• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kadar Tepung Bungkil Kelapa Sawit dalam Pakan Ikan Lele (Clarias sp)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Kadar Tepung Bungkil Kelapa Sawit dalam Pakan Ikan Lele (Clarias sp)"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

ZAENAL ABIDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ZAENAL ABIDIN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

NIM : C 151 040 141

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ing Mokoginta, M.Si. Ketua

Dr. M. Agus Suprayudi, M.Si. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perairan

Prof. Dr. Enang Harris, M.Si.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pengaruh Kadar Tepung Bungkil Kelapa Sawit dalam Pakan Ikan Lele (Clarias sp) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan ma upun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, 2 Oktober 2006

(5)

Pakan Ikan Lele (Clarias sp). Dibimbing oleh ING MOKOGINTA DAN MUHAMMAD AGUS SUPRAYUDI.

(6)

© Hak cipta milik Zaenal Abidin, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

(7)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya atas rahmat dan karunia serta ridho-Nyalah tesis yang berjudul “Pengaruh Kadar Tepung Bungkil Kelapa Sawit dalam Pakan Ikan Lele (Clarias sp)”dapat terselesaikan.

Pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kas ih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Ing Mokoginta, M.Si. dan Bapak Dr. M. Agus Suprayudi, M.Si. selaku komisi pembimbing atas pengarahan dan bimbingan yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan tesis ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik.

2. Ketua Program Studi Ilmu Perairan, Ketua dan Staf Laboratorium Nutrisi Ikan, Laboratorium Kesehatan Ikan Departemen Budidaya Perairan Institut Pertanian Bogor yang telah membantu dalam penyediaan fasilitas hingga terlaksananya penelitian ini.

3. Ayahanda Syamsuddin Arief dan Ibunda Sitti Amirah Amin yang telah memberikan dukungan, pengorbanan dan doa tiada henti selama penulis menjalani pendidikan.

4. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Perairan atas persahabatan dan kerjasamanya selama ini.

Akhirnya semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Amin..

Bogor, 1 Oktober 2006

(8)

Syamsuddin Arief dan Sitti Amirah Amin. Penulis merupakan anak ke tiga dari lima bersaudara.

(9)

i

DAFTAR TABEL………. iii

DAFTAR GAMBAR ………. iv

DAFTAR LAMPIRAN ………. v

PENDAHULUAN Latar Belakang ..………..……… 1

Perumusan Masalah ………..……… 2

Perumusan Hipotesis ….…..……….. 4

Tujuan dan Manfaat ………..……… 4

TINJAUAN PUSTAKA Kebutuhan Nutrien Ikan lele ……….. 5

Bahan Pakan Sumber Nutrien/Protein ……… 7

Tepung Bungkil Kedelai (Soybean Meal/SBM) …………..…. 7

Tepung Bungkil Sawit (Palm Kernel Meal/PKM) ………..….. 9

Tepung Tulang dan Daging (Meat and Bone Meal/MBM) ……. 11

BAHAN DAN METODE Pakan Uji ………. 14

Pemeliharaan Ikan dan Pengumpulan Data ……… 15

Analisis Kimia ……….….. 16

Histolo gi Hati ………..….. 16

Uji Kecernaan Pakan ……….….. 17

Pengukuran Eskresi Total Amonia Nitrogen (TAN) ……… 17

Analisis Data ………..………. 17

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ……….………. 20

Pembahasan ………. 26

KESIMPULAN Kesimpulan ……… 31

(10)
(11)

iii

1. Komposisi proksimat SBM ……….……… 7

2. Komposisi asam amino esensial SBM (% protein) ………. 7

3. Komposisi proksimat PKM ……….……… 9

4. Komposisi asam amino esensial PKM (% protein) ………. 9

5. Komposisi proksimat MBM ………..……….. 11

6. Komposisi asam amino esensial MBM (% protein) ………. 11

7. Komposisi pakan uji (g/100 g pakan) ………. 14

8. Komposisi proksimat pakan (% bobot kering) ……… 15

9. Rata-rata Konsumsi Pakan (KP), Laju Pertumbuhan Harian (LPH), Efisiensi Pakan (EF), Retensi Protein (RP) dan Retensi Lemak (RL) ……… 21

10. Komposisi proksimat tubuh (% bobot kering) dan hati (% bobot basah) ikan lele (Clarias sp) ……..……… 22

11. Kecernaan Pakan (KP), Kecernaan Protein Pakan (KPP) dan eskresi Total Amonia Nitrogen (TAN) ……….. 22

(12)

iv 1. Bobot rata-rata ikan lele (Clarias sp) pada awal dan akhir

penelitian ……….. 20

2. Histologi hati ikan lele (Clarias sp ) yang diberi perlakuan

A(0) (pembesaran 1000x) ………..……….. 23

3. Histologi hati ikan lele (Clarias sp ) yang diberi perlakuan

B(8) (pembesaran 1000x) ………..……….. 24

4. Histologi hati ikan lele (Clarias sp ) yang diberi perlakuan

C(12) (pembesaran 1000x) ……….……….. 24

5. Histologi hati ikan lele (Clarias sp ) yang diberi perlakuan

D(16) (pembesaran 1000x) ……….……….. 25

6. Histologi hati ikan lele (Clarias sp ) yang diberi perlakuan

E(18) (pembesaran 1000x) ……….……….. 25

7. Perbandingan (%) asam amino esensial pakan

(13)

v

1. Prosedur analisa proksimat ……… 38

2. Proses pembuatan preparat histologi ……….. 41

3. Perhitungan rata-rata laju pertumbuhan harian dan efisiensi pakan .. 43

4. Perhitungan retensi protein ………. 44

5. Perhitungan retensi lemak ……… 45

6. Komposisi proksimat tubuh dan hati ikan lele (Clarias sp) ………. 46

7. Kecernaan protein dan kecernaan pakan ………. 47

8. Eskresi Total Amonia Nitrogen (TAN) ……….. 48

9. Analisa statistik konsumsi pakan ……….. 49

10. Analisa statistik laju pertumbuhan harian ……… 49

11. Analisa statistik efisiensi pakan ……….. 49

12. Analisa statistik retensi protein ……… 50

13. Analisa statistik retensi lemak ………. 50

14. Analisa statistik kandungan protein tubuh (bobot basah) ……… 50

15. Analisa statistik kandungan lemak tubuh (bobot basah) ………. 50

16. Analisa statistik kandungan abu tubuh (bobot basah) ……….. 51

17. Analisa statistik kandungan air tubuh ……… 51

18. Analisa statistik kandungan protein hati (bobot basah) ……… 52

19. Analisa statistik kandungan lemak hati (bobot basah) ………. 52

20. Analisa statistik kandungan air hati ……….. 52

21. Analisa statistik kecernaan pakan ……….. 53

22. Analisa statistik kecernaan protein pakan ……… 53

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan lele (Clarias sp) adalah ikan yang hidup di perairan umum dan

merupakan ikan yang bernilai ekonomis serta disukai oleh masyarakat. Budidaya

ikan ini banyak dilakukan dengan sistem tradisional maupun dengan sistem

intensif. Semakin meningkatnya kegiatan budidaya ikan pada umumnya dan ikan

lele pada khususnya telah meningkatkan permintaan akan penyediaan pakan

buatan.

Pakan buatan umumnya menggunakan tepung ikan (fish meal/FM) sebagai

sumber protein dalam pakan yang berkisar 30 sampai 80% dari total bahan

(Utomo et al. 1999). Penggantian tepung ikan dengan bahan lain sebagai sumber

protein sudah berhasil dilakukan dengan menggunakan tepung bungkil kedelai

(SBM/soybean meal) (Suprayudi et al. 1999; Pebriyadi 2004; Elangovan dan

Shim 2000; Cheng et al. 2003; Catacutan dan Pagador 2004).

Walaupun SBM mampu mengganti sebagian tepung ikan, namun

ketersediaan SBM masih bergantung dari impor. Tingginya komponen impor

yakni tepung ikan dan SBM dalam pakan akan berdampak terhadap harga pakan.

Indonesia harus mengimpor SBM lebih dari 1 juta ton per tahun sejak tahun 2000

(Siagian dan Danang 2003; Suara Pembaharuan 2004; Ritonga 2002) dan pada

tahun 2005 sudah mencapai 1,8 juta ton (Riady 2006), sedangkan volume impor

tepung ikan rata-rata 32.000 ton perbulan dan 40% diantaranya diolah menjadi

pakan ikan (Kompas 2005). Produksi tepung ikan yang dipergunakan sebagai

bahan pakan ikan meningkat sekitar 35% pada tahun 2000 dan diperkirakan akan

mencapai 44% pada tahun 2010 (Baruah et al. 2004). Semakin tingginya

permintaan akan tepung ikan dan SBM menyebabkan semakin tingginya harga

pakan ikan.

Salah satu upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku

impor dalam hal ini SBM, dapat dilakukan dengan penggunaan bahan baku

alternatif lokal yang harganya murah serta dapat disediakan dalam jumlah yang

(15)

Sumber protein nabati selain tepung bungkil kedelai yang dapat digunakan

dalam pakan ikan adalah tepung bungkil sawit (palm kernel meal/PKM) yang

merupakan produk sampingan dari pembuatan minyak kelapa sawit. Ketersediaan

PKM dalam negeri sangat melimpah bahkan 94% PKM yang diproduksi di

ekspor. Indonesia adalah negara penghasil PKM nomor dua setelah Malaysia

(Gelder et al. 2005). Penggunaan PKM dalam pakan ikan diharapkan dapat

mengurangi penggunaan bahan baku impor sehingga dapat menurunkan harga

pakan.

Penggunaan PKM dalam pakan dibatasi oleh tiga faktor yaitu: (1)

Rendahnya kandungan protein (4 sampai 18%), (2) kekurangan asam amino

esensial khususnya asam amino sulphur dan kemungkinan juga lisin, (3) adanya

antinutrien (Ng 2003). PKM mengandung 74,3 % non-starch polysaccharides

(NSP) yang sulit dicerna (Choct 2001). Walaupun demikian, penggunaan PKM

dalam pakan ikan sudah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian yang

dilakukan oleh Ng et al. (2002) menunjukkan bahwa penggunaan PKM 20% pada

pakan ikan tilapia (Oreochromis sp) dapat memberikan pertumbuhan dan efisiensi

pakan yang tidak berbeda nyata dengan pakan yang menggunakan FM 21% dan

SBM 23,83%. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa penggunaan PKM yang

optimal dalam pakan ikan nila tilapia (Oreochromis mosambicus) dapat mencapai

30% (Lim et al. 2001), juvenile Labeo senegalensis 10% (Omoregie 2000) dan

pada juvenil patin jambal (Pangasius djambal) dapat mencapai 27% (Afifah,

2006). Hertrampf dan Felicitas (2000) merekomendasikan penggunaan PKM

dalam pakan sebesar 3 sampai 8% untuk ikan karnivora sedangkan untuk ikan

herbivora 5 sampai 10%. Penggunaan PKM dengan komposisi yang tepat dalam

pakan diharapkan dapat memberikan pakan yang harganya relatif lebih murah

namun tetap menghasilkan efisiensi pakan dan pertumbuhan yang tinggi bagi ikan

lele (Clarias sp).

Perumusan Masalah

Penggunaan bahan baku alternatif (selain tepung ikan) dalam pakan sering

menyebabkan terjadinya pertumbuhan yang rendah. Pertumbuhan sangat

(16)

dapat dimanfaatkan oleh ikan untuk pertumbuhan dan pemeliharaan. Pemanfaatan

protein ini sangat dipengaruhi oleh kualitas protein. Suatu protein dikatakan

berkualitas apabila mengandung asam amino esensial yang komposisinya serta

jumlahnya sesuai dengan kebutuhan tubuh, serta asam amino tersebut dapat

digunakan oleh tubuh (tersedia bagi tubuh). Dengan demikian, kualitas suatu

protein ditentukan juga oleh daya cerna atau nilai cernanya yang pada akhirnya

menentukan ketersediaan asam aminonya secara biologis. Keseimbangan jumlah

asam amino esensial dalam pakan akan mempengaruhi tingkat sintesis protein

yang akan diretens i.

Selain dari protein itu sendiri, jumlah energi total yang terkandung dalam

pakan juga akan mempengaruhi tingkat retensi protein. Keseimbangan antara

energi total pakan yang dapat dicerna dan kadar protein pakan sangat penting

untuk pertumbuhan ikan, karena apabila energi kurang, maka protein akan

dipecah dan digunakan sebagai sumber energi. Pemakaian sebagian protein

sebagai sumber energi ini akan menyebabkan pertumbuhan ikan terhambat,

karena protein sangat berperan dalam pembentukan sel baru. Ketersediaan energi

non protein harus didukung oleh kecernaan total pakan yang tinggi.

Kualitas protein pakan yang meliputi keseimbangan komposisi asam

amino esensial serta kecernaannya sangat dipengaruhi oleh bahan baku

penyumbang protein dalam pakan. Bahan baku pakan yang terbaik saat ini adalah

tepung ikan karena memiliki komposisi dan jumlah asam amino yang seimbang,

namun hal ini tidak berarti bahwa semua sumber protein selain tepung ikan tidak

dapat dipergunakan sebagai bahan baku pakan, paling tidak dapat menggantikan

sebagian dari tepung ikan.

Penggunaan PKM sebagai bahan baku alternatif harus menjamin bahwa

pakan yang dibentuk mempunyai kecernaan total dan kecernaan protein yang

yang tinggi dan mempunyai komposisi asam amino yang seimbang agar dapat

dimanfaatkan dalam proses metabolisme. Jumlah PKM yang tepat dalam pakan

diharapkan dapat membentuk pakan yang dapat dimanfaatkan secara optimal

(17)

Perumusan Hipotesis

Jumlah PKM yang tepat dalam pakan dapat menghasilkan pakan yang

memberikan tingkat pertumbuhan dan efisiensi pakan yang tinggi pada ikan lele

(Clarias sp.).

Tujuan dan Manfaat

Percobaan ini bertujuan untuk menentukan jumlah PKM yang dapat

memberikan pertumbuhan serta efisiensi pakan yang optimal pada ikan lele

(Clarias sp).

Manfaat penelitian adalah untuk memberikan informasi tentang

penggunaan PKM sebagai bahan baku alternatif dalam pakan ikan lele

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Kebutuhan Nutrien Ikan Lele

Protein adalah merupakan komponen utama jaringan dan organ dari tubuh

hewan dan juga senyawa nitrogen lainnya seperti asam nukleat, enzim, hormon

dan vitamin, sehingga keberadaannya harus secara terus menerus disuplai dari

makanan untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh (Furuichi 1988).

Jumlah protein yang diperlukan dalam pakan secara langsung dipengaruhi oleh

komposisi asam amino pakan. Ikan membutuhkan 10 jenis asam amino esensial

untuk menghasilkan pertumbuhan yang maksimal yaitu arginin, histidin,

metionin, lisin, fenilalanin, isoleusin, treonin, triptofan dan valin. Asam amino

esensial adalah asam amino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga harus

tersedia dalam pakan (NRC 1983).

Kualitas suatu protein sangat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas dari

asam amino khususnya bioavailabilitas dari asam amino tersebut. Asam amino

yang terserap dalam usus akan digunakan untuk: 1) Mengganti dan memelihara

jaringan protein dan senyawa nitrogen; 2) pertumbuhan (peningkatan protein

tubuh); dan 3) sebagai sumber energi. Peranan paling penting adalah untuk

memelihara jaringan tubuh dan untuk pertumbuhan sedangkan sebagai sumber

energi dapat diganti oleh karbohidrat dan lemak (Furuichi 1988).

Jumlah asam amino yang digunakan untuk pertumbuhan akan semakin

menurun seiring dengan penurunan tingkat pertumbuhan. Jumlah asam amino

yang dapat digunakan untuk pertumbuhan dan maintenance sangat tergantung dari

kualitas protein, tingkat asupan protein dan kandungan energi yang dapat dicerna

dari pakan serta keadaan fisiologi ikan itu sendiri. Asam amino yang digunakan

sebagai sumber energi akan dideaminasi dan dilepaskan sebagai amonia yang

akan dikeluarkan melalui insang. Pakan yang mempunyai kualitas protein yang

baik akan menghasilkan eskresi nitrogen yang lebih sedikit dari pada pakan yang

mempunyai kualitas protein yang buruk (Furuichi 1988).

Protein atau asam amino dibutuhkan secara terus menerus oleh ikan untuk

membentuk jaringan baru (pertumbuhan dan reproduksi) atau untuk mengganti

(19)

menurunkan pertumbuhan atau hilangnya bobot badan karena diambilnya protein

dari jaringan yang kurang penting untuk memelihara jaringan yang lebih penting.

Disisi lain jika protein terlalu banyak disuplai dari makanan, maka hanya sebagian

kecil yang akan digunakan untuk membuat protein baru dan sisanya akan

dikonversi menjadi energi (Halver dan Hardy 2002). Hal ini berarti bahwa

pemanfaatan protein untuk pertumbuhan menjadi tidak efisien.

Respon biologi yang penting dari organisme akuatik yang diberi pakan

yang mengandung bahan pengganti tepung ikan antara lain adalah feed intake,

perolehan bobot tubuh, rasio konversi pakan, komposisi tubuh, karakteristik

sensory, tingkat kelulusan hidup dan respon imun (Yu 2005).

Ikan, seperti juga dengan hewan lainnya, tidak mempunyai kebutuhan

protein yang pasti, tapi membutuhkan komposisi asam amino esensial dan non

esensial yang seimbang. Tingkat protein yang optimal dalam pakan untuk ikan

dipengaruhi oleh keseimbangan protein dengan energi total pakan, komposisi

asam amino dan kecernaan protein. Kebutuhan akan protein dipengaruhi oleh

spesies, ukuran dan umur serta suhu air. Kebutuhan akan protein akan menurun

seiring dengan peningkatan ukuran dan pertambahan umur dan meningkat seiring

dengan peningkatan suhu (Halver dan Hardy 2002).

Kebutuhan protein ikan salah satunya dipengaruhi oleh ukuran dan umur

ikan. Kebutuhan protein kasar Clarias batrachus adalah 30% sedangkan untuk

Clarias gariepinus adalah 40%, dengan energi total 18,6 kJ/g dan rasio energi

protein 21,5 (mg/Kj) (Hasan 2000). Nursyam (1991) yang melakukan penelitian

dengan menggunakan Clarias batrachus yang berukuran 1 g mengatakan bahwa

bahwa secara umum kadar protein yang paling baik untuk Clarias batrachus

adalah 40% dengan menggunakan kasein dan gelatin sebagai sumber protein

dengan kandungan energi pakan adalah 3000 kkal/kg pakan. Penelitian yang

dilakukan oleh Suhenda (1988) mendapatkan bahwa pakan dengan kadar protein

40% dan energi 3000 kkal/kg dapat digunakan untuk budidaya Clarias batrachus

dengan bobot 1,5 g.

Kebutuhan asam amino esensial ikan dapat diperkirakan berdasarkan

komposisi asam amino otot ikan (Cho 1983). Pada beberapa penelitian diperoleh

bahwa komposisi asam amino ikan tidak jauh berbeda dengan ik an lainnya,

(20)

flounder) (Kim dan Santosh 2000). Lemak berfungsi sebagai sumber energi dan

sumber asam lemak esensial yang diperlukan untuk pertumbuhan. Lemak juga

dapat membantu penyerapan vitamin yang larut dalam lemak. Ikan lele (Clarias

batrachus Linn) memerlukan asam linoleat dan asam linolenat sebesar 1,53 – 1,56

% dan 0,60 – 0,73 % dalam pakannya (bobot kering) (Mokoginta 1986).

Bahan Pakan Sumber Nutrien/Protein

Tepung Bungkil Kedelai (Soybean Meal/SBM)

Komposisi proksimat SBM dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi proksimat SBM

Komposisi proksimat Kandungan (%) Air

SBM mempunyai profil asam amino yang terbaik dibanding semua

sumber protein nabati. Asam amino pembatas pada SBM adalah metionin dan

lisin sedangkan arginin dan phenilalanin mempunyai jumlah yang cukup

(Tabel 2). SBM memiliki makromineral dan mikromineral yang rendah termasuk

fosfor jika dibandingkan dengan tepung ikan (NRC 1983). SBM adalah

merupakan sumber vitamin B (Hertrampf dan Felicitas 2000; Bureau 2005: Cheng

et al. 2003).

Tabel 2. Komposisi asam amino esensial SBM (% protein)

(21)

Selain itu SBM memiliki kandungan anti nutrien yaitu protease inhibitors,

lektin, phytic acid, saponin, phytoestrogen, antivitamin dan allergens. Anti nutrien

ini dapat mempengaruhi penggunaan dan pencernaan protein, penggunaan

mineral, antivitamin dan bersifat racun (Francis 2001).

Tingkat kecernaan energi SBM oleh ikan pada umumnya berkisar antara

2,572 sampai 3,340 kkal/kg (10,8 sampai 14,0 MJ/kg). Pada ikan channel catfish

tingkat kecernaan protein kasar SBM adalah sebesar 81,8%, dan tingkat kecernaan

energinya adalah 51,4%. Namun demikian kecernaan protein tidak selalu

menunjukkan kecernaan asam amino esensial. Berdasarkan data yang tersedia,

kecernaan asam amino dari SBM oleh ikan channel catfish lebih baik dari pada

kecernaan proteinnya (Hertrampf dan Felicitas 2000). Tingkat kecernaan nutrien

SBM pada ikan- ikan salmon air tawar lebih tinggi dibandingkan ikan salmon yang

ada di air laut (Usher et al. 1990).

Penggantian tepung ikan sebanyak 50% dengan menggunakan SBM pada

pakan rainbow trout menghasilkan pertumbuhan yang tidak berbeda nya ta dengan

pakan kontrol (fish meal/FM 32,8%). Penggantian tepung ikan sampai 75% akan

menghambat pertumbuhan namun tingkat FCR tidak berbeda secara signifikan

dengan pakan yang mengandung FM 32,8%. Penggantian total FM akan

menurunkan pertumbuhan dan mempertinggi nilai FCR sedangkan penambahan

asam amino metionin hidroxy analog pada pakan ikan rainbow trout yang

menggunakan SBM sebagai pengganti FM tidak mempengaruhi pertumbuhan dan

FCR (Cheng et al. 2003). Pada ikan red snapper (Lutjanus argentimaculatus)

penggunaan SBM untuk mengganti FM juga dapat mencapai 50% (Catacutan dan

Pagador 2004). Suprayudi et al. (1999) menyatakan bahwa penggantian tepung

ikan dengan defatted soybean meal pada ikan gurami (Osphronemus gouramy)

sebesar 50% memberikan palatabilitas yang baik. Peningkatan SBM sebesar

(22)

Tepung Bungkil Sawit (Palm Kernel Meal/PKM)

Tepung bungkil sawit adalah merupakan produk sampingan dari minyak

sawit. PKM lebih tepat disebut sebagai sumber karbohidrat dibanding sebagai

sumber protein karena kandungan proteinnya yang rendah sedangkan kandungan

karbohidratnya tinggi.

Komposisi proksimat PKM dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi proksimat PKM

Komposisi proksimat Kandungan (%) Air

PKM mempunyai kandungan protein yang berkisar antara 15 sampai 18%

dan mengalami kekurangan lisine dan metionin (Tabel 4). Kandungan serat kasar

dari PKM sangat tinggi dan rasio Ca:P adalah 1:2,4. PKM merupakan sumber

mangan yang baik (Hertrampf dan Felicitas 2000).

Tabel 4. Komposisi asam amino esensial PKM (% protein)

Asam Amino Esensial PKM

Sumber : PKM (Hertrampf dan Felicitas 2000).

PKM mengandung sedikitnya 60% NSP (non-starch polysaccharides)

yang merupakan faktor pembatas utama dalam penggunaannya pada pakan hewan

monogastric karena tidak dapat dicerna (Choct 2001; Choi et al. 2004 ). Pada

juvenil turbot (Psetta maxima) keberadaan NSP dan faktor anti nutrien lainnya

dalam pakan yang menggunakan tepung Lubinus albus sebagai pengganti tepung

(23)

tingkat pengambilan pakan (Fournier 2004). NSP dapat mengganggu

pertumbuhan karena NSP akan terikat dalam air dan membentuk semacam gum di

dalam intestine, meningkatkan viskositas baha n-bahan yang ada dalam usus dan

menghalangi aktifitas enzim pencernaan sehingga berpotensi menjadi antinutrisi

jika berada dalam pakan ikan (Francis et al. 2001)

Penggunaan PKM 20% (bobot kering) dalam pakan ikan nila tilapia

(Oreocromis sp) tidak menunj ukkan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan

efisiensi pakan bila dibandingkan dengan pakan kontrol yang menggunakan FM

21,19 dan SBM 30,73% sebagai sumber protein, namun jika PKM diberi

perlakuan dengan menggunakan enzim maka penggunaan PKM 40 % akan

memberikan pertumbuhan yang lebih baik dari penggunaan PKM tanpa ada

perlakuan. Semakin tinggi penggunaan PKM dalam pakan ikan nila tilapia

(Oreochromis sp) akan semakin menurunkan tingkat kecernaan protein, lemak

dan energi (Ng 2002).

Penelitian yang dilakukan oleh Lim (2001) pada ikan tilapia (Oreocromis

mossambicus) menunjukkan bahwa penggunaan PKM 30% dalam pakan

memberikan pertumbuhan yang tidak berbeda nyata dengan ikan yang diberi

pakan kontrol yang menggunakan tepung ikan 43% dan SBM 20,75% sebagai

sumber protein walaupun tingkat kecernaan proteinnya lebih rendah dari pakan

kontrol. Semakin tinggi penggunaan PKM dalam pakan akan menurunkan

kecernaan bahan kering pakan dan kecernaan proteinnya.

Pada juvenil Labeo senegalensis pemberian pakan yang menga ndung

PKM 10% dalam pakan menunjukkan pertumbuhan dan tingkat konversi pakan

yang sama dengan pakan kontrol yang hanya menggunakan tepung ikan sebagai

sumber protein meskipun tingkat kecernaan pakannya lebih rendah. Penggunaan

PKM lebih dari 10% akan menekan pertumbuhan juvenil Labeo senegalensis

(Omoregie 2001). Juvenil patin jambal siam (Pangasius djambal) dapat

menggunakan PKM sebanyak 27% dalam pakan dengan sumbangan protein dari

PKM dapat mencapai 11% (Afifah 2006).

Hertrampf dan Felicitas (2000) menyarankan penggunaan PKM dalam

pakan sebanyak 5 sampai 10 % untuk ikan herbivora dan 3 sampai 8 % untuk ikan

(24)

Tepung Tulang dan Daging (Meat and Bone Meal/MBM)

MBM adalah merupakan suatu sumber protein hewani yang mempunyai

komposisi kimia yang sangat bervariasi yang bergantung pada kualitas dari bahan

bakunya. Tingginya bagian tulang dan/atau lemak dalam bahan dasar MBM akan

menyebabkan tingginya kadar abu dan/atau kandungan lemak yang dapat

mereduksi kandungan protein yang dihasilkan (Hertrampf dan Felicitas 2000).

Komposisi proksimat MBM dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi proksimat MBM

Komposisi Proksimat Kandungan (%) Air

Kisaran komposisi nutrien MBM sangat tinggi, sehingga dalam

penggunaannya sebaiknya MBM terlebih dahulu dianalisa pada setiap kali akan

menggunakan tepung tersebut. Hal ini disebabkan karena terjadinya perbedaan

bahan baku (daging) dan pengolahan yang dilakukan terhadap bahan baku

(Hertrampf dan Felicitas 2000; Yu 2005).

Pakan dengan sumber protein hewani yang berasal dari produk sampingan

hewan seperti, tepung darah, tepung bulu, dan MBM kemungkinan kekurangan

beberapa asam amino karena bahan-bahan ini cenderung mempunyai profile asam

amino (Tabel 6) yang tidak sempurna dan pola kecernaan asam amino yang

bervariasi (Bureau 2005).

Tabel 6. Komposisi asam amino esensial MBM (% protein)

Asam Amino Esensial MBM

(25)

Isoleusin dan metionin+sistein adalah merupakan asam amino pembatas

jika dibandingkan dengan komposisi asam amino pada protein telur. Semakin

tinggi kandungan abu maka kandungan makromineral juga akan meningkat

sedangkan kandungan mikromineral (trace) lebih sedikit karena umumnya

mikromineral disimpan dalam daging. Kandungan vitamin MBM sangat rendah

(Hertrampf dan Felicitas 2000).

Tingkat kecernaan energi MBM secara umum pada ikan lebih rendah 8

sampai 10% dari pada tepung ikan sedangkan kecernaan fosfornya adalah 63

sampai 70%. Kecernaan semu protein MBM pada ikan trout, salmon, Japanese

seabass dan striped bass adalah sebesar 83% sedangkan kecernaan energinya

sebesar 73% (Yu 2005). Pada ikan silver perch (Bidyanus bidyanus) tingkat

kecernaan semu proteinnya adalah 71,5%, energi 75,2% dan bahan kering 50,1%

(Allan et al. 2000). Kecernaan protein MBM pada berbagai pene litian relatif

tinggi namun demikian kecernaan bahan kering MBM relatif rendah (40 sampai

50%) yang disebabkan karena tingginya kadar abu (25 sampai 30% dan fosfor 4

sampai 5 %) (Bureau 2005).

Pada pakan benih ikan nila (Oreochromis niloticus), MBM dapat

menggantikan 25% tepung ikan tanpa menimbulkan efek negatif terhadap

pertumbuhannya (Tacon et al. 1984). Pada benih tilapia (Oreochromis

mossambicus) penggantian sebagian tepung ikan dengan menggunakan MBM

memperlihatkan pertumbuhan yang sama dengan ikan yang diberi pakan dengan

menggunakan 100% tepung ikan, akan tetapi apabila dilakukan penggantian total

tepung ikan dengan menggunakan MBM akan memberikan pertumbuhan yang

buruk. Pertumbuhan yang tidak baik akan ditunjukkan oleh juvenil ikan common

carp jika dalam pakannya digunakan MBM dengan tingkat substitusi FM lebih

dari 70% (Hertrampf dan Felicitas 2000). Tepung ikan pada pakan catfish dapat

diganti dengan MBM sebanyak 80%, tilapia 70%, eel 30%, juvenil common carp

20%; dan yearling common carp 70% (Yu 2005).

Beberapa literatur menunjukkan bahwa penggunanan MBM dibawah 50%

sebagai substitusi protein FM tidak memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap konsumsi pakan, survival rate, komposisi tubuh dan sensor ikan namun

(26)

kemungkinan disebabkan oleh menurunnya kecernaan pakan, profile asam amino,

kandungan energi dan kandungan lemak (Yu 2005).

Kandungan asam amino ensensial pada MBM lebih rendah daripada FM,

namun demikian perbedaan kandungan tersebut dapat diperbaiki dengan

penggunaan asam amino kristallin atau dengan mencampurnya dengan bahan

protein lainnya. MBM tidak mengandung faktor anti nutrien, phytate fosforus,

karbohidrat kompleks, non-palatabel dan tidak berbahaya (Yu 2005).

Penggunaan MBM di dalam pakan dibatasi oleh kandungan abunya yang

tinggi. Jumlah MBM yang direkomendasikan untuk digunakan dalam pakan

(27)

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Basah Nutrisi Ikan Departemen

Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian

Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juli 2006.

Pakan Uji

Pakan uji berbentuk pelet dan terdiri dari lima jenis pakan dengan

komposisi jumlah bahan baku yang berbeda. Kandungan protein pakan berkisar

30% dengan CP ratio yang berkisar 14,28 kkal GE/g protein. Semua pakan

menggunakan 20% tepung ikan dalam pakan. Pakan A sebagai kontrol

menggunakan 31% SBM dalam pakan tanpa menggunakan PKM. Pakan B, C, D

dan E menggunakan PKM sebagai berikut :

Perlakuan A : 0% PKM

Perlakuan B : 8 % PKM

Perlakuan C : 12% PKM

Perlakuan D : 16% PKM

Perlakuan E : 18% PKM

Minyak ikan dan minyak kedelai digunakan sebagai sumber lemak dengan

perbandingan 0,8:1,4. Komposisi pakan uji dan hasil analisa proksimat pakan uji

disajikan pada Tabel 7 dan 8.

Tabel 7. Komposisi pakan uji (g/100 g pakan)

Perlakuan (% PKM) Bahan Penyusun

(28)

Tabel 8. Komposisi proksimat pakan (% bobot kering)

Total energi tercerna (GE/Gross Energy) dihitung berdasarkan nilai ekuivalen untuk protein 5,6 kkal g-1, lemak 9,4 kkal g-1, dan BETN 4,1 kkal g-1.

Pemeliharaan Ikan dan Pengumpulan Data

Ikan uji yang digunakan adalah ikan lele (Clarias sp) dengan bobot

18,4+0,3 g dengan kepadatan 10 ekor per akuarium. Wadah pemeliharaan

menggunakan 15 akuarium yang berukuran 50×40×35 cm dengan volume 60 liter

yang dilengkapi dengan sistem aerasi dan sirkulasi air. Ikan yang akan dijadikan

sampel diadaptasikan selama 20 hari sebelum diberi pakan uji.

Air yang digunakan untuk pemeliharaan terlebih dahulu diendapkan dan

diaerasi minimal selama 24 jam dalam bak penampungan. Pengukuran kualitas air

dilakukan tiga kali yaitu pada awal, pertengahan dan akhir penelitian. Hasil

pengukuran kualitas air : Suhu 30 sampai 32oC, pH 6,15 sampai 7,2, amonia 0,5

sampai 1,05 mg/l. Kisaran hasil pengukuran kualitas air yang diperoleh masih

dalam batas toleransi yang dapat mendukung pertumbuhan ikan lele (Clarias sp).

Pemeliharaan ikan dilakukan selama 60 hari. Selama masa pemeliharaan

ikan diberi pakan sesuai perlakuan sampai kenyang (at satiation) sebanyak tiga

kali sehari yaitu pada jam 06.00, 12.00 dan 18.00 WIB.

Pengukuran bobot dilakukan pada awal dan akhir penelitian. Bobot yang

diukur adalah bobot biomassa yang kemudian dirata-ratakan untuk setiap ekor

ikan. Pada saat penimbangan, ikan terlebih dahulu dibius dengan menggunakan

2-phenoxy ethanol 0,5 mg/liter untuk mengurangi stress pada ikan. Sebelum

(29)

Pengukuran bobot dilakukan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan. Jumlah

pakan yang diberikan selama penelitian dihitung untuk mengetahui tingkat

konsumsi pakan dan perhitungan efisiensi pakan.

Analisis Kimia

Analisis kimia dilakukan untuk mengetahui komposisi proksimat bahan

baku pakan, pakan, tubuh ikan, hati dan feses. Bahan baku pakan diproksimat

sebagai dasar penyusunan pakan sedangkan pakan yang telah dibentuk juga

diproksimat untuk mengecek komposisi proksimatnya. Analisa proksimat tubuh

dan hati dilakukan pada awal dan akhir penelitian yang bertujuan untuk

menghitung tingkat retensi protein dan retensi lemak tubuh sedangkan proksimat

hati dilakukan untuk mengetahui terjadinya penumpukan lemak pada hati. Analisa

proksimat feses dilakukan untuk menghitung kecernaan total pakan dan kecernaan

protein pakan. Analisa proksimat yang dilakukan terdiri atas : protein, lemak,

sarat kasar, abu, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) dan kadar air. Khusus

untuk hati, analisa proksimatnya hanya menghitung kandungan lemak, protein dan

air sedangkan analisa proksimat feses hanya mengukur kandungan protein.

Analisa proksimat untuk protein kasar dilakukan dengan metode Kjeldhal

lemak dengan metode ekstraksi menggunakan alat Soxhlet; abu dengan

menggunakan pemanasan dalam tanur pada suhu 400 sampai 600 oC, serat kasar

menggunakan metode pelarutan sampel dengan asam dan basa kuat serta

pemanasan, dan; kadar air dengan menggunakan metode pemanasan dalam oven

pada suhu 105 sampai 110oC. Lemak hati diproksimat dengan menggunakan

metode Folch et al. (Takeuchi 1988). Prosedur analisa dapat dilihat pada

Lampiran 1.

Histologi Hati

Histologi hati dilakukan untuk melihat terjadinya penumpukan lemak dan

perbedaan keadaan hepatosit pada setiap perlakuan. Pengambilan sampel hati

dilakukan pada akhir penelitian. Hati langsung diambil sesaat setelah ikan mati

(30)

dilakukan dengan metode pewarnaan hematoksilin-eosin. Prosedur histologis hati

dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil histologi selanjutnya diamati dengan

mikroskop pada pembesaran 1000x.

Uji Kecernaan Pakan

Uji kecernaan pakan dilakukan setelah masa perlakuan untuk respon

pertumbuhan selesai (setelah 60 hari). Pakan yang diberikan adalah pakan

perlakuan yang telah diberi Cr2O3 0,7%. Sebelum pengambilan feses, ikan

diadaptasikan selama 10 hari dengan pakan uji. Pemberian pakan uji dilakukan

sampai kenyang dan pengambilan feses dilakukan 2 jam setelah pemberian pakan.

Pengambilan feses dilakukan dengan metode penyiponan. Pengumpulan feses

dilakukan selama 10 hari.

Pengukuran Eskresi Total Amonia Nitrogen (TAN)

Pengukuran total amonia nitrogen (TAN) dilakukan untuk mengetahui

besarnya total amonia nitrogen (NH3-N) yang dieskresikan oleh ikan. Pengukuran

TAN dalam air menggunakan metode Phenate. Ikan uji ditimbang kemudian

dipuasakan selama 24 jam. Koreksi konsentrasi amonia di air selama pengukuran

TAN dilakukan dengan menyediakan akuarium yang diisi air tanpa ikan sebagai

kontrol. Pengambilan sampel air dilakukan setelah ikan diberi pakan sampai

kenyang (jam ke 0). Pengukuran TAN berikutnya dilakukan setiap jam sampai

jam kelima. Selama pengukuran berlangsung, aerasi dan sistem sirkulasi

dihentikan. Untuk menghindari terjadinya pengaruh dari luar (difusi oksigen atau

lepasnya amonia) maka akuarium ditutup dengan stirofoam.

Analisis Data

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap yang terdiri atas 5

perlakuan dan 3 ulangan dengan jumlah satuan percobaan 15 yang berupa

akuarium. Uji kecernaan dan total eskresi amonia hanya menggunakan 2 ulangan.

Parameter yang akan diuji secara statistik adalah tingkat konsumsi pakan, retensi

protein, retensi lemak, laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan, tingkat kecernaan

(31)

terhadap setiap peubah yang diukur digunakan analisis ragam (uji F). Jika terdapat

perbedaan antara perlakuan dilanjutkan dengan uji BNT (Duncan test). Histologi

hati dianalisa secara deskriptif.

Variabel yang diuji secara statistik adalah sebagai berikut :

1. Retensi protein dan lemak (Takeuchi 1988)

RP = bobot protein tubuh akhir (g) – bobot protein tubuh awal (g) x 100 %

2. Laju pertumbuhan (Huisman 1976)

Wt = Wo (1 + 0,01 a )t

Keterangan :

a = Laju pertumbuhan harian

Wo = Bobot rata-rata ikan pada awal percobaan (g)

Wt = Bobot rata-rata ikan pada akhir percobaan (g)

t = Waktu pemeliharaan (hari)

3. Efisiensi pakan (Takeuchi 1988)

(

)

Bt = Bobot ikan pada akhir percobaan (g)

Bo = Bobot ikan pada awal percobaan (g)

Bd = Jumlah bobot ikan yang mati selama percobaan (g)

F = Jumlah pakan yang dikonsumsi selama percobaan (g)

4. Kecernaan pakan (Apparent Digestibility Coeficient/ADC) (Takeuchi 1988)

(32)

5. Eskresi amonia nitrogen/NH3-N

Ekskresi NH3-N (mg/g tubuh/jam) =

[

] [

]

t

x

g

xV

N

NH

N

NH

t t

i 3 0

3

Keterangan :

[NH3-N]ti = Konsentrasi amonia pada akhir pengamatan (mg/l)

[NH3-N]to = Konsentrasi amonia pada awal pengamatan (mg/l)

(33)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil percobaan penggunaan tepung bungkil kelapa sawit (PKM) dalam

pakan dapat mempengaruhi pertumbuhan ikan lele (Clarias sp). Data perubahan

bobot rata-rata ikan per ekor dapat dilihat pada Gambar 1. Data selengkapnya

dapat dilihat pada Lampiran 3.

0 20 40 60 80 100 120 140

A(0) B(8) C(12) D(16) E(18)

Perlakuan

Bobot rata-rata (g)

Awal Akhir

Gambar 1. Bobot rata-rata ikan lele (Clarias sp) pada awal dan akhir percobaan

Penggunaan PKM dalam pakan dapat mempengaruhi (p<0,05) tingkat

konsumsi pakan, laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan dan retensi protein,

sedangkan untuk retensi lemak tidak dipengaruhi (p>0,05) oleh perlakuan

(Lampiran 9,10,11,12 dan 13). Data mengenai tingkat konsumsi pakan, laju

pertumbuhan harian, efisiensi pakan, retensi protein dan retensi lemak untuk

setiap perlakuan disajikan pada Tabel 9 dan data selengkapnya dapat dilihat pada

(34)

Tabel 9. Rata-rata Konsumsi Pakan (KP), Laju Pertumbuhan Harian (LPH), Efisiensi Pakan (EP), Retensi Protein (RP) dan Retensi Lemak (RL).

Perlakuan (% PKM) Para-

meter A(0) B(8) C(12) D(16) E(18)

KP (g) 113,71 + 11,54a 1 05,40 + 7,09a 85,00 + 6,63b 62,66 + 2,00c 62,39 + 5,38c LPH (%) 3,11 + 0,22a 3,01 + 0,13a 2,56 + 0,13b 2,09 + 0,06c 2,00 + 0,19c EP (%) 79,01 + 4,19ab 82,05 + 2,83a 73,38 + 2,47b 68,39 + 1,50bc 63,34 + 6,81c RP (%) 34,22 + 2,26a 36,13 + 2,29a 30,59 + 2,23b 31,23 + 1,51b 27,52 + 1,57c RL (%) 55,42 + 9,49a 58,72 + 6,50a 55,32 + 4,03a 53,42 + 1,01a 50,77 + 16,22a Keterangan: Huruf superskrip dibelakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris

menunjukkan adanya perbedaan nyata antara perlakuan (p<0,05)

Tingkat konsumsi pakan paling tinggi terjadi pada perlakuan A(0) dan

B(8) (p>0,05). Kemudian menurun seiring dengan semakin meningkatnya

penggunaan PKM yaitu pada perlakuan C(12) kemudian D(16)=E(18) (p>0,05)

(Lampiran 9).

Laju pertumbuhan harian tertinggi diperoleh pada perlakuan A(0) dan B(8)

(p>0,05). Laju pertumbuhan semakin menurun seiring dengan semakin tingginya

penggunaan PKM. Laju pertumbuhan ikan yang terendah terjadi pada perlakuan

D(16) dan E(18) (p>0,05) (Lampiran 10). Perlakuan A(0) dan B(8) memiliki

tingkat efisiensi paling tinggi (p>0,05) dan semakin menurun pada perlakuan

C(12), D(16) dan E(18) (p<0,05) (Lampiran 11).

Retensi protein tertinggi terjadi pada perlakuan A(0) dan B(8) (p>0,05).

Retensi protein selanjutnya akan semakin menurun pada perlakuan C(12) dan

D(16) (p>0,05) dan paling rendah pada perlakuan E(18) (Lampiran 12),

sedangkan retensi lemak tidak dipengaruhi (p>0,05) oleh penggunaan PKM

dalam pakan (Lampiran 13).

Hasil analisa proksimat tubuh ikan pada awal dan akhir penelitian

menunjukkan bahwa secara umum terjadi peningkatan kandungan protein dan

lemak tubuh selama pemberian pakan perlakuan. Pengaruh pakan percobaan

terhadap komposisi proksimat tubuh ikan pada setiap perlakuan disajikan pada

(35)

Tabel 10. Komposisi proksimat tubuh (% bobot kering) dan hati (% bobot basah) Keterangan: Huruf superskrip dibelakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris

menunjukkan adanya perbedaan nyata antara perlakuan (p<0,05)

Secara umum penggunaan PKM tidak mempengaruhi kandungan protein,

lemak, abu dan air tubuh ikan lele (p>0,05) (Lampiran 14, 15, 16 dan 17).

Kandungan lemak tubuh mengalami peningkatan yang cukup tinggi dibandingkan

dengan peningkatan kandungan protein. Hasil proksimat hati ikan lele

menunjukkan adanya pengaruh (p<0,05) perlakuan terhadap kandungan lemak

hati namun tidak berpengaruh terhadap kandungan protein dan air hati ikan lele

(p<0,05). Kandungan lemak hati tertinggi terjadi pada perlakuan A(0) kemudian

diikuti oleh perlakuan B(8) (p>0,05) sedangkan perlakuan C(12), D(16) dan E(18)

memiliki kandungan lemak yang lebih rendah (p>0,05) (Lampiran 18, 19 dan 20).

Hasil pengukuran eskresi total amonia nitrogen (NH3-N), kecernaan

protein serta kecernaan pakan disajikan pada Tabel 11. Data untuk setiap ulangan

dapat dilihat pada Lampiran 7 dan 8.

Tabel 11.Kecernaan Pakan (KP), Kecernaan Protein Pakan (KPP) dan eskresi Total Amonia Nitrogen (TAN)

% Protein SBM:% Protein PKM: % Protein MBM

Para-

(36)

Penggunaan PKM dalam pakan dapat mempengaruhi (p<0,05) tingkat

kecernaan total pakan dan protein pakan. Semakin tinggi tingkat penggunaan

PKM dalam pakan maka tingkat kecernaan pakan dan kecernaan protein pakan

akan semakin menurun. Kecernaan pakan tertinggi terjadi pada perlakuan

A(0),B(8) dan C(12) (p>0,05) kemudian menur un pada perlakuan D(16) dan

E(18) (p>0,05). Perlakuan A(0) dan B(8) (p>0,05) memiliki kecernaan protein

paling tinggi dan kemudian menurun pada perlakuan C(12) dan paling rendah

pada perlakuan D(16) dan E(18) (p>0,05) (Lampiran 21 dan 22).

Total ekskresi NH3-N yang diukur selama lima jam menunjukkan tidak

adanya pengaruh (p>0,05) perlakuan terhadap total eskresi amonia (Lampiran

23). Pengaruh penggunaan PKM dalam pakan terhadap hati ikan lele dilakukan

dengan mengamati preparat histologi hati ikan pada pembesaran 1000 kali seperti

yang ditampilkan pada Gambar 2 sampai Gambar 6. Preparat hati ikan lele yang

diberi perlakuan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam hal jumlah sel

persatuan luas dan ukuran vakuola yang berbeda.

(37)

Gambar 3. Histologi hati ikan lele (Clarias sp) yang diberi perlakuan B(8) (pembesaran 1000 x).

(38)

Gambar 5. Histologi hati ikan lele (Clarias sp) yang diberi perlakuan D(16) (pembesaran 1000 x).

Gambar 6. Histologi hati ikan lele (Clarias sp) yang diberi perlakuan E(18) (pembesaran 1000 x).

Berdasarkan ga mbar histologi hati di atas dapat diketahui bahwa, hepatosit

ikan pada perlakuan A(0) dan B(8) memiliki vakuola dengan ukuran yang lebih

besar jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Perlakuan C(12), D(16) dan

E(18) hampir tidak memiliki vakuola dan memiliki kerapatan yang lebih tinggi

(39)

Pembahasan

Parameter uji yang digunakan untuk mengevaluasi pengaruh penggunaan

tepung bungkil kelapa sawit (PKM) menunjukkan bahwa tingkat penggunaan

PKM yang optimal dalam pakan adalah sebesar 8%. Terjadinya pertumbuhan

pada semua perlakuan merupakan indikator bahwa energi yang dikonsumsi sudah

melebihi energi yang dibutuhkan untuk maintenance dan voluntary (NRC 1983;

Steffens 1989).

Laju pertumbuhan harian menunjukkan tingkat pertumbuhan ikan setiap

harinya. Tingkat pertumbuhan tertinggi terjadi pada pakan A(0) dan B(8).

Penggunaan PKM pada pakan B(8) memberikan efisiensi pakan yang setara

dengan perlakuan A(0). Yamamoto et al. (1995) mengatakan bahwa

penggabungan beberapa sumber protein dapat meningkatkan tingkat penggantian

tepung ikan.

Semakin tinggi penggunaan PKM dalam pakan dapat menekan

pertumbuhan ikan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh komposisi asam amino

pakan yang tidak seimbang, penurunan tingkat kecernaan nutrisi pakan dan

palatabilitas. Selain itu PKM banyak mengandung non-starch polysaccharida

(NSP) yang berpotensi untuk menjadi anti nutrisi jika berada dalam pakan ikan

karena NSP akan terikat dalam air dan membentuk semacam gum di dalam

intestine, meningkatkan viskositas bahan-bahan yang ada dalam usus dan

menghalangi aktifitas enzim pencernaan sehingga akan menekan pertumbuhan

(Francis et al. 2001). Di daerah tropis yang mempunyai kelembaban dan suhu

yang tinggi serta penyimpanan yang kurang baik dapat menyebabkan tumbuhnya

jamur khususnya dari genus Aspergillus yang menghasilkan senyawa kimia yang

sangat toksik yakni aflatoksin. Aflatoksin akan menyebabkan pertumbuhan yang

lambat, mengurangi tingkat konsumsi pakan, pathologis pada hati serta

mempengaruhi pankreas dan ginjal (Lim et al. 2001). Kandungan aflatoksin

dalam PKM bisa diminimalisir bahkan tidak teridentifikasi jika PKM ditangani

(40)

Indeks asam amino esensial pakan dan asam amino esensial tubuh dapat

digunakan untuk menentukan kebutuhan asam amino esensial ikan. Pola asam

amino esensial pakan dapat dihitung berdasarkan kandungan asam amino esensial

bahan baku penyumbang protein (Tabel 12).

Tabel 12. Komposisi asam amino esensial pakan percobaan dan tubuh ikan

Berdasarkan data dari Tabel 12, kebutuhan asam amino esensial ikan lele

(Clarias sp) dan ketersediaan asam amino esensial dalam pakan dapat

digambarkan dengan menghitung rasio asam amino esensial pakan/tubuh ikan

(Gambar 7).

Arginin Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin

Phenilalanin Threonin Tryptophan

(41)

Gambar 7 menunjukkan bahwa dari keseluruhan asam amino esensial,

hanya asam amino triptopan yang mengalami peningkatan jumlah sedangkan yang

lainnya mengalami penurunan seiring dengan semakin meningkatnya tingkat

penggunaan PKM dan MBM. Gambar 7 juga menunjukkan bahwa semua pakan

uji mengalami kekurangan asam amino histidin dan metionin.

Penggunaan PKM 8% memberikan komposisi asam amino pakan yang

lebih rendah dari pakan kontrol namun belum mempengaruhi tingkat

pertumbuhan pada perlakuan B(8). Penggunaan PKM yang melebihi 8% akan

menyebabkan terjadinya penurunan nilai nutrien pakan yang ditandai dengan

semakin menurunnya tingkat pertumbuhan seperti pada perlakuan C(12), D(16)

dan E(18) yang disebabkan oleh semakin rendahnya ketersediaan asam amino

esensial dalam pakan yang menekan potensi pertumbuhan harian ikan.

Tingkat penggunaan PKM dalam pakan ikan lele yang dapat memberikan

pertumbuhan yang optimal pada penelitian ini menunjukkan hasil yang lebih

rendah dibandingkan dengan penggunaan PKM dalam pakan ikan tilapia

(Oreocromis sp) yang dapat mencapai 20% (Ng et al. 2002), pada juvenile Labeo

senegalensis sebesar 10% (Omoregie 2000), ikan nila tilapia Oreochromis

mosambicus dapat mencapai 30% (Lim et al. 2001) dan pada juvenil patin jambal

siam (Pangasius djambal) dapat menggunakan PKM sebanyak 27% dalam pakan

(Afifah 2006).

Faktor lain yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan adalah tingkat

kecernaan total pakan dan kecernaan protein. Penggunaan PKM dapat

mempengaruhi tingkat kecernaan total dan protein pakan. Tingkat kecernaan

menunjukkan perbedaan jumlah antara nutrien yang diambil dan nutrien yang

diekskresikan dalam feses yang diekspresikan dalam persentase dari jumlah pakan

yang dimakan (Steffens 1989). Semakin tinggi penggunaan PKM dalam pakan

maka tingkat kecernaan pakan cenderung semakin menurun. Gejala yang sama

ditemukan pada Oreochromis mossambicus (Lim et al. 2001 ), Oreochromis sp

(Ng WK et al. 2002) dan Labeo senegalensis (Omoregie 2001) yang diberi pakan

dengan kandungan PKM yang berbeda. Penggunaan MBM yang semakin tinggi

juga menunjukkan tingkat kecernaan pakan yang semakin rendah seperti pada

(42)

beberapa spesies ikan, kecernaan protein PKM dan MBM lebih rendah dari

kecernaan SBM (Hertramft dan Felicitas 2000) sehingga semakin tinggi

penggunaan PKM dan MBM dalam pakan yang menekan jumlah SBM

menyebabkan tingkat kecernaan protein akan semakin menurun.

Tingkat kecernaan pakan yang semakin rendah pada perlakuan C(12),

D(16) dan E(18) menyebabkan rendahnya asupan energi yang dapat diambil ole h

ikan. Perbedaaan asupan energi ini dapat dilihat dari histologis hati yang memiliki

ukuran vakuola yang berbeda. Vakuola pada sel hati menggambarkan bekas

simpanan lemak yang terlarut oleh alkohol pada saat proses preparasi histologi

sehingga menyebabkan terbentuknya vakuola pada hepatosit. Semakin banyak

energi yang dapat dicerna maka simpanan energi dalam bentuk lemak di hati

semakin tinggi seperti pada perlakuan A(0) dan B(8) yang memilki vakuola yang

paling besar. Perlakuan C(12), D(16) dan E(18) memiliki vakuola yang lebih kecil

bahkan pada perlakuan tersebut banyak sel yang tidak memiliki vakuola. Data

yang diperoleh dari kandungan lemak hati juga menunjukkan bahwa ikan yang

memiliki asupan energi yang rendah karena kecernaan pakan yang rendah pada

perlakuan C(12), D(16) dan E(18) memiliki kandungan lemak hati yang lebih

rendah dari perlakuan A(0) dan B(8) yang memiliki kecernaan pakan yang lebih

tinggi.

Perbedaan tingkat konsumsi dapat disebabkan oleh perbedaan tingkat

pertumbuhan ikan. Ukuran ikan yang lebih besar pada perlakuan A(0) dan B(8)

memiliki konsumsi pakan yang tinggi sedangkan untuk ikan yang berukuran lebih

kecil memiliki tingkat konsumsi pakan yang rendah seperti pada perlakuan C(12),

D(16) dan E(18). Faktor lain yang menyebabkan perbedaan konsumsi pakan

adalah palatabilitas pakan. Rendahnya tingkat konsumsi pakan pada perlakuan

C(12), D(16) dan E(18) kemungkinan juga disebabkan karena semakin tingginya

kandungan MBM dalam pakan sehingga menurunkan palatabilitas pakan.

Penelitian yang dilakukan oleh Xue dan Cui (2000) menunjukkan bahwa semakin

tinggi tingkat penggunaan MBM dalam pakan akan menurunkan tingkat

palatabilitas pakan yang dibuktikan dengan rendahnya tingkat

pemilihan/preferensi pakan oleh ikan gibel carp pada pakan yang mengandung

(43)

pakan tersebut. Penurunan tingkat konsumsi pakan kemungkinan juga dapat

disebabkan oleh keberadaan NSP yang banyak terkandung dalam PKM. NSP pada

juvenil turbot (Psetta maxima) bersama dengan faktor anti nutrisi lainnya diduga

memperlambat retensi pakan dalam lambung sehingga mempengaruhi tingkat

pengambilan pakan (Fournier 2004).

Palatabilitas pakan juga berhubungan erat dengan atraktabilitas yang

diberikan oleh asam amino yang selanjutnya akan mempengaruhi searching

respon, pengambilan serta penelanan pakan dari ikan sehingga asam amino dapat

berperan sebagai feeding stimulant dalam pakan. Rangsangan sensor kimia oleh

asam amino tertentu akan menyebabkan repleks cephalic untuk meningkatkan

sekresi cairan gastrik dan meningkatkan kecernaan protein dan karbohidrat.

Adanya feeding stimulant yang berasal dari asam amino glicogenic seperti L-

alanin, L-proline dan glycine juga mempengaruhi preferensi penggunaan energi

dalam tubuh ikan sehingga akan meningkatkan penggunaan karbohidrat sebagai

sumber energi (Hara 1993), yang akhirnya akan meningkatkan efisiensi protein

pakan. Kecenderungan semakin rendahnya asam amino esensial pakan (Tabel 12)

dengan semakin meningkatnya penggunaan PKM kemungkinan juga

menunjukkan semakin rendahnya asamamino non esensial (L- alanin, L-proline

dan glycine) pakan yang dapat menjadi feeding stimulant dalam pakan yang

mengakibatkan tingkat konsumsi pakan menjadi lebih rendah.

Retensi nutrisi tertentu pada tubuh ikan selama periode tertentu biasanya

digunakan untuk mengevaluasi ketersediaan dan keseimbangan asam amino dan

ketersediaan beberapa elemen esensial nutrient lainnya. Retensi protein/lemak

merupakan persentase protein/lemak yang dimakan oleh ikan selama masa

percobaan yang dapat disimpan dalam tubuh ikan (Halver dan Hardy 2002).

Tingkat retensi protein yang semakin turun seiring dengan meningkatnya

penggunaan PKM dan MBM dalam pakan menunjukkan bahwa nilai nutrisi

protein pakan semakin menurun, hal ini dapat dilihat dari semakin rendahnya

tingkat kecernaan protein pakan dan komposisi asam amino esensial pakan yang

secara umum semakin menurun seiring dengan semakin tingginya tingkat

penggantian SBM. Retensi lemak yang berada di bawah 100% menunjukkan

(44)

diretensi sebagian besar merupakan lemak yang berasal dari lemak pakan.

Semakin tinggi tingkat penggunaan PKM dan MBM dalam pakan tidak

mempengaruhi retensi lemak.

Hasil ana lisa proksimat tubuh menunjukkan bahwa penggunaan PKM dan

MBM tidak menyebabkan perbedaan kandungan lemak dan protein tubuh. Pada

penelitian yang dilakukan oleh Lim et al. (2001) dan Ng et al. (2002) penggunaan

PKM dalam pakan ikan tilapia yang isoenergi dan isolipid tidak mempengaruhi

kandungan protein tubuh tetapi mempengaruhi kandungan lemak tubuh,

sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Omoregie (2001) mendapatkan

tidak adanya perbedaan kandungan protein otot daging pada juvenile Labeo

senegalensis yang diberi pakan yang mengandung PKM.

Total eskresi amoniak (TAN) ikan yang mengkonsumsi pakan perlakuan

menunjukkan tidak adanya pengaruh perlakuan terhadap eskresi nitrogen ikan.

Eskresi amoniak sangat berhubungan dengan katabolisme asam amino yang

digunakan sebagai energi. Ikan akan mengeluarkan nitrogen yang dihasilkan dari

katabolisme asam amino dan metabolisme senyawa nitrogen lainnya ke dalam air

sebagai amonia dari insang (Halver dan Hardy 2002). Semakin tinggi nilai TAN

menunjukkan semakin banyaknya protein yang dideaminasi karena komposisi

asam amino yang tidak seimbang sehingga cenderung menurunkan retensi protein.

Menurut Lovell (1987) jika protein mempunyai komposisi asam amino yang tidak

seimbang maka hanya sebagian kecil asam amino yang akan disintesis dan asam

amino yang tidak digunakan akan dideaminasi dan diekskresikan sebagai

nitrogen. Pada penelitian ini, nilai TAN yang tidak berbeda menunjukkan bahwa

tingkat deaminasi asam amino esensial pakan sebagai akibat dari

(45)

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tingkat

penggunaan PKM sebanyak 8% dalam pakan dapat menghasilkan kinerja

pertumbuhan yang optimal pada ikan lele (Clarias sp).

Saran

PKM sebanyak 8% dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan

(46)

DAFTAR PUSTAKA

Affandi R dan Tang UM 2002. Fisiologi Hewan Air. Pekanbaru-Riau: Unri Press. 217 hal.

Allan GL, Parkinson S. Booth MA, Stone DAJ, Rowland SJ, Frances J, Smith RW. 2000. Replacement of Fish Meal in Diets for Australian Silver Perch, Bidyanus bidyanus: I. Digestibility of Alternative Ingredients. Aquaculture 186: 293-310.

Afifah R. 2006. Pemanfaatan Bungkil Kelapa Sawit dalam Pakan Juvenil Ikan Patin Jambal (Pangasius djambal) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Perikanan Bogor. 29 hal.

Baruah K, Sahu NP, Pal AK, Debnath D. 2004. Dietary Phytase: An Ideal Approach for A Cost Effective and Low-Polluting Aquafeed. NAGA : Worldfish Center. Quarterly Vol 27 (3) July-Desember. p15–19.

Bureau DP et al.. 2000. Feather Meals and Meat and Bone Meals From Different Origin as Protein Sources in Rainbow Trout (Onchorhyncus mykiss) Diets. Aquaculture: 181. 281-291.

Bureau DP. 2005. Formulating More Cost-Effective Aquaculture Feeds. Canada, Ontario: University of Guelph. 12 pp.

Catacutan MR dan Gregoria EP. 2004. Partial Replacement of Fishmeal by Defatted Soybean Meal in Formulated Diets for The Mangrove Red Snapper, Lutjanus argentimaculatus (Forsskal 1775). Aquaculture Research 35: 299-306.

Cheng ZJ, Hardy RW, Blair M. 2003. Effects of Supplementing Methionine Hydroxy Analogue in Soybean Meal and Distiller’s Dried Grain- Based Diets on The Performance and Nutrient Retention of Rainbow Trout [Oncorhynchus Mykiss (Walbaum)]. Aquaculture Research 34: 1303-1310.

Chien YH dan Chiu YH. 2003. Replacement of Soybean (Glycine max (L.) Merrill) Meal by Lupin (Lupinus angustifolius) Seed Meal in Diet for Juvenil Tilapia (Oreochromis niloticus x O. aureus) Reared Indoors. Aquaculture Research: 34. 1261-1268.

(47)

Choct M. 2001. Nutritional Constraints to Alternative Ingredients. ASA Technical Bulletin Vol. AN31. p 1-3.

Chou SM, Wang X, Park GJ, Lim SR, Kim KW, Bai SC, Shim IS. 2004. Dietary Dehulled Soybean Meal as a Replacement for Fish Meal in Fingerling and Growing Olive Flounder, Paralichthys olivaceus (Temminck et Schlegel). Aquaculture Research 35: 410-418.

Elangovan A dan K.F Shim. 2000. The Influence of Replacing Fish Meal Partially in The Diet with Soybean Meal on Growth and Body Composition of Juvenile Tin Foil Barb (Barbodesw altus). Aquaculture 189: 133-144.

Fournier V, Huelvan C, Desbruyeres E. 2004. Incorpor ation of A Micture of Plant Feedstuffs as Subtitute for Fish Meal in Diets of Juvenile Turbot (Psetta maxima). Aquaculture: 236. 451-465.

Francis G, Makkar HPS, Becker K. 2001. Antinutritional Factors Present in Plant-Derived Alternate Fish Feed Ingredients and Their Effects in Fish: Review article. Aquaculture 199: 197-227.

Furuichi M. 1988. Dietary Requirements: Carbohydrates. di dalam: Watanabe T. Fish Nutrition and Mariculture. Departement of Aquatic Biosciences Tokyo University of Fishes. Tokyo: p 1-77.

Gelder Jan Willer van, Waklw Eriz, Schung Matthjs, H Myrthi 2005. Kutukan Komoditas: Panduan bagi ORNOP Indoneia. 82 Hal. http://www.profunfo.nl/downloads/kutukan.pdf?search=%22.indonesia%2 0palm%20kernel%20produser%27. [07 September 2006].

Halver JE dan Hardy RW, editor. 2002. Fish Nutrition. Third Edition. California USA: Academic Press. 822 pp.

Hasan MR. 2000. Nutrition and Feeding for Sustainable Aquaculture Development in the Third Millenium. [Article]. Technical Proceedings of The Conference on Aquaculture in the Third Millenium, Bangkok, Thailand. Bangkok. 36 pp.

Hara TJ. 1993. Chemoreception. di dalam: Evans HD. The Physiology of Fishes. CRC Press. London. 192-218 pp.

(48)

Kim JD dan Santosh PL. 2000. Amino Acid Composition of Whole Body Tissue of Atlantic Halibut (Hippoglossus hippoglossus), Yellowtail Flounder (Pleuronectes ferruginea) and Japanese Flounder (Paralichthys olivaceus). Aquaculture187: 367-373.

Kompas. 05 Agustus 2005. Limbah Sawit Bernilai Ekonomis. http://www. kompas.com/kompas_cetak/0608/05/ekonomi/2860110.htm.[07 September 2006].

Lim HA, Ng WK, Lim SL, Ibrahim CO. 2001. Contamination of Falm Kernel Meal with Aspergillus Flavus Affects its Nutritive Value in Pelleted Feed for Tilapia Oreochromis mossambicus. Aquaculture Researches 32:895-905.

Lovell T. 1987. Nutrition and Feeding of Fish. Department of Fisheries and Allied Aquaculture Auburn University. Auburn, Alabama. 330 pp.

Mokoginta I. 1986. Kebutuhan Ikan Lele (Clarias batrachus Linn) akan Asam-asam Lemak Linoleat dan Linolenat [Tesis]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana, Institut Perikanan Bogor. 66 hal.

Ng WK, Lim HA, Lim SL, Ibrahim CO. 2002. Nutritive Value of Palm Kernel Meal Pretreated with Enzyme or Fermented with Trichoderma koningii (Oudemans) as a Dietary Ingredient for Red Hybrid Tilapia (Oreochromis sp.). Aquaculture Research 33: 1199-1207.

Ng WK. Januari-Maret 2003. The Potential Use of Palm Kernel Meal in Aquaculture Feeds. Aquculture Asia Vol. VIII No.1. J. p 38-39.

[NRC] National Research Council. 1983. Nutrient Requirements of Domestic Animal: Nutrient Requirements of Warmwater Fishes and Shellfishes. Washington: National Academy Press. 102 pp.

Nursyam H. 1991. Ransum Ikan Lele (Clarias batrachus Linn) dari Limbah Ikan Tuna. [Tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Perikanan Bogor. 74 hal.

Omoregie E. (2001). Utilizatio n and Nutrient Digestibility of Mango Seeds and

Palm Kernel Meal by Juvenile Labeo senegalensis

(Antheriniformes:Cyprinidae). Aquaculture Research 32: 681-687.

(49)

Refstie S, Svihus B, Shearer, KD, Storebakken T. 1999. Nutrient Digestibility in Atlantic Salmon and Broiler Chickens Related to Viscosity and non-Starch Polysaccharide Content in Different Soybean Products. Animal Feed Science Technology : 79. 331-345.

Riady M.2006. Kebijakan Pemerintah di Bidang Pakan. Disampaikan pada Seminar Pakan Nasional; Fakultas Peternakan IPB, 9 September 2006.

Ritonga U. 18 Februari 2002. Produksi Pakan Ternak Naik 15 Persen pada Tahun 2002. Tempo Interaktif. http://www.tempointeractive.com/hg/ekbis/ 2002/ 02/18/brk,20020218-35,id.html [07 September 2006].

Robaina L et al. 1997. Corn Gluten and Meat and Bone Meals as Protein Sources in Diets for Gilthead Seabream (Sparus aurata) : Nutritional and Histological Implication. Aquaculture:157. 347-359.

Siagian N dan JM Danang. 2003. Derita Peternak Ayam Tak Pernah Berhenti. Sinar Harapan. http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/industri/2004/0505/ind1. html.[07 September 2006].

Steffens W. 1989. Principles of Fish Nutrition. Ellis Horwood Limited. England. 384 pp.

Suara Pembaharuan. 28 Agustus 2004. Kebutuhan Pakan Ternak pada 2010. Capai 13 Juta Ton. Suara Pembaharuan Daily. http://www. com/news/ 2004/08/26ekonom/eko04.htm. [07 September 2006].

Sue TT. 2001. Quality and Characteristics of Malaysian Palm Kernel Cakes/Expellers. Palm Oil Developments 34. Malaysia: p. 1-3.

Suhenda N. 1988. Pertumbuhan Ikan Lele (Clarias batrachus Linn) ya ng Mendapat Ransum dengan Kadar Protein dan Energi yang Berbeda [Tesis]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. 64 hal.

Suprayudi MA, Bintang M, Takeuchi T, Mokoginta I, Toha S. 1999. Defatted Soybean Meal as An Alternative Source to Substitute Fish Meal in The Feed of Giant Gouramy Osphronemus gouramy Lac. Suisanzoshoku 47(4): 551-557.

(50)

Takeuchi T. 1988. Laboratory Work –Chemical Evaluation of Dietary Nutrients. di dalam: Watanabe T .Fish Nutrition and Mariculture. Departement of Aquatic Biosciences Tokyo University of Fishes. Tokyo: 179-233.

Usher. 1990. Effects of Transfer to Seawater on Digestion and Gut Function in Atlantic Salmon Smolts Salmo salar L. Aquaculture: 90. 85–96.

Utomo NBP et al.. 1999. Pengkajian Pemanfaatan Bahan Lokal untuk Pengganti Komponen Impor pada Pakan Ikan. Bogor: Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. 31 hal.

Webster CD, Thompson KR, Morgan AM, Grisby EJ, Gannan AL. 2000. Use of Hempseed Meal, Poultry by-Product Meal and Canola Meal in Practical Diets without Fish Meal for Sunshines Bass (Morone chrysops X M. saxatilis). Aquaculture: 188(299-309).

Xue M dan Cui Y. 2000. Effect of Several Feeding Stimulant on Diet Preference by Juvenil Gibel Carp (Carassius auratus gibelio), Fed Diets with or Without Partial Replacement of Fish Meal by Meat and Bone Meal. Aquaculture: 198. 281–292.

Yamamoto T, Unuma T, Akiyama T. 1995. The Effect of Combined Use of Several Alternative Protein Sources in Fingerling Rainbow Trout Diets. Fisheries Science 61(6): 915-920.

(51)

Lampiran 1. Prosedur analisa proksimat

A. Prosedur analisa kadar air

1. Cawan porselen dioven pada suhu 110oC selama satu jam dan kemudian ditimbang (X1).

2. Bahan diambil sebanyak 1 g (A) dan dimasukkan pada cawan tadi dan kemudian dipanaskan /dioven pada suhu 110oC selama 2 jam.

3. Setelah dioven, cawan tersebut dipindahkan ke deksikator selama 30 menit.

4. Setelah dingin, cawan tersebut ditimbang dan beratnya dicatat (X2). 5. Kadar air dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini :

%

B. Prosedur analisa kadar abu

1. Cawan porselen dioven pada suhu 110oC selama 1 jam lalu didinginkan dalam eksikator selama 15 sampai 30 menit dan kemudian ditimbang (X1). 2. Bahan diambil 1 g (A) dan dimasukkan dalam cawan porselen tersebut. 3. Cawan yang berisi bahan tadi dipanaskan dalam tanur pada suhu 600oC

sampai bahan menjadi putih semua atau menjadi abu, kemudian dimasukkan ke oven (suhu 100oC sampai 110oC) selama 15 menit untuk menurunkan suhunya.

4. Cawan dipindahkan ke eksikator selama 15 sampai 30 menit dan kemudia n ditimbang (X2).

5. Kadar abu dihitung dengan menggunaan rumus berikut ini :

%

C. Prosedur analisa protein (Metode Kjeldahl) Tahap Oksidasi

1. Bahan ditimbang 1 g (A) dengan menggunakan alumunium foil. Bahan yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl.

2. Tiga g katalis dimasukkan dalam labu Kjeldahl bersama dengan 10 ml H2SO4 pekat untuk mempercepat penguraian.

3. Labu Kjeldahl dipanaskan dalam rak oksidasi/digestion selama 3 hingga 4 jam sampai terjadi perubahan warna menjadi hijau bening.

4. Labu Kjeldahl selanjutnya didinginkan dan kemudian diencerkan dalam erlenmeyer hingga 100 ml.

Tahap destilasi

1. Larutan hasil oksidasi diambil sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam labu destilasi dan kemudian ditambah dengan beberapa tetes H2SO4.

2. Erlenmeyer diisi dengan 10 ml H2SO4 0,05N dan 2 tetes larutan indikator

yang disimpan di bawah pipa pembuangan kondensor dengan cara dimiringkan sehingga ujung pipa tenggelam dalam cairan.

(52)

Lanjutan lampiran 1…..

4. Campuran alkalin dalam labu destilasi disulin menjadi uap air selama 10 menit setelah tejadi pengembungan pada kondensor.

Tahap titrasi

1. Hasil destruksi dititrasi dengan larutan NaOH 0,05 N hingga berubah warna.

2. Hasil volume titran dicatat.

3. Prosedur yang sama juga dilakukan pada blanko.

4. Persentase protein dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

%

D. Prosedur analisa lemak

Metode estraksi dengan Soxhlet

1. Labu ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu110oC selama 1 jam kemudian didinginkan dalam deksikator selama 30 menit dan ditimbang (X1).

2. Bahan ditimbang sebanyak 3 g (A) dan dimasukkan dalam selongsong, setelah itu dimasukkan ke soxhlet yang ditekan dengan pemberat pada bagian atasnya.

3. N-hexan sebanyak 100 sampai 150 ml dimasukkan ke dalam soxhlet sampai selongsong terendam dan sisa hexan dimasukkan ke dalam labu. 4. Labu yang sudah dihubungkan dengan soxhlet dipanaskan di atas water

bath sampai cairan dalam Soxhlet berwarna bening.

6. Labu dilepaskan dari soxhlet dan tetap dipanaskan hingga N-hexan menguap semua.

7. Labu dan lemak yang tersisa dipanaskan dalam oven selama 15 sampai 60 menit, kemudian didinginkan dalam eksikator selama 15 hingga 30 menit dan ditimbang (X2).

8. Persentase lemak dihitung dengan menggunakan rumus :

%

Metode Folch et al. (analisis lemak untuk hati)

1. Labu silinder dioven pada suhu 110oC selama 1 jam kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit kemudian ditimbang (X1).

2. Bahan ditimbang 2 g (A) dan kemudian dimasukkan dalam gelas

homogenizer, kemudian ditambahkan dengan larutan kloroform/methanol C(20xA) dan disisakan sebagian untuk membilas pada saat penyaringan. 3. Sampel yang telah diberi larutan kemudian dihomogenizer selama 5 menit,

Gambar

Tabel 1. Komposisi proksimat SBM
Tabel 3. Komposisi proksimat PKM
Tabel 6. Komposisi asam amino esensial MBM (% protein)
Tabel 7. Komposisi pakan uji (g/100 g pakan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peralatan komunikasi VHF-A/G yaitu, peralatan komunikasi radio yang bekerja pada frekuensi 117,975 MHz sampai dengan 137 MHz dan digunakan sebagai sarana komunikasi

Disiplin ilmu Hubungan Internasional yang kini berorientasikan tak hanya pada negara sebagai aktor utama memberikan pemikiran khusus bagi para penstudi apakah anarkisme yang

perusahaan Playwood di Jelapat, sehingga kaki kanannya saat itu putus (harus daimputasi), dan kemudian terpaksa harus berhenti bekerja. Karena Yahya tidak bisa

Baja (St.42) adalah baja yang mempunyai kekuatan atau tegangan tarik maksimum lebih kurang 42 N/mm 2 .Penelitian ini bertujuan untuk menemukan perubahan kekuatan

Berdasarkan uraian di atas maka penulis bermaksud membangun sebuah aplikasi Pengarsipan di Jurusan S1 Teknik Informatika Universitas Sebelas Maret, sehingga dengan adanya aplikasi

Alhamdulillah, itulah kata yang tepat terucapkan karena dengan segenap ihktiar dan tawakal yang maksimal akhirnya penulisan skripsi yang berjudul “Peran

(1) Seksi Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e angka 2, mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan

Untuk memisahkan biji dengan tongkol, alat pemipil jagung sederhana (semi mekanis) menggunakan daya tekan dari operator yang akan menekan tuas tekan sehingga biji akan terpisah