• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelembagan Berkelanjutan dalam Pertanian Organik (Studi Kasus Komunitas Petani Padi Sawah, Kampung Ciburuy,Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kelembagan Berkelanjutan dalam Pertanian Organik (Studi Kasus Komunitas Petani Padi Sawah, Kampung Ciburuy,Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat)"

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)

KELEMBAGAAN BERKELANJUTAN DALAM

PERTANIAN ORGANIK

(STUDI KASUS KOMUNITAS PETANI PADI SAWAH,

KAMPUNG CIBURUY, DESA CIBURUY, KECAMATAN CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT)

HANA INDRIANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kelembagaan Berkelanjutan dalam Pertanian Organik (Studi Kasus Komunitas Petani Padi Sawah, Kampung Ciburuy, Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantukan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2010

(3)

ABSTRACT

HANA INDRIANA. Sustainable Institutions In Organic Agriculture (Case Study of Paddy Peasant Community, Kampung Ciburuy, Ciburuy Village, Cigombong District, Bogor Residence, West Java Province). Under direction of FREDIAN TONNY and NURMALA K. PANDJAITAN).

Organic agriculture system has already developed and sustain until today in the middle of agricultural modernization. Its become an alternative to build sustainable agriculture and institutional support become important element to build it. Related to that, the objective of this research was to analysis how is an agriculture sustainability will be built supported by sustainable institutions in organic agriculture system. The study is a sociological research which assumed itself into constructivist paradigm, which is a qualitative exploration, with specific cases using multi-method. The research was held on October 2008 until February 2009 and located in Ciburuy Village with paddy peasant community as the unit of analysis. The result of the research shows that organic agriculture system in Ciburuy Village is healty rice agriculture system which produce SAE branded rice (Healty, Save, and Delicious). Technically, the system has not yet became pure organic agriculture which free of synthetic chemical because the using of chemical fertilizer. Nevertheles, a process and also an implementation of the system related to the principles of organic agriculture system. So that, production techniques, social relationships, and the rules that embedded in were built to build agriculture sustainability. The process of organic agriculture system is on the movement from conventional agriculture system towards pure organic agriculture system. From the people center perspective paradigm, the process of empowerment must be develop to increase community participation in developing healty rice agriculture system.

(4)

RINGKASAN

HANA INDRIANA. Kelembagaan Berkelanjutan dalam Pertanian Organik (Studi Kasus Komunitas Petani Padi Sawah, Kampung Ciburuy, Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh FREDIAN TONNY dan NURMALA K. PANDJAITAN).

Sistem pertanian organik masih terus berkembang dan bertahan hingga saat ini di tengah gempuran modernisasi pertanian melalui revolusi hijau. Perkembangan tersebut tampak secara signifikan baik di tingkat dunia, tingkat nasional, maupun tingkat lokal yang tampak dengan semakin bertambahnya luas lahan penanaman dan juga pertumbuhan pasar produk organik tersebut. Di samping itu, semakin banyak pihak yang terlibat dalam pengembangan sistem tersebut. Sistem pertanian organik ini memiliki berbagai keunggulan dari sisi ekonomi, ekologi, dan sosial budaya sehingga menjadi salah satu alternatif pembangunan pertanian berkelanjutan. Adanya dukungan kelembagaan menjadi elemen penting untuk mewujudkannya. Sehubungan dengan itu, dalam kaitan sistem pertanian organik sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan, maka dari uraian di atas memunculkan pertanyaan utama bagaimanakah pertanian berkelanjutan dapat diwujudkan melalui keberlanjutan kelembagaan dalam sistem pertanian organik ? Untuk memperoleh gambaran komprehensif mengenai sistem pertanian organik tersebut, maka rumusan permasalahan penelitian yang dikaji adalah : (1) bagaimanakah aktivitas pertanian dalam sistem pertanian organik dan siapa sajakah aktor yang terlibat dalam aktivitas tersebut ?; (2) bagaimanakah bentuk-bentuk kelembagaan yang terdapat dalam sistem pertanian organik ditinjau dari dimensi-dimensi prinsip yang membangun kelembagaan tersebut ?; dan (3) faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan dalam pertanian organik tersebut?

Penelitian ini merupakan penelitian sosiologis dengan menekankan pada pola-pola hubungan antara pihak yang terlibat dalam sistem pertanian organik, tata aturan yang melekatinya, dan dinamika yang terjadi dalam upaya mewujudkan pertanian berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis, dengan metode kualitatif dan strategi penelitian studi kasus. Pemilihan lokasi penelitian ditentukan secara purposif yakni pada komunitas petani padi sawah di Kampung Ciburuy, Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Adapun waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2008 hingga Februari 2009. Subyek penelitian yang dipilih adalah komunitas petani padi sawah di Kampung Ciburuy, serta pihak-pihak yang terlibat dalam berbagai kelembagaan yang terbentuk dalam sistem pertanian organik tersebut.

(5)

laboratorium menunjukkan bahwa beras SAE adalah produk yang bebas pestisida. Sehubungan dengan itu, cara produksi, hubungan-hubungan sosial yang terbentuk, dan tata aturan yang dibangun diarahkan guna mencapai pertanian berkelanjutan. Sistem pertanian padi sehat tersebut melibatkan berbagai pelaku yaitu komunitas petani padi sawah di Kampung Ciburuy, tokoh masyarakat setempat, Koperasi Kelompok Tani “Lisung Kiwari”, instansi pemerintah khususnya dijembatani oleh penyuluh setempat, Lembaga Pertanian Sehat, perusahaan, para distributor, agen dan konsumen Beras SAE.

Pola-pola hubungan yang dibentuk oleh para pelaku dalam sistem pertanian padi sehat membentuk kelembagaan-kelembagaan dalam pengaturan input, kelembagaan dalam pengaturan produksi, dan kelembagaan dalam pengaturan output. Dengan semakin menguatnya rasionalitas ekonomi, kelembagaan-kelembagaan yang terbentuk cenderung lebih ditopang oleh pilar normatif dan regulatif. Terdapat dua elemen yang menjadi alat untuk mencapai kelembagaan yang berkelanjutan yaitu pengorganisasian sosial dan teknik sosial Bekerjanya elemen pengorganisasian sosial dan teknik sosial dalam membangun keberlanjutan kelembagaan dalam sistem pertanian padi sehat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi kepemimpinan, adanya aturan tertulis, aturan tidak tertulis, proses pendirian kelembagaan, dan partisipasi komunitas. Adapun faktor eksternal mencakup adanya tata kelola yang baik dalam sistem pemerintahan, jejaring kerjasama antar kelembagaan, dan ketersediaan sarana dan prasarana umum.

Sistem pertanian padi sehat di Kampung Ciburuy pada prosesnya berada pada pergeseran dari sistem pertanian konvensional menuju pada sistem pertanian organik. Terkait dengan hal itu, cara produksi, hubungan-hubungan sosial, dan tata aturan yang melekatinya terus diupayakan untuk memenuhi prinsip-prinsip sistem pertanian organik. Hal ini ditujukan untuk mencapai pertanian berkelanjutan. Dari hasil analisis lebih lanjut, diketahui bahwa upaya mewujudkan pertanian berkelanjutan masih menemui berbagai kendala pada setiap dimensinya. Faktor struktur, kultur, dan aksi bersama dari komunitas setempat berdampak pada pencapaian keberhasilan pada setiap dimensi pertanian berkelanjutan baik dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dan dimensi sosial. Dari perspektif paradigma pembangunan berpusat pada rakyat, maka proses pemberdayaan yang bersifat positive-sum perlu terus dikembangkan agar partisipasi komunitas dalam menerapkan sistem pertanian padi sehat tersebut semakin meningkat.

(6)

@ Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi-lindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

KELEMBAGAAN BERKELANJUTAN DALAM

PERTANIAN ORGANIK

(STUDI KASUS KOMUNITAS PETANI PADI SAWAH, KAMPUNG CIBURUY, DESA CIBURUY, KECAMATAN CIGOMBONG,

KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT)

HANA INDRIANA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Tesis : Kelembagan Berkelanjutan dalam Pertanian Organik

(Studi Kasus Komunitas Petani Padi Sawah, Kampung Ciburuy, Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

Nama : Hana Indriana

NRP : I351060021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ir. Fredian Tonny, MS Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS DEA Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Sosiologi Pedesaan

Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, MSc. Agr Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT atas rahmat dan karuniaNya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Kelembagaan Berkelanjutan dalam Pertanian Organik (Studi Kasus Komunitas Petani Padi Sawah, Kampung Ciburuy, Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober 2008 sampai dengan Februari 2009. Adapun penyusunan tesis ini ditujukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perkembangan sistem pertanian organik di tengah semakin gencarnya modernisasi pertanian melalui revolusi hijau. Sistem pertanian organik menjadi salah satu alternatif untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan. Sistem pertanian organik tidak hanya mencakup cara produksi, aktivitas dan para pelaku yang terlibat, akan tetapi juga meliputi kelembagaan-kelembagaan yang terbentuk didalamnya. Keberlanjutan kelembagaan tersebut menjadi faktor penting dalam mewujudkan pertanian berkelanjutan sehingga menjadi uraian analisis yang dikemukakan dalam karya tulis ini.

Selama masa penyelesaian tesis ini, tentunya tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Ir. Fredian Tonny, M.S dan Ibu Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS. DEA selaku Komisi Pembimbing, atas kesabarannya memberikan arahan dan motivasi untuk menyempurnakan tesis ini; kepada Ibu Ir. Nuraini W. Prasodjo, M.S yang telah berkenan menjadi Penguji Luar Komisi pada saat ujian tesis; kepada Mamah Yati Karyati dan Papah Agus Hendriana, serta Mamah Tuminem dan Bapak Suradal yang telah menjadi sumber kekuatan terbesar kepada penulis agar segera menyelesaikan studi ini; kepada Bapak Haji Ahmad Zakaria, Bapak Edi Dharma, Kang Hari Koswara, Bapak dan Ibu di Kampung Ciburuy atas segala bimbingan dan informasi yang telah diberikan selama penulis berada di lapangan; kepada suamiku Mauludin Irwanto, S.P dan putriku Khalisa Syifa Alkhansa, atas segenap cintanya yang senantiasa dicurahkan khususnya selama penulis menjalani studi; kepada seluruh staf pengajar dan staf kependidikan Departemen Sains KPM, FEMA, IPB atas kerjasama dan perhatian yang senantiasa dicurahkan; kepada rekan kerja terbaik, Mbak Rahmawati, A. Md dan Ibu Neni Suryani, A.Md, atas segala kerjasama dan kebersamaan dalam mengelola perpustakaan Departemen Sains KPM; serta kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam penyelesaian studi ini.

Demikianlah tesis ini disusun dengan harapan dapat memperkaya khasanah keilmuan di bidang sosiologi pada lingkup pertanian dan pedesaan. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan guna perbaikan tesis ini di masa mendatang. Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Februari 2010

(11)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Selama masa penyelesaian tesis ini, tentunya tidak terlepas dari dorongan dan dukungan baik moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis merasa sangat bersyukur kepada Alloh SWT, atas segala nikmat, karunia, dan hidayah yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis. Dengan segala kerendahan hati pula, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Ir. Fredian Tonny, M.S selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS. DEA selaku Anggota Komisi Pembimbing,

atas kesabarannya memberikan arahan dan motivasi untuk menyempurnakan tesis ini.

2. Ibu Ir. Nuraini W. Prasodjo, M.S yang telah berkenan menjadi Penguji Luar Komisi pada saat sidang tesis.

3. Mamah Yati Karyati dan Papah Agus Hendriana, serta Mamah Tuminem dan Bapak Suradal atas segala kasih sayang yang tidak terhingga dan menjadi sumber kekuatan terbesar kepada penulis agar segera menyelesaikan tesis ini. 4. Keluarga Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc atas segala kesempatan

dan pengalaman terbaik yang telah diberikan.

5. Keluarga Bapak Drs. Budi Mulyo Utomo, M.M, yang senantiasa mengiringi setiap langkah perjuangan penulis.

6. Bapak Hasan Kartajoemena, Bapak Tika Noorjaya, dan Bapak Dadang H. Padmadireja, atas pembelajaran yang berharga untuk mengimplementasikan arti sebuah komitmen dan konsistensi.

7. Bapak Haji Ahmad Zakaria, Bapak Edi Dharma, Kang Hari Koswara, Bapak dan Ibu responden di Kampung Ciburuy atas segala bimbingan dan informasi yang telah diberikan selama penulis berada di lapangan.

8. Kang Ipong, Teh Aal, si kecil Aga, dan Teh Dede atas perhatian, kebahagiaan, dan kehangatan di tengah perjuangan penulis meniti studi di Ciburuy.

(12)

vii

10. Seluruh staf pengajar dan staf kependidikan Departemen Sains KPM, FEMA, IPB atas kerjasama dan perhatian yang senantiasa dicurahkan.

11. Rekan kerja terbaik, Mbak Rahmawati, A. Md dan Ibu Neni Suryani, A.Md, atas segala kerjasama dan kebersamaan kita mengelola perpustakaan Departemen KPM.

12. Teman-teman SPD 2006, atas segala pencerahan pemikiran dan kebersaman kita selama perkuliahan.

13. Mbak Dyah Ita Mardiyaningsih, S.P, M.Si dan Mbak Rina Mardiana, S.P, M.Si. Terimakasih sudah memahamiku dan memberiku segenap dukungan. 14. Sahabatku, Dhiny, S.P, Denta Romauli Sihombing, S.P, Anton Supriyadi, S.P,

M.Si, Husain Assa’di, S.P, M.Si, dan Sriwulan Ferindian, S.P, S.Psi yang telah membantu aku untuk mengenali diriku.

(13)

RIWAYAT PENULIS

Hana Indriana adalah anak pertama dari dua bersaudara, yang dilahirkan di Bandung pada tanggal 25 Januari 1981 dari orangtua bernama Bapak Agus Hendriana dan Ibu Yati Karyati. Pendidikan formal penulis dimulai di TK Budi Istri Bandung pada tahun 1986, kemudian dilanjutkan di SD Kemala Bhayangkari I Bandung pada tahun 1987. Setelah lulus sekolah dasar pada tahun 1993, penulis melanjutkan ke SMPN 5 Bandung dan pada tahun 1996 masuk ke SMUN 5 Bandung. Penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1999 melalui jalur UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) di Fakultas Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi dengan Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian (PKP) dan lulus pada bulan Februari tahun 2004.

Pada tahun 2006, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana pada Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan dibiayai dari Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) Departemen Pendidikan Nasional. Sejak tahun 2004 sampai sekarang, penulis menjadi tenaga penunjang pada Perpustakaan Departemen Sains KPM, FEMA, IPB. Selain itu, penulis menjadi asisten pada Bagian Sosiologi dan Pengembangan Masyarakat (SPPM) Departemen Sains KPM, FEMA, IPB. Penulis juga menjadi asisten dosen pada Mata Kuliah Pengembangan Masyarakat mulai semester genap, tahun akademik 2007/2008 hingga saat ini.

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Kegunaan Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Tinjauan Pustaka ... 9

2.1.1. Perkembangan Sistem Pertanian Padi Sawah di Pedesaan Jawa ... 9

2.1.2. Sistem Pertanian Organik ... 11

2.1.3. Aktivitas dalam Sistem Pertanian Padi Sawah ... 16

2.1.4. Kelembagaan Pertanian Padi Sawah ... 20

2.1.5. Pertanian Berkelanjutan ... 29

2.1.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberlanjutan Kelembagaan ... 33

2.1.7. Dari Revolusi Hijau ke Pertanian Organik : Pergesaran Pembangunan Pertanian ... 35

2.2. Kerangka Pemikiran ... 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 42

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 42

3.2. Unit Analisis ... 43

3.3. Teknik Pengumpulan Data ... 44

3.4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 48

3.5. Acuan Kerja Penelitian ... 50

3.6. Hipotesis Pengarah ... 50

3.7. Batasan Analisis ... 51

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 55

4.1. Profil Desa Ciburuy ... 55

4.2. Profil Kampung Ciburuy ... 58

(15)

BAB V AKTIVITAS DAN PELAKU PADA SISTEM PERTANIAN

PADI SEHAT DI KAMPUNG CIBURUY ... 65

5.1. Modernisasi Pertanian di Kampung Ciburuy ... 65

5.2. Perkembangan Sistem Pertanian Organik di Kampung Ciburuy... .. 70

5.3. Cara Produksi pada Sistem Pertanian Padi Sehat ... 75

5.4. Prinsip-Prinsip dalam Sistem Pertanian Padi Sehat ... 77

5.5. Aktivitas dan Pelaku dalam Sistem Pertanian Organik ... 78

5.6. Ikhtisar ... 79

BAB VI KELEMBAGAAN PADA SISTEM PERTANIAN PADI SEHAT DI KAMPUNG CIBURUY ... 84

6.1. Kelembagaan untuk Pengaturan Input ... 84

6.1.1. Kelembagaan Koperasi ... 85

6.1.2. Kelembagaan untuk Penyediaan Pupuk dan Pestisida ... 87

6.1.3. Kelembagaan Penguasaan Lahan ... 90

6.1.4. Kelembagaan Kelompok Tani ... 93

6.2. Kelembagaan untuk Pengaturan Produksi ... 102

6.2.1. Kelembagaan Hubungan Kerja ... 102

6.2.2. Kelembagaan Panen ... 107

6.3. Kelembagaan untuk Pengaturan Output ... 109

6.3.1. Kelembagaan Pasca Panen ... 109

6.3.2. Kelembagaan dalam Distribusi Beras SAE ... 114

6.4. Bentuk dan Pilar Kelembagaan : Suatu Analisis ... 123

6.5. Pelembagaan ... 126

6.6. Ikhtisar ... 127

BAB VII KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN DALAM SISTEM PERTANIAN PADI SEHAT MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN ... 133

7.1. Keberlanjutan Kelembagaan dalam Konteks Lokal ... 133

7.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberlanjutan Kelembagaan dalam Sistem Pertanian Padi Sehat ... 134

7.3. Kendala yang Dihadapi dalam Mencapai Pertanian Berkelanjutan . 139 7.4. Pencapaian Dimensi-Dimensi Pertanian Berkelanjutan ... 146

7.5. Menuju Pertanian Berkelanjutan dalam Perspektif Paradigma Pembangunan Berpusat pada Rakyat ... 156

7.6. Ikhtisar ... 160

BAB VIII PENUTUP ... 160

8.1. Kesimpulan ... 160

8.2. Saran ... 161

DAFTAR PUSTAKA ... 162

(16)

DAFTAR TABEL

No Halaman Teks

Tabel 1. Perbedaan Sistem Pertanian Non-Organik dengan Organik ... 17 Tabel 2. Aktivitas Pertanian pada Sistem Pertanian Non-Organik dan Organik 20 Tabel 3. Three Pillars of Institution ... 22 Tabel 4. Perubahan Bentuk-Bentuk Kelembagaan Pertanian Padi Sawah

Sebagai Dampak Introduksi Pertanian Modern ... 30 Tabel 5. Teknik Pengumpulan Data... 49 Tabel 6. Distribusi Penduduk Desa Ciburuy Berdasarkan Kelompok Umur ... 57 Tabel 7. Distribusi Penduduk Desa Ciburuy Berdasarkan Mata

Pencaharian ... 58 Tabel 8. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Ciburuy ... 58 Tabel 9. Sebaran Luasan Lahan Garapan Petani di Kampung Ciburuy... 80 Tabel 10. Perubahan Aktivitas Pertanian dan Para Pelaku dalam

Sistem Pertanian Padi Sawah di Kampung Ciburuy ... 88 Tabel 11. Pilar-Pilar Penopang pada Kelembagaan Koperasi Kelompok Tani

Lisung Kiwari di Kampung Ciburuy ... 90 Tabel 12. Pilar-Pilar Penopang pada Kelembagaan Penyedia Pupuk dan

Pestisida di Kampung Ciburuy... 93 Tabel 13. Pilar-Pilar Penopang pada Kelembagaan Penguasaan Lahan

di Kampung Ciburuy ... 96 Tabel 14. Blok Tanam dan Jumlah Anggota Kelompok Tani di

Kampung Ciburuy ... 97 Tabel 15. Pilar-Pilar Penopang pada Kelembagaan Kelompok Tani

di Kampung Ciburuy ... 105 Tabel 16. Sistem Upah pada Pekerjaan Pertanian di Sawah ... 106 Tabel 17. Sistem Upah pada Pekerjaan Pertanian di Luar Sawah ... 107 Tabel 18. Pilar-Pilar Penopang pada Kelembagaan Hubungan Kerja

di Kampung Ciburuy ... 109 Tabel 19. Pilar-Pilar Penopang pada Kelembagaan Panen

di Kampung Ciburuy ... 115 Tabel 20. Pilar-Pilar Penopang pada Kelembagaan Pasca Panen

di Kampung Ciburuy ... 123 Tabel 21. Pilar-Pilar Penopang pada Kelembagaan Distribusi Beras SAE

di Kampung Ciburuy ... 124 Tabel 22. Bentuk Kelembagaan dalam Sistem Pertanian Non-Organik dan

(17)

Tabel 24. Bentuk Kelembagaan dan Teknik Sosial dalam Sistem Pertanian

Padi Sehat di Kampung Ciburuy ... 135

Tabel 25. Faktor Mempengaruhi Keberlanjutan Kelembagaan dalam Sistem Pertanian Padi Sehat di Kampung Ciburuy ... 138

Tabel 26. Bentuk Kelembagaan, Kendala yang Dihadapi, Dimensi Pertanian Berkelanjutan, dan Teknik Sosial untuk Meningkatkan Pencapaian Pertanian Berkelanjutan di Kampung Ciburuy ... 157

DAFTAR GAMBAR

No Halaman Teks Gambar 1. Tahapan Pengembangan Pertanian Organik pada Go Organic 2010 ... …3

Gambar 2. Perubahan Sistem Pertanian dari Non-Organik menuju Sistem Pertanian Organik dalam Konteks Pergeseran Paradigma Pembangunan ... ..36

Gambar 3. Tingkatan Tipe Partisipasi dan Non-Partisipasi Komunitas ... ..37

Gambar 4. Kerangka Pemikiran Kelembagaan dalam Sistem Pertanian Organik Menuju Pertanian Berkelanjutan ... ..41

Gambar 5. Bentuk dan Pilar Kelembagaan dalam Sistem Pertanian Padi Sehat di Kampung Ciburuy, Desa Ciburuy, Desa Kecamatan Bogor, Kabupaten Bogor ... ..84

Gambar 6. Kelembagaan dalam Sistem Distribusi Beras SAE Pada Komunitas Petani Padi Sawah di Kampung Ciburuy, Desa Ciburuy, Kecamatan Bogor, Kabupaten Bogor ... 117

Gambar 7. Kelembagaan dalam Sistem Pertanian Padi Sehat menurut Sektor-Sektor Tingkat Lokalitas di Kampung Ciburuy, Desa Ciburuy, Kecamatan Bogor, Kabupaten Bogor ... 125

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman Teks Lampiran 1. Penerapan Sistem Pertanian Organik pada Konteks Lokal ... 166

Lampiran 2. Lokasi Pengembangan Pertanian Organik di Kabupaten Bogor ... 168

Lampiran 3. Peta Lokasi Penelitian ... 171

Lampiran 4. Hasil Uji Bebas Residu Pestisida ... 172

Lampiran 5. Analisis Usahatani Budidaya Padi Sehat ... 173

Lampiran 6. Prosedur Operasional Standar (SOP) Budidaya Padi Sehat ... 176

Lampiran 7. Profil Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari ... 178

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertanian organik masih terus berkembang dan bertahan hingga saat ini di tengah gempuran modernisasi pertanian melalui revolusi hijau. Merujuk sejarah perkembangannya, pertanian organik ini muncul seiring merebaknya isu pembangunan berkelanjutan yang hingga saat ini pula menjadi perhatian masyarakat di seluruh dunia. Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali muncul tahun 1987 dalam sidang WCED (World Commission on Environment and Development). Pada waktu itu, Mrs. G.H. Bruntland (Perdana Menteri Swedia) menyampaikan laporan dengan judul Our Common Future (Hari Depan Kita Bersama). Dalam laporan inilah disebutkan pentingnya pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yaitu pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa harus mengorbankan kebutuhan dan aspirasi generasi mendatang (Eicher, 1998; Bahar, 2007). Merujuk pada Eicher (1998), istilah keberlanjutan pertama kali berkembang pada tahun 1980 oleh International Union for the Conservation of Nature and National Resources. Pada pertengahan tahun 1980, konsep keberlanjutan telah mendapat perhatian yang lebih besar sebagai kritik atas pendekatan industrial pada proses pembangunan pertanian. Adapun pertanian organik juga muncul sebagai salah satu implementasi dari pembangunan berkelanjutan tersebut (Sutanto, 2002).

(19)

tahun. Kenaikan nilai penjualan produk organik ini dipicu oleh harga premium dan tingkat kesadaran konsumen tentang mutu produk. Di Indonesia, produk pangan organik banyak diminati konsumen. Konsumen produk organik telah mencapai 10 persen dari jumlah penduduk. Pencapaian itu dirasa membanggakan di tengah gempuran produk kimia yang merajai pasaran saat ini.1

Di samping konsumen dan petani, berbagai pihak juga merespon isu pertanian organik ini. Baik pemerintah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat maupun perusahaan-perusahaan turut mengambil peran dalam mengembangkan pertanian organik ini dengan beragam kepentingan yang melatarbelakanginya. Kepentingan pemerintah untuk mendukung sistem pertanian yang ramah lingkungan salah satunya adalah melalui Program Pengelolaan Hama Terpadu (PHT). Program ini dahulu terbukti cukup efektif meredam penggunaan pestisida secara tidak bertanggung jawab, namun saat ini sudah tidak dilaksanakan oleh para petani, karena proyek PHT dianggap sudah selesai. Oleh karena itu, diperlukan gerakan moral sistem pertanian organik yang diprakarsai oleh para aktivis lingkungan dan petani dengan dukungan pemerintah dalam bentuk political will, serta program aksi yang terencana, tertata dan terselenggara secara nyata dalam masyarakat pertanian secara luas. Oleh karena itu, beberapa program pembangunan pertanian selanjutnya tidak hanya diorientasikan pada peningkatan target produksi akan tetapi juga pada aspek keberlanjutan sumber daya pertanian seperti dengan adanya Gerakan Mandiri Padi, Palawija (Gema Palagung), Gerakan Mandiri Protein Ternak dan Ikan (Gema Protekan), dan sebagainya.

Demikian halnya dukungan pemerintah dalam pengembangan pertanian organik. Pada tahun 2001, pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian telah melakukan serangkaian tahapan sosialisasi mengenai pertanian organik kepada masyarakat2. Untuk memajukan pertanian organik, Departemen Pertanian menempatkan perencanaan dan implementasi pertanian organik sebagai salah satu kebijakan pemerintah dalam program pembangunan pertanian di Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut ditujukan untuk menumbuhkan, memfasilitasi,

1 Very Herdiman. Berjuang Memperkenalkan Makanan Organik. Jurnal Nasional, Minggu, 27

April 2008.

2 Dede Sulaeman. Perkembangan Pertanian Organik di Indonesia.

(20)

mengarahkan dan mengatur perkembangan pertanian organik melalui adanya sinergisme aktivitas dan pelaku usaha yang dapat mempercepat pencapaian tujuan dari slogan “Go Organic 2010” yaitu menjadikan “Indonesia sebagai salah satu produsen pangan organik utama dunia”. Pertanian organik dirancang pengembangannya dalam enam tahapan mulai dari tahun 2001 hingga tahun 2010 (Gambar 1).

Gambar 1.

Tahapan Pengembangan Pertanian Organik pada Go Organik 2010

Sumber: Departemen Pertanian, 2005

(21)

Pertanian Organik (Aspernik) yang berupaya menjaga kelestarian alam sebagai aset kehidupan dan agrowisata sepanjang zaman.

Adapun pertanian organik yang dilakukan oleh petani-petani di Indonesia mulai berkembang di tahun 1999 dengan diinisiasi oleh berbagai lembaga swadaya (LSM). Masyarakat petani di beberapa pedesaan di Indonesia khususnya di Jawa sudah merubah sistem pertanian mereka dari sistem pertanian modern menjadi sistem pertanian organik (Wangsit, 2003; Kartini, 2005). Pertanian organik ini pada mulanya berfokus pada perubahan sistem produksi pertanian dari sistem pertanian konvensional (merujuk pada kebijakan revolusi hijau) atau sistem pertanian modern (merujuk pada modernisasi pertanian). Dari sisi kepentingannya, para petani bersama dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat tersebut menerapkan pertanian organik sebagai bentuk perjuangan dalam mewujudkan kesadaran untuk menerapkan sistem produksi yang mendukung kelangsungan ekologi pertanian (Lampiran 1). Di samping itu, juga ditujukan untuk mewujudkan kemandirian petani dengan berupaya mengembalikan pengetahuan dan kearifan lokal dalam bertani (Wangsit, 2003;Prince, 2004).

Seiring perkembangan tersebut, kini tidak hanya pihak pemerintah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan petani saja yang bergerak dalam pertanian organik. Kini berdiri pula lebih dari 117 perusahaan yang menangkap adanya peluang usaha dalam pertanian organik3. Bisnis usaha komoditi organik pun menjadi trend. Hal ini tidak terlepas dengan adanya potensi permintaan produk organik yang sebanding dengan kesadaran konsumen terhadap pangan yang sehat dan alami4. Sehubungan dengan itu, dengan respon yang semakin besar dari para pelaku pertanian maka sistem pertanian organik pun semakin berkembang hingga saat ini baik di tingkat global maupun konteks lokal.

Merujuk pada Rattan dalam Eicher (1998), salah satu permasalahan yang terkait dengan upaya-upaya mewujudkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan adalah pentingnya dukungan kelembagaan yang sesuai diantara rumah tangga para individu, perusahaan swasta dan organisasi publik yang

3Direktori Pertanian Organik. http://agribisnis.deptan.go.id/Pustaka/Bab2-03-

direktori%zotaniorganik.pdf

(22)

mencakup pemerintah daerah juga lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Oleh karena itu, dalam kaitannya sistem pertanian organik sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan, maka dari uraian di atas memunculkan pertanyaan utama bagaimanakah pertanian berkelanjutan dapat diwujudkan melalui keberlanjutan kelembagaan dalam sistem pertanian

organik ?

(23)

Kajian mengenai kelembagaan dari perspektif sosiologis dalam sistem pertanian organik belum banyak dilakukan. Pada beberapa penelitian terdahulu, lebih difokuskan pada tipe-tipe petani yang memilih untuk berubah ke pertanian organik dan tingkat rasionalitas mereka (Darnhofer, 2005), kajian preferensi produk organik (Rusma, 2005), motivasi petani dalam menerapkan usahatani organik (Lauwere, 2005; Rukka, 2003), transformasi struktural dan ideologi dari organisasi-organisasi tingkat nasional (Lockie, 2005), dan berbagai analisis keragaan usahatani berbagai produk organik.

2.2 Perumusan Masalah

Pertanian organik memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan pertanian non-organik atau pertanian modern seperti turut menjamin kelangsungan ekosistem pertanian, biaya produksi lebih hemat dengan harga jual yang lebih tinggi, produknya lebih sehat, menjamin keberlanjutan, turut membangun kemandirian petani, dan berperspektif gender. Jadi, pertanian organik memberi manfaat baik dari aspek ekologi, sosial, budaya, dan ekonomi.

Dengan berkembangnya pertanian organik hingga saat ini, memberi gambaran bahwa manfaat yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat untuk memproduksi, mendistibusikan, dan mengkonsumsi pangan organik. Sebagaimana berkembangnya pertanian modern, berbagai bentuk kelembagaan pertanian modern muncul dan memberikan pengaruh yang sangat besar. Demikian pula halnya dengan pertanian organik yang semakin banyak diterapkan oleh masyarakat selama ini, tentunya memunculkan bentuk-bentuk kelembagaan yang berbeda dengan kelembagaan pada pertanian modern. Ditinjau dari pendekatan kelembagaan, keberlanjutan dalam sistem pertanian organik merupakan keberlanjutan dalam kelembagaan sistem pertanian organik itu sendiri.

(24)

dan proses produksinya saja yang perlu disertifikasi, tetapi juga diperlukan adanya sertifikasi sosial dari penerapan sistem pertanian organik ini. Selain kelembagaan hubungan kerja, adanya kelembagaan sertifikasi produk organik juga menjadi salah satu kebutuhan masyarakat yang dapat memberi jaminan kualitas organik pada produk tersebut. Namun, aktivitas pertanian dan sistem pertanian organik – sebagaimana halnya dalam sistem pertanian modern - tidak hanya meliputi hubungan kerja dan proses sertifikasi. Terdapat banyak aktivitas pertanian dimulai dari hulu hingga hilir, dan aktivitas tersebut melibatkan banyak pihak serta. berbagai bentuk tata aturan didalamnya.

Sehubungan itu, untuk memperoleh gambaran komprehensif mengenai sistem pertanian organik tersebut, maka rumusan permasalahan penelitian yang akan dikaji adalah :

(1) bagaimanakah aktivitas pertanian dalam sistem pertanian organik dan siapa sajakah para aktor yang terlibat dalam aktivitas tersebut ?

(2) bagaimanakah bentuk-bentuk kelembagaan yang terdapat dalam sistem pertanian organik ditinjau dari pilar penopang yang membangun kelembagaan tersebut ?

(3) faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan dalam pertanian organik tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dan menyeluruh mengenai perwujudan keberlanjutan kelembagaan dalam sistem pertanian organik sebagai interpretasi dari tercapainya pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Adapun uraian tujuan spesifik dari penelitian ini yaitu :

(1) menganalisis aktivitas pertanian dalam sistem pertanian organik dan para aktor yang terlibat dalam aktivitas tersebut.

(25)

(3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan dalam pertanian organik.

1.4 Kegunaan Penelitian

Dengan memahami secara mendalam bentuk-bentuk kelembagaan dalam sistem pertanian organik maka akan dapat bermanfaat untuk :

1. memberikan gambaran mengenai para pelaku yang terlibat dalam sistem pertanian organik, peran mereka dalam pengembangan sistem pertanian tersebut, pilar penopang yang membangun kelembagaan sehingga di masa mendatang dapat dipertimbangkan upaya-upaya penguatan pilar penopang yang mampu mendukung keberlanjutan kelembagaan-kelembagaan yang terbentuk di masyarakat.

(26)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Perkembangan Sistem Pertanian Padi Sawah di Pedesaan Jawa Sebelum tahun 1960an, para petani di pedesaan Jawa menerapkan sistem pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh Suhirmanto (2003) yakni (1) usahatani tidak menggunakan fasilitas modal dari luar keluarga, (2) pekerjaan di sektor pertanian menjadi satu-satunya mata pencaharian, (3) cara produksi tradisional dengan digunakannya input yang berasal dari lokal (lingkungan sekitar), dan (4) penggunaan tenaga kerja tradisi dan menggunakan tenaga kerja keluarga, dan sebagainya.

Sejak tahun 1960an, para petani di pedesaan Jawa menerapkan sistem pertanian modern sebagai implementasi dari kebijakan revolusi hijau. Salah satunya mengenai kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan utama yang telah mengantarkan teknologi di daerah pedesaan, paket BIMAS, INMAS, INSUS, SupraINSUS dan sebagainya. Sampai tahun 1987 sudah jelas bahwa kebijakan tersebut dapat meningkatkan produksi padi, bahkan mencapai swasembada beras setelah tahun 1984.

Namun, dari tulisan-tulisan dalam Bechtold (1988) menjadi representasi bahwa modernisasi dan mekanisasi pertanian di Indonesia nyata-nyata telah menyebabkan ketergantungan desa-desa pertanian pada pemerintah pusat. Sistem ekonomi kapitalis yang diusung melalui program-program BIMAS/INMAS telah merombak seluruh sendi perekonomian mulai dari struktur kelembagaan ekonomi, sosial, budaya bahkan politik desa setempat.

(27)

teknologi unggul yang bias pada pemilik tanah dan penggarap; (3) terjadinya perluasan kepemilikan tanah yang memperkecil peluang tenaga kerja; (4) terjadinya peningkatan penyerapan tenaga kerja; (5) terjadinya perkembangan teknologi mekanisasi di Jawa yakni pemakaian bibit unggul (padi) dan pupuk pabrik yang mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja di desa; (6) adanya penyerapan tenaga kerja luar pertanian di desa (7) berkembangnya kelembagaan perkreditan pertanian di desa, akan tetapi porsi nilai kredit pertanian menurun oleh karena beralih ke bidang-bidang dagang, industri, dan jasa; (8) adanya perubahan gaya hidup rumah tangga desa yang lebih konsumtif sehingga merubah pola pengeluaran rumah tangga desa dan pemilikan modal bukan-tanah, dan (9) meningkatnya sumber pendapatan dari usaha luar pertanian khususnya untuk golongan miskin dan tidak memiliki tanah.

Pembangunan pertanian yang didasarkan pada kebijakan revolusi hijau cenderung tidak menunjukkan adanya suatu keberlanjutan baik secara sosial, ekonomi, maupun ekologi. Sehubungan dengan itu, pada pertengahan tahun 1980, konsep keberlanjutan telah mendapat perhatian yang lebih besar sebagai kritik atas pendekatan industrial pada proses pembangunan pertanian. Dalam perkembangnya, sistem pertanian organik juga muncul sebagai salah satu istilah dari pembangunan berkelanjutan tersebut (Salikin, 2003). Sistem pertanian organik muncul sebagai kritik atas sistem pertanian modern atau revolusi hijau. Menilik sisi historis pertanian di seluruh pelosok dunia, sebelum sistem pertanian modern tersebut berkembang, banyak sistem pertanian tradisional yang berlangsung dan bertahan selama berabad-abad dalam hal kemampuannya untuk mempertahankan tingkat produksi yang stabil dan berterus-terus. Namun demikian, sistem tersebut terpaksa mengalami perubahan yang begitu cepat dengan berkembangnya berbagai mekanisme penerapan kebijakan revolusi hijau.

(28)

berfokus pada perubahan sistem produksi pertanian dari sistem pertanian konvensional (merujuk pada kebijakan revolusi hijau) atau sistem pertanian modern (merujuk pada modernisasi pertanian). Pada tahun 2001, pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian juga telah melakukan serangkaian tahapan sosialisasi mengenai pertanian organik kepada masyarakat1. Untuk memajukan pertanian organik, Departemen Pertanian menempatkan perencanaan dan implementasi pertanian organik sebagai salah satu kebijakan pemerintah dalam program pembangunan pertanian di Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut ditujukan untuk menumbuhkan, memfasilitasi, mengarahkan dan mengatur perkembangan pertanian organik melalui adanya sinergi aktivitas dan pelaku usaha yang dapat mempercepat pencapaian tujuan dari slogan “Go Organic 2010” yaitu menjadikan “Indonesia sebagai salah satu produsen pangan organik utama dunia”. Pertanian organik dirancang pengembangannya dalam enam tahapan mulai dari tahun 2001 hingga tahun 2010

Di tingkat kabupaten, sebagai contoh program pengembangan pertanian organik di Kabupaten Bogor merupakan bagian dari program Ketahanan Pangan yang dirumuskan dalam rencana strategis Dinas Pertanian Kabupaten Bogor tahun 2004-2005. Program pengembangan pertanian organik yang diimplementasikan di Kabupaten Bogor ditujukan pada kelompok tani di desa-desa yang menjadi sentra agribisnis (Lampiran 2). Program pengembangan pertanian organik ini dimulai pada tahun 2006, meskipun secara umum pertanian organik di Kabupaten Bogor sudah berkembang sekitar tahun 2000. Sehubungan dengan itu, program ini belum secara spesifik diuraikan dalam rencana strategis Dinas Pertanian Kabupaten Bogor sebagai bagian dari rumusan program ketahanan pangan.

2.1.2 Sistem Pertanian Organik

Salikin (2003) mengemukakan bahwa sistem pertanian organik merupakan salah satu model dari sistem pertanian berkelanjutan. Sistem pertanian organik pun paling tidak memiliki tujuh keunggulan dan keutamaan sebagai berikut :

1. Orisinal. Sistem pertanian organik lebih mengandalkan keaslian atau orisinalitas sistem budi daya tanaman ataupun hewan dengan menghindari

1 Dede Sulaeman. Perkembangan Pertanian Organik di Indonesia.

(29)

rekayasa genetika maupun introduksi teknologi yang tidak selaras dengan alam. Intervensi manusia terhadap tanaman atau hewan tetap mengikuti kaidah-kaidah alamiah yang selaras, serasi dan seimbang. Namun demikian, pertanian organik tidak berarti anti teknologi baru, sejauh hal itu memenuhi azas selaras, serasi, dan seimbang dengan alam.

2. Rasional. Sistem pertanian organik berbasis pada rasionalitas bahwa hukum keseimbangan lamiah adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Manusia sebagai bagian dari sistem jagad raya bukan ditakdirkan menjadi penguasa alam raya, tetapi bertanggung jawab untuk menjaga dan melestarikannya.

3. Global. Saat ini, sistem pertanian organik menjadi isu global dan mendapat respon serius di kalangan masyarakat pertanian, terutama di negara-negara maju di mana masyarakat sudah sangat sadar bahwa pertanian ramah lingkungan menjadi faktor penentu kesehatan manusia dan kesinambungan lingkungan.

4. Aman. Sistem pertanian organik menempatkan keamanan produk pertanian, baik bagi kesehatan manusia ataupun bagi lingkungan, sebagai pertimbangan utama. Pertimbangan berikutnya adalah kuantitas dan kualitas komoditas pertanian, termasuk kecukupan kadar gizi dan volume yang mampu memenuhi kebutuhan hidup manusia.

5. Netral. Sistem pertanian organik tidak menciptakan ketergantungan atau bersifat netral sehingga tidak memihak pada salah satu bagian ataupun pelaku dalam sistem agroekosistem. Hubungan saling ketergantungan atau simbiosis yang terbina antarpelaku sistem lebih bersifat mutualisme atau saling menguntungkan.

6. Internal. Sistem pertanian orgnik selalu berupaya mendayagunakan potensi sumber daya alam internal secara intensif. Artinya, introduksi input-input pertanian dari luar ekosistem (external inputs) pertanian sedapat mungkin dihindari untuk mengurangi terjadinya disharmoni siklus agroekosistem yang sudah berlangsung lama dan terkendali oleh kaidah hukum alam. 7. Kontinuitas. Sistem pertanian organik tidak berorientasi jangka pendek,

(30)

keberlanjutan kehidupan, baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.

Sistem pertanian organik sebenarnya warisan para leluhur yang sebagian besar adalah petani, namun banyak petani sekarang justru berpaling pada pertanian yang rakus akan bahan-bahan kimia. Senada dengan Rienjtes (1992) yang mengemukakan bahwa sistem pertanian organik adalah meliputi cara produksi, aturan dan nilai yang melandasi, hubungan-hubungan sosial yang terbentuk dengan diterapkannya sistem pertanian organik ini sebagai upaya pengelolaan sumber daya lahan pertanian yang menjamin keberlanjutan lingkungan. Adapun menurut IFOAM (2008) pertanian organik memiliki prinsip-prinsip yang merupakan akar perkembangannya. Prinsip-prinsip-prinsip tersebut menyajikan kontribusi pertanian organik pada dunia dan visi untuk perbaikan pertanian dalam konteks global. Pertanian merupakan aktivitas dasar bagi manusia karena manusia memerlukan pangan untuk bertahan hidup dan menjaga kesehatan setiap hari. Sejarah, budaya dan nilai-nilai komunitas seluruhnya melekat dalam pertanian. Prinsip-prinsip yang diterapkan pada pertanian mencakup secara luas termasuk cara-cara manusia mengolah tanah, air, tanaman, dan hewan untuk diproduksi, disajikan dan didistribusikan sebagai bahan makanan dan lainnya. Prinsip-prinsip ini juga memberi perhatian pada cara-cara manusia berinteraksi dengan lingkungan hidup sekitar, hubungan antar manusia dan membentuk generasi berikutnya. Pertanian organik didasarkan pada : (1) The principle of health, (2) The principle of ecology, (3) The principle of fairness, dan (4) The principle of care. Prinsip-prinsip ini diterapkan secara keseluruhan, sebagai komposisi yang menjadi etika prinsip untuk menginspirasi aksi.

The principle of health

(31)

hidup. Sehubungan dengan itu, maka perlu dihindari penggunaan pupuk, pestisida, obat-obatan dan zat-zat berbahaya yang berdampak pada kesehatan.

The principle of ecology

Pertanian organik didasarkan pada sistem dan siklus ekologi, bekerja sama dengan kondisi tersebut, dan membantu kondisi tersebut agar berkelanjutan. Budidaya organik, peternakan, dan sistem panen harus merujuk pada suatu sistem dan siklus ekologi yang bersifat alami. Pengelolaan pertanian organik harus diadaptasikan pada kondisi lokal, ekologi, budaya, dan skala. Input sebaiknya dikurangi dengan daur ulang, dan pengelolaan material dan energi yang efisien yang ditujukan untuk memperbaik kapasitas lingkungan dan melestarikan sumber daya. Mereka yang memproduksi, memproses, memperdagangkan, atau mengkonsumsi produk organik harus menjaga keamanan dan manfaat lingkungan bersama termasuk lingkungan hidup, iklim, habitat, keanekaragaman, udara, dan air.

The principles of fairness

(32)

The principles of care

Prinsip ini menekankan bahwa pencegahan dan tanggung jawab adalah kunci perhatian dalam pengelolaan, pengembangan dan pilihan teknologi dalam pertanian organik. Ilmu sangat penting untuk memastikan bahwa pertanian organic benar-benar menyehatkan, aman, dan menjamin kelangsungan ekologi. Meskipun demikian, pengetahuan ilmiah sendiri tidak cukup. Pengalaman praktik, akumulasi kebijakan, tradisional dan pengetahuan lokal menyajikan solusi yang utama yang teruji dari waktu ke waktu. Pertanian organik harus dapat mencegah resiko yang signifikan dengan mengadopsi teknologi yang tepat dan menolak hal-hal tidak terprediksi, seperi rekayasa genetik. Pengambilan keputusan harus merefleksikan nilai dan kebutuhan semua pihak yang terkena dampak, melalui proses yang transparan dan partisipatif.

Pertanian organik, jika dibanding dengan pertanian modern yang bertumpu pada pupuk, benih unggul, teknologi dan pestisida, memiliki beberapa manfaat berikut2. Pertama, manfaat ekologis. Pertanian organik menjamin kegemburan dan kesuburan tanah dan terhindarnya polusi. Jadi, pertanian organik ramah dan bersahabat dengan alam sehingga menjamin keseimbangan ekosistem.

Kedua, manfaat ekonomis. Pertanian organik tidak memerlukan pupuk, pestisida, benih unggul dan teknologi mahal. Petani tidak perlu membelanjakan semua input tersebut. Sementara hasil produksinya, meski awalnya kurang memuaskan, dalam jangka panjang lebih menguntungkan. Pertanian organik juga menjamin keberlanjutan, karena petani bisa membuat benih sendiri.

Ketiga, manfaat sosial budaya. Pertanian organik menjadi faktor pengintegrasi dan pusat kreasi petani. Jika revolusi hijau memisahkan mereka, pertanian organik justru menyatukan. Petani bisa berkumpul untuk belajar, tukar pengalaman dan melakukan uji coba secara bersama-sama. Di sini juga tumbuh kembali rasa saling untuk percaya dan membutuhkan. Mereka sadar, bahwa permasalahan petani itu berat, tidak mungkin diselesaikan seorang diri, melainkan dalam kebersamaan.

Keempat, manfaat politis. Pertanian organik dikembangkan atas inisiatif dan kreativitas rakyat, bukan karena program atau komando pihak lain. Dengan

2 Roman N. Landong. 2004. Pertanian Organis, Inovasi untuk Kemandirian Petani. Wacana

(33)

demikian daulat petani dapat dioptimalkan. Mereka tidak lagi bergantung pada perusahaan atau tengkulak. Kondisi itu tentu bisa memperkuat daya tawar politik mereka sehingga tidak lagi menjadi obyek eksploitasi pihak lain, baik pemerintah, partai politik atau pun perusahaan. Dengan kata lain, pertanian organik membuat rakyat mandiri, otonom, dan maju.

Kelima, berperspektif gender. Pertanian organik mengembangkan peran perempuan sebagai pembuat benih utama. Perempuan menemukan ruang bagi artikulasi kepentingan dan kemampuan dirinya sebagai kekuatan produktif serta menghidupkan. Keterampilan perempuan dalam membuat benih, merawat tanaman dan menyimpan hasil bisa dipulihkan.

Dari uraian yang dikemukakan seputar sistem pertanian organik, maka dapat diidentifikasi berbagai perbedaan antara sistem pertanian non-organik dengan sistem pertanian organik sebagaimana disajikan dalam Tabel 1.

2.1.4 Aktivitas dalam Sistem Pertanian Padi Sawah

Uphoff (1986) menguraikan bahwa pembangunan pada dasarnya meibatkan perbaikan-perbaikan atau peningkatan pada 3 kategori yaitu teknologi, sumberdaya, dan kelembagaan. Pembangunan kelembagaan tampaknya sulit dalam program pembangunan pertanian, padahal sangat penting khususnya terkait dengan teknologi dan sumber daya alam. Pembangunan kelembagaan dalam pertanian pada hakekatnya ditujukan untuk penguatan kelembagaan nasional.

Pembahasan dititikberatkan pada pembangunan kapasitas kelembagaan untuk mendukung pembangunan pertanian di tingkat lokal. Proses tersebut dapat disimpulkan secara analisis sebagai berikut :

1. Pertanian perlu merubah sumber daya alam, termasuk tanaman dan hewan menjadi produk yang bermanfaat melalui pemanfaatan sumber daya manusia sehingga menjadi lebih produktif dengan adanya penggunaan modal berupa sarana infrastruktur, peralatan, kredit dan sebagainya. 2. Pembangunan kelembagaan lokal untuk bidang pertanian lebih kompleks

(34)

terdapat dua hal berbeda yang harus terlibat yaitu adanya kelembagaan pendukung, dan unit-unit produksi.

Tabel 1. Perbedaan Sistem Pertanian Non-Organik dengan Organik

Faktor Pembeda Sistem Pertanian Non-Organik Sistem Pertanian Organik Harga Standar harga pasar Harga premium

Biaya produksi Biaya produksi lebih rendah Biaya produksi lebih tinggi Kemudahan dilakukan Lebih sederhana Lebih membutuhkan ekstra

perhatian Tingkat resiko Resiko rendah karena sudah

terbiasa

Resiko kegagalan tinggi (pada tahap awal)

Pendapatan di tingkat petani

Harga di tingkat petani sangat rendah

Pendapatan di tingkat petani lebih tinggi karena dihargai lebih mahal

Prospek jangka panjang Dalam jangka panjang

menyebabkan ketidakberlanjutan secara ekologi dan ekonomi

Lebih prospektif secara ekonomi dan ekologi untuk jangka panjang

Nilai-nilai sosial Degradasi nilai-nilai sosial Memperkuat nilai-nilai sosial Pengetahuan lokal Menghilangkan pengetahuan

lokal

Mengembangkan kembali praktek dan pengetahuan lokal Aspek sosial Monopoli kapitalis Meningkatkan kedaulatan

petani/kemandirian/

Sikap terhadap alam Merusak keseimbangan ekosistem Melestarikan alam Ketergantungan Ketergantungan terhadap input

Sumber input Input luar Lokalism

Dampak terhadap tanah Merusak tanah Perbaikan tanah Dampak lingkungan Menyebabkan polusi Meredam polusi Kualitas produk Produk mengandung bahan

karsinogenik

Kualitas produk

Penggunaan energi Eksploitasi energi Pemanfaatan energi Dampak terhadap tenaga

kerja

Marginalisasi tenaga kerja Kesempatan kerja

Penggunaan input Input luar Orisinil

Dasar pemikiran Irasional Rasional – seimbang Cakupan Global dan dimonopoli oleh

TNCs

Global – direspon seluruh dunia

Keamanan Tidak aman bagi manusia dan lingkungan

Aman – sehat bagi manusia dan lingkungan

Penggunaan sumber daya Eksternal Internal – sumberdaya potensi lokal

(35)

3. Aktivitas-aktivitas pertanian menjadi 3 set yaitu (1) perolehan atau penyediaan input, (2) merubah input menjadi produk melalui penggunaan tenaga kerja dan pengelolaan dari para ahli, dan (3) menempatkan output pada pencapaian keuntungan terbaik.

4. Dalam aktivitas-aktivitas tersebut, dibutuhkan dukungan untuk bidang pertanian dalam bentuk kebijakan-kebijakan dan investasi-investasi yang menunjang dari lembaga-lembaga di tingkat nasional dan tingkat regional, seperti lembaga penelitian, lembaga penyuluhan, dan sarana infrastuktur. 5. Kompleksitas dari pertanian muncul dari adanya keberagaman unit-unit

dan kelembagaan-kelembagaan yang terlibat dan dari kesulitan-kesulitan dalam meraih keragaan terbaik dalam bentukan kelembagaan tersebut. Lembaga-lembaga pendukung sebagaimana diuraikan berikut merepresentasikan jejaring yang krusial dalam mencapai efektivitas dan perluasan pembangunan pertanian. Aktivitas-aktivitas difokuskan pada berbagai tingkatan mulai dari level individu sampai pada arena internasional. Adapun tabel analisis aktivitas-aktivitas pertanian mengidentifikasikan secara spesifik input, produksi, dan aktivitas output. Analisis aktivitas pertanian menurut Uphoff (1986) adalah mencakup sebagai berikut :

I. Aktivitas input (secara umum dimediasi oleh kelembagaan-kelembagaan lokal). A. Input material, meliputi : benih dan pembenihan (pemilihan, pertukaran, penyajian), nutrisi (pupuk kimia biasanya disalurkan melalui kelembagaan lokal, termasuk sumber daya lain dari berbagai nutrisi), bahan-bahan kimia, pembajakan, peralatan, pakan, dan obat-obatan penumbuh.

B. Input modal, meliputi : kredit jangka pendek (produksi untuk tanaman musim), kredit jangka menengah (untuk perlengkapan atau pilihan lain), Kredit jangka panjang (lebih sering untuk pemilihan lahan).

(36)

dari komunikasi atau pendidikan), dan kebijakan (hubungan harga, subsidi-subsidi, dan lainnya).

D. Input tidak langsung meliputi : pengelolaan sumber daya alam (proteksi dan persediaan dari tanah, air, hutan, dan sumber daya alam lainnya), infrastruktur pedesaan (jalan, persediaan air, perumahan, dan lainnya), dan pembangunan sumber daya manusia (pendidikan, melek aksara, kesehatan, lainnya).

II. Aktivitas produksi (biasanya dilakukan oleh individu atau kelompok perusahaan; dengan melibatkan pertukaran dari tenaga kerja atau input seperti kekuatan traktor tapi kadang-kadang benar-benar menjadi wadah bagi sumber daya dengan produser-produser yang mau mengambil resiko)

A. Tenaga Kerja (aktivitas kerja), meliputi : (1) untuk tanaman tahunan (persiapan lahan, penanaman, termasuk perawatan yang memungkinkan), (2) untuk tanaman musiman, kecuali : berkurangnya frekuensi persiapan lahan dan penanaman, benih yang memungkinkan dan atau pemotongan cabang, penipisan dan perkawinan, pemupukan, proteksi tanaman, pengendalian hama dan penyakit, manajemen air (yang memungkinkan untuk irigasi), pemanenan, pemilihan benih, (3) untuk ternak yaitu pakan, termasuk rumput yang berkualitas seperti jerami, kandang, pengendalian penyakit, pemberian susu, pemotongan hewan, pembiakan, perbanyakan. B. Manajemen (aktivitas pengambilan keputusan), meliputi : dapat

memahami dan menentukan input, memobilisasi, koordinasi, supervisi, input tenaga kerja, menentukan macam-macam dan durasi dari produksi, meyakinkan keseimbangan antara input dan output.

III. Aktivitas output, meliputi : penyimpanan (setelah panen dan atau setelah prosesing atau pengolahan), pengolahan (secara manual dan atau memakai mesin), transportasi (untuk prosesing, penyimpanan dan penjualan), pemasaran (seluruhnya dijual dan atau eceran).

(37)

komunitas, beranjak ke tingkat lokalitas dan seringkali juga berada di tingkat regional.

Aktivitas pertanian sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Uphoff (1986) secara garis besar merupakan aktivitas pada sistem pertanian non-organik maupun sistem pertanian organik. Hanya terdapat beberapa perbedaan dalam implementasinya sebagaimana tabel berikut :

Tabel 2. Aktivitas Pertanian pada Sistem Pertanian Non-Organik dan Organik

Aktivitas Pertanian Sistem Pertanian Non Organik Sistem Pertanian Organik

Prinsip

A. Input Material Input dari Luar Komunitas Lokal B. Input Modal Lembaga permodalan (penyedia

kredit)

Tengkulak/Pengijon

Milik sendiri dan atau milik komunitas

C. Input Secara Umum

1. Akses tanah Lahan bukan milik sendiri Lahan milik sendiri 2. Informasi Kebijakan pemerintah Pengetahuan lokal 3. Kebijakan Harga ditentukan oleh pasar Harga ditentukan dengan

mekanisme fair trade

A. Tenaga Kerja Petani penggarap dan tenaga kerja upahan

Lebih intensif oleh petani penggarap

B. Manajemen Penyuluh dan opinion leader Petani penggarap

A. Penyimpanan Lembaga pemerintah seperti Bulog Lumbung milik komunitas

B. Pengolahan Mesin Manual

C. Transportasi Transportasi modern yang disediakan oleh petani pemodal besar

Menggunakan sarana transportasi modern D. Pemasaran Dijual seluruhnya dan eceran ke

pasar

Dijual seluruhnya dan eceran

Sumber : Disarikan dari berbagai sumber

2.1.5 Kelembagaan Pertanian Padi Sawah Definisi Kelembagaan

(38)

partisipatori (participatory sector), dan sektor swasta (private sector). Kelembagaan sektor publik di tingkat lokal mencakup administrasi dan pemerintah lokal dengan birokrasi dan organisasi politik sebagai bentuk organisasi yang mutakhir. Kelembagaan sektor partisipatori tumbuh dan dibangkitkan oleh masyarakat secara sukarela. Sementara itu, kelembagaan sektor swasta, berorientasi pada upaya mencari keuntungan, yakni dalam bidang jasa, perdagangan, dan industri.

Koentjaraningrat dalam Soekanto (1982) menggunakan istilah pranata sosial untuk menyatakan kelembagaan sebagai rules of the games. Pranata merupakan suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Adapun Schmid dalam Tonny (2004) mengemukakan bahwa kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam tertentu.

Norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia oleh Soekanto (1982) lebih diistilahkan sebagai lembaga kemasyarakatan (social institution). Suatu lembaga kemasyarakatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok dari manusia, pada dasarnya mempunyai beberapa fungsi, yaitu antara lain :

1. Memberikan pedoman pada anggota-anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat yang terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhan yang bersangkutan.

2. Menjaga keutuhan dari masyarakat yang bersangkutan.

(39)

Scott (2008) menguraikan bahwa kelembagaan adalah gabungan dari elemen regulatif, normatif, dan pengetahuan budaya bersamaan dengan gabungan aktivitas dan sumber daya, menyajikan stabilitas dan makna untuk kehidupan sosial. Adanya sistem regulatif, normatif, dan pengetahuan budaya merupakan bahan dasar utama dalam suatu kelembagaan. Ketiga elemen membentuk suatu kontinum yang bergerak dari kebingungan menuju ketidakbingungan, dari tekanan legal menuju penerimaan apa adanya.

Sebagai suatu konsepsi yang terintegrasi, merujuk D’Andrade dalam Scott (2008) lebih lanjut mengemukakan bahwa perwujudan kelembagaan adalah untuk menjadi suatu sistem yang lebih menentukan (overdetermined systems). Overdetermined yang dimaksud adalah merujuk pada sanksi sosial ditambah dengan tekanan untuk menciptakan konformitas, ditambah dengan adanya penghargaan langsung secara intrinsik, ditambah dengan nilai, dimana keseluruhannya beraksi atau bergerak bersama untuk memberikan sistem makna sehingga menjadi kekuatan yang mengarahkan. Tabel 3. menguraikan tiga elemen (tiga pilar) yang teridentifikasi sebagai penunjang kelembagaan.

Tabel 3. Three Pillars of Institution

Regulative Normative Cultural-Cognitif

Basis of compliance

Expedience Social obligation Taken for-grantness Shared understanding

Basis of order Regulative rules Binding expectations

Constitutive schema

Mechanism Coersive Normative Mimetic

Logic Instrumentality Appropriateness Orthodoxy

Indicators Rules

Affect Fear Guilt/Innocence Shame/Honor Certainty/Confusion

Basis of legitimacy

Legally sanctioned Morally governed Comprehensible Recognizable Culturally supported Sumber : Scott, 2008

(40)

(rule-setting), pemantauan (monitoring), dan aktivitas pemberian sanksi (sanctioning activities). Baik individu maupun organisasi-organisasi mengkonstruksi sistem peraturan atau menyesuaikan diri terhadap peraturan tersebut untuk memenuhi kepentingan mereka seperti melakukan hal-hal yang bersifat instrumental dan menunjukkan kepatuhan. Adanya paksaan menjadi mekanisme kontrol yang tampak dalam proses tersebut.

Pemaksaan, sanksi, dan kepatuhan adalah pusat bahan dasar dari pilar regulatif ini, namun ketiganya seringkali muncul dengan adanya peraturan-peraturan, baik dalam bentuk tata kelakuan informal maupun dalam bentuk hukum dan peraturan formal. Terkait dengan keterlibatan kepemimpinan dalam penerapan regulasi ini, bila kekuatan untuk memaksa dilegitimasi atau diperkuat dengan pemberian kewenangan secara normatif maka akan mendukung dan semakin memaksakan penggunaan kekuasaan yang dimiliki. Oleh karena itu, pilar regulatif dan normatif dapat saling menguatkan. Kelembagaan-kelembagaan yang didukung oleh satu pilar, seiring berjalannya waktu dan perubahan lingkungan, dapat bertahan dengan adanya pilar-pilar yang lain. Sistem yang stabil dari suatu peraturan, baik informal maupun formal, dilatarbelakangi oleh adanya pengawasan dan kekuatan untuk memberikan sanksi yang diiringi dengan rasa bersalah atau tidak bersalah. Pilar ini pun menuntut adanya bentuk pengawasan yang relevan dengan kesepakatan, baik secara eksplisit dan implisit serta adanya rancangan insentif atau tunjangan yang tepat.

(41)

terkait dengan peranan yang dimiliki aktor tersebut dimana peran dapat didefinisikan sebagai konsepsi dari tujuan dan aktivitas yang tepat dan sebagai individu atau posisi sosial yang spesifik. Keyakinan ini merupakan harapan normatif yakni bagaimana aktor yang spesifik tersebut harus berperilaku, baik dalam konstruksi formal maupun informal. Sebagaimana halnya dalam perilaku berorganisasi yang dispesifikasi dengan adanya standard operating procedures sebagai literatur yang bersifat birokratis dan organisasional.

Meskipun pengertian peraturan sudah meluas, tetapi juga termasuk pengetahuan budaya sebagai elemen normatif seperti kebiasaan, prosedur, konvensi, peran, keyakinan, paradigma, kode-kode, budaya-budaya, dan pengetahuan-pengetahuan, semuanya berfokus pada kewajiban sosial. Norma dapat membangkitkan kekuatan perasaan, namun berbeda dengan yang menyertai pelanggaran peraturan dan regulasi. Penyesuaian diri lebih pada evaluasi dan penghargaan dari diri sendiri. Menurut Parsons, keberadaan nilai dan norma menjadi dasar utama untuk membentuk pengaturan sosial yang stabil.

Kelembagaan juga dapat didasarkan pada pilar cultural-cognitif atau pengetahuan budaya yang menitikberatkan untuk berbagi konsepsi yang mengkonstitusi keaslian dari realitas sosial dan kerangkanya, melalui pembentukan makna. Dalam paradigma kognitif, apa yang tercipta adalah juga untuk tercipta dalam representasi internal individu terhadap lingkungannya. Simbol-simbol, kata-kata, tanda-tanda, dan gerakan-gerakan tubuh membentuk makna-makan yng diatributkan untuk berbagai objek dan aktivitas.

(42)

yang terlokalisasi sebagai pola yang berulang. Selain itu, peningkatan dari sistem keyakinan dan kerangka budaya yang semakin meluas diadopsi oleh para aktor baik secara individu maupun organisasi-organisasi. Adapun dimensi afektif dari pilar cultural-cognitif ini mengekspresikan perasaan dari perasaan yang positif untuk merasa yakin dan percaya di satu sisi, sementara merasa tidak yakin dan disorientasi pada sisi yang lain. Konsepsi cultural-cognitif dalam kelembagaan ini menekankan adanya peranan sentral yang dimainkan oleh konstruksi mediasi sosial dan kerangka pemaknaan bersama.

Soekanto (1982) lebih lanjut menguraikan bahwa lembaga kemasyarakatan merupakan himpunan daripada norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Agar hubungan antar manusia di dalam sesuatu masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan, maka dirumuskanlah norma-norma di masyarakat. Untuk membedakan kekuatan mengikat daripada norma-norma tersebut, maka secara sosiologis terdapat empat pengertian, yaitu :

a. cara (usage), menunjuk pada suatu bentuk perbuatan. Norma ini mempunyai kekuatan yang sangat lemah bila dibandingkan dengan kebiasaan (folkways); cara (usage) lebih menonjol di dalam hubungan antar individu dalam masyarakat. Suatu penyimpangan terhadap norma tersebut, tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat, akan tetapi hanya sekedar celaan dari individu dihubunginya.

b. kebiasaan (folkways), mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar daripada cara. Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, merupakan perikelakuan yang diakui dan diterima oleh masyarakat. Apabila seseorang tidak melakukan perbuatan tersebut, maka dianggap sebagai suatu penyimpangan.

(43)

supaya anggota-anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan tata-kelakuan tersebut.

d. adat-istiadat (custom), merupakan tata-kelakuan yang kuat integrasinya dengan pola-pola perikelakuan masyarakat dan memiliki kekuatan mengikat yang semakin kuat. Anggota-anggota masyarakat yang melanggar adat-isitiadat, akan mendapat sanksi yng keras dan kadang-kadang secara tidak langsung diperlakukan.

Norma-norma tersebut di atas, setelah mengalami suatu proses, pada akhirnya menjadi bagian tertentu dari lembaga kemasyarakatan. Proses tersebut dinamakan prosess pelembagaan (institutionalization), yaitu suatu proses yang dilewati oleh suatu norma kemasyarakatan yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan dimana norma kemasyarakatan tersebut dikenal, diakui, dihargai, dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Scott (2008), terdapat tiga alternatif mekanisme yang menggarisbawahi proses dari pelembagaan sistem sosial yakni pelembagaan berbasis pada pengembalian yang semakin meningkat (institutionalization based on increasing return), pelembagaan berbasis pada peningkatan komitmen (institutionalization based on increasing commitments), dan pelembagaan berbasis pada peningkatan objektifikasi ((institutionalization based on increasingobjectification).

Gambar

Gambar 1.   Tahapan Pengembangan Pertanian Organik pada
Gambar 1.
Tabel 1. Perbedaan Sistem Pertanian Non-Organik dengan Organik
Tabel 2. Aktivitas Pertanian pada Sistem Pertanian Non-Organik dan Organik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Strategi yang harus dilaksanakan, agar skenario dapat mencapai sasaran adalah (a) peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum melalui perluasan areal panen

Strategi yang harus dilaksanakan, agar skenario dapat mencapai sasaran adalah (a) peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum melalui perluasan areal panen

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan petani padi sawah terhadap pertanian organik di Desa Manunggal Jaya Kecamatan Tenggarong Seberang termasuk

Menurut Anisah ketua Bidang Pangan Dinas Pertanian (2017) mengungkapkan bahwa sosialisasi yang dilakukan secara langsung berupa forum belum menggunakan media cetak

Berdasarkan 11 indikator kesejahteraan menurut SUSENAS (2016), menyatakan bahwa rumah tangga petani padi sawah di Kelurahan Kersanagara, Kecamatan Cibeureum, Kota

Berdasarkan hasil analisis, variabel luas lahan berpengaruh nyata dan memiliki nilai elastisitas yang paling tinggi terhadap produksi padi, sehingga lahan yang

Menurut Anisah ketua Bidang Pangan Dinas Pertanian (2017) mengungkapkan bahwa sosialisasi yang dilakukan secara langsung berupa forum belum menggunakan media cetak

Berdasarkan hasil penelitian, faktor sosial ekonomi petani yang paling dominan terhadap pengetahuan budidaya pertanian organik padi sawah di Kelurahan Makroman Kecamatan Sambutan