• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerjasama Bilateral di Perbatasan Indonesia-Malaysia

DAFTAR TABEL

DAFTAR LAMPIRAN

4) Hukum dan Kelembagaan yang diperlukan

8.6 Kerjasama Bilateral di Perbatasan Indonesia-Malaysia

Dalam konteks kerjasama Indonesia-Malaysia di wilayah perbatasan telah dimulai sejak tahun 1967 di bidang keamanan. Persetujuan mengenai Pengaturan Dalam Bidang Keamanan Daerah-Daerah Perbatasan, ini direvisi untuk pertama kali pada 1972, dan revisi kedua 1984. Dalam revisi kedua ini kerjasama perbatasan RI-Malaysia diperluas hingga mencakup/merangkumi berbagai jenis bidang yaitu ideologi, politik, sosial, budaya dan ekonomi.

Menindaklanjuti kesepakatan tersebut, sejak tahun 1985 telah terbentuklah forum kerjasama sosial ekonomi daerah (Sosekda) Kalimantan Barat-Serawak, dan Sosekda Kalimantan Timur dimulai sejak tahun 1995. Sampai dengan tahun 2010, GBC membawahi 3(tiga) bidang kerjasama, meliputi keamanan (Hight Level Committee), masalah batas antar Negara (Border Management Working Group Level Committee) dan kerjasama SOSEK. Dalam kerjasama Sosek Malindo ini telah terbentuk 4 (empat) daerah kerjasama Sosek Tingkat Provinsi. Ketua Kerjasama (KK) Sosek Tingkat Pusat Indonesia membawahi KK Sosek Tingkat Provinsi Kalbar, Kaltim, Riau dan Kepulauan Riau, meliputi perbatasan Negeri Sarawak, Sabah, Johor dan Malaka.

Sebagai implementasi dari kerjasama tingkat pusat, dibangun kerjasama Sosek Malindo antara pemerintah Sabah dan pemerintah Propinsi Kalimantan Timur dengan agenda berupa 7 kertas yaitu pos lintas batas (laut dan darat), sosial pemuda, perdagangan, penyelundupan dan kesehatan.

Dalam konteks pengelolaan perikanan tangkap di wilayah perbatasan belum ada lembaga khusus yang menangani permasalahan secara terintegrasi. Penanganan diserahkan kepada instansi teknis masing-masing sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

8.7 Pembahasan

Sistem perikanan merupakan bagian dari sistem wilayah atau dengan kata lain wilayah merupakan supersistem dimana sistem perikanan tersebut berada. Menjelaskan komponen wilayah ini sangat penting mengingat (i) ada saling mempengaruhi antara sistem perikanan tangkap dengan sub sistem lain dalam wilayah (ii) pengelolaan perikanan tangkap ini diarahkan juga untuk mencapai

tujuan pembangunan wilayah secara keseluruhan. Tujuan pembangunan wilayah itu sendiri tetap bertumpu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan dengan tiga dimensinya (ekonomi, sosial, dan ekosistem). Dalam konteks ini maka pembahasan mengenai lingkungan strategis menjadi sangat penting.

Lingkungan strategis sendiri merujuk pada aspek-aspek di luar sistem yang sangat berpengaruh terhadap berjalannya sistem pengelolaan perikanan tangkap di wilayah Nunukan.

Kondisi ekonomi wilayah merupakan lingkungan strategis bagi pengembangan perikanan tangkap di suatu wilayah. Ekonomi wilayah yang relatif berkembang dipandang akan menstimulasi atau mendinamisasi perkembangan ekonomi perikanan; demikian pula sebaliknya. Hal ini disebabkan karena perkembangan ekonomi akan berdampak adanya permintaan dan penawaran dari berbagai barang dan jasa. Secara makro, ekonomi makro Kabupaten Nunukan relatif baik. Hal ini diindikasikan dengan pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Nunukan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 3,18 % per tahun selama tahun 2005-2009. Sektor pertanian sangat penting mendapatkan perhatian mengingat kontribusi sektor ini cukup besar terhadap nilai PDRB yaitu 27 % dari total PDRB, peringkat kedua setelah sektor pertambangan dan galian yang mencapai 38 %.

Hasil analisis shifshare komponen Pertumbuhan regional memperlihatkan bahwa sektor pertambangan dan pertanian mempunyai tingkat pertumbuhan yang paling tinggi. Artinya bahwa kedua sektor tersebut mempunyai potensi pengembangan yang baik. Namun sektor pertanian mempunyai kelebihan lain yaitu bahwa hasil analisis komponen Pertumbuhan Proporsional menunjukkan sektor pertanian merupakan sektor maju dengan indikasi nilai pertumbuhan proporsional yang tinggi. Sedangkan sektor pertambangan sendiri mempunyai nilai pertumbuhan proporsional yang negatif. Demikian pula dengan nilai komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah mengindikasikan bahwa sector pertanian mempunyai nilai positif yang berarti mempunyai daya saing dengan sector pertanian dari daerah lain. Hal ini juga terlihat dari arus barang dari Nunukan yang lebih besar dibandingkan dengan arus barang yang masuk ke Nunukan ; dan barang-barang yang keluar tersebut merupakan produk-produk pertanian.

Perkembangan perekonomian Nunukan tidak terlepas dari adanya interaksi dengan wilayah Tawau Malaysia dalam bentuk transaksi perdagangan barang. Secara resmi transaksi barang yang diperbolehkan senilai maksimal 600 ringgit atau sekitar 1,8 juta rupiah/orang. Namun dalam kenyataannya transaksi tersebut bisa jauh lebih besar dari jumlah tersebut. Barang-barang yang masuk dari Tawau sebagian besar adalah barang-barang kebutuhan sehari-hari masyarakat seperti gula, tepung, makanan ringan, susu, barang-barang elektronik. Sedangkan yang masuk ke Tawau dari Nunukan diantaranya beras, kakao, ikan, pisang dan produk pertanian lainnya.

Masyarakat Malaysia di perbatasan pada dasarnya lebih menginginkan perdagangan tersebut bersifat illegal. Hal ini disebabkan karena (i) mereka tidak dibebani dengan berbagai cukai masuk barang dan (ii) yang lebih penting mereka bisa mengendalikan harga. Sebagian besar barang yang masuk Tawau adalah barang-barang perisible sehingga para penjual dari Nunukan tidak berdaya apabila barang mereka ditawar dengan harga yang lebih rendah daripada dibawa pulang kembali dengan biaya tambahan dan transportasi serta nilai yang cenderung menurun. Hal yang paling mendasar adalah bahwa Tawau merupakan pasar bagi setiap komoditas dari Nunukan. Hal ini disebabkan karena Nunukan sendiri tidak mampu menyerap barang yang diproduksinya, sedangkan apabila dikirim ke wilayah lain seperti Tarakan, Balikpapan terlalu jauh sehingga relatif mahal.

Secara nasional, impor barang dari luar negeri salah satunya diatur oleh Peraturan Mendag no 44 tahun 2008 tentang penetapan 5 pelabuhan umum yang diperbolehkan menjadi pintu masuk barang-barang impor. Pelabuhan tersebut adalah Tanjung Priok, Belawan, Surabaya, Ujung Pandang dan Kendari. Diluar pelabuhan tersebut, tidak diperbolehkan melakukan kegiatan impor. Hal ini menjadi kendala tersendiri bagi perdagangan di wilayah perbatasan seperti Nunukan, dimana selama ini telah terjadi transaksi antar kedua daerah perbatasan ini baik secara legal maupun illegal. Adanya peraturan tersebut yang tidak diimbangi dengan perangkat pendukung lainnya, akan menyebabkan perdagangan illegal kedua negara akan semakin meningkat. Hal itu berarti keuntungan bagi Malaysia.

Pengaturan tersebut hanya dilakukan untuk barang-barang impor dengan alasan untuk perlindungan produk dalam negeri. Hal yang tidak kalah pentingnya

–minimal pada kasus perbatasan Nunukan dengan Tawau- adalah pengaturan

―ekspor‖ barang-barang dari wilayah Nunukan. Pengaturan tersebut tentu tidak dalam bentuk pengenaan biaya ekspor. Karena kalau ini dilakukan justru akan menjadi kontra produktif yang disebabkan masyarakat Nunukan sendiri tidak mampu menyerap semua produk yang dihasilkannya. Pengaturan atau kebijakan justru dengan memberikan stimulan bagi berkembangnya industr-industri pengolahan pasca panen di internal Kabupaten Nunukan. Hal ini akan memberikan dampak pada berputarnya aktifitas perekonomian di Nunukan dan memberikan nilai tambah pada setiap produk yang dihasilkan. Selama ini industri pengolahan justru banyak terdapat di Tawau dan produk jadinya kemudian dijual kembali kepada masyarakat Nunukan.

Dalam konteks interaksi wilayah, adanya perdagangan antara Nunukan dan Tawau merupakan suatu hal yang alamiah. Berdasarkan Heckser Ohlin yang telah dibahas sebelumnya, untuk meningkatkan pendapatan riil perlu ada aliran barang dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Pada kasus hubungan Nunukan dan Tawau, kelebihan pasokan pangan yang terjadi di Nunukan (akibat terbatasnya pasar lokal) akan berimplikasi pada terjadinya aliran barang tersebut ke Tawau. Sementara pihak Tawau sendiri kelebihan pasokan barang terutama non pangan sehingga barang tersebut bergerak ke Nunukan. Hanya persoalannya pergerakan barang dari Nunukan yang sebagian besar pangan mempunyai nilai tambah yang relatif kecil karena masih berupa bahan-bahan mentah ; sedangkan barang dari Tawau sudah melalui proses pertambahan nilai terlebih dahulu di wilayahnya yang terkadang bahan mentahnya dari Nunukan sendiri. Oleh karena itu, interaksi wilayah ini belum memberikan dampak terhadap pertambahan pendapatan Nunukan tetapi justru memberikan pendapatan yang siginifikan terhadap perekonomian Tawau. Oleh karena itu perlu ada proses pengolahan bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi di Nunukan sebelum dipasarkan ke Tawau. Hal ini untuk memberikan nilai tambah bagi produk- produk yang dihasilkan Nunukan.

Pesona Tawau dengan berbagai kemudahan yang dimilikinya menyebabkan terjadinya migrasi/mobilitas penduduk. Migrasi merupakan proses berpindahnya penduduk dari suatu tempat ke tempat lain yang melewati batas wilayah tertentu. Migrasi yang banyak dibicarakan para ahli lebih banyak menekankan pada migrasi penduduk internal dalam suatu negara seperti yang dibahas Todaro (1999) yang menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya migrasi terutama dari desa ke kota yaitu (i) faktor sosial termasuk keinginan para migran itu sendiri untuk melepaskan diri dari kendala-kendala tradisional yang terkandung dalam organisasi sosial yang sebelumnya mengungkung mereka (ii) faktor-faktor fisik, termasuk pengaruh iklim dan bencana meteorologis seperti banjir dan kekeringan, (iii) faktor demografi termasuk penurunan tingkat kematian yang kemudian mempercepat laju pertumbuhan penduduk pedesaan (iv) faktor kultural seperti pembinaan hubungan

‖keluarga besar‖ sesampainya di perkotaan dan daya tarik ‖lampu kota yang terang benderang‖ dan (v) faktor komunikasi termasuk segenap sarana transportasi, sistem pendidikan, sarana hiburan dan lain-lain.

Migrasi penduduk dari Nunukan ke Tawau Malaysia merupakan suatu fenomena yang khas karena terkait dengan hubungan antar negara. Faktor utama yang mempengaruhi sebagian besar masyarakat Nunukan melakukan mobilitas ke Tawau adalah alasan ekonomi dimana Tawau menjanjikan berbagai peluang kerja dan daerah pasar bagi setiap produk yang dihasilkan masyarakat Nunukan. Disamping itu terdapat juga alasan-alasan kultural seperti yang dijelaskan Todaro diatas dimana terdapat hubungan kekerabatan antara masyarakat Nunukan dan masyarakat Tawau yang sama-sama berasal dari suku Bugis di Sulawesi. Adanya faktor-faktor inilah yang semakin mengintensifkan interaksi antara kedua wilayah ini.

Tabel 37 menunjukkan bahwa mobilitas penduduk antara Malaysia dan Indonesia dalam konteks pelintas batas lebih dominan warga Indonesia yang melakukan mobilitas ke Tawau Malaysia. Mobilitas penduduk dari Nunukan ke Tawau pada dasarnya memberikan dampak yang positif bagi perkembangan perekonomian kedua wilayah. Ada hubungan simbiosis mutualisma antara kedua wilayah tersebut. Pada satu sisi kondisi Nunukan yang masih mempunyai

keterbatasan dalam penyediaan lapangan kerja membutuhkan wilayah yang mampu memberikan lapangan kerja tersebut. Di sisi lain, Tawau Malaysia dengan berbagai kemajuan ekonominya membutuhkan tenaga kerja untuk menggerakkan perekonomian yang ada. Adanya orang-orang Nunukan yang bekerja di sana memberikan solusi terhadap kebutuhan tersebut.

Namun demikian, dalam konteks pembangunan ekonomi wilayah Nunukan untuk jangka panjang, adanya migrasi atau mobilitas penduduk ke Tawau akan memberikan dampak terjadi perlambatan pembangunan di Kab Nunukan. Tingkat perkembangan pembangunan kabupaten ini tidak akan mampu mengimbangi perkembangan Tawau atau apalagi melebihinya. Tenaga kerja di Kabupaten Nunukan yang seharusnya diarahkan untuk mendukung pembangunan wilayahnya justru tidak ada dan lebih mendukung pembangunan ekonomi Tawau. Meski mereka mendapatkan upah dari kegiatan di Tawau dan itu menjadi devisa bagi wilayah Nunukan, tapi tidak terlalu signifikan bila dibandingkan dengan dampak pengganda ekonomi yang dapat dihasilkannya apabila mereka beraktifitas dan mendukung pembangunan Kabupaten Nunukan. Hanya persoalannya adalah bahwa saat ini di wilayah Nunukan sendiri tidak cukup lapangan kerja yang mampu menampung tenaga kerja tersebut akibat terbatasnya aktifitas ekonomi yang mampu menyediakan lapangan kerja yang memadai. Disamping itu, tingkat insentif yang diberikan masih relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan bekerja di Tawau. Hal ini sejalan dengan pemikiran dasar dari Todaro (1999) mengenai model migrasi yang diantaranya menjelaskan bahwa migrasi tersebut akan terus berlangsung apabila masih terdapat kesenjangan tingkat pendapatan antara desa dan kota tersebut. Besar kecilnya selisih tingkat pendapatan itu sendiri ditentukan oleh dua variabel pokok yaitu selisih besaran upah aktual di kota dan desa atau besar kecilnya kemungkinan mendapatkan pekerjaan di kota yang menawarkan tingkat pendapatan sesuai dengan yang diharapkan.

Mengatasi persoalan tersebut tentu perlu upaya-upaya yang dapat mengurangi ketertarikan untuk beraktifitas dan bekerja di Tawau dan lebih memilih untuk membangun wilayahnya sendiri. Upaya-upaya tersebut diantaranya adalah mengembangkan industri berbasis potensi lokal yang mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang menjanjikan. Tawau dengan berbagai

kelebihan ekonominya dapat menjadi peluang pasar bagi setiap produk yang dihasilkan oleh industri-industri tersebut. Salah satu industri yang dapat dikembangkan adalah industri berbasis perikanan tangkap.

Komponen lingkungan strategis lainnya adalah ketersediaan infrastruktur dasar wilayah terutama infrastruktur transportasi. Ketersediaan infrastruktur ini sangat penting untuk menggerakkan perekonomian wilayah. Terdapat keterkaitan yang sangat erat antara infrastruktur dengan pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana diketahui bahwa suatu barang akan mempunyai nilai ekonomi apabila barang tersebut didistribusikan dan dipasarkan ke wilayah dengan tingkat permintaan yang lebih tinggi. Upaya pendistribusian akan dapat dilakukan apabila terdapat media/moda yang menghubungkan kedua wilayah tersebut. Polak dan Heertje,

2000 dalam Legowo (2009) mengatakan bahwa efek infrastruktur transportasi yang permanen pada perekonomian adalah menyebabkan bertambahnya kuantitas faktor-faktor produksi yang diperlukan untuk pengoperasian dan pemeliharaannya. Salah satu jenis efek permanen yang perlu diperhatikan adalah

yang disebut dengan ‖program‖ atau efek ‖spin-off.‖ Efek program menunjuk pada perubahan tidak langsung dalam jangka panjang di dalam income,

employment dan investasi pada sektor swasta, yaitu efek-efek yang mana didorong oleh peluang baru yang ditawarkan oleh pembangunan atau perluasan infrastruktur.

Kondisi infrastruktur dasar di Kabupaten Nunukan masih relatif kurang memadai sebagaimana dijelaskan pada Tabel 39 dan Tabel 40 diatas dimana kondisi infrastruktur transportasi masih kurang memadai. Hal ini berimplikasi pada rendahnya aksesibilitas dari dan ke Nunukan. Padahal kurangnya aksesibilitas tersebut akan berdampak pada nilai barang yang dihasilkan Nunukan menjadi lebih rendah dan sebaliknya barang-barang yang masuk ke Nunukan akan relatif lebih tinggi karena adanya tambahan biaya transportasi.

Penyusunan strategi pengembangan perikanan tangkap di wilayah perbatasan dilakukan dengan pendekatan sistem. Sistem sebagaimana dijelaskan oleh para ahli merupakan kumpulan elemen-elemen/sub sistem yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan. Charles (2001) mengatakan bahwa sistem perikanan terdiri dari tiga komponen/sub sistem utama yaitu sub sistem ekosistem alam, sumberdaya manusia dan manajemen. Kompoenen-komponen tersebut saling berinteraksi dan mempengaruhi dalam upayanya mencapai tujuan sistem pengelolaan perikanan tangkap. Tujuan pengelolaan perikanan tangkap itu sendiri adalah tercapainya pemanfaatan sumberdaya perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Bertanggung jawab artinya dalam melakukan pemanfaatan tersebut harus memperhatikan kaidah-kaidah sesuai Code of Conduct for Responsible Fisheries. Sedangkan berkelanjutan artinya bahwa pemanfaatan perikanan tangkap saat ini harus tetap memperhatikan ketersediaan sumberdaya ikan untuk generasi yang akan datang. Pearce dan Turner (1990) mengatakan bahwa pembangunan berkelanjutan mencakup upaya memaksimumkan net benefit

dari pembangunan ekonomi, subject to pemeliharaan jasa dan kualitas sumberdaya alam setiap waktu. Pembangunan ekonomi tidak hanya mencakup peningkatan pendapatan per kapita riil tetapi juga elemen-elemen lain dalam kesejahteraan sosial. Pembangunan mencakup perubahan-perubahan struktural dalam ekonomi dan masyarakat. Pemeliharaan pelayanan (service) dan kualitas stok sumberdaya setiap waktu, berimplikasi pada aturan -aturan pemanfaatan sumberdaya dapat pulih pada tingkat yang lebih rendah atau sama dengan tingkat regenerasi dari sumberdaya yang bersangkutan dan penggunaan secara efisien sumberdaya tidak dapat pulih (non renewable resources), subject to mencari subtitusi sumberdaya dan kemajuan teknologi.

Konsep berkelanjutan sebagaimana dikatakan Serageldin (1996) mencakup tiga dimensi yaitu dimensi tujuan ekonomi yang mencakup efisiensi, pemerataan dan pertumbuhan, dimensi tujuan sosial yang meliputi pemberdayaan, partisipasi, mobilitas sosial, kohesi sosial, identitas budaya dan pembangunan

kelembagaan dan dan dimensi ekosistem yang meliputi integrasi ekosistem, daya dukung, biodiversity dan permasalahan-permasalahan global.

Sistem pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Nunukan dibangun oleh tiga sub sistem pengembangan yaitu sub sistem pengembangan pemasaran produk perikanan yang menjelaskan mengenai pola distribusi hasil tangkapan dan pola interaksi sosial nelayan yang berpengaruh terhadap distribusi hasil tangkapan, sub sistem pengembangan produksi perikanan tangkap yang menjelaskan potensi sumberdaya ikan, komoditas unggulan, kapal dan alat tangkap, infrastruktur pelabuhan perikanan, pengolahan dan sumberdaya manusia, sub sistem kelembagaan pengelola perikanan tangkap yang menjelaskan kelembagaan dan sub sistem lingkungan strategis yang mempengaruhi pengembangan perikanan tangkap. Dalam konteks interaksinya dengan wilayah, maka sistem pengembangan perikanan tangkap ini akan sangat dipengaruhi oleh lingkungan strategis dimana sistem pengembangan perikanan tersebut berada.

Penyusunan strategi didasarkan pada kaidah-kaidah soft system methodology yang dikembangkan Checkland and Scholes (1990) dengan tahapan sebagai berikut :