TIMUR, PERBATASAN INDONESIA-MALAYSIA
IIN SOLIHIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ―Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap di Wilayah Kabupaten Nunukan Kalimantan Tumur, Perbatasan Indonesia-Malaysia‖ adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
East Kalimantan, Indonesia-Malaysia Border. SUGENG HARI WISUDO, DRAJAT MARTIANTO and JOHN HALUAN
The aims of this research are (i) to analyse the development of fishery product marketing (ii) to analyse the development of capture fishery production (iii) to analyse the development of capture fishery institutions (iv) to analyse the development of fishery strategic environment and (v) to formulate development strategy for capture fishery in the border area. The location of this research is Nunukan Regency, East Kalimantan. Survey to the capture fishery areas centers in both Nunukan Regency, Indonesia and Tawau, Malaysia – the area exactly in the border of Nunukan, was conducted in order to investigate the capture fishery conditions. Data were taken from March – April 2009 and then in Januari 2010.
The catch marketing still have not give sufficient price for Nunukan’s fisher
because there is a relatively large dependence of the fishers in Nunukan District to the owners of capital from Tawau through Nunukan middle men. Fishing productivity relatively small namely, 95 kg/ catching trip, and fisher productivities only reach approximately 3,97kg/day. Superior commodities in Nunukan Regency include white shrimp (Penaeus merguiensis), black pomfret (Formio
niger), anchovies (Stolephorus spp), narrow-barred Spanish mackerel
(Scomberomorus commerson),silver pomfret (Pampus argenteus),, Greasy
rockcod (Epinephelus tauvina),, Spotted javelinfish (Pomadasys maculatus), jack trevallies (Caranx spp), stingrays (Dasyatis spp), four finger treadfin (Eleutheronema tetradactylum). The problems are the fishing port has not functioned as a supporting infrastructure for capture fisheries and the IUU Fishing. There is no specific regulatin about capture fisheries management in the border area comprehenshiply. Achivement for capture fisheries management in
border area are (i) to increase fisher’s and state’s income by improving catch trade
system to abroad (ii) keeping fish resouces in the border area waters by IUU Fishing handling and imroving cooperation between Indonesia Malaysia in fisheries resources utilization. Nunukan regional economic have adventages to support capture fisheries development but there is infrastructure problems to support fisheries resources utilization. Strategies for capture fisheries development consist of (i) developing master plan blue print of capture fisheries development in the border area, (ii) strengthening fisher’s institutions, (iii) increasing fisher’s skill (iv) strengthening fisher’s financial capital (v) increasing fleet/boat capacity to cruise over seas (vi) optimalization fishing port function and accelerating fishing port and fish processing industry development (vii) optimalization to prevent illegal fishing practices (viii) optimalization role fishery mentoring (ix) cooperation to manage capture fisheries resources in border regions between Indonesia and Malaysia government (x) reformulating fisher collaboration system.
Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur, Perbatasan Indonesia - Malaysia. Dibimbing oleh SUGENG HARI WISUDO, DRAJAT MARTIANTO dan JOHN HALUAN
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar terdapat 92 pulau terluar. Potensi sumberdaya alam yang dimiliki sebagian besar wilayah terluar Indonesia adalah sumberdaya kelautan dan perikanan. Hal ini dapat dipahami mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan dimana aspek kelautan menjadi sangat dominan. Sangat menungkinkan apabila sektor perikanan dan kelautan dapat menjadi basis dan andalan pengembangan ekonomi wilayah perbatasan tersebut.
Namun demikian, dalam kenyataannya wilayah-wilayah perbatasan dengan basis perikanan belum banyak yang berkembang. Terbatasnya akses dari dan ke wilayah tersebut menyebabkan aktifitas perekonomian dan pembangunan pada umumnya belum optimal dilaksanakan. Di sisi lain akses dari wilayah tersebut ke negara tetangga relatif lebih baik. Hal ini menyebabkan interaksi antara masyarakat Indonesia di wilayah terluar tersebut dengan masyarakat negara tetangga lebih intensif dibandingkan dengan masyarakat lain di dalam wilayah Indonesia.
Kondisi seperti yang digambarkan di atas juga terjadi di Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia. Potensi pengembangan perikanan tangkap di wilayah ini diperkirakan masih relatif besar. Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang baik, tidak hanya akan mengurangi kerugian negara akibat pencurian ikan oleh nelayan-nelayan asing, tetapi lebih dari itu akan memberikan dampak yang besar bagi peningkatan kesejahteraan pelaku perikanan khususnya dan masyarakat Nunukan pada umumnya. Mengingat karakteristik fisik dan masyarakat yang relatif unik dibandingkan dengan wilayah lain, maka perlu dibangun model pengembangan perikanan tangkap tertentu yang tidak hanya memperhatikan karakteristik potensi perikanan yang ada, tetapi juga aspek-aspek yang perbatasan perlu mendapat penekanan.
Penelitian ini bertujuan (i) menganalisis pengembangan pemasaran hasil tangkapan ikan, (ii) menganalisis pengembangan produksi penangkapan ikan, (iii) menganalisis pengembangan kelembagaan pengelolaan perikanan tangkap, (iv) menganalisis pengembangan lingkungan strategis pengembangan perikanan tangkap dan (v) merumuskan strategi pengembangan perikanan tangkap di wilayah perbatasan
Dalam rangka melihat kondisi perikanan tangkap maka dilakukan survey ke wilayah-wilayah konsentrasi perikanan tangkap di Nunukan dan daerah Tawau Malaysia yang merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Indonesia di wilayah tersebut. Pengambilan data dilakukan pada Maret – April 2009 dan bulan Januari 2010.
ditunjukkan oleh nilai produktifitas alat tangkap maupun produktifitas nelayan yang masing-masing baru mencapai 95 kg/hari/alat tangkap dan 3,97 kg/nelayan/hari. Komoditas unggulannya di Kabupaten Nunukan adalah udang putih (Penaeus merguiensis), bawal hitam (Formio niger), teri (Stolephorus spp), tenggiri (Scomberomorus commerson), bawal putih (Pampus argenteus), udang bintik, kerapu lumpur (Epinephelus tauvina), arut (gerot-gerot) (Pomadasys maculatus), kuwe/putih (Caranx spp), pari kembang/pari macan (Dasyatis spp) dan Kurau (Eleutheronema tetradactylum). Permasalahan yang dihadapi adalah pelabuhan perikanan belum berfungsi sebagai prasarana pendukung penangkapan ikan dan adanya praktek IUU Fishing.
Belum adanya peraturan yang spesifik mengatur mengenai pengelolaan perikanan tangkap di perbatasan secara komprehensif. Tujuan pengelolaan perikanan di perbatasan adalah (i) meningkatkan pendapatan nelayan dan negara melalui penyempurnaan sistem perdagangan hasil tangkapan ke luar negeri (ii) menjaga kelestarian sumberdaya ikan di wilayah perairan perbatasan melalui penanganan praktek IUU Fishing dan meningkatkan kerjasama antara Indonesia dan Malaysia dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan.
Kondisi ekonomi wilayah mempunyai keunggulan dan mendukung pengembangan perikanan tangkap. Namun demikian aspek infrastruktur yang relatif terbatas menjadikan kendala dalam pengembangan perikanan tangkap.
@Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulisan ini tanpa mencatumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
PERBATASAN INDONESIA-MALAYSIA
IIN SOLIHIN
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc
Dr. Ir. M. Imron, M.Si
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Bustami Mahyudin, MM
Indonesia-Malaysia
Nama : Iin Solihin
NIM : C461060051
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si Ketua
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si
Anggota Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret-April 2009 dan Januari 2010 ini adalah pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Nunukan yang merupakan perbatasan Indonesia dengan Malaysia.
Beberapa bab dalam tulisan ini telah dan sedang diajukan terbit pada jurnal ilmiah. Bab 4 mengenai pengembangan pemasaran hasil tangkapan diajukan pada Internasional Fisheries Research Jurnal yang diterbitkan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap Badan Riset Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Bab 5 mengenai pengembangan produksi perikanan tangkap telah diterbitkan pada Buletin PSP yang diterbitkan oleh Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.
Keberhasilan penyelesaian disertasi ini tidak terlepas dari bantuan dan kontribusi berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si, Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc dan Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si selaku dosen pembimbing, Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro dan Dr. Ir. M. Imron selaku penguji pada ujian tertutup, Dr. Ir. Bustami Mahyudin, MM dan Dr. Ir. Triwiji Nurani, M.Si selaku penguji pada ujian terbuka, Ir. Bambang Sutejo dan Dr. Aji Sularso yang berkenan menjadi narasumber untuk penelitian ini. Kepada Pimpinan dan staf Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Nunukan, Pimpinan dan staf Bappeda Kab. Nunukan, Pengelola PPI Sebatik, penulis juga mengucapkan terima kasih atas bantuannya selama penelitian di lapangan. Ucapan terima juga disampaikan kepada Ditjen Pendidikan Tinggi yang telah memberikan bantuan beasiswa BPPS sekaligus bantuan penelitian doktor, Pimpinan IPB, FPIK dan Departemen PSP yang telah memberikan dorongan untuk menyelesaikan disertasi ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tiada terhingga juga disampaikan kepada bapak, ibu,ibu mertua, istri dan anak-anak tercinta yang rela berbagi perhatian, waktu, tenaga, pikiran dan materi demi terselesaikan studi ini. Teman sejawat di Departemen PSP yang juga memberikan dorongan dan suasana kekeluargaan sehingga penulis merasa betah bekerja, sdri Yuningsih dan sdri Dini yang telah memberikan bantuan pencarian pustaka dan pengurusan admistrasi, dan sdr. Yeyen Kurniawan atas bantuan dalam suka dan dukanya.
Semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang perikanan tangkap.
Penulis dilahirkan di Kabupaten Kuningan Jawa Barat pada tanggal 10
Desember 1970 dari ayah bernama Saleh Hidayat dan ibu bernama Arnesah dan
merupakan putra pertama dari dua bersaudara. Menikah dengan Yanti pada tahun
1996 dan dikaruniai 3 orang anak : Zulfahmi, Nabila Nurul Habibah dan
Muhammad Naufal An Nabhani.
Pendidikan dasar dan menengah diselesaikan di kota kelahiran pada
rentang waktu 1977-1989. Pada tahun 1989, penulis diterima di Institut Pertanian
Bogor jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Sesaat setelah lulus pada
tahun 1994, penulis bekerja di perusahaan swasta perikanan sampai akhirnya pada
tahun 1997 diterima sebagai dosen di Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan IPB. Penulis kemudian melanjutkan studi S2 dan lulus pada tahun
2003 dari Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan
Perdesaan Program Pascasarjana IPB dan penulis kembali meneruskan pendidikan
jenjang S3 pada Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB
yang lulus pada tahun 2012.
Selama ini penulis sering melakukan kajian-kajian mengenai perikanan
tangkap khususnya kajian pembangunan dan manajemen pelabuhan perikanan dan
pembangunan wilayah. Sebagian besar lokasi yang menjadi sentra perikanan
tangkap pernah menjadi obyek penelitian dan kajian diantaranya adalah Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bengkulu,
Pulau Jawa, Bali, Kalimantan Timur, Gorontalo, Sulawesi Tengah dan lain-lain.
Sedangkan penelitian tentang kajian pengembangan perikanan tangkap di wilayah
perbatasan pernah dilakukan di Kota Sabang Nanggroe Aceh Darussalam,
Kabupaten Kepulauan Riau dan Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur.
Disamping sebagai dosen, penulis juga diberi amanah untuk menangani
Pengembangan Karir Mahasiswa di Direktorat Pengembangan Karir dan
Hubungan Alumni Institut Pertanian Bogor yang sebelumnya bernama Kantor
Jasa Ketenagakerjaan dan Pusat Jasa Ketenagakerjaan sejak tahun 1999 sampai
CPUE : Catch per unit of effort, adalah jumlah atau bobot hasil tangkapan yang diperoleh dari satu satuan alat tangkap dalam kurun waktu tertentu, yang merupakan indeks kelimpahan (abundance) suatu stok ikan.
Ikan : Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.
Interaksi sosial : Suatu fondasi dari hubungan yang berupa tindakan yang berdasarkan norma dan nilai sosial yang berlaku dan diterapkan di dalam masyarakat.
Dengan adanya nilai dan norma yang
berlaku,interaksi sosial itu sendiri dapat berlangsung dengan baik jika aturan - aturan dan nilai – nilai yang ada dapat dilakukan dengan baik.
Jaminan atau agunan : Aset pihak peminjam yang dijanjikan kepada
pemberi pinjaman jika peminjam tidak dapat mengembalikan pinjaman tersebut. Jika peminjam gagal bayar, pihak pemberi pinjaman dapat memiliki agunan tersebut. Dalam pemeringkatan kredit, jaminan sering menjadi faktor penting untuk meningkatkan nilai kredit perseorangan ataupun perusahaan.
Infrastruktur : Kebutuhan dasar fisik pengorganisasian sistem
struktur yang diperlukan untuk jaminan ekonomi sektor publik dan sektor privat sebagai layanan dan fasilitas yang diperlukan agar perekonomian dapat berfungsi dengan baik
Kapal Perikanan : Kapal, perahu atau alat apung lain yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan dan penelitian/eksplorasi perikanan.
Kebijakan : Rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman
bagi individu atau anggota masyarakat.
Komoditas Ikan Unggulan : Jenis-jenis ikan yang menjadi andalan dari suatu wilayah baik yang dilihat dari produksi, nilai jual, ketersediaannya.
Konflik : Suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa
juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Lingkungan strategis : kondisi eksternal suatu sistem yang sangat
berpengaruh terhadap kinerja sistem tersebut
Perikanan : Semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
Penangkapan ikan : Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang
tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
Pelabuhan perikanan : Tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.
Pemasaran : Proses penyusunan komunikasi terpadu yang
bertujuan untuk memberikan informasi mengenai
barang atau jasa dalam kaitannya dengan
memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia.
Pembangunan berkelanjutan :Proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip "memenuhi
kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan
pemenuhan kebutuhan generasi masa depan
Pengelolaan perikanan : Semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati
Produktifitas alat tangkap: Jumlah tangkapan ikan yang dihasilkan oleh suatu unit alat penangkapan dalam satuan waktu tertentu seperti trip, hari, bulan atau tahun.
Produktifitas nelayan : Jumlah tangkapan yang diperoleh setiap nelayan dalam suatu satuan waktu atau alat tangkap tertentu.
Rekayasa sosial : Campur tangan sebuah gerakan ilmiah dari visi ideal
tertentu yang ditujukan untuk mempengaruhi perubahan sosial.
Sistem : Gugus atau kumpulan dari komponen yang saling
berinteraksi dan terorganisasi dalam rangka
mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu
Strategi : Rencana yg cermat mengenai kegiatan untuk
mencapai sasaran khusus
Sumber daya ikan : Potensi semua jenis ikan
SWOT : Metode perencanaan strategis yang digunakan untuk
mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam suatu proyek atau suatu spekulasi bisnis. Keempat faktor itulah yang membentuk
akronim SWOT (strengths, weaknesses,
opportunities, dan threats).
Manajemen : Sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efisien
Model : Rencana, representasi, atau deskripsi yang
menjelaskan suatu objek, sistem, atau konsep, yang seringkali berupa penyederhanaan atau idealisasi. Bentuknya dapat berupa model fisik (maket, bentuk prototipe), model citra (gambar rancangan, citra komputer), atau rumusan matematis.
Nelayan : Orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan.
Wilayah perbatasan : Daerah atau jalur pemisah antara unit-unit politik (negara).
WPP : Wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan
ikan, pembudidayaan ikan, konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif Indonesia.
ZEEI : Jalur di luar dan berbatasan dengan laut teritorial
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... ii DAFTAR TABEL ... v DAFTAR GAMBAR ... vii DAFTAR LAMPIRAN ... ix
1 PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 3 1.3 Tujuan Penelitian ... 4 1.4 Manfaat Penelitian ... 5 1.5 Kerangka Penelitian ... 5 1.5.1 Pengembangan produksi perikanan tangkap ... 5 1.5.2 Pengembangan pemasaran hasil tangkapan ... 7 1.5.3 Kelembagaan pengelolaan ... 8 1.5.4 Pengembangan lingkungan strategis ... 8
2 TINJAUAN PUSTAKA ... 10 2.1 Perikanan Tangkap ... 10 2.1.1 Komponen sistem perikanan tangkap ... 10 2.1.2 Pengelolaan perikanan tangkap di wilayah perbatasan ... 14 2.1.3 Konflik pengelolaan sumberdaya perikanan dan
penyelesaiannya ... 17 2.1.4 Potensi sumberdaya ikan ... 21 2.2 Konsepsi Pembangunan Wilayah ... 22 2.2.1 Pengertian pembangunan wilayah ... 22 2.2.2 Interaksi antar wilayah ... 25 2.2.3 Tantangan dan kendala pembangunan wilayah perbatasan ... 27 2.3 Sistem dan Pemodelan ... 31
3 METODOLOGI ... 34 3.1 Lokasi Penelitian ... 34 3.2 Pengumpulan Data ... 34 3.3 Pengolahan dan Analisis Data ... 34 3.3.1 Analisis pengembangan pasar ... 34 3.3.2 Analisis pengembangan produksi penangkapan ... 37 3.3.3 Analisis pengembangan kelembagaan pengelolaan ... 40 3.3.4 Analisis lingkungan strategis ... 42 3.3.5 Penyusunan strategi pengembangan perikanan tangkap di
4 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 44 4.1 Letak Geografi dan Topografi ... 44 4.2 Kependudukan ... 47 4.3 Ketenagakerjaan ... 50 4.4 Kebijakan Pembangunan Daerah ... 53
5 PENGEMBANGAN PEMASARAN HASIL TANGKAPAN ... 57
5.1 Pola Distribusi Hasil Tangkapan ... 57 5.2 Pola Hubungan Sosial Masyarakat Nelayan ... 58 5.3 Pembahasan ... 62
6 PENGEMBANGAN PRODUKSI HASIL TANGKAPAN ... 69
6.1 Ketersediaan Sumberdaya Ikan ... 69 6.2 Komoditas Ikan Unggulan ... 73 6.3 Tingkat Teknologi Penangkapan Ikan ... 74 6.4 Praktek IUU Fishing ... 78 6.5 Infrastruktur Pelabuhan Perikanan ... 82 6.6 Industri Pengolahan Hasil Tangkapan ... 88 6.7 Sumberdaya Manusia Perikanan Tangkap ... 89 6.8 Pembahasan ... 90
7 PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN
PERIKANAN TANGKAP DI PERBATASAN ... 96 7.1 Kajian Peraturan dan Kebijakan Pengelolaan ... 96 7.2 Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan ... 107
8 PENGEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS PENGELOLAAN
9 STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI
KABUPATEN NUNUKAN ... 141 9.1 Gambaran Masalah Pengembangan Perikanan Tangkap ... 142 9.2 Identifikasi Solusi Atas Isu ... 142 9.3 Model Konseptual Pengembangan Perikanan Tangkap ... 144 9.3.1 Sub sistem produksi dan nilai tambah ... 144 9.3.2 Sub sistem pemasaran hasil tangkapan dan hubungan sosial ... 147 9.3.3 Sub sistem kelembagaan pengelolaan ... 149 9.3.4 Sub sistem pengembangan lingkungan strategis ... 151 9.3.5 Integrasi model ... 153 9.4 Perbandingan Model Konseptual dan Dunia Nyata ... 154 9.5 Langkah Perubahan dan Pilihan Strategi ... 157
10 KESIMPULAN DAN SARAN ... 166 10.1 Kesimpulan ... 166 10.2 Saran ... 167
DAFTAR PUSTAKA ... 168
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Batas laut, status hukum dan pemanfaatan sumberdaya alam ... 16
2 Data yang dibutuhkan ... 36
3 Kriteria analisis isi peraturan pengelolaan perikanan tangkap ... 41
4 Matrix analysis fungsi dan kewenangan pengelolaan ... 41 5 Nama Kecamatan di Kabupaten Nunukan dan luas wilayahnya ... 46
6 Nama Pulau di Kabupaten Nunukan dan luasannya ... 47
7 Jumlah dan kepadatan penduduk tahun 2000-2009 ... 48
8 Jumlah dan kepadatan penduduk tiap kecamatan tahun 2009 ... 49
9 Perkembangan jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan rasionya ... 49
10 Jumlah penduduk tiap kecamatan menurut jenis kelamin dan rasio jenis kelamin 2009 ... 50
11 Persentase penduduk berumur 15 tahun keatas menurut kegiatan utama
2003 – 2009 (%) ... 50 12 Persentase penduduk usia kerja menurut kegiatan utama tahun 2009 ... 51
13 TPAK, TPT dan TKK menurut jenis kelamin tahun 2006-2009 ... 52
14 Indikator Ketenagakerjaan Kabupaten Nunukan Tahun 2006-2009 ... 53
15 Harga ikan di tingkat nelayan Nunukan, pedagang pengumpul dan Pasar
Tawau ... 61 16 Margin Harga di tingkat nelayan, pedagang pengumpul
dan Pasar Tawau ... 62
17 Hasil tangkapan per upaya penangkapan ikan tahun 2005-2010 ... 72
18 Komoditas unggulan berdasarkan perhitungan skoring ... 74
19 Perkembangan jumlah alat tangkap di Kabupaten Nunukan tahun 2005-2010 ... 76
20 Trip penangkapan ikan berdasarkan alat tangkap ... 77
21 Produktifitas alat tangkap per trip penangkapan ... 77
22 Asal dan jenis kapal asing yang tertangkap di Perairan Nunukan
Kalimantan Timur ... 79 23 Perkembangan penangkapan ikan illegal di Perairan Nunukan ... 80
24 Permasalahan pengawasan kapal ikan ... 81
25 Tugas pokok dan fungsi instansi terkait penanganan
27 Jumlah pemilik usaha pengolahan tahun 2010 ... 88
28 Perkembangan jumlah nelayan dan produktifitas penangkapannya ... 90
29 Aspek pengawasan praktek IUU Fishing ... 93
30 Hasil analisis isi peraturan perikanan ... 106
31 Pengelompokkan tujuan pengelolaan perikanan ... 110
32 Tujuan yang ingin dicapai dan aturan tambahan... 111
33 Kegiatan dan fungsi kelembagaan ... 112
34 Distribusi PDRB Atas Dasar Harga Konstan menurut lapangan usaha tahun 2003 – 2007 ... 114 35 PDRB perkapita Kab. Nunukan 2005-2009 ... 115
36 Hasil analisis shiftshare berdasarkan PDRB Kab. Nunukan ... 117
37 Jumlah pelintas batas Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Malaysia
tahun 2007-2009 ... 119
38 Banyaknya kedatangan warga negara asing menurut negara asala tahun
2007-2009 ... 120
39 Panjang jalan kabupaten menurut jenis tahun 2009 ... 122
40 Kondisi jalan kabupaten tahun 2007-2009 ... 123
41 Jumlah desa yang telah dialiri listrik tahun 2009 ... 123
42 Kewenangan pemerintah dalam pengelolaan wilayah perbatasan ... 126
43 Hasil analisis elemen yang diinginkan di masa yang akan dating ... 144
44 Pelaksanaan fungsi pelabuhan perikanan di Nunukan ... 145
45 Perbandingan model konseptual dengan dunia nyata pada sub sistem
peningkatan produktifitas dan nilai tambah ... 155
46 Perbandingan model konseptual dengan dunia nyata pada sub sistem
pemasaran dan hubungan sosial ... 155
47 Perbandingan model konseptual dengan dunia nyata pada sub sistem
kelembagaan pengelolaan ... 156
48 Perbandingan model konseptual dengan dunia nyata pada sub sistem
lingkungan strategis ... 156
49 Pilihan skenario pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pemikiran penelitian ... 9
2 Kompleksitas sistem perikanan ... 14
3 Evolusi pemikiran pembangunan ... 23
4 Segitiga perdagangan yang dinikmati negara sendiri (Kiri) dan negara lain (Kanan) (Caves and Jones, 1981 dalam Nugroho dan Dahuri, 2004) 26 5 Peta lokasi penelitian ... 35
6 Alur analisis kelembagaan ... 42
7 Langkah langkah soft system methodology... 43
8 Peta Kabupaten Nunukan ... 45
9 Pola distribusi hasil tangkapan ikan dari Kabupaten Nunukan ... 58
10 Pembagian Tauke Tawau ... 60
11 Wilayah pengelolaan perikanan (Permen KP. 01/2009)... 69 12 Produksi penangkapan ikan di WPP RI 716 tahun 2008 ... 70 13 Produksi perikanan laut Kab. Nunukan tahun 2005-2009 ... 71 14 Nilai produksi perikanan laut Kab. Nunukan tahun 2005-2010 ... 72
15 Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan di Kabupaten Nunukan
tahun 2005-2009 ... 75
16 Sebaran armada penangkapan ikan di Kabupaten Nunukan Tahun 2020 . 75
17 Sebaran pelabuhan perikanan di Kalimantan Timur ... 86 18 Perkembangn jumlah RTP perikanan laut tahun 2001-2010 ... 89
19 Perkembangan PDRB atas dasar harga konstan Kab. Nunukan tahun
2005-2009 ... 113 20 Komposisi PDRB Kab. Nunukan atas dasar harga konstan per sektor
tahun 2009 ... 114 21 Pertumbuhan PDRB perkapita ... 116 22 Arus lalu lintas penumpang angkutan laut luar negeri tahun 2004-2009 .. 119 23 Arus bongkar muat barang menurut tujuan dalam negeri tahun
2004-2009 ... 121 24 Arus bongkar muat barang menurut tujuan luar negeri tahun 2004-2009 . 122 25 Penggambaran permasalahan pengembangan perikanan tangkap ... 143
26 Model konseptual bagi produksi dan nilai tambah pada pengembangan
perikanan tangkap di Nunukan ... 146
27 Model konseptual bagi pemasaran dan hubungan sosial pada
28 Model konseptual bagi pengelolaan pada pengembangan perikanan tangkap di Nunukan ... 151
29 Model konseptual bagi lingkungan strategis pada pengembangan perikanan
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Produksi perikanan laut Kabupaten Nunukan berdasarkan jenis ikan ... 173 2. Nilai produksi/produksi hasil tangkapan berdasarkan jenis ikan ... 175 3. Perhitungan skoring komoditas unggulan ... 177 4. Struktur organisasi Badan Pengelola Kawasan Perbatasan ... 179 5. Struktur organisasi Biro Perbatasan, Penataan Wilayah dan Kerjasama 180
6. Peraturan menteri Kelautan dan Perikanan No 6 Tahun 2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara... 181 7. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
Per.14/Men/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.06/Men/2008 tentang
1.1 Latar Belakang
Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar
kelompok masyarakat dan wilayah. Namun demikian sampai saat ini
kesejahteraan masih belum dapat sepenuhnya dirasakan oleh sebagian besar
masyarakat. Disamping itu, seiring dengan pembangunan ekonomi yang semakin
berorientasi kepada mekanisme pasar serta adanya pergeseran struktur
perekonomian, ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia merupakan
hal yang sulit dihindari. Kesenjangan antar daerah terjadi terutama antara
perdesaan dan perkotaan, antara Jawa dan luar Jawa, antara Kawasan Barat
Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia serta antara kawasan hinterland dengan kawasan perbatasan. Berbagai bentuk kesenjangan yang timbul meliputi
kesenjangan tingkat kesejahteraan ekonomi maupun sosial. Kesenjangan yang ada
juga diperburuk oleh faktor tidak meratanya potensi sumber daya terutama sumber
daya manusia dan sumber daya alam antara daerah yang satu dengan yang lain,
serta kebjakan pemerintah yang selama ini terlalu sentralistis baik dalam proses
perencanaan maupun pengambilan keputusan.
Salah satu ketimpangan pembangunan adalah antara wilayah-wilayah
terluar yang merupakan perbatasan dengan negara-negara tetangga dengan
wilayah-wilayah dalam. Kondisi sebagian besar wilayah terluar masih sangat jauh
dari memadai dibandingkan dengan wilayah lainnya. Permasalahan utama dari
ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan ini adalah arah kebijakan
pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi ’inward
looking’ sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan negara. Akibatnya, wilayah-wilayah perbatasan
dianggap bukan merupakan wilayah prioritas pembangunan oleh pemerintah pusat
maupun daerah. Sementara itu pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia sulit
berkembang terutama karena lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau.
Diantaranya banyak yang tidak berpenghuni atau sangat sedikit jumlah
Hal ini tentu menjadi sangat krusial mengingat besarnya tekanan-tekanan
dari negara lain terhadap wilayah terluar ini berupa tekanan-tekanan politik,
ekonomi, sosial dan budaya. Masyarakat pada wilayah-wilayah tertentu bahkan
lebih mengenal dan berinteraksi dengan masyarakat negara tetangga daripada
dengan masyarakat Indonesia sendiri. Apabila hal tersebut dibiarkan bukan tidak
mungkin akan mengancam integritas Indonesia sebagai suatu negara dan bangsa.
Beberapa kasus sengketa perbatasan menunjukkan betapa kerugian yang cukup
besar dialami Indonesia karena kehilangan wilayah-wilayah perbatasan ini seperti
lepasnya Sipadan dan Ligitan.
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun
2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar terdapat 92 pulau terluar.
Potensi sumberdaya alam yang dimiliki sebagian besar wilayah terluar Indonesia
tersebut adalah sumberdaya kelautan dan perikanan. Hal ini dapat dipahami
mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan dimana aspek kelautan
menjadi sangat dominan. sektor perikanan dan kelautan sangat menungkinkan
menjadi basis dan andalan pengembangan ekonomi wilayah perbatasan tersebut.
Namun demikian, dalam kenyataannya wilayah-wilayah perbatasan
dengan basis perikanan belum banyak berkembang. Terbatasnya akses dari dan ke
wilayah tersebut menyebabkan aktifitas perekonomian dan pembangunan pada
umumnya belum optimal dilaksanakan. Di sisi lain akses dari wilayah tersebut ke
negara tetangga relatif lebih baik. Hal ini menyebabkan interaksi antara
masyarakat Indonesia di wilayah terluar tersebut dengan masyarakat negara
tetangga lebih intensif dibandingkan dengan masyarakat lain di dalam wilayah
Indonesia.
Di masa lalu, pembangunan di wilayah terluar ini lebih ditekankan pada
pendekatan keamanan semata dan kurang memperhatikan pengintegrasian dengan
aspek lainnya. Namun demikian ternyata pendekatan ini mempunyai kelemahan
dimana wilayah yang harus diawasi relatif luas sementara jumlah SDM dan
peralatan militer relatif terbatas. Oleh karena itu perlu pendekatan pembangunan
lain dalam mengawasi wilayah-wilayah terluar tersebut. Satu faktor yang relatif
terlupakan di masa yang lalu adalah peran masyarakat setempat dalam menjaga
depan negara atau pintu gerbang negara‖ ini. Inti dari segala kebijakan pembangunan di daerah perbatasan adalah menyejahterakan hidup masyarakat
lokal. Manifestasi dari cita-cita ideal ini harus tercermin dalam berbagai program
pembangunan daerah, yang disesuaikan dengan potensi lokal, sebab diskursus
tentang isu daerah perbatasan selalu terpaut dengan ―pendekatan keamanaan‖. Konsekuensi dari pendekatan keamanan yang ditonjolkan pada rezim
pemerintahan di masa lalu telah berdampak pada dinegasikannya peningkatan
mutu hidup masyarakat di garis terdepan negara, sebagai ujung tombak
pertahanan negara itu sendiri.
Pendekatan tersebut seyogyanya diubah dengan tidak hanya melalui
pendekatan keamanan tetapi lebih dipentingkan melalui pendekatan-pendekatan
eknomi dan sosial yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
di perbatasan. Oleh karena itu, program/kegiatan-kegiatan yang mengarah pada
pembangkitan aktifitas perekonomian perlu didorong dan dikembangkan di
wilayah terluar ini. Fokus terhadap pembangunan prasarana fisik seperti jalan,
pasar dan fasilitas umum lainnya, harus diikuti dengan pembangunan manusia
yang mampu mengenal dan memanfaatkan potensi lokal untuk perbaikan mutu
hidup mereka. Pada wilayah yang mempunyai potensi sumberdaya perikanan
yang besar, maka aktifitas perekonomian yang berbasis perikanan menjadi hal
yang strategis untuk dilakukan.
1.2 Perumusan Masalah
Perairan Propinsi Kalimantan Timur termasuk Kabupaten Nunukan masih
mempunyai potensi sumberdaya perikanan laut yang relatif besar. Perairan ini
termasuk ke dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI 716 yaitu Laut
Sulawesi. Potensi sumberdaya ikan di perairan ini terutama ikan pelagis kecil,
pelagis besar dan ikan demersal. Namun demikian dalam kenyataannya,
pengusahaan perikanan laut belum sepenuhnya memberikan dampak yang
signifikan terhadap peningkatan produksi perikanan, pengembangan industri,
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Pengelolaan dan pengembangan perikanan tangkap di wilayah ini
pengelolaan perikanan tangkap itu sendiri dan posisi geografis Kabupaten
Nunukan yang berbatasan dengan negara lain yaitu Malaysia yang berimplikasi
pada kondisi sosial dan politik wilayah Nunukan. Permasalahan-permasalahan
perikanan tangkap di wilayah perbatasan dapat dikelompokkan ke dalam :
1. Bagaimana kondisi pemasaran hasil tangkapan yang berjalan selama ini?
Apakah pola pemasaran tersebut telah memberikan keberpihakan kepada
nelayan Nunukan untuk mendapatkan keuntungan yang memadai?
2. Bagaimana kondisi pengusahaan penangkapan ikan yang dilakukan oleh
nelayan? Bagaimana kondisi sumberdaya ikan, unit penangkapan,
infrastruktur pelabuhan perikanan dan sumberdaya manusia perikanan
dalam memberikan kontribusi terhadap peningkatan produksi penangkapan
ikan?
3. Apakah kelembagaan pengelolaan perikanan tangkap yang ada mampu
berjalan secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pengelolaan
perikanan tangkap?
4. Faktor apa saja di luar perikanan tangkap yang menjadi lingkungan strategis
dan dapat mempengaruhi kinerja perikanan tangkap?
5. Strategi apa yang perlu dilakukan dalam mengembangkan perikanan
tangkap di wilayah perbatasan.
Mengatasi permasalahan tersebut, perlu ada strategi yang menyeluruh
dengan memperhatikan faktor-faktor penentu keberhasilan pengembangan
perikanan tangkap di perbatasan. Mengingat karakteristik fisik dan masyarakat
yang relatif unik dibandingkan dengan wilayah lain non perbatasan, maka strategi
pengembangan perikanan tangkap perlu mengelaborasikan antara elemen-elemen
perikanan tangkap dan elemen-elemen wilayah perbatasan.
1.3 Tujuan Penelitian
1. Menganalisis pengembangan pemasaran hasil tangkapan ikan
2. Menganalisis pengembangan produksi penangkapan ikan
3. Menganalisis pengembangan kelembagaan pengelolaan perikanan tangkap
4. Menganalisis pengembangan lingkungan strategis pengembangan perikanan
5. Merumuskan strategi pengembangan perikanan tangkap di wilayah
perbatasan
1.4 Manfaat Penelitian
Secara umum penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan terutama bidang pengelolaan perikanan tangkap. Secara khusus
penelitian ini bermanfaat sebagai masukan bagi pengelolaan dan pengembangan
perikanan tangkap di wilayah perbatasan terutama wilayah Nunukan Kalimantan
Timur.
1.5 Kerangka Pikir Penelitian
Pembangunan perikanan tangkap di wilayah perbatasan mempunyai nilai
strategis yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena sebagian besar wilayah
perbatasan Indonesia dengan negara lain berupa perairan laut dimana sumberdaya
yang cukup dominan di wilayah tersebut adalah perikanan tangkap.
Pengembangan perikanan tangkap di wilayah perbatasan ini perlu memperhatikan
empat komponen utama yaitu pengembangan produksi perikanan tangkap,
pengembangan pemasaran hasil tangkapan, kelembagaan pengelolaan dan
pengembangan lingkungan strategis.
1.5.1 Pengembangan produksi perikanan tangkap
Undang-undang no 31 tahun 2004 menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan
yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun termasuk
kegiatan dengan menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan,
menangani, mengolah dan atau mengawetkannya. Upaya pengembangan
penangkapan sangat terkait dengan ketersediaan sumberdaya ikan yang ada di
perairan tersebut. Dalam konteks penangkapan sebagai suatu bisnis, tentu tidak
sembarang ikan yang akan ditangkap tetapi terutama ikan-ikan yang mempunyai
mempunyai nilai jual yang tinggi dan tersedia dalam jumlah yang memadai untuk
diusahakan. Oleh karena itu, identifikasi komoditas unggulan menjadi sangat
Tingkat teknologi penangkapan seharusnya juga menjadi bahan
pertimbangan dalam upaya meningkatkan produksi penangkapan ikan. Teknologi
penangkapan akan berpengaruh terhadap efisiensi dan efektifitas penangkapan
yang dilakukan. Efisiensi mengacu pada penggunaan sumberdaya yang lebih
kecil untuk mendapatkan hasil yang sama atau bahkan lebih besar seperti
penggunaan modal, sarana penangkapan dan penggunaan sumberdaya manusia.
Sedang efektifitas mengacu pada besaran hasil tangkapan yang dapat diperoleh
dengan menggunakan alat tangkap tertentu. Penggunaan alat tangkap tertentu
dapat dipengaruhi oleh karakteristik sumberdaya ikan yang menjadi target
penangkapan, karakteristik daerah penangkapan, jumlah hasil tangkapan yang
ingin ditangkap, ketersediaan modal pendukung dan adanya permintaan pasar
terhadap komoditas ikan tertentu.
Praktek penangkapan ikan illegal (Illegal, Unreported, Unregulated
Fishing) menjadi permasalahan penting dalam penanganan perikanan tangkap di wilayah-wilayah perbatasan. Adanya praktek penangkapan seperti ini tidak hanya
merugikan secara ekonomi maupun finansial, terlebih lagi akan memberikan
ketidakpastian jumlah potensi sumberdaya ikan yang dimiliki. Pada gilirannya hal
ini akan menyebabkan terjadinya bias dalam pengambilan kebijakan pengelolaan
sumberdaya ikan yang ada.
Infrastruktur pelabuhan perikanan merupakan bagian dari sistem perikanan
tangkap. Perannya sangat besar sebagai fishing base dan market base bagi hasil
tangkapan yang didaratkan. Sebagai fishing base, pelabuhan perikanan berperan
dalam penyediaan bahan perbekalan melaut (es, air, BBM, dll). Sedangkan
sebagai market base, pelabuhan perikanan merupakan rantai terpenting dalam pendistribusian hasil tangkapan ke wilayah-wilayah pemasaran. UU no 45 tahun
2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang
Perikanan menyatakan bahwa Pelabuhan Perikanan mempunyai fungsi
pemerintahan dan pengusahaan guna mendukung kegiatan yang berhubungan
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai
dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran. Fungsi-fungsi
tersebut berupa pelayanan tambat dan labuh kapal perikanan, pelayanan bongkar
distribusi ikan, pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan, tempat
pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan, pelaksanaan
kegiatan operasional kapal perikanan, tempat pelaksanaan pengawasan dan
pengendalian sumber daya ikan, pelaksanaan kesyahbandaran, tempat pelaksanaan
fungsi karantina ikan, publikasi hasil pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan
dan kapal pengawas kapal perikanan, tempat publikasi hasil riset kelautan dan
perikanan, pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari dan/atau pengendalian
lingkungan.
1.5.2 Pengembangan pemasaran hasil tangkapan
Pemasaran dapat diartikan sebagai suatu proses untuk menciptakan nilai
ekonomi suatu barang. Kotler, 2007 mengatakan bahwa pemasaran merupakan
suatu proses sosial dan manajerial yang didalamnya individu dan kelompok
mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan,
menawarkan, dan mempertukarkan produk yang bernilai kepada pihak lain.
Pemasaran menjadi penghubung antara produsen dan konsumen.
Hasil tangkapan ikan tidak mempunyai nilai ekonomi sampai
didistribusikan dan dipasarkan kepada konsumen. Aspek pemasaran ini sangat
penting dalam pengembangan perikanan tangkap. Hal ini terkait dengan
karakteristik sumberdaya ikan yang relatif cepat mengalami penurunan mutu .
Oleh karena itu hasil tangkapan ini harus segera dipasarkan kepada konsumen
untuk dikonsumsi atau menjadi bahan baku industri pengolahan. Disamping itu,
pemasaran memainkan peranan yang besar dalam upaya meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan para pelakunya terutama nelayan. Hasil tangkapan
yang dipasarkan dengan baik akan memberikan keuntungan yang besar kepada
nelayan yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
mereka.
Namun demikian dalam pelaksanaannya pemasaran hasil tangkapan relatif
kompleks terlebih lagi pemasaran hasil tangkapan di wilayah perbatasan.
Kompleksitas tersebut pertama berkaitan dengan daerah pemasaran yang tidak
hanya pemasaran antar daerah di dalam negeri, tetapi yang lebih memungkinkan
adalah pemasaran luar negeri dengan pelaku usaha negara tetangga. Kedua,
nelayan relatif tidak mempunyai kemampuan finansial yang memadai untuk usaha
penangkapannya. Oleh karena itu, untuk mengatasi persoalan tersebut, nelayan
meminta bantuan permodalan kepada pihak lain yaitu para pemilik modal. Dalam
kenyataannya, para nelayan ini tidak mempunyai sumberdaya yang dapat
meningkatkan kemampuan tawar mereka dengan para pemilik modal. Akibatnya,
usaha penangkapan nelayan sepenuhnya mengikuti pola/kebijakan dari para
pemilik modal. Pola-pola interaksi inilah yang perlu diungkap untuk selanjutnya
dilakukan intervensi kebijakan apabila terjadi ketidakadilan dalam hubungan
tersebut.
1.5.3 Kelembagaan pengelolaan
Kelembagaan adalah suatu aturan yang dikenal atau diikuti secara baik
oleh anggota masyarakat, yang memberi naungan (liberty) dan meminimalkan
hambatan (constraints) bagi individu atau anggota masyarakat. Kelembagaan
kadang ditulis secara formal dan ditegakkan oleh aparat pemerintah, tetapi
kelembagaan juga tidak ditulis secara formal seperti aturan adat dan norma yang
dianut masyarakat. Kelembagaan itu umumnya dapat diprediksi dan cukup stabil
serta dapat diaplikasikan pada situasi berulang (Wiratno dan Tarigan, 2002 dalam
Yopulalan, 2009). Aspek kelembagaan ini terkait dua unsur yaitu tata
aturan/peraturan yang menjadi landasan pengelolaan dan organisasi pengelola
yang melaksanakan pengelolaan
Kompleksitas pengelolaan perikanan tangkap terkait dengan lingkup
pengelolaan yang tidak hanya dilakukan oleh lembaga-lembaga yang terkait
langsung dengan perikanan tangkap (Kementerian Kelautan dan Perikanan atau
Dinas Perikanan dan Kelautan) tetapi juga instansi pemerintah lainnya. Hal ini
berimplikasi pada adanya permasalahan sinkronisasi aturan dan kegiatan dan
koordinasi antar lembaga terkait.
1.5.4 Pengembangan lingkungan strategis
Pengembangan perikanan tangkap di suatu daerah merupakan bagian dari
pengembangan perekonomian wilayah secara keseluruhan. Keberhasilan
perikanan tangkap juga sangat dipengaruhi oleh peran dan keterkaitannya dengan
tersebut terkait dengan kondisi makro ekonomi wilayah secara keseluruhan,
infrastruktur wilayah, kondisi masyarakat, aksesibilitas wilayah dan kebijakan
pengelolaan wilayah perbatasan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, kerangka pemikiran penelitian dapat
diskemakan seperti terlihat pada Gambar 1.
Ketersediaan Sumberdaya Ikan
Komoditas Unggulan
Teknologi Penangkapan Ikan
Penanganan IUU Fishing
Infrastruktur Pelabuhan Perikanan
Tata Aturan dan Kebijakan Pengelolaan
Organisasi Pengelola
Infrastruktur Perbatasan
Kebijakan Perbatasan Pola Distribusi Hasil
Tangkapan
Pola Interaksi Sosial
Pengembangan Produksi Penangkapan Ikan
Pengembangan Pemasaran Hasil
Tangkapan
Kelembagaan Pengelolaan
Pengembangan Lingkungan
Strategis
Pengembangan Perikanan Tangkap di
Wilayah Perbatasan
2.1 Perikanan Tangkap
2.1.1 Komponen sistem perikanan tangkap
Charles (2001) membagi sistem perikanan kedalam tiga subsistem utama
yaitu sistem alam (natural system), sistem manusia (human system) dan sistem
pengelolaan (management system). Masing-masing sub sistem tersebut terdiri
atas berbagai macam komponen pendukung yang demikian kompleks.
Sistem Manusia
Karakteristik masyarakat nelayan dan usahanya sangat berbeda dengan
masyarakat pedesaan lainnya dimana corak mata pencahariannya pertanian.
Pollnac (1988) mengatakan karakteristik tersebut adalah bahwa para petani
menghadapi situasi ekologis yang relatif dapat dikontrol sedangkan nelayan
menghadapi situasi ekologis yang sulit dikontrol yang diakibatkan oleh sifat
sumberdaya ikan yang berpindah-pindah dan berada di dalam perairan sehingga
menyulitkan untuk diketahui dan dipantau.
Resiko usaha yang besar dimana faktor kondisi alam sangat menentukan
keberhasilan usaha penangkapan. Kondisi alam yang dimaksud adalah keadaan
gelombang, hujan, badai dan lain-lain dimana pada kondisi yang ekstrim akan
dapat melenyapkan unit penangkapan yang digunakan. Sistem usaha yang bersifat
musiman, tergantung dari keberadaan ikan di perairan dan kondisi cuaca yang ada.
Dengan kondisi seperti itu, maka nelayan tidak dapat melaut sepanjang tahun.
Pada saat tidak melaut dengan sendirinya mereka tidak mempunyai pendapatan
dari usaha penangkapan yang mungkin saja merupakan mata pencaharian
satu-satunya.
Nelayan terbiasa dengan kehidupan di laut yang keras sehingga mereka
umunya bersikap keras, tegas dan terbuka. Kondisi kerja di laut yang keras
membentuk sikap kerjasama dan saling ketergantungan yang kuat diantara
nelayan yang melakukan penangkapan. Adanya spesialisasi peran dari setiap
awak dan kondisi fisik lingkungan laut, menambah penting sikap kerjasama dan
dibangun bukan hanya antar awak kapal, tetapi juga antara awak kapal dengan
pemilik kapal yang sering kali tidak ikut dalam operasi penangkapan tersebut.
Hal ini dapat dipahami karena segala kemungkinan dapat terjadi di tengah laut
yang berakibat pada hilangnya armada penangkapan. Bahkan kalau tidak ada
kerjasama dan saling kepercayaan, maka bisa saja terjadi moral hazard dari awak kapal dengan memanipulasi produksi hasil tangkapan yang didapatkan ataupun
kondisi dan keberadaan unit penangkapannya sendiri.
Nelayan juga mempunyai sifat kemandirian yang besar. Anggapan ini
berasal dari kondisi lingkungan dan mata pencaharian menangkap ikan. Mereka
dipaksa untuk mengambil keputusan secara cepat dan sering berhadapan dengan
ketidakpastian – keputusan yang mempunyai efek segera terhadap keselamatan kapal dan waknya ataupun keberhasilan operasi penangkapannya itu sendiri.
Lebih dari itu, nelayan di laut jauh dari pertolongan masyarakat banyak di darat.
Di laut, mereka melakukan tugas yang rumit secara mandiri, dengan sedikit
komunikasi lisan.
Charles (2001) membagi perikanan komersial ke dalam dua katagori yaitu
perikanan artisanal (perikanan skala kecil) dan perikanan industri (perikanan skala
besar). Beberapa ciri dari perikanan tradisional adalah (1) ketergantungan yang
tinggi terhadap keluarga, kesempatan bekerja di luar nelayan relatif kecil, kadang
pendapatan yang diperoleh relatif kecil, (2) kapal yang digunakan relatif kecil dan
biasanya merupakan milik sendiri, (3) sering kali lebih menerapkan sistem bagi
hasil antara pemilik kapal, nakhoda dan anak buah kapal daripada menggunakan
sistem penggajian, (4) umumnya relatif jauh dari pusat aktifitas ekonomi dan
politik seperti di pedesaan dan (5) sering dipandang oleh analis kebijakan dalam
satu dari dua yang berbeda : sebagai obyek untuk aktifitas modernisasi dan
rasionalisasi atau sebagai orang atau kelompok yang mendapat perlakuan dari
kekuatan ekonomi eksternal dan memerlukan perlindungan.
Lebih lanjut Orbach dalam Charles (2001) mengatakan bahwa sumberdaya
manusia perikanan tidak terbatas pada nelayan saja, tetapi juga pihak-pihak lain
yang terkait dengan penangkapan dari habitat tersebut. Untuk setiap nelayan
komersial, terdapat tiga kelompok SDM dalam aktifitas tersebut yaitu keluarga
galangan kapal, supplier, fasilitas pelayanan yang secara integral bergantung pada
aktifitas penangkapan dan distributor, pedagang dan konsumen yang menciptakan
permintaan produk tersebut.
Sektor pasca penangkapan juga memiliki peranan yang cukup penting
terlebih dikaitkan dengan maksimisasi manfaat/keuntungan dari setiap ikan yang
ditangkap secara berkelanjutan. Pendekatan pembangunan berkelanjutan
mendorong jumlah ikan yang terbatas dapat dimanfaatkan secara efisien untuk
tujuan-tujuan pemenuhan kebutuhan nutrisi, ketenagakerjaan, dan pembangunan
sosial ekonomi. Hal tersebut sangat relevan dengan sektor pasca penangkapan,
yang dibutuhkan untuk mengurangi limbah dan penyusutan pasca penangkapan,
maksimisasi nilai tambah (added value) melalui pengolahan, membangun dan
atau memperbaiki sistem distribusi dan pemasaran, dan mengintegrasikan
perikanan ke dalam upaya-upaya pembangunan pedesaan secara keseluruhan.
Pemasaran merupakan aktifitas penting dalam perikanan. Dalam konteks
komersial, suatu tangkapan yang baik hanya bermanfaat apabila hasil tangkapan
tersebut dijual. Marketing merupakan aktifitas pengalokasian dan penyusunan
suatu pasar (khususnya pembeli) untuk hasil tangkapan yang didapatkan oleh
nelayan, koperasi perusahaan atau masyarakat.
Sistem Pengelolaan Perikanan
Charles (2001) mengatakan bahwa secara ide dasar pembangunan
perikanan bertujuan untuk menginisiasi suatu yang baru, memperbaiki kondisi
yang ada dari sistem perikanan yang memberikan keuntungan secara
berkelanjutan. Secara umum, proses pembangunan perikanan terdiri dari dua
tahapan yaitu menduga tingkat pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan
(menghitung tingkat tangkapan yang berkelanjutan dan hubungannya dengan
ukuran armada) dan membangun input sumberdaya manusia dan sumberdaya fisik
supaya mendapatkan manfaat dari sumberdaya alam yang ada.
Pembangunan perikanan merupakan suatu proses yang penting yang
mencakup upaya-upaya meningkatkan manfaat (benefit) secara berkesinambungan
tidak hanya melalui pelaksanaan ukuran-ukuran manajemen, tetapi melalui
perbaikan-perbaikan (improvement) beberapa hal pada sistem perikanan. Hal
penangkapannya mulai dari subsidi pembuatan kapal sampai dukungan terhadap
motorisasi armada penangkapan artisanal, (2) adaptasi teknologi penangkapan
yang sesuai, (3) pelatihan nelayan dalam hal metoda penangkapan maupun
penanganan hasil tangkapan, (4) penguatan kelembagaan baik manajemen
individu maupun organisasi, (5) fasilitasi pengembangan koperasi dan
organisasi-organisasi nelayan lainnya, (6) perbaikan pada tahapan pasca penangkapan
termasuk pengembangan pasar, kontrol kualitas pengolahan dan proses distribusi
produk, (7) pembangunan inrastruktur yang diperlukan seperti pelabuhan
perikanan dan (8) perlindungan lingkungan dan upaya-upaya perbaikan
produktivitas stok sumberdaya ikan.
Dalam konteks kewilayahan, pembangunan perikanan berkaitan dengan
pembangunan masyarakat pantai dan lingkungan sosial ekonomi wilayah pesisir
tersebut. Hal ini mengarahkan pada suatu fokus pada pembangunan wilayah
pesisir secara terpadu dimana perhatian diberikan pada semua sumberdaya pesisir
secara simultan termasuk pada orang dan masyarakat yang ada di wilayah pesisir
tersebut (Charles 2001).
Budiono dan Sri Atmini (2002) mengatakan bahwa rencana dan strategi
pengelolaan perikanan hendaknya mencakup hal hal (1) optimasi manajemen
pemanfaatan sumberdaya perikanan. Hal ini diantaranya dilakukan melalui
pengurangan tekanan penangkapan pada wilayah-wilayah fully dan over exploited
dan meningkatkan penangkapan pada wilayah yang under exploited. Didukung oleh pembangunan infrastruktur dan sistem pemasaran, kerjasama antara usaha
skala kecil dan skala besar, memperkuat sistem monitoring untuk mendorong
kepatuhan terhadap kebijakan pengelolaan, (2) reformulasi perencanaan spasial
dari zona penangkapan, (3) memproteksi dan merehabilitasi lingkungan dan
ekosistem pesisir termasuk rehabilitasi dan pengelolaan karang, mangrove,
kontrol pencemaran air, pengelolaan dan pembangunan pesisir yang terintegrasi
dan (4) dukungan program dan strategi untuk peningkatan kepedulian masyarakat,
peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan dan membuat
alternatif-alternatif pembangkitan pendapatan. Secara substansi yang lebih
kompleks dari sistem perikanan digambarkan Charles (2001) sebagaimana
Gambar 2 Kompleksitas sistem perikanan (Charles, 2001)
2.1.2 Pengelolaan perikanan tangkap di wilayah perbatasan
Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah
perbatasan negara telah diatur dalam aturan internasional yaitu dalam Konvensi
Hukum Laut Internasional (UNCLOS) tahun 1982. Khusus mengenai konservasi
dan manajemen perikanan laut dalam ZEE Pasal 61 UNCLOS mewajibkan negara
pantai seperti Indonesia untuk menentukan jumlah yang dapat ditangkap atau total Lingk
Biofisik
Lingk Sosial Ekonomi
Ekosistem Rumah
tangga dan masyarakat
Ikan Kapal Nelayan
Penangkapan
Dinamika tenaga kerja Dinamika
modal Dinamika
populasi
Pasca penangkapan
Pasar Kondisi pasar
allowable catch (TAC). Menurut Djalal (2003), dalam penentuan TAC di ZEE, negara pantai berkewajiban, antara lain:
(1) memastikan tidak terjadi eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya
perikanan;
(2) bekerjasama dengan organisasi-organisasi internasional yang kompeten;
(3) berusaha memulihkan kembali jenis populasi ikan yang ditangkap;
(4) menjamin maximum sustainable yield (MSY); dan
(5) menjaga agar jangan terjadi akibat yang negatif dari penangkapan tertentu
terhadap jenis-jenis kehidupan laut lainnya yang berkaitan atau jenis yang
tergantung dari perikanan tersebut.
Beberapa tindakan untuk pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan ZEE
seperti dikemukakan Hasim DJalal (1995) yang diacu Monintja (1996), di
antaranya:
(1) Untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam di ZEE, Indonesia perlu
mengeluarkan peraturan-peraturan perikanan yang diperkenankan oleh
konvensi, seperti izin penangkapan ikan, penentuan umur dan ukuran ikan
yang boleh ditangkap, ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan yang boleh
digunakan, penurunan seluruh atau sebagian hasil tangkapan oleh kapal
tersebut di pelabuhan negara pantai, dan sebagainya.
(2) Mengatur dengan negara/organisasi regional dan internasional tentang
pemeliharaan dan pengembangan sumber-sumber perikanan yang terdapat di
ZEE dua negara atau lebih, highly migratory species dan memperhatikan
ketentuan-ketentuan mengenai ―marine mammals, anadromous dan
catadromous species, serta sedentary species.
Pemanfaatan Sumberdaya Alam berdasarkan Konvensi Hukum Laut
(UNCLOS) 1982 dapat disarikan sebagaimana Tabel 1.
Pasal 3 UU No. No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif
Indonesia menyatakan apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih
dengan zona ekonomi eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan
atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas zona ekonomi eksklusif antara
Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik
dan tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka
batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis
tengah atau garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia
atau titik-titik terluar Indonesia dan garis-garis pangkal laut wilayah atau titik-titik
terluar negara tersebut, kecuali jika dengan negara tersebut telah tercapai
persetujuan tentang pengaturan sementara yang berkaitan dengan batas Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Tabel 1 Batas laut, status hukum dan pemanfaatan sumberdaya alam
Bagian laut Status hukum Pemanfaatan Sumberdaya Alam
Hak Kewajiban
Perairan pedalaman Kedaulatan Pemanfaatan Penuh Konservasi
Perairan kepulauan Kedaulatan Pemanfaatan Penuh Konservasi
Mengakui Hak Perikanan Tradisional Negara Tetangga
Laut teritorial Kedaulatan Pemanfaatan Penuh Konservasi
Zona tambahan Yurisdiksi terbatas Pengawasan
(sepanjang berkaitan)
Laut lepas Kebebasan Kebebasan Konservasi
Menghormati Hak Negara Lain
Laut kontinen Hak-hak berdaulat Pemanfaatan ekslusif Memberi sumbangan dari hasil produksi di luar 200 mil laut
diundangkan, masih terdapat 70 % batas-batas yuridiksi perairan ZEEI tersebut
belum disepakati oleh negara-negara tetangga. Perbatasan yang belum disepakati
tersebut mencakup perbatasan dengan negara Timor Leste, Filipina, Vietnam,
Thailand, dan India (Kompas, 3 Maret 2007). Masih banyaknya wilayah
perbatasan yang belum disepakati dengan negara berpotensi menimbulkan konflik
dengan negara yang bersangkutan yang pada akhirnya akan merugikan
2.1.3 Konflik pengelolaan sumberdaya perikanan dan penyelesaiannya
Fisher et al. (2000), Rubin et al. (1994), Sarwono (2001) dalam Shaliza (2004) mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih
(individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran
yang tidak sejalan. Dengan perkataan lain terdapat pertentangan antar dua pihak
atau lebih. Bahkan Sarwono menegaskan bahwa pertentangan tersebut tidak hanya
pada tataran individu tetapi juga dapat terjadi antar kelompok masyarakat bahkan
antar bangsa dan negara. Soekanto (1982) dalam Hasyim (2007) menyatakan
bahwa faktor-faktor yang menyebabkan munculnya konflik di dalam suatu
masyarakat karena adanya perbedaan individu, perbedaan budaya, perbedaan
kepentingan dan terjadinya perubahan sosial di dalam masyarakat. Perbedaan
individu/budaya terjadi karena perbedaan lingkungan yang membentuk kedua
belah pihak yang melahirkan prinsip-prinsip nilai kebiasaan atau tatacara yang
berbeda. Konflik dapat terjadi jika masing-masing pihak tidak dapat menerima
atau menghormati prinsip atau sistem nilai yang dimiliki pihak lain.
Lebih lanjut Fisher et al (2000) mengatakan bahwa pada dasarnya konflik dapat terjadi karena dipicu oleh beberapa hal, yaitu
(1) Polarisasi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang
berbeda dalam suatu masyarakat (teori hubungan masyarakat)
(2) Terdapat posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang
konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konlik (teori negosiasi prinsip)
(3) Adanya usaha untuk menghalang-halangi pemenuhan kebutuhan dasar
manusia, baik kebutuhan fisik, mental dan sosial (teori kebutuhan manusia)
(4) Terancamnya identitas yang sering berakar pada hilangnya sesuatu hal atau
karena penderitaan di masa yang lalu yang tidak terselesaikan (teori
identitas)
(5) Ketidakcocokkan dalam cara-cara berkomunikasi diantara berbagai budaya
yang berbeda (teori kesalahfahaman antar budaya)
(6) Masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai
masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi (teori transformasi konflik)
Dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam berpotensi
sumberdaya tersebut. Bennet dan Neiland (2000) dalam Budiono (2005) berpendapat bahwa interaksi antara sumberdaya yang menjadi konflik dengan
ekosistem juga harus mendapat perhatian, karena perubahan salah satu sistem dari
ekosistem akan mempengaruhi ekosistem lain secara keseluruhan. Pemanfaatan
sumberdaya alam dapat menimbulkan eksternalitas yang terkadang tidak
diperhitungkan ke dalam pemanfaatan sumberdaya. Terdapat tiga jenis
eksternalitas yang menjadi dilema dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan
yaitu (Schlager et al, 1992 dalam Budiono, 2005) :
(1) Appropriation externalities. Dalam perhitungan ekonomi, ketika seorang
nelayan menangkap ikan dari stok yang tersedia di laut, proses tersebut
meningkatkan biaya marjinal dari setiap tambahan ikan yang ditangkapnya
sekaligus menurunkan manfaat marjinal dari setiap tambahan upaya
penangkapannya. Dengan demikian, peningkatan biaya penangkapan ikan
karena mengecilnya stok ikan di laut tidak hanya berpengaruh pada nelayan
yang menangkap ikan, tetapi juga nelayan lainnya yang ikut memanfaatkan
stok ikan tersebut.
(2) Technological externalities. Eksternalitas ini muncul ketika nelayan secara
fisik saling melakukan intervensi di lokasi penangkapan ikan yang pada
akhirnya dapat memicu timbulnya konflik. Ekternalitas ini dapat didefinisikan
sebagai terjadinya pelanggaran alat tangkap terhadap alat tangkap lainnya atau
bentuk-bentuk ketersinggungan fisik lainnya yang muncul akibat nelayan
melakukan penangkapan ikan sangat berdekatan satu sama lainnya.
(3) Assignment problem. Assignment problem muncul ketika nelayan menangkap
ikan secara tidak terkoordinasi sehingga tidak mampu mengalokasikan diri
mereka secara efisien pada daerah penangkapan tersebut. Permasalahan
muncul mengenai siapakah yang memiliki akses ke daerah produktif tersebut
dan bagaimana akses tersebut harus ditetapkan/dibagikan. Kegagalan dalam
memecahkan assignment problems ini dapat memicu konflik dan
meningkatkan biaya produksi.
Pada pengelolaan perikanan tangkap, terdapat tujuh penyebab konflik