• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR TABEL

DAFTAR LAMPIRAN

7. Sumberdaya manusia perikanan tangkap

6.7 Sumberdaya Manusia Perikanan Tangkap

Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) selama kurun waktu 2001-2010 relatif mengalami peningkatan dengan rata-rata 18 % per tahun. Jumlah RTP pada tahun 2001 baru mencapai 468 buah, melonjak menjadi 1.772 buah pada tahun 2008 meski mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2007 yang mencapai 1.884 buah. Namun demikian pada tahun 2009 dan 2010 relatif mengalami penurunan meskipun tidak signifikan. Adanya peningkatan permintaan hasil tangkapan dari Tawau Malaysia mendorong meningkatnya jumlah RTP tersebut.

Gambar 18 Perkembangn jumlah RTP perikanan laut tahun 2001-2010

Sedangkan jumlah nelayan relatif mengalami penurunan. Jumlah nelayan pada tahun 2004 mencapai 2.664 jiwa yang terus menurun sampai tahun 2007 hanya 587 jiwa meskipun naik kembali tahun 2008 menjadi 1.874 jiwa sebagaimana disajikan pada Tabel 28.

Produktivitas nelayan Kab. Nunukan masih relatif berfluktuasi mulai tahun 2005-2010. Namun secara keseluruhan produktivitas nelayan relatif masih rendah. Masih rendahnya produktivitas tersebut diduga disebabkan karena teknologi penangkapan yang digunakan masih relatif tradisional dan jangkauan penangkapan yang terfokus di perairan pantai Nunukan saja. Disamping itu,

468 567 976 1094 1402 1351 1884 1772 1720 1679 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Ju m la h RT P (u n it)

secara kualitas, SDM nelayan pun masih relatif rendah. Sebagian besar nelayan yang di Nunukan mempunyai pendidikan formal hanya tamatan SD. Hasil survey menunjukkan bahwa 70 % responden nelayan berpendidikan SD dan sisanya berpendidikan SMP. Rendahnya tingkat pendidikan ini dapat berimplikasi terhadap relatif sulitnya melakukan introduksi teknologi penangkapan ikan dan kemampuan mengelola dan mengembangkan usaha penangkapan ikan.

Tabel 28 Perkembangan jumlah nelayan dan produktivitas penangkapannya

Tahun Kab. Nunukan Produksi (kg) Produktivitas/tahun (kg/orang/tahun)

Produktivitas per hari (kg/orang/hari) 2005 2664 4.150.230 1.557,89 4,33 2006 1137 3.944.850 3.469,53 9,64 2007 2402 4.439.260 1.848,15 5,13 2008 1874 4.606.378 2.458,05 6,83 2009 3189 3.348.000 1.049,86 2,92 2010 2757 3.938.000 1.428,36 3,97

Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kalimantan Timur, 2011

6.7Pembahasan

Pengembangan perikanan tangkap pada dasarnya diawali dengan kajian mengenai ketersediaan sumberdaya perikanan di wilayah tersebut. Berdasarkan kajian sebelumnya diperoleh informasi bahwa sebenarnya perairan Nunukan mempunyai potensi sumberdaya ikan yang relatif melimpah terutama apabila dihubungkan dengan potensi di WPP 716. Jenis-jenis ikan yang dominan adalah jenis ikan pelagis kecil, pelagis besar dan ikan demersal. Berdasarkan hasil analisis skoring diperoleh jenis-jenis ikan yang dapat menjadi komoditas unggulan Kabupaten Nunukan yaitu udang putih (Penaeus merguiensis), bawal hitam (Formio niger), teri (Stolephorus spp), tenggiri (Scomberomorus commerson), bawal putih (Pampus argenteus), udang bintik, kerapu lumpur

(Epinephelus tauvina), arut (gerot-gerot) (Pomadasys maculatus), kuwe/putih

(Caranx spp), pari kembang/pari macan (Dasyatis spp) dan Kurau

(Eleutheronema tetradactylum).

Berdasarkan jenis ikan yang ditangkap tersebut dan dihubungkan dengan alat tangkap yang digunakan, maka alat tangkap yang cocok digunakan adalah alat

tangkap yang dioperasikan untuk menangkap ikan pelagis seperti jaring insang, rawai tetap dan pancing tonda dan ikan demersal seperti dogol.

Namun demikian masih terdapat kendala dalam pengembangan perikanan tangkap di Nunukan. Kendala tersebut adalah masih rendahnya produktivitas penangkapan yang dilakukan para nelayan. Saat ini hasil tangkapan per unit penangkapan masih berada pada besaran 90 kg/trip penangkapan. Alat tangkap dengan produktivitas penangkapan tinggi adalah pancing tonda dan pancing ulur masing masing 167 kg dan 246 kg per trip penangkapannya. Sedangkan alat tangkap lainnya masih di bawah 100 kg/trip penangkapannya. Demikian pula halnya dengan produktivitas nelayan yang masih relatif rendah. Data menunjukkan bahwa produktivitas nelayan untuk menangkap ikan berada pada besaran di bawah 10 kg/orang/hari ; bahkan terdapat kecenderungan menurun bila dilihat data produksi dari tahun 2005 sampai 2010 (Tabel 28). Produktivitas nelayan pada tahun 2006 adalah 9,64 kg/orang/hari dan menjadi 3,97 kg/orang/hari pada tahun 2010. Angka ini masih dibawah produktivitas nelayan secara nasional dimana pada tahun 2010 adalah 6,47 kg/orang/hari (data produksi nasional 5.039.446 ton dan jumlah nelayan 2.162.442 orang, jumlah hari diasumsikan 360 hari dalam setahun).

Faktor penyebab masih rendahnya produktivitas nelayan diduga adalah kemampuan unit penangkapan dalam menangkap ikan dan ketersediaan sumberdaya ikan yang relatif menurun terutama di wilayah perairan pesisir. Berdasarkan komposisi armada penangkapan di Kabupaten Nunukan, 79 % armada penangkapan merupakan motor tempel (1.329 unit), 16 % kapal motor (269 unit) dan 4 % perahu tanpa motor (81 unit). Komposisi armada penangkapan seperti itu berimplikasi pada kemampuan jelajah armada hanya terbatas pada perairan di sekitar pantai yaitu dibawah 4 mil laut. Hal ini juga berimplikasi pada tingkat persaingan antar nelayan dalam mendapatkan hasil tangkapan relatif tinggi sehingga produktivitas mereka menjadi rendah. Disamping itu, banyaknya penangkapan ikan di sekitar pantai menyebabkan terjadinya tekanan juga terhadap ketersediaan sumberdaya ikan di perairan tersebut.

Permasalahan lain yang memberikan tekanan ketersediaan sumberdaya ikan adalah adanya praktek IUU Fishing yang dilakukan oleh nelayan Indonesia

maupun nelayan asing. Pencegahan terhadap IUU Fishing diyakini dapat memulihkan ketersediaan sumberdaya ikan di perairan Nunukan.

Penanganan pengawasan praktek IUU Fishing pada dasarnya dilakukan oleh beberapa instansi terkait. Konteks pengawasan itu sendiri terdiri dari aspek monitoring, controlling, surveillance, investigasi, penuntutan dan penetapan sanksi/vonis hukum. Berdasarkan aspek-aspek tersebut, yang ditunjukkan Tabel 30, aspek monitoring dan controlling merupakan kewenangan satu instansi saja yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan. Artinya bahwa tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan instansi lain. Monitoring sendiri merupakan kegiatan pengumpulan dan analisis data untuk menilai tingkat pemanfaatan dan kelimpahan sumber daya ikan, mencakup antara lain kapal penangkapan ikan, operasi, hasil tangkapan, upaya penangkapan, pengangkutan, pengolahan dan pengepakan hasil (FAO, 1995). Sedangkan controlling menurut FAO (1995) merupakan mekanisme pengaturan yang antara lain meneakup penyusunan/pemberlakuan peraturan perundang-undangan, perijinan, pembatasan alat tangkap, zonasi penangkapan. Adanya pengendalian akan dapat diidentifikasi, antara lain ketaatan pelaku kegiatan usaha penangkapan pada peraturan perundangan- undangan dan ketentuan-ketentuan perizinan yang berlaku dan legalitas kegiatan penangkapan. Kegiatan yang taat dan legal akan dilindungi:, sedang yang tidak taat dan atau ilegal akan ditindak sesusai peraturan perundang - undangan yang berlaku (Martono 1997; Purwaka 1995; Purwaka 1984 dalam Sarana, 2007).

Monitoring dan controlling ini sangat penting terutama terkait dengan arah pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada. Kuota penangkapan, daerah penangkapan dan teknik penangkapan yang memberikan keberlanjutan penangkapan ikan akan dapat ditentukan apabila monitoring dan controlling ini dapat berjalan dengan baik. Hanya saja akan terjadi bias ketika ada praktek- praktek IUU Fishing. Dalam konteks perikanan di Nunukan, permasalahannya lebih kompleks lagi karena berbatasan dengan negara lain. IUU Fishing yang terjadi, tidak hanya dilakukan oleh nelayan-nelayan asing tetapi juga oleh nelayan-nelayan lokal yang berkolaborasi dengan pemodal dari Malaysia.

Tabel 29 Aspek pengawasan praktek IUU Fishing Instansi Terkait Fungsi Pengawasan Moni to ri ng C ont ro l Surve il ance Inves ti gat ion Penunt ut an Penet apa n da n voni s huku m

Kementerian Kelautan dan Perikanan/Dinas

Perikanan dan Kelautan

POLRI

Lanal

Kapal Republik Indonesia

Imigrasi

Beacukai

Kejaksaan

Pengadilan

Dalam aspek surveillance dan investigasi terjadi cukup banyak tumpang tindih kewenangan antar instansi yang dapat berimplikasi terhadap kontra produktifnya penanganan IUU Fishing. Tumpang tindih tersebut adalah antara Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI, POLRI, imigrasi dan beacukai. Namun demikian, tumpang tindih yang relatif besar terjadi pada tiga institusi pertama (Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI dan POLRI), sedangkan imigrasi dan beacukai relatif berbeda fokus penanganannya. Sedangkan dalam penuntutan dan penetapan vonis hukum relatif tidak terjadi tumpang tindih dimana untuk kedua aspek tersebut masing-masing ditangani oleh Kejaksaan Negeri dan Pengadilan Negeri.

Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam pengembangan perikanan tangkap adalah pengembangan industri pengolahan. Selama ini, nelayan memasarkan hasil tangkapannya masih dalam bentuk segar. Kalaupun ada, pengolahan yang dilakukan masih bersifat tradisional berupa pengeringan/pengasinan. Hal ini terlihat dari komposisi pemilik usaha pengolahan yang ada di Kab. Nunukan yaitu 442 pengusaha pengeringan, 1 orang pengusaha ekstrasi, 14 orang pengolah ikan segar dan 3 orang pengusaha surimi.

Lemahnya pengembangan industri pengolahan ikan selama ini salah satunya disebabkan karena sebagian besar hasil tangkapan nelayan Nunukan dipasarkan dalam bentuk segar. Semua jenis ikan dapat diserap pasar Tawau. Ikan segar

tersebut, disamping langsung dipasarkan kepada pengguna akhir di pasar Tawau juga menjadi bahan baku pabrik-pabrik pengolahan di sana. Akibatnya nilai tambah dan dampak ekonomi turunannya hanya dirasakan oleh masyarakat Tawau.

Rachman dan Sumedi (2002) dalam Supriyati dan Suryani (2006) mengatakan bahwa permasalahan umum yang dihadapi agroindustri –termasuk perikanan- adalah (i) sifat produk pertanian yang mudah rusak dan bulky sehingga memerlukan teknologi pengemasan yang memadai dan sarana transportasi yang mampu mengatasi hal tersebut (ii) sebagian besar produk pertanian bersifat musiman dan sangat dipengaruhi kondisi iklim sehingga aspek kontinuitas produk tidak terjamin (iii) kualitas produk pertanian dan industri yang dihasilkan masih rendah sehingga kesulitan dalam persaingan pasar baik dalam negeri maupun internasional dan (iv) sebagian besar termasuk industri skala kecil dengan tingkat teknologi yang rendah. Sementara kendala pengembangan industri yang diidentifikasi Depperindag (Supriyati dan Suryani (2006) lebih jauh lagi meliputi (i) bahan baku yang berupa komoditas belum mampu memenuhi industri pengolahan secara berkesinambungan (ii) kemampuan sumberdaya manusia yang terbatas dalam penguasaan manajemen dan teknologi menyebabkan rendahnya efisiensi dan daya saing produk agroindustri (iii) investasi di bidang agroindustri kurang berkembang (iv) lembaga keuangan menerapkan sistem suku bunga yang sama antara produk pertanian dan lainnya (v) informasi peluang usaha dan pemasaran belum memadai (vi) homogenitas kebijakan pembangunan baik regional maupun regional tanpa memperhatikan karakteristik wilayah masing- masing (vii) belum terciptanya sinergi kebijakan yang mendukung iklim usaha (viii) kurangnya sarana dan prasarana transportasi (ix) kemitraan usaha dan keterkaitan produk hulu dan hilir belum berjalan lancer (x) masih kurangnya penelitian mengenai teknologi proses dan (xi) ketergantungan pada lisensi produk dan teknologi dari luar negeri.

Oleh karena itu pengembangan industri pengolahan hasil tangkapan di Kabupaten Nunukan hendaknya memperhatikan pertimbangan (i) ketersediaan bahan baku ikan baik dalam jumlah maupun kesinambungannya. Berdasarkan analisis komoditas unggulan maka terdapat beberapa jenis ikan yang potensial

menjadi bahan baku industri pengolahan yaitu ikan tenggiri, arut, udang putih, bawal hitam dan bawal putih (ii) industri yang dikembangkan bertahap dari industri kecil dan menengah. Hal ini untuk mengantisipasi ketiadaannya bahan baku dalam jumlah yang relatif banyak. (iii) adanya keterkaitan industri pengolahan dengan kegiatan penangkapan ikan dan pemasarannya (iv) peningkatan kualitas SDM dan (v) adanya keberpihakan pemerintah dalam mendorong berkembangnya industri kecil dan menengah diantaranya penyediaan infrastruktur dasar, kebijakan pembinaan dan mediasi permodalan dan pemasaran.

Dalam rangka pengembangan perikanan tangkap tersebut baik dalam upaya peningkatan produksi penangkapan maupun peningkatan nilai tambah produk dengan adanya industri pengolahan diperlukan infrastruktur pelabuhan perikanan sebagai wadah dan fasilitasi aktifitas bisnis perikanan. Kabupaten Nunukan bahkan Propinsi Kalimantan Timur belum mempunyai pelabuhan perikanan yang relatif memadai dalam rangka pengembangan industri perikanan dan aktifitas pemasaran. Pelabuhan perikanan yang ada di Kabupaten Nunukan adalah PPI Sebatik dengan kodisi kurang beroperasi. Padahal apabila melihat UU no 31 tahun 2004 tentang Perikanan, banyak fungsi yang diemban oleh suatu pelabuhan perikanan. Fungsi-fungsi tersebut mencakup keseluruhan aktifitas bisnis perikanan tangkap mulai dari pra produksi penangkapan (penyediaan bahan perbekalan melaut, sarana melaut, perbaikan dll), produksi penangkapan (penyediaan sarana dan informasi penangkapan) dan pasca produksi (pendaratan, pelelangan, pengolahan dan pemasaran.