• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekerabatan Bahasa Batak, Bahasa Nias, Dan Bahasa Melayu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kekerabatan Bahasa Batak, Bahasa Nias, Dan Bahasa Melayu"

Copied!
183
0
0

Teks penuh

(1)

KEKERABATAN BAHASA BATAK,

BAHASA NIAS, DAN BAHASA MELAYU

TESIS

JULIANA

107009022/LNG

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Abstract

Genetic relationship of language analysis is discuss in the Historical Comparative Linguistics. In the Historical Comparative Linguistics, languages are be compared one to others in order to trace the level of theirs genetic relationship. Nias, Batak, and Malay languages are some languages which live side by side as geographically. So, it may be assumed that they have a close genetic relationship. In fact, this three languages have far differences so it is necessary to make a research in order to find the level of their relationship. The genetic of language can be analysis with lexicostatistic technique. In lexicostatistic, language relations can be seen base on the tone similarities which exist in the lexicon that occurred in the languages. The phonetic similarities will be the basic that word in language has relationship to others. The indicator use to determine genetically word is basic vocabulary called Swadesh which has 200 vocabularies. It is assumed existing in all languages in the world. The qualitative approach is use in the lexicostatistic accounting. With using the technique it is found that from the tree languages which be compared, the closing relationship is Batak and Malay language, more over Batak with Nias language, and the most far apart relationship is Nias with Malay language.

(3)

Abstrak

Kajian kekerabatan bahasa dibahas dalam Linguistik Historis Komparatif. Dalam Linguistik Historis Komparatif, bahasa-bahasa dibandingkan satu dengan yang lain guna mengetahui tingkat kekerabatannya. Bahasa Nias, bahasa Batak, dan bahasa Melayu merupakan bahasa-bahasa yang hidup berdekatan secara geografi sehingga diasumsikan memiliki kekerabatan yang erat. Pada kenyataannya, ketiga bahasa ini memiliki perbedaan yang cukup jauh sehingga dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat kekerabatannya. Kekerabatan bahasa dapat diketahui dengan teknik leksikostatistik. Dalam leksikostatistik, kekerabatan bahasa dilihat berdasarkan persamaan bunyi-bunyi yang ada dalam leksikon yang muncul pada bahasa-bahasa tersebut. Kemiripan secara fonetis ini akan menjadi dasar apakah sebuah kata dalam satu bahasa memiliki hubungan dengan bahasa yang lain. Indikator yang digunakan untuk menentukan kata berkerabat adalah kosa kata dasar yang disebut kosa kata dasar Swadesh yang berjumlah dua ratus kosa kata yang dianggap ada pada semua bahasa di dunia. Pendekatan kuantitatif digunakan dalam perhitungan leksikostatistik ini. Dengan menggunakan teknik ini, diketahui bahwa dari ketiga bahasa yang dibandingkan, hubungan kekerabatan yang paling erat terdapat pada bahasa Batak dengan bahasa Melayu, selanjutnya bahasa Batak dengan bahasa Nias, dan hubungan kekerabatan yang paling renggang adalah bahasa Nias dengan bahasa Melayu.

(4)

KEKERABATAN BAHASA BATAK,

BAHASA NIAS, DAN BAHASA MELAYU

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Magister Sains dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

JULIANA

107009022/ LNG

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(5)

Judul Tesis : KEKERABATAN BAHASA BATAK, BAHASA NIAS,DAN BAHASA MELAYU

Nama : Juliana

NIM : 107009022

Program Studi : Linguistik

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Dr. Dwi Widayati, M.Hum. Dr. Deliana, M.Hum.

Ketua Program Studi, Direktur,

Prof. T.Silvana Sinar,M.A.,Ph.D. Prof.Dr.Ir.A.Rahim Matondang,MSIE.

(6)

Telah diuji pada

Tanggal: 31 Agustus 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Dwi Widayati, M.Hum. Anggota : 1. Dr. Deliana, M.Hum.

(7)

PERNYATAAN

Judul Tesis

KEKERABATAN BAHASA BATAK, BAHASA NIAS,

DAN BAHASA MELAYU

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri.

Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini telah saya cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Medan, 31 Agustus 2012

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya. Tentu saja semua ini tidak lepas dari doa dan dukungan dari berbagai pihak. Rasa terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada pihak-pihak tersebut, terutama kepada:

1. Prof. T. Silvana Sinar, M.A.,Ph.D. dan Dr. Nurlela, M.Hum. selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Dwi Widayati,M.Hum, selaku pembimbing 1 dan Dr. Deliana,M.Hum. selaku pembimbing 2 yang telah banyak memberikan ilmu, motivasi, keikhlasan, dukungan, dan kesabaran dalam membimbing penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

3. Prof.Amrin Saragih,M.A Tel.,Ph.D. dan Dr. Nurlela,M.Hum. selaku penguji, atas saran dan petunjuk yang sangat berguna bagi penulis dalam pengerjaan tesis ini.

4. Segenap dosen Program Studi Linguistik SPS USU yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan bagi penulis semasa kuliah. Dimuliakanlah mereka.

(9)

yang (tanpa mengurangi rasa sayang) tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

Secara khusus penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta, ayahanda Juret dan ibunda Sarni, yang telah begitu berbesar hati selalu membantu, membimbing, mendukung, dan memotivasi penulis dengan penuh cinta sedari kecil hingga dewasa sekarang ini. Keberkahan, kemuliaan, dan kesehatan semoga selalu dilimpahkan Allah Swt kepada keduanya.

Tidak lupa juga kepada saudara-saudara penulis tercinta, abangda Agus Sarianto,S.Pd., kakanda Juhenti,S.Pd.SD, dan adinda Ramiati, terima kasih atas semua kebaikan yang telah penulis terima. Tetaplah saling menyayang dan saling mendukung.

Dan, untuk yang paling mendukung penulis, suami tercinta M.Paisal Hutabarat,S.T. atas semua inspirasi dan motivasi sehingga tesis ini terselesaikan. Untuk yang menghibur penulis, kedua putra tercinta, M.Rizki Al Ghifari dan M.Hafiz Ismail (matahariku, Bunda sayang kalian, jadilah anak yang saleh).

Akhir kata, penulis sangat menyadari bahwa tesis ini belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan guna perbaikan pada penelitian-penelitian selanjutnya. Semoga tesis ini bermanfaat sebagai rujukan bagi penelitian sejenis yang akan dilakukan selanjutnya.

Medan, Agustus 2012

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. Biodata

Nama : JULIANA

Tempat, Tanggal Lahir : Aek Nabara, 1 Agustus 1975

NIM : 107009022

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Perempuan Golongan Darah : O

Alamat : Perum Ray Pendopo 3 No 24 Jalan Terusan Bandar Setia, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang

Pekerjaan : Pegawai Balai Bahasa Sumatera Utara II. Riwayat Pendidikan

1. SD Negeri 12168 Aek Nabara, tahun 1988 2. SMP Negeri Aek Nabara, tahun 1991 3. SMA Negeri I Rantau Prapat, tahun 1994 4. Universitas Sumatera Utara, 1999

(11)

DAFTAR ISI

Daftar Singkatan dan Lambang ... xii

Daftar Tabel ... xiii

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, KAJIAN TERDAHULU ... 10

2.1 Konsep ... 10

2.2.4 Leksikostatistik ... 21

2.2.5 Glotokronologi ... 29

2.3 Penelitian Terdahulu ... 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 33

3.1 Metode Penelitian ... 33

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 35

3.2.1.1. Kota Medan ... 35

3.2.1.2 Kota Gunungsitoli (Nias) ... 37

3.2.1.3 Kabupaten Tapanuli Utara ... 38

(12)

3.3 Data dan Sumber Data ... 39

3.3.1 Data ... 39

3.3.2 Sumber Data ... 40

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 41

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data ... 42

3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis ... 47

BAB IV PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN ... 48

4.1. Paparan Data ... 48

4.2 Temuan Penelitian ... 53

BAB V PEMBAHASAN TEMUAN PENELITIAN ... 85

5.1 Kemiripan Fonetis ... 85

5.1.1 Analisis Vokal dan Konsonan ... 85

5.1.1.1 Analisis Vokal ... 86

5.1.1.2 Analisis Konsonan ... 112

5.1.2 Bentuk-Bentuk Metatesis ... 148

5.1.3 Pemanjangan Bentuk ... 149

5.2 Tingkat Kekerabatan,Waktu Pisah, dan Usia Bahasa ... 152

5.2.1 Tingkat Kekerabatan ... 152

5.2.2 Waktu Pisah ... 154

5.2.3 Usia Bahasa ... 160

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 163

6.1 Simpulan ... 163

6.2 Saran ... 165

DAFTAR PUSTAKA ... 166

Lampiran I ... 170

Lampiran II ... 175

Lampiran III ... 181

(13)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

1. BB = Bahasa Batak 2. BN = Bahasa Nias 3. BM = Bahasa Melayu 4. BJ = Bahasa Jawa

1. ~ = variasi

2. ~ = korespondensi 3. Ø = zero, kosong

4. E = bunyi e keras (taling)

5. | = bunyi e lemah (pepet)

6. I = bunyi i kendur 7. U = bunyi u kendur

8. R = bunyi R lemah (uvular) 9. O = bunyi o keras

10 G = bunyi nasal velar

11 ~n = bunyi nasal palatal

12 ɤ = bunyi kh

(14)

DAFTAR TABEL 1. Tabel 1 Penamaan Subkelompok Bahasa

2. Tabel 2 Perkiraan Waktu Pisah dan Usia Bahasa

3. Tabel 3 Pengelompokan Berdasarkan Tahun Pisah Bahasa 4. Tabel 4.1 Daftar 200 Kosakata Dasar Swadesh Ketiga Bahasa 5. Tabel 4.2 Daftar Kata-kata Berkerab at Ketiga Bahasa

6. Tabel 5.1 Korespondensi dan Variasi Vokal [a] 7. Tabel 5.2 Korespondensi dan Variasi Vokal [i] 8. Tabel 5.3 Korespondensi dan Variasi Vokal [u] 9. Tabel 5.4 Korespondensi dan Variasi Vokal [U] 10. Tabel 5.5 Korespondensi dan Variasi Vokal [|] 11. Tabel 5.6 Korespondensi dan Variasi Vokal [e] 12. Tabel 5.7 Korespondensi dan Variasi Vokal [E] 13. Tabel 5.8 Korespondensi dan Variasi Vokal [O] 14. Tabel 5.9 Korespondensi dan Variasi Vokal [o]

(15)

Abstract

Genetic relationship of language analysis is discuss in the Historical Comparative Linguistics. In the Historical Comparative Linguistics, languages are be compared one to others in order to trace the level of theirs genetic relationship. Nias, Batak, and Malay languages are some languages which live side by side as geographically. So, it may be assumed that they have a close genetic relationship. In fact, this three languages have far differences so it is necessary to make a research in order to find the level of their relationship. The genetic of language can be analysis with lexicostatistic technique. In lexicostatistic, language relations can be seen base on the tone similarities which exist in the lexicon that occurred in the languages. The phonetic similarities will be the basic that word in language has relationship to others. The indicator use to determine genetically word is basic vocabulary called Swadesh which has 200 vocabularies. It is assumed existing in all languages in the world. The qualitative approach is use in the lexicostatistic accounting. With using the technique it is found that from the tree languages which be compared, the closing relationship is Batak and Malay language, more over Batak with Nias language, and the most far apart relationship is Nias with Malay language.

(16)

Abstrak

Kajian kekerabatan bahasa dibahas dalam Linguistik Historis Komparatif. Dalam Linguistik Historis Komparatif, bahasa-bahasa dibandingkan satu dengan yang lain guna mengetahui tingkat kekerabatannya. Bahasa Nias, bahasa Batak, dan bahasa Melayu merupakan bahasa-bahasa yang hidup berdekatan secara geografi sehingga diasumsikan memiliki kekerabatan yang erat. Pada kenyataannya, ketiga bahasa ini memiliki perbedaan yang cukup jauh sehingga dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat kekerabatannya. Kekerabatan bahasa dapat diketahui dengan teknik leksikostatistik. Dalam leksikostatistik, kekerabatan bahasa dilihat berdasarkan persamaan bunyi-bunyi yang ada dalam leksikon yang muncul pada bahasa-bahasa tersebut. Kemiripan secara fonetis ini akan menjadi dasar apakah sebuah kata dalam satu bahasa memiliki hubungan dengan bahasa yang lain. Indikator yang digunakan untuk menentukan kata berkerabat adalah kosa kata dasar yang disebut kosa kata dasar Swadesh yang berjumlah dua ratus kosa kata yang dianggap ada pada semua bahasa di dunia. Pendekatan kuantitatif digunakan dalam perhitungan leksikostatistik ini. Dengan menggunakan teknik ini, diketahui bahwa dari ketiga bahasa yang dibandingkan, hubungan kekerabatan yang paling erat terdapat pada bahasa Batak dengan bahasa Melayu, selanjutnya bahasa Batak dengan bahasa Nias, dan hubungan kekerabatan yang paling renggang adalah bahasa Nias dengan bahasa Melayu.

(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Bahasa sebagai realisasi budaya manusia mengalami perubahan dan perkembangan dalam perjalanan waktunya. Hal itu dimungkinkan oleh perubahan dan perkembangan pola kehidupan manusia sebagai pemilik dan pengguna bahasa. Tidak dapat dibantah, seperti halnya kehidupan yang ada di alam, bahasa pun ternyata memiliki sejarah perkembangannya sendiri-sendiri. Jika dilihat berdasarkan sejarahnya, ternyata bahasa yang satu memiliki kesamaan dengan bahasa yang lain, terutama jika kedua bahasa itu hidup dalam komunitas yang berdekatan secara geografis. Kajian-kajian tentang bahasa dari sisi sejarahnya dalam kajian linguistik termasuk dalam kajian Linguistik Historis Komparatif atau Linguistik Bandingan Historis.

Linguistik Bandingan Historis atau Linguistik Historis Komparatif adalah sebuah cabang dari ilmu bahasa yang mempersoalkan bahasa dalam bidang waktu serta perubahan-perubahan unsur bahasa yang terjadi dalam bidang waktu tersebut. Dalam Linguistik Historis Komparatif dipelajari data-data dari suatu bahasa atau lebih, sekurang-kurangnya dalam dua periode. Data-data itu diperbandingkan dengan cara cermat untuk memperoleh kaidah-kaidah perubahan yang terjadi dalam bahasa tersebut (Keraf, 1991: 22).

(18)

menelaah perkembangan bahasa dari satu masa ke masa yang lain, mengamati cara bagaimana bahasa-bahasa mengalami perubahan, serta mengkaji sebab akibat dari perubahan bahasa. Menurut Robins (1990) linguistik diakronis yang termasuk kajian linguistik murni memiliki peran penting sebagai bagian dari linguistik umum. Cabang linguistik ini memberi kontribusi berharga bagi pemahaman tentang hakikat kerja bahasa dan perkembangan bahkan perubahan bahasa-bahasa pada umumnya.

Pada dasarnya, perubahan bahasa merupakan suatu fenomena yang bersifat semesta dan universal. Perubahan bahasa sebagai fenomena yang bersifat umum dapat dilihat dari perubahan bunyi pada tataran fonologi yang merupakan tataran kebahasaan yang sangat mendasar dan penting dalam rangka telaah di bidang Linguistik Historis Komparatif (Fernandes, 1996). Berbicara tentang perubahan, tidak terlepas dari pembicaraan satu bahasa atau bahasa yang berbeda tetapi masih dalam rumpun yang sama atau bahasa yang sama tetapi dalam kurun waktu yang berbeda. Misalnya membandingkan perbedaan yang ada dalam bahasa Indonesia dengan bahasa Aceh pada saat ini, atau membandingkan bahasa Aceh yang digunakan pada zaman dahulu dengan bahasa Aceh yang ada pada saat ini.

(19)

Penelitian tentang Linguistik Historis Komparatif sudah mulai dilakukan jauh sebelum abad ke -19. Dapat dikatakan, Dante adalah pelopornya (1265-1321). Dante membuat perbandingan dari dialek-dialek bahasa daerah di Eropa dalam tulisannya De Vulgary Eloquentia. Setelah itu, banyak nama yang terukir dalam sejarah, termasuk Catherine II dari Rusia, Jacob Grimm (1787-1863) yang menemukan adanya pergeseran bunyi atau pertukaran bunyi yang berlangsung secara teratur antara bahasa Jerman dan bahasa Yunani-Latin. Pergeseran bunyi ini diuraikan dalam bukunya Deutsche Grammatik pada tahun 1819 yang dikenal dengan nama Hukum Grimm. Selanjutnya August Shleicher (1823-1868), orang yang sangat berperan dalam Linguistik Historis komparatif . Shleicher mengemukakan pengertian-pengertian baru seperti Ursprache (proto language)

yaitu bahasa-bahasa tua yang menurunkan bahasa-bahasa kerabat. Selain itu, mencetuskan stammbaumtheorie (1866) atau yang kemudian dikenal dengan nama Family Tree atau silsilah. Dalam teori ini dikemukakan dengan jelas tentang bahasa-bahasa, mulai dari bahasa proto yang berkembang menjadi cabang-cabang bahasa, serta pengembangan selanjutnya dari cabang-cabang utama sampai ke cabang-cabang yang lebih kecil dengan tetap memperlihatkan hubungannya.

(20)

(Keraf, 1984: 27-31 dan 106-107, Robins, 1990: 228-268, Parera, 1991: 59-65, Mahsun, 1995: 5-10).

Kerja keras para ahli ini kemudian memberi sumbangan yang sangat besar dalam perkembangan Linguistik Historis Komparatif di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Saat ini, SIL ( Summer Institute of Linguistics) menetapkan jumlah bahasa di Indonesia lebih dari 700 bahasa yang dikelompokkan dalam delapan kelompok besar dan terbagi dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil lagi. Yang jelas, kesemuanya berada dalam satu rumpun bahasa yang disebut rumpun Austronesia.

Seperti diketahui bersama, rumpun bahasa Austronesia yang membentang dari Madagaskar (Afrika) sampai Rapanui yang terletak sebelum Selandia Baru adalah rumpun bahasa yang sangat luas wilayah tuturnya. Hal ini juga berakibat pada banyaknya ragam yang tergolong pada rumpun Austronesia ini. Untuk mempermudah penelitian kebahasaan yang berkaitan dengan bahasa-bahasa yang berkerabat atau dalam menentukan bahasa purbanya, ada alat bantu yang dapat digunakan yang dikenal sebagai daftar kosa kata dasar Swadesh yang terdiri atas 200 kosa kata dasar nonkultural sehingga walaupun memiliki cakupan wilayah yang sangat luas, penelitian tentang kekerabatan bahasa dapat dilakukan dengan cara yang lebih mudah dan terarah.

(21)

akan terbagi lagi menjadi 16 rumpun yang di antaranya rumpun Sumatera yang di dalamnya terdapat 14 bahasa. Yaitu Aceh, Gayo, Batak, Minangkabau, Melayu, Melayu Sumatera Selatan, Rejang-Lebong, Lampung, Simalar, Nias, Sikhule, Mentawai, Enggano, Loncong, dan Lom. Semua bahasa yang berada dalam wilayah Republik Indonesia, selain bahasa Indonesia dan bahasa asing, akan disebut sebagai bahasa daerah.

Dalam Politik Bahasa (Halim, 1980:21) dinyatakan bahwa bahasa daerah merupakan bagian kebudayaan Indonesia yang masih hidup sehingga harus dihargai dan dipelihara atau dilestarikan. Salah satu usaha pelestarian bahasa daerah adalah dengan melakukan penelitian-penelitian yang nantinya akan menambah wawasan kebahasaan kita, terutama tentang bahasa daerah yang diteliti. Salah satu kajian penelitian yang penting dilakukan adalah penelitian tentang kekerabatan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Seperti yang sudah dipaparkan di atas, penelitian seperti ini banyak sekali dilakukan terhadap bahasa-bahasa di Eropa. Padahal, Indonesia memiliki banyak bahasa daerah yang mungkin sekali belum pernah diteliti, terutama penelitian yang berkaitan dengan kekerabatan bahasa. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan bagi peneliti untuk melakukan penelitian ini.

(22)

tentulah memiliki kekerabatan yang diasumsikan sangat erat. Sementara itu, istilah kekerabatan dalam istilah linguistik diartikan sebagai hubungan antara dua bahasa atau lebih yang diturunkan dari sumber yang sama (KBBI, 2008 ).

Objek penelitian adalah bahasa yang berkerabat di wilayah Sumatera Utara, yaitu bahasa Batak, bahasa Nias, dan bahasa Melayu, (selanjutnya akan disebut BB, BN, dan BM). Ketiga bahasa ini dijadikan objek penelitian karena ketiga bahasa ini berada di Wilayah tutur yang berdekatan (letak geografis yang berdekatan), tetapi memiliki perbedaan yang cukup jauh. Hal ini bertentangan dengan teori yang dijelaskan di awal bahwa bahasa-bahasa yang berdekatan secara geografi, memiliki kesamaan yang lebih besar dibandingkan dengan bahasa-bahasa yang letak geografi pemakainya yang berjauhan. Peneliti tertarik untuk mengetahui silsilah kekerabatan, waktu pisah ketiga bahasa ini, dan perkiraan usia bahasa-bahasa ini.

Beberapa contoh di bawah ini akan menggambarkan persamaan dan perbedaan ketiga bahasa yang menjadi objek penelitian

Glos BB BN BM

Abu sirabun avu abu

Anak daganak ono ana?

Asap timus simbo asap

Baik burju saxi bae?

Berkata makkatai motune becakap

Darah mudar ndo daRah

(23)

Hijau narata owuge’e hijau

Makan mangan manga makan

Kanan siamun kabele kanan

(24)

1.2Rumusan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah tingkat kemiripan fonetis dalam BB, BN, dan BM? 2. Bagaimanakah tingkat kekerabatan dalam BB, BN, dan BM? 3. Bilamanakah waktu pisah BB, BN, dan BM?

4. Berapakah perkiraan usia BB, BN, dan BM?

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah menjawab hal-hal yang dirumuskan dalam permasalahan, yaitu:

1. Menjelaskan tingkat kemiripan fonem berdasarkan korespondensi fonemis dalam BB, BN, dan BM.

2. Mendeskripsikan tingkat kekerabatan dalam BB, BN, dan BM. 3. Menghitung waktu pisah BB, BN, dan BM.

4. Menghitung perkiraan usia BB, BN, dan BM.

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, diharapkan penelitian ini dapat:

(25)

4. Karena bahasa dan budaya memiliki keterkaitan yang erat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang hubungan kebudayaan dari pemilik bahasa-bahasa yang diteliti di masa lampau.

1.4.2 Manfaat Praktis

Selain itu, diharapkan juga memiliki manfaat secara praktis, yaitu:

1. Memberikan informasi kepada pemilik, pengguna, dan peneliti bahasa . 2. Menjadi bahan rujukan untuk penelitian tentang kekerabatan bahasa

selanjutnya.

3. Memotivasi peneliti selanjutnya untuk lebih giat melakukan penelitian Linguistik Historis Komparatif.

(26)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN TERDAHULU

2.1 Konsep

Konsep berkaitan dengan definisi-definisi atau pengertian-pengertian yang menyangkut objek, proses, yang berkaitan dengan penelitian. Dalam KBBI dan Kamus Linguistik, konsep diartikan sebagai gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Hal-hal yang dibicarakan dalam penelitian ini merupakan konsep-konsep yang mendasari penelitian.

2.1.1 Kekerabatan Bahasa

(27)

Bahasa-bahasa yang berada dalam satu rumpun yang sama tentulah memiliki kekerabatan. Akan tetapi, tingkat kekerabatan bahasa-bahasa yang berada dalam satu rumpun ini kemungkinan tidaklah sama. Sejauh mana tingkat keeratan hubungan bahasa yang satu dengan yang lainnya dapat dilihat dari kemiripan atau perbedaan dari bahasa-bahasa yang dibandingkan. Semakin mirip kedua bahasa, semakin eratlah hubungan kekerabatannya. Semakin berbeda kedua bahasa, semakin rengganglah hubungan kekerabatannya.

2.1.2 Bahasa Melayu

Bahasa Melayu adalah salah satu bahasa daerah yang digunakan di Sumatera Utara yang berfungsi dan berkedudukan sebagai alat komunikasi, pendukung kebudayaan, dan lambang identitas masyarakat Melayu. Selama berabad-abad, bahasa Melayu berperan sebagai lingua franca di berbagai belahan bumi. Bahasa Melayu digunakan dan dimanfaatkan untuk kelancaran komunikasi dalam pergaulan, perdagangan, dan lainnya. Fungsi dan kedudukan bahasa terkait erat dengan masyarakat penutur dan pemakai bahasa. Demikian pula dengan kawasan tempat bahasa itu digunakan, dimanfaatkan, dan diperlukan.

(28)

utamanya adat bersendikan syaraq, syaraq bersendikan qitabullah, namun penutur dan pemakai bahasa Melayu tidaklah terbatas hanya pada pemeluk agama Islam (Ridwan, 2005:208).

Dalam perkembangannya, bahasa Melayu, khususnya yang berada di Nusantara berkembang menjadi dialek-dialek atau bahkan terpecah menjadi bahasa yang berdiri sendiri. Di Sumatera utara saja, dikenal bahasa Melayu Langkat, bahasa Melayu Deli, bahasa Melayu Serdang, bahasa Melayu Bedagai, bahasa Melayu Batubara, bahasa Melayu Asahan, bahasa Melayu Bilah, bahasa Melayu Kotapinang, bahasa Melayu Panai, dan bahasa Melayu Kualoh.

Bahasa Melayu yang dijadikan objek penelitian adalah bahasa Melayu Deli karena bahasa Melayu Deli dianggap yang paling dapat mewakili bahasa Melayu secara keseluruhan dan karena bahasa Melayu Deli digunakan oleh masyarakat Melayu yang tinggal di Medan.

2.1.2 Bahasa Batak

(29)

bukan bahasa-bahasa yang berdiri sendiri. Perlu dicatat bahwa data yang digunakan dalam kegiatan itu adalah data bahasa yang diperoleh pada tahun 1990. Dengan kemungkinan adanya perubahan dalam kurun waktu setiap 10 tahun, kenyaataan yang ada saat ini bisa jadi tidak lagi sama.

Sementara itu, Panggabean dalam tesisnya pada tahun 1994 menyebut “Bahasa-Bahasa Batak” yang dimaknai bahwa variasi-variasi yang ada dalam kelompok bahasa Batak sudah berdiri sebagai bahasa. Ini ditopang dengan kenyataan bahwa masing-masing masyarakat Batak akan menganggap sukunya sebagai suku yang berbeda dan berdiri sendiri. Masyarakat Batak Mandailing/Angkola bertahan bahwa mereka adalah masyarakat yang berbeda, bukan bagian dari Batak. Saat ini, hal itu berkembang lagi dengan kenyataan bahwa Mandailing dengan Angkola pun tidak mau disamakan lagi. Begitu juga yang terjadi dengan Simalungun, Karo, Pakpak/Dairi. Walaupun begitu, hal itu bukanlah sesuatu yang terlalu penting mengingat dalam penelitian ini perbandingan akan dilakukan dalam bahasa-bahasa yang jelas berbeda, bukan dalam ranah bahasa Batak dan varian-variannya. Bahasa Batak yang akan digunakan sebagai bahan kajian adalah bahasa Batak Toba.

(30)

Medan, Jakarta, dan di kota-kota besar lainnya, bahkan sampai Papua karena “Orang Batak” terkenal dengan sifatnya yang keras dan memiliki semangat hidup yang tinggi untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

2.1.3 Bahasa Nias

Bahasa Nias, atau Li Niha dalam bahasa aslinya, adalah dipergunakan oleh penduduk di bahasa di dunia yang masih belum diketahui persis dari mana asalnya. Namun, seperti layaknya bahasa-bahasa yang ada di Nusantara, bahasa Nias juga termasuk dalam rumpun Austronesia.

Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa dunia yang masih bertahan hingga sekarang dengan jumlah pemakai aktif sekitar setengah juta orang. Bahasa ini dapat dikategorikan sebagai bahasa yang unik karena setiap akhiran katanya berakhiran huruf vokal. Bahasa Nias mengenal enam huruf vokal, yaitu a,e,i,u,o dan | ( http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Nias).

(31)

2.2 Landasan Teori

Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori yang berkaitan dengan Linguistik Historis Komparatif. Dalam Linguistik Historis Komparatif dibicarakan kekerabatan bahasa berdasarkan sejarah timbulnya bahasa-bahasa tersebut. Dalam hal ini, konsep bahasa purba yang dianggap sebagai bahasa asal bahasa-bahasa turunan tentulah menjadi hal yang sangat berperan dalam penetapan keluarga bahasa. Karena itulah, suatu telaah atau kajian historis juga membicarakan kesamaan bentuk bahasa secara fonetis serta perubahan-perubahannya, lewat korespondensi bunyi dan variasi-variasi bunyi yang terdapat dalam bahasa-bahasa yang berkerabat, berupaya menetapkan waktu pisah bahasa yang dibicarakan, juga memperkirakan usia bahasa-bahasa tersebut melalui metode-metode tertentu.

2.2.1 Migrasi Bahasa

Dalam teori migrasi bahasa disebutkan adanya asumsi bahwa untuk mencapai tempat-tempat yang sekarang didiami oleh bahasa tertentu, penutur-penutur bahasa proto atau bahasa purba harus berpindah tempat dari suatu wilayah proto (proto area) yang menjadi tempat asal penutur-penutur bahasa itu. Ada dua dalil yang mendasari teori migrasi bahasa ini:

1. Wilayah asal bahasa-bahasa kerabat merupakan suatu daerah yang bersinambung.

(32)

Dalil pertama manyebutkan adanya wilayah asal bahasa, dengan kata lain, adanya asumsi bahwa bahasa-bahasa yang berkerabat sebenarnya berasal dari satu wilayah yang sama, dengan kata lain pula, berasal dari satu bahasa yang sama yang kemudian berkembang menjadi bahasa-bahasa yang berbeda. Karena bahasa-bahasa yang berkerabat merupakan bentuk percabangan dari satu bahasa proto, maka semua bentuk itu dapat ditelusuri kembali melalui gerak-gerak yang berasal dari wilayah yang bersinambung tadi. Yang dimaksud dengan wilayah asal adalah wilayah dari bahasa yang menurunkan bahasa-bahasa yang setara dewasa ini. Daerah asal bahasa-bahasa yang setara itu disebut Homeland atau

Negeri asal

Dalil kedua dapat dianggap sebagai kaidah “gerak yang paling minimal”. Maksudnya, bila jumlah gerak dalam dua buah peluang migrasi yang direkonstruksikan itu berbeda, maka migrasi dengan jumlah gerak yang paling kecil mempunyai peluang yang paling besar sebagai migrasi yang sesungguhnya pernah terjadi. (Keraf, 1984: 172-174).

2.2.2 Korespondensi Bunyi

(33)

mendapatkan kenyataan bahwa ada pergeseran atau pertukaran bunyi yang berlangsung secara teratur dalam bahasa-bahasa yang ditelitinya. Para ahli bahasa pada masa itu yang dikenal dengan sebutan aliran Junggrammatiker memberi perhatian yang besar pada hukum bunyi ini dan menyatakan bahwa hukum bunyi ini berlaku tanpa kecuali.

Bahasa-bahasa yang ada dewasa ini diasumsikan berasal dari satu bahasa yang sama. Perubahan-perubahan yang terjadi kemudian karena faktor waktu dan letak geografis ternyata masih menyisakan kemiripan atau kesamaan dalam beberapa bahasa. Bahasa-bahasa yang masih memiliki kemiripan inilah yang disebut sebagai berkerabat. Dalam hal ini, perubahan yang terjadi masih dapat diamati dan dirumuskan melalui hukum bunyi atau korespondensi bunyi yang terdapat dalam bahasa-bahasa tersebut. Misalnya, dengan mempergunakan kata-kata bilangan atau kata-kata-kata-kata yang menyangkut anggota tubuh (yang dianggap universal karena dimiliki oleh semua bahasa di dunia) dapat ditentukan perangkat korespondensi. Contoh: Melayu hidung

Ma’ayan urung

(34)

Dari data-data tersebut, diperoleh perangkat korespondensi berikut: / h – ø - h – ø – ø – ø – ø /

/ i - u – i -- i – i – i – i / / d – r – d – r – r – g – l / / u – u – u – u – u – u – u /

/ G - G--- G - G - G - G - G /

Semakin banyak data yang diperbandingkan maka semakin banyak pula kemungkinan untuk memperoleh perangkat korespondensi fonemisnya. Akan tetapi, korespondensi fonemis ini tidak dapat dirumuskan dari satu pasangan kata saja, data lain juga harus menunjukkan kesesuaian dengan data yang sebelumnya. Dalam bahasa-bahasa Nusantara, kita dapat melihat contoh pada kata ‘batu’. Dalam bahasa Melayu: batu, Jawa: watu, Batak: batu, Lamalera: foto. Dalam pasangan kata ini terdapat indikasi adanya perangkat korespondensi fonemis: /b – w – b – f /. Jika hubungan antara fonem-fonem itu menjadi perangkat korespondensi fonemis yang sesungguhnya, maka harus dapat diperoleh dari pasangan kata lain. Dan, memang itulah yang terjadi, dalam pasangan kata-kata berikut:

Glos Melayu Jawa Batak Karo Lamalera

babi babi wawi babi fave

(35)

2.2.3 Variasi Bunyi

Perubahan bunyi yang muncul secara teratur disebut korespondensi, sedangkan perubahan bunyi yang muncul secara sporadis disebut variasi (Mahsun, 1995:28). Variasi bunyi dapat berupa perubahan dari yang sama menjadi berbeda, dari yang berbeda menjadi sama, pelesapan atau penghilangan, penambahan, atau perubahan letak bunyi-bunyi yang terdapat dalam kata-kata bahasa yang berkerabat. Perubahan bunyi yang tergolong variasi adalah:

1. Asimilasi

Asimilasi merupakan suatu proses perubahan bunyi ketika dua fonem yang berbeda dalam bahasa proto mengalami perubahan menjadi fonem yang sama dalam bahasa sekarang atau proses perubahan satu segmen (bunyi) menjadi serupa dengan yang lainnya. Asimilasi ini ada yang disebut asimilasi total atau identik, dan ada yang disebut sebagai asimilasi parsial atau sebagian saja. Asimilasi total atau identik terjadi apabila perubahan terjadi secara total. atau seluruhnya, sedangkan asimilasi parsial terjadi apabila perubahan terjadi bila hanya sebagian cirri-ciri fonetis bunyi-bunyi tersebut yang disamakan. Dalam bahasa Batak banyak terjadi asimilasi bunyi.

Contoh: dang kuboto  dakkuboto ‘tidak kutahu’ mambuka  mabbuka ‘membuka’ dll.

2. Disimilasi

(36)

yang sama menjadi tidak sama. Dalam bahasa Proto Austronesia (PAN) dan Melayu, hal ini terjadi:

Contoh: PAN Melayu

* t’ambut sambut ‘sambut’ * t’akit sakit ‘sakit’ 3. Metatesis

Metatesis merupakan perubahan bunyi yang berkaitan dengan perubahan letak bunyi-bunyi bahasa. Perubahan letak bunyi-bunyi ini akan menghasilkan kata-kata yang berbeda tetapi masih berada dalam lingkup makna yang sama. Contoh-contoh yang ada dalam bahasa Indonesia: lebat  tebal, lajur  jalur

4. Swarabakti

Swarabakti ini disebut juga sebagai bunyi pelancar atau pelancar bunyi. Sering sekali bunyi-bunyi tertentu muncul ketika bunyi berupa gugus konsonan atau gugus vokal hadir. Sebenarnya, sebagian beranggapan bahwa swarabakti ini adalah bentuk penambahan bunyi seperti layaknya protesis, epentesis, dan paragoge. Akan tetapi, dalam swarabakti atau bunyi pelancar ini, bunyi yang muncul adalah bunyi-bunyi yang memang berfungsi untuk melancarkan bunyi. Misalnya, bunyi /y/ hadir antara vokal /ia/, bunyi /w/ hadir di antara vokal /ua/, dan bunyi /e/ hadir di antara konsonan /tr/, dll.

(37)

2.2.4 Leksikostatistik

Linguistik Historis Komparatif melandaskan metodenya pada kesamaan bentuk, tetapi kesamaan bentuk dalam perkembangan sejarah yang sama. Salah satu metode dalam Linguistik Historis Komparatif ialah leksikostatistik, yang berfungsi menentukan tingkat hubungan di antara dua bahasa dengan membandingkan kosakata dari bahasa dan menentukan tingkat kesamaan di antaranya.

Leksikostatistik adalah suatu teknik yang memungkinkan kita untuk menentukan tingkat hubungan di antara dua buah bahasa, dengan menggunakan cara yang paling mudah, yaitu dengan membandingkan kosa kata pada bahasa-bahasa tersebut yang kemudian dapat dilihat dan ditentukan tingkat kesamaan di antara kosa kata kedua bahasa (Crowley: 1992:168). Dengan demikian, sejauh mana hubungan kekerabatan satu bahasa dengan bahasa lainnya dapat diketahui.

(38)

Asumsi kedua ialah bahwa perubahan kosakata dasar pada semua bahasa adalah sama. Asumsi ini telah diuji pada 13 bahasa, di antaranya bahasa yang memiliki naskah-naskah tertulis. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam tiap 1.000 tahun, kosakata dasar suatu bahasa bertahan antara 86,4—74,4 %, atau dengan angka rata-rata 80,5%. Tentu saja hal itu tidak dapat diartikan bahwa semua bahasa akan bertahan dengan persentase rata-rata tersebut, karena semua bahasa yang digunakan dalam eksperimen itu (kecuali dua bahasa) adalah bahasa-bahasa Indo-Eropa.

Bila asumsi kedua diterima, retensi rata-rata kosakata dasar suatu bahasa dalam tiap 1.000 tahun dapat dinyatakan dalam rumus: 80,5% x N. Simbol N adalah jumlah kosakata dasar yang ada pada awal kelipatan 1.000 tahun yang bersangkutan. Dari 200 kosakata dasar (N) suatu bahasa sesudah 1.000 tahun pertama akan tinggal 80,5% x 200 kata = 161 kata. Sesudah 1.000 tahun kedua akan tinggal 80,5% x 161 kata = 139,6 kata atau dibulatkan menjadi 140 kata. Sesudah 1.000 tahun ketiga kosakata dasarnya tinggal 80,5 x 140 kata = 112,7 atau dibulatkan menjadi 113 kata, dan seterusnya.

(39)

Menurut Keraf,(1984: 121) Leksikostatistik itu suatu teknik dalam pengelompokan bahasa yang lebih cenderung mengutamakan peneropongan kata-kata (leksikon) secara statistik, untuk kemudian berusaha menetapkan pengelompokan itu berdasarkan persentase kesamaan dan perbedaan suatu bahasa dengan bahasa lain. Dari konsep di atas, Keraf kemudian menjabarkan metode kerja dalam leksikostatistik yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian kekerabatan bahasa.

Asumsi Dasar Leksikostatistik

Ada empat macam asumsi dasar yang dapat dipergunakan sebagai titik tolak dalam usaha mencari jawaban mengenai usia bahasa, atau secara tepatnya bilamana terjadi diferensiasi antara dua bahasa atau lebih (Keraf: 1984: 123) Asumsi-asumsi dasar tersebut adalah :

1. Sebagian dari kosa kata suatu bahasa sukar sekali berubah bila dibandingkan dengan bagian lainnya.

(40)

1. kata ganti;

2. kata bilangan;

3. kata-kata mengenai anggota badan (dan sifat atau aktivitasnya);

4. alam dan sekitarnya: udara, langit, air, gunung, dan sebagainya beserta sifat atau aktivitasnya;

5. alat-alat perlengkapan sehari-hari yang sudah ada sejak permulaan: tongkat, pisau, rumah, dan sebagainya.

Morris Swadesh mengusulkan sekitar 200 kosa kata dasar yang dianggapnya universal, artinya bisa terdapat pada semua bahasa di seluruh dunia.

2. Retensi (ketahanan ) kosa kata dasar adalah konstan sepanjang masa.

Asumsi dasar yang kedua mengatakan bahwa dari kosa kata dasar yang ada dalam suatu bahasa, suatu persentase tertentu selalu akan bertahan dalam 1.000 tahun. Kalau asumsi ini diterima, maka dari sebuah bahasa yang memiliki 200 kosa kata, sesudah 1.000 tahun akan bertahan 80,5%, dan dari sisanya sesudah 1.000 tahun kemudian akan bertahan lagi dalam persentase yang sama.

3. Perubahan kosa kata dasar pada semua bahasa adalah sama.

(41)

80,5% x 200 = 161kata, sesudah 1000 tahun kedua akan tinggal 80,5% x161 kata = 139,6 kata atau dibulatkan menjadi 140 kata. Selanjutnya sesudah 1000 tahun ketiga kosa kata dasar yang tinggal adalah 80,5% x 140 kata = 112,7 kata atau dibulatkan menjadi 113 kata, dan seterusnya (seperti yang dijabarkan oleh Crowley di atas).

Dalam leksikostatistik, tataran yang berbeda dari subkelompok dinamai sebagai

berikut: Tabel 1

Penamaan Subkelompok Bahasa

Level subkelompok persentase kerabat pada kosakata inti

Bahasa (language) 81—100% Keluarga (family) 36—81%

Rumpun (stock) 12—36%

Mikrofilum 4—12%

Mesofilum 1—4%

Makrofilum 0—1%

Dalam klasifikasi leksikostatistik, kesamaan pada tingkat 81-100% disebut bahasa, kesamaan pada tingkat 36—81% disebut keluarga, kesamaan pada tingkat 12-36% disebut rumpun, kesamaan pada tingkat 4-12% disebut mikrofilum, kesamaan pada tingkat 1-4% disebut mesofilum, dan kesamaan pada tingkat 0-1% disebut makrofilum. Namun, perlu dicatat bahwa ahli bahasa yang berbeda adakalanya menggunakan hitungan yang berbeda.

(42)

kosakata dasar dari ketiga bahasa itu, yang disusun oleh Morris Swadesh. Daftar kosakata itu membawa keuntungan dalam penelitian karena terdiri atas kata-kata nonkultural serta retensi kata dasarnya telah diuji dalam bahasa-bahasa yang memiliki naskah-naskah tertulis.

Keraf (1991: 127—130) mengatakan bahwa dalam membandingkan kata-kata untuk menetapkan kata-kata-kata-kata kerabat dan kata-kata-kata-kata nonkerabat terdapat asumsi bahwa fonem bahasa proto yang berkembang secara berlainan dalam bahasa-bahasa kerabat akan berkembang secara konsisten dalam lingkungan linguistis bahasa kerabat masing-masing. Dalam perbandingan itu, fonem-fonem dalam posisi relatif sama dibandingkan satu sama lain. Bila terdapat hubungan genetis, pasangan fonem tersebut akan timbul kembali dalam banyak pasangan lain. Tiap pasangan yang sama yang timbul dalam hubungan itu merupakan pantulan suatu fonem atau alofon dalam bahasa protonya (lihat juga Crowley).

4. Bila persentase dari dua bahasa kerabat (cognate) diketahui, maka dapat

dihitung waktu pisah kedua bahasa tersebut.

(43)

Berdasarkan prinsip itu, waktu pisah kedua bahasa kerabat dengan prosentase kata kerabat yang diketahui adalah seperti tertera dalam tabel berikut ini (Keraf:

1984: 125): Tabel 2

Perkiraan Waktu Pisah dan Usia Bahasa Jumlah kata

kerabat antara A— B

Persentase kata kerabat

Usia (waktu pisah) antara bahasa A— B sekian tahun yang lalu (sudah

dibagi 2)

(44)

dijabarkan di atas dikaji dalam Linguistik Historis Komparatif dengan metode yang disebut glotokronologi.

2.2.5 Glotokronologi

Glotokronologi adalah suatu teknik dalam linguistik historis yang berusaha mengadakan pengelompokan dengan lebih mengutamakan perhitungan waktu (time depth) atau perhitungan usia bahasa-bahasa kerabat. Dalam hal ini, usia bahasa tidak dihitung secara mutlak dari suatu tahun tertentu, tetapi dihitung secara umum, misalnya mempergunakan satuan ribuan tahun (millennium) (Keraf, 1984: 121).

Pendapat itu ditunjang oleh pakar yang lain, yaitu Terry Crowley yang menyatakan, metode kedua yang biasanya digunakan untuk menentukan waktu tepatnya kapan bahasa yang berkerabat berpisah disebut dengan glotokronologi. Metode ini memungkinkan seorang linguis atau ahli bahasa mengetahui sudah berapa lama bahasa-bahasa yang berkerabat yang dalam hal ini termasuk pada level sub-grouping telah berpisah (Crowley, 1992:79). Jadi, jika leksikostatistik berusaha melakukan pengelompokan bahasa berdasarkan waktu pisah bahasa-bahasa yang diteliti, glotokronologi berusaha memperkirakan usia bahasa-bahasa-bahasa-bahasa tersebut.

Hasil perhitungan tersebut dapat dikelompokkan Crowley (1992:179) menjadi:

Tingkat Pengelompokan Tahun Pisah Dialek dari satu bahasa

Bahasa dari satu keluarga

Kurang dari 500 tahun

(45)

Keluarga dari satu rumpun Rumpun dari satu mikrofilum Mikrofilum dari satu mesofilum Mesofilum dari satu makrofilum

2500 sampai dengan 5000 tahun 5000 sampai dengan 7500 tahun 7500 sampai dengan 10.000 tahun Lebih dari 10.000 tahun

Pada kenyataannya, kedua bidang ini selalu dipakai berdampingan karena untuk menghitung usia bahasa dengan teknik glotokronologi ini, harus menggunakan leksikostatistik karena perhitungan yang dilakukan berangkat dari hasil perhitungan leksikostatistik. Begitu juga sebaliknya, untuk melakukan pengelompokan bahasa juga tidak terlepas dari masalah waktu yang dijadikan sebagai landasan pengelompokan. Karena itu, banyak ahli yang pada dasarnya menyamakan pengertian kedua istilah ini Gorys Keraf (1984:122).

(46)

Penelitian yang berbicara tentang leksikostatistik antara lain adalah Ika Indriani H. dengan judul Leksikostatistik Bahasa Batak Toba dengan Bahasa Pakpak Dairi (2007). Dalam penelitian ini digunakan daftar kosa kata yang disusun oleh Mahsun sebanyak 809 kosa kata. Akan tetapi, dalam penelitian ini tidak digambarkan secara jelas perubahan-perubahan yang terjadi pada bahasa-bahasa yang diteliti. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa bahasa-bahasa Batak Toba dan bahasa Pakpak Dairi merupakan bahasa tunggal pada 2.320-2200 tahun yang lalu. Bahasa Batak Toba dan bahasa Pakpak Dairi mulai berpisah dari suatu bahasa proto antara 320-200 sebelum Masehi (dihitung dari tahun 2000).

(47)

paling renggang atau jauh adalah Batak dan Bugis, sedangkan bahasa Melayu dan bahasa Minang memiliki tingkat kekerabatan yang paling erat atau dekat.

Himpun Panggabean Telaah Bahasa-Bahasa Batak dari Segi Leksikostatistik (1994). Dalam penelitian ini Panggabean menggunakan 300 kosa kata dasar yang merupakan kombinasi dari Swadesh, Gudschinsky, Travis, Rea, dan Keraf. Panggabean menyimpulkan bahwa bahasa-bahasa Batak mempunyai tigkat kekerabatan dan waktu pisah yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Bahasa Batak Toba dan Angkola berada dalam satu bahasa yang sama, dengan kata lain kekerabatan keduanya masih sangat erat sehingga salah satunya berstatus dialek dari yang lain. Sedangkan bahasa-bahasa Batak yang lain berada dalam lingkup keluarga. Dengan perincian, bahasa Karo, bahasa Alas, dan bahasa Dairi berada dalam satu kemompok, dan bahasa Simalungun tidak berada dalam kelompok kedua kelompok bahasa tersebut. Ini berarti, bahasa Simalungun berdiri sendiri.

(48)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengunpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono 2008: 8).

Penelitian kuantitatif adalah penelitian yang tidak mementingkan kedalaman data, yang penting dapat merekam data sebanyak-banyaknya dari populasi yang luas. Walaupun populasi penelitian besar, tetapi dengan mudah dapat dianalisis, baik dengan rumus-rumus statistik maupun komputer. Jadi, pemecahan masalahnya didominasi oleh peran statistik. Pendekatan penelitian kuantitatif adalah penelitian yang identik dengan pendekatan deduktif, yaitu berangkat dari persoalan umum (teori) ke hal khusus sehingga penelitian ini harus ada landasan teorinya (Masyuri dan Zainuddin 2008: 12). Dari penjelasan di atas, penelitian kekerabatan bahasa yang menggunakan penghitungan yang disebut leksikostatistik dan glotokronologi, tentulah tepat jika menggunakan metode ini.

(49)

menggunakan angka sebagai acuan untuk penentuan hasil penelitian. Selain itu, terdapat instrumen penelitian yang berupa daftar tanyaan yang terdiri atas 200 kosa kata dasar yang menjadi acuan penghitungan leksikostatistik dan glotokronologi. Penganalisisan dengan menggunakan rumus-rumus yang ada pada teknik leksikostatistik dan glotokronologi, dst sehingga semakin kuatlah metode kuantitatif digunakan dalam penelitian ini.

Penelitian bahasa yang menggunakan metode kuantitatif masih sangat jarang dilakukan. Biasanya, penelitian bahasa selalu menggunakan metode kualitatif. Sebenarnya, penelitian ini juga dibarengi dengan metode kualitatif karena akan dilakukan pendeskripsian kata-kata yang secara fonetis telah berubah. Pendekatan kualitatif diterapkan dalam menjawab permasalahan nomor 1, sedangkan pendekatan kuantitatif digunakan untuk menjawab permasalahan no 2, 3, dan 4. Oleh karena itu, pada akhirnya metode kuantitatiflah yang paling berperan dalam penelitian ini. Penggabungan kedua metode ini bukan mustahil dilakukan. Bahkan, pada dasarnya, kedua metode ini saling melengkapi (Sugiyono, 2008: 26).

(50)

3.2Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi

Lokasi penelitian yang pertama adalah Kota Medan guna menjaring data BM mengingat jumlah masyarakat Melayu Deli paling banyak terdapat di Kota Medan. Lokasi kedua adalah Kota Gunung Sitoli yang merupakan kota terbesar di Pulau Nias. Kota Gunung Sitoli merupakan tempat yang paling tepat untuk mengambil data BN karena mayoritas didiami oleh masyarakat pengguna BN. Selanjutnya, lokasi ketiga adalah Kabupaten Tapanuli Utara guna mendapatkan data BB mengingat masyarakat Batak Toba banyak berdiam di wilayah ini. Berikut data ketiga lokasi penelitian.

3.2.1.1 Kota Medan

Medan adalah ibu kota daerah Sumatera Utara, Indonesia, merupakan kota terbesar di Sumatera. Medan bersebelahan dengan Kabupaten Deli Serdang di sebelah barat, timur, dan selatan dan dengan Selat Melaka di sebelah utara. Penduduk asli Medan adalah orang Melayu, tetapi kini Medan merupakan kota berbagai suku seperti Batak, Jawa, Mandailing, Karo, Minang, Aceh, Nias, bahkan India dan Cina. Masyarakat Cina di Medan berjumlah cukup besar.

(51)

Melaka di sebelah utara dan Kabupaten Deli Serdang di sebelah barat, selatan dan timur. Kota ini menjadi kota induk dari beberapa kota di sekitarnya seperti Kota Binjai, Lubuk Pakam, Deli Tua dan Tebing Tinggi.

Sejak tahun 1990, penduduk Kota Medan mengalami perkembangan yang signifikan hingga tahun 2001. Berdasarkan sensus penduduk, jumlah penduduk Medan berkembang dari 1,730,725 jiwa pada tahun 1990 menjadi 1,926,520 jiwa pada tahun 2001.( Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, 2009)

Saat ini, Kota Medan terdiri atas 15 kecamatan: Kecamantan Medan Polonia, Medan Kota, Medan Johor, Medan Petisah, Medan Area, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Denai, Medan Amplas, Medan Maimun, Medan Baru, Medan Tuntungan, Medan selayang, Medan Labuhan, Medan Marelan.

Berikut adalah peta Kota Medan yang menjadi lokasi penelitian

(52)

Nias (Tano Niha) adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah barat pulau Sumatera, Indonesia. Pulau ini dihuni oleh mayoritas suku Nias (Ono Niha) yang masih memiliki budaya megalitik. Daerah ini merupakan obyek wisata penting seperti selancar, rumah tradisional, penyelaman, lompat batu,dll. Pulau dengan luas wilayah 5.625 km² ini berpenduduk 700.000 jiwa. Agama mayoritas daerah ini adalah Kristen Protestan. Nias saat ini telah dimekarkan menjadi empat kabupaten dan 1 kota, yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Nias).

Berikut peta wilayah Nias

3.2.1.3 Kabupaten Tapanuli Utara

(53)

adalah Kristen Protestan. Awalnya, kabupaten Tapanuli Utara memiliki wilayah yang cukup luas, tetapi untuk meningkatkan daya guna pemerintahan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan di daerah ini, dilakukan pembagian wilayah ini menjadi beberapa kabupaten baru. Dimulai dengan Kabupaten Dairi pada tahun 1964, kemudian Kabupaten Toba Samosir pada tahun 1998, dan yang terakhir adalah Kabupaten Humbang Hasundutan pada tahun 2003 sehingga wilayah kabupaten Tapanuli Utara mengecil.

(54)

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2012, namun peneliti sudah melakukan pengamatan awal untuk mempersiapkan tulisan ini sejak November 2011.

3.3Data dan Sumber Data

3.3.1 Data

(55)

kata ini juga direvisi kembali oleh Blust, dengan mengubah bentuk-bentuk kata benda menjadi kata kerja.

3.3.2 Sumber Data

Sumber data adalah orang-orang yang menjadi informan penelitian yang dianggap sebagai sumber data primer. Selain itu, juga digunakan bahan-bahan kepustakaan yang berupa buku, tesis, disertasi, jurnal, artikel, dan lain-lain yang berkenaan dengan Linguistik Historis Komparatif, terutama buku-buku yang berkaitan dengan bahasa-bahasa yang dijadikan objek penelitian.

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan data

Dalam pengumpulan data, digunakan metode cakap (Sudaryanto, 1988:7) . Disebut metode cakap atau percakapan, karena dalam hal ini dilakukan percakapan dan memang terjadi kontak antara peneliti selaku peneliti dan penutur selaku narasumber. Ini dapat disejajarkan dengan metode wawancara atau interviu.

Metode cakap ini mencakup kegiatan bertanya kepada informan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, tentu saja percakapan dikendalikan oleh si peneliti dan diarahkan sesuai dengan kepentingannya, yaitu memperoleh data sebenar-benarnya dan selengkap-lengkapnya. Oleh Sudaryanto, metode cakap seperti ini disebut teknik cakap semuka karena memang dilakukan secara langsung dan lisan.

(56)

informan. Dalam setiap wawancara peneliti akan melakukan pencatatan. Penulis menetapkan tiga informan untuk masing-masing bahasa yang dilakukan secara terpisah dengan pertimbangan ketiga informan tersebut akan saling melengkapi. Informan adalah penutur bahasa asli dari ketiga bahasa yang menjadi objek penelitian. Adapun syarat-syarat sebagai informan menurut Mahsun (1995 :106) adalah:

1. Berjenis kelamin pria atau wanita 2. Berusia antara 25-65 tahun (tidak pikun)

3. Orang tua, istri atau suami informan lahir dan dibesarkan di desa itu serta jarang atau tidak pernah meninggalkan desa itu

4. Berstatus sosial menengah 5. Pekerjaannya bertani dan buruh 6. Dapat berbahasa Indonesia 7. Sehat jasmani dan rohani

8. Berpendidikan (minimal tamatan SD dan sederajat)

Informan yang akan digunakan dalam penelitian ini mengikuti kriteria di atas, kecuali poin 3 dan 5 mengingat daerah penelitiannya lebih banyak di kota sehingga pekerjaan yang dilakukan lebih bervariasi dan mobilitas penduduknya sangat tinggi.

3.5Metode dan Teknik Analisis Data

(57)

perbandingan, yaitu membandingkan kata-kata yang ada dalam BB, BN, dan BM. Pendekatan yang digunakan pada tahap ini adalah pendekatan kualitatif. Setelah diketahui kata-kata yang berkerabat lewat perbandingan, langkah berikutnya adalah menghitung tingkat kekerabatan ketiga bahasa yang dibandingkan. Dalam hal ini, digunakan pendekatan kuantitatif karena menggunakan angka sebagai acuan. Teknik yang digunakan adalah teknik leksikostatistik. Dalam teknik ini, untuk menganalisis data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Mendaftarkan kata-kata yang didapatkan dari lapangan.

b. Memilih kata-kata yang akan dijadikan data penelitian dari setiap bahasa. c. Menentukan kata-kata yang berkerabat yang akan dianalisis.(a—c Bab IV) d. Menganalisis kemiripan fonetis.

e. Menghitung tingkat kekerabatan ketiga bahasa. f. Menghitung waktu pisah ketiga bahasa.

g. Menghitung usia ketiga bahasa.(d—g Bab V)

a. Mendaftarkan kata-kata yang didapatkan dari lapangan.

Data yang didapatkan dari lapangan dimasukkan dalam tabel setiap bahasa. Misalnya, data BB yang didapatkan dari informan1, 2, dan 3 semua dimasukkan dalam tabel untuk dipilih mana yang lebih baik dijadikan sebagai data.

b. Memilih kata-kata yang akan dijadikan data penelitian dari setiap

(58)

Kata-kata yang telah didaftarkan kemudian diseleksi untuk mencari kata-kata yang akan dijadikan data penelitian. Pemilihan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kata yang dipilih adalah yang memiliki kemiripan di antara ketiga kata yang dibandingkan dari setiap bahasa. Contohnya, data yang terjaring dari glos anjing dalam BB ada dua, yaitu [asu] dan [biaG], yang didaftarkan sebagai data adalah kata [asu] karena dalam BN juga ditemui kata [asu]. Kemudian, dalam BB ditemui dua kata untuk padanan glos gigi, yaitu [ipon] dan [GiGi], kedua kata ini dijadikan sebagai data karena dalam BN ditemui kata [if |] yang berkerabat dengan [ipon] dan dalam BM ditemui kata [gigi] yang berkerabat dengan [GiGi].

c. Menentukan kata-kata berkerabat yang akan dianalisis.

Langkah selanjutnya adalah penentuan kata-kata yang berkerabat berdasarkan kemiripan/persamaan bunyi-bunyi yang dimiliki ketiga bahasa yang dibandingkan.

d. Menganalisis kemiripan fonetis.

(59)

e.Menghitung Kata Kerabat

Perhitungan kata berkerabat harus melalui tahapan, seperti: 1. Glos yang tidak diperhitungkan, yakni kata-kata yang kosong, yang tidak terdapat dalam bahasa tersebut; 2. Pengisolasian morfem terikat. Dalam hal ini, morfem bebas dan morfem terikat, contohnya imbuhan, harus dipisahkan; 3. Penetapan kata kerabat. Selanjutnya, untuk menghitung persentase kata kerabat digunakan rumus (Keraf:1984: 127)

C= cognates atau kata yang berkerabat K= jumlah kosa kata kerabat

G= jumlah glos

f.Menghitung Waktu Pisah.

Waktu pisah antara dua bahasa kerabat yang telah diketahui prosentase kata kerabatnya, dapat dihitung dengan mempergunakan rumus berikut

( Crowley,1992:178; Keraf, 1984: 130):

t =

t = waktu perpisahan dalam ribuan (melenium) tahun yang lalu

r = retensi atau prosentase konstan dalam 1000, atau disebut juga indeks C = prosentase kerabat

Log = logaritma dari

(60)

(3) hasil logaritma C dibagi dengan hasil dari (2)

(4) hasil dari pembagian (3) menunjukkan waktu pisah dalam satuan ribuan tahun . Hasil terakhir ini dapat diubah menjadi tahun biasa setelah dikalikan dengan 1000. Tetapi karena perpisahan itu tidak terjadi dalam satu tahun tertentu, lebih baik dipertahankan dalam bentuk satuan ribuan tahun (millennium).

g.Menghitung Jangka Kesalahan dan Usia Bahasa

Dalam metode statistika, terdapat cara tertentu untuk menghitung jangka kesalahan yang mungkin timbul dalam perhitungan tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan dalam perhitungan dengan perkiraan bahwa suatu hal terjadi bukan dalam suatu waktu tertentu, melainkan dalam jangka waktu tertentu. Dalam jangka waktu itu terjadi akumulasi perbedaan –perbedaan antara kedua bahasa itu, yang semakin hari semakin bertambah besar sehingga perlahan tetapi pasti menandai perpisahan antara dua bahasa. Untuk menghitung jangka kesalahan biasanya digunakan kesalahan standar, yaitu 70% dari kebenaran yang diperkirakan. Kesalahan standar diperhitungkan dengan rumus berikut ini (Keraf: 1984:132):

s =

S = kesalahan standar dalam prosentase kata kerabat c = prosentase kata kerabat

n = jumlah kata yang diperbandingkan (baik kerabat maupun nonkerabat)

(61)

(1) 1 dikurangi C

(2) C dikalikan dengan hasil dari (1) (3) hasil dari (2) dibagi dengan n (4) menarik akar atas hasil dari 3

(5) hasil dari (4) merupakan jangka kesalahan dan persentase kata kerabat atas dasar 0,7 perkiraan mengenai kebenaran yang sesungguhnya. Dengan memperoleh hasil pada no (4) di atas, harus dilakukan perhitungan kesalahan standar dalam tahun, dengan mengikuti langkah-langkah berikut:

(1) jangka kesalahan dari persentase kerabat no (4) ditambahkan kepada C; (2) jumlah dalam (1) diperlakukan sebagai C baru, yang akan dimasukkan

dalam rumus perhitungan waktu;

(3) perhitungan waktu yang baru sebagaimana diperoleh dalam (2) dikurangi dengan jumlah waktu yang pertama. Angka yang baru ini ditambah dan dikurangi dengan angka yang pertama untuk memperoleh jangka kesalahan atas dasar 0,7 dari keadaan sebenarnya.

Hasil dari kesalahan ini jumlahkan dengan prosentase kerabat untuk mendapatkan C baru, dengan C yang baru ini sekali lagi dihitung waktu pisah dengan mempergunakan rumus waktu pisah. Berdasarkan hasil penghitungan tersebut dapat diketahui perkiraan waktu pisah dan usia bahasa yang dibandingkan.

3.6Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis

(62)
(63)

BAB IV

PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN 4.1 Paparan Data

Data yang diambil berasal dari sembilan informan yang terbagi atas 3 informan BB, 3 informan BN, dan 3 informan BM. Tabel 1 berikut ini merupakan hasil penggabungan dari ketiga informan BB, BN, dan BM yang berupa kata-kata yang dianggap paling sesuai dijadikan data penelitian.

Tabel 4.1

Daftar 200 Kosakata Dasar Swadesh (Revisi Blust, 1980)

Data Tiga Bahasa

No. Glos Bahasa Batak Bahasa Nias Bahasa Melayu

1. abu sirabun avu abu

2. air aEk idan| a(y)IR

3. akar urat wa?a akaR

4. anak dagana? ono ana?

5. angin alogo aGi aGIn

6. anjing asu asu anj IG

7. apa aha hadia ap|

8. api api alit | api

9. asap t imus simbo asap

10. atap t arup sag| at ap

11. awan Ombun sawu awan

12. ayam manuk manu ayam

13. bagaimana sOGOndia havisa macamnana

14. bahu abara alisi punda?

15. baik burj u s| khi baI?

16. bapak amaG ama abah

17. baru baru awena baRu

18. basah lEpEk abas| basah

19. batang bOna t | la bat aG

20. batu bat u kara bat u

21. bekerja karej o mOhal| wa k| rj |

22. belok bEkkuk f af ut a belO?

23. benar bOt ul at ul| b| t Ul

24. bengkak maburbak abao b| Gka?

25. berat dOkdOk abuwa b| rat

(64)

27. berburu marburu malu b| buru

34. berpikir marpikkir maGEra-GEra b| pikIR

(65)

75. hutan haragan at ua ut an

103. laba-laba rabbaGrabbaG lava-lava lab| -lab|

104. lain naasiG f ab| ?| laIn

120. memasak maGaloppa lOppa

modino, asoso masa?

(66)

122. membelah (mam)bOla manila isil a (m| m)b| l ah

129. memotong mamOGgOl pOGgOl

135. mendengar mambege bege mamOdOGO dOGO

d| GaR

136. menembak manEmbak t Embak

139. menggali (mak)kuar kuar (mu)khaO khaO gali

(67)

165. punggung t aGguruG t | lahulu puGgUG

(68)

berdasarkan bunyi-bunyi yang berkorespondensi atau bervariasi pada ketiga bahasa. Tidak selamanya ketiga bahasa berkerabat seluruhnya. Ada kalanya ketiga bahasa BB, BN, dan BM berkerabat, tetapi ada kalanya hanya BB dengan BN yang berkerabat, atau BB dengan BM, atau hanya BN dengan BM. Hal ini akan lebih rinci dijelaskan dalam perhitungan leksikostatistik setelah diketahui jumlah kata-kata yang berkerabat pada masing-masing bahasa. Berikut ini uraian kekerabatan ketiga bahasa dalam bentuk tabel.

Tabel 4.2

Kata-Kata Berkerabat pada Ketiga Bahasa

Daftar 200 Kosakata Dasar Swadesh (Revisi Blust, 1980)

No Glos Korespondensi Bunyi

BB muncul sebagai bentuk yang lebih panjang daripada BN dan BM. Pada ketiga bahasa ini dapat dilihat bahwa bunyi [a] berkorespondensi pada ketiga bahasa, [b] BB,BM bervariasi dengan [v]BN dan [u] juga berkorespondensi pada ketiga bahasa. Pemanjangan dalam BB terjadi di awal dan di akhir kata.

2/ 2 air

Dapat dilihat bahwa bentuk berkerabat hanya terdapat pada BB dan BM. Bunyi [a] berkorespondensi sama persis, bunyi [E]BB bervariasi dengan [I] BM, dan [k]BB bervariasi dengan [R] BM. Selain itu, terdapat bunyi pelancar [y] antara [a] dan [i] pada BM.

(69)

fonem pada BB. Dapat dilihat bahwa korespondensi dimulai pada silabel kedua dengan bunyi [a] BB, BM yang bervariasi dengan bunyi [o] pada BN, bunyi [n] hadir identik pada semua kata, dan bunyi berulang [a] BB, BM yang juga bervariasi dengan bunyi [o] pada BN. BB dan BM ditutup oleh konsonan glotal sedangkan BN tidak dan diakhiri oleh suku terbuka, yaitu bunyi [o]. 4/ 5 angin

Hanya BN dan BM yang berkerabat. Bunyi [a] dan [G] berkorespondensi identik pada setiap kata, tetapi bunyi [i] pada BN bervariasi dengan [I] pada BM. Dalam BM hal ini terjadi secara teratur, bunyi [i] yang muncul pada suku akhir tertutup, akan muncul sebagai [I] yaitu [i] kendur yang pelafalannya hampir menyerupai [e]. Selanjutnya, BM diakhiri oleh konsonan dan BN tidak. Hal ini juga menjadi kecenderungan dalam BN, yaitu setiap kata-katanya selalu diakhiri oleh suku terbuka. 5/ 7 apa

Sekilas ketiga kata ini tidak berkerabat, tetapi jika dilihat lebih jauh maka akan didapati bahwa ketiganya berkerabat dengan pemahaman bahwa BN muncul sebagai bentuk yang lebih panjang. Korespondensi bunyi yang terjadi adalah [a] di awal BB,BM muncul sebagai [ø] pada BN, [h]BB,BN bervariasi dengan [p] BM, dan [a]pada silabel kedua BB, BN bervariasi dengan [| ] pada BM. Dalam BM juga ada kecenderungan bahwa silabe akhir yang diasumsikan diakhiri oleh bunyi terbuka [a] (misalnya pada BB dan BN), akan berubah menjadi bunyi [| ]. Hal ini akan banyak dijumpai pada kata-kata selanjutnya.

Hanya BB dan BM yang berkerabat dengan bunyi-bunyi yang sama persis.

(70)

suku terbuka sehingga di akhir kata dapat dilihat bahwa konsonan [k] BB muncul sebagai [ø] pada BN.

8/ 16 bapak

Ketiga kata ini berkerabat dengan bunyi [a] yang muncul pada silabe pertama dan kedua secara sama persis, dan bunyi [m] BB,BN bervariasi dengan [b] BM di tengah kata, dan bunyi [G]BB bervariasi dengan [ø] BN dan [h]BM di akhir kata.

Bentuk yang berkerabat terdapat pada BB dan BM. Semua bunyi yang hadir persis sama kecuali bunyi [r] BB yang muncul menjadi [R] pada BM. Dalam BM, bunyi getar [r] yang muncul akan selalu menjadi bunyi getar yang longgar, yaitu [R].

10/

Bentuk yang berkerabat adalah BN dan BM dengan kenyataan adanya bunyi-bunyi yang sama persis, yaitu [b], [a], dan [s] di tengah kata. BN diakhiri oleh [ø] karena memang tidak mengenal konsonan di akhir kata, sedangkan BM diawali oleh [ø] karena pada BN terdapat vokal [a] yang merupakan pemanjangan bentuk di awal kata. Perubahan bunyi yang terjadi adalah bunyi [|] BN yang muncul sebagai [a] pada BM dilanjutkan oleh bunyi [h] yang hanya hadir pada akhir BM, tetapi tidak terdapat di akhir BN.

11/

Kekerabatan terdapat pada BB dan BM. Semua bunyi yang muncul pada kedua bahasa persis sama.

12/

(71)

silabe awal bervariasi dengan [|]BM, bunyi [r]BB dengan [R] BM, bunyi [e]BB dengan [ø] BN, dan [o]BB pada silabe akhir bervariasi dengan [| ]BM.

13/

Ketiga kata ini berkerabat dengan ketentuan bahwa BN agak berbeda dengan kemunculan vokal di akhir kata dan hilangnya konsonan di awal kata sehingga bunyi-bunyi yang hadir berjumlah sama. Variasi bunyi-bunyi yang dapat dilihat adalah [b] di awal BB,BM muncul sebagai [ø] pada BN. Bunyi [O]BB muncul sebagai [a] BN dan [|]BM, [t] persis sama pada ketiga bahasa, [u] BB,BN muncul sebagai [U] pada BM (seperti yang telah dijelaskan di atas), [l] muncul sama persis pada ketiga bahasa, dan [ø] BB, BM muncul sebagai [|] pada BN.

Kata-kata yang berkerabat hanya BB dan BM. Semua bunyi yang muncul pada kedua bahasa persis sama. 15/

Kekerabatan hanya terjadi pada BB dan BM dengan bunyi [l] dan [a] pada silabel pertama yang persis sama pada kedua bahasa dan [G] pada silabel kedua. Kemiripan bunyi yang muncul adalah bunyi [E] BB bervariasi sebagai [i] di akhir kata pada BM.

16/

Kedua kata yang berkerabat adalah BB dan BM. Bunyi-bunyi yang hadir persis sama, kecuali Bunyi-bunyi [d]BB di awal kata muncul sebagai [j] BM di awal kata.

17/

(72)

BM. Bunyi [i] yang hadir pada suku pertama dan kedua persis sama, bunyi [m]BM muncul sebagai [ø] pada BB dan BN, bunyi [p]BB, BM muncul sebagai [f] pada BN. Ketiga kata ini diakhiri oleh bunyi yang sama, yaitu [i]. 18/

Kata-kata yang berkerabat hanya terdapat pada BB dan BN dengan kehadiran bunyi [h] pada suku awal dan [s] pada suku akhir yang sama persis dan variasi bunyi [O]BB muncul sebagai [a] BN, serta [a]BB muncul sebagai [u] BN di akhir. Kedua kata ini diakhiri suku terbuka.

Kekerabatan hanya terjadi pada BB dan BM. BM muncul sebagai bentuk yang lebih panjang. Pemanjangan bentuk terjadi pada akhir silabel pertama dan kedua, yaitu bunyi [m]BM tidak muncul pada BB serta bunyi [h] di akhir kata juga tidak muncul pada BB. Selain itu, seperti biasa [u] akan muncul sebagai [U] BM jika diakhiri sebagai suku tertutup.

20/

Kata-kata berkerabat hanya terdapat pada BB dan BM. Semua bunyi yang hadir sama persis, kecuali bunyi [t]BB yang bervariasi dengan [n] pada BM. Bunyi yang sama [tt]BB dicurigai sebagai proses asimilasi yang sering terjadi dalam BB, misalnya [daG kuboto] yang sering diucapkan [dakkuboto].

(73)

BM: b u l a n Hanya BB dan BM yang berkerabat, semua bunyi yang hadir persis sama.

23/

Ketiga kata yang hadir berkerabat dan bunyi-bunyi yang muncul persis sama kecuali adanya pemanjangan bentuk pada BM dengan hadirnya bunyi konsonan [h] di akhir kata yang tidak dimiliki oleh BB dan BN. Selain itu, karena BM muncul sebagai silabel akhir tertutup, bunyi [u]BB dan BN muncul sebagai [U] pada BM.

24/

Ketiga kata berkerabat dengan bunyi-bunyi yang persis sama bentuk dan jumlahnya kecuali bunyi [a] di akhir kata yang akan teratur berubah menjadi [|] pada BM.

25/

Kekerabatan terjadi hanya pada BB dan BM. Bunyi [b] dan [u] pada silabe pertama persis sama, [s] pada silabe kedua juga sama, tetapi bunyi [u]BB muncul sebagai [U] BM pada suku akhir sebelum konsonan(terjadi pada semua kasus) dan bunyi [k] muncul sebagai [?] pada BM.

Bunyi-bunyi berkerabat muncul pada BN dan BM. Dapat dilihat bahwa terjadi pemanjangan bunyi awal pada BN. Bunyi-bunyi yang sama persis adalah [d], [a], dan [n], sedangkan bunyi [|]BB muncul sebagai [au] BM.

(74)

luluh sehingga ketiga kata ini dianggap berkerabat.

Bentuk berkerabat hanya terdapat pada BB dan BN. Semua bunyi yang muncul persis sama kecuali kenyataan bahwa bentuk BN lebih pendek karena tidak munculnya konsonan [G] di akhir kata seperti yang terjadi pada BB.

Ketiga kata berkerabat dengan variasi bunyi [d] BB, BM di awal muncul sebagai [s]BN, sedangkan bunyi [i] yang terletak di akhir kata sama persis pada ketiga bahasa. 30/

Kekerabatan hanya terjadi pada BB dengan BN. Terjadi pemanjangan bentuk pada BB dengan hadirnya bunyi [r] di awal silabel kedua. Selain bunyi tersebut, semua bunyi yang muncul persis sama.

31/

Bunyi-bunyi yang sama atau mirip hanya terdapat pada BB dan BN. BB muncul sebagai bentuk yang lebih panjang dengan penambahan silabel di akhir kata. Bunyi [b] dan [a] pada silabel pertama kedua bahasa sama persis, begitu juga dengan bunyi [a] pada akhir silabel kedua. Selain itu, bunyi [g]BB muncul sebagai [ɤ]

Gambar

Tabel 4.1
Tabel 5.2
Tabel 5.3  Korespondensi dan Variasi Vokal [u]
Tabel 5.5
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jika dilihat dari perubahan fonem vokal PAN dalam BBM dan BBT yang lebih dominan berubah secara linear pada lingkungan yang sama pula dapat disimpulkan BBM dan BBT berkerabat. Hal

Dari 200 data swadesh yang telah diklasifikasikan, dapat dilihat bahwa kosakata kerabat yang terdapat pada bahasa Batak Toba dengan bahasa Batak Mandailing adalah

Tulisan peneliti bertujuan mendeksripsikan hubungan dan penyebab kekerabatan bahasa Aceh dengan bahasa Melayu (Malaysia). Penelitian ini menggunakan teori leksikostatistik.

Secara  umum  semantik  dapat  didefinisikan  sebagai  kajian  makna  dalam  bahasa  atau  kajian  makna  kebahasaan.  Kajian  makna  bahasa  tentu  dapat 

Seperti halnya dalam bahasa Melayu, bentuk variasi reduplikasi yang ada dalam bahasa Jepang adalah reduplikasi konsonan (reduplikasi paced konsonan) atau dikenal sebagai

Pada BBT fonem /u/ bervariasi dengan fonem /y/ dalam BBS di tengah kata, sehingga tampak perbedaan konsonan dan vokal dari dua bahasa yang dibandingkan. punggung taŋ θ/# -

Metode kualitatif digunakan untuk membandingkan data-data kebahasaan berdasarkan fakta-fakta linguistik sedangkan metode kuantitatif digunakan untuk memperoleh

317 Muhammad Ridho, Ade Kusmana, Rengki Afria: Kekerabatan Bahasa Banjar Isolek Kuala Betara dan Bahasa Melayu Isolek Tungkal Ilir Menentukan kosakata yang kerabat dilakukan dengan