• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Miopia yang Tidak Dikoreksi dengan Prestasi Belajar pada Siswa-Siswi Kelas 5-6 di SDN Dharmawanita, Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Miopia yang Tidak Dikoreksi dengan Prestasi Belajar pada Siswa-Siswi Kelas 5-6 di SDN Dharmawanita, Medan"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

Nama : Ria Amelia

Tempar / Tanggal Lahir : Dumai / 28 September 1992

Agama : Islam

Alamat : Jalan Gasoline Blok B BB 44 Dumai-Riau

Riwayat Pendidikan :

1. TK Tunas Harapan II Dumai-Riau (1996-1998) 2. Sekolah Dasar 3 YKPP Dumai-Riau (1998-2004)

3. Sekolah Menengah Pertama Negeri Binsus Dumai-Riau (2004-2007) 4. Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Dumai-Riau (2007-2010)

Riwayat Pelatihan:

1.Pelatihan Karya Tulis Ilmiah Remaja Kota Dumai Tahun 2008 Riwayat Organisasi:

(2)

3 AAC 5 9 laki-laki 1.00 1.00 visus normal visus normal 78.7 kurang visus normal normal 4 AAD 5 10 perempuan 0.80 0.80 visus normal visus normal 82.8 sedang visus normal normal

5 AAE 5 9 perempuan 0.10 0.10 visus berkurang visus berkurang 78.0 kurang Miopia bilateral visual acuity decrease 6 AAF 5 9 perempuan 0.80 1.00 visus normal visus normal 82.3 sedang visus normal normal

7 AAG 5 10 perempuan 0.40 0.40 visus berkurang visus berkurang 80.0 kurang Miopia bilateral visual acuity decrease 8 AAH 5 9 laki-laki 1.00 1.00 visus normal visus normal 83.2 sedang visus normal normal

9 AAI 5 10 perempuan 1.00 1.00 visus normal visus normal 89.8 baik visus normal normal

10 AAJ 5 9 perempuan 0.33 0.40 visus berkurang visus berkurang 86.4 baik Miopia bilateral visual acuity decrease 11 AAK 5 10 laki-laki 0.67 0.80 visus berkurang visus normal 81.2 sedang Miopia unilateral visual acuity decrease 12 AAL 5 10 laki-laki 1.00 1.00 visus normal visus normal 84.5 sedang visus normal normal

13 AAM 5 9 laki-laki 0.80 1.00 visus normal visus normal 81.1 sedang visus normal normal 14 AAN 5 10 perempuan 0.80 0.80 visus normal visus normal 87.6 baik visus normal normal 15 AAO 5 9 perempuan 1.00 1.00 visus normal visus normal 77.7 kurang visus normal normal

16 AAP 5 10 laki-laki 0.10 0.10 visus berkurang visus berkurang 77.4 kurang Miopia bilateral visual acuity decrease 17 AAQ 5 10 laki-laki 0.67 0.67 visus berkurang visus berkurang 80.4 kurang Miopia bilateral visual acuity decrease 18 AAR 5 10 perempuan 1.00 1.00 visus normal visus normal 88.8 baik visus normal normal

19 AAS 5 10 laki-laki 1.00 1.00 visus normal visus normal 80.6 sedang visus normal normal

20 AAT 6 11 laki-laki 1.00 1.00 visus normal visus normal 84.4 sedang visus normal normal 21 AAU 6 11 laki-laki 0.80 0.80 visus normal visus normal 81.8 sedang visus normal normal 22 AAV 6 11 perempuan 1.00 1.00 visus normal visus normal 81.9 sedang visus normal normal 23 AAW 6 10 perempuan 1.00 1.00 visus normal visus normal 82.7 sedang visus normal normal

(3)

KETERANGAN :

NO : Nomor NR : Nilai Rata-Rata Responden

IN : Inisial Responden STAT : Status Penglihatan Responden

KLS : Kelas Responden JENIS : Jenis Status Penglihatan Responden

UMR : Umur Responden

JK : Jenis Kelamin Responden VKN : Visus Mata Kanan Responden VKR : Visus Mata Kiri Responden

30 BAD 6 10 perempuan 1.00 0.80 visus normal visus normal 82.2 sedang visus normal normal 31 BAE 6 11 perempuan 1.00 1.00 visus normal visus normal 85.3 sedang visus normal normal 32 BAF 6 12 perempuan 0.80 1.00 visus normal visus normal 87.8 baik visus normal normal 33 BAG 6 10 laki-laki 1.00 1.00 visus normal visus normal 81.2 sedang visus normal normal 34 BAH 6 11 perempuan 1.00 1.00 visus normal visus normal 88.0 baik visus normal normal 35 BAI 6 11 laki-laki 0.80 0.80 visus normal visus normal 91.8 baik visus normal normal 36 BAJ 6 10 laki-laki 1.00 1.00 visus normal visus normal 83.9 sedang visus normal normal

37 BAK 6 11 laki-laki 0.40 1.00 visus berkurang visus normal 87.0 baik Miopia unilateral visual acuity decrease 38 BAL 6 10 laki-laki 1.00 1.00 visus normal visus normal 89.6 baik visus normal normal

39 BAM 6 11 perempuan 1.00 0.80 visus normal visus normal 86.3 baik visus normal normal 40 BAN 6 11 laki-laki 1.00 1.00 visus normal visus normal 79.2 kurang visus normal normal 41 BAO 6 11 laki-laki 1.00 1.00 visus normal visus normal 85.2 sedang visus normal normal 42 BAP 6 11 perempuan 0.80 0.80 visus normal visus normal 83.7 sedang visus normal normal

(4)

Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid laki-laki 25 56.8 56.8 56.8

perempuan 19 43.2 43.2 100.0

Total 44 100.0 100.0

Umur Responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Visus Mata kanan Responden

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid .10 3 6.8 6.8 6.8

Visus Mata Kiri Responden

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

(5)

acuity decrease bilateral visual acuity decrease

9 20.5 20.5 100.0

Total 44 100.0 100.0

Status Penglihatan Responden Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid miopia 13 29.5 29.5 29.5

visus normal 31 70.5 70.5 100.0

Total 44 100.0 100.0

Nilai Rata-Rata Kelompok Responden Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid baik 12 27.3 27.3 27.3

sedang 23 52.3 52.3 79.5

kurang 9 20.5 20.5 100.0

Total 44 100.0 100.0

Crosstab Data Penelitian

status mata * nilai rata-rata kelompok Crosstabulation nilai rata-rata kelompok

Total baik sedang kurang

(6)

normal % within

100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 7.709a 2 .021

Likelihood Ratio 7.206 2 .027

Linear-by-Linear Association

3.410 1 .065

N of Valid Cases 44

a. 2 cells (33,3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,66.

Test Statisticsa

nilai rata-rata kelompok Most Extreme Differences Absolute .365

Positive .365

Negative .000

Kolmogorov-Smirnov Z 1.104

Asymp. Sig. (2-tailed) .175

(7)

LAMPIRAN 4

LEMBAR PENJELASAN KEPADA RESPONDEN PENELITIAN

Dengan Hormat,

Saya, Ria Amelia, adalah seorang mahasiswa di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU) angkatan tahun 2010. Saat ini saya sedang melakukan penelitian dengan judul Hubungan Miopia yang Tidak Dikoreksi dengan Prestasi Belajar pada Siswa-Siswi Kelas 5-6 di SDN Dharmawanita, Medan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan Miopia yang tidak dikoreksi dengan prestasi belajar pada siswa-siswi. Untuk keperluan tersebut, saya memohon kesediaan Adik untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini. Saya memohon kesediaan Adik untuk dilakukannya pemeriksaan terhadap kedua mata Adik dengan membaca kartu Snellen sesuai dengan petunjuk yang diberikan, selain itu saya juga memohon kesediaan Adik untuk mengizinkan saya melakukan pengamatan terhadap nilai rata-rata rapor terakhir Adik di sekolah. Jika Adik bersedia, silahkan menandatangani lembar persetujuan ini sebagai bukti kesukarelawanan Adik.

Identitas pribadi Adik sebagai partisipan akan disamarkan, kerahasiaan data Adik akan dijamin sepenuhnya, dan semua informasi yang adik berikan hanya akan digunakan untuk penelitian ini. Bila terdapat hal yang kurang dimengerti, Adik dapat bertanya langsung kepada saya atau dapat menghubungi saya di nomor 085265333543.

Demikian informasi ini saya sampaikan, atas bantuan, partisipasi, dan kesediaan waktu Adik-Adik sekalian, saya ucapkan terima kasih.

Hormat saya, Peneliti,

(8)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : ... Umur : ... tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki / Perempuan *)

Alamat : ... ...

Kelas : V / VI *)

Setelah mendapat keterangan dan penjelasan yang cukup dari peneliti secara lengkap, maka dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan saya menyatakan ‘BERSEDIA’ berpartisipasi menjadi sukarelawan dalam penelitian ini yang berjudul Hubungan Miopia yang Tidak Dikoreksi dengan Prestasi Belajar pada Siswa-Siswi Kelas 5-6 di SDN

Dharmawanita, Medan.

Medan, ... Juli 2013

Mengetahui, Menyatakan,

Peneliti, Responden,

(9)
(10)
(11)
(12)
(13)

DAFTAR PUSTAKA

American academy of Ophthalmology, 2013. Myopia. USA: EyeWiki. Available

from: http//www.eyewiki.aao.org/Myopia. [Accessed 3 March 2013].

American Optometric Association, 2006. Care of Patient with Myopia. USA:

AOA Board of Trustees.

Chuah, G., 2007. High Myopia ( Shortsightedness) and Retinal Complication.

University Health Network. Available from:

http://www.thehosp.org/Focus-_of_Care/KNC/DKJ_Eye_Centre/Retinal_diseases/docs/page%20056-69.pdf

.[Accessed 11 July 2007]

Dahlan, S., 2010. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian

Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.

Dahlan, M.Sopiyudin., 2009. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta:

Salemba Medika.

Dorothy, S.P., et al., 2004. Prevalence, Incidence, and Progressioan of Myopia of

School Children in Hongkong. In: Investigative ang Visual Science, 45 (4) :

1071-1075.

Hartanto, Willy., 2006. Kasus Kelainan Refraksi Tak Terkoreksi Penuh di RS DR.

Kariadi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponogoro Semarang.

Ilyas, S., 2012. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Juliandi, H., Isti, I., Rina,A., Arlinda, S., 2010. Panduan Penulisan Proposal

Penelitian dan Laporan Hasil Penelitian karya Tulis Ilmiah. Medan: fakultas

(14)

Morgan, I.G., Kyoko, O., Saw, S.M., 2012. Myopia. Lancet 2012, 379:1739-1746.

Nariati,Elda., Wijaya, Chandra., 2012. Hubungan Kelainan Refraksi dengan

Prestasi Akademik. Pekanbaru : Department of Physiology,University of

Riau. Available in : http://repository.unri.ac.id/handle/123456789/497

Noviani, Ratna., 2011. Hubungan Antara Derajat Myopia Terhadap Prestasi

Belajar Pada Siswa SMPN II Cianjur Jawa Barat. Universitas Islam

Indonesia.

Pan, C.W., Ramamurthy, D., Saw, S.M., 2012. Worldwide Prevalence and Risk

Factors for Myopia. In: Ophthalmology and Physiological Optics, 32: 3-16.

Saw, S.M., et al., 2000. Factors Related to the Progression of Myopia in

Singaporean Children. In: Optometry and Vision Science, 77 (10) :

549-55554.

Saw, S.M., et al., 2002. Prevalence Rates of Refractive Errors in Sumatera,

Indonesia. In: Investigative Ophthalmology and Visual Science, 43(10) :

3174-3180.

Sherwood, L., 2001. Mata : Penglihatan. In : Fisiologi Manusia. Jakarta: EGC.

Sloane, E., 2003. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC.

Sudigdo, S., Sofyan, I., 2010. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi

ketiga: cetakan kedua. Jakarta: Sagung Seto.

Surgani, Surya.,Priandarini, Lucia., 2010. Cara Cerdas Untuk Sehat. Jakarta :

Transmedia.

Wahyuni, Arlinda Sari., 2007. Statistika Kedokteran ( Disertai Aplikasi dengan

SPSS). Jakarta Timur: Bamboedoea Communication.

Ward, J., Clarke, R., Linden, R., 2009. Penglihatan. In : At a Glance Fisiologi.

(15)

Widyastuti,Rahma., 2010. Hubungan Motivasi Belajar dan Hasil Intelegensi

dengan Prestasi Belajar. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

Wijaya, MB., 2011. Prevalensi Penurunan Ketajaman Penglihatan pada

Siswa-Siswi Sekolah Dasar Kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah

Medan Tahun 2010. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

World Health Organization, 2013. Visual Impairment and Blindness. USA: WHO

Media centre. Available from:

(16)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui untuk mengetahui hubungan antara miopia yang tidak dikoreksi dengan prestasi belajar pada siswa-siswi kelas 5-6 di SDN Dharmawanita , Medan. Berdasarkan tujuan penelitian tersebut maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian 3.2. Definisi Operasional

1. Karakteristik Variabel Independen A. Miopia yang Tidak Dikoreksi

Defenisi Operasional : Miopia yang tidak dikoreksi adalah adalah suatu keadaan kelainan refraksi dimana penglihatan menjadi kabur atau tidak jelas ketika melihat objek yang jauh dan ditandai dengan adanya penurunan visus < 6/6 atau < 0.8 jika diukur dengan menggunakan Snellen Chart dan tidak ditatalaksana atau dikoreksi dengan menggunakan kacamata,lensa kotak atau tindakan operatif lainnya.

Cara Ukur : Observasi dengan melihat batas terakhir kemampuan subjek peneliti membaca Snellen Chart

Alat Ukur : Snellen Chart dilakukan pada jarak 6 meter tanpa kacamata atau lensa kontak

Miopia yang tidak dikoreksi

(17)

Skala Pengukuran : Nominal

Hasil Pengukuran : Normal dan miopia 2. Karakteristik Variabel Dependen

A. Prestasi Belajar

Definisi Operasional : Hasil yang dicapai sesuai dengan kemampuan anak dari proses belajar dalam waktu tertentu dan dalam bentuk nilai rata-rata hasil ujian akhir semester

Cara Ukur : Observasi nilai rata-rata rapor terakhir dan menggunakan daftar distribusi frekuensi. Nilai dikategorikan menjadi 3 kategori, yaitu : baik, sedang, dan kurang.Langkah-langkah menentukan kategori tersebut berdasarkan distribusi frekuensi adalah :

1. Menentukan skor tertinggi = 91.8 2. Menentukan skor terendah = 75

3. Menentukan rentang skor = skor tertinggi – skor terendah = 91.8 – 75 = 16.8

4. Menentukan jumlah kategori = 3

5. Menentukan panjang interval = rentang skor : jumlah kategori = 16.8 : 3 = 5.6

6. Membuat batas rentang nilai : 1. Prestasi Kurang = 75 + 5.6 = 80.6 2. Prestasi Sedang = 80.6 + 5.6 = 86.2 3. Prestasi Baik = 86.2 + 5.6 = 91.8

Alat Ukur : Nilai rata-rata rapor terakhir

Skala Pengukuran : Ordinal

(18)

3.3 Hipotesis

Hipotesa penelitian ini adalah ada hubungan antara miopia yang tidak dikoreksi dengan prestasi belajar pada siswa-siswi kelas 5-6 di SDN Dharmawanita, Medan.

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain Cross-Sectional, dan penelitian ini dilakukan untuk mencari hubungan miopia yang tidak dikoreksi dengan prestasi belajar murid kelas 5-6 di SDN Dharmawanita, Medan.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Adapun waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan September 2013. Sedangkan untuk tempat dilakukannya penelitian ini adalah di SDN Dharmawanita, Medan

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Peneleitian

Populasi penelitian adalah seluruh siswa-siswi kelas 5-6 di SDN Dharmawanita,Medan.

4.3.2. Sample Penelitian

(19)

Kriteria inklusi bagi penelitian ini adalah :

1. Siswa-siswi kelas 5-6 di SDN Dharmawanita, Medan 2. Tidak memakai kacamata.

3. Bersedia untuk mengikuti penelitian. 4. Hadir semasa penelitian dilakukan. Kriteria eksklusi bagi penelitian ini adalah :

1. Siswa atau siswi yang rapornya tidak tersedia dengan alasan apapun semasa penelitian dilakukan.

4.4. Teknik Pengumpulan Data 4.4.1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber data. Data primer pada penelitian ini diperoleh dengan melakukan pemeriksaan visus dengan menggunakan snellen chart dan dilakukan langsung oleh ahli refraksi.

4.4.2. Data Sekunder

Data sekunder pada penelitian ini diperoleh dari nilai rapor hasil ujian terakhir untuk satu semester bagi sampel penelitian.

4.4.3. Metode Pengumpulan Data A.Instrumen Pengumpulan Data

1. Untuk pengambilan data bagi variabel independen yaitu miopia yang tidak terkoreksi, dilakukan pengukuran dengan menggunakan snellen chart . Alat ini dipilih karena alat tersebut merupakan satu metode kuantitatif yang terpercaya dalam mengukur visus atau ketajaman penglihatan di lapangan penelitian, selain itu teknik ini cukup mudah dan praktis untuk dilakukan.

2. Cara kerja alat :

a. Kartu diletakkan pada jarak 6 meter dari pasien dengan posisi lebih tinggi atau sejajar dengan mata pasien

(20)

c. Menutup satu mata yang tidak diperiksa, biasanya mata kanan terlebih dahulu diperiksa sehingga mata kiri ditutup dan pasien diminta membaca kartu.

d. Cara menilai visus dari hasil membaca kartu :

 Bila pasien dapat membaca kartu pada baris dengan visus 6/6, maka tidak perlu membaca pada baris berikutnya → visus normal

 Bila pasien tidak dapat membaca kartu pada baris tertentu diatas visus normal, cek pada satu baris tersebut :

 Bila cuma tidak bisa membaca 1 huruf, berarti visusnya terletak pada baris tersebut dengan false 1.

 Bila tidak dapat membaca 2, berarti visusnya terletak pada baris tersebut dengan false 2.

 Bila tidak dapat membaca lebih dari setengah jumlah huruf yang ada, berarti visusnya berada di baris tepat di atas baris yang tidak dapat dibaca.

 Bila tidak dapat membaca satu baris, berarti visusnya terdapat pada baris di atasnya.

 Bila terdapat penurunan visus, maka cek dengan menggunakan pinhole(alat untuk memfokuskan titik pada penglihatan pasien)

 Bila visus tetap berkurang → bukan kelainan refraksi

 Bila visus menjadi lebih baik dari sebelumnya → kelainan refraksi

e. Bila tidak bisa membaca kartu, maka dilakukan penghitungan jari.

 Penghitungan jari dimulai pada jarak tepat di depan snellen chart

→ 6 meter

 Dapat menghitung jari pada jarak 6 meter → visusnya 6/60.

(21)

 Begitu seterusnya , bila tidak dapat menghitung jari 5 meter, dimajukan menjadi 4 meter, 3 meter, sampai 1 meter di depan pasien

f. Bila tidak bisa menghitung jari pada jarak tertentu, maka dilakukan pemeriksaan penglihatan dengan lambaian tangan.

 Lambaian tangan dilakukan tepat satu meter di depan pasien. Dapat berupa lambaian ke kiri dan kanan atau atas bawah. Bila pasien dapat menyebutkan arah lambaian , berarti visusnya 1/300.

g. Bila tidak bisa melihat lambaian tangan, maka dilakukan penyinaran, dapat menggunakan senter atau pen light.

 Bila dapat melihat sinar, berati visusnya 1/~, dan tentukan arah proyeksi

 Bila tak dapat melihat cahaya, maka dikatakan visusnya 0

3. Pengambilan data bagi veriabel dependen yaitu prestasi sekolah diambil dengan melakukan pengamatan nilai rapor hasil ujian terakhir pada satu semester setiap sampel penelitian. Penyajian data untuk variabel prestasi belajar sampel akan diuraikan berikut ini dalam bentuk daftar distribusi frekuensi. Langkah-langkah yang dilakukan adalah :

1. Menentukan skor tertinggi = 91.8 2. Menentukan skor terendah = 75

3. Menentukan rentang skor = skor tertinggi – skor terendah = 91.8 – 75 = 16.8

4. Menentukan jumlah kategori = 3 ( Tinggi, Sedang, Kurang)

5. Menentukan panjang interval = rentang skor : jumlah kategori = 16.8 : 3 = 5.6

6. Membuat batas rentang nilai :

(22)

7. Kategori :

a. Prestasi Kurang (< 80.6) b. Prestasi Sedang (80.6 – 86.2) c. Prestasi Baik (> 86.2)

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dari setiap sampel diolah dan dianalisis dengan menggunakan program SPSS versi 17.

1. Untuk melihat distribusi frekuensi karakteristik sampel penelitian dan prestasi belajar disajikan dalam bentuk tabulasi dan dideskripsikan

(23)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Proses pengambilan data penelitian berlangsung selama 1 hari, tepatnya pada tanggal 28 September 2013 di SDN Dharmawanita, Medan. Penelitian ini menggunakan Snellen Chart untuk pengambilan data ketajaman penglihatan (visus) yang dilakukan oleh ahli refraksi. Data lain diambil berdasarkan nilai rata-rata rapor hasil ujian terakhir untuk satu semester. Segala data yang telah dikumpulkan dan dicatat dengan baik kemudian di analisis oleh peneliti sehingga dapat disimpulkan hasil penelitian seperti yang dipaparkan dibawah ini .

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan di SDN Dharmawanita,Medan. Sekolah ini beralamat di Jl. Melati II no. 30, Kecamatan Medan Selayang Kelurahan Tanjung Sari dan terletak di tengah perumahan penduduk. SDN Dharmawanita termasuk kedalam sekolah dibawah asuhan Pemerintah Wilayah Daerah Tingkat I Sumatera Utara. Jumlah siswa di Sekolah Dasar Negeri Dharmawanita adalah 228 orang yang setiap kelasnya terdiri atas kurang lebih 25 siswa.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Subjek Penelitian

(24)

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi (orang) Persentasi (%)

Laki-Laki 25 56.8

Perempuan 19 43.2

Total 44 100.0

Berdasarkan tabel 5.1., dapat diketahui bahwa dari seluruh sampel yaitu sebanyak 44 orang siswa-siswi, 25 orang (56.8%) adalah laki-laki dan sebanyak 19 orang (43.2%) adalah perempuan.

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Umur

Umur (Tahun) Frekuensi (Orang) Persentase (%)

9 7 15.9

10 20 45.5

11 16 36.4

12 1 2.3

Total 44 100.0

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa subjek penelitian terbanyak yaitu subjek dengan usia 10 (45.5%) dan 11 (36.4%) tahun.

5.1.3. Hasil Analisis Data

5.1.3.1. Ketajaman Pengelihatan (Visus) Subjek Penelitian

(25)

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Ketajaman Penglihatan Mata Kanan dan Kiri

Visual Acuity Oculi Dextra Oculi Sinistra

Frekuensi

Pada penelitian ini, ketajaman penglihatan (visus) dikategorikan menjadi normal (nilai ketajaman penglihatan ≥0.8) dan menurun (nilai ketajaman penglihatan <0.8). Untuk memudahkan pembahasan selanjutnya, nilai ketajaman penglihatan (visus) pada subjek penelitian sesuai dengan Tabel 5.3. akan dikategorikan menjadi Normal Visual Acuity, bila ketajaman penglihatan (visus) kedua mata normal, Unilateral Visual Acuity, bila terdapat penurunan ketajaman penglihatan (visus) pada salah satu mata saja (mata kanan ataupun kiri), Bilateral Visual Acuity , bila terdapat penurunan ketajaman penglihatan pada keduabelah mata.

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Status Ketajaman Penglihatan Visual Acuity Status Frekuensi (orang) Persentase (%)

Normal Visual Acuity 31 70.5

Unilateral Visual Acuity 4 9.1

Bilateral Visual Acuity 9 20.5

(26)

Dari Tabel 5.4. dapat dilihat bahwa subjek penelitian dengan ketajaman penglihatan normal adalah sebesar 70.5%, subjek penelitian dengan penurunan ketajaman penglihatan (visus) unilateral adalah 9.1% dan subjek penelitian dengan penurunan ketajaman penglihatan (visus) bilateral adalah 20.5%.

5.1.3.2. Keadaan atau Status Penglihatan Subjek Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara miopia yang tidak dikoreksi dengan prestasi belajar.Oleh karena itu pada penelitian ini dibuat kategori Miopia adalah suatu kelainan refraksi yang ditandai dengan penurunan ketajaman penglihatan (visus) < 0.8 baik unilateral atau bilateral dan mata normal adalah apabila ketajaman penglihatan (visus) pada kedua mata normal atau ≥ 0.8. Data lengkap dapat dilihat pada Tabel 5.5. dibawah ini.

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Miopia dan Mata Normal Keadaan/Status Mata Frekuensi (orang) Persentase (%)

Mata normal 31 70.5

Miopia 13 29.5

Total 44 100.0

Dari Tabel diatas dapat dilihat bahwa subjek penelitian dengan mata normal adalah 31 orang (70.5%) dan subjek penelitian dengan miopia adalah 13 orang (29.5%).

5.1.3.3. Prestasi Belajar

(27)

diketahui bahwa nilai prestasi belajar terendah yang dicapai oleh subjek penelitian adalah 75 dan nilai tertinggi yang dicapai adalah 91.8. Nilai rata-rata prestasi belajar adalah 83.48 dengan standar deviasi 3.89.

Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Prestasi Belajar

Skor Kategori Frekuensi (orang) Persentase (%) > 86.2 Baik 12 27.3

80.6-86.2 Sedang 23 52.3 < 80.6 Kurang 9 20.5

Total 44 100.0

Berdasarkan tabel 5.6. dapat diketahui bahwa dari seluruh subjek penelitian yang berjumlah 44 orang, subjek penelitian yang mempunyai nilai prestasi belajar pada kategori baik adalah 12 orang (27.3%), yang mempunyai nilai prestasi belajar sedang adalah 23 orang (52.3%) dan yang mempunyai nilai prestasi belajar kurang adalah 9 orang (20.5%).

5.1.3.4. Hasil Analisis Statistik Hubungan Miopia yang Tidak Dikoreksi dengan Prestasi Belajar

Pengujian terhadap hipotesis yang menyatakan adanya hubungan antara miopia yang tidak dikoreksi dengan prestasi belajar dilakukan dengan bantuan program SPSS for windows yang akan menganalisis variabel dependen dan variabel independen. Data yang dikumpulkan dari 44 subjek penelitian akan dianalisis melalui uji hipotesis dengan Chi Square dan didapat hasilnya sebagai berikut.

Tabel 5.7. Hubungan Miopia yang Tidak Dikoreksi dengan Prestasi Belajar Keadaan

atau Status Penglihatan

Prestasi Belajar P

Baik Sedang Kurang Total

n % n % n % N %

(28)

Normal 9 75 19 82.6 3 33.3 31 70.5

Total 12 100 23 100 9 100 44 100

Dari hasil perhitungan uji hipotesis Chi-Square diperoleh 2 sel yang memiliki nilai ekspektasi dibawah 5. Hal ini menyebabkan uji hipotesis Chi-Square tidak dapat dipergunakan. Maka, sebagai alternatif dipergunakanlah uji hipotesis Kolmogorov-Smirnov Test (Sopiyudin,2010). Hasil output yang diperoleh adalah nilai p = 0.175. Nilai p yang lebih besar dari 0.05 menyebabkan Ho dalam penelitian ini gagal ditolak. Ini berarti bahwa tidak adanya hubungan antara miopia yang tidak dikoreksi dengan prestasi belajar.

5.2. Pembahasan

5.2.1. Status Ketajaman Penglihatan dan Miopia yang Tidak Dikoreksi pada Siswa-Siswi Sekolah Dasar

Miopia merupakan suatu kelainan refraksi yang ditandai dengan ketajaman penglihatan dibawah normal. Miopia merupakan masalah kesehatan yang penting. Miopia dapat menyebabkan kehilangan penglihatan dan prevalensinya terus meningkat (Fredrick,2002). Perlu dilakukan screening atau pemeriksaan mata berkala terutama pada anak usia pra-sekolah dan usia sekolah untuk menyaring miopia ataupun kelainan refraksi lain,sehingga kelainan refraksi tersebut bisa dikoreksi dengan alat bantu penglihatan yang sesuai. Pemeriksaan ketajaman penglihatan (visus) dengan menggunakan

Snellen Chart adalah salah satu pemeriksaan standar sederhana yang digunakan untuk miopia.

(29)

oleh Seang Mei,dkk (2002). Pada penelitian tersebut, prevalensi penurunan ketajaman penglihatan yang didapatkan adalah 26,1%, dibandingkan dengan prevalensi penurunan ketajaman penglihatan pada penelitian ini yaitu 29,5%. Angka prevalensi yang tinggi ini dapat menunjukkan bahwa perhatian yang diberikan pada status ketajaman penglihatan anak-anak masih tidak cukup.Kurangnya perhatian masyarakat (pihak keluarga, sekolah, ataupun pemerintah ) pada ketajaman penglihatan dapat menjadi salah satu penyebab tingginya prevalensi miopia. Koreksi miopia dengan menggunakan alat bantu penglihatan dapat membantu mengurangi prevalensi miopia dan dapat memberikan penglihatan yang normal. Dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Willy (2006) , kasus kelainan refraksi yang tidak dikoreksi ataupun tidak terkoreksi penuh ada pada miopia dengan persentase 58.15%, sedangkan dari observasi dan wawancara yang dilakukan pada penelitian ini didapatkan 100% penderita miopia pada siswa-siswi kelas 5-6 SDN Dharmawanita tidak dikoreksi dengan kacamata atau alat bantu penglihatan lain. Hal tersebut menjadi masalah karena kurangnya perhatian dari berbagai pihak akan kesehatan mata anak usia sekolah.

5.2.2. Hubungan Miopia yang Tidak Dikoreksi dengan Prestasi Belajar

Berdasarkan 44 sampel yang diambil di SDN Dharmawanita, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar rata-rata yang diperoleh siswa adalah 83.5 dengan standar deviasi 3.89. Nilai minimum untuk prestasi adalah 75.0 sedangkan nilai tertinggi untuk prestasi adalah 91.8.

(30)
(31)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan , yaitu :

a. Prevalensi miopia pada siswa-siswi kelas 5-6 SDN Dharmawanita, Medan tahun 2013 adalah senilai 29,5%.

b. Pada siswa-siswi yang mengalami miopia didapati 9,1% dengan penurunan ketajaman unilateral, dan 20,5% dengan penurunan ketajaman bilateral.

c. Dari seluruh siswa-siswi yang miopia 100% tidak dikoreksi dengan menggunakan kacamata atau alat bantu penglihatan lain.

d. Prestasi akademik rata-rata adalah 83.5 dengan standar deviasi 3,89. Sebanyak 20.5% memiliki prestasi belajar kurang, 52.3% memiliki prestasi belajar sedang, 27.3% memiliki prestasi akademik baik.

e. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara miopia yang tidak dikoreksi dengan prestasi belajar pada siswa-siswi kelas 5-6 SDN Dharmawanita, Medan tahun 2013.

6.2. Saran

(32)

a. Masukan kepada orang tua, agar dapat memperhatikan kesehatan mata anaknya, dengan kesadaran untuk melakukan pemeriksaan mata secara berkala tiap 6 bulan kepada anak tersebut.

b. Masukan kepada pihak sekolah untuk mengupayakan penyuluhan pemeriksaan mata secara berkala setiap 6 bulan secara rutin kepada anak usia sekolah , sehingga tercapai sistem skrining yang efektif untuk membantu menemukan anak dengan kelainan refraksi dan anak dengan kelainan refraksi tersebut bisa dikoreksi dengan alat bantu penglihatan yang sesuai.

c. Masukan kepada peneliti lain di masa yang akan datang untuk melakukan persiapan dalam melakukan penelitian baik sarana, alat , dan lain-lain dan untuk meneliti dengan sampel yang lebih banyak dan bervariasi dan dengan perangkat penelitian yang lebih lengkap untuk mengendalikan bias dalam penelitian ini.

(33)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Mata

Gambar 2.1. Anatomi Mata

Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang dibungkus oleh tiga

lapisan. Dari paling luar ke paling dalam, lapisan-lapisan itu adalah : (1)

Sklera/kornea, (2) koroid/badan siliaris/iris, (3) retina , (gambar 2.1). Sebagian

besar bola mata dilapisi oleh sebuah lapisan jaringan ikat protektif yang kuat

disebelah luar, yaitu sklera, yang membentuk bagian putih mata. Di anterior (ke

arah depan), lapisan luar terdiri dari kornea transparan tempat lewatnya

berkas-berkas cahaya ke interior mata. Lapisan tengah di bawah sklera adalah koroid

yang sangat berpigmen dan mengandung pembuluh darah untuk memberi makan

retina. Lapisan koroid di sebelah anterior mengalami spesialisasi untuk

membentuk badan siliaris dan iris. Lapisan paling dalam dibawah koroid adalah

(34)

lapisan jaringan saraf di sebelah dalam. Retina mengandung sel batang dan sel

kerucut, fotoreseptor yang mengubah energi cahaya menjadi impuls saraf. Pigmen

di koroid dan retina menyerap cahaya sehingga mencegah pemantulan dan

penghamburan cahaya di dalam mata.

Bagian dalam mata terdiri dari dua rongga berisi cairan yang dipisahkan

oleh sebuah lensa , yang semuanya jernih untuk memungkinkan cahaya lewat

menembus mata dari kornea ke retina. Rongga anterior (depan) antara kornea dan

lensa mengandung cairan encer jernih, aqueous humor, dan rongga di posterior

(belakang) yang lebih besar antara lensa dan retina mengandung zat semicair

mirip gel yang disebut vitreous humor.

Vitreous humor penting untuk mempertahankan bentuk bola mata yang

sferis. Aquous humor mengandung zat-zat gizi untuk kornea dan lensa, keduanya

tidak memiliki pasokan darah. Adanya pembuluh darah di kedua struktur ini akan

mengganggu lewatnya cahaya ke fotoreseptor. Aquous humor dibentuk dengan

kecepatan sekitar 5 ml/hari oleh jaringan kapiler didalam korpus siliaris, turunan

khusus lapisan koroid di sebelah anterior. Cairan ini mengalir ke suatu saluran di

tepi kornea dan akhirnya masuk ke darah.

2.2 . Karakteristik Optik Mata 2.2.1. Refraksi Mata

Cahaya adalah suatu bentuk radiasi elektromagnetik yang terdiri dari

paket-paket individual energi. Terdapat fotoreseptor pada mata yang peka terhadap

cahaya dengan panjang gelombang antara 400 dan 700 nanometer. Gelombang

cahaya mengalami divergensi (memancar ke luar) ke semua arah dari setiap titik

sumber cahaya dalam arah tertentu dikenal sebagai berkas cahaya. Berkas-berkas

cahaya divergen yang mencapai mata harus dibelokkan ke arah dalam untuk

difokuskan kembali ke sebuah titik peka-cahaya di retina agar dihasilkan suatu

bayangan akurat mengenai sumber cahaya.

Refraksi adalah defleksi, atau pembelokan berkas sinar saat melewati salah

satu medium menuju medium lain yang memiliki densitas optik berbeda. Semakin

(35)

berperan dalam refraksi adalah densitas komparatif antara dua media (semakin

besar perbedaan densitas , semakin besar derajat pembelokan) dan sudut jatuhnya

berkas cahaya di medium kedua (semakin besar sudut, semakin besar pembiasan).

Suatu lensa dengan permukaan konveks (cembung) menyebabkan konvergensi,

atau penyatuan, berkas-berkas cahaya, yaitu persyaratan untuk membawa suatu

bayangan ke titik fokus. Dengan demikian, permukaan refraktif mata bersifat

konveks. Lensa dengan permukaan konkaf (cekung) menyebabkan divergensi

(penyebaran) berkas-berkas cahaya; suatu lensa konkaf berguna untuk

memperbaiki kesalahan refraktif mata tetrtentu, misalnya berpenglihatan dekat.

Struktur yang berperan dalam refraksi mata adalah kornea, lensa, cairan

aquous humor dan vitreous humor. Permukaan kornea, struktur pertama yang

dilalui cahaya sewaktu masuk mata, yang melengkung berperan paling besar

dalam kemampuan refraktif total karena perbedaan densitas pertemuan

udara/kornea jauh lebih besar daripada perbedaan antara lensa dan cairan yang

mengelilinginya. Kornea bertanggung jawab untuk sekitar 70% daya refraktif dan

merupakan alat penyesuaian kasar pada mata. Pada astigmatisme, kelengkungan

kornea tidak seragam/rata sehingga berkas-berkas cahaya mengalami refraksi

yang tidak setara. Kemampuan refraksi kornea seseorang tetap konstan karena

kelengkungan kornea tidak pernah berubah. Sebaliknya, kemampuan refraksi

lensa dapat disesuaikan dengan mengubah kelengkungan sesuai keperluan untuk

melihat dekat atau jauh. Lensa berperan dalam sebagian besar alat “penyesuaian

halus” pada mata. Cairan Aquous humor dan vitreous humor bertanggung jawab

untuk refraksi minimal.

Struktur-struktur refraksi pada mata harus membawa bayangan cahaya

terfokus di retina agar penglihatan jelas. Apabila suatu bayangan sudah terfokus

sebelum mencapai retina atau belum terfokus sewaktu mencapai retina, bayangan

(36)

2.2.2. Akomodasi Mata

Akomodasi adalah proses penyesuaian otomatis pada lensa untuk memfokuskan

objek secara jelas pada jarak yang beragam. Kemampuan menyesuaikan kekuatan

lensa ini mengakibatkan sumber cahaya yang dekat maupun jauh dapat

difokuskan di retina.

Kekuatan lensa bergantung pada bentuknya, yang diatur oleh otot siliaris. Otot

siliaris adalah bagian dari korpus siliaris, suatu spesialisasi lapisan koroid di

sebelah anterior. Korpus siliaris memiliki dua komponen utama: otot siliaris dan

jaringan kapiler yang menghasilkan aquous humor. Otot siliaris adalah otot polos

melingkar yang melekat ke lensa melalui ligamentum suspensorium.

Ketika otot siliaris melemas, ligamentum suspensorium tegang dan

menarik lensa, sehingga lensa berbentuk gepeng dengan kekuatan refraksi

minimal. Ketika berkontraksi, garis tengah otot ini berkurang dan tegangan di

ligamentum suspensorium mengendur. Sewaktu lensa kurang mendapat tarikan

dari ligamentum suspensorium, lensa mengambil bentuk yang lebih sferis (bulat)

karena elastisitasnya. Semakin besar kelengkungan lensa, semakin besar

kekuatannya, sehingga berkas cahaya lebih dibelokkan. Pada mata normal, otot

siliaris melemas dan lensa mendatar untuk penglihatan jauh, tetapi otot tersebut

berkontraksi untuk memungkinkan lensa menjadi lebih cembung dan lebih kuat

untuk penglihatan dekat.

Seumur hidup, hanya sel-sel tepi luar lensa yang diganti. Sel-sel di bagian

tengah lensa mengalami kesulitan ganda. Sel-sel tersebut tidak saja merupakan sel

tertua, tetapi juga terletak paling jauh dari aquous humor , sumber nutrisi bagi

lensa. Seiring dengan pertambahan usia, sel-sel dibagian tengah yang tidak dapat

diganti dan mati ini akan menjadi kaku. Dengan berkurangnya kelenturan, lensa

tidak lagi mampu mengambil bentuk sferis yang diperlukan untuk akomodasi

untuk penglihatan dekat. Penurunan kemampuan akomodasi yang berkaitan

dengan usia ini, yaitu presbiopia, mengenai sebagian besar orang pada usia

pertengahan (45-50 tahun), sehingga mereka memerlukan lensa korektif untuk

(37)

Gangguan penglihatan yang sering dijumpai lainnya adalah berpenglihatan

dekat (miopia) dan berpenglihatan jauh (hiperopia). Pada mata normal, sumber

cahaya jauh difokuskan di retina tanpa akomodasi, sementara kekuatan lensa

ditingkatkan oleh akomodasi untuk membawa sumber dekat ke fokus. Pada

miopia, karena bola mata terlalu panjang atau lensa terlalu kuat, sumber cahaya

dekat dibawa ke fokus di retina tanpa akomodasi (walaupun dalam keadaan

normal akomodasi diperlukan untuk penglihatan dekat), sementara sumber cahaya

jauh difokuskan di depan retina dan tampak kabur. Dengan demikian orang yang

mengalami miopia memiliki penglihatan dekat yang lebih baik daripada

penglihatan jauh, suatu keadaan yang dapat dikoreksi oleh lensa konkaf. Pada

hiperopia, bola mata mungkin terlalu pendek atau lensa mata terlalu lemah.

Benda-benda jauh terfokus di retina hanya dengan akomodasi,sementara

benda-benda dekat difokuskan di belakang retina, walaupun mata mengadakan

akomodasi, sehingga tampak kabur. Dengan demikian, individu hiperopia

memiliki penglihatan jauh yang lebih baik daripada penglihatan dekat, suatu

keadaan yang dapat dikoreksi dengan lensa konveks.

2.3. Ametropia

Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran

depan dan kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai

daya pembiasan sinar terkuat dibanding bagian mata lainnya. Lensa memegang

peranan membiaskan sinar terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila

melihat benda yang dekat.

Panjang bola mata seseorang dapat berbeda-beda. Bila terdapat kelainan

pembiasan sinar oleh kornea ( mendatar, mencembung ) atau adanya perubahan

panjang (lebih panjang , lebih pendek) bola mata, maka sinar normal tidak dapat

terfokus pada makula. Keadaan ini disebut sebagai ametropia yang dapat berupa

miopia, hipermetropia, dan astigmatisme.

Dalam bahasa Yunani, ametros berarti tidak sebanding atau tidak seimbang,

sedang ops berarti mata. Sehingga yang dimaksud dengan ametropia adalah

(38)

terjadi akibat kelainan kekuatan pembiasan sinar media penglihatan atau kelainan

bentuk bola mata.

Ametropia dalam keadaan tanpa akomodasi atau dalam keadaan istirahat

memberikan bayangan sinar sejajar pada fokus yang tidak terletak pada retina.

Pada keadaan ini bayangan pada selaput jala tidak sempurna terbentuk. Dikenal

beberapa ametropia , seperti :

a. Ametropia aksial

Ametropia yang terjadi akibat sumbu optik bola mata lebih panjang atau lebih

pendek sehingga bayangan benda difokuskan di depan atau di belakang retina.

Pada miopia aksial, fokus akan terletak di depan retina karena bola mata lebih

panjang (gambar 2.2) dan pada hipermetropia aksial fokus bayangan terletak di

belakang retina (gambar 2.3).

b. Ametropia refraktif

Ametropia akibat kelainan sistem pembiasan sinar di dalam mata. Bila daya bias

kuat, maka bayangan benda terletak di depan retina seperti pada miopia (gambar

2.2) atau bila daya bias kurang, maka bayangan benda akan terletak di belakang

retina seperti pada hipermetropia refraktif (gambar 2.3)

(39)

2.4. Miopia 2.4.1. Definisi

Miopia adalah suatu kondisi penglihatan dimana objek yang letaknya dekat

terlihat jelas sedangkan objek yang letaknya jauh tidak jelas terlihat atau terlihat

kabur. Miopia terjadi jika bola mata terlalu panjang atau kornea memiliki banyak

lengkungan, akibatnya cahaya yang memasuki mata tidak terfokus dengan benar

dan objek yang jauh terlihat kabur (American Optometric Association , 2006).

Miopia adalah kondisi yang sangat umum yang hampir 30% mempengaruhi

penglihatan pada penduduk Amerika Serikat. Beberapa penelitian menunjukan

bahwa miopia bersifat herediter. Ada juga bukti bahwa miopia dipengaruhi oleh

berbagai faktor lain seperti stres visual karena terlalu sering melihat objek dengan

jarak yang terlalu dekat. Umumnya, miopia terjadi pada anak-anak usia sekolah,

namun miopia juga dapat terjadi pada orang dewasa karena stres visual atau

kondisi kesehatan seperti diabetes (American Optometric Association , 2006).

Menurut Margan, miopia adalah suatu kondisi yang benign,karena penglihatan

dapat dikoreksi dengan menggunakan kacamata, lensa kontak, ataupun operasi.

2.4.2. Epidemiologi

Prevalensi miopia sangat bervariasi, tergantung kepada beberapa faktor

yang diduga dapat menyebabkan miopia seperti faktor usia, jenis kelamin, jenis

pekerjaaan, tingkat pendapatan, dan pencapaian pendidikan seseorang. Miopia

biasanya dimulai pada masa anak-anak.

Dari penelitian sebelumnya disebutkan bahwa prevalensi miopia meningkat

di negara-negara berkembang di Asia Timur dan Asia Tenggara seperti Singapura,

China, Taiwan, Hongkong, Jepang, dan Korea. Di daerah perkotaan, 80%-90%

anak usia sekolah menderita miopia dan sekitar 10%-20% dari mereka menderita

miopia berat. Sedangkan di negara-negara maju dan Amerika Serikat, didapati

remaja di negara tersebut memiliki prevalensi miopia siktar 25%-35%.

Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Vidyapati (2010), 6%-15% dari

anak-anak yang menderita miopia berasal dari orang tua yang tidak menderita

(40)

meningkat rata-rata menjadi 33%-60%. Pada suatu penelitian di Amerika

didapatkan bahwa bila pada kedua orang tua menderita miopia, maka anak-anak

mereka memiliki kemungkinan enam kali lebih besar untuk mendapatkan miopia

dibandingkan dengan hanya salah satu orang tua yang menderita miopia atau

sama sekali tidak ada.

2.4.3. Klasifikasi

American Optometric Association (2010) mengklasifikasikan miopia

sebagai berikut

Tabel 2.1. Sistem Klasifikasi Miopia

Tipe Klasifikasi Jenis Miopia

Entitas Klinis Simple myopia

Nokturnal myopia

Pseudomyopia

Degenerative myopia

Induced myopia

Derajat Low myopia (<3.00 D)

Medium myopia (3.00 D – 6.00 D)

High myopia (>6.00)

Umur Congenital myopia

Youth-onset myopia (<20 years of

age)

Early adult-onset myopia (2-40 years

of age)

Late adult-onset myopia (>40 years of

age)

(41)

 Simple Miopia

Simple miopia adalah miopia yang disebabkan oleh dimensi bola mata yang

terlalu panjang atau indeks bias kornea maupun lensa yang terlalu tinggi.  Miopia Nokturnal

Miopia nokturnal adalah miopia yang hanya terjadi pada saat kondisi di sekeliling

kurang cahaya. Sebenarnya, fokus titik jauh mata seseorang bervariasi terhadap

tahap pencahayaan yang ada. Miopia ini dipercaya penyebabnya adalah pupil

yang membuka terlalu lebar untuk memasukkan lebih banyak cahaya , sehinggga

menimbulkan aberasi dan menambah kondisi miopia

 Pseudomiopia

Pseudomiopia diakibatkan oleh rangsangan yang berlebihan terhadap mekanisme

akomodasi sehingga terjadi kekejangan pada otot-otot siliar yang memegang

lensa. Di Indonesia, disebut miopia palsu, karena memang sifat miopia ini hanya

sementara sampai kekejangan akomodasinya dapat direlaksasikan. Untuk kasus

ini, tidak boleh buru-buru diberi lensa koreksi

 Miopia degeneratif

Disebut juga sebagai miopia degeneratif, miopia maligna atau miopia progresif.

Biasanya merupakan miopia derajat tinggi dan tajam penglihatannya juga di

bawah normal meskipun telah mendapat koreksi. Miopia jenis ini bertambah

buruk dari waktu ke waktu

 Miopia Induksi

Miopia yang diakibatkan oleh pemakaian obat-obatan , naik turunnya kadar gula

darah, terjadinya sklerosis pada nukleus lensa dan sebagainya.

Klasifikasi miopia berdasarkan derajatnya :

(42)

Klasifikasi miopia berdasarkan umur :

 Kongenital : sejak lahir dan menetap pada masa anak- anak  Miopia onset anak-anak : di bawah umur 20 tahun

 Miopia onset awal dewasa : di antara umur 20 sampai 40 tahun  Miopia onset dewasa : di atas umur 40 tahun

Klasifikasi miopia menurut bentuknya :  Miopia refraktif

Bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti terjadi pada katarak

intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat.

Sama dengan miopia bias atau miopia indeks, miopia yang terjadi akibat

pembiasan media penglihatan kornea dan lensa yang terlalu kuat.

 Miopia aksial

Miopia akibat panjangnya sumbu bola mata, dengan kelengkungan kornea dan

lensa yang normal.

2.4.4. Etiologi dan Faktor Resiko

American optometric Association (2010), mengklasifikasikan penyebab miopia

berdasarkan jenis miopia sebagai berikut :

Tabel 2.2. Klasifikasi Kemungkinan Penyebab Miopia

Tipe Miopia Penyebab

Miopia Sederhana Genetik

Sering bekerja dengan jarak yang terlalu

dekat

Tidak diketahui

Miopia Nokturna Kebiasaan fokus atau akomodasi dengan

pencahayaan yang kurang

Pseudomiopia Kelainan akomodasi

Eksophoria

(43)

Miopia Degeneratif Genetik

Retinopati prematur

Gangguan cahaya melewati media okular

Miopia Induksi Nuklear katarak yang berhubungan dengan

umur

Terekspos sulfonamides dan obat lain

Gula darah

American Optometric Association

Faktor resiko yang dapat menyebabkan miopia diantaranya adalah faktor

genetik. Studi menunjukkan 33%-60% anak menderita miopia berasal dari kedua

orang tua yang juga menderita miopia. Tingkat pendidikan juga dapat

mempengaruhi kejadian miopia pada diri seseorang , semakin tinggi tingkat

pendidikannya, semakin tinggi kemungkinan seseorang tersebut mengalami

miopia. Begitu juga halnya dengan pekerjaan seseorang, seseorang yang sering

bekerja dengan melihat sesuatu pada jarak yang dekat dapat meningkatkan

terjadinya miopia. Beberapa hasil penelitian sebelumnya juga menyebutkan

bahwa status gizi, penyakit tertentu, kelainan genetik, prematuritas, dan terpapar

cahaya yang sangat terang juga dapat menjadi faktor resiko untuk terjadinya

miopia.

2.4.5. Gejala Klinis

Gejala yang paling umum pada miopia adalah melihat jelas bila dekat,

sedangkan melihat jauh kabur atau disebut pasien dengan rabun jauh. Pasien

miopia juga akan mengeluhkan sakit kepala, sering disertai dengan juling dan

celah kelopak mata yang sempit. Seorang miopia mempunyai kebiasaan

mengerinyitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan

efek pinhole ( lubang kecil).

Pasien miopia memiliki pungtum remotum yang dekat sehingga mata selalu

dalam atau berkedudukan konvergensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia

(44)

ke dalam atau esoptropia. Tanda seseorang itu miopia bisa juga diukur dengan

menggunakan Snellen Chart yang memiliki nilai visus kurang dari 6/6 atau 5/5

tergantung Snellen Chart yang digunakan.

2.4.6. Diagnosis

Untuk mengetahui seseorang itu menderita miopia,harus ditanyakan kepada

pasien berkaitan dengan gejala yang dihadapinya. Pada pasien miopia, pasien

akan mengeluhkan penglihatan kabur ketika melihat objek yang jauh dan melihat

jelas pada objek yang dekat. Beberapa pasien mengeluhkan sakit kepala, sering

disertai dengan juling dan celah kelopak mata yang sempit. Pasien juga terlihat

sering menyerngitkan matanya untuk mendapatkan efek pinhole. Pasien juga

mengeluhkan kelelahan mata. Selain itu pemeriksa juga harus menanyakan secara

pasti ada tidaknya pasien memiliki riwayat faktor resiko miopia, riwayat penyakit

yang dialami dan obat yang diambil pasien sebelumnya.

Selain dari mengenal gejala klinis pasien diatas, kita juga dapat melakukan

beberapa pemeriksaan lain :

A. Pemeriksaan Visus dengan Menggunakan Snellen Chart

Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan pada mata tanpa atau dengan

kacamata. Setiap mata diperiksa secara terpisah. Biasakan memeriksa tajam

penglihatan kanan terlebih dahulu kemudian kiri lalu mencatatnya. Pemeriksaan

tajam penglihatan sebaiknya dilakukan pada jarak 5 atau 6 meter, karena pada

jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan beristirahat atau tanpa

akomodasi.

Pada pemeriksaan tajam penglihatan dipakai kartu baku atau standar,

misalnya snellen chart yang setiap hurufnya membentuk sudut 5 menit pada jarak

tertentu sehingga huruf pada baris tanda 60, berarti huruf tersebut membentuk

sudut 5 menit pada jarak 60 meter, dan pada baris tanda 30, berarti huruf tersebut

(45)

Dengan snellen chart standar ini dapat ditentukan tajam penglihatan atau

kemampuan melihat seseorang, seperti :

 Bila tajam penglihatan 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada jarak 6

meter, yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 6 meter.  Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang menunjukkan angka

30, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/30

 Bila pasien hanya dapat membaca huruf pada baris yang menunjukkan angka 50, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/50

 Bila tajam penglihatan adalah 6/60 berarti ia hanya dapat terlihat pada jarak 6

meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter

 Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen, maka dilakukan uji hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang normal pada

jarak 60 meter

 Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang

diperlihatkan pada jarak 3 meter, maka dinyatakan tajam 3/60. Dengan

pengujian ini, tajam penglihatan hanya dapat dinilai sampai 1/60, yang berarti

hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter.

 Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan tajam penglihatan pasien yang lebih buruk daripada 1/60. Orang normal dapat melihat gerakan atau

lambaian tangan pada jarak 300 meter. Bila mata hanya dapat melihat lambaian

tangan pada jarak 1 meter, berarti tajam penglihatannya adalah 1/300.

 Kadang-kadang mata hanya dapat mengenal adanya sinar sejajar saja dan tidak

dapat melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut sebagai tajam penglihatan

1/~. Orang normal dapat melihat adanya sinar pada jarak tidak berhingga

 Bila penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar, dikatakan

penglihatannya adalah 0 (nol) atau buta total.

Hal di atas dapat dilakukan pada orang yang telah dewasa atau dapat

berkomunikasi. Pada bayi adalah tidak mungkin melakukan pemeriksaan tersebut.

Untuk mengetahui sama atau tidaknya ketajaman penglihatan kedua mata akan

(46)

apakah penglihatannnya berkurang akibat kelainan refraksi, maka dilakukan uji

pinhole. Bila dengan uji pinhole penglihatan lebih baik, maka berarti ada kelainan

refraksi yang masih bisa dikoreksi dengan kacamata. Bila penglihatan berkurang

dengan diletakkannya pinhole di depan mata berarti ada kelainan organik atau

kekeruhan media penglihatan yang mengakibatkan penglihatan menurun. Pada

seseorang yang terganggu akomodasinya atau adanya presbiopia, maka apabila

melihat benda-benda yang sedikit didekatkan akan terlihat kabur.

Sebaiknya diketahui bahwa :

1. Bila dipakai huruf tunggal pada uji tajam penglihatan maka penderita

ambliopia akan mempunyai tajam penglihatan huruf tunggal lebih baik

dibandingkan memakai huruf ganda.

2. Huruf pada satu baris tidak sama mudahnya terbaca karena bentuknya

kadang-kadang sulit dibaca seperti huruf T dan W

3. Pemeriksaan tajam penglihatan mata anak jangan sampai terlalu melelahkan

anak

4. Gangguan lapang pandangan dapat memberikan gangguan penglihatan pada

satu sisi pembacaan uji baca

5. Tajam penglihatan dengan kedua mata akan lebih baik dibanding dengan

membaca dengan satu mata

6. Amati pasien selama pemeriksaan karena mungkin akan mengintip dengan

matanya yang lainnya.

B. Phoropter dan retinoskop

Dengan menggunakan phoropter, di depan mata paisen akan diletakkan

serangkaian lensa dan dokter akan mengukur nilai fokus cahya pasien dengan

menggunakan retinoskop yang dipegang oleh dokter. Selain dari cara manual tadi,

dokter juga dapat memilih untuk menggunakan mesin yang dapat mengevaluasi

kekuatan fokus mata pasien secara otomatis.

Setelah kekuatan fokus telah berhasil divaluasi, daya kekuatan fokus yang

(47)

memungkinkan penglihatan kembali menjadi jelas akan ditentukan berdasarkan

respon pasien terhadap lensa yang diletakkan dihadapan matanya.

Informasi yang diperoleh dari tes ini, bersama dengan hasil tes yang diperoleh

dari hasil tes lainnya, dapat digunakan untuk menetukan seseorang pasien itu

miopia atau tidak. Selain itu, apapun kekuatan lensa yang diperlukan untuk

mengoreksi agar penglihatan pasien kembali jelas dapat ditentukan dengan

menggunakan informasi ini, sehingga pilihan untuk pengobatan miopia juga dapat

disarankan kepada pasien.

2.4.7. Penatalaksanaan  Kacamata

Pengobatan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan kacamata sferis

negatif terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal. Sebagai

contoh bila pasien dikoreksi dengan -3.0 memberikan tajam penglihatan 6/6, dan

demikian juga bila diberi S-3.25, maka sebaiknya diberikan lensa koreksi -3.0

agar untuk memberikan istirahat mata dengan baik sesudah dikoreksi.

 Lensa Kontak

Dari penelitian sebelumnya disebutkan bahwa lensa kontak juga merupakan suatu

terapi koreksi yang efektif untuk pasien miopia, terutama yang jenis Rigid Contact

Lenses. Rigid gas-permeable contact lenses dilaporkan efektif dalam menurunkan

angka progresif miopia pada anak, hal ini dikarenakan jenis lensa kontak ini

menyebabkan permukaan kornea menjadi lebih mendatar.

 Tindakan Operasi 1. Radial Keratotomy

Melibatkan insisi secara radial pada bagian perifer kornea yang menyebabkan

permukaan sentral kornea menjadi lebih mendatar.

2. Surface photorefractive keratectomy (S-PRK)

Terapi ini dengan menggunakan excimer laser yang bertujuan untuk mengubah

bentuk jaringan tipis dari kornea dan memfokuskan cahaya masuk ke dalam mata.

Terapi ini relatif lebih aman dibandingkan dengan radial keratotomy, dan dapat

(48)

3. Laser Assisted In Situ Keratomileusis (LASIK)

S-PRK membuang lapisan tipis dari permukaan kornea sedangkan LASIK tidak.

LASIK membuang sebagian lapisan jaringan dari lapisan dalamnya. Untuk

melakukan hal ini, bagian dari permukaan luar kornea dipotong dan dilipat agar

jaringan lapisan dalam terbedah. Kemudian sebagian jaringan lapisan dalam

diperlukan untuk membentuk kembali kornea.Kornea dibuang dengan jumlah

yang tepat dengan menggunakan laser, dan kemudian jaringan luar ditutup dan

ditempatkan semula dalam posisi untuk menyembuhkan. Jumlah miopia yang

dapat dikoreksi LASIK dibatasi oleh jumlah jaringan kornea yang dapat dihapus

dengan cara yang aman.

4. Penanaman Lensa kontak ( Implantable Contact Lenses)

Pada penderita miopia yang korneanya tipis sehingga tidak memungkinkan

penggunaan laser , maka penanaman lensa kontak ini bisa menjadi pilihan terapi.

Dengan melakukan terapi ini , miopia atau rabun jauh dapat dikoreksi.

Vision Therapy and Visual Hygiene

Vision Therapy merupakan terapi perilaku. Beberapa peneliti berpendapat bahwa

beberapa miopia dapat dikontrol dengan vision therapy untuk memperbaiki

akomodasi dan fungsi. Menurut American Optometric Association , beberapa

yang termasuk ke dalam terapi ini adalah sebagai berikut :

1. Ketika membaca atau melakukan pekerjaan dekat intensif, istirahat setiap 30

menit. Selama istirahat, usahakan berdiri dan melihat keluar jendela

2. Ketika membaca, pertahankan jarak baca yang tepat dari buku tersebut. Buku

setidaknya sejauh jarak dari mata ke siku ketika kita menghubungkan jarak

tersebut dengan menggunakan kepalan tangan di hidung dan siku berada di

buku tersebut

3. Pastikan pencahayaan yang cukup ketika membaca.

4. Membaca atau melakukan pekerjaan visual lain dengan postur yang tegak lurus

5. Menempatkan batas waktu ketika memnonton televisi atau bermain video

(49)

2.4.8. Komplikasi

Beberapa komplikasi miopia adalah :

 Esoptropia

Pasien dengan miopia mempunyai pungtum remotum yang dekat sehingga mata

selalu dalam atau berkedudukan konvergensi yang akan menimbulkan keluhan

astenopia konvergensi. Jika kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan

terlihat juling ke dalam atau esoptropia.

 Ablasi Retina (Retinal Detachment)

Pada beberapa orang, miopia tinggi dapat menyebabkan ablasi retina. Ablasi ini

terjadi akibat adanya robekan pada retina sehingga cairan masuk ke belakang

antara sel pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan retina oleh badan

kaca air (fluid vitreous) yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina ke

rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapis epitel

pigmen koroid. Hal ini disebut juga sebagai ablasi retina regmatogenosa.

 Glaukoma

Resiko terjadinya galaukoma pada mata normal adalah 1,2%, pada miopia sedang

4,2% dan pada miopia tinggi 4,4%. Glaukoma pada miopia terjadi dikarenakan

stres akomodasi dan konvergensi serta kelainan struktur jaringan ikat

penyambung pada trabekula (Sidarta,2003).

 Katarak

Lensa pada miopia kehilangan transparansi. Bahwa pada orang dengan miopia

onset katarak muncul lebih cepat (Sativa,2003)

Myopic Maculopathy

Pada miopia tinggi, dimana kelainan dasar adalah perpanjangan aksial bola mata

yang berlebihan, menyebabkan mata mendapatkan resiko lebih besar untuk

terjadinya kelainan degeneratif pada sklera, koroid, pigmen epitel retina, dan

retina. Dari penelitian sebelumnya, pada miopia tinggi juga terdapat resiko

terjadinya neovaskularisasi koroid dengan angka kejadian sekitar 5%-10%.

Perpanjangan aksial bola mata pada miopia ini mempengaruhi hemodinamik pada

koroid. Pembuluh darah baru yang terbentuk (neovaskularisasi) ini memiliki

(50)

Pendarahan atau kebocoran cairan dari pembuluh darah abnormal ini akan

menyebabkan gejala visual dan menyebabkan hilangnya penglihatan dengan

derajat yang berbeda

2.4.9. Prognosis

Prognosis miopia sederhana adalah sangat baik. Pasien miopia sederhana

yang telah dikoreksi miopianya selalu dapat melihat objek yang jauh dengan lebih

baik. Setiap derajat miopia pada usia kurang dari 4 tahun harus dianggap serius.

Pada usia lebih dari 4 tahun miopia sampai dengan -6 D harus diawasi dengan

hati-hati. Jika telah melewati usia 21 tahun tanpa progresivitas serius maka

kondisi miopia dapat diharapkan telah menetap dan prognosis dianggap baik.

Pada semua kasus harus diperhatikan kemungkinan pendarahan tiba-tiba atau

ablasi retina.

(51)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mata merupakan jalur informasi utama dari panca indera. Adanya kelainan

pada mata akan menurunkan produktifitas, menimbulkan keluhan dan menganggu

aktivitas sehari-hari. Kelainan refraksi merupakan salah satu kelainan mata yang

paling sering terjadi. Kelainan refraksi yang tidak dikoreksi terus meningkat

diseluruh dunia. Hal ini disadari menjadi penyebab signifikan kelainan visual

yang dapat dicegah.

Di dunia, terdapat 285 juta orang yang mengalami ganggguan penglihatan,

39 juta orang dari mereka mengalami kebutaan (WHO,2012). Sekitar 90% dari

gangguan penglihatan terdapat di negara berkembang, dan 80% dari semua

gangguan penglihatan dapat dicegah dan dapat disembuhkan. Dua belas juta anak

di dunia yang berusia 5 sampai 15 tahun mengalami gangguan penglihatan karena

kelainan refraksi yang tidak dikoreksi; suatu kondisi yang sebenarnya dapat

didiagnosis dengan mudah dan dapat dikoreksi dengan kacamata, lensa kontak

atau dengan tindakan bedah. Berdasarkan letak geografis, 87% orang dengan

gangguan penglihatan tinggal di negara berkembang.

Salah satu kelainan refraksi yang sering terjadi pada populasi usia sekolah

adalah miopia. Miopia merupakan kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar

garis pandang pada keadaan mata tidak berakomodasi difokuskan didepan retina.

Miopia dapat terjadi karena ukuran aksis bola mata relatif panjang dan disebut

miopia aksial. Dapat juga karena indeks bias yang tinggi atau akibat indeks

refraksi lensa dan kornea terlalu kuat , dalam hal ini disebut juga miopia refraktif

(American Academy of Ophthalmology, 2010). Penderita miopia memiliki visus <

6/6 dan kesulitan melihat benda yang jauh.

Terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian miopia, antara

lain adalah genetik, jenis kelamin, suku, aktivitas melihat dekat meliputi waktu

(52)

bermain TV game , serta lamanya pajanan terhadap cahaya. Faktor genetik

merupakan faktor penting dalam perkembangan miopia.

Miopia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. Miopia

dapat menyebabkan kehilangan penglihatan dan prevalensinya terus meningkat

(Fredrick, 2002). Prevalensi miopia pada remaja telah meningkat dari 5-10%

sampai 10-20% di negara industri seperti Eropa dan Amerika Utara, dan

meningkat dari 25% sampai 60-80% di Asia Timur selama dua dekade terakhir.

Sedangkan di Indonesia miopia juga merupakan kelainan refraksi yang sering

terjadi dibandingkan kelainan refraksi lainnya. Seang Mei, dkk (2002) meneliti

prevalensi miopia di Sumatera mencapai 26,1% , sedangkan M.Sitepu (2002)

mendapatkan angka penderita miopia sebesar 76,5% dari 1124 penderita kelainan

refraksi di RS Pirngadi Medan.

Miopia ini memberikan dampak yang luas bagi penderitanya, seperti pada

karir, sosial ekonomi, dan juga yang lebih penting adalah memberikan masalah

pada pendidikan. Pada anak usia sekolah, miopia yang tidak terkoreksi akan

mengganggu proses belajar dan mengganggu proses pendidikan sehingga akan

mempengaruhi prestasi belajarnya. Hal ini tidak hanya berdampak buruk pada

penderita tersebut, tapi juga berdampak buruk bagi kelangsungan hidup negara,

karena anak adalah masa depan bangsa.

Perlu dilakukan screening atau pemeriksaan mata pada anak usia

pra-sekolah dan usia pra-sekolah yang secara berkala dilakukan untuk menyaring miopia,

sehingga miopia yang terjadi dapat dikoreksi dengan kacamata. Hal ini penting

karena koreksi dari kelainan refraktif dapat memberikan penglihatan normal pada

anak. Upaya ini juga dapat mencegah akibat yang timbul seperti gangguan belajar

pada anak, sehingga dapat memperbaiki kualitas pendidikan dan belajar pada

anak.

Oleh karena latar belakang diatas, peneliti merasa perlu melakukan

penelitian mengenai hubungan miopia yang tidak dikoreksi dengan prestasi

belajar pada siswa-siswi kelas 5-6 di SDN Dharmawanita, Medan.

(53)

1.2. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas dapat disimpulkan satu pertanyaan pada

penelitian ini, yaitu “Adakah Hubungan antara Miopia yang Tidak Dikoreksi

dengan Prestasi Belajar pada Siswa-Siswi kelas 5-6 di SDN Dharmawanita,

Medan?”.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara miopia yang tidak dikoreksi dengan

prestasi belajar pada siswa-siswi kelas 5-6 di SDN Dharmawanita, Medan.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui prevalensi miopia pada siswa-siswi kelas 5-6 di SDN

Dharmawanita, Medan.

2. Untuk mengetahui status ketajaman pengelihatan (visual aquity) pada

siswa-siswi kelas 5-6 di SDN Dharmawanita, Medan.

3. Untuk mengetahui prevalensi miopia yang tidak dikoreksi pada

siswa-siswi kelas 5-6 di SDN Dharmawanita , Medan.

4. Untuk mengetahui prestasi belajar siswa-siswi kelas 5-6 di SDN

Dharmawanita,Medan.

1.4. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pemerintah

a) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber data prevalensi bagi

pemerintah dan diharapkan pemerintah bisa lebih memperhatikan dan

mengatasi masalah ini

b) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah

untuk dilakukannya screening atau pemeriksaan mata terutama pada anak

usia sekolah untuk mencegah terjadinya gangguan penglihatan yang

(54)

2. Bagi Subjek Penelitian

a) Memberikan gambaran informasi dan pengetahuan mengenai miopia

b) Memberikan pengetahuan tentang pengaruh kesehatan mata terhadap

proses pendidikan

3. Bagi Peneliti

a) Memperoleh keterampilan dan pengetahuan dalam melaksanakan

penelitian terutama dalam bidang kesehatan.

b) Meningkatkan kemampuan dalam melakukan screening tajam penglihatan

dengan menggunakan Snellen Chart.

c) Melatih kemampuan berkomunikasi yang nantinya diperlukan saat

(55)

(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp. PD – KGEH) NIP: 19540220 198011 1 001

ABSTRAK

Miopia adalah suatu kondisi penglihatan dimana objek yang letaknya

dekat terlihat jelas sedangkan objek yang letaknya jauh tidak jelas terlihat

atau kabur. Miopia telah muncul sebagai masalah utama, karena prevalensi

semakin tinggi dalam beberapa dekade terakhir terutama pada anak usia

sekolah. Miopia menimbulkan masalah penglihatan yang berdampak pada

aktivitas, sehingga diperlukan koreksi dengan lensa korektif atau dengan

pembedahan refraktif untuk mendapatkan penglihatan normal. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui hubungan miopia yang tidak dikoreksi dengan

prestasi belajar pada siswa-siswi kelas 5-6 di SDN Dharmawanita, Medan.

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross

sectional. Populasi penelitian ini adalah siswa-siswi kelas 5-6 di SDN

Dharmawanita, Medan yang berjumlah 44 orang dan diambil sampel dengan

metode total sampling. Miopia ditentukan dengan melakukan pemeriksaan

visus menggunakan Snellen Chart E,sedangkan prestasi belajar didapatkan

dari data sekunder berupa nilai rata-rata rapor terakhir dari periode ajaran

terakhir sebelum penelitian dilakukan. Data dianalisis dengan menggunakan

metode Chi-Square test.

Data yang diperoleh dianalisis dengan uji kemaknaan ( p value < 0.05).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara

(56)

Kata kunci : Miopia yang Tidak Dikoreksi, Prestasi Belajar, Siswa-Siswi

Gambar

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan
Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Status Ketajaman Penglihatan
Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Miopia dan Mata Normal
Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Prestasi Belajar
+5

Referensi

Dokumen terkait

Saya Chindy Tania adalah mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2012. Saat ini saya sedang mengadakan penelitian dengan judul “ Hubungan

Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU) angkatan 2014 karena kelompok mahasiswa tersebut merupakan calon

Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU) angkatan 2014 karena kelompok mahasiswa tersebut merupakan calon

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara sedang mengadakan penelitian dengan judul ― Perbedaan Tekanan Darah pada Mahasiswa FK USU Angkatan 2012 yang

The aim of this study is to determine the association between uncorrected myopia and school achievement in 5th-6th grade elementary school student at SDN Dharmawanita, Medan.

Saya Romana Andelia Siregar, mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, saat ini sedang melakukan penelitian untuk menyusun Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2013-sekarang) Riwayat Pelatihan :1. Peserta PMB (Penerimaan Mahasiswa Baru) FK

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2013-Sekarang Riwayat Pelatihan :1. Peserta PMB (Penerimaan Mahasiswa Baru) FK USU 2013