PERBEDAAN EFEKTIFITAS RISPERIDON DAN
HALOPERIDOL TERHADAP SIMTOM POSITIF
PASIEN SKIZOFRENIK
TESIS
FERDINAN LEO SIANTURI
087106007
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK –SPESIALIS KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERBEDAAN EFEKTIFITAS RISPERIDON DAN HALOPERIDOL
TERHADAP SIMTOM POSITIF PASIEN SKIZOFRENIK
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik dalam Program Studi Spesialis Kedokteran Jiwa pada Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara
FERDINAN LEO SIANTURI 087106007
SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : Perbedaan Efektifitas Risperidon Dan Haloperidol Terhadap Simtom Positif Pasien Skizofrenik
Nama Mahasiswa : Ferdinan Leo Sianturi
Nomor Induk Mahasiswa : 087106007
Program Magister : Magister Kedokteran Klinis
Konsentrasi : Ilmu Kedokteran Jiwa
Menyetujui:
Komisi Pembimbing:
Prof.dr. H. Syamsir BS, SpKJ(K)
Ketua Program Studi Ketua TKP PPDS
Prof. dr. Bahagia Loebis SpKJ(K) dr. Zainuddin Amir, SpP(K)
NIP : 19540620198011 1 001
Telah diuji pada
Tanggal : 23 Desember 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof.dr. Syamsir BS, SpKJ (K) ...
Anggota : 1. Prof.dr. Bahagia Loebis, SpKJ (K) ...
2. dr.H. Harun T. Parinduri, SpKJ (K) ...
3. Prof. dr. M. Joesoef Simbolon, SpKJ (K) ...
PERNYATAAN
PERBEDAAN EFEKTIFITAS RISPERIDON DAN HALOPERIDOL
TERHADAP SIMTOM POSITIF PASIEN SKIZOFRENIK
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat
karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang
lain, kecuali secara tertulis mengacu dalam naskah ini dan disebutkan di
dalam daftar pustaka.
Medan, Desember 2010
UCAPAN TERIMAKASIH
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
penulis selama mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinis
Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa.
Pada umumnya dan khususnya dalam penyusunan tesis ini, yaitu :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, dan Ketua TKP PPDS I Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan
kepada saya kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan
Magister Kedokteran Klinis Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa di Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. dr. H. Syamsir BS, Sp.KJ(K), selaku Ketua Departemen Psikiatri
FK USU, guru dan pembimbing penulis dalam penyusunan tesis ini,
yang dengan penuh kesabaran dan ketelitian membimbing,
mengoreksi, dan memberi masukan-masukan berharga kepada penulis
sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
3. Prof. dr. Bahagia Loebis, Sp.KJ(K), selaku Ketua Program Studi
PPDS-I Psikiatri FK USU, sebagai guru penulis dalam penyusunan
tesis ini yang banyak memberi masukan-masukan berharga kepada
4. Dr. H. Harun Thaher Parinduri, Sp.KJ(K), selaku guru penulis, yang
banyak memberikan semangat dan dorongan kepada penulis dalam
menyelesaikan tesis ini.
5. Prof. dr. H.M. Joesoef Simbolon SpKJ (K), selaku guru penulis, yang
banyak membagikan pengetahuan dan bimbingan kepada penulis
selama mengikuti pendidikan Magister Kedokteran Klinis Spesialis Ilmu
Kedokteran Jiwa.
6. dr. Hj. Elmeida Effendy, Sp.KJ, sebagai Sekretaris Program Studi
PPDS I Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran USU Medan dan
sebagai guru yang telah banyak memberikan bimbingan dan
pengetahuan selama saya mengikuti Program Pendidikan Magister
Kedokteran Klinik Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa.
7. dr. Mustafa Mahmud Amin Sp.KJ, sebagai guru dan senior yang telah
banyak memberikan bimbingan, pengarahan, pengetahuan, dorongan,
dukungan dan buku-buku bacaan yang berharga selama saya
mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Spesialis
Ilmu Kedokteran Jiwa.
8. dr. Vita Camelia Sp.KJ sebagai guru dan senior yang telah banyak
memberikan bimbingan, pengarahan, pengetahuan, dorongan,
dukungan dan buku-buku bacaan yang berharga selama saya
mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Spesialis
9. dr. M. Surya Husada, Sp.KJ, sebagai guru dan senior yang telah
banyak memberikan bimbingan, pengarahan, pengetahuan, dorongan,
dukungan selama saya mengikuti Program Pendidikan Magister
Kedokteran Klinik Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa.
10. dr. Dapot P. Gultom, Sp.KJ, M.Kes sebagai Direktur Badan Layanan
Umum Daerah RSJ Provinsi Sumatera Utara dan guru penulis, yang
telah memberikan izin, kesempatan dan fasilitas kepada saya
mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Spesialis
Ilmu Kedokteran Jiwa.
11. dr. Juskitar, Sp.KJ, sebagai guru dan senior yang telah banyak
memberikan bimbingan, pengarahan, pengetahuan, dorongan,
dukungan dan buku-buku bacaan yang berharga selama saya
mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Spesialis
Ilmu Kedokteran Jiwa.
12. dr. Mawar G. Tarigan, Sp.KJ, sebagai guru dan senior yang telah
banyak memberikan bimbingan dan pengetahuan selama saya
mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Spesialis
Ilmu Kedokteran Jiwa.
13. dr. Donald F. Sitompul, Sp.KJ, dr. Rosminta Girsang, Sp.KJ, dr. Artina
R. Ginting, Sp.KJ, dr. Sulastri Effendi, Sp.KJ, dr. Mariati, Sp.KJ, dr.
Evawati Siahaan, Sp.KJ, dr. Paskawani Siregar, Sp.KJ, dr. Citra J.
Tarigan, Sp.KJ, dan dr. Vera RB. Marpaung, Sp.KJ, sebagai senior
mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Spesialis
Ilmu Kedokteran Jiwa.
14. dr. Herlina Ginting, Sp.KJ, dr. Freddy S. Nainggolan, Sp.KJ, dr.
Adhayani Lubis, Sp.KJ, dr. Yusak P. Simanjuntak, Sp.KJ, dr. Juwita
Saragih, Sp.KJ, dr. Friedrich Lupini, Sp.KJ, dr. Rudyhard E.
Hutagalung, Sp.KJ, dr. Laila S. Sari, Sp.KJ, dr. Evalina Perangin-angin,
Sp.KJ, dr. Victor Eliezer Perangin-angin, Sp.KJ, dr. Siti Nurul Hidayati
Sp.KJ, dr. Lailan Sapinah Sp.KJ, sebagai senior yang banyak
memberikan bimbingan, dorongan dan semangat kepada penulis
selama mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik Spesialis Ilmu
Kedokteran Jiwa.
15. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, Direktur
Rumah Sakit Tembakau Deli, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah
Dr. Pirngadi Medan atas izin, kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada penulis untuk belajar dan bekerja selama penulis mengikuti
Magister Kedokteran Klinis Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa .
16. Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, selaku staf pengajar Ilmu Kesehatan
Masyarakat / Ilmu Kedokteran Komunitas / Ilmu Kedokteran
Pencegahan FK USU dan konsultan metodologi penelitian dan statistik
penulis dalam penelitian ini, yang banyak meluangkan waktu untuk
membimbing dan berdiskusi dengan penulis dalam penelitian ini.
17. Rekan-rekan sejawat peserta PPDS-I Psikiatri FK USU: Dr. Silvy
Aini Dania, dr. Baginda Harahap, dr. Muhammad Yusuf, dr. Ricky
Wijaya Tarigan, dr. Superida Ginting Suka, dr. Lenni Crisnawati Sihite,
dr. Saulina Dumaria Simanjuntak, dr. Hanip Fahri, dr. Andreas Xaverio
Bangun, dr. Dian Budianti Amalina, dr.Tiodoris Siregar, dr. Endang
Sutry Rahayu dan dr. Duma M. Ratnawati, dr.Nauli Aulia Lubis,
dr.Nirwan Abidin, dr.Nanda Sari. N, dr. Wijaya Taufik Tiji, dr.Alfi Syahri
Rangkuti, dr. Agussyah Putra, dr. Rini Gussya Liza, dr. Gusri Girsang
yang banyak memberikan masukan berharga kepada penulis melalui
diskusi-diskusi kritis dalam berbagai pertemuan formal maupun
informal, serta selalu memberikan dorongan-dorongan yang
membangkitkan semangat kepada penulis menyelesaikan Program
Pendidikan Magister Kedokteran Klinis Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa.
18. Para perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah
bertugas selama menjalani pendidikan spesialisasi ini, serta berbagai
pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
banyak membantu penulis dalam menjalani Program Pendidikan
Magister Kedokteran Klinis Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa.
19. Semua pasien skizofrenik beserta orang tua/wali mereka yang telah
bersedia berpartisipasi secara sukarela dalam penelitian untuk
keperluan tesis ini.
20. Teman-teman di layanan digital perpustakaan USU : Evi Yulifimar,
yang telah membantu saya dalam menyelesaikan tugas selama
mengikuti pendidikan spesialisasi.
21. Kedua orang tua yang sangat penulis hormati dan sayangi F. Sianturi
dan Ibunda Saulina br. Simanjuntak yang telah bersusah payah
membesarkan, memberikan rasa aman, cinta dan doa restu kepada
penulis sejak lahir hingga saat ini, dalam menjalani segala hal.
22. Kedua mertua, Drs. S.R. Simorangkir dan M. Hutabarat Ass. Apt yang
banyak memberikan semangat dan doa kepada penulis selama
menjalani Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinis Spesialis
Ilmu Kedokteran Jiwa.
23. Seluruh saudara kandung saya, Rudianto Sianturi, Amd, Joni Tricardo
Sianturi, SH, Todo Hebbin Sianturi, SE, Jani Marudut Sianturi, SE, dan
Kartika Indah Sianturi, AmKeb yang banyak memberikan semangat
dan doa kepada penulis selama menjalani Program Pendidikan
Magister Kedokteran Klinis Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa.
24. Seluruh ipar saya, Sagito Pahala Simorangkir, SKM, Imelda br.
Simorangkir, Amd, Samuel Simorangkir, SE yang banyak memberikan
semangat dan doa kepada penulis selama menjalani Program
Pendidikan Magister Kedokteran Klinis Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa.
25. Buat istri tercinta, dr. Ruth Merry Simorangkir, terima kasih atas
segala doa dan dukungan, kesabaran dan pengertian yang mendalam
serta pengorbanan atas segala waktu dan kesempatan yang tidak
selama penulis menjalani pendidikan spesialisasi dan menyelesaikan
tesis ini. Tanpa semua itu, penulis tidak akan mampu menyelesaikan
pendidikan magister klinis dan tesis ini dengan baik.
26. Buat buah hati tersayang : Marissa Manuella Sianturi, Joice Tamara
Beatrix Sianturi, Jeremi Hotasi Sianturi, terima kasih atas doa,
dukungan, kesabaran dan pengertian serta pengorbanan atas segala
waktu dan kesempatan yang tidak dapat dihabiskan bersama-sama
kalian dalam sukacita dan kegembiraan selama papa menjalani
Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinis Spesialis Ilmu
Kedokteran Jiwa.
Akhir kata, Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih membalas semua
jasa dan budi baik mereka yang telah membantu penulis tanpa pamrih
dalam mewujudkan cita-cita penulis dan kepada handai tolan yang tidak
dapat saya sebutkan satu persatu, baik secara langsung maupun tidak
langsung yang telah banyak memberikan bantuan, baik moril maupun
materil, saya ucapkan terima kasih.
Medan, Desember 2010
DAFTAR ISI
2.4. PANSS (Positive and Negative Syndrome Scale) 16
2.5. Kerangka Konseptual 19
BAB 3. METEDOLOGI PENELITIAN 20
3.1. Desain Penelitian 20
3.2. Tempat dan Waktu 20
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 20
3.4. Estimasi Besar Sampel 21
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 21
3.5.1. Kriteria Inklusi 21
3.5.2. Kriteria Eksklusi 22
3.6. Persetujuan/Informed Consent 22
3.7. Masalah Etika 22
3.8. Cara Kerja Penelitian 22
3.9. Identifikasi Variabel 25
BAB 4. HASIL 29
BAB 5. PEMBAHASAN 36
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 39
6.1. Kesimpulan 39
6.2. Saran 41
BAB 7. RINGKASAN 42
DAFTAR RUJUKAN 45
Lampiran 48
1. Lembaran Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian 50 2. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent) 52
3. Data Sampel Penelitian 53
4. Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS) 54
5. Surat Persetujuan Komite Etik 94
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Distribusi Sampel berdasarkan Karakteristik demografi 29
Tabel 4.2. Distribusi Sampel Kelompok terapi Risperidon dan
Haloperidol berdasarkan Karakteristik Demografi 30
Tabel 4.3. Hubungan antara Kelompok terapi Risperidon dan 31
Haloperidol terhadap Karakteristik Demografi
Tabel 4.4. Hubungan antara Kelompok terapi Risperidon dan 32
Haloperidol terhadap Karakteristik Berat Badan
Tabel 4.5. Karakteristik PANSS total dan PANSS positif Minggu 33
ke nol pada Kelompok terapi Risperidon dan Haloperidol
Tabel 4.6. Perbedaan PANSS total dan PANSS Positif pada minggu 34
ke nol dan minggu ke empat pada Kelompok terapi
Risperidon dan Haloperidol
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
BLUD : Badan Layanan Umum Daerah
BMI : Body mass index
dkk : Dan kawan-kawan
FGA : First-generation antipsychotics
PANSS : Positive and negative syndrome scale
PPDGJI-III : Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III
SDA : Serotonin-dopamine antagonist
SGA : Second-generation antipsychotics
SPSS : Statistical package for social sciences versi 15.0
T max : Konsentrasi maksimum
Zα : Tingkat kepercayaan
Zβ : Kekuatan
D2 : Dopamin tipe 2
P : Rata-rata P1 dan P2
P1 : Perkiraan proporsi paparan dan populasi 1 (outcome 1)
P2 : Perkiran proporsip paparan pada populasi 2 (outcome-2)
ABSTRAK
Latar Belakang : Beberapa penelitian membuat sub kategori dari simtom skizofrenia ke dalam lima bagian yaitu simtom positif, simtom negatif, simtom kognitif, simtom agresif dan depresif/cemas. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa risperidon adalah sediaan yang mempunyai keefektifan tinggi untuk simtom positif skizofrenia dan juga memperbaiki simtom negatif skizofrenia lebih baik daripada antipsikotik konvensional. Tujuan penelitian ini untuk melihat perbandingan efek risperidon dan haloperidol terhadap simtom positif pasien skizofrenik.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang berbentuk two group pretest-posttest design dengan teknik pengambilan sampel menggunakan teknik non probability sampling jenis consecutive sampling yang dilakukan 40 pasien skizofrenik yang datang berobat ke psikiatri rawat inap dan rawat jalan BLUD RSJ Provsu periode 1 Maret 2010 -31 Agustus 2010. Pasien skizofrenia yang memenuhi kriteria inklusi menjalani pemeriksaan PANSS total dan simtom positif sebelum mendapat terapi pengobatan 20 sampel akan diterapi dengan risperidon dan 20 sampel diterapi dengan haloperidol kemudian dilakukan follow up setiap minggu hingga minggu keempat dengan pemeriksaan PANSS total dan simtom positif.
Hasil : Dari uji statistik dengan independent sampel test terhadap skor PANSS total minggu ke nol dan minggu ke empat didapati perbedaan skor PANSS total rata-rata untuk kelompok terapi risperidon 50,2 (SD ± 9,7) dan perbedaan skor PANSS total rata-rata untuk kelompok terapi haloperidol sebesar 47,4 (SD ± 6,5), P = 0,281. Tidak terdapat perbedaan skor PANSS total berdasarkan kelompok intervensi. Dari uji dengan independent sampel test terhadap skor PANSS positif minggu ke nol dan minggu ke empat didapati perbedaan skor PANSS positif rata-rata untuk terapi risperidon sebesar 13,1 (SD ±3,4) dan perbedaan skor PANSS positif rata-rata untuk kelompok terapi haloperidol sebesar 10,5 (SD ± 1,9) P = 0,005. Terdapat perbedaan simtom delta positif berdasarkan kelompok intervensi.
Kesimpulan : Pada penelitian ini kelompok yang menggunakan risperidon menunjukkan perbedaan yang bermakna dalam skor PANSS simtom positif hingga minggu keempat dibandingkan dengan kelompok yang menggunakan haloperidol.
ABSTRAK
Latar Belakang : Beberapa penelitian membuat sub kategori dari simtom skizofrenia ke dalam lima bagian yaitu simtom positif, simtom negatif, simtom kognitif, simtom agresif dan depresif/cemas. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa risperidon adalah sediaan yang mempunyai keefektifan tinggi untuk simtom positif skizofrenia dan juga memperbaiki simtom negatif skizofrenia lebih baik daripada antipsikotik konvensional. Tujuan penelitian ini untuk melihat perbandingan efek risperidon dan haloperidol terhadap simtom positif pasien skizofrenik.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang berbentuk two group pretest-posttest design dengan teknik pengambilan sampel menggunakan teknik non probability sampling jenis consecutive sampling yang dilakukan 40 pasien skizofrenik yang datang berobat ke psikiatri rawat inap dan rawat jalan BLUD RSJ Provsu periode 1 Maret 2010 -31 Agustus 2010. Pasien skizofrenia yang memenuhi kriteria inklusi menjalani pemeriksaan PANSS total dan simtom positif sebelum mendapat terapi pengobatan 20 sampel akan diterapi dengan risperidon dan 20 sampel diterapi dengan haloperidol kemudian dilakukan follow up setiap minggu hingga minggu keempat dengan pemeriksaan PANSS total dan simtom positif.
Hasil : Dari uji statistik dengan independent sampel test terhadap skor PANSS total minggu ke nol dan minggu ke empat didapati perbedaan skor PANSS total rata-rata untuk kelompok terapi risperidon 50,2 (SD ± 9,7) dan perbedaan skor PANSS total rata-rata untuk kelompok terapi haloperidol sebesar 47,4 (SD ± 6,5), P = 0,281. Tidak terdapat perbedaan skor PANSS total berdasarkan kelompok intervensi. Dari uji dengan independent sampel test terhadap skor PANSS positif minggu ke nol dan minggu ke empat didapati perbedaan skor PANSS positif rata-rata untuk terapi risperidon sebesar 13,1 (SD ±3,4) dan perbedaan skor PANSS positif rata-rata untuk kelompok terapi haloperidol sebesar 10,5 (SD ± 1,9) P = 0,005. Terdapat perbedaan simtom delta positif berdasarkan kelompok intervensi.
Kesimpulan : Pada penelitian ini kelompok yang menggunakan risperidon menunjukkan perbedaan yang bermakna dalam skor PANSS simtom positif hingga minggu keempat dibandingkan dengan kelompok yang menggunakan haloperidol.
BAB 1. PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang Penelitian
Skizofrenia adalah kumpulan gejala-gejala klinik yang ditandai
dengan kerusakan psikopatologi yang melibatkan kognisi, emosi, persepsi
dan aspek perilaku dan bermanifestasi pada pasien dan mempengaruhi
perjalanan penyakit (gangguan), biasanya berat dan berlangsung lama.1
Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang perjalanan
penyakitnya berlangsung kronis, 2,3 umumnya ditandai oleh distorsi pikiran
dan persepsi yang mendasar dan khas, dan oleh afek yang tidak wajar
(inappropriate) atau tumpul (blunted).3
Skizofrenia adalah suatu kumpulan gangguan mental emosional
dengan karakteristik berupa gangguan pikiran (asosiasi longgar, waham),
gangguan persepsi (halusinasi), gangguan suasana perasaan (afek
tumpul, datar, atau tidak serasi), gangguan tingkah laku (bizarre), tidak
bertujuan, stereotipi atau inaktifitas serta gangguan pengertian diri dan
hubungan dengan dunia luar (kehilangan batas ego, pikiran dereistik dan
penarikan autistik.4 Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual
biasanya tetap dipertahankan, walaupun defisit kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian.3
Di Amerika Serikat, prevalensi skizofrenia seumur hidup dilaporkan
sekitar 1%, ini berarti 1 dari 100 orang akan menderita skizofrenia selama
skizofrenia hanya setengahnya saja dalam satu tahun yang mendapatkan
terapi secara menyeluruh.1,5 Prevalensi skizofrenia antara pria dan wanita
sama, namun berbeda dalam timbulnya serangan pertama.6
Puncak serangan pada pria antara usia 10-25 tahun dan 25-35
tahun pada wanita. Sembilan puluh persen pasien yang mendapat
pengobatan skizofrenia berusia antara 15-55 tahun. Serangan dibawah 10
tahun atau diatas 60 tahun dilaporkan jarang. Secara umum, wanita
dengan skizofrenia mempunyai hasil (outcome) yang lebih baik dibanding
pria.4
Meskipun belum dikenal secara formal sebagai bagian dari kriteria
diagnostik skizofrenia, beberapa penelitian membuat subkategori dari
simtom penyakit ini kedalam 5 bagian yaitu simtom positif, simtom negatif,
simtom kognitif, simtom agresif dan simtom depresi/cemas. Simtom positif
meliputi waham, halusinasi, penyimpangan dan pernyataan yang
berlebihan dalam berbahasa dan berkomunikasi, pembicaraan/perilaku
yang tidak beraturan, perilaku katatonik dan agitasi. Simtom negatif
meliputi afek tumpul, penarikan emosi, rapport yang buruk,
ketidakpedulian, menarik diri dari kehidupan sosial, gangguan berpikir
abstrak, alogia, anhedonia, gangguan pemusatan perhatian. Simtom
kognitif meliputi gangguan berpikir, inkoherensia, asosiasi yang longgar,
neologisme, gangguan pengolahan informasi. Simtom agresif meliputi
permusuhan, penghinaan verbal, penyiksaan fisik, menyerang, melukai
depresi dan cemas meliputi mood depresi, mood cemas, perasaan
bersalah, ketegangan, dan iritabilitas cemas.6
Dasar pengobatan skizofrenia adalah medikasi dengan antipsikotik
dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu antipsikotik tipikal (antagonis
reseptor dopamine) dan antipsikotik atipikal (antagonis reseptor serotonin dopamin).4
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa risperidon adalah
sediaan yang mempunyai keefektifan tinggi untuk simtom positif
skizofrenia dan juga memperbaiki simtom negatif skizofrenia lebih baik
daripada antipsikotik konvensional.7
Sebuah perbandingan langsung yang lebih besar antara beberapa
dosis risperidon (2,6,12 atau 16 mg sehari) dengan haloperidol (20 mg
sehari) atau placebo pada pasien skizofrenia akut menemukan bahwa
risperidon diatas 2 mg sehari dan haloperidol 20 mg sehari adalah lebih
efektif secara bermakna terhadap simtom positif dari pada plasebo.
Risperidon 6 mg sehari adalah lebih efektif secara bermakna terhadap
simtom positif dari pada haloperidol.8
John Davis baru-baru ini menganalisis data yang dikumpulkan dari
5 penelitian terkontrol. Hasil metaanalisis menunjukkan bahwa 53%
pasien yang mendapat risperidon dengan dosis diatas 6 mg sehari
memenuhi kriteria perbaikan dibandingkan dengan 40% pasien yang
mendapat antipsikotik konvensional (p<0,001). Pengobatan dengan
dan 60% lebih baik terhadap simtom negatif dibandingkan dengan
antipsikotik konvensional.8 Kriteria perbaikan yang dipakai adalah
perbaikan sebesar 20% atau lebih dari skor Positive and Negative
Syndrome Scale (PANSS) total.8
Dalam studi perbandingan double blind randomized trial antara
risperidon dan haloperidol pada pasien skizofrenik dengan desain
pengobatan secara paralel yang dilakukan oleh KJ. Vijay Sagar, Cr
Chandra Shekar selama 6 minggu menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan secara statistik antara kedua kelompok intervensi.9
I.2 Perumusan Masalah
Apakah terdapat perbedaan efektifitas risperidon dan haloperidol
terhadap perbaikan simtom positif pada pasien skizofrenik.
I.3 Hipotesis
1.3.1. Terdapat perbedaan efektifitas risperidon dan haloperidol
terhadap simtom positif pada pasien skizofrenik.
1.3.2. Terdapat efek samping dari risperidon dan haloperidol pada
I.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum:
Untuk melihat perbedaan efektifitas risperidon dan haloperidol
terhadap simtom positif pada pasien skizofrenik.
1.4.2 Tujuan Khusus:
Memperoleh gambaran demografik dan informasi tentang
perbedaan efektifitas penggunaan risperidon dan penggunaan haloperidol
terhadap perbaikan simtom positif pasien skizofrenik.
1.5 Manfaat penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah
informasi tentang perbedaan efektifitas risperidon dan haloperidol
terhadap simtom positif pada pasien skizofrenik dengan
menggunakan skala PANSS.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berlanjut untuk penelitian
selanjutnya atau yang sejenis atau penelitian lain yang memakai
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Skizofrenia
Benedict A.Morel (1809-1873), seorang dokter psikiatri dari Prancis
menggunakan istilah demence precoce untuk pasien yang memburuk
dimana penyakitnya (gangguannya) dimulai pada masa remaja. Emil
Kraepelin melatinkan istilah yang menekankan suatu proses kognitif yang
jelas (demensia) dan onset yang awal (prekoks) yang karakteristik untuk
gangguan.4,6
Istilah skizofrenia diperkenalkan pertama kali pada awal abad ke-20
oleh Eugen Bleuler (1857-1939) dan istilah tersebut menggantikan
demensia prekoks di dalam literatur, istilah untuk menandakan adanya
perpecahan antara pikiran, emosi dan perilaku pada pasien yang terkena.
Bleuler menggambarkan gejala fundamental spesifik untuk skizofrenia,
termasuk suatu gangguan yang ditandai dengan gangguan asosiasi
khususnya kelonggaran asosiasi, gangguan afektif, autisme dan
ambivalensi. Bleuler menggambarkan gejala pelengkap yang termasuk
waham dan halusinasi.4,10
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata
“Schizein” yang artinya retak atau pecah (split), dan “phren” yang artinya
pikiran yang terbelah, yang selalu dihubungkan dengan fungsi emosi.
Dengan demikian seseorang yang menderita skizofrenia adalah
seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian
Satu hipotesis yang terpenting pada etiologi skizofrenia adalah
bahwa penyakit ini berasal dari ketidaknormalan pada perkembangan otak
fetal selama tahap dini dari pemilihan neuronal dan perpindahan neuronal.
Meskipun simtom-simtom sklizofrenia biasanya tidak terjadi hingga remaja
akhir sampai 20-an. Bahwa suatu proses degeneratif yang abnormal
mungkin hidup secara genetik yang sangat awal pada perkembangan otak
fetal. Namun simtom-simtom tidak terjadi, sampai otak memperbaiki
sinaps-sinapsnya secara luas pada masa remaja dan secara hipotetik
proses penyusunan kembali normal itu, menutupi masalah-masalah
pemilihan dan migrasi neuronal yang tersembunyi sebelumnya.5
Skizofrenia merupakan penyakit yang mempengaruhi otak. Pada
otak terjadi proses penyampaian pesan secara kimiawi (neurotransmiter)
yang akan meneruskan pesan sekitar otak. Pada pasien skizofrenia,
produksi neurotransmiter dopamin berlebihan, sedangkan kadar dopamin
tersebut berperan penting pada perasaan senang dan pengalaman mood
yang berbeda. Bila kadar dopamin tidak seimbang, berlebihan atau
kurang, penderita dapat mengalami gejala positif dan negatif.11
Gejala-gejala positif kelihatannya merefleksikan suatu kelebihan
dari fungsi normal berupa waham dan halusinasi, juga meliputi gangguan
pada bahasa dan komunikasi (pembicaraan kacau) maupun dalam
pengamatan perilaku (perilaku teragitasi atau katatonik atau kacau yang
Walaupun tidak ada gejala yang patognomonik khusus, dalam
praktek dan manfaatnya untuk membagi gejala-gejala tersebut ke dalam
kelompok-kelompok yang penting untuk diagnosis dan yang sering
terdapat secara bersama-sama, misalnya :2
a. Thought echo, thought insertion atau withdrawal dan thought broadcasting.
b. Waham dikendalikan (delusion of control), waham dipengaruhi
(delusion of influence) atau passivity yang jelas merujuk pada
pergerakan tubuh atau pergerakan anggota gerak atau pikiran,
perbuatan atau perasaan (sensation) khusus, persepsi delusional.
c. Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien atau mendiskusikan perihal pasien di antara
mereka sendiri, atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari
salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya
dianggap tidak wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya
mengenai identitas keagamaan atau politik, atau kekuatan dan
kemampuan “manusia super” (misalnya mampu mengendalikan
cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dari dunia lain).
e. Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas, apabila disertai
baik oleh waham yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif
menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu
atau berbulan-bulan terus menerus.
f. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan
(interpolasi) yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan atau neologisme.
g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement),
sikap tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea,
negativisme, mutisme dan stupor.
h. Gejala-gejala “ negatif” seperti sikap sangat masa bodoh (apatis),
pembicaraan yang terhenti, respons emosional yang menumpul
atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari
pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas
bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau
medikasi neuroleptika.
i. Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dari beberapa aspek perilaku perorangan,
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak bertujuan, sikap malas,
sikap berdiam diri (self-absorbed attitude) dan penarikan diri secara
sosial.2
Persyaratan yang normal untuk diagnostik skizofrenia ialah harus
ada sedikitnya satu gejala tersebut di atas yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih apabila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang
tersebut di atas, atau paling sedikit dua gejala dari kelompok (e) sampai
(h) yang harus selalu ada secara jelas selama kurun waktu satu bulan
atau lebih. Skizofrenia tidak boleh didiagnosis bila terdapat penyakit otak
yang nyata, atau dalam keadaan intoksikasi atau lepas zat (withdrawal).2
2.2. Haloperidol
Dasar pengobatan skizofrenia adalah medikasi dengan
antipsikotik. Secara umum antipsikotik dibagi menjadi 2 kelompok besar,
yaitu antipsikotik tipikal (antagonis reseptor dopamin) dan antipsikotik
atipikal (antagonis serotonin dopamin).4
Dinamakan antagonis reseptor dopamin karena mempunyai
afinitas yang tinggi sebagai antagonis reseptor dopamin. Nama lain yang
digunakan untuk menunjukkan obat-obat ini adalah antipsikotik tipikal,
antipsikiotik tradisional atau antipsikotik konvensioanal 12,13 dan
antipsikotik generasi pertama.14 Obat-obat ini digunakan dalam
pengobatan skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya. Antagonis reseptor
dopamin termasuk didalamnya semua antipsikotik yang ada dalam
beberapa kelompok : phenothiazines, butyrophenones, thioxanthenes,
dibenzoxasepines, dihydroindoles, dan diphenylbutylpiperidines.12,13
Haloperidol yang termasuk dalam kelompok butyrophenone,
efektif diperkenalkan pada tahun 1958 oleh Paul Janssen dari Belgia. 14
Haloperidol mempunyai potensi tinggi mulai yang kecil 2 sampai 20 mg
Aksi terapi dari obat-obat antipsikotik konvensional secara
langsung memblok reseptor Dopamin tipe 2 (D2) yang spesifik di jalur
dopamin mesolimbik. Aksi ini mempunyai efek menurunkan hiperaktifitas
dalam jalur ini yang merupakan dalil untuk menyebabkan gejala-gejala
positif dari psikotik. Semua antipsikotik konvensional menurunkan simtom
positif psikotik.15
Hipotesis hiperdopaminergik skizofrenia muncul dari dua
kumpulan observasi kerja obat pada sistem dopaminergik. Obat-obat yang
meningkatkan aktivitas sistem dopamin (DA), seperti amfetamin dan
kokain, bisa menginduksi psikosis paranoid yang sama terhadap
beberapa aspek skizofrenia. Ketika diberikan kepada pasien-pasien
skizofrenia, komponen-komponen ini bisa menghasilkan perburukan
sementara dari halusinasi, waham, dan gangguan pikiran, sebaliknya,
obat-obat yang memiliki kapasitas memblok reseptor-reseptor DA pasca
sinaptik mengurangi simtom-simtom skizofrenia.6
Haloperidol adalah salah satu obat yang umumnya digunakan
untuk mengobati pasien agresif dan berbahaya, walaupun mempunyai
efek samping yang berat, termasuk simtom-simtom ekstrapiramidal dan
akatisia. Perilaku agresif kelihatan berhubungan dengan simtom positif
pada skizofrenia.6
Semua antagonis reseptor dopamin diabsorpsi dengan baik
setelah pemberian oral, sedangkan pada preparat liquid lebih efisien
plasma biasanya mencapai 1 hingga 4 jam pemberian dan 30 hingga 60
menit setelah pemberian parenteral. Tingkat steady-state tercapai
kira-kira dalam 3 hingga 5 hari. Waktu paruh obat-obat ini adalah kira-kira-kira-kira 24
jam. Orang dewasa dalam keadaan akut cukup sesuai dengan
menggunakan dosis ekivalen haloperidol 5 hingga 20 mg. Haloperidol
yang tersedia 0,5 ; 1; 2; 5; 10; 20 mg tablet.6
2.3. Risperidon
Risperidon, mean dosis yang digunakan sebesar 2,7 mg/hari terikat
efektif dan aman digunakan pada episode pertama psikosis dengan dosis
dibawah 4 mg/hari dan dilakukan titrasi yang perlahan efektivitasnya akan
semakin tinggi. Risperidone terlihat lebih unggul bila dibandingkan dengan
penggunaan jenis antipsikotik tipikal dan rata-rata terjadinya relaps lebih
rendah, peningkatan fungsi dapat terjadi dalam hal atensi, vigilance dan
kecepatan suatu proses. Walaupun dengan dosis yang sangat rendah
(1-1,8 mg/hari) dapat menghasilkan perbaikan yang dramatis pada fase
prodromal atau pada episode pertama skizofrenia. Pemberian 2 mg/hari
pada episode pertama psikosis sama efektifnya dengan pemberian 4
mg/hari dengan efek samping yang minimal. Keduanya adalah sebanding
hanya berbeda dalam hal peningkatan jumlah dosis yang dibutuhkan pada
saat awal terapi. Risperidon juga telah mendapat lisensi untuk digunakan
dalam menangani kasus akut dan kronis dengan cara memblok dopamin
memiliki efek samping minimal dan juga dapat memperbaiki kualitas tidur
pada penderita skizofrenia. Dosis optimal adalah 4-6 mg/hari16, Literatur
lain menyebutkan dosis optimal yang direkomendasikan 2 sampai 8
mg/hari,17 titrasi 6 mg/hari lebih dari tiga hari direkomendasikan akan
tetapi titrasi yang lebih perlahan lebih direkomendasikan (lebih dari
seminggu daripada perhari) dan pada saat awal distabilkan pada dosis 2
sampai 4 mg/hari sebelum menaikkan dosis yang lebih tinggi terutama
pada penderita skizofrenia episode pertama dan lanjut usia.16 Titrasi yang
perlahan dapat mengurangi dosis akhir yang dibutuhkan, gejala
ekstrapiramidal dan risiko ketidakpatuhan. Pada 60% kasus skizofrenia
eksaserbasi akut dapat ditoleransi mendapat respons yang baik pada
penggunaan 6 mg/hari. Dan 40% dapat ditoleransi dan masih berespons
dengan pemberian dosis yang lebih rendah sekitar 3 sampai 4 mg/hari,
didalam plasma level ekuivalen dengan dosis yang lebih tinggi. Walaupun
dengan dosis yang sangat rendah (1 sampai 2 mg/hari) dapat
menghasilkan perbaikan yang dramatis pada fase prodromal atau episode
pertama skizofrenia. Pemberian risperidon 4 mg/hari pada penderita
psikosis atau skizofrenia dibandingkan dengan pemberian haloperidol 10
mg/hari terutama selama minggu pertama menunjukkan kerja yang sangat
cepat dalam menangani psikosis atau skizofrenia.16
Absorbsi risperidon sebesar 70-85% dengan cepat dari saluran
cerna setelah pemberian peroral, dan mencapai konsentrasi plasma
9-hidroksi-risperidon. Absorpsi tidak dipengaruhi oleh makanan, dan oleh sebab itu
risperidon dapat diberikan dengan atau tanpa makanan.16
Metabolisme yang paling penting adalah 9-hidroksi-risperidon, yang
memiliki aktifitas farmakologik yang sama dengan obat induk. Fraksi
antipsikotik aktif (active moiety) terdiri dari risperidon dan
9-hidroksi-risperidon, sehingga sebagai konsekuensinya, efek klinis dari obat
mungkin dihasilkan dari kombinasi konsentrasi dari risperidon dan
9-hidroksi-risperidon. 16
Sistem enzim hepatik yang memetabolisme risperidon menjadi
9-hidroksi-risperidon adalah isozim sitokrom P450, yaitu CYP2D6 atau
debrisoquin hydroxylase. Polimorfisme genetik dalam CYP2D6 mungkin menimbulkan perbedaan rasio dari risperidon dan metabolitnya pada
orang yang berbeda. Suatu polimorfisme genetik dijumpai pada 7% orang
kulit putih, yang memicu kepada hampir tiadanya aktifitas dari enzim ini.
Insidens yang lebih rendah telah dijumpai pada orang Asia. Karena
metabolit risperidon memiliki aktifitas yang sama dengan senyawa induk,
variasi ini tidak bermakna secara klinis.16
Setelah pemberian peroral, waktu paruh eliminasi dari risperidon
adalah sekitar 3 jam pada extensive metabolizer (ditemui pada sekitar
90% orang kulit putih dan sekitar 99% orang Asia) dan sekitar 20 jam
pada poor metabolizer. Waktu paruh eliminasi dari 9-hidroksi-risperidon adalah sekitar 21 jam pada extensive metabolizer dan sekitar 30 jam pada
risperidon dan metabolit aktifnya, maka risperidon dapat diberikan baik
dalam dosis sekali ataupun dua kali sehari. 16
Bioavailabilitas oral absolut dari risperidon pada extensive
metabolizer adalah rata-rata 66% untuk obat yang tidak berubah bentuk, suatu tingkat yang konsisten dengan metabolisme lintas pertama.
Biovailabilitas absolut dari active moiety adalah 108% menunjukkan
bahwa segala metabolisme lintas pertama dari obat induk dikompensasi
oleh pembentukan metabolit aktif. Pada poor metabolizer, bioavailabilitas
absolut adalah rata-rata 82% untuk rispedon dan 75% untuk active moiety
karena pembentukan yang terbatas dari metabolit aktif. 16
Risperidon didistribusikan dengan cepat, dengan volume distribusi
1-2 liter/kg. Dalam plasma, risperidon berikatan dengan albumin dan asam
glikoprotein-α1. Ikatan protein plasma dari risperidon adalah 88% dan
untuk 9-hidroksi-risperidon adalah 77%.16
Seminggu setelah penggunaan risperidon, sebanyak 70% dari
dosis akan diekskresikan ke dalam urin, 35-45% sebagai active moiety
dari risperidon dan 9-hidroksi-risperidon, dan 14% dari dosis akan
diekskresikan ke dalam feses.16
Penggunaan obat antipsikotik yang direkomendasikan berdasarkan
American Psychiatric Association yang dipublikasikan tahun 2004 menyebutkan bahwa rentang dosis untuk haloperidol adalah 5 sampai 20
mg/hari setara dengan rispiridon 2 sampai 8 mg/hari dimana 5 mg
2.4. PANSS (Positive and Negative Syndrome Scale)18
Skala PANSS oleh Kay, Fisbein & Opler tahun 1987 ; Kay, Oplere
L& Lindermayer pada tahun 1988, dan 1989 dikembangkan khususnya
untuk pembatasan psikometrik, oleh karena itu tidak ada kejadian yang
kebetulan yang berdiri sendiri dari skala lain seperti yang lebih sering
dipakai, pemahaman yang lebih tinggi didalam pemakaiannya dan
standar yang lebih baik.
Penilaian skala PANSS didasarkan pada informasi perilaku
ditambah interview klinis 35-45 menit. Terdiri dari 7 point dalam 30 simtom, dimana setiap point dan tingkat keparahan ditetapkan. Penilaian
total skor dari 7 point skala positif, 7 point skala negatif dan 16 point skala
psikopatologi umum.
Tingkat dari skala PANSS berdasarkan dari keseluruhan informasi
yang diperoleh dari waktu tertentu, biasanya diidentifikasi pada minggu
sebelumnya.
Informasi didapat dari wawancara kllinis, laporan dari rumah sakit
dengan tingkat pelayanan primer atau dapat dilaporkan anggota keluarga.
Laporan anggota keluarga juga memberikan kontribusi untuk mengakses
tingkat keparahan dimensi yang lain dari psikopatologi yang
dimanifestasikan dalam interaksi sosial yang nyata, sikap umum dan
fungsi adaptasi.
Intruksi penilaian umum PANSS dimana data dikumpulkan dari
masing-masing dari 30 point bersamaan dengan definisi yang spesifik untuk
menjelaskan kriteria dari 7 point. Sekitar 7 point menunjukkan peningkatan
point psikopatologi, seperti : 1) tidak ada, 2) minimal, 3) ringan, 4) sedang, 5) sedang berat, 6) berat, 7) sangat berat.
Dalam penilaian rating yang pertama dipikirkan apa semua gejala
masih ada dari setiap point. Jika gejala tersebut tidak ada dinilai 1
sebaliknya jika terdapat gejala penilaian harus menentukan keparahan
dengan menggunakan referensi dan kriteria tertentu sebagai nilai
patokan. Nilai terapan tertinggi selalu dicantumkan, meskipun pasien
tersebut memenuhi kriteria untuk nilai rendah. Dalam menentukan tingkat
keparahan dari gejala, penilai harus menerapkan perspektif secara holistik
untuk menentukan nilai patokan yang mana yang paling baik
mencerminkan fungsi pasien dan dinilai menurutnya.
Skor untuk gejala positif, negatif dan psikopatologis umum
diperoleh dengan penjumlahan dari tingkatan point dari masing-masing
kriteria. Pada gejala positif dan negatif penilaian antara 7 sampai 49,
sedangkan penilaian pada psikopatologi umum antara 16 – 112.
Selain itu PANSS juga dapat dibagi kedalam 5 komponen, yaitu :
1. Komponen negatif (penarikan emosional, penarikan sosial yang
pasif/tidak acuh, kurangnya spontanitas dan arus percakapan, afek
tumpul, kemiskinan rapport, atensi yang buruk, penghindaran sosial
secara aktif, retardasi motorik, gangguan kehendak, mannerisme
2. Komponen positif (isi pikiran yang tidak biasanya, waham,
kebesaran, kurangnya pertimbangan dan tilikan, perilaku
halusinasi).
3. Komponen gaduh gelisah (gaduh gelisah, pengendalian impuls
yang buruk, ketegangan, permusuhan, ketidakkooperatifan).
4. Komponen depresi (ansietas, perasaan bersalah, depresi,
kekhawatiran, somatik, preokupasi).
5. Komponen kognitif dan lain-lain (kesulitan berpikir abstrak,
2.5. Kerangka Konseptual
Pasien
Skizofrenik
PANSS
PANSS
Risperidon
Haloperidol
PANSS Mgg I, II, III, IV Simtom positif
PANSS Mgg I, II, III, IV Simtom positif
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1. Desain penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, yang berbentuk
two group pretest-posttest design, yang merupakan uji klinis double blind secara paralel dengan 2 kelompok melakukan randomisasi.
3.2 Tempat dan Waktu
Tempat penelitian: Poliklinik Psikiatri rawat jalan dan rawat inap
BLUD RSJ Provsu.
Waktu penelitian : dilaksanakan dalam periode waktu 6 bulan
(01 Maret 2010 sampai 31 Agustus 2010).
3.3 Populasi dan sampel penelitian
1. Populasi target: Pasien skizofrenik yang datang berobat ke BLUD
RSJ Provinsi Sumatera Utara.
2. Populasi terjangkau: Pasien skizofrenik yang datang berobat ke
poliklinik psikiatri umum, BLUD RSJ ProvSU periode 1 Maret 2010
sampai 31 Agustus 2010.
penelitian sampai kurun waktu tertentu sampai jumlah sampel yang
dibutuhkan terpenuhi.
3.4. Estimasi Besar Sampel19
Besar sampel diukur dengan menggunakan rumus :
(Zα + Zβ)S 2
n
1 =n
2 = 2(X1 – X2)
Zα = tingkat kepercayaan = 95 % ; pada α = 5 % = 1,645 (satu arah)
Zβ = power = 90 % ; pada β = 10 % = 1,282
X1 – X2 = 2
S = 2,349
n1 = n2 = 16 20
3.5. Kriteria Penelitian
3.5.1. Kriteria inklusi
1. Pasien skizofrenik yang memenuhi kriteria PPDGJ III
2. Usia 15 - 55 tahun
3. Fase akut
4. Memiliki tingkat keparahan yang sama yang diukur dengan PANSS
Skor total : > 60 dan ketentuan sub skala positif ≥ 4 dengan
ketentuan item : waham, kekacauan proses pikir, perilaku
3.5.2. Kriteria eksklusi
1. Pasien skizofrenia yang komorbiditas penyakit medis umum dan
atau gangguan psikiatrik lainnya.
2. Keadaan hamil dan menyusui.
3. Hipersensitivitas terhadap risperidon dan atau haloperidol.
3.6. Persetujuan Setelah Penjelasan / Informed Consent
Semua subyek penelitian akan diminta persetujuan dari keluarga
setelah mendapatkan penjelasan yang terperinci dan jelas menyangkut
hal yang berhubungan dengan faktor risiko penggunaan risperidon dan
haloperidol.
3.7. Masalah etika
Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik penelitian dari Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3.8. Cara kerja Penelitian
Seluruh pasien skizofrenik yang memenuhi kriteria inklusi mengisi
persetujuan secara tertulis setelah mendapatkan penjelasan yang
terperinci dan jelas untuk ikut serta dalam penelitian. Selanjutnya subyek
penelitian akan dinilai skor PANSS-nya sebelum mendapat intervensi
Selanjutnya subjek penelitian adalah mereka yang mempunyai
kesamaan dalam mean berat badan, umur dan tingkat keparahan penyakit
yang sama akan diukur dengan menggunakan PANSS dan simtom positif.
Sebelum dilakukan intervensi, dilakukan randomisasi terhadap
sampel penelitian. Selanjutnya dua puluh sampel yang ingin diteliti di
intervensi dengan risperidon diberikan 2 mg hari pertama dan kedua
kemudian dosis dinaikkan menjadi 3 mg hari ketiga dan keempat dan
kemudian 4 mg di hari kelima dan keenam, kemudian dosis dinaikkan hari
ke 7 dan ke 8 sebesar 5 mg kemudian hari ke 9 dan ke 10 sebesar 6 mg
kemudian hari ke 11 dan 12 sebesar 7 mg dan hari ke 13 dan ke 14
sebesar 8 mg, dengan range dose 2-8 mg hari dan dua puluh sampel
yang menjadi kontrol di intervensi dengan haloperidol dengan dosis 5 mg,
pada hari pertama dan kedua kemudian dosis dinaikkan 7,5 mg pada hari
ketiga dan keempat dan kemudian 10 mg pada hari kelima dan keenam
kemudian 12,5 mg pada hari ketujuh dan kedelapan kemudian pada hari
kesembilan dan kesepuluh sebesar 15 mg kemudian hari sebelas dan
duabelas sebesar 17,5 mg dan hari ketigabelas dan keempatbelas
sebesar 20 mg, dengan range dose 5 – 20 mg/hari. Dosis 20 mg/hari
dipertahankan sampai akhir penelitian. Pada setiap follow up bila cut off
sudah tercapai maka dosis sebelumnya akan dipertahankan sampai akhir
penelitian. Pada penelitian ini baik peneliti maupun subjek tidak
mengetahui obat yang diberikan. Penelitian ini akan dibantu oleh seorang
tersebut. Kemudian dilakukan follow up setiap minggu sampai pada
minggu ke empat. Setelah minggu ke empat data-data dikumpulkan baik
dari peneliti maupun dari asisten, sehingga diketahui yang mana yang
mendapat risperidon dan mana yang mendapat haloperidol. Kemudian
dilakukan follow up setiap minggu dengan pemeriksaan PANSS untuk melihat skor PANSS hingga minggu ke-4 pengobatan. Kemudian simtom
positif pada masing-masing kelompok apakah ada perbedaan yang
bermakna. Pada kelompok yang diterapi dengan menggunakan
haloperidol dianggap sebagai kelompok kontrol, dan kelompok yang diberi
risperidon sebagai kelompok eksperimental.
Apabila selama pengobatan pemberian antipsikotik tersebut pasien
mengalami efek samping seperti simtom ekstrapiramidal maka diberi
KERANGKA KERJA
Inklusi Eksklusi
3.9. Identifikasi Variabel
Variabel bebas : Risperidon, Haloperidol
Variabel tergantung : Skor PANSS subskala positif.
Pasien Skizofrenik
PANSS Simtom positif
Risperidon Randomisasi Haloperidol
PANSS minggu I, II, III, IV Simtom Positif
3.10.Definisi Operasional
1. Pasien skizofrenik adalah pasien yang memenuhi kriteria
diagnostik skizofrenia (F20) berdasarkan PPDGJI - III.
2. Simtom positif adalah defisit (berkurangnya) fungsi normal
seseorang yang terdiri dari waham, kekacauan proses pikir,
perilaku halusinasi, gaduh gelisah, waham kebesaran, kecurigaan /
kejaran, permusuhan.
3. PANSS merupakan suatu alat ukur yang valid untuk menilai
beratnya simtom yang dialami pasien dengan skizofrenia dan
penilaian terhadap keluaran terapeutik yang terdiri atas penilaian
skala positif (7 butir penilaian), skala negatif (7 butir penilaian) dan
skala psikopatologi umum (16 butir penilaian). Setiap butir
penilaian mempunyai rentang skor 1-7. Total skor PANSS antara
30-210.18
4. Berat badan dalam rentang normal yang diukur dari indeks massa
tubuh dalam rentang 18,50 – 24,99
Berat Badan (kg)
BMI =
Tinggi Badan (m)2
5. Kelompok umur adalah lamanya hidup sejak lahir yang dinyatakan
dalam satuan tahun.
15 –
35 –
45 – 55
6. Jenis kelamin : laki-laki dan perempuan.
7. Memiliki tingkat keparahan yang sama diukur dengan PANSS skor
total >60 dan dengan ketentuan sub skala positif skor ≥ 4 pada 1
atau lebih item PANSS berikut : waham, kekacauan proses pikir,
perilaku halusinasi, kecurigaan/ kejaran.21
8. Yang dianggap ada kemajuan dalam terapi adalah penurunan skor
total PANSS mencapai ≥ 40%.21
9. Risperidon tablet adalah antipsikotik atipikal dengan rentang dosis
2-8 mg/hari.21
10. Haloperidol tablet adalah antipsikotik tipikal golongan
butyrophenone, dengan range dosis 5 - 20 mg/hari.6
11. Fase akut menurut Key adalah bila kurang dari 2 tahun, dimana
dijumpai gambaran psikotik yang jelas, misalnya ada waham,
halusinasi, gangguan proses pikir. Biasanya berlangsung 4-8
minggu.
12. Cut off adalah suatu nilai batas sesuai dengan butir 8 diatas.
3.11. Rencana Pengolahan dan Analisa Data
1. Data primer adalah data yang diperoleh melalui pemeriksaan
setelah menandatangani surat perjanjian bersedia ikut dalam
penelitian.
2. Data yang diperoleh dari subyek penelitian dan keluarga
dimasukkan ke dalam kelompok menurut jenisnya.
3. Data yang berhasil dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan
mempergunakan perangkat lunak Statistical Package for Social
Sciences (SPSS) versi 15.0 dengan tingkat kemaknaan P < 0,05.
BAB 4. HASIL
Empat puluh pasien skizofrenik yang datang ke Poliklinik Psikiatri
umum, bangsal pria/wanita dan IGD BLUD Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Sumatera Utara telah ikut serta dalam penelitian ini. Pemilihan sampel
dalam penelitian ini ditetapkan secara non probability sampling jenis
consecutive dalam periode waktu 1 Maret 2010 sampai dengan 31 Agustus 2010.
Tabel 4.1. Distribusi Sampel berdasarkan karakteristik demografi.
Karakteristik demografi
sampel Pasien Skizofrenik
N %
Dari tabel 4.1. diatas, dapat dilihat bahwa distribusi sampel
yang memiliki paling sedikit sampel adalah kelompok umur 45 – 55
sebesar 2 sampel (5%), berdasarkan jenis kelamin yang memiliki paling
banyak sampel adalah jenis kelamin laki-laki sebesar 26 sampel ( 65 %).
Tabel 4.2. Distribusi sampel kelompok terapi Risperidon dan
Haloperidol berdasarkan karakteristik demografi.
Karakteristik
Demografi Sampel
Terapi
Risperidon Haloperidol Total
N % n % n %
Dari tabel 4.2. diatas, dapat dilihat pada kelompok terapi risperidon
berdasarkan kelompok umur bahwa yang memiliki paling banyak sampel
adalah kelompok umur 15 – 24 tahun dan 25 – 34 tahun sebesar
masing-masing 8 sampel (40%). Dan yang paling sedikit sampel adalah kelompok
haloperidol yang memiliki paling banyak sampel adalah kelompok umur
25-34 tahun sebesar 9 sampel (45%) dan paling sedikit sampel adalah
kelompok umur 45 – 55 tahun sebesar 1 sampel (5%).
Pada kelompok terapi risperidon berdasarkan jenis kelamin dapat
dilihat bahwa yang memiliki paling banyak sampel adalah jenis kelamin
laki-laki sebesar 14 sampel (70%). Pada kelompok terapi heriperidol yang
memiliki paling banyak sampel adalah jenis kelamin laki-laki sebesar 12
sampel (60%).
Tabel 4.3. Hubungan antara kelompok terapi risperidon dan
haloperidol terhadap karakteristik demografi
Karakteristik
Demografi Sampel
Terapi
Risperidon Haloperidol P
Dari tabel 4.3. di atas dapat dilihat hubungan antara kelompok
terapi risperidon dan haloperidol terhadap karakteristik demografi. Pada
kelompok umur, dari uji statistik dengan menggunakan Chi- square Test didapati hasil P = 0,269 (P > 0,05). Tidak ada perbedaan proporsi
kelompok risperidon dan haloperidol berdasarkan kelompok umur.
Dari uji pada jenis kelamin dengan menggunakan Chi- square Test
didapati hasil P = 0,507 (P >0,05). Tidak ada perbedaan proporsi
kelompok terapi risperidon haloperidol berdasarkan kelompok jenis
kelamin.
Tabel 4.4. Hubungan antara kelompok terapi Risperidon dan
Haloperidol terhadap karakteristik Berat Badan
Karakteristik
Demografi
Sampel
Terapi
P
Risperidon Haloperidol
n Mean Standar
deviasi n Mean
Standar
deviasi
Berat badan 20 22,1 0,6 20 22,1 0,6 0,941
Dari uji dengan menggunakan Independent Samples Test terhadap
berat badan didapati nilai rata-rata untuk kelompok terapi risperidon
sebesar 22,1 (SD ± 0,6) dan berat badan rata-rata untuk kelompok terapi
haloperidol sebesar 22,1 (SD ± 0,6) yang berarti nilai P = 0,941 (P>0,05).
Tidak ada perbedaan proporsi berat badan yang bermakna pada
Tabel 4.5. Karakteristik skor PANSS total dan skor PANSS Positif
Minggu ke nol pada kelompok Terapi Risperidon dan
Haloperidol
Terapi
PANSS
Risperidon Haloperidol
n Mean Standar
Dari uji dengan Independent Samples Test terhadap skor PANSS
total didapati skor PANSS total rata-rata untuk kelompok terapi risperidon
sebesar 107,2 (SD ± 10,1) dan PANSS total rata-rata untuk kelompok
terapi haloperidol sebesar 112,8 (SD ± 11,5), P = 0,113 (P > 0,05). Tidak
ada perbedaan Skor PANSS total minggu ke nol berdasarkan kelompok
intervensi.
Dari uji Independent Samples Test terhadap skor PANSS positif
didapati skor PANSS positif rata-rata untuk terapi risperidon 30,6 (SD
±4,9) dan skor PANSS positif rata-rata untuk kelompok terapi haloperidol
sebesar 30,6 (SD ±4,8), P = 1,0 (P > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
tidak dijumpai perbedaan yang bermakna terhadap skor PANSS pada
saat pertama sekali pasien skizofrenik dengan simtom positif diperiksa
Tabel 4.6. Perbedaan skor PANSS total dan skor PANSS positif pada
minggu ke nol dan minggu ke empat pada kelompok
terapi risperidon dan haloperidol.
PANSS Terapi
Risperidon Haloperidol
n
Dari uji dengan Indepent Samples Test terhadap perbedaan skor PANSS total minggu ke nol dan minggu keempat didapati perbedaan skor
PANSS total rata-rata untuk kelompok terapi risperidon sebesar 50,2 (SD
± 9,7) dan perbedaan skor PANSS total rata-rata untuk kelompok terapi
haloperidol sebesar 47,4 (SD ±6,5), P = 0,281 (P>0,05). Tidak ada
perbedaan skor PANSS delta total berdasarkan kelompok intervensi.
Dari uji dengan Indepent Samples Test terhadap perbedaan skor PANSS positif minggu ke nol dan minggu keempat didapati perbedaan
skor PANSS positif rata-rata untuk kelompok terapi risperidon sebesar
13,1 (SD ± 3,4) dan perbedaan skor PANSS positif rata-rata untuk
kelompok terapi haloperidol sebesar 10,4 (SD ± 1,9), P = 0,005 (P < 0,05).
Tabel 4.7. Efek samping yang dijumpai setelah pemberian obat
Risperidon Haloperidol
Efek samping N % N %
Ada 8 40 15 75
Tidak ada 12 60 5 25
Dari tabel 4.7. diatas dapat dilihat bahwa dari 20 orang yang
mendapat risperidon mempunyai efek samping 8 orang sedangkan dari
20 orang yang mendapat haloperidol mempunyai efek samping 15 orang.
Adapun efek samping yang dijumpai pada pemberian risperidon pada
penelitian adalah akatisia, tremor dan sakit kepala. Sedangkan efek
samping yang dijumpai pada pembelian haloperidol adalah tremor,
akatisia, pusing, sakit kepala, dan distonia.
Dosis rata-rata yang diberikan pada sampel yang diintervensi
dengan risperidon sebesar 6 mg/hari pada minggu keempat dan dosis
rata-rata yang diberikan pada sampel yang diintervensi dengan
BAB 5. PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, yang berbentuk
two group pretest-posttest design, yang merupakan uji klinis double blind secara paralel dengan 2 kelompok melakukan randomisasi. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui perbandingan efek risperidon dan
haloperidol terhadap simtom positif pada pasien skizofrenik.
Penelitian ini memilih kelompok pasien skizofrenik yang berumur
antara 15-55 tahun sebagai sampel penelitian karena menurut
kepustakaan yang ada menyatakan bahwa 90% pasien yang mendapat
pengobatan skizofrenik berumur antara 15 – 55 tahun. Puncak serangan
pada pria antara umur 10-25 tahun dan 25-35 tahun pada wanita.
Serangan dibawah 10 tahun atau diatas 60 tahun dilaporkan jarang.
Secara umum, wanita dengan skizofrenia mempunyai hasil (outcome)
yang lebih baik dibanding pria.4
Dari empat puluh pasien skizofrenik yang datang berobat ke
Poliklinik Psikiatri Rawat Jalan dan Rawat Inap BLUD Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Sumatera Utara selama periode 1 Maret 2010 – 31 Agustus 2010
didapati hasil penelitian bahwa tidak ada perbedaan proporsi antara kedua
kelompok terapi dalam hal umur ( P = 0,269) jenis kelamin (P = 0,507),
Berat badan (P = 0,941).
Pengukuran skor PANSS total minggu ke nol didapati hasil tidak
sehingga dari nilai P > 0,05 maka kedua kelompok memiliki kesetaraan
pada saat awal sebelum dilakukan terapi pengobatan dengan
menggunakan risperidon dan haloperidol.
Pengukuran skor PANSS positif minggu ke nol didapati hasil tidak
ada perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok terapi (P = 1,00)
sehingga dari nilai P > 0,05 maka kedua kelompok memiliki kesetaraan
pada saat awal sebelum dilakukan terapi pengobatan dengan
menggunakan risperidon dan haloperidol.
Dari uji dengan Independet Samples Test terhadap skor PANSS
total minggu ke nol dan minggu ke empat didapati perbedaan skor PANSS
total rata-rata untuk kelompok terapi risperidon 50,2 (SD ± 9,7) dan
perbedaan skor PANSS total rata-rata untuk kelompok terapi haloperidol
sebesar 47,4 (SD ± 6,5), P = 0,281 (P > 0,05). Tidak ada perbedaan skor
PANSS delta total berdasarkan kelompok intervensi. Hasil penelitian ini
memberikan hasil yang sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
KJ Vijay Sagar, Cr. Chandra Shekar selama 6 minggu pengobatan
dengan risperidon dan haloperidol, tidak ada perbedaan skor PANSS
secara statistik pada pasien skizofrenik. 9
Dari uji dengan Independet Samples Test terhadap skor PANSS
positif minggu ke nol dan minggu ke empat didapati perbedaan skor
PANSS positif rata-rata untuk terapi risperidon 13,1 (SD ± 3,4) dan
perbedaan PANSS positif rata-rata untuk kelompok terapi haloperidol
delta positif berdasarkan kelompok intervensi. Berdasarkan hasil
penelitian ini maka dapat dilihat bahwa pemakaian terapi risperidon lebih
baik pada pasien skizofrenik dibandingkan dengan pemakaian haloperidol
dalam menurunkan simtom positif. Hasil penelitian ini memberikan hasil
yang sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jhon Davis,
dimana hasil metaanalisis menunjukkan risperidon memenuhi kriteria
perbaikan simtom positif lebih baik dibandingkan dengan antipsikotik
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian terhadap 40 pasien skizofrenia yang datang ke
Poliklinik Psikiatri Rawat Jalan dan Rawat Inap BLUD Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Sumatera Utara dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Karakteristik demografi sampel pada kelompok terapi risperidon
berdasarkan kelompok umur yang memiliki paling banyak sampel
adalah kelompok umur adalah kelompok umur 25 – 34 sebesar 17
sampel (42,5%) dan yang memiliki paling sedikit sampel adalah
kelompok umur 45 – 55 sebesar 2 sampel (5%).
2. Karakteristik demografi sampel pada kelompok terapi haloperidol
berdasarkan kelompok umur bahwa yang memiliki paling banyak
sampel adalah kelompok umur 15 – 24 tahun dan 25 – 34 tahun
sebesar masing-masing 8 sampel (40%). Dan paling sedikit sampel
adalah kelompok umur 45 – 55 tahun sebesar 1 sampel (5%).
3. Dari uji Independent Samples Test terhadap PANSS dapat dilihat
hubungan antara kelompok terapi Rispiridon dan haloperidol terhadap
karakteristik demografi. Pada kelompok umur, dari uji dengan
menggunakan Chi- square Test didapati hasil P = 0,269 (P > 0,05). Tidak ada perbedaan proporsi kelompok risperidon dan haloperidol
berdasarkan kelompok umur. Dari uji pada jenis kelamin dengan
nilai P > 0,05, tidak ada perbedaan proporsi kelompok risperidol
haloperidol berdasarkan jenis kelamin.
4. Dari uji dengan menggunakan Independent Samples Test terhadap
Berat badan didapati berat badan rata-rata untuk kelompok terapi
risperidon sebesar 22,1 (SD ± 0,6) dan berat badan rata-rata untuk
kelompok terapi haloperidol sebesar 22,1 (SD ± 0,6) nilai P = 0,941,
(P > 0,05). Tidak ada perbedaan berat badan menurut kelompok
intervensi.
5. Dari uji Independent Samples Test terhadap PANSS positif didapati
PANSS positif rata-rata untuk terapi risperidon 30,6 (SD ±4,9) dan
PANSS positif rata-rata untuk kelompok terapi haloperidol sebesar
30,6 (SD ±4,8), nilai P = 1,0 (P > 0,05). Tidak ada perbedaan skor
PANSS delta total berdasarkan kelompok intervensi.
6. Dari uji dengan Indepent Samples Test terhadap perbedaan skor PANSS positif minggu ke nol dan minggu keempat didapati perbedaan
PANSS positif rata-rata untuk kelompok terapi risperidon sebesar 13,1
(SD ± 3,4) dan perbedaan skor PANSS positif rata-rata untuk
kelompok terapi haloperidol sebesar 10,5 (SD ± 1,9), nilai P = 0,005
(P < 0,05). Ada perbedaan simtom delta positif (perbedaan PANSS
positif minggu nol dan minggu keempat) berdasarkan kelompok
6.2 SARAN
Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa :
1. Pemakaian terapi risperidon mempunyai efikasi yang lebih baik
pada pasien skizofrenik dibandingkan dengan terapi haloperidol
dalam penurunan simtom positif.
2. Perlu dilakukan penelitian yang lebih luas dengan sampel yang
lebih besar untuk menjawab berbagai permasalahan sehubungan
dengan efekfitas risperidon dan haloperidol terhadap pasien
skizofrenik.
3. Walaupun demikian haloperidol pada penelitian ini masih bisa
DAFTAR RUJUKAN
1. Meltzer HY, Fateni SH. Schizophrenia. Dalam : Ebert MH, Loosedn
PT, Nurcombe B, eds. Current Diagnosis & Treatment in
Psychiatry. International Edition 2000. Singapore : a Lange Medical
Book/McGraw Hill. 2000 : h.260-269
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III
(PPDGJ III). Jakarta, 1993 : h.105-109
3. Taylor EJ, ed. Dorlans’s Illustrated Medical Dictionary. Edisi
keduapuluh tujuh. Philadelphia : WB Saundres Co, 1988 : h. 1942
4. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry.
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. Edisi Kesepuluh.
Philadelphia : Lippincott William & Wilkins. 2005 : h. 117 – 31.
5. Sadock BJ, Sadock VA. Schizophrenia. Dalam : Kaplan & Sadock’s
Pocket Handbook of Clinical Psychiatry. Edisi keempat.
Philadelphia : Lippincott Wiliam & Wilkins. 2005 : h. 117 – 31.
6. Stahl SM. Essential psychopmarcology. Neuroscientific Basis and
Practical Applications. Edisi Kedua. Cambridge University Press.
2000 : h. 365 – 99.
7. Stahl S.M. Essential Psychopharmacology of ANtipsychotics and
Mood Stabilizers. Cambridge University Press. 2002.h.433-34.
Sadock’s Comprehensive Textbook of Psyciatry. Vol. II. Edisi
Kedelapan. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
2005.h.2914-2927.
9. Vijay Sagar K.J, Candra Sekar, C.R. A Double blind randomized
trial between risperidone and haloperidol in drug-naïve patients with
paranoid schizophrenia. Indian Journal of Psychiatry. 2005.
10. Gelder M, et al. Oxford Texbook of Psychiatry. Edisi Ketiga. New
York ; Oxford University Press. 1996 : h. 246 – 93
11. Buchanan RW, Carpenter WT. Concept of Scizophrenia. Dalam :
Sadock BJ, Sadock VA, eds. Kaplan & Sadock’s Comprehensive
Textbook of Psychiatry. Edisi Kedelapan. Vol I. Philadelphia :
Lippincott Williams & Willkins. 2005 : h. 1329 – 44.
12. Sadock BJ, Sadock VA. Dopamine Receptor Antagonists : Typical
Antipsychotics. Kaplan & Sadock’s Pocket Handbook of
Pscychiatric Drug Treatment. Edisi Ketiga. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins. 2001 : h. 113 – 35.
13. Herz MI, Marder SR. Schizophrenia Comprehensive Treatment and
Management. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. 2002 : h.
75-113.
14. Sadock BJ, Sadock VA. Dopamine Receptor Antagonists (Typical
Antipsychotics). Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of
Psychiatry. Edisi kedepalan. Vol II. Philadelphia : Lippincott
15. Stahl SM. Essential Psychomarcology. Neuroscientific Basis and
Practical Aplications. Edisi Kedua. Cambridge University Press.
2000 : h. 401-58.
16. Bazire S. Psychotropic Drug Directory 2005 the professionals
pocket handbook and aide memoire. UK : Bath Press ;
2005.h.123,131.
17. Mclntyere JS, Charles SC, Anzia DJ, Cook IA, Finnerty MT,
Johnson BR, dkk. First MB, Fochtmann LJ editors Quick Reference
to the American Psychiatric Association Practice Guidelines for the
treatment of Psychiatric disoders compendium 2006. USA : 2006,
h.130
18. Kay SR. Positive and Negative Syndromes in Schizophrenia :
Assesment and Research. New york. 1991 : h. 33 – 42
19. Sastroasmoro S, Ismael S. Uji Klinis. Dalam : Dasar-dasar
metodologi Penelitian Klinis, Edisi ke-3. Jakarta : Sagung Seto, h.
166 – 191.
20. Sadodk BJ, Sadock VA. Anticholinergics. Kaplan & Sadock’s
Pocket Handbook of Psychiatric Drug Treatment. Edisi Ketiga.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. 2001 : h. 45 – 48.
21. Zhong KX, Sweitzer DE, Hamer RM, Lieberman JA. Comparison of
quetiapine and risperidone in the treatment of schizophrenia : a
randomized, double-blind, flexible – dose, 8 – week study. J Clin