• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Edible Film Dari Nata De Coco Dengan Penambahan Pati, Gliserin, Dan Kitosan Sebagai Pengemas Bumbu Mie Instan Dengan Pengaruh Lamanya Penyimpanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Aplikasi Edible Film Dari Nata De Coco Dengan Penambahan Pati, Gliserin, Dan Kitosan Sebagai Pengemas Bumbu Mie Instan Dengan Pengaruh Lamanya Penyimpanan"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KADAR PROTEIN

EDIBLE FILM DARI NATA DE COCO DENGAN PENAMBAHAN

PATI, GLISERIN, DAN KITOSAN SEBAGAI PENGEMAS

BUMBU MIE INSTAN

SKRIPSI

RIFKI ASTUTI

070802023

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

APLIKASI EDIBLE FILM DARI NATA DE COCO DENGAN PENAMBAHAN PATI, GLISERIN, DAN KITOSAN SEBAGAI PENGEMAS

BUMBU MIE INSTAN DENGAN PENGARUH LAMANYA PENYIMPANAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

RIFKI ASTUTI

070802023

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PERSETUJUAN

Nomor Induk Mahasiswa : 070802023

(4)

PERNYATAAN

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KADAR PROTEIN EDIBLE FILM DARI NATA DE COCO DENGAN PENAMBAHAN

PATI, GLISERIN, DAN KITOSAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTAN

SKRIPSI

Saya mengakui skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing – masing disebutkan sumbernya.

Medan, Agustus 2011

(5)

PENGHARGAAN

Bismillahirrahmanirrahim

Syukur alhamdulillah, segala puji penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Dalam hal ini penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Kedua orang tua, ayahanda Sabari dan ibunda Sajarah yang dengan doa dan kerja kerasnya telah ikhlas membesarkan, membiayai, dan mendidik penulis agar dapat menjadi manusia yang berguna bagi bangsa dan agama serta bermanfaat bagi orang lain. Bang Ahmad Ilmuwan, Kak Nur Azizah, Kak Nining dan Bang Edi yang selalu memberikan semangat dan bantuan moril sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Dra. Emma Zaidar, M.Si, sebagai dosen pembimbing I dan ibu Dr. Rumondang Bulan, M.S sebagai dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan hingga selesainya skripsi ini.

3. Ketua departemen kimia FMIPA USU, Ibu Dr. Rumondang Bulan Nst, M.S, Sekretaris departemen kimia FMIPA USU, bapak Drs. Albert Pasaribu, M.Sc

4. Drs. Darwin Yunus Nasution, MS., sebagai dosen pembibing akademik penulis, yang telah banyak membantu, selama penulis dalam masa studi untuk program sarjana (S1) di FMIPA USU. Bapak dan ibu dosen di departemen kimia FMIPA USU, yang tak kenal lelah dalam mengajar dan telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis.

5. Bapak Alhamra sebagai kepala laboratorium MMH (Makanan, Minuman, dan Hasil Pertanian) BARISTAN Medan, yang telah banyak mengajarkan penulis mengenai metode-metode analisa makanan. Asisten laboratorium mikrobiologi FMIPA USU ( Resti Fauziah) yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian

(6)

6. Abang-abang, Kakak-kakak, adik-adik, dan rekan-rekan di UKMI AL-FALAK FMIPA, Pengurus periode 2010-2011 (Nurhayani, Heru, Sri, Lia, Agus, Kak muti, Dwi, Ade, Aminah, Evi, Kak Dila, Arni, dll). Serta Semua pihak yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu yang telah membantu dan memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan kuliah dan mencapai gelar sarjana sains, penulis mengucapkan banyak terima kasih. Semoga Allah SWT akan membalas kebaikan-kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, Amin.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu diharapan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Akhirnya kepada Allah SWT jualah kita berserah diri, semoga Allah selalu menunjukkan jalan yang lurus kepada kita semua. Amin.

Medan, Agustus 2011

(7)

ABSTRAK

(8)

THE INFLUENCE OF STORAGE TIME ON THE PROTEIN CONTENT OF THE FILM EDIBLE FROM NATA DE COCO WITH THE ADDITION OF STARCH, GLYCERIN,

AND CHITOSAN AS A CONDIMENT

PACKAGING OF INSTAN NOODLES COOKIN SPICES

ABSTRACT

(9)
(10)

2.4.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan

2.6 Bahan yang ditambahkan dalam pembuatan edible film 27 2.6.1 Pati 28

2.6.2 Gliserin 29

2.6.3 Kitosan 31

2.7 Syarat mutu 33

BAB 3 BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Alat dan bahan 35

3.3.3 Uji organoleptis terhadap edible film dari nata de coco 40

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil penelitian 44

4.1.1 Penentuan ketebalan 44

4.1.2 Perhitungan kadar protein 45

4.1.3 Organoleptik edible film dari nata de coco selama penyimpanan tiga bulan 46

4.2 Pembahasan 48

4.2.1 Pengaruh penambahan pati, gliserin, dan kitosan terhadap kadar protein edible film dari nata de coco 48

(11)

4.2.3 Fungsi bahan tambahan 49

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 50

5.2 Saran 50

DAFTAR PUSTAKA 51

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Struktur Selulosa 14

Gambar 2.2 Acetobacter xylinum 17

Gambar 2.3 tahap – tahap pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum dalam

kondisi normal 18

Gambar 2.4 susunan fibril selulosa yang membentuk jalinan yang akan

menjadi nata 23

Gambar 2.5 Struktur Amilosa 29

Gambar 2.6 Struktur Amilopektin 29

Gambar 2.7 Struktur Gliserin 30

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Perbandingan komposisi air kelapa muda dengan air kelapa tua 9

Tabel 2.2 Syarat mutu nata 34

Tabel 3.1 Faktor konfersi (f.k) untuk beberapa bahan 39 Tabel 4.1. Data Hasil penentuan kadar protein edible film selama

(14)

DAFTAR GRAFIK

Halaman

Grafik 1. Data organoleptik tekstur edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan Selama penyimpanan

tiga bulan 45

Grafik 2. Data organoleptik warna edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan Selama penyimpanan

tiga bulan 46

Grafik 3. Data organoleptik rasa edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan Selama penyimpanan

tiga bulan 46

Grafik 4. Data organoleptik aroma edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan Selama penyimpanan

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Skala uji hedonik edible film dari nata de coco dengan

penambahan pati, gliserin dan kitosan 55 Lampiran 2 Data hasil uji organoleptik terhadap tekstur, warna, rasa, dan aroma

edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan

kitosan pada kondisi awal 55

Lampiran 3 Data hasil uji organoleptik terhadap tekstur, warna, rasa, dan aroma edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan selama penyimpanan satu bulan 56 Lampiran 4 Data hasil uji organoleptik terhadap tekstur, warna, rasa, dan aroma

edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan selama penyimpanan dua bulan 56 Lampiran 5 Data hasil uji organoleptik terhadap tekstur, warna, rasa, dan aroma

edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan selama penyimpanan tiga bulan 57 Lampiran 6 Gambar bumbu yang dikemas dengan edible film dari nata de coco

dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan selama

penyimpanan satu bulan 57

Lampiran 7 Gambar bumbu yang dikemas dengan edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan selama

penyimpanan dua bulan 58

Lampiran 8 Gambar bumbu yang dikemas dengan edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan selama

(16)

ABSTRAK

(17)

THE INFLUENCE OF STORAGE TIME ON THE PROTEIN CONTENT OF THE FILM EDIBLE FROM NATA DE COCO WITH THE ADDITION OF STARCH, GLYCERIN,

AND CHITOSAN AS A CONDIMENT

PACKAGING OF INSTAN NOODLES COOKIN SPICES

ABSTRACT

(18)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahan makanan pada umumnya sangat sensitif dan mudah mengalami penurunan kualitas karena faktor lingkungan, kimia, biokimia, dan mikrobiologi. Penurunan kualitas bahan tersebut dapat dipercepat dengan adanya oksigen, air, cahaya, dan temperatur. Salah satu cara untuk mencegah atau memperlambat fenomena tersebut adalah dengan pemanasan yang tepat. Bahan makanan tersebut biasanya dibungkus dengan plastik sebagai bahan kemasan. Penggunaan bahan plastik tersebut mempunyai beberapa kekurangan sehingga dianggap kurang efisien. Bahan plastik juga mengandung zat-zat aditif dan molekul-molekul kecil yang mungkin dapat bermigrasi ke dalam bahan kemasan, dan kemasan plastik juga sulit terdegradasi alami karena sulit dicerna oleh mikroorganisme pembusuk, sedangkan dibakar akan mencemari udara, sehingga dapat mencemari lingkungan.

Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang bahaya penggunaan kemasan plastik yang dapat merusak lingkungan, maka penggunaan edible film adalah sesuatu yang menjanjikan. Edible film adalah suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk untuk melapisi makanan (coating) atau diletakkan diantara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai penghalang terhadap perpindahan masa (misalnya kelembaban, oksigen, cahaya, lipid, zat terlarut) atau sebagai pembawa aditif serta untuk meningkatkan penanganan suatu makanan (Krochta, 1994).

Edible film dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengemas dengan memperhatikan sifat

(19)

relatif kecil. Sifat kimia dari edible film dengan bahan dasar dari bahan organik, seperti nata de coco, limbahnya masih dapat diuraikan oleh mikroorganisme (Aspinall, 1970).

Sebagai Negara kepulauan, umumnya daerah sepanjang pesisir pantai Indonesia banyak ditumbuhi pohon kelapa. Kelapa memberikan banyak hasil bagi manusia, misalnya produk kopra yang selanjutnya diolah menjadi minyak. (Atih,1979). Sedangkan air kelapa hanya dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat Indonesia, misalnya sebagai minuman dan bahan baku pembuatan nata de coco.

Air kelapa mengandung air 91,27%, protein 0,29%, lemak 0,15%, dan karbohidrat 7,27%, serta abu 1,06%. Selain itu, air kelapa mengandung nutrisi seperti sukrosa, dekstrosa, fruktosa, serta vitamin B kompleks yang terdiri dari asam nikotinat, asam pantotenat, biotin, riboflavin, dan asam folat. Nutrisi ini sangat berguna untuk pertumbuhan Acetobacter Xylinum (Warisno, 2004).

Nata de coco adalah jenis komponen minuman yang merupakan senyawa selulosa yang dihasilkan dari air kelapa melalui proses fermentasi yang melibatkan jasad renik (mikroba) yang dikenal dengan Acetobacter Xylinum (Hidayat, 2006).

Pati merupakan karbohidrat yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Pati mengandung banyak molekul glukosa sehingga dapat menjadi salah satu penyumbang atom karbon yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri Acetobacter Xylinum pada proses pembuatan nata de coco (Almatsier, 2004).

Gliserin adalah cairan kental berwarna putih, dan berasa manis. Gliserin digunakan untuk menjaga kadar air dari suatu produk karena sifatnya yang menurunkan gaya intermolekul dari molekul-molekul pelarut yang saling bertumbukkan ketika terjadi reaksi antar satu molekul dengan molekul lain (http/www.wisegeek.com).

(20)

dihubungkan dengan kadar nitrogen yang tinggi pada rantai polimernya. Kitosan mempunyai potensi untuk digunakan pada berbagai industri seperti industri makanan (Manskaya, 1968).

Mie instan merupakan salah satu makanan terfavorit warga Indonesia. Hampir setiap orang telah mencicipi mie instan atau mempunyai persediaan di rumah, sehingga jumlah limbah plastik meningkat yang dapat mencemari lingkungan. Pengemas plastik bumbu mie instan diganti dengan edible film dapat mengurangi limbah plastik di Indonesia.

Dari penelitian Nurul (2007) “Pengaruh penambahan variasi massa pati pada pembuatan nata de coco dalam medium fermentasi bakteri Acetobacter xylinum”, telah

dibuktikan bahwa pembuatan nata de coco dengan penambahan pati 2,5% akan memberikan pertambahan tebal dan kadar serat pada nata.

Dari penelitian Lisbeth Tampubolon (2008) “Pembuatan Material Selulosa-Kitosan Bakteri dalam Medium Air Kelapa dengan Penambahan Pati dan Kitosan Menggunakan

Acetobacter Xylinum”, telah dibuktikan bahwa pembuatan material selulosa-kitosan bakteri yang

memiliki tekstur permukaan paling baik adalah dengan penambahan kitosan sebanyak 0,5 g pada pH=4.

Dari penelitian Demse Pardosi (2008) “Pembuatan Material Selulosa Bakteri dalam Medium Air Kelapa Melalui Penambahan Sukrosa, Kitosan, dan Gliserol Menggunakan

Acetobacter Xylinum”, telah dibuktikan bahwa material selulosa yang memiliki tekstur

permukaan dan kekuatan tarik yang paling baik dihasilkan dari modifikasi dengan penambahan 10 g sukrosa, 1,5 g kitosan, dan 2 g gliserol.

Dari penelitian Egyfaldi Biamenta (2010) “Pembuatan Edible Film dari Nata de Coco dengan Penambahan Pati, Gliserin, dan Kitosan”, telah dibuktikan bahwa pembuatan nata de

(21)

1.2 Perumusan Masalah

Penelitian ini melanjutkan penelitian Egyfaldi Biamenta (2010). Permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh lama penyimpanan terhadap kadar protein edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan sebagai pengemas bumbu mie instan.

2. Bagaimana pengaruh lama penyimpanan terhadap daya tahan edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan sebagai pengemas bumbu mie instan berdasarkan hasil uji organoleptik.

1.3 Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini objek masalah dibatasi sebagai berikut:

1. Air kelapa yang digunakan berasal dari penjual kelapa di jalan Agus Salim Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat.

2. Pati dan gliserin yang digunakan diperoleh dari laboratorium Biokimia FMIPA USU, Medan 3. Kitosan yang digunakan diperoleh dari laboratorium Penelitian FMIPA USU, Medan.

4. Waktu fermentasi pembuatan nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan adalah 14 hari.

5. Pati yang ditambahkan adalah sebanyak 2,5%, kitosan yang ditambahkan adalah sebanyak 0,15%, gliserin yang ditambahkan adalah sebanyak 5%.

6. Parameter yang diamati adalah protein dan uji organoleptik. 7. Uji ketahanan ditentukan berdasarkan hasil uji organoleptik.

8. Starter bakteri Acetobacter xylinum diperoleh dari hasil pengembangan bakteri Acetobacter xylinum yang didapat dari IPB Bogor.

1.4 Tujuan Penelitian

(22)

1. Untuk mengetahui pengaruh lama penyimpanan terhadap kadar protein edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan sebagai pengemas bumbu mie instan. 2. Untuk mengetahui ketahanan edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin,

dan kitosan sebagai pengemas mie instan berdasarkan uji organoleptik.

1.5 Manfaat Penelitian

Mengurangi pemakaian bahan pengemas yang berbahan dasar plastik sebagai bahan pengemas makanan, dan mengolah limbah air kelapa menjadi nata de coco yang dapat digunakan untuk membuat edible film.

1.6 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Biokimia FMIPA USU, laboratorium Mikrobiologi FMIPA USU, Laboratorium Kimia Analitik FMIPA USU, laboratorium Penelitian FMIPA USU, laboratorium Geologi Kuartener Bandung, dan laboratorium MMH (Makanan, Minuman, dan Hasil pertanian) BARISTAND Medan.

1.7 Metodologi Penelitian

(23)

Adapun langkah-langkah analisisnya adalah sebagai berikut :

1. Pembuatan nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan yang difermentasikan selama 14 hari hingga terbentuk suatu lapisan putih dengan ketebalan tertentu.

2. Penentuan kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldhal, yang melalui tiga tahap, yaitu tahap destruksi, destilasi, dan titrasi.

3. Penentuan ketebalan, diukur dengan jangka sorong.

4. Penentuan uji ketahanan selama penyimpanan tiga bulan berdasarkan hasil uji organoleptik.

(24)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kelapa

Kelapa (Cocos nucifera) termasuk kedalam famili palmae (palem) yang merupakan salah satu kelas utama yang tergolong tumbuhan monokotiledon, famili palmae mencakup beberapa jenis tumbuhan yang bermanfaat bagi manusia, seperti kurma, kelapa sawit, pinang, sagu, tebu pohon aren, dan lainnya. Semuanya dibedakan berdasarkan batangnya yang tidak bercabang yang dimahkotai oleh daun menjarum yang bentuknya menyerupai kipas.

Regnum : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Kelas : Monocotyledoneae

Ordo : Palmes

Familia : Palmae

Genus : Cocos

Spesies : Cocos nucifera

(25)

2.1.1 Air Kelapa

Kelapa menghasilkan air sebanyak 50-150 ml per butir. Air kelapa sangat baik digunakan sebagai bahan dalam pembuatan nata, karena mengandung nutrisi yang dibutuhkan bagi pertumbuhan, perkembangbiakan, dan aktivitas bibit nata yang berupa bakteri Acetobacter Xylinum. Untuk pertumbuhan dan aktivitasnya, Acetobacter Xylinum membutuhkan unsure

makro dan mikro. Unsur makro terdiri atas karbon dan nitrogen.

Sebagian dari kebutuhan akan karbon tersebut sudah dapat diperoleh dari air kelapa dalam bentuk karbohidrat sederhana, misalnya sukrosa, glukosa, fruktosa dan lain-lainnya. Sementara nitrogen juga dapat diperoleh dari protein yang terkandung dalam air kelapa, meskipun dalam jumlah yang kecil.

Namun meskipun sedikit, protein dalam air kelapa tersebut tersusun dari asam-asam amino yang lengkap, yaitu sebanyak 17 macam asam amino. Bahkan persentase beberapa macam asam amino yang meliputi arginin, alanin, sistein, dan serin, ternyata lebih tinggi daripada asam-asam amino dalam susu sapi. Kelengkapan asam-asam-asam-asam amino dalam air kelapa ini sangat mendukung pertumbuhan, perkembangan, dan aktivitas bibit nata Acetobacter Xylinum.

Selain karbohidrat dan protein, air kelapa yang telah tua juga mengandung berbagai mineral yang sangat diperlukan oleh Acetobacter Xylinum. Kelengkapan unsur mineral yang terkandung dalam air kelapa tua tersebut merupakan faktor kelebihan air kelapa jika dibandingkan dengan bahan pembuatan nata lainnya.

Sebagai contoh, kalium (K), natrium (Na), magnesium (Mg), kalsium (Ca), dan fosfos (P), merupakan unsur mineral utama yang terkandung dalam air kelapa tua, yang sangat dibutuhkan oleh Acetobacter Xylinum.

(26)

Sebaliknya, air kelapa yang masih muda belum mengandung mineral yang cukup di dalamnya, sehingga kurang baik apabila digunakan sebagai bahan pembuatan nata (Pambayun, 2002).

Tabel 2.1 Perbandingan komposisi air kelapa muda dengan air kelapa tua Sumber air kelapa

Nata de coco adalah jenis komponen minuman yang merupakan senyawa selulosa (dietary fiber) yang dihasilkan dari air kelapa melalui proses fermentasi, yang melibatkan jasad renik (mikrobia) yang dikenal dengan nama Acetobacter Xylinum.

(27)

adalah jenis nata dengan medium fermentasi dari air kelapa. Nata de coco dibuat dengan memanfaatkan air kelapa untuk difermentasikan secara aerob dengan bantuan mikroba.

Sebagai makanan berserat, nata de coco memiliki kandungan selulosa ± 2,5% dan lebih dari 95% kandungan air (Palungkun,1996). Nata de coco memiliki kandungan serat kasar 2,75%, protein 1,5-2,8%; lemak 0,35% dan sisanya air.

Nata dapat digambarkan sebagai sumber makanan rendah energi untuk keperluan diet karena gizi produk ini sangat rendah. Selain itu nata juga mengandung serat yang sangat dibutuhkan oleh tubuh dalam proses fisiologis sehingga dapat memperlancar pencernaan.

2.2.1. Fermentasi nata de coco

Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktifitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan, sebagai akibat dari pemecahan kandungan-kandungan bahan pangan tersebut. Hasil-hasil fermentasi terutama tergantung pada jenis bahan pangan (substrat), macam mikroba dan kondisi di sekelilingnya yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba ( Winarno, 1992 ).

Fermentasi nata dilakukan pada media cair yang telah diinokulasi dengan starter. Mikroba tumbuh terutama pada permukaan media fermentasi. Fermentasi dilangsungkan sampai nata yang terbentuk cukup tebal. Nata berupa lapisan putih seperti agar. Lapisan ini adalah massa mikroba berkapsul dari selulosa (Hasbullah, 2001).

2.2.2. Zat-zat nutrisi yang ditambahkan pada fermentasi nata de coco

Komposisi media fermentasi nata terdiri dari karbohidrat (gula) sebagai sumber karbon dan urea sebagai sumber nitrogen. Oleh karena itu perlu ditambahkan zat-zat nutrisi sebagai berikut.

(28)

Sumber karbon merupakan faktor penting dalam proses fermentasi. Bakteri untuk menghasilkan nata membutuhkan sumber karbon bagi proses metabolismenya. Glukosa akan masuk ke dalam sel dan digunakan bagi penyediaan energi yang dibutuhkan dalam perkembangbiakannya. Jumlah gula yang ditambahkan harus diperhatikan sehingga mencukupi untuk metabolisme dan pembentukan pelikel nata. Kebutuhan karbon untuk media umumnya diberikan oleh glukosa, pati, dan laktosa (Hidayat, 2006).

b. Urea sebagai sumber nitrogen

Selain gula, sumber nitrogen merupakan faktor penting. Nitrogen diperlukan untuk pertumbuhan sel dan pembentukan enzim. Kekurangan nitrogen menyebabkan sel tumbuh dengan kurang baik dan menghambat pembentukan enzim yang diperlukan, sehingga proses fermentasi dapat mengalami kegagalan atau tidak sempurna (Hidayat, 2006).

2.2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi nata

Untuk menghasilkan produksi nata yang maksimal perlu diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut.

1. Temperatur ruang inkubasi

Temperatur ruang inkubasi harus diperhatikan karena berkaitan dengan pertumbuhan bakteri Acetobacter Xylinum dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Pada umumnya suhu

fermentasi untuk pembuatan nata adalah pada suhu kamar (280C). Suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi akan mengganggu pertumbuhan bakteri pembentuk nata, yang akhirnya juga menghambat produksi nata (Budiyanto, 2004).

(29)

Medium fermentasi ini harus banyak mengandung karbohidrat (gula) di samping vitamin dan mineral, karena pada hakekatnya nata tersebut adalah slime (menyerupai lendir) dari sel bakteri yang kaya selulosa yang diproduksi dari glukosa oleh bakteri Acetobacter Xylinum. Bakteri ini dalam kondisi yang optimum memiliki kemampuan yang luar biasa untuk memproduksi slime sehingga slime tersebut terlepas dari sel vegetatif bakteri dan terapung-apung di permukaan medium. Pembentukan nata terjadi karena proses pengambilan glukosa dari larutan gula yang kemudian digabungkan dengan asam lemak membentuk precursor (penciri nata) pada membran sel. Prekursor ini selanjutnya dikeluarkan dalam bentuk ekskresi dan bersama enzim mempolimerisasi glukosa menjadi selulosa yang merupakan bahan dasar pembentukan slime. Kadar karbohidrat optimum untuk berlangsungnya produksi nata adalah 10% (Palungkun, 1992).

3. Jenis dan konsentrasi stater

Pada umumnya Acetobacter Xylinum merupakan stater yang lebih produktif dari jenis stater lainnya, sedang konsentrasi 5-10% merupakan konsentrasi yang ideal (Rahman, 1992).

4. Kebersihan alat

Alat-alat yang tidak steril dapat menghambat pertumbuhan bakteri Acetobacter Xylinum. Sedangkan alat-alat yang steril dapat mendukung pertumbuhan bakteri Acetobacter Xylinum.

5. Waktu fermentasi

Waktu fermentasi yang digunakan dalam pembuatan nata umumnya 2-4 minggu. Minggu ke-4 dari waktu fermentasi merupakan waktu yang maksimal produksi nata, yang berarti lebih dari 4 minggu, maka kualitas nata yang diproduksi akan menurun.

6. pH fermentasi

Derajat keasaman yang dibutuhkan dalam pembuatan nata adalah 3-5 atau dalam suasana asam. Pada kedua kondisi pH optimum, aktifitas enzim seringkali menurun tajam. Suatu perubahan kecil pada pH dapat menimbulkan perbedaan besar pada kecepatan beberapa reaksi enzimatis yang amat penting bagi organisme.

(30)

Tempat fermentasi sebaiknya tidak terbuat dari logam karena mudah korosif yang dapat mengganggu pertumbuhan mikroorganisme pembentuk nata. Di samping itu tempat fermentasi sebaiknya tidak terkena cahaya matahari langsung, jauh dari sumber panas, dan harus berada dalam kondisi steril.

Selain itu, dalam pembuatan nata juga harus diperhatikan bahwa selama proses pembentukan nata langsung harus dihindari gerakan atau goncangan ini akan menenggelamkan lapisan nata yang telah terbentuk dan menyebabkan terbentuknya lapisan nata yang baru yang terpisah dari nata yang pertama. Hal ini menyebabkan ketebalan produksi nata tidak standar (Budiyanto, 2004).

2.2.4. Kandungan gizi nata

Dilihat dari zat gizinya, nata tidak berarti apa-apa karena produk ini sangat miskin zat gizi. Karena kandungan zat gizi (khusunya energi) yang sangat rendah, produk ini aman untuk dimakan siapa saja. Produk ini tidak akan menyebabkan kegemukan, sehingga sangat dianjurkan bagi mereka yang sedang diet rendah kalori. Keunggulan lain dari produk ini adalah kandungan seratnya yang cukup tinggi terutama selulosa. Peran utama serat dalam makanan adalah pada kemampuannya mengikat air yang dapat melunakkan feses.

Makanan dengan kandungan serat kasar yang tinggi dapat mengurangi berat badan. Serat makanan akan tinggal dalam saluran pencernaan dalam waktu yang relative singkat sehingga absorpsi zat makanan berkurang. Selain itu, makanan yang mengandung serat yang relative tinggi akan memberikan rasa kenyang karena komposisi karbohidrat kompleks yang menghentikan nafsu makan sehingga mengakibatkan turunnya konsumsi makanan. Makanan dengan kandungan serat kasar relative tinggi biasanya mengandung kalori rendah, kadar gula, dan lemak rendah yang dapat membantu mengurangi terjadinya obesitas dan penyakit jantung (Joseph, 2002).

(31)

Selulosa adalah senyawa seperti serabut, liat, tidak larut dalam air, dan ditemukan di dalam dinding sel pelindung tumbuhan, terutama pada tangkai, batang, dahan, dan semua bagian berkayu dari jaringan tumbuhan. Selulosa membentuk komponen serat dari dinding sel tumbuhan. Molekul selulosa merupakan rantai-rantai atau mikrofibril dari D-glukosa sampai sebanyak 14000 satuan yang terdapat sebagai berkas-berkas terpuntir mirip tali yang terikat satu sama lain oleh ikatan hydrogen (Fessenden, 1986).

Gambar 2.1 Struktur Selulosa

Selulosa yang diperoleh dari proses fermentasi nata adalah sejenis polisakarida mikroba yang tersusun oleh serat selulosa yang dihasilkan oleh strain Acetobacter Xylinum. Selulosa ini lebih mudah dicerna oleh manusia jika dibandingkan dengan selulosa yang berasal dari tumbuhan.

Sistem pencernaan manusia mengandung enzim yang dapat mengkatalisis hidrolisis ikatan α-glikosidik, tetapi tidak mengandung enzim yang diperlukan untuk menghidrolisis ikatan β -glikosidik (Hart, 2003).

2.4. Acetobacter

(32)

Spesies Acetobacter yang terkenal adalah Acetobacter aceti, Acetobacter orlenensis, Acetobacter liquefasiensis, dan Acetobacter xylinum. Meskipun ciri-ciri yang dimiliki hampir

sama dengan spesies lainnya Acetobacter xylinum dapat dibedakan dengan yang lain karena sifatnya yang unik. Bila Acetobacter xylinum ditumbuhkan pada medium yang mengandung gula. Bakteri ini dapat memecah komponen gula dan mampu membentuk suatu polisakarida yang dikenal dengan selulosa ekstraseluler (Daulay, 2003).

Defenisi nata adalah suatu zat yang menyerupai gel, tidak larut dalam air dan terbentuk pada permukaan media fermentasi air kelapa atau beberapa sari buah masam. Pembuatan nata melibatkan jasad renik (mikroba) yang dikenal dengan nama Acetobacter Xylinum. Di bawah mikroskop nata tampak sebagai massa benang yang melilit yang sangat banyak seperti benang-benang kapas. Nata merupakan mikroorganisme itu sendiri seperti granula yeast yang tersusun atas sel yeast sehingga ada yang menyangka bahwa mengkonsumsi nata sama dengan mengkonsumsi Acetobacter (Hidayat, 2006).

2.4 .1. Jenis-jenis Acetobacter

Adapun jenis-jenis bakteri Acetobacter adalah sebagai berikut :

a. Acetobacter acetii, ditemukan oleh Beijerinck pada tahun 1898. Bakteri ini penting dalam produksi asam asetat, yang mengoksidasi alkohol menjadi asam asetat. Banyak terdapat pada ragi tapai, yang menyebabkan tapai yang melewati 2 hari fermentasi akan menjadi berasa masam.

b. Acetobacter xylinum, bakteri ini digunakan dalam pembuatan nata de coco. Acetobacter xylinum mampu mensintesis selulosa dari gula yang dikonsumsi. Nata yang dihasilkan

berupa pelikel yang mengambang dipermukaan substrat. Bakteri ini juga terdapat pada produk kombucha yaitu fermentasi dari teh (Hidayat, 2007).

(33)

d. Acetobacter orleanensis, bakteri ini dapat mengubah etanol menjadi cuka (Mckane and Judy, 1976).

e. Acetobacter indonesianensis, ditemukan pada tahun 2001. Bakteri ini merupakan bakteri asli Indonesia.

f. Acetobacter cibinongensis, bakteri ini berasal dari daerah Cibinong.

g. Acetobacter syzygii, ditemukan pada tahun 2002. Bakteri ini berasal dari buah sirsak h. Acetobacter tropicalis, ditemukan pada tahun 2001. Bakteri ini berasal dari daerah tropis. i. Acetobacter bogoriensis, bakteri ini berasal dari daerah tropis.

Jenis Acetobacter 5 – 9 adalah spesies baru yang merupakan bakteri asli Indonesia, yang ditemukan oleh Dr. Puspita Lisdayanti (Prasetyo, 2003).

2.4.2. Acetobacter xylinum

Bakteri pembentuk nata termasuk kedalam golongan Acetobacter, yang mempunyai ciri – ciri antara lain : ”sel bulat panjang sampai batang (seperti kapsul), tidak mempunyai endospora, sel – selnya bersifat gram negatif, bernafas secara aerob tetapi dalam kadar yang kecil (Pelczar dan Chan, 1988).

Acetobacter xylinum dapat dibedakan dengan spesies yang lain karena sifatnya yang bila

ditumbuhkan pada medium yang kaya komponen gula, bakteri ini dapat memecah komponen gula dan mampu membentuk suatu polisakarida yang dikenal dengan selulosa ekstraseluler.

Acetobacter xylinum mempunyai tiga enzim yang aktif, yaitu enzim kinase, enzim

ekstraseluler selulosa polimerase, dan enzim protein sintetase. Enzim ekstraseluler selulosa polimerase aktif pada pH 4 yang berfungsi untuk membentuk benang-benang selulosa (nata). Enzim protein sintetase aktif pada pH 3-6 yang berfungsi untuk mengubah makanan yang mengandung C, H, O, dan N menjadi protein (Mandel, 2004).

(34)

dibuatnya. Untuk menghasilkan massa yang kokoh, kenyal, tebal, putih, dan tembus pandang perlu diperhatikan suhu fermentasi (inkubasi), komposisi medium dan pH medium.

Gambar 2.2 Acetobacter xylinum

Klasifikasi ilmiah dari Acetobacter xylinum :

Kerajaan : Bacteria

Filum : Proteobacteria

Kelas : Alpha Proteobacteria

Ordo : Rhodospirilia

Famili : Pseudomonadaceae

Genus : Acetobacter

Spesies : Acetobacter xylinum (Moss M.O., 1995).

Bakteri Acetobacter xylinum mengalami pertumbuhan sel. Pertumbuhan sel didefinisikan sebagai pertumbuhan secara teratur semua komponen di dalam sel hidup. Bakteri Acetobacter xylinum mengalami beberapa fase pertumbuhan sel yaitu fase adaptasi, fase pertumbuhan awal,

(35)

waktu

Gambar 2.3 Tahap – tahap pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum dalam kondisi normal

a. Fase adaptasi

Begitu dipindahkan ke media baru, bakteri Acetobacter xylinum tidak langsung tumbuh dan berkembang. Pada fase ini, bakteri akan terlebih dahulu menyesuaikan diri dengan substrat dan kondisi lingkungan barunya. Fase adaptasi bagi Acetobacter xylinum dicapai antara 0 – 24 jam atau ± 1 hari sejak inokulasi.

b. Fase pertumbuhan awal

Pada fase ini, sel mulai membelah dengan kecepatan rendah. Fase ini menandai diawalinya fase pertumbuhan eksponensial. Fase ini dilalui dalam beberapa jam.

c. Fase pertumbuhan eksponensial

Fase ini disebut juga sebagai fase pertumbuhan logaritmik, yang ditandai dengan pertumbuhan yang sangat cepat. Untuk bakteri Acetobacter xylinum, fase ini dicapai dalam waktu antara 1- 5 hari tergantung pada kondisi lingkungan. Pada fase ini juga, bakteri mengeluarkan enzim

(36)

ekstraseluler polimerase sebanyak – banyaknya untuk menyusun polimer glukosa menjadi selulosa.

d. Fase pertumbuhan diperlambat

Pada fase ini, terjadi pertumbuhan yang diperlambat karena ketersediaan nutrisi yang telah berkurang, terdapatnya metabolit yang bersifat toksik yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, dan umur sel yang telah tua.

e. Fase stasioner

Pada fase ini, jumlah sel yang tumbuh relatif sama dengan jumlah sel yang mati. Penyebabnya adalah di dalam media terjadi kekurangan nutrisi, pengaruh metabolit toksik lebih besar, dan umur sel semakin tua. Namun pada fase ini, sel akan lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim jika dibandingkan dengan ketahanannya pada fase lain. Matrik nata lebih banyak diproduksi pada fase ini.

f. Fase menuju kematian

Pada fase ini, bakteri mulai mengalami kematian karena nutrisi telah habis dan sel kehilangan banyak energi cadangannya.

g. Fase kematian

Pada fase ini, sel dengan cepat mengalami kematian, dan hampir merupakan kebalikan dari dase logaritmik. Sel mengalami lisis dan melepaskan komponen yang terdapat di dalamnya.

2.4.3. Sifat-sifat Acetobacter xylinum

1. Sifat Morfologi

Acetobacter xylinum merupakan bakteri berbentuk batang pendek, yang mempunyai panjang 2

mikron dan lebar 0,6 mikron, dengan permukaan dinding yang berlendir. Bakteri ini bisa membentuk rantai pendek dengan satuan 6 – 8 sel.

(37)

lapisan menyerupai gelatin yang kokoh menutupi sel dan koloninya. Pertumbuhan koloni pada medium cair setelah 48 jam inokulasi akan membentuk lapisan pelikel dan dapat dengan mudah diambil dengan jarum ose.

1. Sifat Fisiologi

Bakteri ini dapat membentuk asam dari glukosa, etil alkohol, dan propil alkohol, tidak membentuk indol dan mempunyai kemampuan mengoksidasi asam asetat menjadi CO2 dan H2O. Sifat yang paling menonjol dari bakteri ini adalah memiliki kemampuan mempolimerisasi glukosa hingga menjadi selulosa. Selanjutnya, selulosa tersebut membentuk matrik yang dikenal sebagai nata. Faktor – faktor dominan yang mempengaruhi sifat fisiologi dalam pembentukan nata adalah ketersediaan nutrisi, derajat keasaman, temperatur, dan ketersediaan oksigen.

2.4.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Acetobacter xylinum

Adapun beberapa faktor yang berkaitan dengan kondisi nutrisi, adalah sebagai berikut:

a. Sumber karbon

Sumber karbon yang dapat digunakan dalam fermentasi nata adalah senyawa karbohidrat yang tergolong monosakarida dan disakarida. Pembentukan nata dapat terjadi pada media yang mengandung senyawa – senyawa glukosa, sukrosa, dan laktosa. Sementara yang paling banyak digunakan berdasarkan pertimbangan ekonomis, adalah sukrosa atau gula pasir.

Penambahan sukrosa harus mengacu pada jumlah yang dibutuhkan. Penambahan yang berlebihan, disamping tidak ekonomis akan mempengaruhi tekstur nata, juga dapat menyebabkan terciptanya limbah baru berupa sisa dari sukrosa tersebut. Namun sebaliknya, penambahan yang terlalu sedikit, menyebabkan bibit nata menjadi tumbuh tidak normal dan nata tidak dapat dihasilkan secara maksimal.

(38)

Sumber nitrogen bisa digunakan dari senyawa organik maupun anorganik. Bahan yang baik bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum dan pembentukan nata adalah ekstrak yeast dan kasein. Namun, amonium sulfat dan amonium fosfat (di pasar dikenal dengan ZA) merupakan bahan yang lebih cocok digunakan dari sudut pandang ekonomi dan kualitas nata yang dihasilkan. Banyak sumber N lain yang dapat digunakan dan murah seperti urea.

c. Tingkat keasaman (pH)

Meskipun bisa tumbuh pada kisaran pH 3,5 – 7,5 , bakteri Acetobacter xylinum sangat cocok tumbuh pada suasana asam (pH 4,3). Jika kondisi lingkungan dalam suasana basa, bakteri ini akan mengalami gangguan metabolisme selnya.

d. Temperatur

Adapun suhu ideal (optimal) bagi pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum adalah 280C – 310C. Kisaran suhu tersebut merupakan suhu kamar. Pada suhu di bawah 280C, pertumbuhan bakteri terhambat. Demikian juga, pada suhu diatas 310C, bibit nata akan mengalami kerusakan dan bahkan mati, meskipun enzim ekstraseluler yang telah dihasilkan tetap bekerja membentuk nata.

e. Udara (oksigen)

Bakteri Acetobacter xylinum merupakan mikroba aerobik. Dalam pertumbuhan, perkembangan, dan aktivitasnya, bakteri ini sangat memerlukan oksigen. Bila kekurangan oksigen, bakteri ini akan mengalami gangguan dalam pertumbuhannya dan bahkan akan segera mengalami kematian. Oleh sebab itu, wadah yang digunakan untuk fermentasi nata de coco, tidak boleh ditutup rapat. Untuk mencukupi kebutuhan oksigen, pada ruang fermentasi nata harus tersedia cukup ventilasi.

2.4.5. Aktifitas Acetobacter xylinum pada fermentasi nata

(39)

Bakteri Acetobacter xylinum merombak gula untuk memperoleh energi yang diperlukan bagi metabolisme sel. Selain itu, bakteri ini juga mengeluarkan enzim yang mampu menyusun (mempolimerisasi) senyawa glukosa menjadi polisakarida yang dikenal dengan selulosa ekstraseluler (nata de coco).

Fruktosa, selain digunakan sebagai sumber energi, bahan dasar nata setelah dihidrolisis menjadi glukosa, juga berperan sebagai induser bagi sintesis enzim ekstraseluler polimerase. Hal ini merupakan salah satu alasan, bahwa sukrosa mempunyai kelebihan dibanding gula sederhana lain dalam fungsinya sebagai substrat pembuat nata.

Berdasarkan pada pengamatan morfologi, pembentukan nata oleh bakteri Acetobacter xylinum diawali dengan pembentukan lembaran benang – benang selulosa. Pembentukan benang

tersebut, pada mulanya tampak seperti flagel (cambuk pada bakteri umumnya).

Selanjutnya, bakteri Acetobacter xylinum membentuk mikrofibril selulosa di sekitar permukaan tubuhnya hingga membentuk serabut selulosa yang sangat banyak dan dapat mencapai ketebalan tertentu. Pada akhirnya, susunan selulosa tersebut akan tampak seperti lembaran putih transparan dengan permukaan licin dan halus, yang disebut nata.

(40)

Keterangan gambar:

1. Sel Acetobacter xylinum 2. Benang selulosa

Gambar 2.4 Susunan fibril selulosa yang membentuk jalinan yang akan menjadi nata

2.5. Edible Film

Edible film adalah suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk untuk

melapisi makanan (coating) atau diletakkan di antara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai penghalang terhadap perpindahan massa (misalnya kelembaban, oksigen, cahaya, lipid, zat terlarut) dan atau sebagai pembawa additif serta untuk meningkatkan penanganan suatu makanan (Krochta, 1994).

Jika bahan baku dan bahan racikannya adalah bahan yang bisa dimakan dan hanya perubahan struktur bahan baku yang terjadi selama proses pemasakan, perubahan pH, atau modifikasi enzimatis, maka kemasan tersebut digolongkan kepada kemasan yang dapat dimakan (Bardant dan Dewi, 2007).

Edible film diaplikasikan pada makanan dengan cara pembungkusan, pencelupan,

penyikatan, atau penyemprotan. Bahan hidrokoloid dan koloid lemak atau campuran keduanya dapat digunakan untuk membuat edible film. Hidrokoloid yang dapat digunakan untuk membuat edible film adalah protein (kasein, protein kedelai, protein jagung, dan gluten gandum) dan

1

(41)

karbohidrat (pati, pektin, dan modifikasi karbohidrat lainnya), sedangkan lipid yng digunakan adalah lilin atau wax, gliserol, dan asam lemak.

Kelebihan edible film yang dibuat dari hidrokoloid diantaranya memiliki kemampuan yang baik untuk melindungi produk terhadap oksigen, karbondioksida, dan lipid serta memiliki sifat mekanis yang diinginkan dan meningkatkan kesatuan structural produk. Kelemahannya, film dari karbohidrat kurang bagus digunakan untuk mengatur migrasi uap air sementara film dari protein sangat dipengaruhi oleh perubahan pH.

Kelebihan edible film dari lipid adalah memiliki kemampuan yang baik untuk melindungi produk dari penguapan air. Sedangkan kekurangannya yaitu kegunaannya dalam bentuk murni sebagai pelapis masih terbatas, karena mempunyai kekurangan dari segi ketahanannya.

Edible film dari komposit (gabungan hidrokoloid dan lipid) dapat meningkatkan

kelebihan film dari hidrokoloid dan film dari lipid, serta mengurangi kelemahannya. Pembentukan edible film merupakan proses pertumbuhan fragmen-fragmen kecil yang akan membentuk suatu polimer. Prinsip pembentukan edible film adalah interaksi rantai polimer menghasilkan polimer yang lebih besar dan stabil. (Syamsir,2008)

2.5.1 Sifat edible film

Sifat fisik film meliputi sifat mekanik dan penghambatan. Sifat mekanik menunjukkan

kemampuan kekuatan film dalam menahan kerusakan bahan selama pengolahan, sedangkan sifat

penghambatan menunjukkan kemampuan film melindungi produk yang dikemas dengan

menggunakan film tersebut. Beberapa sifat film meliputi kekuatan renggang putus, ketebalan,

pemanjangan, laju transmisi uap air, dan kelarutan film (Gontard, 1993).

(42)

Ketebalan film merupakan sifat fisik yang dipengaruhi oleh konsentrasi padatan terlarut

dalam larutan film dan ukuran plat pencetak. Ketebalan film akan mempengaruhi laju transmisi

uap air, gas dan senyawa volatile (Mc Hugh and Sanesi, ,1993).

b. Tensile strength (Mpa) dan Elongasi (%)

Pemanjangan didefinisikan sebagai presentase perubahan panjang film pada saat film

ditarik sampai putus (Krochta dan Mulder Johnston,1997).

Menurut Krochta dan De Mulder Johnston (1997), kekuatan regang putus merupakan

tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai film dapat tetap bertahan sebelum film putus atau

robek. Pengukuran kekuatan regang putus berguna untuk mengetahui besarnya gaya yang dicapai

untuk mencapai tarikan maksimum pada setiap satuan luas area film untuk merenggang atau

memanjang.

c. Kelarutan Film

Persen kelarutan edible film adalah persen berat kering dari film yang terlarut setelah

dicelupkan di dalam air selama 24 jam (Gontard, 1993).

d. Laju Transmisi Uap Air

Laju transmisi uap air merupakan jumlah uap air yang hilang per satuan waktu dibagi

dengan luas area film. Oleh karena itu salah satu fungsi edible film adalah untuk menahan

migrasi uap air maka permeabilitasnya terhadap uap air harus serendah mungkin (Gontard,

1993).

Menurut Syarief (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi konstanta permeabilitas

kemasan adalah:

1)Jenis film permeabilitas dari polipropilen lebih kecil dari padapolietilen artinya gas atau uap

air lebih mudah menembuspolipropilen daripada polietilen.

(43)

3) Suhu

4) Ada tidaknya plasticizer misal air

5) Jenis polimer film

6) Sifat dan besar molekul gas

7) Solubilitas atau kelarutan gas

Sifat fisik film meliputi sifat mekanik dan penghambatan. Sifat mekanik menunjukkan

kekuatan film menahan kerusakan bahan selama pengolahan; sedangkan sifat penghambatan

menunjukkan kemampuan film melindungi produk yang dikemas dengan menggunakan film

tersebut. Beberapa sifat film meliputi kekuatan renggang putus, ketebalan, pemanjangan, laju

transmisi uap air, dan kelarutan film (Gontard, 1993).

Berdasarkan UU no. 17 tahun 1996 pasal 3 syarat edible film menjadi pengemas

makanan, yaitu:

1. Menjaga produk pangan agar tetap bersih, terlindung dari kotoran dan kontaminan.

2. Menjaga produk pangan dari kerusakan fisik, perubahan kadar air dan pengaruh sinar.

3. Pengemas tidak mudah robek atau putus.

4. Pengemas tidak mudah berubah warna, aroma dan rasa dalam jangka waktu yang

cepat.

2.5.2 Aplikasi edible Film

Aplikasi dari edible film atau edible coating dapat dikelompokkan atas :

1. Sebagai kemasan primer dari produk pangan.

(44)

2. Sebagai barrier.

Penggunaan edible film sebagai barrier dapat dilihat dari contoh-contoh berikut :

Gellan gum yang direaksikan dengan garam mono atau bivalen yang membentuk film,

diperdagangkan dengan nama dagang Kelcoge merupakan barrier yang baik untuk absorbsi minyak pada bahan pangan yang digoreng, sehingga menghasilkan bahan dengan kandungan minyak yang rendah.

3. Sebagai pengikat (Binding).

Edible film juga dapat diaplikasikan pada snack atau crackers yang diberi bumbu yaitu sebagai

pengikat atau adesif dari bumbu yang diberikan agar dapat lebih merekat pada produk. Pelapisan ini berguna untuk mengurangi lemak pada bahan yang dengan penambahan bumbu.

4. Sebagai Pelapis (Glaze).

Edible film dapat bersifat pelapis untuk meningkatkan penampilan dari produk-produk bakery,

yaitu untuk menggantikan palapisan dengan telur. Keuntungan dari palapisan ini adalah dapat menghindari masuknya mikroba yang dapat terjadi jika dilapisi dengan telur (Julianti dan Nurminah, 2007).

2.6. Bahan yang ditambahkan

Pada pembuatan edible film dari bahan dasar nata de coco yang dibuat dari bahan-bahan seperti air kelapa, gula, urea, pati, gliserin, dan kitosan. Yang masing-masing dari bahan tersebut mempunyai fungsi sebagai bahan karbohidrat, sumber nitrogen, plasticizer, dan antimikroba.

2.6.1 Pati

(45)

Amilosa terdiri atas 250-300 unit D-glukosa yang terikat dengan ikatan α 1,4-glikosidik, jadi molekulnya merupakan rantai terbuka. Amilopektin juga terdiri atas molekul D-glukosa yang sebagian besar mempunyai ikatan 1,4-glikosidik dan sebagian lagi ikatan 1,6-glikosidik. Adanya ikatan 1,6-glikosidik ini menyebabkan terjadinya cabang, sehingga molekul amilopektin berbentuk rantai terbuka dan bercabang ( Poedjiadi, 1994).

Pati dapat dipisahkan menjadi dua fraksi utama berdasarkan kelarutan bila ditambahkan dengan air panas: sekitar 20% pati adalah amilosa (larut) dan 80% sisanya ialah amilopektin (tidak larut).

Amilosa. Hidrolisis lengkap amilosa meghasilkan hanya D-Glukosa; hidrolisis parsial menghasilkan maltose sebagai satu-satunya disakarida. Disimpulkan bahwa amilosa adalah polimer linear dari α-D-glukosa yang dihubungkan secara-1,4. Beda antara amilosa dan selulosa ialah ikatan glikosidanya β dalam selulosa, dan α dalam amilosa. Hal ini menyebabkan perbedaan sifat antara kedua polisakarida ini. Terdapat 250 satuan glukosa atau lebih per molekul amilosa, banyaknya satuan bergantung spesi hewan atau tumbuhan itu.

Gambar 2.5 Struktur Amilosa

(46)

Gambar 2.6 Struktur Amilopektin

Hidrolisis lengkap amilopektin hanya menghasilkan D-glukosa. Namun hidrolisis tak lengkap menghasilkan suatu campuran disakarida maltose danisomaltosa, yang kedua ini berasal dari percabangan-1,6 ( Fesenden, 1986).

2.6.2. Gliserin

Gliserin yang merupakan produk samping dari industri oleokimia yang memiliki sifat higroskopis, larut dalam air dan alkohol, tidak berwarna, tidak berbau dan memiliki rasa manis. Gliserin banyak digunakan untuk farmasi, bahan makanan, kosmetik, emulsifier dan minyak pelumas. Adapun kegunaan gliserin adalah sebagai berikut :

a) Farmasi

Gliserin banyak digunakan sebagai salep, obat batuk, pembuatan multi vitamin, vaksin, obat infeksi, stimulan jantung, antiseptik, pencuci mulut, pasta gigi.

b) Bahan makanan

Gliserin digunakan sebagai pelarut ekstrak buah seperti vanili, kopi, koumarin. Gliserin juga digunakan untuk minuman berkarbonat, pembuatan keju, permen jeli.

(47)

Gliserin yang memiliki sifat tidak beracun, tidak iritasi dan tidak berwarna digunakan untuk pelembut dan pelembab kulit, krem kulit, sabun, pembersih wajah. Gliserin juga digunakan sebagai pelarut parfum, pewarna dan pembersih kendaraan (Minner,1953).

Gliserin dengan rantai HO-CH2-CH-(OH)-CH2-OH adalah produk samping dari reaksi hidrolisis antara minyak nabati dengan air untuk menghasilkan asam lemak. Senyawa ini bisa menurunkan titik beku pelarutnya dengan mengganggu pembentukan kristal es pelarut.

Gliserin juga dapat meningkatkan titik didih pelarutnya dengan menghalangi molekul-molekul pelarut saling bertumbukan, dengan demikian mengurangi tekanan uap pelarutnya. Gliserin berbentuk cairan jernih, tidak berbau dan memiliki rasa manis.

CH2 – OH

Gliserin merupakan humektan yang biasa dipakai untuk kosmetik (hand and body lotion, cream pelembab, dan lain-lain), untuk bahan dasar pembuatan sabun juga merupakan bahan utama untuk pasta gigi. Fungsinya adalah untuk mengikat air/pelembab sehingga cream selalu basah.

Gliserin mudah dicerna dan tidak beracun dan bermetabolisme bersama karbohidrat, meskipun berada dalam bentuk kombinasi pada sayuran dan lemak binatang.

(48)

- Pelarut untuk pemberi rasa - Pengental dalam sirup

- Bahan pengisi dalam makan rendah lemak - Pencegah kristalisasi gula pada permen dan es (http:susyanairi.blogspot.com/gliserin/html)

2.6.3. Kitosan

Kitosan adalah poli-(2-amino-2-deoksi-β-(1-4)-D-glukopiranosa) dengan rumus molekul (C6H11NO4)n yang dapat diperoleh dari deasetilasi kitin. Kitosan juga dijumpai secara alamiah di beberapa organisme.

Gambar 2.8 Struktur Kitosan

Kitosan merupakan padatan amorf yang berwarna putih kekuningan . kitosan larut pada kebanyakan larutan asam organik pada pH sekitar 4,0, tetapi tidak larut pada pH yang lebih besar dari 6,5, juga tidak larut dalam pelarut air, alkohol, dan aseton. Dalam asam mineral pekat seperti HCl dan HNO3, kitosan larut pada konsentrasi 0,15-1%, tetapi tidak larut pada konsentrasi 10%. Kitosan tidak larut dalam H2SO4 pada berbagai konsentrasi, sedangkan di dalam H3PO4 tidak larut pada konsentrasi 1% sementara pada konsentrasi 0,1% sedikit larut.

(49)

logam berat maupun zat warna yang banyak dihasilkan dari industri tekstil atau kertas. Logam berat merupakan limbah yang sangat berbahaya.

Kitosan larut dalam pelarut organic, HCl encer, HNO3 encer, H3PO4 0,5% dan CH3COOH 1%, tetapi tidak larut dalam basa kuat dan H2SO4. Dalam kondisi asam berair, gugus amino (-NH2) kitosan akan menangkap H+ dari lingkungannya, sehingga gugus aminonya terprotonasi menjadi –NH3+. Gugus inilah yang menyebabkan kitosan bertindak sebagai garam, sehingga dapat larut dalam air, analog dengan pelarutan garam, sehingga dapat larut dalam air. Selain itu, muatan positif - NH3+ dapat dimanfaatkan untuk adsorpsi (penyerapan) zat warna anionic (bermuatan negatif). Sementara adsorpsi zat warna kationik dan kation logam memanfaatkan keberadaan pasanganelektron bebas pada gugus –OH dan NH2. Oleh karena itu, sebaiknya proses penyerapan dilakukan dalam lingkungan yang tidak asam agar gugus –NH2 tidak terprotonasi.

(50)

2.7 Syarat mutu

(51)

Tabel 2.2 Syarat mutu nata

(52)

BAB 3

- Kertas saring whatman 41

- Corong Buchner - Desikator

- Neraca analisis Presisi 0,0001 - Statif dan klem

(53)

3.1.2 Bahan

- Air kelapa

- Pati p.a E.Merck

- Starter Acetobacter xylinum - Gula pasir

- Urea p.a E.Merck

- CH3COOH(l) teknis

- Gliserin p.a E.Merck

- H2SO4(p) p.a E.Merck

- NaOH(s) p.a E.Merck

- Selenium p.a E.Merck

- H3BO3(s) p.a E.Merck

- HCl(p) p.a E.Merck

- Alkohol 96% p.a E.Merck

- Kitosan - Akuadest

- Metil merah p.a E.Merck

- Bromo cresol green p.a E.Merck

(54)

3.2 Prosedur penelitian

3.2.1 Pembuatan larutan pereaksi

3.2.1.1 Pembuatan larutan NaOH 40%

Ditimbang 100 g NaOH(s), kemudian dilarutkan 100 g NaOH(s) dengan aquadest di dalam labu takar 250 ml, dan diencerkan hingga garis tanda.

3.2.1.2 Pembuatan larutan H3BO3 4%

Ditimbang 20 g H3BO3(s) , kemudian dilarutkan 20 g H3BO3(s) dengan 500 ml aquadest. Setelah dingin pindahkan ke dalam botol bertutup gelas. Campur 500 ml H3BO3(l) dengan 5 ml indikator.

3.2.1.3 Pembuatan indikator Toshiro

Disiapkan larutan bromocresol green 0,1% dan larutan merah metil 0,1% dalam alkohol 95% secara terpisah. Dicampur 500 ml asam borat dengan 5 ml indikator.

3.2.1.4 Pembuatan HCl 0,0982 N

Dititrasi larutan Na2B4O7(l) 0,1 N dengan larutan HCl(l) 0,1 N. Dicatat volume larutan HCl(l) yang terpakai, dan ditetapkan normalitas HCl(l).

3.2.2 Pembuatan starter

(55)

hingga larutan mempunyai pH 4. Dimasukkan kedalam botol yang telah di sterilisasi. Diinokulasi dengan starter Acetobacter xylinum sebanyak 50 ml. Difermentasikan selama 14 hari dalam ruangan pada suhu kamar hingga terbentuk lapisan putih diatasnya.

3.2.3 Pembuatan nata de coco dengan penambahan pati, kitosan, dan gliserin

Sebanyak 800 ml air kelapa disaring dengan menggunakan kertas saring, dimasukkan ke dalam gelas beaker. Dipanaskan hingga mendidih. Kemudian ditambahkan urea 4 g, gula 80 g, pati 20 g, gliserin 40 ml, kitosan 1,2 g. Diaduk sambil dipanaskan hingga urea, gula, pati, dan gliserin larut. Ditambahkan asam cuka ketika larutan dingin, hingga larutan mempunyai pH 4. Dimasukkan ke dalam wadah yang telah disterilisasi. Diinokulasi dengan starter Acetobacter xylinum sebanyak 80 ml. Difermentasikan selama 14 hari dalam ruangan pada suhu kamar

hingga terbentuk lapisan putih diatasnya.

3.2.4 Pembuatan edible film dari nata de coco

(56)

3.3 Parameter yang diamati

3.3.1 Pengukuran ketebalan nata de coco

Dilakukan pengukuran ketebalan edible film dari nata de coco dengan menggunakan jangka sorong pada empat tempat yang berbeda kemudian dihitung ketebalan rata-rata nata.

3.3.2 Penentuan kadar protein

Edible film dari nata de coco ditimbang sebanyak 1 g dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldhal

100 ml. Tambahkan 2 g selenium dan 25 ml H2SO4 pekat. Dipanaskan di atas pemanas listrik atau api pembakar sampai mendidih dan larutan menjadi jernih kehijau-hijauan (sekitar 2 jam). Dibiarkan dingin, kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml dan diencerkan dengan aquadest hingga garis tanda. Dipipet 5 ml larutan dan dimasukkan ke dalam alat penyuling, ditambahkan 5 ml NaOH 40% dan 1 – 2 tetes indikator campuran. Disuling selama lebih kurang 10 menit. Ditampung NH3 di dalam gelas erlenmeyer yang berisi 10 ml larutan borat 4 % yang telah dicampur indicator Toshiro. Bilas ujung pendingin dengan aquadest. Titrasi dengan larutan HCl 0,01 N.

(57)

Tabel 3.1 Faktor konfersi (f.k) untuk beberapa bahan

( Sudarmadji, 1991 )

3.3.3 Uji Organoleptis terhadap edible film dari nata de coco

Uji organoleptik adalah penilaian menggunakan indera, penilaian menggunakan kemampuan sensorik. Salah satu cara pengujian organoleptik adalah dengan metode uji penyicipan. Uji penyicipan menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat atau kualitas suatu bahan yang menyebabkan orang menyenangi. Pada uji penyicipan dapat dilakukan dengan menggunakan panelis yang memenuhi syarat (tidak merokok dan tidak minum minuman keras). Dalam kelompok uji penyicipan ini termasuk uji kesukaan (hedonik).

Pada uji hedonik, panelis dimintakan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya ketidaksukaan. Di samping panelis mengemukakan tanggapan senang, suka atau kebalikannya, mereka juga mengemukakan tingkat kesukaannya. Tingkat-tingkat kesukaan ini disebut skala hedonik (lampiran 1). Dalam penganalisaan, skala hedonik ditransformasi menjadi skala numerik menurut tingkat kesukaan. Dengan data numerik ini dapat dilakukan analisis-analisis statistik (Soekarto, 1981).

Macam bahan Faktor konversi

Bir, Sirup, biji-bijian, ragi 6,25 Buah-buahan, teh, anggur, malt 6,25

Makanan ternak 6,25

Beras 5,95

Roti, gandum, makaroni, mie 5,70

Kacang tanah 5,46

Kedelai 5,75

Kenari 5,18

Susu 6,38

(58)

3.3.4 Uji Ketahanan

Pengujian ketahanan adalah penentuan berapa lama edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan menjadi pengemas bumbu mie instan berdasarkan hasil uji organoleptik dengan interval waktu satu bulan selama masa penyimpanan tiga bulan.

(59)

3.3 Bagan penelitian

3.4.1 Pembuatan starter air kelapa

Larutan asam bergula

Ditambahkan 50 g gula pasir

Ditambahkan 2,5 g urea

Dipanaskan sambil diaduk hingga larut

Disaring

Residu/kotoran filtrat

500 ml air kelapa

Dituangkan ke dalam wadah fermentasi yang telah disterilkan dalam keadaan panas

Didinginkan

Ditambahkan 50 ml starter

Acetobacter xylinum

Diinkubasi pada suhu kamar selama ± 14 hari

Hasil

Ditambahkan CH3COOH(l)

(60)

3.4.2 Pembuatan edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan

Ditambahkan 80 g gula pasir

Ditambahkan 20 g pati

Larutan asam bergula Disaring

Residu/kotoran filtrat

800 ml air kelapa

Nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, kitosan

Dituangkan ke dalam wadah fermentasi yang telah disterilkan dalam keadaan panas

Didinginkan

Ditambahkan 80 ml starter

Acetobacter xylinum

Di press dengan alat hydraulic press Ditambahkan 4 g urea

Dipanaskan sambil diaduk Ditambahkan 1,2 g kitosan

Ditambahkan 40 ml gliserin Ditambahkan 80 g gula pasir Disaring

Residu/kotoran filtrat

(61)

3.4.3 Penentuan kadar protein

Dibilas ujung pendingin dengan aquadest

Dititrasi dengan larutan HCl 0,1 N

Dihitung % N Destilat dalam asam borat 2 %

Larutan ungu

Hasil

Ditunggu sampai larutan dingin

Dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml dan diencerkan

dengan aquadest

Dipipet 50 ml larutan yang telah diencerkan dan

dimasukkan kedalam alat destilasi

Ditambahkan 50 ml NaOH 40 %

Didestilasi selama lebih kurang 10 menit

Ditampung destilat di dalam 10 ml larutan asam borat 4 %

yang telah dicampur dengan indikator Toshiro

Dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml

Ditambahkan 2 g campuran selenium dan 25 ml H2SO4(p)

Dipanaskan diatas pemanas listrik atau api pembakar

sampai mendidih dan larutan menjadi jernih

kehijau-hijauan

(62)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Pengaruh lama penyimpanan terhadap kadar protein edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan ditunjukkan pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Data hasil penentuan kadar protein edible film selama penyimpanan tiga bulan

Bulan Berat sampel (g) Kadar Protein

(%)

Kondisi awal 1,9957 2,0430

I 2,0159 1,8735

II 2,1131 1,7977

(63)

4.2 Perhitungan

4.2.1 Penentuan ketebalan

Penentuan ketebalan pada nata de coco dengan penambahan pati, kitosan, gliserin dapat dihitung dengan menggunakan jangka sorong dan dihitung pada tiga sisi yang berbeda. Adapun perhitungan ketebalan rata-rata nata:

Uji ketebalan ( A1 ) = 0,5 cm

Uji ketebalan ( A2 ) = 0,6 cm

Uji ketebalan ( A3 ) = 0,6 cm

Uji ketebalan rata-rata =

= 0,5667 cm

Penentuan ketebalan pada edible film berbahan dasar nata de coco dengan penambahan pati, kitosan, gliserin dapat dihitung dengan menggunakan jangka sorong dan dihitung pada tiga sisi yang berbeda. Adapun perhitungan ketebalan rata-rata nata:

Uji ketebalan ( A1 ) = 0,02 mm

Uji ketebalan ( A2 ) = 0,03 mm

Uji ketebalan ( A3 ) = 0,03 mm

Uji ketebalan rata-rata =

= 0,0267 mm

(64)

Penentuan kadar protein pada edible film berbahan dasar nata de coco dengan penambahan pati, kitosan, gliserin dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :

Kadar protein = x 100%

Keterangan :

VHCl : Volume HCl yang digunakan (ml) NHCl : Normalitas HCl yang digunakan (N) f.k : Faktor konversi

f.p : Faktor pengenceran (250 ml : 50 ml)

(65)

4.2.3 Organoleptik edible film dari nata de coco selama penyimpanan tiga bulan

Data hasil organoleptik edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan ditunjukkan pada grafik di bawah ini.

Grafik 1. Data organoleptik tekstur edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan Selama penyimpanan tiga bulan

(66)

Grafik 3. Data organoleptik rasa edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan Selama penyimpanan tiga bulan

(67)

Keterangan grafik: X : skala hedonik Y : Panelis

4.3 Pembahasan

4.3.1 Pengaruh penambahan pati, gliserin, dan kitosan terhadap kadar protein edible film dari nata de coco selama penyimpanan tiga bulan

Kadar protein yang diperoleh pada edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan pada kondisi awal sebesar 2,0430 %, pada bulan pertama sebesar 1,8735 %, pada bulan kedua 1,7977 %, dan pada bulan ketiga 1,4033 %. Protein yang diperoleh dari kandungan protein yang ada pada air kelapa ditambah dengan kitosan yang ditambahkan ke dalam nata de coco yang akan dijadikan edible film. Kadar protein ini dapat dipengaruhi oleh suhu, pH dan kelembaban udara tempat penyimpanan. Kadar protein yang terkandung dalam edible film dalam penyimpanan tiga bulan mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh

pemanasan di dalam oven pada suhu 550C dan pH pada bumbu mie instan yang menyebabkan terjadi denaturasi protein edible film.

4.3.2 Pengaruh penambahan pati, gliserin, dan kitosan terhadap organoleptik edible film dari nata de coco selama penyimpanan tiga bulan

(68)

film dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan lebih disukai panelis karena aromanya yang lebih dapat diterima, diperlihatkan pada lampiran 2.

Penyimpanan edible film pada bulan pertama dan kedua, tekstur, warna dan aroma edible film tersebut belum mengalami perubahan dan masih disukai oleh panelis, diperlihatkan pada

lampiran 3, 4, 6, dan 7. Tetapi penyimpanan edible film pada bulan ketiga terjadi perubahan di mana tekstur edible film sedikit lembab dan aromanya sedikit bau, diperlihatkan pada lampiran 8 .

4.3.3 Fungsi bahan tambahan

(69)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh kesimpulan :

1. Pengaruh lama penyimpanan terhadap kadar protein edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan sebagai pengemas bumbu mie instan yaitu pada bulan pertama sebesar 1,8735 %, pada bulan kedua 1,7977 %, dan pada bulan ketiga 1,4033%.

2. Edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin, dan kitosan sebagai pengemas bumbu mie instan pada penyimpanan berdasarkan hasil uji oragnoleptik dua bulan masih baik.

5.2 Saran

(70)

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Aspinall. 1970. Edible Coating and Film to Improve Food Quality. USA: Technomic Publishing, Inc.

Atih, S. H. 1979. Pengolahan Air Kelapa. Buletin Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia. Bogor: Penelitian Kimia Bogor.

Bardant, T. dan Dewi, C. 2007. Kemasan yang Dapat Dimakan

Diakses pada tanggal 6 November 2010.

Biamenta, E. 2010. Pembuatan Edible Film dari Nata de Coco dengan Penambahan Pati, Gliserin, dan Kitosan. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Budiyanto, K. A. 2004. Mikrobiologi Terapan. Edisi Pertama. Cetakan Ketiga. Malang: UMM Press.

Daulay, M. A. 2003. Studi Pengaruh Penambahan Stater dan Lama Fermentasi Terhadap Pembuatan Nata De Aloe Vera (Lidah Buaya). Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Fessenden, R. J. dan Fessenden, J. S. 1986. Kimia Organik. Edisi Ketiga. Jilid Kedua. Jakarta: Erlangga.

Gontard, N., Guilbert, S., dan Cuq, J. L. 1993. Water and Glyserol as Plasticizer Affect Mechanical and Water Barrier Properties at an Edible Wheat Gluten Film. USA: J. Food Science.

Hart, H. 2003. Kimia Organik. Edisi Kesebelas. Jakarta: Erlangga.

Hidayat, N. 2006. Mikrobiologi Industri. Yogyakarta: C. V. Andi Offset.

Jellinek, E. 1985. Hedonic Scale Test. New Jersey: Mc Graw Hill, Inc.

(71)

Julianti, E. dan Nurminah, M. 2007. Buku Ajar Teknologi Pengemasan. Http://

Krochta and De Mulder, J. 1997. Edible and Biodegradable Polymers Film: Changes and Opportunities. Lancester: Technomic Publisher. Co. Inc.

Krochta, J. M. 1994. Edible Coating and Film to Improve Food Quality. Lancester: Technomis Publisher. Co. Inc.

Mandel. 2004. Capability of Acetobacter Xylinum to Convert Celluose. New York: McGraw Hill, Inc.

Manskaya, S. M. 1968. Geochemistry of Organicc Substance. Moscow: A.V. USSr.

McHugh, T. H. and Sanesi, E. 2000. A Novel Method to Improve The Quality and Extend The Shelf Life of Fresh-Cut Apples. J. Food Sci. Cambridge: Food Technology Publisher. Co. Inc.

Mckane, L. dan Judy, K. 1996. Microbiology Essentials and Applications. Second Edition. New York: McGraw Hill, Inc.

Minner, C. S. 1953. Glyserol. New York: Reinhold Publishing Corporation.

Moss, M. O. 1995. Food Microbiology. Cambridge: Royal Society of Chemistry.

Nurul. 2007. Pengaruh penambahan variasi massa pati pada pembuatan nata de coco dalam medium fermentasi bakteri Acetobacter xylinum. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Palungkun, R. 1992. Aneka Produk Olahan Kelapa. Cetakan Ketujuh. Jakarta: Penebar Swadaya.

Pambayun, R. 2002. Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Yogyakarta: Kanisius.

Pardosi, D. 2008. Pembuatan Material Selulosa Bakteri dalam Medium Air Kelapa Melalui Penambahan Sukrosa, Kitosan, dan Gliserol Menggunakan Acetobacter Xylinum. Tesis. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Pelczar dan Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Cetakan Pertama. Jilid Kedua. Jakarta: UI-Press.

Poedjiadi. A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi Industri I. Jakarta: Arean.

(72)

Soekarto, S. T. 1981. Penilaian Organileptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Sugita, P. 2009. Kitosan: Sumber Biomaterial Masa Depan. Bogor. IPB-Press. Sudarmadji, S. 1992. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Jakarta: Erlangga.

Suhardiman, P. 1999. Bertanam Kelapa Hibrida. Jakarta: Penebar Swadaya.

Tampubolon, L. 2008. Pembuatan Material Selulosa-Kitosan Bakteri dalam Medium Air Kelapa dengan Penambahan Pati dan Kitosan Menggunakan Acetobacter Xylinum. Tesis. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Wahyudi. 2003. Panduan Diklat Memproduksi Nata de Coco. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan Nasional.

(73)
(74)

Lampiran 1. Skala uji hedonik edible film dari nata de coco dengan penambahan pati, gliserin dan kitosan (Jellinek, 1985)

Skala Hedonik Skala Numerik

Amat sangat suka 5

Sangat suka 4

Suka 3

Kurang suka 2

Tidak suka 1

Gambar

Tabel 2.1 Perbandingan komposisi air kelapa muda dengan air kelapa tua
Gambar 2.1 Struktur Selulosa
Gambar 2.2 Acetobacter xylinum
Gambar 2.3 Tahap – tahap pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum dalam kondisi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian karakterisasi edible film dari ekstrak kulit manggis dengan penambahan tepung tapioka, kitosan dan gliserin yang telah dilakukan, diperoleh

Menurut Sumariah (2014) yang berjudul “Karakterisasi Edible Film Dari Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L) dengan Penambahan Tepung Tapioka, Kitosan Dan Gliserin

Judul : Karakterisasi Edible Film Dari Tepung Tapioka, Kitosan Dan Gliserin Dengan Penambahan Ekstrak Buah Nanas (Ananas comosus(L) Merr) Sebagai Pembungkus Kue Lapis.. Kategori

Telah dilakukan penelitian dan aplikasi edible film dari ekstrak buah nanas (Ananas Comosus(L) Merr) dengan penambahan tepung tapioka, kitosan dan gliserin sebagai

Menurut Sumariah (2014) yang berjudul “Karakterisasi Edible Film Dari Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L) dengan Penambahan Tepung Tapioka, Kitosan Dan Gliserin

Karakterisasi Edible Film Dari Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L) dengan Penambahan Tepung Tapioka, Kitosan Dan Gliserin Sebagai Pemlastis“.. Medan : Universitas Sumatera

Telah dilakukan penelitian pembuatan dan aplikasi edible film dari pati biji nangka ( Arthocapus Heterophyllus ) dengan penambahan tepung tapioka, kitosan, dan gliserin

Dengan berkembangnya pengolahan edible film berbahan baku bioselulosa dari nata de coco akan berdampak pada berkurangnya pemanfaatan bahan kemasan yang tidak ramah