• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR TABEL

DAFTAR LAMPIRAN

2.2 Konsepsi Pembangunan Wilayah

2.2.3 Tantangan dan kendala pembangunan wilayah perbatasan

Kepentingan percepatan pembangunan wilayah perbatasan ditujukan untuk melindungi segenap penduduk dan kedaulatan seluruh wilayah negara, mengamankan pembangunan wilayah dan memelihara kerjasama dengan negara tetangga guna mewujudkan prinsip hidup berdampingan secara damai, aman, dan sejahtera. Kebutuhan dan kepentingan percepatan pembangunan daerah perbatasan menghadapi tantangan antara lain yang mencakup delapan aspek sebagai berikut (DJPR 2002) :

(1) Aspek geografis, yang meliputi kebutuhan jalan penghubung, landasan pacu (airstrip), dan sarana komunikasi serta sarana perhubungan lainnya yang memadai untuk keperluan pembangunan daerah perbatasan antar negara; (2) Aspek demografis, yang meliputi pengisian dan pemerataan penduduk untuk

termasuk kekuatan cadangannya melalui kegiatan transmigrasi dan permukiman kembali (resettlement) penduduk setempat;

(3) Aspek sumber daya alam, yang meliputi survei dan pemetaan sumber daya alam guna menunjang pembangunan dan sebagai obyek yang perlu dilindungi pelestarian dan keamanannya;

(4) Aspek politik, yang meliputi pemahaman sistem politik nasional, terselenggaranya aparat pemerintahan yang berkualitas sebagai mitra aparat hankam dalam pembinaan teritorial setempat;

(5) Aspek ekonomi, yang meliputi pembangunan kesatuan wilayah ekonomi yang dapat sinkron dengan kegiatan ekonomi wilayah sekitarnya;

(6) Aspek sosial budaya, yang meliputi peningkatan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan yang memadai untuk mengurangi kerawanan di bidang keamanan, serta nilai sosial budaya setempat yang tangguh terhadap penetrasi budaya asing;

(7) Aspek hankam, yang meliputi pembangunan pos-pos perbatasan, pembentukan sabuk pengamanan (security belt), dan pembentukan kekuatan pembinaan teritorial yang memadai.

Beberapa kendala dan hambatan yang dihadapi dalam upaya pembangunan daerah perbatasan antar negara ini antara lain:

(1) Sumber daya manusia, yang ditunjukkan antara lain oleh rendahnya jumlah dan kualitas kesejahteraan penduduk dengan penyebaran yang tidak merata dibandingkan dengan luas wilayah dan garis perbatasan yang panjang, yang berimplikasi pada kegiatan pelintas batas yang ilegal; selain itu banyaknya TKI yang bekerja di negara tetangga sebagai pekerja kasar seperti buruh perkebunan, bangunan, dan pembantu rumah tangga, juga turut menurunkan harkat bangsa;

(2) Sumber daya buatan (prasarana), yang tingkat pelayanannya masih sangat terbatas, seperti sistem perhubungan dan telekomunikasi, pelayanan listrik dan air bersih, serta fasilitas lainnya seperti kesehatan, pendidikan, dan pasar, sehingga penduduk daerah perbatasan masih cenderung untuk berorientasi kepada negara tetangga yang tingkat aksesibilitas fisik dan informasinya relatif lebih tinggi;

(3) Penataan ruang dan pemanfaatan sumber daya alam, yang ditunjukkan antara lain oleh terjadinya konflik ataupun tumpang tindih pemanfaatan ruang (lahan) baik antara kawasan budidaya dengan kawasan lindung, maupun antar kawasan budidaya seperti antara kegiatan pertambangan dan kehutanan yang berkaitan dengan ekonomi daerah dan masyarakat.

(4) Penegasan status daerah perbatasan, yang berupa penetapan wilayah kecamatan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, persetujuan lintas batas kedua negara (terutama berkaitan dengan larangan untuk mengelola dan mengembangkan kawasan penyangga sepanjang garis perbatasan);

(5) Keterbatasan sumber pendanaan, dimana pembangunan daerah perbatasan kurang diberikan prioritas dibandingkan dengan daerah lainnya, sehingga semakin memperlebar tingkat kesenjangan antardaerah;

(6) Terbatasnya kelembagaan dan aparat yang ditugaskan di daerah perbatasan, dengan fasilitas yang kurang mencukupi, sehingga fungsi pelayanan kepada masyarakat setempat relatif kurang memadai.

DKP, 2004 dalam Apdilah (2006) mengatakan bahwa beberapa permasalahan yang dihadapi wilayah-wilayah perbatasan adalah (1) belum adanya kepastian garis batas laut dengan negara tetangga, (2) kondisi masyarakat di wilayah terluar masih terisolir dan termarjinalkan sehingga dapat dimanfaatkan oleh pihak lain yang mempunyai kepentingan, (3) maraknya pelanggaran hukum yang terjadi di wilayah perbatasan seperti penyelundupan, pencurian ikan, traficking, perompakan, (4) terbatasnya sarana dan prasarana untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan pengelolaan, khususnya terhadap pulau-pulau yang terpencil sulit dijangkau dan tidak berpenghuni, (5) kondisi pulau di perbatasan umumnya merupakan pulau-pulau kecil yang sangat rentan terhadap kerusakan baik oleh alam maupun manusia, (6) belum sinkronnya pengelolaan perbatasan baik yang mencakup program, maupun kejelasan kewenangan, (7) belum adanya peraturan perundang-undangan yang jelas dan menyeluruh dalam pengelolaan pulau-pulau terluar, (8) kurangnya sosialisasi tentang keberadaan dan pentingnya pulau-pulau terluar.

Yogaswara (2003) mengkatagorikan permasalahan wilayah perbatasan kedalam 6 kelompok yaitu (1) masalah-masalah yang timbal oleh kondisi geografis dan demografis dimana wilayah perbatasan ini relatif terpencil dengan tingkat aksesibilitas yang relatif rendah. Disamping itu tingkat kepadatan penduduk yang relatif rendah. Kondisi tersebut menyebabkan kemiskinan yang multidimensi yang dialami oleh sebagian besar masyarakat perbatasan, (2) Masalah-masalah konflik pertanahan yang menyangkut dua dimensi yaitu konflik pertanahan internal masyarakat (intra suku, antar suku, masyarakat adat versus masyarakat pendatang, masyarakat adat versus perusahaan, masyarakat adat versus pemerintah) dan konflik pertanahan karena persoalan garis batas dengan negara lain, (3) masalah-masalah ekonomi dimana aktifitas ekonomi di wilayah ini dapat mencakup aktifitas ekonomi subsisten dan ekonomi komersial, (4) masalah dan kebijakan politik yang dapat berupa sengketa klaim wilayah perbatasan, aktifitas militer, dijadikan basis gerakan separatas, daerah pengungsian, pas lintas batas, repatriasi pelintas batas, perdagangan lintas batas, pencemaran lingkungan dan patok-patok yang digeserkan (5) masalah dan kebijakan aspek budaza dimana di wilayah perbatasan ini sering terjadi kasus

―pembelahan kultural (cultural cleavage) yaitu suatu komunitas yang diasumsikan berasal dari akar budaya yang sama, tetapi oleh kebijakan politik antar negara akhirnya dibagi menjadi dua entitas dan (6) masalah-masalah daerah transit dimana terjadi aliran tenaga kerja ke negara-negara tetangga.

Pada sebagian besar wilayah perbatasan terdapat kesenjangan pembangunan antara wilayah Indonesia dengan negara tetangga dimana pembangunan ekonomi negara tetangga relatif lebih maju. Hamid dan Mukti (2001) memberikan contoh perbandingan antara Indonesia dan Malaysia di wilayah perbatasan Kalimantan dimana kesenjangan tersebut terlihat jelas baik dari aspek infrastruktur, sosial dan ekonomi. Pada aspek inrfastruktur misalnya, kawasan perbatasan Malaysia memiliki aksesibilitas yang baik dimana jalan-jalan sudah di hotmix sampai ke desa-desa perbatasan, fasilitas sosial dan umum untuk tingkat desa dan kecamatan di Malaysia dengan jumlah penduduk yang relatif sama lebih baik sehingga investasi inrastruktur per kapitanya memang lebih baik. Fasilitas komunikasi dan informasi di Malaysia sangat baik, bahkan telah sampai

ke desa-desa. Kesenjangan-kesenjangan tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan masalah sosial terutama akan melunturkan rasa berbangsa dan bernegara.