i
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Efektivitas Komunikasi Masyarakat dalam Memanfaatkan Pertunjukan Wayang Purwa di Era Globalisasi: Kasus Desa Bedoyo, Gunung Kidul, Yogyakarta adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2008
ii
NURTRIANA RIZKAWATI. Effectiveness of “Wayang Purwa” to Communicate to the Society in The Era of Globalization (case: Countryside of Bedoyo, Gunung Kidul, Yogyakarta). Under direction of Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS and Dr. drh. Widiyanto Dwi Surya, M.Sc.
This research aimed to analyze the effectiveness of “Wayang Purwa” to communicate to the society in the era of globalization. The analysis designed to reveal the individual characteristics who watch “Wayang Purwa” show, the characteristics of “Wayang Purwa” show, the effectiveness using “Wayang Purwa” to communicate with the society, the relationships between individual characters with “Wayang Purwa” performance, and the relationships between “Wayang Purwa” performance with the communication effectiveness to the society especially at Desa Bedoyo, Gunung Kidul, Yogyakarta in environmental cleanness issues. Respondents (79 sample) were selected by simple randomize sampling, the survey was designed with statistically correlation descriptive model and the statistic analysis was conducted using descriptive analysis rank Tau Kendall and chi square. This research revealed: Individual characteristics have a significant correlation with the “Wayang Purwa” performance, i.e. (1) ages with main character, (2) education level with Dalang-Audience interaction, (3) job with main character and main conflict, and also very significant in (1) education level with topics, main character, and main conflict, (2) income with topics, main character, and main conflict, (3) TV watch rate with Dalang-Audience correlation, main character, topics and main conflict. Respondent individual characters has a significant correlation with them i.e. gender with knowledge and very significant correlation with the effectiveness of using “Wayang Purwa” to communicate with them i.e. (1) education level with communication effectiveness (2) job with society attitude (3) income with communication effectiveness (4) TV watch rate with communication effectiveness. “Wayang Purwa” performance characters have a very significant correlation with the society communication effectiveness.
iii
Memanfaatkan Pertunjukan Wayang Purwa di Era Globalisasi (Kasus: Desa Bedoyo, Gunung Kidul, Yogyakarta). Dibimbing oleh: Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS dan Dr. drh. Widiyanto Dwi Surya, M.Sc.
Dewasa ini di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, telah terjadi proses modernisasi. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menggeser tata nilai itu, terjadi pula proses transformasi nilai (budaya). Seiring dengan upaya bangsa Indonesia untuk memajukan diri melalui pembangunan nasional, terjadi proses globalisasi di dunia yang mengarah pada pembauran dalam hampir segala aspek kehidupan manusia yang secara tidak langsung juga mempengaruhi bidang informasi dan komunikasi.
Wayang dipercaya mempunyai nilai-nilai universal, selain memuat hampir seluruh unsur seni yang dimiliki masyarakat Jawa. Dalam perkembangan terakhir telah teruji bahwa wayang menyimpan nilai-kaji yang multi-disipliner, memuat beragam fenomena disiplin ilmu terutama sosio-humaniora. Dalam masyarakat Jawa, wayang bukan hanya sebagai bentuk seni pertunjukan, hiburan atau kesenian rakyat melainkan telah menjadi bagian habitus (komunal) dalam kehidupan sosial, religius bahkan mistik. Wayang mempunyai posisi penting sebagai penterjemah wewayangan (gambaran) kehidupan universal yang diangkat dalam bahasa panggung untuk memberi nilai segar bagi kehidupan masyarakat.
Tradisi bersih desa telah mendarah daging dalam masyarakat Jawa pedesaan, hampir setiap wilayah menyelenggarakannya. Masyarakat selalu menyepakati secara aklamasi ketika dilakukan rencana bersih desa. Hal ini selalu didorong oleh asumsi bahwa dengan cara gotong royong menjalankan bersih desa kelak akan mendapatkan keselamatan hidup.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis efektivitas komunikasi dalam pertunjukan wayang purwa di era globalisasi. Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui karakteristik individu masyarakat di Desa Bedoyo yang menyaksikan pertunjukan wayang purwa, (2) mengetahui karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo, (3) mengetahui tingkat efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa dalam pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo, (4) menganalisis hubungan karakteristik individu masyarakat dengan karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo, (5) menganalisis hubungan karakteristik individu masyarakat dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo dan (6) menganalisis hubungan karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang berih desa di Desa Bedoyo.
vi Oleh:
NURTRIANA RIZKAWATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
iv
sebagian besar responden (40,5%) berumur 21-32 tahun, jenis kelamin laki-laki 55,7%, pendidikan 44,3% berada pada jenjang Sekolah Lanjutan, bekerja di sektor non formal (40,5%), pendapatan 43% kurang dari Rp. 600.000,00 per bulan tergolong dalam kurang mapan sosial ekonominya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan perilaku komunikasi responden dalam menonton televisi secara keseluruhan dapat dikatakan tinggi (77,2%) berkisar antara enam sampai dengan tujuh hari dalam seminggu, mendengarkan radio sangat tinggi berkisar antara enam sampai dengan tujuh hari (48,1%), sedangkan membaca koran tergolong rendah berkisar antara tiga sampai dengan empat hari dalam seminggu (51,9%). (2) Karakteristik pertunjukan wayang purwa berdasarkan: rataan skor 3,34 hubungan dalang dengan penonton dalam pertunjukan wayang purwa bersifat netral. Hubungan dalang dengan penonton termasuk berada dalam hal terpenting yang terakhir dalam pertunjukan wayang purwa. Tokoh pelaku dalam pertunjukan wayang purwa dengan tema bersih desa berada dengan skor 3,40 dan dalam selang netral. Hal ini menggambarkan bahwa tokoh pelaku memiliki kedudukan yang cukup penting dalam pertunjukan wayang purwa. Tema serta masalah pokok memperoleh skor 3,39 dan berada dalam selang netral. (3) Tingkat efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa: sikap responden dalam pola kehidupannya dengan skor 3,51 yang termasuk dalam selang positif. Pengetahuan yang diperoleh melalui pertunjukan wayang purwa termasuk dalam selang netral dengan rataan skor 3,37. (4) Hubungan karakteristik individu masyarakat dengan karakteristik pertunjukan wayang purwa berhubungan nyata dengan karakteristik pertunjukan wayang purwa, antara lain (a) umur dengan tokoh pelaku, (b) pendidikan dengan hubungan dalang dengan penonton, tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok, (c) pekerjaan dengan tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok, (d) pendapatan dengan tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok, (e) menonton televisi dengan hubungan dalang dengan penonton, tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok. (5) Hubungan karakteristik individu masyarakat dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa yang berhubungan nyata antara lain: jenis kelamin dengan pengetahuan dan berhubungan sangat nyata, antara lain: (a) pendidikan dengan efektivitas komunikasi masyarakat, (b) pekerjaan dengan sikap masyarakat, (c) pendapatan dengan efektivitas komunikasi masyarakat dan (d) menonton televisi dengan efektivitas komunikasi masyarakat. (6) Hubungan karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan efektivitas komunikasi masyarakat secara keseluruhan berhubungan nyata.
Disimpulkan bahwa pertunjukan wayang purwa salah satu media yang masih digunakan di era globalisasi untuk mencapai komunikasi yang efektif dan masih dimanfaatkan masyarakat dalam mengkomunikasikan pesan yang berkenaan dengan bersih desa.
Disarankan dalang harus mampu mewadahi dalam bentuk kemasan pakeliran yang sesuai dengan pakem yang ada, sehingga tidak menggeser nilai-nilai yang berkembang di era globalisasi.
v
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
vii Nama : Nurtriana Rizkawati
NIM : I 353060101
Program Studi : Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. H.Amiruddin Saleh, MS Dr. drh. Widiyanto Dwi Surya, MSc Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan
Komunikasi Pembangunan Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB dan Pedesaan
Prof. Dr. Ir. H. Sumardjo, MS Prof. Dr. Ir. H. Khairil A. Notodiputro, MS
viii
ix
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan karunia – Nya kepada penulis sehingga Tesis ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya sesuai dengan harapan dan keinginan penulis.
Tesis yang berjudul “ Efektivitas Komunikasi Masyarakat dalam Memanfaatkan Pertunjukan Wayang Purwa Di Era Globalisasi, Kasus di Desa Bedoyo, Gunung Kidul, Yogyakarta” ini disusun untuk memenuhi tugas akhir dalam usaha mencapai gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan.
Selesainya penulisan Tesis ini tidak terlepas dari bimbingan, perhatian dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan rasa hormat yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak, sebagai berikut:
1. Dr. Ir. H. Amiruddin Saleh, MS selaku Pembimbing I yang senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk kepada penulis dengan penuh kesabaran. 2. Dr. drh. Widiyanto Dwi Surya, MSc selaku Pembimbing II yang selalu
memberikan arahan dan bimbingan yang bersifat membangun.
3. Ibu Dra. Krishnarini Matindas, MS selaku penguji yang telah memberikan waktu serta bimbingannya dalam tesis ini menjadi lebih baik.
4. Segenap dosen dan administrasi pada program studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dan Sekolah Pascasarjana pada umumnya yang telah memberikan kemudahan dalam pengurusan surat-menyurat.
5. Bapak Reki sekeluarga selaku dalang yang telah bersedia membantu serta memberikan informasi terkait dengan efektivitas komunikasi masyarakat dalam memanfaatkan pertunjukan wayang purwa di era globalisasi terkait pesan bersih desa.
6. Kepala Desa Bedoyo beserta staf, yang dengan setia melayani penulis di dalam memperoleh data yang penulis perlukan dan pelayanan yang penuh dengan rasa kekeluargaan selama penulis mengadakan penelitian di Desa Bedoyo.
x
8. Keluarga yang telah memberikan dorongan kepada penulis sampai terselesaikannya penulisan tesis ini.
9. Teman-teman yang telah membantu dalam proses evolusi yang tiada akhirnya Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari sempurna mengingat keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki. Untuk itu segala kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan Tesis ini lebih lanjut. Akhirnya besar harapan penulis agar tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi yang memerlukannya.
Bogor, 5 September 2008
i
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Efektivitas Komunikasi Masyarakat dalam Memanfaatkan Pertunjukan Wayang Purwa di Era Globalisasi: Kasus Desa Bedoyo, Gunung Kidul, Yogyakarta adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2008
ii
NURTRIANA RIZKAWATI. Effectiveness of “Wayang Purwa” to Communicate to the Society in The Era of Globalization (case: Countryside of Bedoyo, Gunung Kidul, Yogyakarta). Under direction of Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS and Dr. drh. Widiyanto Dwi Surya, M.Sc.
This research aimed to analyze the effectiveness of “Wayang Purwa” to communicate to the society in the era of globalization. The analysis designed to reveal the individual characteristics who watch “Wayang Purwa” show, the characteristics of “Wayang Purwa” show, the effectiveness using “Wayang Purwa” to communicate with the society, the relationships between individual characters with “Wayang Purwa” performance, and the relationships between “Wayang Purwa” performance with the communication effectiveness to the society especially at Desa Bedoyo, Gunung Kidul, Yogyakarta in environmental cleanness issues. Respondents (79 sample) were selected by simple randomize sampling, the survey was designed with statistically correlation descriptive model and the statistic analysis was conducted using descriptive analysis rank Tau Kendall and chi square. This research revealed: Individual characteristics have a significant correlation with the “Wayang Purwa” performance, i.e. (1) ages with main character, (2) education level with Dalang-Audience interaction, (3) job with main character and main conflict, and also very significant in (1) education level with topics, main character, and main conflict, (2) income with topics, main character, and main conflict, (3) TV watch rate with Dalang-Audience correlation, main character, topics and main conflict. Respondent individual characters has a significant correlation with them i.e. gender with knowledge and very significant correlation with the effectiveness of using “Wayang Purwa” to communicate with them i.e. (1) education level with communication effectiveness (2) job with society attitude (3) income with communication effectiveness (4) TV watch rate with communication effectiveness. “Wayang Purwa” performance characters have a very significant correlation with the society communication effectiveness.
iii
Memanfaatkan Pertunjukan Wayang Purwa di Era Globalisasi (Kasus: Desa Bedoyo, Gunung Kidul, Yogyakarta). Dibimbing oleh: Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS dan Dr. drh. Widiyanto Dwi Surya, M.Sc.
Dewasa ini di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, telah terjadi proses modernisasi. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menggeser tata nilai itu, terjadi pula proses transformasi nilai (budaya). Seiring dengan upaya bangsa Indonesia untuk memajukan diri melalui pembangunan nasional, terjadi proses globalisasi di dunia yang mengarah pada pembauran dalam hampir segala aspek kehidupan manusia yang secara tidak langsung juga mempengaruhi bidang informasi dan komunikasi.
Wayang dipercaya mempunyai nilai-nilai universal, selain memuat hampir seluruh unsur seni yang dimiliki masyarakat Jawa. Dalam perkembangan terakhir telah teruji bahwa wayang menyimpan nilai-kaji yang multi-disipliner, memuat beragam fenomena disiplin ilmu terutama sosio-humaniora. Dalam masyarakat Jawa, wayang bukan hanya sebagai bentuk seni pertunjukan, hiburan atau kesenian rakyat melainkan telah menjadi bagian habitus (komunal) dalam kehidupan sosial, religius bahkan mistik. Wayang mempunyai posisi penting sebagai penterjemah wewayangan (gambaran) kehidupan universal yang diangkat dalam bahasa panggung untuk memberi nilai segar bagi kehidupan masyarakat.
Tradisi bersih desa telah mendarah daging dalam masyarakat Jawa pedesaan, hampir setiap wilayah menyelenggarakannya. Masyarakat selalu menyepakati secara aklamasi ketika dilakukan rencana bersih desa. Hal ini selalu didorong oleh asumsi bahwa dengan cara gotong royong menjalankan bersih desa kelak akan mendapatkan keselamatan hidup.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis efektivitas komunikasi dalam pertunjukan wayang purwa di era globalisasi. Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui karakteristik individu masyarakat di Desa Bedoyo yang menyaksikan pertunjukan wayang purwa, (2) mengetahui karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo, (3) mengetahui tingkat efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa dalam pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo, (4) menganalisis hubungan karakteristik individu masyarakat dengan karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo, (5) menganalisis hubungan karakteristik individu masyarakat dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo dan (6) menganalisis hubungan karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang berih desa di Desa Bedoyo.
vi Oleh:
NURTRIANA RIZKAWATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
iv
sebagian besar responden (40,5%) berumur 21-32 tahun, jenis kelamin laki-laki 55,7%, pendidikan 44,3% berada pada jenjang Sekolah Lanjutan, bekerja di sektor non formal (40,5%), pendapatan 43% kurang dari Rp. 600.000,00 per bulan tergolong dalam kurang mapan sosial ekonominya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan perilaku komunikasi responden dalam menonton televisi secara keseluruhan dapat dikatakan tinggi (77,2%) berkisar antara enam sampai dengan tujuh hari dalam seminggu, mendengarkan radio sangat tinggi berkisar antara enam sampai dengan tujuh hari (48,1%), sedangkan membaca koran tergolong rendah berkisar antara tiga sampai dengan empat hari dalam seminggu (51,9%). (2) Karakteristik pertunjukan wayang purwa berdasarkan: rataan skor 3,34 hubungan dalang dengan penonton dalam pertunjukan wayang purwa bersifat netral. Hubungan dalang dengan penonton termasuk berada dalam hal terpenting yang terakhir dalam pertunjukan wayang purwa. Tokoh pelaku dalam pertunjukan wayang purwa dengan tema bersih desa berada dengan skor 3,40 dan dalam selang netral. Hal ini menggambarkan bahwa tokoh pelaku memiliki kedudukan yang cukup penting dalam pertunjukan wayang purwa. Tema serta masalah pokok memperoleh skor 3,39 dan berada dalam selang netral. (3) Tingkat efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa: sikap responden dalam pola kehidupannya dengan skor 3,51 yang termasuk dalam selang positif. Pengetahuan yang diperoleh melalui pertunjukan wayang purwa termasuk dalam selang netral dengan rataan skor 3,37. (4) Hubungan karakteristik individu masyarakat dengan karakteristik pertunjukan wayang purwa berhubungan nyata dengan karakteristik pertunjukan wayang purwa, antara lain (a) umur dengan tokoh pelaku, (b) pendidikan dengan hubungan dalang dengan penonton, tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok, (c) pekerjaan dengan tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok, (d) pendapatan dengan tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok, (e) menonton televisi dengan hubungan dalang dengan penonton, tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok. (5) Hubungan karakteristik individu masyarakat dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa yang berhubungan nyata antara lain: jenis kelamin dengan pengetahuan dan berhubungan sangat nyata, antara lain: (a) pendidikan dengan efektivitas komunikasi masyarakat, (b) pekerjaan dengan sikap masyarakat, (c) pendapatan dengan efektivitas komunikasi masyarakat dan (d) menonton televisi dengan efektivitas komunikasi masyarakat. (6) Hubungan karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan efektivitas komunikasi masyarakat secara keseluruhan berhubungan nyata.
Disimpulkan bahwa pertunjukan wayang purwa salah satu media yang masih digunakan di era globalisasi untuk mencapai komunikasi yang efektif dan masih dimanfaatkan masyarakat dalam mengkomunikasikan pesan yang berkenaan dengan bersih desa.
Disarankan dalang harus mampu mewadahi dalam bentuk kemasan pakeliran yang sesuai dengan pakem yang ada, sehingga tidak menggeser nilai-nilai yang berkembang di era globalisasi.
v
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
vii Nama : Nurtriana Rizkawati
NIM : I 353060101
Program Studi : Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. H.Amiruddin Saleh, MS Dr. drh. Widiyanto Dwi Surya, MSc Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan
Komunikasi Pembangunan Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB dan Pedesaan
Prof. Dr. Ir. H. Sumardjo, MS Prof. Dr. Ir. H. Khairil A. Notodiputro, MS
viii
ix
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan karunia – Nya kepada penulis sehingga Tesis ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya sesuai dengan harapan dan keinginan penulis.
Tesis yang berjudul “ Efektivitas Komunikasi Masyarakat dalam Memanfaatkan Pertunjukan Wayang Purwa Di Era Globalisasi, Kasus di Desa Bedoyo, Gunung Kidul, Yogyakarta” ini disusun untuk memenuhi tugas akhir dalam usaha mencapai gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan.
Selesainya penulisan Tesis ini tidak terlepas dari bimbingan, perhatian dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan rasa hormat yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak, sebagai berikut:
1. Dr. Ir. H. Amiruddin Saleh, MS selaku Pembimbing I yang senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk kepada penulis dengan penuh kesabaran. 2. Dr. drh. Widiyanto Dwi Surya, MSc selaku Pembimbing II yang selalu
memberikan arahan dan bimbingan yang bersifat membangun.
3. Ibu Dra. Krishnarini Matindas, MS selaku penguji yang telah memberikan waktu serta bimbingannya dalam tesis ini menjadi lebih baik.
4. Segenap dosen dan administrasi pada program studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dan Sekolah Pascasarjana pada umumnya yang telah memberikan kemudahan dalam pengurusan surat-menyurat.
5. Bapak Reki sekeluarga selaku dalang yang telah bersedia membantu serta memberikan informasi terkait dengan efektivitas komunikasi masyarakat dalam memanfaatkan pertunjukan wayang purwa di era globalisasi terkait pesan bersih desa.
6. Kepala Desa Bedoyo beserta staf, yang dengan setia melayani penulis di dalam memperoleh data yang penulis perlukan dan pelayanan yang penuh dengan rasa kekeluargaan selama penulis mengadakan penelitian di Desa Bedoyo.
x
8. Keluarga yang telah memberikan dorongan kepada penulis sampai terselesaikannya penulisan tesis ini.
9. Teman-teman yang telah membantu dalam proses evolusi yang tiada akhirnya Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari sempurna mengingat keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki. Untuk itu segala kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan Tesis ini lebih lanjut. Akhirnya besar harapan penulis agar tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi yang memerlukannya.
Bogor, 5 September 2008
xi
Penulis dilahirkan di Jakarta Selatan, Kelurahan Cikoko, Kecamatan Pancoran, Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1984, merupakan anak bungsu dari pasangan Basri Jatoko (Bapak) dengan Silvia Nurlaila (Ibu).
Mulai masuk sekolah dasar tahun 1990 di SD Muhammadiyah 06 pagi Jakarta Selatan dan tamat pada bulan Juni 1996. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan ke SMPN 73 Jakarta Selatan. Pada tahun 1998 pindah ke SMPN 81 Jakarta Timur, dikarenakan pindahnya tempat tinggal ke Jakarta Timur, berhasil tamat bulan Juni 1999 kemudian melanjutkan ke sekolah SMAN 113 Jakarta Timur, mengambil jurusan ilmu pengetahuan alam dan berhasil tamat bulan Juni 2002.
xiii
xiv
Halaman
1. Populasi masyarakat Desa Bedoyo, Gunung Kidul, DIY ... 57 2. Jumlah contoh penelitian masyarakat Desa Bedoyo, Gunung Kidul, DIY ... 58 3. Distribusi luas tanah menurut penggunaannya di Desa Bedoyo ... 65 4. Distribusi responden masyarakat Desa Bedoyo berdasarkan karakteristik
individu ... 70 5. Rataan skor pendapat responden tentang karakteristik pertunjukan wayang
purwa di Desa Bedoyo ... 84 6. Rataan skor pendapat responden tentang tingkat efektivitas komunikasi
masyarakat mengenai bersih desa dalam memanfaatkan pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo ... 90 7. Hubungan karakteristik individu dengan karakteristik pertunjukan wayang
purwa di Desa Bedoyo ... 93 8. Hubungan karakteristik individu dengan efektivitas komunikasi masyarakat
tentang bersih desa di Desa Bedoyo ... 99 9. Hubungan karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan efektivitas
xv
Halaman
1. Hubungan peubah bebas dan terikat pada kerangka analisis efektivitas komunikasi masyarakat dalam memanfaatkan pertunjukan wayang purwa di era globalisasi ... 10 2. Distribusi responden berdasarkan umur di Desa Bedoyo, Gunung Kidul,
DIY... 71 3. Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin di Desa Bedoyo, Gunung
Kidul, DIY ... 72 4. Distribusi responden berdasarkan pendidikan di Desa Bedoyo, Gunung
Kidul, DIY ... 73 5. Distribusi responden berdasarkan pekerjaan di Desa Bedoyo, Gunung
Kidul, DIY ... 74 6. Distribusi responden berdasarkan pendapatan per bulan di Desa Bedoyo,
Gunung Kidul, DIY ... 75 7. Distribusi responden berdasarkan perilaku komunikasi dalam menonton
xvi
Halaman
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dewasa ini di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk
Indonesia, telah terjadi proses modernisasi. Era modernisasi ini ditandai dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan cenderung mulai ditinggalkannya
tata nilai yang telah lama berakar dalam alam pikir masyarakat pendukungnya.
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menggeser tata nilai itu,
terjadi pula proses transformasi nilai (budaya).
Istilah “negara yang sedang berkembang,” di samping mencangkup
pengertian proses pengintegrasian unsur-unsur tradisional untuk suatu solidaritas
nasional, adalah juga mencakup pengembangan hasil integrasi unsur-unsur
untuk peningkatan kesejahteraan kehidupan bangsa yang menunjang
unsur-unsur kebudayaan itu.
Kayam (1986) mengatakan bahwa transformasi nilai mengandalkan suatu
proses peralihan total dari suatu bentuk sosok baru yang akan mapan.
Transformasi sebagai tahap terakhir dari suatu perubahan yang mengarah ke era
globalisasi. Transformasi dapat dibayangkan sebagai titik balik yang cepat.
Di Indonesia sejak terbentuknya negara bangsa (nation state) pada masa
kemerdekaan telah terjadi transformasi di bidang kehidupan politik, ekonomi dan
sosial budaya. Dalam bidang politik bangsa Indonesia telah merdeka dan bebas
dari ikatan politik kolonial. Bidang ekonomi bangsa Indonesia terlepas dari
dominasi sistem ekonomi kolonial dan di bidang sosial budaya ditandai oleh
runtuhnya struktur sosial masyarakat feodal (Kartodirdjo, 1992).
Bagi Indonesia yang saat ini sedang melaksanakan pembangunan
nasional, proses transformasi itu terus berlanjut dan tidak terlepas dari elemen
kemodernan. Konsekuensi dari kemodernan ini akan diikuti pula dengan
perubahan-perubahan di bidang sosial budaya termasuk perubahan tata nilai
yang bersumber pada nilai-nilai budaya. Dalam proses kemodernan, ilmu
pengetahuan dan teknologi merupakan unsur-unsur yang dominan. Untuk
kepentingan Indonesia modern, penguasaan dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi merupakan bagian penting dalam usaha
menyukseskan pembangunan nasional (Sutrisna, 1992).
Seiring dengan upaya bangsa Indonesia untuk memajukan diri melalui
sendiri menunjuk pada pengertian pembauran atau kesamaan dalam hampir
segala aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek-aspek sosial, budaya,
ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, teknologi yang bersifat universal secara tidak
langsung juga mempengaruhi bidang informasi dan komunikasi.
Perkembangan teknologi informasi yang menuju ke arah globalisasi
komunikasi cenderung berpengaruh langsung terhadap tingkat peradaban
manusia. Kita semua menyadari bahwa perkembangan teknologi informasi pada
dekade terakhir ini bergerak sangat pesat dan telah menimbulkan dampak positif
maupun negatif terhadap tata kehidupan masyarakat di berbagai negara
(Subrata, 1992), termasuk Indonesia.
Masuknya pengaruh globalisasi informasi dan komunikasi ke Indonesia itu
tidak mungkin dihindari. Diterimanya pengaruh globalisasi informasi dan
komunikasi ini merupakan konsekuensi pasal 32 UUD 1945 yang dalam
penjelasannya menunjukan bahwa kita bangsa Indonesia tidak menolak ide-ide
baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkaya kebudayaan serta
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Wujud konkret dari maksud penjelasan pasal 32 UUD 1945 itu adalah
terjadinya kontak-kontak budaya kita dengan budaya asing. Ini merupakan suatu
kenyataan bahwa bangsa Indonesia sebagai makhluk sosial tidak dapat
menghindarkan diri dari ketertarikan terhadap bangsa lain dengan konsekuensi
menerima pengaruh globalisasi dan komunikasi yang memperkenalkan kepada
kita ilmu pengetahuan dan produk-produk teknologi termasuk teknologi informasi
yang baru.
Warisan-warisan lama yang berbentuk pengaturan kehidupan material
yang dianggap tidak mungkin bisa mengatasi tuntutan persoalan mereka yang
baru, ditinjau kembali dan diusahakan pembaharuan kemungkinan-kemungkinan.
Tanah-tanah pertanian yang menjadi sempit, penduduk yang menjadi padat,
kemampuan manusia yang makin terbatas untuk menguasai alam karena
pengetahuannya sudah tidak mencukupi lagi, kebutuhan akan diferensiasi yang
lebih jauh, peninjauan akan kemampuan bentuk pemerintahan yang baru untuk
mendorong dan “menggalakkan” perubahan dan inovasi. Semua ini tercakup
dalam proses pengembangan hasil integrasi unsur-unsur tradisional itu tadi.
Inilah yang sering disebut dengan modernisasi.
Proses tersebut bukanlah proses yang selalu berjalan lancar. Sama
yang disebut integrasi nasional. Dalam proses modernisasi ditunjukan dengan
adanya kegelisahan dan ketegangan yang terutama berhubungan langsung
dengan masalah pembaruan dalam orientasi dari nilai-nilai.
Kesenian tradisional di Indonesia tumbuh sebagai bagian dari kebudayaan
masyarakat tradisional di wilayah itu. Dengan demikian ia mengandung sifat-sifat
atau ciri-ciri yang khas dari masyarakat tradisional.
Pertama, ia memiliki jangkauan yang terbatas pada lingkungan kultur yang menunjangnya. Kedua, ia merupakan pencerminan dari satu kultur yang berkembang sangat perlahan karena dinamika masyarakat yang menunjangnya
memang demikian. Ketiga, ia merupakan bagian dari satu “kosmos” kehidupan yang bulat dan tidak terbagi dalam pengkothakan spesialisasi. Keempat, ia bukan merupakan hasil kreativitas individu tetapi tercipta bersama dengan sifat
kolektivitas masyarakat yang menunjangnya.
Pada awalnya, masyarakat Jawa berkembang dalam budaya mistik-religius
yang lambat laun mendewasakan diri dengan menyerap berbagai unsur yang
datang dari luar. Sikap masyarakat Jawa dengan struktur budaya yang terbuka
terhadap pengaruh asing cenderung membentuk pola budaya yang selalu
berkembang ke arah sintesa pluralistik. Kelenturan masyarakat Jawa dalam
menerima dan mengolah unsur pendatang dapat menciptakan bentuk-bentuk
budaya ambiguitas antara asli Jawa dan paham pendatang.
Wayang sebagai salah satu produk pendewasaan budaya Jawa terbentuk
dari nilai lokal yang diperkaya dan disempumakan dengan paham-paham
pendatang dari zaman ke zaman, hingga mampu mencapai posisi adiluhung. Wayang dipercaya mempunyai nilai-nilai universal, selain memuat hampir
seluruh unsur seni yang dimiliki masyarakat Jawa. Dalam perkembangan terakhir
telah teruji bahwa wayang menyimpan nilai-kaji yang multi-disipliner, memuat
beragam fenomena disiplin ilmu terutama sosio-humaniora.
Bagi masyarakatnya, wayang adalah sumber penilaian watak manusia,
ajaran kebenaran, cermin tingkah laku dan tingkat kedewasaan seseorang.
Nilai-nilai edukatif dalam wayang secara tidak langsung diajarkan kepada manusia
Jawa sejak dini tanpa pernah disadari pelakunya bahwa hal tersebut sebagai
proses pendidikan yang evolutif hingga akhimya disadari atau tidak, semuanya
bernaung dalam aura besar pewayangan. Fenomena kebesaran wayang telah
turun-temurun dengan sebuah pemahaman legenda bahwa manusia Jawa adalah
penerus kepahlawanan tokoh-tokoh/raja-raja besar dalam pewayangan.
Dalam masyarakat Jawa, wayang bukan hanya sebagai bentuk seni
pertunjukan, hiburan atau kesenian rakyat, melainkan telah menjadi bagian
habitus (komunal) dalam kehidupan sosial, religius, bahkan mistik. Wayang
mempunyai posisi penting sebagai penterjemah wewayangan (gambaran)
kehidupan universal yang diangkat dalam bahasa panggung untuk memberi nilai
segar bagi kehidupan masyarakat.
Wayang berkembang dalam tempo berabad-abad melewati berbagai versi,
namun fungsinya sebagai alat komunikasi tetap terjaga dan dipertahankan.
Propaganda yang terjadi di Jawa pada permulaan perkembangannya dilakukan
melalui alat-alat komunikasi tradsional (wayang, gamelan dan cerita-cerita) dan
orang Jawa “menerima dan mengembangkan” unsur-unsur modern.
Peranan seni-tradisional dalam suatu proses seperti integrasi nasional dan
modernisasi nampaknya akan lebih banyak pada unsur “synthesis.” Dalam satu
wilayah kultur seperti Indonesia di mana “dialog” dan bukan “konfrontasi” yang
nampaknya dipilih sebagai suatu “kawicaksanaan” (wisdom) utama, peranan seni tradisional akan lebih berarti pada kemampuannya untuk merangkum
unsur-unsur. Dalam proses integrasi dan modernisasi itu, secara paradoxal,
seni-tradisional bisa menjadi juru bicara yang mengaitkan unsur lama dengan unsur
baru.
Bersih desa sebagai tradisi budaya juga memuat seni spiritual. Seni
spiritual ini perlu dilihat lebih jauh dari aspek etnografi agar jelas makna dan
fungsinya. Jadi, mencermati seni dari sisi budaya bukanlah seni sebagai seni,
melainkan seni dalam konteks (Simatupang, 2005). Pendapat ini memberikan
gambaran bahwa dibalik fenomena tradisi dan seni, memuat konteks etnografi
yang menarik diperbincangkan. Hal yang menarik dari fenomena tradisi bersih
desa, dapat terkait dengan berbagai hal antara lain tempat, waktu dan pelaku
dalam rangkaian sebuah prosesi seni budaya. Atas dasar ini dapat dikatakan
bahwa dalam seni ada spiritualitas dan dalam tradisi ada seni.
Tradisi bersih desa telah mendarah daging dalam masyarakat Jawa
pedesaan, hampir setiap wilayah menyelenggarakannya. Format bersih desa dari
waktu ke waktu bisa saja berbeda atau berubah namun esensinya tetap pada
pendekatan diri pada Tuhan. Bersih desa dapat berusia panjang. Masing-masing
desa. Salah satu aktivitas bersih desa yang tergolong unik adalah fenomena
yang ada di wilayah Bedoyo. Keunikan tradisi bersih desa di wilayah ini yaitu
selalu menggunakan seni pertunjukan ritual berupa wayang kulit. Rangkaian
ritual ini telah ditata menurut laku dan aktivitas spiritual. Di dalamnya terdapat
laku mistik kejawen yang kental dengan nilai-nilai mitos.
Bersih desa yang dilaksanakan di kawasan pegunungan telah berusia
lama dan memiliki mitos yang panjang. Tradisi ini juga terdapat mitos-mitos yang
diyakini akan membawa berkah apabila dihormati melalui bersih desa dan
sebaliknya akan mendatangkan bahaya apabila masyarakat meninggalkannya.
Fenomena ritual tersebut dalam seni pertunjukan spiritual yang selalu digunakan.
Ada perasaan takut masyarakat jika bersih desa tidak melaksanakan pertunjukan
wayang kulit. Itulah sebabnya, masyarakat selalu berjuang keras agar bersih
desa tetap terselenggara meskipun dalam ekonomi yang kurang memungkinkan.
Masyarakat selalu menyepakati secara aklamasi ketika dilakukan rencana
bersih desa. Hal ini selalu didorong oleh asumsi bahwa dengan cara gotong
royong menjalankan bersih desa kelak akan mendapatkan keselamatan hidup.
Kondisi ini meneguhkan kembali pendapat Taylor (Coleman,1998) bahwa inti dari
religi adalah kepercayaan pada hal-hal spiritual. Penjelasan ini, mengisyaratkan
bahwa nilai-nilai spiritual jauh lebih penting dibanding nilai material dalam bersih
desa. Nilai-nilai spiritual tersebut menjadi penggerak batin warga masyarakat
untuk selalu mengadakan aktivitas bersih desa.
Ini semua menunjukan bahwa peranan wayang sebagai frame of reference dari simbol-simbol akan mulai berakhir dan mulai menginjak pada peranannya
yang lebih “profan” yang lebih “manusiawi” yakni sebagai drama, sebagai lakon modern. Ini artinya penonton akan melihat perwatakan tokoh-tokoh wayang serta
lakon-lakon yang mendukungnya tidak lagi sebagai tokoh-tokoh atau lakon-lakon
teladan tetapi sebagai menusia-manusia dengan sejumlah kemungkinan.
Seiring dengan adanya penetrasi pengaruh paham asing yang instant dan frontal dapat menyebabkan terjadinya pergeseran konsepsi budaya Jawa.
Akibatnya akan mengurangi daya lentur dalam melakukan filterisasi terhadap
budaya pendatang. Kondisi ini disadari sangat merisaukan kelangsungan tatanan
sosial dan perilaku budaya masyarakat Jawa. Eksistensi wayang yang mencoba
bertahan pada konsep-konsep dasar (pakem) akan semakin kehilangan daya
situasi yang penuh “tempelan" sebagai upaya mempertahankan diri agar tetap
diterima masyarakatnya.
Perumusan Masalah
Proses globalisasi informasi dan komunikasi di dunia ini melanda
negara-negara yang sedang berkembang. Bangsa Indonesia sebagai makhluk sosial
tidak dapat menghindarkan diri dari ketertarikan hubungan dengan bangsa lain
dan sebagai konsekuensinya harus menerima pengaruh globalisasi termasuk di
dalamnya teknologi.
Pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas pada hakikatnya juga
merupakan pembangunan manusia yang memiliki ketahanan sosial budaya.
Ketahanan sosial budaya adalah suatu kondisi kehidupan sosial budaya bangsa
yang dijiwai kepribadian nasional berdasarkan Pancasila yang mengandung
kemampuan membentuk dan mengembangkan kehidupan sosial budaya
manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
rukun, bersatu, cinta tanah air, berkualitas, maju dan sejahtera dalam kehidupan
serba selaras, serasi dan seimbang serta memiliki kemampuan menangkal
penetrasi budaya asing yang tidak sesuai dengan kebudayaan nasional. Sikap
bangsa Indonesia dalam menghadapi penetrasi budaya asing adalah
mempertahankan unsur-unsur yang baik dari kebudayaan sendiri dan mengambil
yang lebih baik dari kebudayaan asing tersebut.
Penyerapan unsur budaya luar dan inovasi yang muncul dari dalam akan
membuat kebudayaan yang merupakan salah satu sumber utama sistem atau
tata nilai masyarakat, berubah dan berkembang. Dinamika masyarakat
pendukungnya dalam arti pemikiran yang tidak menutup diri terhadap nilai-nilai
baru merupakan kekuatan utama dalam pengembangan setiap kebudayaan.
Salah satu pendorong dinamika masyarakat adalah media massa yang
dewasa ini telah termasuk dalam tatanan kehidupan masyarakat. Oleh
sementara pihak, media massa sering disebut the fourth estate dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian atau
gambaran umum tentang banyak hal, media massa mempunyai kemampuan
untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik. Oleh
karena itu, media massa juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan
atas suatu kepentingan atau citra yang dipresentasikan untuk dilaksanakan
Pertunjukan wayang telah menjadi bagian dari kebutuhan hidup sebagian
masyarakat namun penggunaannya tampak masih selektif dan diskriminatif.
Pada umumnya warga masyarakat berpendidikan tertentu atau berkondisi sosial
tertentu berkepentingan untuk menikmati pertunjukan wayang. Padahal
pertunjukan wayang itu sendiri sebagai media komunikasi tradisional yang
memiliki daya ampuh sebagai penangkal terhadap melandanya ekses-ekses
gaya hidup dan budaya asing. Sehingga perlunya dilestarikan secara konseptual
dengan menggugah apresiasi generasi muda seraya tetap ajeg pada nilai-nilai
luhur yang dimilikinya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa penyaluran pesan melalui pertunjukan
wayang sedikit banyak berdampak pada perubahan pengetahuan, sikap dan
keterampilan masyarakat yang secara tidak langsung terjadinya proses
pembinaan dan pengembangan sejumlah unsur kebudayaan masyarakat
setempat.
Bertolak dari pemikiran di atas, penelitian ini ingin melihat efektivitas
komunikasi dalam pertunjukan wayang purwa di era globalisasi untuk
mengetahui hubungan di antara gejala-gejala sosial dan bentuk dari hubungan
tersebut. Karenanya pertanyaan-pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai
berikut:
1. Seperti apa karakteristik individu masyarakat di Desa Bedoyo yang
menyaksikan pertunjukan wayang purwa?
2. Seperti apa karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo?
3. Sejauh mana tingkat efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa
dalam pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo?
4. Sejauh mana hubungan karakteristik individu masyarakat dengan
karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo?
5. Sejauh mana hubungan karakteristik individu masyarakat dengan efektivitas
komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo?
6. Sejauh mana hubungan karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan
efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis efektivitas
komunikasi dalam pertunjukan wayang purwa di era globalisasi. Secara spesifik
1. Mengetahui karakteristik individu masyarakat di Desa Bedoyo yang
menyaksikan pertunjukan wayang purwa.
2. Mengetahui karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo.
3. Mengetahui tingkat efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa
dalam pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo.
4. Mengetahui hubungan karakteristik individu masyarakat dengan karakteristik
pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo.
5. Mengetahui hubungan karakteristik individu masyarakat dengan efektivitas
komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo.
6. Mengetahui hubungan karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan
efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini secara umum diharapkan dapat menambah pengetahuan di
bidang komunikasi pembangunan. Manfaat penelitian ini apabila diuraikan
secara rinci dapat dibagi dua, yaitu manfaat penelitian secara teoritis dan
manfaat penelitian secara praktis. Adapun uraiannya sebagai berikut:
1. Dengan dilaksanakannya penelitian ini diharapkan dapat diperoleh suatu
konsep, yang mana aplikasi dari konsep tersebut dapat bermanfaat untuk
pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu komunikasi
pertanian dan pedesaan pada khususnya serta bagi para peneliti yang
melakukan penelitian sejenis.
2. Dalam hal kegunaan praktis, diharapkan penelitian ini bermanfaat untuk
bidang ilmu yang terkait dan bisa diaplikasikan dalam lingkungan
masyarakat.
3. Memberikan masukan bagi masyarakat dalam pelestarian tata nilai budaya
yang menjadi akar tradisional bangsa Indonesia.
4. Dari penelitian ini diharapkan dapat dilakukan penelitian lanjutan yang dapat
dilaksanakan oleh peneliti lain dengan bidang konsentrasi yang berbeda.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup wilayah kajian penelitian ini meliputi tujuh dusun dari
sembilan dusun yang terdapat di Desa Bedoyo, Kecamatan Ponjong, Gunung
Kidul, Yogyakarta yang terdiri dari: Ngalasombo, Ngrombo, Bedoyo Kulon,
Ruang lingkup peubah yang dibahas terbatas pada dua peubah. Pertama, peubah bebas yaitu karakteristik individu dan pertunjukan wayang purwa.
Peubah karakteristik individu terdiri dari enam peubah, yaitu: (1) umur, (2) jenis
kelamin, (3) tingkat pendidikan, (4) pekerjaan, (5) tingkat pendapatan dan (6)
perilaku komunikasi. Peubah pertunjukan wayang purwa terdiri dari tiga indikator,
yaitu: (1) hubungan antara dalang dengan penonton, (2) tokoh pelaku dan (3)
tema serta masalah pokok. Kedua, peubah terikat, yaitu efektivitas komunikasi masyarakat mengenai informasi bersih desa yang dilihat dari dua indikator, yaitu
pengetahuan masyarakat (kognitif) dan sikap masyarakat (afektif).
Kerangka Pemikiran dan Hipotesis
Kerangka Pemikiran
Menurut Schramm dan Kincaid (1978) komunikasi efektif terjadi bila proses
encode oleh komunikator bertautan dengan proses decode oleh komunikan. Proses encode dan decode sangat dipengaruhi oleh bidang pengalaman (field of experience) dan kerangka acuan (frame of reference) dari kedua belah pihak.
Semakin tumpang tindih bidang pengalaman dan kerangka acuan, semakin
efektif pesan yang dikomunikasikan.
Hodgetts dalam DeVito (1997 menyatakan bahwa komunikasi yang efektif dapat terjadi bila kita memahami proses komunikasi. Proses komunikasi yang
telah disebut di bagian awal adalah proses pertukaran dan atau perasaan antar
manusia. Dengan kata lain, proses itu adalah proses encode sampai decode. Komunikasi yang komunikatif merupakan komunikasi yang efektif, di mana
kedua belah pihak sama-sama memahami makna komunikasi yang terjadi di
antara mereka, baik secara informatif maupun persuasif. Dengan kata lain,
komunikasi berlangsung efektif dan efisien jika menghasilkan tindakan sesuai
tujuan dan biayanya wajar, dalam hal ini dapat dilihat dalam penggunaan wayang
purwa di kalangan masyarakat Jawa yang dalam hal ini cenderung untuk
ditinggalkan dan beralih ke media elektronik di era globalisasi teknologi informasi
dan komunikasi di berbagai negara berkembang di dunia.
Beberapa faktor yang mempengaruhi keefektivan suatu komunikasi di
antaranya adalah:
a. Karakteristik individu yang terdiri dari:
Umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat pendapatan dan
b. Karakteristik pertunjukan wayang purwa terdiri dari:
Hubungan antara dalang dengan penonton, tokoh pelaku dan tema serta
masalah pokok.
c. Tingkat efektivitas komunikasi tentang bersih desa dalam memanfaatkan
pertunjukan wayang purwa yang dimaksud, dilihat atau diukur dari dua
indikator, yaitu pengetahuan dan sikap.
Dari uraian pemikiran tersebut maka kerangka alur pikir mengenai
efektivitas komunikasi pertunjukan wayang purwa di era globalisasi, dapat
diformulasikan sebagaimana tampilan Gambar 1.
Gambar 1. Hubungan peubah bebas dan terikat pada kerangka analisis efektivitas komunikasi masyarakat dalam memanfaatkan pertunjukan wayang purwa di era globalisasi
Karakteristik Individu (X)
X1Umur
X2Jenis kelamin
X3Tingkat pendidikan
X4Pekerjaan
X5Tingkat pendapatan
X6Perilaku komunikasi
Karakteristik Pertunjukan Wayang Purwa (X7)
X7.1 Hubungan dalang
dengan penonton X7.2 Tokoh pelaku
X7.3 Tema serta masalah
pokok
Efektivitas Komunikasi Masyarakat tentang
Bersih Desa (Y)
a. Pengetahuan b. Sikap
Peubah Bebas Peubah Terikat
H1
H2
Hipotesis
Berdasarkan kerangka berpikir yang telah dikemukakan, diajukan
hipotesis penelitian sebagai berikut:
H1 Terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu dengan
karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo.
H2 Terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu dengan efektivitas
komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo.
H3 Terdapat hubungan nyata antara karakteristik pertunjukan wayang purwa
dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Individu
Lionberger dan Gwin (1982) mengungkapkan bahwa peubah-peubah yang
penting dalam mengkaji masyarakat lokal di antaranya adalah peubah
karakteristik individu. Dijelaskannya bahwa karakteristik anggota kelompok pada
dasarnya merupakan karakteristik individu. Menurut Lionberger (1960) bahwa
karakteristik individu meliputi; umur, tingkat pendidikan dan ciri psikologis. Anwar
(1982) dalam disertasinya menyatakan bahwa karakteristik individu yang patut
diperhatikan, antara lain: umur, pendidikan formal, luas tanah garapan, sikap
terhadap inovasi dan tingkat pengetahuan. Penelitian Ichwanudin (1998)
mengungkapkan bahwa status sosial ekonomi, seperti umur, pendidikan formal,
pendidikan nonformal dan tingkat pendapatan berhubungan erat dengan perilaku
komunikasi.
Schramm dan Kincaid (1978), mengatakan bahwa karakteristik individu
meliputi umur, pendidikan, pengalaman kerja maupun status pekerjaan serta
kemampuan individu dalam melaksanakan tugas. Sedangkan Rogers dan
Shoemaker (1995) melihat ciri khas individu dalam penyebaran gagasan atau
inovasi pada suatu sistem sosial, dikatakannya bahwa karakteristik aparat/
individu meliputi status sosial, kepribadian dan perilaku komunikasi. Setiap orang
mempunyai karakteristik tertentu dan dalam hal ini perlu diperhatikan agar
berhasil dalam keterlibatan mereka dalam pelaksanaan tugas di organisasinya.
Wayang
Hazeu (1979) menulis bahwa Wayang dalam bahasa Jawa berarti
"bayangan" dan dalam bahasa Melayu berarti "bayang-bayang," "samar-samar,"
"menerawang." Kata Hyang berarti roh, sukma, dewa atau Allah yang juga
mengakar pada kata Wa-Yang. Sedangkan Van der Tuuk dalam Hazeau (1979) melihat akar-kata yang sudah memberi arti bergerak berkali-kali, simpang-siur,
lalu-lalang dan melayang-layang. Jadi kata "wayang" dapat berarti sukma, roh
yang melayang mengitari. Menurut bahasa Jawa Kuno awalan “wa” berarti suatu
fenomena yang "kian-kemari." Menurut Mulyono (1979) wayang mengandung arti
"berjalan kian-kemari,” tidak tetap, sayup-sayup (dalam substansi
bayang-bayang. Secara harafiah, kata "wayang" adalah “bayangan” yang menunjuk pada
bertangkai; dalam arti luas adalah sebuah pertunjukan dramatik, drama atau
tontonan dengan aktor boneka atau manusia (Holt, 1967).
Kata wayang yang berarti "bayangan" bermula dari pertunjukan bayangan,
karena boneka-boneka yang muncul dalam pertunjukan ini menimbulkan
bayang-bayang, fenomena itulah yang mungkin mendukung penamaannya. Tetapi sudah
sejak ratusan tahun lalu boneka-boneka itu diberi warna-warna dan tidak hanya
mengandalkan efek bayangan saja. Pola-pola bentuk dan warnanya terus
berubah dari masa ke masa, hingga sampai pada bentuk yang dibakukan pada
pertengahan abad 19 (seperti yang kita lihat sekarang ini). Lambat laun
paradigma wayang berkembang bukan hanya untuk menyebut pertunjukan yang
menimbulkan bayang-bayang, tetapi juga kesenian yang berkaitan dengan cerita,
lakon, struktur dramatik dan sebagainya; seperti dalam pergelaran Wayang
Beber, Wayang Golek dan Wayang Wong (Guritno, 1988 dan Mulyono, 1975).
Wayang merupakan dongeng, khayal dan mitos, berkembang menjadi
sintesa yang tidak rasional (bagi orang modem) dunia pewayangan adalah mitos
atau lambang yang dapat membangkitkan daya-daya mistik dalam diri
penghayatnya. Penafsiran orang (Barat) bahwa wayang kulit hanya shadow play belaka adalah kurang tepat, karena wayang bukanlah obyek visual belaka. Bagi
masyarakat penghayatnya (Jawa), pergelaran wayang kulit adalah pengungkap
wewayang ing ngaurip (gambaran dari hidup dan kehidupan) yang tidak ada hubungannya bayang-bayang hitam (silhouette) pada kelir (layar) (Haryanto,
1988).
Asal-usul Wayang
Ada banyak pendapat yang menelusuri asal-usul wayang dan sebagian
besar bermuara pada dualisme; beberapa pakar menyebut wayang berasal dari
India (Hindu) dan sebagian lagi menyatakan kesenian asli Bangsa Indonesia
Purba (Jawa). Pendapat di luar itu menyebutkan bahwa wayang adalah produk
dan bertemunya dua kebudayaan, yaitu Hindu dan Jawa. Beberapa di antaranya
mendekati dan berbagai disiplin ilmu untuk memastikan asal-usul wayang
misalnya Hazeu (1897) memakai bukti-bukti linguistik. Rassers dengan kacamata
antropologi struktural, Brandes memakai bukti-bukti etnologi dan antropologi
budaya, sedangkan Pischel dari sudut pandang budaya dan sebagainya (Amir,
1994).
Suroto (1975) mengatakan bahwa jauh sebelum pengaruh Hindu datang
dengan memakai boneka wayang. Menurut Mellema (1954), usia wayang sulit
dijelaskan, dalam literatur Jawa menyebut sekitar 1000 AD dan merupakan hasil
karya asli wilayah setempat (Jawa); tentang bagaimana dan kapan wayang kulit
mulai berkembang di Indonesia masih berupa praduga. Catatan tertua yang
menguatkan kehadiran pertunjukan yang disebut "wayang" di Jawa Tengah
berasal sejak tahun 907 Masehi pada inskripsi batu Raja Balitung. Sebagian
inskripsi itu menyebut "mawayang buat Hyang" yang berarti "mempertunjukan
wayang bagi para dewa," yaitu upacara persembahan ritual di biara lokal atau
bangunan suci pada sebuah perdikan (tanah bebas) untuk dewa-dewa yang
diikuti oleh semua penduduk perdikan tersebut (Holt, 1967).
Hazeu (1897) menekankan bahwa wayang sudah dikenal masyarakat
Jawa sekitar tahun 778 Masehi (700 Caka) salah satu contoh wayang purwa
yang tertua ditemukan pada relief candi Prambanan Jawa Tengah (abad 9-10);
sedangkan ceritanya yang mengambil kisah kepahlawanan Ramayana dan
Mahabharata telah menjadi mitos sejak beberapa abad sebelumnya.
Hazeu ilmuwan terkemuka Belanda ahli kesusasteraan dan budaya Jawa
akhir abad 19, dalam disertasi doktornya di Leiden Belanda mengemukakan
bahwa wayang purwa bukan berasal dari India; karena istilah-istiIah teknik yang
digunakan dalam pertunjukan bukan berasal dari kata Sansekerta. Istilah-istiIah
itu seperti: wayang, kelir, blencong, kepyak, dalang, kothak dan cempala adalah
asli Jawa dan bukan dari Hindu (India) (Hazeu, 1897 dan Guritno, 1988). Teon
Rassers yang biasanya bertentangan dengan Hazeu, pada bagian ini justru
saling memperkuat; bahwa pertunjukan wayang telah mengalami evolusi dari
ritus-ritus inisiasi kuno yang asli dan semua peralatan serta teknik pelaksanaan
wayang menggunakan istilah Jawa dan bukan dari India (Holt, 1967). Hasil
penyelidikan Kern dan Brandes menunjukan bahwa unsur-unsur Hindu hanya
merupakan pelapis luar belaka yang menutupi bahan dasar asli kebudayaan
Indonesia (Hazeu, 1897).
Bowers dalam Sastromidjojo (1964) menulis dalam "Theater in the East," bahwa sejarah pertunjukan wayang kulit atau permainan bayangan (shadow
play) muncul mulai abad ke-I Sebelum Masehi. Pryono dalam almanak Primbon
Jawa 1959 menyebutkan bahwa bukan hal yang mustahil jika kurang lebih 2.000
tahun yang lalu bangsa kita telah memiliki satu kebudayaan yang dapat dinilai
tetabuhan (gamelan) pengiring serta nyanyian-nyanyian mantram (mantra),
dengan pengantar bahasa Jawa kuno (Kawi) (Sastroamidjojo, 1964).
Tidak terpungkiri bahwa perjalanan sejarah wayang tidak mungkin
menghindar dari periode Jawa-Hindu (Krom, 1931 dalam Pigeaud, 1967), tetapi bukan berarti kesenian wayang ini berasal dari asal agama Hindu (India). Di
daratan India memang terdapat pertunjukan bayangan bernama Chayanataka
yang diterjemahkan sebagai "drama bayang-bayang" tetapi kesenian tersebut
diduga merupakan kesinambungan dari bentuk sastra yang diteater-rakyatkan
lewat media boneka (Holt, 1967), bukan teater yang diperkaya dengan karya
sastra seperti dalam wayang kulit purwa.
Jenis dan Ragam Wayang
Di Indonesia terdapat puluhan jenis wayang yang tersebar di pulau Jawa,
Bali, Lombok, Kalimantan, Sumatera dan lain-lain; baik yang masih populer
maupun hampir atau sudah punah dan hanya dapat dikenali dalam kepustakaan
atau di museum-museum wayang. Pada umumnya perkembangan wayang di
daerah-daerah tertentu mempunyai hubungan erat dengan masuknya
kebudayaan Hindu yang ditandai dengan diketemukannya berbagai prasasti.
Seni pewayangan tersebut terus berasimilasi hingga menjadi milik
masing-masing daerah dan akhirnya menggunakan nama, bahasa pengantar,
gending-gending pengiring serta sistematika pergelaran yang berbeda-beda. Di luar Jawa
terdapat beberapa jenis wayang (terutama wayang kulit) yang berbeda dengan
wayang purwa, antara lain adalah: Wayang Palembang, Wayang Bengkulu,
Wayang Banjar(masin), Wayang Sumatera Utara, Wayang Sasak (Nusa
Tenggara) dan Wayang Bali, Wayang Betawi dan sebagainya.
1. Wayang Kulit
Dari bahan dan media perupaannya maka boneka wayang yang muncul di
panggung adalah boneka dari kulit binatang (belulang kerbau), pipih/tipis,
ditatah (dipahat), disungging (diwarna) dan dilengkapi dengan cempurit atau
gapit (tangkai/penjepit) dari tanduk kerbau. Kesenian ini berkembang pesat
dalam masyarakat Jawa, bahkan bukan hanya dalam perupaan dan
pementasan tetapi juga berkembang dalam peragaman jenis dan cerita yang
dipergelarkan. Beberapa jenis wayang kulit yang ada (pernah ada) dan telah
dibakukan di Tanah Jawa antara lain adalah :
a. Wayang Purwa, istilah "purwo" berasal dari kata Sansekerta "purwa" atau
(Hazeu, 1897). Wayang ini berpijak pada empat mitos sebagai dasar
pengembangan lakon; yaitu: (a) Adiparwa (awal mula Mahabharata),
sebagian kemudian berkaitan dengan mitologi Indonesia kuno (Indonesia
Prasejarah), (b) Arjuna Sasrabahu berkisah tentang asal-usul beberapa
tokoh penting dalam kisah Ramayana, (c) Ramayana, mengambil kisah
persengketaan antara Rama dan Rahwana (Dasamuka), (d) Mahabharata,
kisah perseteruan dua kubu dari satu keturunan Bharata, yaitu Pandawa
dan Kurawa.
b. Wayang Gedog, atau Wayang Antara dicipta oleh Sunan Giri tahun 1563
(1485 Caka, candra sengkala: Gegaming Naga Kinaryeng Dewa) (Hazeu,
1897) dan dikembangkan pada masa pemerintahan Sri Gajayu (R.
Subrata) sampai Panji Kuda Laleyan. Penciptaannya didasarkan pada
cerita kepahlawanan di wilayah Jenggala sampai Pajajaran, yaitu legenda
Raden Panji dari Jawa Timur (dalam Serat Panji) dan legenda
Damarwulan. Karakteristiknya hampir mirip dengan wayang purwa, hanya
berbeda dalam detail busana terutama pada hiasan penutup kepala tanpa
gelung supit, semuanya memakai keris dan berkain kepala gaya
Yogyakarta atau udeng gilik gaya Bugis. Pergelaran wayang ini iringan
gamelan berirama pelog, tidak terdapat tokoh buto (raksasa) dan kera,
karena kisah nyata (asli) yang dilakonkan tanpa ada tokoh fiktif. Menurut
beberapa pendapat, kata "gedog" berhubungan dengan "peng-gedog-an"
(ketokan), yaitu saat ki dalang memukulkan cempala pada kothak wayang.
Ada juga yang mengatakan bahwa "gedog" berasal dari kata "kedok"
(topeng) karena selain dipentaskan dengan boneka dari kulit, jenis
wayang ini juga ada yang menggunakan manusia sebagai bonekanya
(seperti Wayang Wong) dan semua pemerannya memakai kedok
(topeng) (Holt, 1967 dan Sastroamidjojo, 1964). Pendapat lain
menyebutkan bahwa Wayang Gedog berarti "pagedogan" (kandang kuda)
karena banyak tokoh-tokoh dalam cerita Panji menggunakan nama
"Kuda," seperti Kuda Waningpati, Kuda Narawangsa dan sebagainya.
Wayangini menyebar hingga ke Kalimantan Selatan (Banjar), terbukti
ditemukan dalam Hikayat Banjar atau Tutur Candi yang menyebut-nyebut
Wayang Gedog atau Wayang Gadogan dalam bahasa Banjar (Budi,
c. Wayang Madya (tengah), muncul sekitar tahun 1880 dan mengambil
lakon masa "tengah” (madya), yaitu generasi Bharata terakhir atau kisah
Pasca-perang Bharatayuda; dimulai dari Yudayana anak Parikesit dan
permulaan Jayalengkara sampai runtuhnya kerajaan Sigaluh. Wayang ini
dicipta oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara IV (1853-1881) di Solo setelah
menerima Serat "Pustaka Raja Madya" dan "Serat Witaradya" dan R.Ng.
Ranggowarsito (1802-24 Desember 1873) pada tahun 1870 (1792 Caka).
Inti dari serat-serat tersebut berkaitan dengan Serat Pustaka Raja Purwa
yang menceritakan riwayat dewa-dewa dan para Pandawa sampai akhir
perang Bharatayuda (Haryanto, 1988). Perupaan para tokoh wayang
terutama raja tidak memakai praba (sinar atau nimbus) yaitu busana
tambahan (aksesoris) yang dipakai di punggung, biasa digunakan oleh
seorang prabu (raja) sebagai lambang keluhuran kedudukannya; seperti
dalam wayang purwa. Kebanyakan perupaan Wayang Madya dilengkapi
senjata keris atau pedang, selain memakai kain agak panjang menjuntai
yang dinamakan cara hanyakan (seperti sikap burung angsa)
(Sastroamidjojo, 1964).
d. Wayang Dobel, dibuat oleh Amat Kasan alias Kyai Slamatan dari desa
Slamatan Yogyakarta. Tema ceritanya berisi ajaran agama Islam yang
berpijak pada "Babad Ambiya" (Amir, 1994). Lambang-lambang yang
ditampilkan berkaitan dengan ajaran agama Islam dengan demikian nama
tokoh-tokoh pemerannya diambil dari sejarah penyebaran agama tersebut.
Bahan dasar wayang masih tetap kulit kerbau tetapi bentuk rupanya
berbeda dengan wayang kulit purwa; meskipun sekilas seperti wayang
purwa tetapi ukuran proporsi tubuh, tangan dan kaki tampak lebih besar
(anatomis). Posisi badan wayang cenderung menghadap ke penonton
bahkan ada beberapa tokoh wayang yang benar-benar menghadap ke
muka (en-face). Busana dan perhiasan yang dikenakan lebih sederhana
dengan teknik garap perupaannya cenderung kaku dan geometris.
Bahasa pengantar yang digunakan bahasa Jawa tetapi gamelan
pengiringnya dicampur-aduk dengan terompet dan rebana; akhirnya
tampak sekali bahwa wayang ini lebih sebagai hasil kreasi
(eksperimentasi) pembuatnya yang berpijak pada ajaran Agama Islam
(Sastroamidjojo, 1964). Wayang dobel dibuat tahun 1921 dan hanya
Muhammad yang berpantang untuk digambarkan, akhirnya wayang ini
dianggap sesat dan dilarang beredar (Sutrisno, 1983).
e. Wayang Jawa, dicipta oleh Bupati Surakarta bernama R.M.Ng.
Dutadipradja sekitar tahun 1937; berkisah tentang kepahlawanan yang
berkembang di Jawa, terutama perjuangan Pangeran Diponegoro dalam
melawan Kompeni Belanda. Perupaan wayang bergaya wayang purwa
tetapi busana yang digambarkan gaya Jawa (busana tradisional Jawa).
Gamelan pengiringnya berirama pelog lengkap, gending ayak-ayakan dan
srempegan yang diaransir secara khusus (Sastroamidjojo, 1964).
f. Wayang Dupara, ciptaan R. Danuatmadja dari Solo tahun 1938, bentuk
perupaannya hampir mirip wayang kulit purwa, hanya pada
bagian-bagian: penutup kepala (topeng), busana dan senjata terselip di
pinggangIah yang membedakan. Wayang ini berkisah tentang legenda
Nyai Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan), Sunan Kalijaga, Kisah Jaka Tingkir,
Jaka Tarub dan lainnya; berkisar sejarah antara Kerajaan Demak sampai
Kartasura atau mulai zaman Majapahit (akhir) hingga masa perjuangan
Pangeran Diponegoro (Sastroamidjojo, 1964 dan Sutrisno, 1983).
g. Wayang Wahana, dicipta oleh R.M. Sutarto Hardjawahana (Reshi
Wahana) sekitar tahun 1938/1939. Setiap lakon dapat dimainkan dengan
sembarang tokoh karena memang tidak ada nama tokoh tetap pada
masing-masing wayang, jadi mirip kesenian "kethoprak." Kesenian ini
menceritakan tentang permasalahan sosial kekinian (saat itu) dengan
alokasi waktu pementasan sekitar 6 jam. Bahannya terbuat dari belulang
kerbau dengan bentuk wayang mirip boneka gambar manusia wajar
(realistis), busana dan perhiasannya digambarkan seperti apa adanya
kondisi masyarakat saat itu (Sastroamidjojo, 1964).
h. Wayang Kancil, berisi cerita binatang (fabel) dengan tokoh utama adalah
sang kancil dan tokoh-tokoh manusia relatif sedikit. Pemrakarsa adalah
Bo Lim seorang keturunan China sekitar 1924-1925. Pada tahun 1943
disempumakan oleh R.M. Sajid dan diperbanyak menjadi 200 buah
(Sastroamidjojo, 1964). Ceritanya didasarkan pada "Serat Kancil
Kridomartono" karangan Raden Panji Notoroto dan dari kitab karangan
Raden Sosrowijoyo dari Yogyakarta (Haryanto, 1988).
i. Wayang Perjuangan, dibuat oleh R.M. Sajid tahun 1944 di Surakarta
gerilya dalam revolusi fisik Indonesia (Holt, 1967), berjumlah sekitar 200
buah (Mulyono, 1975). Dalam perupaannya hampir mirip dengan
Wayang Wahana, baik dalam penggambaran postur tubuh yang realistis
maupun busana seperti yang dipakai para pejuang saat itu. Banyak tokoh
wayang ini tidak mempunyai nama tetap (sabrangan) tetapi untuk
tokoh-tokoh utama dibuat serealistis mungkin; seperti Presiden Soekarno-Hatta,
Jenderal Soedirman dan sebagainya.
j. Wayang Sandiwara ciptaan R.M. Sajid tahun 1944 sejenis Wayang
Wahana dan Wayang Perjuangan; cerita yang ditampilkan mengenai
persoalan sosial kekinian (saat itu), terutama politik dan kepartaian.
Perupaannya lebih realistis seperti gambar manusia wajar dengan gaya
busana sesuai dengan keadaan masyarakat saat itu (Sastroamidjojo
1964).
k. Wayang Suluh, (suluh = obor, penerangan) diciptakan di Madiun atas
inisiatif Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (B.K.P.R.I.) tahun
1946/1947. Menceritakan tentang kondisi politik dan pemerintahan pada
periode revolusi fisik dan Orde Lama (Sastroamidjojo, 1964).
l. Wayang Pancasila, muncul setelah Indonesia merdeka, dirancang oleh
Empu Hadi alias Harsono Hadisoeseno seorang pegawai Departemen
Penerangan R.I. Yogyakarta, bertujuan sebagai media pendidikan politik
bernegara; terutama krisis politik antara Republik Indonesia dengan
Pemerintah Belanda pasca kemerdekaan (Holt, 1967 dan Sastroamidjojo,
1964).
m. Wayang Adam Ma'rifat, muncul di Magelang Jawa Tengah, pada
sebuah ”sekte” Islam Mistik dan digunakan sebagai media dakwah (Holt,
1967). Dicipta oleh Dwija Siwaya untuk mendukung cerita-cerita tasawuf
tetapi dalam pementasannya sebagian besar meminjam wayang kulit
purwa (Mulyono, 1979).
n. Wayang Menak, dicipta oleh Trunadipa, seorang "dukun" dari Baturetna
(Wonogiri), mengambil kisah masa kecil hingga wafatnya "Wong Agung
Menak" berdasarkan Serat Menak karangan R. Ng. Yasadipura. Oleh
karena dalam penggambaran tokohnya kebanyakan berbusana Jubah
dan surban (baju panjang dan penutup kepala Bangsa Arab), memakai
sepatu dan pedang panjang sedangkan tokoh wanita memakai kebaya
wayang ini diiringi gamelan laras (irama) pelog (Sastroamldjojo, 1964 dan
Sutrisno, 1983).
o. Wayang Wahyu (Wayang Katolik), lahir atas inisiatif Bruder Timothiheus
Mardi Winyosoebroto. F.I.C, Kepala Bruderan F.I.C. Solo yang kemudian
divisualisasikan bulan Desember 1959 oleh R. Roesradi, seorang ahli
gambar Surakarta, dipergelarkan pertama kali tanggal 2 Februari 1960.
Perupaannya adalah setengah wayang setengah gambar realistis (nyata)
manusia terutama pada bagian wajah tokoh. Lakon yang dipentaskan
diambil dari kisah-kisah dalam Kitab Suci Agama Katolik (Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru) dengan pengantar Bahasa Jawa dan diiringi
gamelan slendro (Sastroamidjojo, 1964). Wayang inilah yang akan
dibahas lebih jauh pada bab-bab berikutnya.
p. Wayang Warta (wayang kristen), dicipta oleh Hadi Subroto dan
pakelirannya oleh Sumiyanta atas inisiatif Sukimin guru Sekolah Dasar
Klaten sekitar tahun 1970 (Sutrisno, 1983). Dari beberapa sumber
menyebutkan bahwa wayang ini banyak kemiripan dengan wayang
wahyu, baik dalam perupaan wayang maupun lakon-lakon yang
dipentaskan dan kemungkinan menjadikan wayang wahyu sebagai acuan
penciptaannya
2. Wayang Klitik atau Kerucil (Krucil)
Wayang klitik adalah boneka-boneka kayu pipih (tipis) diukir seperti patung
relief dan dicat tetapi menggunakan lengan tangan dari kulit (kerbau) yang
dapat digerakkan seperti lengan tangan wayang purwa.
3. Wayang Golek
Boneka wayang yang muncul di panggung terbuat dari kayu (tiga
dimensional) dipahat, dicat, dilengkapi dengan pakaian dan
perhiasan/aksesoris (miniatur) dan dilengkapi dengan lengan-lengan tangan
kayu berengsel sehingga dapat digerakkan. Karakteristik perupaannya mirip
wayang purwa; tidak realistik dengan stilasi dan abstraksi (distorsi) bentuk.
4. Wayang Beber
Pada mulanya mengambil lakon dari kisah Mahabharata, kemudian beralih
pada cerita Panji berasal dari kerajaan Jenggala abad ke XI dan mencapai
kejayaannya pada zaman Majapahit abad XlV-XV (Haryanto, 1988). Wayang
Beber pernah disempurnakan oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara VI dalam