• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Leukosit Anjing yang Terinfeksi Babesia sp. Kronis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Leukosit Anjing yang Terinfeksi Babesia sp. Kronis"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN LEUKOSIT ANJING YANG TERINFEKSI

Babesia

sp. KRONIS

YUSTI MAULIDA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Gambaran Leukosit Anjing yang Terinfeksi Babesia sp. Kronis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

YUSTI MAULIDA. Gambaran Leukosit Anjing yang Terinfeksi Babesia sp. Kronis. Dibimbing oleh SUS DERTHI WIDHYARI dan LENI MAYLINA.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran leukosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis. Penelitian ini menggunakan tiga belas ekor anjing yang positif terinfeksi Babesia sp. dengan persentase parasitemia kurang dari 1% tanpa memperhatikan ras, umur, dan jenis kelamin. Pengambilan sampel darah melalui vena Cephalica antibrachii menggunakan syringe dan dimasukkan ke dalam tabung yang berisi antikoagulan K3 EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid). Jumlah total leukosit dianalisis dengan cell counter-blood analyzer Hemavet®. Sediaan ulas darah dibuat untuk penghitungan differensial leukosit. Kesimpulan yang diperoleh menunjukkan anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis secara umum tidak memperlihatkan perubahan terhadap jumlah leukosit dan diferensial leukosit. Gambaran leukosit pada beberapa anjing secara individu memperlihatkan kondisi leukositosis disertai dengan perubahan salah satu atau beberapa jenis sel leukosit.

Kata kunci: anjing, Babesia sp., kronis, leukositosis.

ABSTRACT

YUSTI MAULIDA. Profile of Dogs Leukocyte which Chronic Infected of Babesia

sp. Supervised by SUS DERTHI WIDHYARI and LENI MAYLINA.

The aim of this research was to obtain the profile of leukocyte of dogs which were chronically infected by Babesia sp. This research used thirteen dogs were positive of chronical infection by Babesia sp with parasitemic percentage less than 1% regardless of breed, age, and sex. The blood samples were taken through Cephalic antibachii vein used syringe and inserted to tube with anticoagulant K3 EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid). The count of total leucocytes were analyzed by cell counter-blood analyzer Hemavet®. Blood smears were made for the differential leucocytes calculation. In conclusion, the dogs chronically infected with Babesia sp. generally showed no changes on white blood cells. Leukocyte profile on few dogs individually showed leukocytosis condition with changes on one or few types of leukocyte cell.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

GAMBARAN LEUKOSIT ANJING YANG TERINFEKSI

Babesia

sp. KRONIS

YUSTI MAULIDA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Gambaran Leukosit Anjing yang Terinfeksi Babesia sp. Kronis Nama : Yusti Maulida

NIM : B04090063

Disetujui oleh

Dr Drh Sus Derthi Widhyari, MSi Pembimbing I

Drh Leni Maylina, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet Wakil Dekan

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Gambaran Leukosit Anjing yang Terinfeksi Babesia sp. Kronis.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Drh Sus Derthi Widhyari, M.Si dan Ibu Drh Leni Maylina, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan dan ilmu yang diberikan kepada penulis selama penelitian dan penyusunan tugas akhir ini. Terima kasih kepada Bapak Drh. Chaerul Basri, M. Epid selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan nasehat selama penulis menjalankan studi. Disamping itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pimpinan beserta tim medis dan pasukan yang tergabung dalam K-9 Direktorat Polisi Satwa POLRI Kelapa Dua, Depok dan pimpinan beserta staf Laboratorium Patologi Klinik, Bagian Penyakit Dalam, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang telah membantu penulis dalam penelitian.

Ungkapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis sampaikan kepada ayah H. Rahmat, ibu Hj. Tati Ratnawati, MM, dan adik Fachry Muhammad Fadillah, serta seluruh keluarga atas segala doa, nasehat dan kasih sayang yang telah diberikan. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman penulis di Geochelone 46, Himpunan Mahasiswa Hewan Kesayangan dan Satwa Aquatik FKH IPB, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB 46, BEM KM IPB 10/12, Penghuni Wisma Jelita dan teh War, Rusunawa 9, TPB 46 A07/08, serta sahabat terdekat Dewi Utami Dimiyati, Adella Anfidina Putri, S.Si, Dwi Utari Rahmiati, S.KH, Rahayu Woro Wiranti, S.KH, Septiana Eka Sari, dan Cinthyarindi Tiffani Lestari atas bantuan, saran, dan motivasi selama ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

PENDAHULUAN 9

Latar Belakang 9

Tujuan Penelitian 9

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

METODE 4

Waktu dan Tempat 4

Alat dan Bahan 4

Hewan Penelitian 5

Pengambilan Darah dan Penghitungan Total Leukosit 5

Pembuatan dan Pewarnaan Sediaan Ulas Darah 5

Penghitungan Diferensial Leukosit 5

Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Total Leukosit 6

Diferensial Leukosit 7

SIMPULAN DAN SARAN 13

Simpulan 13

Saran 13

DAFTAR PUSTAKA 14

(10)

DAFTAR TABEL

1. Jumlah leukosit anjing 3

2. Total leukosit dan nilai relatif deferensial leukosit anjing yang

terinfeksi Babesia sp. kronis 6

3. Total leukosit dan jumlah deferensial leukosit anjing yang terinfeksi

Babesia sp.kronis 8

DAFTAR GAMBAR

1. Rata-rata jumlah total leukosit anjing yang terinfeksi Babesia sp.

kronis 7

2. Rata-rata jumlah limfosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis 9 3. Rata-rata jumlah monosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis 10 4. Rata-rata jumlah neutrofil segmen anjing yang terinfeksi Babesia sp.

kronis 10

5. Rata-rata jumlah neutrofil band anjing yang terinfeksi Babesia sp.

kronis 11

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Anjing dijadikan sebagai hewan peliharaan karena memiliki kecerdasan dan loyalitas tinggi terhadap pemiliknya. Anjing memiliki keistimewaan ketajaman pendengaran dan penciuman, sehingga anjing dapat juga dijadikan sebagai hewan penjaga maupun hewan pelacak. Penciuman anjing yang sangat tajam dimanfaatkan untuk membantu tugas polisi dalam menyelesaikan berbagai permasalahan. Melalui kemampuan penciuman anjing, dapat digunakan untuk melacak jejak kriminalisme seperti bom, narkotika, pencurian, pembunuhan, ataupun penertiban saat adanya kerusuhan (Budiana 2008).

Direktorat Polisi Satwa POLRI memiliki Unit K-9 yaitu sebuah unit yang dikhususkan untuk memelihara dan melatih anjing pelacak. Beberapa jenis anjing yang digunakan sebagai anjing pelacak kepolisian antara lain ras Belgian malinois, Labrador retriever, Rotweiller, Doberman pincher, German shepherd, dan Beagle (POLRI 1996).

Anjing memerlukan perawatan kesehatan agar selalu dalam keadaan optimal. Kendala yang sering ditemukan dalam perawatan kesehatan anjing salah satunya adalah investasi ektoparasit seperti caplak. Anjing sering terinvestasi caplak Rhipichepalus sp. yang dapat menyebabkan lesio kemerahan pada kulit sehingga anjing merasa tidak nyaman akibat rasa gatal yang ditimbulkannya (Case 2005). Investasi caplak pada anjing dapat berperan sebagai vektor penyakit yang disebabkan oleh protozoa, virus, ataupun rickettsia. Babesia sp. merupakan salah satu protozoa yang dapat menginfeksi anjing melalui gigitan caplak Rhipicephalus sp.

Babesiosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit darah Babesia sp. Parasit ini hidup dalam sitoplasma eritrosit. Babesia sp. merupakan organisme yang menginvasi, merusak, dan membelah diri secara biner dalam eritrosit. Hal ini menyebabkan eritrosit ruptur sehingga mengakibatkan anemia hemolitik pada anjing (Taylor et al. 2007). Hewan yang telah terinfeksi Babesia sp. selama hidupnya akan menjadi carrier, apabila sudah terinfeksi kronis selamanya akan menetap di dalam tubuh. Pemeriksaan darah merupakan salah satu cara untuk mengetahui status kesehatan anjing. Gambaran leukosit dapat menunjukkan respon kondisi tubuh saat terinfeksi suatu penyakit, karena sel leukosit berkaitan dengan sistem pertahanan tubuh. Penelitian mengenai gambaran leukosit pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis belum banyak informasi yang dilaporkan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan sebagai kajian untuk melihat gambaran leukosit anjing yang terinfeksi Babesia sp.

Tujuan Penelitian

(12)

2

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang status kesehatan melalui perubahan pada gambaran jumlah dan jenis sel leukosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis.

TINJAUAN PUSTAKA

Babesia sp.

Babesia sp. merupakan parasit darah yang menyebabkan penyakit Babesiosis atau dikenal juga dengan Piroplasmosis. Babesia sp. termasuk kedalam famili Babesiidae. Spesies yang umum menginfeksi anjing adalah Babesia canis (B. canis), Babesia vogeli, dan Babesia gibsoni (Subronto 2006). Menurut Taylor et al. (2007) perbedaan dari ketiga spesies itu adalah besar ukurannya. B. canis memiliki bentuk yang lebih kecil dari B. vogeli, dan B. gibsoni memiliki ukuran yang paling kecil dari ketiganya. Babesia canis memiliki panjang 4-5 µm, salah satu ujungnya runcing dan ujung lainnya membulat dan berbentuk pyriform (seperti buah pir).

Penyebaran infeksi Babesia sp. diperantarai oleh vektor caplak Rhipicephalus sanguineus yang berada ditubuh anjing. Babesia sp. yang berada dalam tubuh caplak tidak melakukan perbanyakan secara seksual. Perbanyakannya terjadi pada ovarium caplak dan menjadi sumber penularan transovarium saat caplak menetas menjadi larva, selanjutnya Babesia sp. yang telah berkembang dalam tubuh caplak bermigrasi ke kelenjar ludah caplak (Subronto 2006). Proses infeksi Babesia sp. pada anjing berawal dari gigitan caplak R. sanguineus (Sigit et al. 2006).

Infeksi dari Babesia sp. menyebabkan anemia hemolitik secara mekanis karena Babesia sp hidup di dalam sel darah merah (eritrosit). Keparahan dari babesiosis ini bergantung pada jenis Babesia sp. yang menginfeksi dan faktor dari inangnya sendiri seperti umur, status imun, dan adanya infeksi lain (Taylor et al. 2007). Infeksi Babesia sp. memiliki bentuk akut dan kronis. Pada infeksi kronis, B. canis sedikit bahkan jarang ditemukan dalam darah, terjadi anemia ringan, serta limfositosis ringan akibat dari stimulasi antigenik kronis. Pada bentuk akut dan subakut, Babesia sp. banyak ditemukan dalam darah, anemia sedang sampai berat, retikulositosis, peningkatan polikromatik, makrositik, hiperbilirubinemia, bilirubinuria, dan memungkinkan hemoglobinuria (Stockham dan Scott 2008).

Leukosit

(13)

3 Butir darah terdiri atas sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan platelet (trombosit). Komposisi darah anjing terdiri dari 5.5-8.5 (x106/µL) eritrosit, 2-5 (x105/µL) trombosit, dan 6-17 (x103/µL) leukosit (Colville dan Bassert 2002). Leukosit atau sel darah putih memiliki jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan eritrosit.

Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh dan lebih banyak berperan pada saat kondisi yang kurang sehat. Leukosit dalam darah terbagi menjadi 2 bagian agranulosit dan granulosit. Agranulosit terdiri dari limfosit dan monosit, sedangkan granulosit terdiri dari neutrofil, eosinofil, dan basofil. Granulosit, monosit, dan sedikit limfosit dibentuk dalam sumsum tulang, sedangkan sebagian besar limfosit dan sel-sel plasma dibentuk dalam jaringan limfe (Guyton dan Hall 1997). Jumlah leukosit anjing dapat dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1 Jumlah leukosit anjing

Neutrofil segmen (x103/µL) 3.6-13.1

Neutrofil band (x103/µL) 0-0.68

Eosinofil (x103/µL) 0.12-0.75

Basofil (x103/µL) 0-0.17

*Jumlah normal menurut Tilley dan Smith (2011)

Limfosit merupakan sel berinti satu berukuran kecil hingga sedang mempunyai nukleus yang relatif besar yang dikelilingi sejumlah sitoplasma. Intinya besar, memiliki sedikit lekuk pada salah satu sisinya dan heterokromatin, serta dikelilingi sitoplasma yang berwarna biru pucat (Colville dan Bassert 2002). Limfosit memiliki fungsi yang berhubungan dengan sistem pertahanan tubuh. Limfosit yang berasal dari darah, korteks limfonodus, dan pulpa putih pada limpa memiliki respon yang cepat terhadap antigen (Ettinger 1995). Limfosit juga berperan dalam memproduksi antibodi dan memfiksasi toksin dalam tubuh. Limfosit tidak memiliki granul, dan tidak bersifat fagositik yaitu tidak dapat mencerna partikel asing, seperti bakteri atau jaringan yang sudah mati (Swenson 1984).

(14)

4

Neutrofil merupakan leukosit yang memiliki granul halus pada sitoplasmanya dan memiliki gelambir pada intinya (Colville dan Bassert 2002). Neutrofil berdasarkan umurnya terbagi atas neutrophil dewasa (bersegmen) dan neutrofil muda (band). Inti sel neutrofil dewasa dibagi atas lobus atau segmen yang dihubungkan oleh filamen. Sedangkan sel neutrofil muda intinya seperti balok yang berlekuk atau melingkar tanpa segmentasi (Swenson 1984). Neutrofil memiliki fungsi memfagosit partikel asing dan membunuh bakteri melalui proses hidrolisis enzimatis. Lama hidup neutrofil dalam aliran darah kira-kira 10 jam di sirkulasi darah sebelum masuk ke jaringan. Jangka waktu di sirkulasi akan semakin pendek bila permintaan terhadap neutrofil di jaringan meningkat. Sumsum tulang dirangsang untuk melepas lebih banyak netrofil dalam aliran darah dan terjadilah leukositosis yang ditandai dengan peningkatan leukosit muda (band netrofil) pada saat kasus infeksi akut (Ettinger 1995).

Eosinofil memiliki ukuran, bentuk, jumlah, dan karakteristik warna butir eosinofil yang berbeda-beda pada setiap hewan sehingga dapat dibedakan pada saat mengamati leukosit. Eosinofil memiliki sitoplasma berwarna biru pucat, inti bersegmen, dan granul yang berwarna merah hingga jingga. Pada anjing, butir sitoplasmanya jarang, dan bervariasi dari kecil sampai besar, homogen merah muda sampai jingga pada butir vakuolanya (Colville dan Bassert 2002). Eosinofil memiliki fungsi yang erat kaitannya dengan sel mast. Ketika sel mast melepaskan histamin menuju jaringan kemungkinan eosinophil secara kemotaksis berada disekitar jaringan tersebut. Eosinophil membantu mengkontrol respon alergi dan reaksi hipersensitivitas anafilaktik (Ettinger 1995).

Basofil dalam aliran darah normal, memiliki jumlah yang sangat sedikit dari total jumlah leukosit. Basofil memiliki granul yang berwarna biru namun bentuknya bervariasi bergantung jenis hewannya. Pada anjing, basofil memiliki sedikit granul, inti yang panjang, dan sitoplasma yang lebih basofilik atau biru (Colville dan Bassert 2002). Menurut Ettinger (1995) basofil melepas mediator untuk aktifitas pembarahan dan alergi, dan memiliki reseptor untuk IgE dan IgG yang menyebabkan degranulasi melalui eksostosis. Basofil memiliki kemiripan dengan sel mast pada sistem peredaran darah (Guyton dan Hall 1997).

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2012 sampai Januari 2013 di Klinik Veteriner Direktorat Polisi Satwa POLRI Kelapa Dua Depok dan Laboratorium Patologi Klinik, Bagian Penyakit Dalam, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

(15)

5 yang digunakan antara lain larutan Giemsa 10%, metanol, alkohol 70%, aquades, minyak emersi, dan xylol.

Hewan Penelitian

Penelitian ini menggunakan 13 ekor anjing yang positif terinfeksi Babesia sp. secara kronis, dengan berbagai ras (Labrador retriever, Rotweiller, Belgian malinois, German shepherd, dan Beagle), berumur antara 3 sampai 5 tahun.

Pengambilan Darah dan Penghitungan Total Leukosit

Pengambilan darah dilakukan melalui vena Cephalica antibrachii sebanyak 2 ml dan kemudian dimasukkan ke dalam tabung vakum yang mengandung antikoagulan EDTA untuk kemudian dilakukan pemeriksaan total leukosit. Pemeriksaan jumlah total leukosit dilakukan dengan menggunakan alat cell counter-blood analyzer Hemavet®.

Pembuatan dan Pewarnaan Sediaan Ulas Darah

Preparat ulas darah dibuat secara langsung dari darah utuh (whole blood). Darah diteteskan pada salah satu ujung sebuah gelas obyek yang bersih dan kering. Sebuah gelas obyek lain salah satu sisinya ditempelkan pada gelas obyek yang telah ditetesi darah membentuk sudut 45° digerakkan sampai menyinggung dan menyebar tetesan darah di sepanjang sudut antara kedua gelas obyek. Gelas obyek yang dipegang didorong ke depan sehingga terbentuk ulas darah yang tipis. Preparat ulas darah tersebut kemudian dikeringkan di udara, lalu direndam dalam larutan metanol selama 5 menit agar terfiksasi dan dikeringkan kembali. Selanjutnya sediaan ulas darah diwarnai dengan cara direndam dalam larutan Giemsa 10% selama 45-60 menit. Sediaan yang telah terwarnai tersebut diangkat lalu dibilas menggunakan air mengalir dan dikeringkan di udara.

Penghitungan Diferensial Leukosit

(16)

6

Analisis Data

Data dianalisis secara deskriptif menggunakan software SPSS 16.0 for windows dan MS Office Excell.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Parasitemia merupakan kondisi dimana ditemukan adanya parasit dalam darah. Derajat atau tingkat infeksi Babesia sp dapat dilihat melalui parameter tingkat parasitemia atau persentasi parasitemia (persentase eritrosit ber”parasit” Babesia sp.). Persentase parasitemia dapat digunakan sebagai acuan untuk melihat tingkat keparahan sebuah penyakit, faktor-faktor yang mempengaruhi derajat parasitemia adalah spesies hewan, imunitas hewan, periode infeksi parasit, resistensi hewan terhadap vektor, dan periode infestasi vektor (Ndungu et al. 2005).

Menurut Ndungu et al. (2005) tingkat parasitemia diklasifikasikan berdasarkan persentase eritrosit berparasit yang diperoleh, yaitu derajat infeksi ringan (persentase parasitemia <1%), derajat infeksi sedang (persentase parasitemia 1-5%), dan derajat infeksi berat (persentase parasitemia >5%). Penelitian ini menggunakan anjing yang positif mengalami infeksi Babesia sp. secara kronis dengan presentase parasitemia kurang dari 1% (Solihah 2013). Menurut Stockham dan Scott (2008) pada saat infeksi kronis, Babesia sp. yang ada dalam darah memiliki jumlah yang sangat sedikit. Pada infeksi kronis jumlah parasit sedikit dalam tubuh mengakibatkan gejala klinis seperti demam intermitten, anoreksia, lesu, dan kurang aktif (Taylor et al. 2007).

Total Leukosit

Hasil penelitian pada Tabel 2 menunjukkan nilai relatif dari masing-masing leukosit. Nilai relatif menunjukkan persentase setiap sel dari jumlah total leukositnya. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata hasil nilai relatif diferensial leukosit anjing berada pada kisaran nilai normal menurut literatur Tilley dan Smith (2011).

Tabel 2 Total Leukosit dan nilai relatif diferensial leukosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis.

Parameter Rata-rata hasil Kisaran hasil Nilai normal* Total Leukosit (x103/µL) 13.62±3.69 9.33-16.71 8-17

(17)

7 Hasil penelitian jumlah total leukosit anjing yang didapat memiliki rata-rata (13.02±3.69) x103/µL. Jumlah tersebut berada pada kisaran normal yang berkisar pada (8-17) x103/µL (Tilley dan Smith 2011). Hasil penelitian secara individu didapatkan tiga anjing memiliki jumlah total leukosit yang lebih tinggi dari jumlah normal yang berkisar pada (17.7-19.4) x103/µL. Perbedaan jumlah total leukosit setiap individu anjing dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Rata-rata jumlah total leukosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis. (Daerah diantara garis menunjukkan rentang jumlah total leukosit normal)

Leukositosis merupakan kondisi jumlah total leukosit yang lebih tinggi dari kisaran jumlah normalnya (Ettinger 1995). Kejadian leukositosis dapat bersifat fisiologis maupun patologis. Faktor fisiologis dapat berupa stress akibat rasa takut, emosi, dan latihan fisik. Leukositosis yang bersifat patologis dapat diakibatkan oleh infeksi bakteri piogenik ataupun adanya anemia akibat penyakit kronis (Tilley dan Smith 2011). Infeksi Babesia sp. kronis pada anjing dapat mengakibatkan anemia normositik normokromik (Solihah 2013).

Diferensial Leukosit

(18)

8

Tabel 3 Total leukosit dan jumlah diferensial leukosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis (*) Jumlah normal menurut Tilley dan Smith (2011)

Limfosit memiliki fungsi yang berkaitan dengan sistem pertahanan tubuh karena dapat memproduksi antibodi. Limfosit yang berada dalam darah memiliki respon yang cepat terhadap antigen (Ettinger 1995). Hasil yang didapatkan dari penelitian ini menunjukkan rata-rata jumlah limfosit anjing sebesar (2.94±2.50) x103/µL dan masih berada pada kisaran normal menurut Tilley dan Smith (2011), yaitu berkisar (0.72-5.1) x103/µL. Furlanello et al. (2005) melaporkan adanya infeksi Babesia sp secara alami memperlihatkan abnormalitas dari diferensial leukosit yang terjadi berupa kondisi limfositopenia dan neutropenia. Hal ini berbeda dengan penelitian Shah et al. (2011) yang menyatakan bahwa pada kasus Babesiosis secara alami tidak terlihat perubahan spesifik dari total leukosit dan diferensial leukositnya.

(19)

9

Gambar 2 Rata-rata jumlah limfosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis. (Daerah diantara garis menunjukkan rentang jumlah limfosit normal)

Hasil penelitian secara individu juga menunjukkan limfositopenia dijumpai pada dua ekor anjing yaitu anjing ke-6 dan ke-7. Kejadian limfositopenia pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. dapat disebabkan akibat terjadinya SIRS (Systemic Inflammatory Responses Syndrome) yaitu adanya respon radang yang sudah sistemik pada tubuh anjing, yang dapat dikategorikan dalam keadaan sepsis (Furlanello et al. 2005).

Rata-rata jumlah monosit pada penelitian ini sebesar (0.74±0.91) x103/µL, hasil penelitian berada pada kisaran normal menurut Tilley dan Smith (2011) yaitu berkisar pada (0.18-1.35) x103/µL. Hasil penelitian menunjukkan terdapat dua ekor anjing memiliki jumlah monosit yang lebih tinggi dari jumlah normal. Menurut Stockham dan Scott (2008) jumlah monosit yang lebih tinggi dari jumlah normalnya dapat terjadi akibat adanya stress ataupun infeksi kronis. Hal ini dapat terjadi akibat adanya respon imun akibat reaksi radang. Hasil penelitian juga menunjukan tiga ekor anjing memiliki jumlah monosit lebih rendah dari jumlah normal (monositopenia). Pada kasus menurunnya jumlah monosit dalam darah tidak ada relevansinya secara klinis (Stockham dan Scott 2008). Menurut Furlanello et al. (2002) hanya 18% kemungkinan terjadinya monositopenia pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. Perbedaan jumlah monosit setiap individu anjing dapat dilihat pada Gambar 3

(20)

10

Gambar 3 Rata-rata jumlah monosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis. (Daerah diantara garis menunjukkan rentang jumlah monosit normal)

Hasil rata-rata jumlah neutrofil segmen sebesar (8.45±3.02) x103/µL, jumlah ini berada pada kisaran jumlah normal menurut Tilley dan Smith (2011) yang berkisar pada (3.6-13.1) x103/µL. Hasil penelitian menunjukkan adanya satu ekor anjing yaitu anjing ke-12 memiliki jumlah neutrofil segmen yang lebih rendah dari jumlah normal (neutropenia). Keadaan neutropenia pada anjing biasanya dikaitkan dengan penurunan jumlah total leukosit. Hasil penelitian menunjukkan anjing ke-12 memiliki jumlah total leukosit yang berada pada kisaran normal dan memiliki jumlah limfosit yang lebih tinggi dari jumlah normal. Hasil yang didapat selain terinfeksi Babesia sp. anjing tersebut dimungkinkan terinfeksi penyakit lain atau adanya infeksi sekunder. Menurut Stockham dan Scott (2008), neutropenia yang disertai dengan limfositosis dapat diakibatkan oleh gangguan hormon seperti pada saat terjadi hipoadrenokortism dan juga dapat disebabkan adanya infeksi Ehrlichia canis (Tilley dan Smith 2011). Perbedaan jumlah neutrofil segmen setiap individu anjing dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Rata-rata jumlah neutrofil segmen anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis. (Daerah diantara garis menunjukkan rentang jumlah neutrofil segmennormal)

(21)

11

Hasil penelitian menunjukan rata-rata jumlah neutrofil band sebesar (0.41±0.28) x103/µL berada pada kisaran jumlah normal menurut Tilley dan Smith (2011) yaitu berkisar pada (0-0.68) x103/µL. Jumlah neutrofil band yang meningkat dalam tubuh menjadi siklus normal ketika sumsun tulang melepaskan neutrofil band sebagai pengganti neutrofil segmen yang sudah mati (Stockham dan Scott 2008). Perbedaan jumlah neutrofil band setiap individu anjing dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Rata-rata jumlah neutrofil band anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis. (Daerah diantara garis menunjukkan rentang jumlah neutrofil bandnormal).

(22)

12

Gambar 6 Rata-rata jumlah eosinofil anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis. (Daerah diantara garis menunjukkan rentang jumlah eosinofil normal)

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata jumlah basofil sebesar (0.03±0.07) x103/µL berada pada kisaran jumlah normal menurut Tilley dan Smith (2011) yaitu berkisar pada (0-0.17) x103/µL. Jumlah basofil pada dua ekor anjing yaitu anjing ke-2 dan ke-5 memiliki jumlah yang lebih tinggi dari jumlah normal dengan jumlah berkisar pada (0.18-0.19)x103/µL.

Menurut Stockham dan Scott (2008), penyebab dari tingginya jumlah basofil dalam darah jarang dilaporkan, karena kejadian ini jarang ditemukan. Basofilia atau tingginya basofil dalam darah bisa dihubungkan dengan kejadian infeksi akibat parasit, alergi, dan keadaan neoplastik. Hasil penelitian ini beberapa individu yang memiliki jumlah basofil yang tinggi selain akibat infeksi Babesia sp. kronis dapat juga akibat alergi atau sedang terinfeksi parasit lain. Perbedaan jumlah basofil pada setiap individu anjing dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Rata-rata jumlah basofil anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis. (Daerah diantara garis menunjukkan rentang jumlah basofil normal.)

(23)

13

Gambaran leukosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis pada hasil penelitian ini secara umum tidak memperlihatkan perubahan terhadap jumlah leukosit dan diferensial leukositnya. Hal ini dapat disebabkan karena hewan sedang berada dalam keadaan preimunisi, yaitu terjadinya keseimbangan antara respon imun hewan yang terifeksi dengan kemampuan parasit untuk menunjukkan gejala klinis (Mandell et al. 2010). Kondisi ini dapat menyebabkan gejala klinis tidak teramati bahkan tidak memperlihatkan adanya gejala klinis pada saat infeksi kronis. Menurut penelitian Fabisiak et al. (2009) jumlah total leukosit dan diferensial leukosit yang terjadi pada kasus infeksi alami babesiosis tidak hanya dipengaruhi oleh keberadaan parasit dalam darah, tetapi dapat dipengaruhi oleh variasi ras, umur, respon sistem imunologi setiap individunya, dan faktor-faktor infeksius lainnya seperti parasit, fungi, virus, dan bakteri.

Hasil penelitian yang tersaji pada Tabel 3 secara individu didapatkan tiga anjing memiliki jumlah total leukosit yang lebih tinggi dari jumlah normal. Peningkatan jumlah total leukosit dapat terjadi akibat peningkatan salah satu atau beberapa jenis sel leukosit. Anjing ke-5 memiliki jumlah total leukosit yang tinggi disertai dengan peningkatan jumlah limfosit dari jumlah normal. Peningkatan jumlah limfosit sebagai indikasi adanya respon tubuh terhadap antigen (Stockham dan Scott 2008).

Peningkatan jumlah total leukosit pada anjing ke-2 dan ke-11 disertai peningkatan jumlah sel monosit dan penurunan jumlah limfosit dari jumlah normal pada anjing ke-11. Hal ini diduga sebagai akibat dari respon tubuh terhadap adanya peradangan yang bersifat kronis. Kejadian limfositopenia menunjukkan anjing sedang berada dalam status imunitas yang menurun. Daya imunitas yang menurun dapat terjadi akibat adanya infeksi yang sistemik, selain itu dapat juga terjadi saat kondisi sekresi glukokortikoid meningkat dalam tubuh karena stress ataupun saat terapi obat (Tilley dan Smith 2011). Terjadinya monositosis dapat juga dijumpai pada kondisi stress (Tilley dan Smith 2011).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis secara umum tidak memperlihatkan perubahan jumlah leukosit dan diferensial leukosit. Gambaran leukosit pada beberapa anjing secara individu memperlihatkan kondisi leukositosis disertai dengan perubahan beberapa atau salah satu jenis sel leukosit.

Saran

(24)

14

DAFTAR PUSTAKA

Budiana NS. 2008. Anjing: Panduan Lengkap Memelihara, Merawat, dan Melatih Anjing Kesayangan. Depok (ID): Penebar Swadaya

Case LP. 2005. The Dog: Its Behaviour, Nutrition, and Health. Ed 2. Iowa (USA): Blackwell Publishing

Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary Technicians. Missouri (USA): Mosby.

Dellmann HD, Eurell JA. 1998. Textbook of Veterinary Histology. Philadelphia (USA): Lippincott Williams and Wilkins. Clinicopathological findings in naturally occurring cases of babesiosis caused by large form Babesia from dogs of northeastern Italy. Vet Parasitol. 134: 77–85.

Guyton AC, Hall JE. 1997. Textbook of Medical Physiology. Philadelphia (USA): Saunders Company.

Mandell GL, Bennett JE, Dolin R. 2010. Mandell, Douglas, and Bennett’s Principles and Practice of Infectious Disease. Ed 7. Philadelphia: Elsevier. Maylina L. 2013. Profil hematologi dan kimia darah anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis. [tesis] Bogor (ID): Institut Pertania Bogor.

Ndungu SG, Brown CGD, Dolan TT. 2005. In vivo comparison of susceptibility between Bos indicus and Bos Taurus cattle types to Theileria parva infection. Onderstepoort J Vet Res. 72: 13-22

[POLRI] Kepolisian Republik Indonesia. 1996. Hut Satwa Polri ke 37. Jakarta (ID): Direktorat Samapta Polri Sub Direktorat Satwa.

Shah SA, Sood NK, Tumati SR. 2011. Haemato-biochemical changes in natural cases of canine babesiosis. Asian Jurnal of Animal Science. 5(6): 387-392. Sigit SH, Koesharto FX, Hadi UK, Gunandini DJ, Soviana S, Wirawan IA,

Chalidaputra M, Rivai M, Priyambodo S, Yusuf S, et al. 2006. Hama Permukiman Indonesia. Bogor (ID): UKPHP FKH IPB.

Solihah C. 2013. Profil eritrosit anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp. [skripsi] Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology. Ed ke-2. State Avenue (USA): Blackwell Publishing.

Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Swenson. 1984. Duke’s Phisiology of Domestic Animals. Ed 10. London (UK): Cornel University Press.

(25)

15 Tilley LP, Smith JR. 2011. Blackwell’s Five-Minute Veterinary Consults Canine

and Feline. Ed 5. Philadephia (USA): Tilley Blackwell.

(26)

16

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cianjur, Jawa Barat pada tanggal 20 September 1991. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Bapak H. Rahmat dan Ibu Hj. Tati Ratnawati, MM. Penulis memiliki satu adik Fachry Muhammad Fadillah yang sekarang masih menempuh sekolah menengah atas di SMAN 3 Bandung.

Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Ibu Dewi 5 Cianjur hingga lulus pada tahun 2003. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Cianjur dan lulus pada tahun 2006. Pendidikan selanjutnya penulis tempuh di SMA Negeri 2 Cianjur dan lulus pada tahun 2009. Tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Gambar

Tabel  2  Total  Leukosit  dan  nilai  relatif  diferensial  leukosit  anjing  yang  terinfeksi
Gambar 1 Rata-rata jumlah total leukosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis.   (Daerah diantara garis           menunjukkan rentang jumlah total leukosit normal)
Tabel 3 Total leukosit  dan jumlah diferensial leukosit anjing yang terinfeksi  Babesia sp
Gambar 2 Rata-rata jumlah limfosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis.   (Daerah diantara garis           menunjukkan rentang jumlah limfosit normal)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh suplementasi Zn dalam pakan terhadap profil jumlah total dan diferensial leukosit (meliputi jumlah limfosit,

Secara umum anjing pelacak ras Doberman di Subdit Satwa POLRI memiliki nilai- nilai darah yang masih berada dalam kisaran normal kecuali nilai MCV yang tinggi pada lebih dari

Sebanyak tiga ekor kucing kampung memiliki jumlah leukosit total, neutrofil, limfosit, eosinofil dan basofil dalam nilai interval normal.. Kata kunci: leukosit, kucing

Data hasil penghitungan jumlah leukosit total, diferensial leukosit, dan rasio neutrofil/limfosit (N/L) pada empat ekor kerbau lumpur betina yang dihitung selama dua

Hasil perhitungan status hematologis yang meliputi jumlah leukosit total dan diferensial leukosit (neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit dan monosit) tikus putih (R.

Dari data yang diperoleh, secara keseluruhan atau secara umum anjing pelacak ras Doberman di Subdit Satwa POLRI memiliki nilai- nilai darah yang masih berada dalam kisaran

Dari data pada Tabel 5 diatas diketahui bahwa hanya satu anjing (±15%) Labrador Retriever memiliki nilai MCH yang lebih rendah dari kisaran normal (kisaran normal MCH pada anjing:

Anjing lokal yang diinjeksi dengan xilazin 2 mg/kg – 8 mg/kg dan ketamin 10 mg/kg secara subkutan tidak berpengaruh nyata (P&gt;0,05) terhadap total dan diferensial