli pendidikan matematika juga berpendapat bahwa masalah merupakan pertanyaan yang harus dijawab atau direspon, namun tidak semua pertanyaan otomatis akan menjadi masalah.11
Jadi, jika seorang siswa sudah terbiasa atau tidak merasa tertantang untuk suatu pertanyaan yang diberikan guru maka pertanyaan tersebut bukan termasuk dalam kategori masalah. Dan ciri-ciri suatu masalah antara lain:12
(1) individu menyadari/mengenali suatu
10
Fadjar Shadiq, Kemahiran Matematika, ( Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendreral Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Matematika, 2009), h. 9
11
Ibid., h. 4
12
situasi (pertanyaan-pertanyaan) yang dihadapi atau individu tersebut memiliki pengetahuan prasyarat, (2) individu menyadari bahwa situasi tersebut memerlukan tindakan atau individu merasa tertantang untuk menyelesaikannya, (3) langkah pemecahan suatu masalah tidak harus jelas atau mudah ditangkap orang lain atau individu tersebut sudah mengetahui bagaimana menyelesaikan masalah itu meskipun belum jelas.
c. Pengertian Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Menurut Gagne ada delapan tipe belajar matematika yang dilakukan secara hirarki,13
yaitu belajar sinyal (signal learning), belajar stimulus respons (stimulus-response learning), belajar merangkai tingkah laku (behavior chaining learning), belajar asosiasi verbal (verbal chaining learning), belajar diskriminasi (discrimination learning), belajar konsep (concept learning), belajar aturan (rule learning), belajar memecahkan masalah (problem solving learning). Dari delapan tipe belajar di atas, memecahkan masalah (problem solving) merupakan hirarki yang paling tinggi diantara delapan tipe belajar yang lain.14
Karena tipe belajar memecahan masalah merupakan aplikasi dari konsep dan keterampilan yang dimiliki siswa, dan dalam prosesnya melibatkan beberapa kombinasi konsep dan keterampilan untuk menghadapi suatu situasi baru atau situasi yang berbeda.
Secara umum terdapat tiga macam interpretasi istilah problem solving dalam pembelajaran matematika, yaitu (1) problem solving
sebagai tujuan (as a goal), (2) problem solving sebagai proses (as a process), dan (3) problem solving sebagai keterampilan dasar (as a basic skill).15
Parno, Peningkatan Penguasaan Materi Fisika Sekolah Melalui Pembelajaran Menggunakan Peta Konsep dan Problem Based Learning (PBL), Jurnal MIPA, 2008, h. 41.
15
C. Jacob, Pemecahan Masalah Sebagai Suatu Tujuan, Proses dan Keterampilan Dasar, h.2, (
Solving) adalah mengembangkan kemampuan siswa memecahkan masalah secara tepat, serta mengajarkan konsep kepada siswa kemudian menerapkannya untuk memecahkan masalah16.
Menurut Dodson dan Hollander, kemampuan pemecahan masalah yang harus ditumbuhkan, yaitu:17
1. Kemampuan mengerti konsep dan istilah matematika
2. Kemampuan untuk mencatat kesamaan, perbedaan, dan analogi 3. Kemampuan untuk mengidentifikasi elemen terpenting dan memilih
prosedur yang benar
4. Kemampuan untuk mengetahui hal yang tidak berkaitan 5. Kemampuan untuk menaksir dan menganalisa
6. Kemampuan untuk memvisualisasi dan menginterpretasi kualitas dan ruang
7. Kemampuan untuk memperumum berdasarkan beberapa contoh 8. Kemampuan untuk berganti metode yang telah diketahui
9. Mempunyai kepercayaan diri yang cukup (minat) dan merasa senang terhadap materinya
Maka pemecahan masalah dapat didefinisikan sebagai proses menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh oleh siswa sebelumnya ke dalam situasi baru yang belum dikenalnya sehingga siswa tertantang untuk menyelesaikannya dengan strategi penyelesaian (prosedur) yang tepat, oleh karena itu dapat membangkitkan minat siswa dalam mata pelajaran matematika. Dengan demikian ciri dari pertanyaan atau penugasan berbentuk pemecahan masalah antara lain adanya tantangan dalam materi tugas atau soal yang diberikan dan masalah tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan prosedur rutin yang sudah diketahui penjawab.
16
Ristontowi, “Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dalam Pembelajaran Connected Matheatics Project Siswa SMPN 3 Kota Bengkulu”, Prosiding Konferensi Nasional Matematika XVI, UNPAD, 3-6 Juli 2012, h. 1411.
17
Herry Pribawanto Suryawan, Strategi Pemecahan Masalah Matematika,
Sedangkan Polya mendefinisikan pemecahan masalah sebagai suatu usaha dalam mencari jalan keluar dari suatu kesulitan untuk mencapai suatu tujuan yang tidak dengan segera dapat diperoleh.18
Karena itu pemecahan masalah merupakan suatu tingkat aktivitas intelektual yang tinggi. Siswa akan mampu menangkap pengetahuan baru untuk menyelesaikan masalah hanya jika siswa itu benar-benar mengetahui prinsip-prinsip yang dipelajari sebelumnya dan siswa mengorganisasikan kembali pengalaman-pengalaman yang lalu untuk menyelesaikan masalah.
Pemecahan masalah merupakan suatu upaya individu untuk merespon atau mengatasi halangan atau kendala ketika suatu jawaban atau metode jawaban belum tampak jelas. Dalam memecahkan masalah perlu adanya keterampilan-keterampilan yang harus dimiliki, yaitu:19
(1) keterampilan empiris (perhitungan, pengukuran), (2) keterampilan aplikatif untuk menghadapi situasi umum (sering terjadi), dan (3) keterampilan berpikir untuk bekerja pada suatu situasi yang tidak biasa (unfamiliar). Dijelaskan dalam Peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas Nomor 506/C/Kep/PP/2004 tanggal 11 November 2004, indikator pemecahan masalah adalah:20
1. Menunjukkan pemahaman masalah
2. Mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah
3. Menyajikan masalah secara matematik dalam berbagai bentuk 4. Memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat 5. Mengembangkan strategi pemecahan masalah
6. Membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah 7. Menyelesaikan masalah yang tidak rutin
18
Aning Wida Yanti, “Penalaran dan Komunikasi Matematika serta Pemecahan Masalah dalam Proses Pembelajaran Kalkulus”, Prosiding Konferensi Nasional Matematika XVI, UNPAD, 3-6 Juli 2012, h. 1380.
19
Tatag Yuli Eko Siswono, op. cit., h. 35-36. 20
Kemampuan matematika merupakan kemampuan mengenal dan kemampuan pemecahan masalah.21
Kemampuan pemecahan masalah (problem solving) merupakan salah satu tujuan mata pelajaran matematika. Secara umun pemecahan masalah bersifat tidak rutin, karena strategi untuk menyelesaikannya tidak langsung tampak dan dalam penyelesaiannya siswa dituntut kreativitasnya. Oleh karena itu kemampuan ini tergolong pada kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kemampuan pemecahan masalah termasuk suatu keterampilan (skill), karena dalam pemecahan masalah melibatkan segala aspek pengetahuan seperti ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi, serta sikap untuk bisa menerima tantangan yang diberikan. Beberapa keterampilan yang dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah yaitu: memahami soal, memilih pendekatan atau strategi pemecahan, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi.22
Kemampuan pemecahan masalah merupakan kapabilitas untuk memecahkan masalah dari sesuatu yang tidak rutin dengan cara yang benar dan rasional. Menurut Suhendra kemampuan pemecahan masalah meliputi:23
a. Memahami dan mengungkapkan sesuatu masalah
b. Memilih dan memprioritaskan strategi pemecahan yang tepat/benar c. Menyelesaikan masalah tersebut secara efektif dan efisien
Dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan pemecahkan masalah, yaitu pengalaman awal atau pengetahuan awal, latar belakang matematika, keinginan dan motivasi, dan struktur masalah yang disajikan.
Sedangkan menurut Utari Sumarmo kemampuan pemecahan masalah meliputi, antara lain:24
a. Mengidentifikasi unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsur yang diperlukan.
b. Merumuskan masalah matematik atau menyusun model matematika c. Menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis
dan masalah baru) dalam atau diluar matematika
d. Menjelaskan/menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal e. Menggunakan matematika secara bermakna
f. Memeriksa kebenaran solusi25
Serta NCTM mengemukakan juga tentang standar kemampuan pemecahan masalah matematika dalam proses pembelajaran, antara lain: (1) membangun ilmu matematika melalui pemecahan masalah, (2) menyelesaikan masalah yang muncul dalam matematika dan dalam konteks lain selain matematika, (3) menerapkan dan mengadaptasikan strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah, dan (4) memonitor dan merefleksi proses pemecahan masalah matematik.26
Keempat kemampuan tersebut dapat dijadikan sebagai indikator pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematik.
Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah merupakan suatu upaya yang dilakukan siswa untuk mengatasi atau mencari penyelesaian terhadap tantangan atau kendala yang diberikan kepadanya, melalui penerapan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya ke dalam situasi baru yang belum dikenalnya (hal-hal yang tidak biasa/tidak rutin) dengan cara-cara yang benar dan rasional. Indikator kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: (1)
24
Utari Sumarmo, “Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika pada Siswa Sekolah Menengah”, Kumpulan Makalah Berpikir dan Disposisi Matematika Serta Pembelajarannya, Bandung, 2013, h. 5.
25
Utari Sumarmo, “Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi”, op. cit., h. 34.
26
mengidentifikasi kecukupan data yang diperlukan, (2) menerapkan strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah, (3) menyelesaikan masalah yang muncul dalam matematika dan dalam konteks lain selain matematika, dan (4) menjelaskan dan memeriksa hasil kebenaran sesuai permasalahan asal.
2. Strategi Pembelajaran Konflik Kognitif a. Pengertian Strategi Pembelajaran
Menurut KBBI, strategi adalah rencana yang cermat suatu mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus.27 Dalam dunia
pendidikan, strategi diartikan sebagai “a plan, method, or series of activities desaigned to achieves a particular aducational goal”. Jadi, strategi belajar diartikan sebagai perencanaan yang berisi rangkaian kegiatan/aktivitas yang telah didesain untuk dapat mencapai tujuan tertentu.28 Sebagus apapun program pembelajaran tanpa dirancang
dengan baik, akan membawa dampak belajar peserta didik kurang optimal.
Menurut KBBI, pemebelajaran adalah proses, cara, serta perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar.29
Menurut Gagne, Briggs, dan Wager pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan yang didesain untuk memungkinkan terjadinya proses belajar siswa, sedangkan Miarso mengemukakan bahwa “pembelajaran adalah suatu usaha yang sengaja, bertujuan, dan terkendali agar orang lain belajar atau terjadi perubahan relative menetap pada diri orang lain”.30
Pembelajaran tidak harus sepenuhnya diberikan oleh seorang guru, karena kegiatan tersebut dapat dilakukan oleh perancang dan pengembang sumber belajar. Pendapat lain disampaikan oleh Smith dan
27
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustama Utama, 2008), edisi 4, h. 1340.
28
Mamad Kasmad dan Suko Pratomo, Model-model Pembelajaran Berbasisi PAIKEM, (Tangerang: PT. Pustaka Mandiri, 2012), h. 51.
29
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 23.
30
Ragan mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan aktivitas penyampaian informasi dalam membantu siswa mencapai tujuan, khususnya tujuan-tujuan belajar, tujuan siswa dalam belajar.31
Menurut Seels dan Richey, strategi pembelajaran merupakan perincian untuk memilih dan mengurutkan suatu kejadian dan kegiatan dalam proses pembelajaran.32
Strategi pembelajaran merupakan pedoman umum (blueprint) yang berisikan suatu komponen-komponen yang berbeda dari pembelajaran agar mampu mencapai hasil yang diinginkan secara optimal dibawah kondisi atau keadaan yang diciptakan.33
Pendapat lain dikemukakan oleh Plomp dan Ely bahwa “strategi pembelajaran meliputi identifikasi tujuan khusus, merancang solusi yang optimum, mengembangkan intervensi, dan membandingkan hasil belajar”.34
Dick and Carey mendefinisikan strategi pembelajaran merupakan suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk memperoleh hasil belajar tertentu pada siswa, selain itu strategi pembelajaran memiliki lima komponen utama, yaitu (1) aktivitas sebelum pembelajaran, (2) penpenyampaian informasi, (3) partisipasi siswa, (4) pemberian tes, dan (5) tindak lanjut.35
Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran merupakan suatu prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama agar mampu mencapai hasil belajar yang diinginkan secara optimal.
b. Pengertian Strategi Konflik Kognitif
memengaruhi tingkah laku, sedangkan kognitif adalah berhubungan dengan atau melibatkan kognisi yang berdasarkan kepada pengetahuan faktual yang empiris.36
Konflik ditimbulkan secara natural melalui perbedaan opini yang jujur tentang topik yang diberikan. Itu merupakan sifat interaksi sosial dan ketidak setujuan yang paling dasar. Pasangan tim yang anggotanya memegang sudut pandang yang sama, kurang memiliki konflik sebagai resep penting untuk pengembangan kognitif.37 Menurut Schweiger dkk.,
“konflik disatusisi dapat meningkatkan kualitas keputusan, akan tetapi dilain sisi dapat melemahkan kemampuan kelompok untuk bekerja sama”.38
Strategi konflik kognitif ini menambah pengetahuan yang unik atau memotivasi diri sendiri untuk memahami dan memperoleh pengetahuan baru.
Menurut Piaget, “adanya informasi baru yang diperoleh dari lingkungan kemudian dicocokan dengan skema pembelajaran, hal ini menyebabkan disekuilibrium (ketidakseimbangan) pada struktur kognitif yang disebut konflik kognitif”.39
Ketidakseimbangan tersebut didasari adanya kesadaran akan informasi-informasi yang bertentangan dengan informasi yang dimilikinya yang telah tersimpan dalam struktur kognitifnya.40 Menurut pandangan konstruktivisme dalam Annisatul
Munawaroh, “pengetahuan dibangun di dalam pikiran pembelajaran melalui proses akomodasi dan asimilasi dengan menggunakan struktur kognitif yang telah ada”.41
Asimilasi yaitu proses penyatuan informasi
36
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 723 dan h. 712
37
A. Vincent Ciardiello, Puzzle Them First! : Motivating Adolescent Readers With Question-Finding, (Chicago: The Internasional Reading Association, 2007), p. 108.
38
Carsten K. W. De Dreu and Evert Van De Vliert, Using Conflict In Organizations, (London: SAGE, 1997), p. 104.
39
Suyono dan Hariyanto, Belajar Dan Pembelajaran : Teori Dan Konsep Dasar, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 87.
40
Jarnawi Afgani Dahlan, Ade Rohayati, dan Karso, “Implementasi Strategi Pembelajaran
Konflik Kognitif Dalam Upaya Meningkatkan High Order Mathematical Thinking Siswa”, Jurnal
Pendidikan, Vol. 13, 2012,, h.69
41
baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak anak, sedangkan akomodasi yaitu penyusunan struktur kognitif ke dalam situasi yang baru.42
Menurut Brunner, pada dasarnya belajar merupakan proses kognitif yang terjadi dalam diri seseorang. Oleh karenanya ada tiga proses kognitif yang terjadi dalam belajar, yaitu (1) proses perolehan informasi baru, (2) proses mentransformasikan informasi yang diterima, dan (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan.43 Dikatakan lebih
lanjut oleh Piaget, bahwa proses belajar sebenarnya terdapat tiga tahapan, yakni: (1) asimilasi, (2) akomodasi, dan (3) ekuialibrasi, yaitu penyesuaian antara asimilasi dan akomodasi. Tahapan proses ini, perkembangan kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan tidak teratur (disorganized). Seperti Piaget, Vygostky percaya bahwa ketika individu menghadapi pengalaman baru dan penuh rasa ingin tahu mereka berupaya keras mengatasi tantangan yang dimunculkan oleh pengalaman-pengalaman tersebut. Dalam upaya memahami pengalaman baru itu, individu mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah diketahui dan membangun makna baru.44
Strategi konflik kognitif itu sendiri merupakan suatu strategi pengubah konseptual (conseptual change strategy) yang memungkinkan dapat menggoyahkan stabilitas miskonsepsi siswa untuk menuju konsep ilmiah, konsepsi ilmiah yang dimiliki siswa akan bermuara pada prestasi belajar. Strategi konflik kognitif dapat dilakukan dengan memberikan contoh-contoh tandingan (counter example), analogi, demonstrasi dan eksperimen.45
Konflik konseptual adalah pernyataan yang
Siswa SMP 1 Studi Kasus pada Pembelajaran Fisika”, Skripsi pada UPI Bandung, 2013, h. 3, (http://repository.upi.edu/1621/4/S_FIS_0905831_Chapter1.pdf), akses 22 Maret 2015, pukul 23:00
I Made Mariawan, “Karakteristik Model Pembelajaran Pemecahan Masalah Do Talk Record
membingungkan yang diciptakan oleh keraguan, keterkejutan, dan seringkali informasi yang kontradiksi.46
Menurut Posner dkk., srategi konflik kognitif dapat menjadi bagian dari suatu kondisi yang membawa perubahan konseptual. Perubahan konseptual tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:47
a. Harus ada ketidakpuasan dengan konsepsi yang dipegang. Jika pemahaman siswa dan ide-ide yang memuaskan untuk membuat fenomena tertentu, maka siswa akan cenderung untuk menerima konsepsi baru.
b. Konsepsi baru bagi siswa harus masuk akal. Peserta didik harus mampu memahami apa arti konsepsi baru tersebut.
c. Konsepsi baru harus masuk akal. Bahkan jika peserta didik memahami konsep baru yang ditawarkan, mereka tidak mungkin dapat melihat bagaimana hal itu dapat diterapkan dalam situasi tertentu atau digunakan untuk memecahkan suatu masalah tertentu, d. Konsepsi baru bukan hanya dapat memecahkan masalah saat ini atau
menjawab pertanyaan, tetapi juga harus berguna dalam berbagai situasi baru.
Sesungguhnya, satu kondisi untuk membawa perubahan konseptual adalah menciptakan ketidakpuasan dengan ide dan kepercayaan yang ada.48
Strategi konflik kognitif ini berkembang berdasarkan pada asumsi yang menyebutkan bahwa pengetahuan siswa yang sebelumnya mempengaruhi bagaimana cara mereka mempelajari pengetahuan yang baru dan membentuk gambaran ide yang baru. Strategi ini merupakan sebuah keadaan dimana siswa merasa adanya ketidakcocokan antara strukur kognitif mereka dengan keadaan lingkungan sekitarnya atau antara komponen-komponen dari struktur kognitif mereka.
46
A. Vincent Ciardiello, op. cit., p. 106.
47
Jerry Wellington, Secodary Education : The Key Concept, (Inggris: T & F Informa, 2006), p. 10-11.
48
Menurut Limon, agar konflik kognitif dapat bermakna, maka siswa harus dimotivasi, memiliki pengetahuan sebelumnya dan proses kemampuan penalaran yang memadai dan keyakinan epistemologis yang tepat. Dia menunjukkan bahwa jelas terdapat perbedaan antara keyakinan dan pengalaman siswa yang bertentangan dapat membantu siswa untuk lebih merefleksikan konsepsi yang ada karena mereka berusaha untuk menjelaskan dan merasionalisasi konflik atau masalah.49
Konflik kognitif adalah orientasi tugas yang muncul dari perbedaan keputusan atau pendapat. Ketidaksetujuan kognitif adalah hal yang tidak dapat dihindari selama pengambilan keputusan, karena sebagaimana pernyataan Mitroff, perbedaan posisi nampak pada perbedaan lingkungan. Seperti halnya, anggota tim akan seringkali tidak setuju bagaimana cara terbaik untuk menyelesaikan tujuan yang telah dibuat bersama. Sebagaimana diskusi awal, meskipun perbedaan perspektif dibutuhkan untuk menghasilkan keputusan yang berkualitas tinggi. Konflik kognitif adalah bagian terpenting dari proses mengidentifikasi, memperoleh dan mengkombinasikan keahlian, kemampuan dan perspektif untuk menghasilkan keputusan yang berkualitas tinggi.50
Dalam pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan strategi konflik kognitif akan menerapkan hal-hal sebagai berikut:51
1. Mengidentifikasi miskonsepsi yang ada sebelum pelajaran dimulai 2. Mencari dan kemudian mengembangkan butir-butir kebenaran dalam
setiap pemahaman yang dimiliki siswa
3. Meyakinkan siswa bahwa kepercayaan yang sedang mereka anut perlu direvisi
4. Memberikan motivasi kepada siswa untuk mempelajari penjelasan yang benar
5. Saat menunjukan kesalahan atau kelemahan dalam penalaran atau kepercayaan siswa, guru tetap menjaga perasaan harga diri mereka
6. Memantau apa yang siswa katakan atau tulis untuk memastikan apakah miskonsepsinya masih kukuh dipertahankan atau tidak.
Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa strategi konflik kognitif merupakan suatu kondisi yang membawa perubahan konseptual siswa dalam pengambilan keputusan berdasarkan perbedaan opini tentang topik yang diberikan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa itu sendiri sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam struktur kognitifnya menuju konsep atau pemahaman yang lebih tepat atau lebih baik.
3. Strategi Pembelajaran Ekspositori
Strategi pembelajaran ekspositori merupakan bentuk pendekatan pembelajran yang berorientasi kepada guru, karena dalam strategi ini, guru memegang peranan yang sangat dominan. Melalui strategi ini, guru menyampaikan materi pembelajaran secara terstruktur dengan harapan materi pelajaran yang disampaikan itu dapat dikuasai oleh siswa dengan baik.
Menurut Roy Killen dalam Rusmono menyebutkan strategi pembelajaran ekspositori dengan nama strategi pembelajaran langsung oleh guru. Siswa tidak dituntut untuk menemukan materi pembelajaran yang akan dia pelajari, karena materi pelajaran seakan-akan sudah jadi. Dan siswa hanya menerima dan mengikuti apa yang disajikan oleh guru. Dengan demikian, dalam strategi ekspositori guru berfungsi sebagai pusat/penyampai informasi. Strategi pembelajaran ekspositori dapat digunakan dalam beberapa metode, seperti: metode ceramah, metode tanya jawab, dan metode diskusi.52
Barry dan King mengatakan bahwa strategi pembelajaran ekspositori adalah strategi pembelajaran dimana pendidik menyampaikan informasi secara verbal/langsung kepada peserta didik.53
Jadi, strategi pembelajaran ekspositori merupakan proses pembelajaran yang pusat informasi utama terdapat pada pendidik yaitu guru. Langkah-langkah utama dari starategi
52
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 126
53
pembelajaran ekspositori menurut Romizouwski, adalah (1) pemaparan informasi kegiatan ini berbentuk simbolik melalui penjelasan atau dalam praktik dengan demostrasi, (2) pemberian tes, untuk mengetahui sampai seberapa jauh tingkat penerimaan, pemanggilan kembali, pemahaman dan ulangi lagi jika diperlukan, (3) pemberian latihan kepada siswa untuk menerapkan prinsip-prinsip umum dalam bentuk contoh-contoh, kemudian diberikan tes untuk mengujinya, dan (4) pemberian kesempatan untuk menerapkan informasi yang telah dipelajari pada situasi dan masalah yang berbeda.54
Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa stategi pembelajaran ekspositori adalah suatu bentuk proses pembelajaran dimana guru menjadi pusat informasi/ sumber informasi utama sedangkan siswa hanya menerima apa yang diberikan guru tanpa menemukan materi yang akan dipelajarinya.
B. Penelitian Yang Relevan
Penelitian ini di dukung oleh hasil penelitian sebelumnya antara lain:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Nur Fajriyani dalam skripsinya yang berjudul “Pengaruh Strategi Konflik Kognitif Terhadap Kemampuan Penalaran Logis Siswa”. Secara keseluruhan hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kemampuan penalaran logis siswa yang pembelajarannya menggunakan strategi konflik kognitif lebih tinggi daripada yang dalam pembelajarannya menggunakan strategi konvensional. Dari hasil persentase rata-rata secara keseluruhan untuk indikator penalara logis pada kelas eksperimen 61,90% sedangkan hasil persentase rata-rata secara keseluruhan pada kelas kontrol 59,75%. Dengan demikian penggunaan strategi konflik kognitif memberikan pengaruh yang lebih efektif terhadap kemampuan penalaran logis siswa daripada strategi konvensional.
54
2. Penelitian yang dilakukan oleh I Made Mariawan dalam jurnalnya yang berjudul “Efektivitas Strategi Konflik Kognitif Dalam Pembelajaran Gaya Dan Tekanan”. Secara keseluruhan hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi strategi konflik kognitif dapat menurunkan miskonsepsi siswa mengenai materi yang dipelajari daripada strategi yang pada umumnya digunakan oleh guru, serta siswa yang diajarkan dengan menggunakan strategi konflik kognitif akan lebih meningkat prestasi belajarnya dibandingkan strategi yang pada umumnya digunakan.
Dari kedua penelitian yang relevan diatas maka penulis menganggap bahwa terdapat hubungan/keterkaitan antara penelitian tersebut dengan penelitian yang akan lakukan peneliti. Kemampuan pemecahan masalah matematika membuat siswa tertantang/termotivasi untuk menggunakan daya nalar dalam pola pikirnya dan penggunaan strategi konflik kognitif dapat menurunkan miskonsepsi yang ada pada siswa menuju konsep yang lebih baik dengan memfungsikan daya nalar dalam pola pikir yang dimiliki siswa. Sehingga strategi konflik kognitif sangat berpengaruh untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
C. Kerangka Berfikir
Matematika merupakan mata pelajaran yang berada pada semua tingkatan pendidikan, yaitu SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA, dan perguruan tinggi. Alasan utama untuk mempelajari matematika adalah belajar cara menyelesaikan suatu masalah. Kemampuan pemecahan masalah juga merupakan salah satu yang harus dimiliki siswa. Kemampuan pemecahan masalah perlu dimiliki oleh setiap siswa, supaya melatih siswa dalam menghadapi suatu keadaan yang tidak biasa dilakukannya sehingga siswa merasa tertantang dalam menghadapinya dan menyelesaikannya.
yang tidak biasa/tidak rutin) dengan cara-cara yang benar dan rasional. Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut: (1) mengidentifikasi kecukupan data yang diperlukan, (2) menerapkan strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah, (3) menyelesaikan masalah yang muncul dalam matematika dan dalam konteks lain selain matematika, dan (4) menjelaskan dan memeriksa hasil kebenaran sesuai permasalahan asal.
Inti dari belajar memecahkan masalah adalah para siswa seharusnya terbiasa mengerjakan soal-soal yang tidak hanya memerlukan ingatan yang baik saja, akan tetapi juga soal-soal yang dapat memotivasi siswa untuk mengerjakan masalah-masalah yang menantang siswa dalam proses pemecahannya. Keterampilan serta kemampuan berpikir yang didapat ketika siswa memecahkan masalah diyakini dapat digunakan siswa tersebut ketika menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari mereka.
sebagai individu yang aktif membangun pengetahuan dan bukan sekedar penerima informasi yang sudah jadi.55
Beberapa cara untuk mengatasi permasalahan tersebut, dapat digunakan berbagai inovasi pendekatan, metode, model, atau strategi yang dapat membangun keaktifan siswa dalam mengembangkan pengetahuan atau pemahaman yang dimilikinya dengan cara mengidentifikasi masalah pemahaman atau pengetahuan awal siswa dengan pemahaman atau pengetahuan baru didapat. Salah satu strategi yang akan digunakan adalah strategi konflik kognitif.
Strategi konflik kognitif merupakan suatu kondisi yang membawa perubahan konseptual siswa dalam pengambilan keputusan berdasarkan perbedaan opini tentang topik yang diberikan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa itu sendiri sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam struktur kognitifnya menuju konsep atau pemahaman yang lebih tepat atau lebih baik. Pada intinya, strategi pembelajaran konflik kognitif dalam pembelajaran matematika adalah siswa dapat menyelesaikan konflik yang diberikan kepadanya dengan menggoyahkan stabilitas pemahaman yang telah dimiliki siswa (pengetahuan awal siswa).
Dengan strategi konflik kognitif diharapkan siswa memiliki kemampuan dalam menghadapi permasalahan yang ada dalam pelajaran matematika, dan juga permasalahan dalam kehidupan. Karena salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah. Jika proses pembelajaran dengan strategi konflik kognitif berjalan dengan baik maka diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa, terutama dalam kemampuan pemecahan masalah.
Oleh karena itu, kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.1 sebagai berikut:
55
Gambar 2.1
Diagram Kerangka Berpikir 1. Proses pembelajaran masih berpusat
kepada pendidik, sehingga pendidik sulit dalam mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah secara maksimal
2. Siswa kurang berperan aktif dalam proses pembelajaran
3. Kurangnya kemampuan siswa dalam memecahkan suatu masalah, seperti siswa belum terbiasa dalam proses menemukan pengetahuan sendiri
Strategi Pembelajaran Konflik Kognitif
Tahapan yang dilakukan: 1. Tahapan pendahuluan
2. Tahapan konflik kognitif 3. Tahapan mempresentasikan
konflik
4. Tahapan diskusi kembali (jika masih terdapat kekeliruan dalam menyelesaikan konflik yang diberikan)
Kemampuan pemecahan masalah yang dikembangkan:
1. mengidentifikasi kecukupan data yang diperlukan 2. menerapkan strategi yang tepat untuk
menyelesaikan masalah,
3. menyelesaikan masalah yang muncul dalam matematika dan dalam konteks lain selain matematika,
4. menjelaskan dan memeriksa hasil kebenaran sesua permasalahan asal
Berpengaruh Positif Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah
D. Perumusan Hipotesis