• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR TABEL

DAFTAR LAMPIRAN

4) Hukum dan Kelembagaan yang diperlukan

9.5 Langkah Perubahan dan Pilihan Strateg

Adanya berbagai kondisi dan tingkat kesulitan dalam implementasi aktifitas-aktifitas model konseptual memunculkan beberapa alternatif skenario pilihan prioritas pelaksanaan aktifitas tersebut. Pilihan skenario ini didasarkan pada tingkat kesulitan dan waktu pelaksanaan aktifitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dirancang tiga skenario yang dapat dipilih yaitu (i) skenario optimis dimana seluruh aktifitas model dilaksanakan. Apabila aktifitas model itu dilaksanakan diyakini indikator keberhasilan akan dapat dicapai semua (+). Skenario ini mensyaratkan adanya keterlibatan semua pihak secara penuh baik pemerintah pusat maupun daerah termasuk instansi-instansi teknis terkait. Mengingat cakupan aktifitasnya yang luas dan relatif lebih kompleks, maka skenario ini memerlukan korbanan yang besar baik dari sisi fokus perhatian, pendanaan maupun waktu yang diperlukan.

Skenario selanjutnya adalah skenario moderat dengan pilihan dengan memprioritaskan strategi-strategi yang berpengaruh langsung dengan aktifitas penangkapan dan peningkatan pendapatan. Oleh karena itu aktifitas model yang dipilih adalah aktifitas-aktifitas pada sub sistem peningkatan produksi dan nilai tambah dan sub sistem pemasaran dan hubungan sosial. Dua strategi ini dipandang sangat strategis untuk mencapai indikator peningkatan pendapatan dan kemandirian nelayan. Dipilihnya skenario ini berimplikasi belum jelasnya (?) pencapaian indikator pengelolaan yang efektif, peningkatan aksesibilitas dan pertumbuhan ekonomi wilayah. Namun demikian untuk indikator peningkatan produksi, peningkatan pendapatan dan harga jual dapat tercapai.

Alternatif terakhir adalah skenario pesimis yaitu mempertahankan kondisi yang saat ini terjadi dengan indikator A, B,C yang belum tentu tercapai dan indikator lainnya tidak akan tercapai (-). Skenario ini perlu dihindari karena berarti tidak ada upaya-upaya yang dilakukan untuk mengembangkan perikanan tangkap di Kab. Nunukan.

Tabel 49 Pilihan skenario pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Nunukan

Pilihan skenario Indikator yang

dipengaruhi Kondisi indikator Skenario optimis : menjalankan seluruh

aktifitas model konseptual

A B C D E F + + + + + + Skenario moderat :

Menjalankan dua sub aktifitas model konseptuan 1 dan 2 A B C D E F + + + ? ? ? Skenario pesimis :

Tidak menjalankan semua aktifitas model konseptual A B C D E F ? ? ? - - - Keterangan : A. Peningkatan produksi B. Peningkatan pendapatan

C. Harga jual hasil tangkapan yang lebih baik D. Pengelolaan yang efektif

E. Peningkatan aksesibilitas F. Pertumbuhan ekonomi

+ : tercapai - : tidak tercapai ? : diragukan

Pilihan yang rasional dari ketiga skenario tersebut adalah skenario moderat dimana korbanan yang dikeluarkan relatif tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan skenario pertama. Pilihan pertama memerlukan waktu lebih lama dan upaya yang lebih keras lagi untuk mencapainya. Sedangkan alternatif ketiga tidak diambil karena tidak adanya perkembangan pembangunan. Oleh karena itu strategi yang perlu dilakukan adalah :

(1) Penyusunan masterplan/blue print kebijakan pengelolaan perikanan tangkap di wilayah perbatasan

Sampai saat ini pemerintah belum memiliki masterplan pengembangan perikanan tangkap di wilayah perbatasan. Kompleksitas dan karakteristiknya yang unik menuntut adanya kebijakan khusus dalam pengembangan perikanan tangkap di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan. Kekhususan tersebut terkait dengan letak geografisnya yang berbatasan dengan negara lain sehingga variabel penentu pengembangannya menjadi lebih kompleks. Aspek-aspek yang kiranya perlu dimuat dalam masterplan tersebut adalah (i) potensi dan permasalahan sumberdaya alam (ii) potensi dan permasalahan sumberdaya manusia (iii) potensi dan permasalahan infrastruktur (iv) potensi dan permasalahan ekonomi, sosial, politik, budaya dan (v) potensi dan permasalahan kelembagaan (vi) skenario pengembangan dan (vii) pentahapan pengembangan perikanan tangkap.

(2) Penguatan kelembagaan nelayan

Lembaga merupakan organisasi yang mempunyai kaidah yang mengatur atau mempengaruhi tindakan anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari atau dalam usaha untuk mencapai tujuan tertentu (Tarmizi 2003). Kemandirian nelayan bisa terjadi apabila nelayan sebagai suatu entitas bergabung dalam suatu kelembagaan yang akan menjadi wadah memperjuangkan keinginan dan harapan mereka. Lembaga yang kiranya diperlukan nelayan Nunukan adalah lembaga yang mampu mengatasi persoalan-persoalan yang mereka hadapi terkait dengan teknis usaha penangkapan, permodalan dan pemasaran.

(3) Peningkatan keterampilan nelayan

Peningkatan keterampilan nelayan merupakan salah satu bagian dari proses penyuluhan. Peningkatan keterampilan ini lebih ditekankan pada penguasaan teknik-teknik penangkapan sehingga dapat meningkatkan produktifitas penangkapan mereka. Saat ini unit penangkapan yang mereka miliki masih relatif tradisional dengan hasil tangkapan yang relatif masih rendah. Upaya yang dilakukan adalah mempersiapka mereka untuk mampu melakukan penangkpan dengan teknologi baru dan daerah penangkapan yang lebih jauh. Kondisi perairan pesisir yang selama ini menjadi tujuan penangkapan semakin lama akan semakin jenuh yang pada gilirannya produktifitas penangkapan akan

menurun. Kondisi ini sebenarnya sudah terlihat dari penurunan angka produktifitas nelayan yang telah dibahas sebelumnya.

(4) Penguatan permodalan nelayan

Permasalahan yang cukup penting dalam pengembangan perikanan tangkap adalah permodalan dimana untuk melakukan operasi penangkapan membutuhkan operasional yang tidak sedikit. Di sisi lain, sebagian besar nelayan merupakan nelayan tradisional yang tidak memiliki kemampuan finansial yang memadai. Adanya pihak pedagang pengumpul atau tauke menjadi alternatif untuk mendapatkan dana tersebut meski pada akhirnya sangat membebani mereka. Lembaga keuangan formal pun sampai saat ini belum mampu untuk menggantikan peran pedagang pengumpul dan tauke ini. Hal ini disebabkan karena lembaga keuangan formal hanya bergerak dalam penyediaan dana, itupun dengan pengurusan administrasi yang berbelit. Sedangkan pedagang pengumpul dan tauke tidak hanya bergerak dalam penyediaan permodalan tetapi juga penyediaan akses pasar dimana seluruh hasil tangkapan nelayan dapat ditampung dan dipasarkan. Oleh karena itu lembaga keuangan yang dibentuk hendaknya mampu menangani hal-hal yang selama ini diperoleh nelayan dari para pedagang pengumpul dan tauke yaitu (i) mendapatkan dana sebesar yang mereka perlukan (ii) setiap saat dapat mengajukan pinjaman (iii) pengembalian disesuaikan dengan pola usaha penangkapan yang tidak teratur tetapi berdasarkan trip penangkapan (iv) tidak menggunakan agunan dalam bentuk materi.

(5) Peningkatan daya jangkau armada penangkapan ikan

Armada penangkapan ikan nelayan Nunukan yang didominasi oleh armada skala kecil (perahu motor tempel) membawa implikasi pada (i) produksi yang rendah akibat produktifitas yang rendah, (ii) kemungkinan terjadinya overfishing di perairan pantai akibat kepadatan tangkap yang tinggi dan (iii) potensi konflik antar nelayan akibat kepadatan yang tinggi dan perluasan daerah tangkap yang hanya bersifat horizontal (keperairan wilayah tetangga) dan tidak vertikal. Penurunan produktivitas dipahami mengingat usaha penangkapan terkonsentrasi di daerah pantai dengan upaya penangkapan yang semakin banyak dan intensif, sementara potensi sumberdaya ikan di daerah tersebut

cenderung mengalami penurunan. Oleh karena itu, upaya-upaya motorisasi menjadi sangat penting untuk dilakukan.

(6) Optimalisasi fungsi dan percepatan pembangunan pelabuhan perikanan dan industri pengolahan

Pelabuhan perikanan di perbatasan mempunyai nilai yang sangat strategis karena berfungsi dalam pra produksi, produksi dan pasca produksi penangkapan. Dalam konteks pra produksi nelayan dapat diarahkan untuk menyediakan bahan perbekalan melaut seperti bahan bakar minyak, es dan air. Selama ini kebutuhan tersebut didatangkan dari Tawau Malaysia. Penyediaan bahan kebutuhan melaut di pelabuhan perikanan Nunukan akan dapat mengurangi ketergantungan terhadap produk asing sekaligus memperkuat ekonomi dalam negeri. Kegiatan produksi penangkapan akan relatif terjamin karena dengan adanya pelabuhan perikanan, kapal-kapal yang relatif besar dapat mendarat dan membongkar hasil tangkapannya di Nunukan. Selama ini dengan ukuran yang relatif kecil, kapal- kapal tersebut merapat dan mendaratkan hasil tangkapannya di rumah masing- masing nelayan. Hal ini sangat menyulitkan proses pendataan dan aktifitas pengaturan lainnya. Disamping itu pelabuhan perikanan pun berfungsi sebagai basis pengolahan hasil tangkapan, minimal dalam bentuk barang setengah jadi sebelum dipasarkan ke Tawau Malaysia.

Pengembangan industri pengolahan ikan sendiri diarahkan untuk memberikan nilai tambah bagi produk perikanan yang selama ini dipasarkan dalam bentuk bahan mentah. Dampak pengganda ekonomi dari aktifitas penangkapan justru terjadi di wilayah Tawau Malaysia. Dalam prakteknya, kebijakan pengembangan industri pengolahan ini akan mendapatkan resistensi dari para pengusaha pengolahan ikan dari Tawau yang selama ini mendapat pasokan ikan dari Nunukan. Oleh karena itu perlu dirumuskan kebijakan yang tepat dengan beberapa alternatif yaitu menarik pengusaha Tawau untuk melakukan investasi di Kabupaten Nunukan dengan beberapa insentif yang dapat diberikan atau industri pengolahan yang ada hanya sebatas industri pengolahan setengah jadi sehingga relatif tidak mempengaruhi industri pengolahan di Tawau Malaysia. Untuk mewadahi semua itu diperlukan suatu rencana induk (master

plan) pengembangan industri pengolahan yang terintegrasi dengan masterplan pembangunan pelabuhan perikanan.

(7) Optimalisasi penananganan IUU fishing

Penanganan IUU fishing dapat dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan yaitu penanganan lunak dan penanganan keras. Penanganan halus ditujukan kepada para nelayan Nunukan yang relatif kurang memahami prinsip- prinsip pengaturan penangkapan internasional. Hal ini dimaksudkan supaya mereka tidak melakukan pelanggaran dengan menangkap di perairan negara tetangga. Terjadinya tindak pelanggaran penangkapan ikan terutama yang dilakukan oleh nelayan-nelayan Indonesia salah satunya disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai praktek-praktek IUU Fishing dan implikasinya terhadap perkembangan perikanan maupun pembangunan nasional. Nelayan-nelayan tersebut sudah melakukan penangkapan ikan secara turun temurun pada daerah penangkapan tertentu. Oleh karena itu mereka tidak merasa melakukan pelanggaraan hanya karena perbedaan administrasi negara. Demikian pula halnya kerjasama penangkapan antara nelayan Indonesia dan Malaysia selama ini dilakukan tanpa ada kendala yang berarti. Hal ini disebabkan karena mereka mempunyai budaya dan asal keturunan yang sama yaitu berasal dari Bugis. Sedangkan penanganan keras ditujukan kepada nelayan-nelayan asing yang melakukan penangkapan di perairan Indonesia.

(8) Mengoptimalkan peran penyuluh perikanan

Penyuluhan sangat penting dalam dalam pengembangan perikanan tangkap untuk nelayan-nelayan tradisional. Hal didasarkan pada kenyataan sebagian besar nelayan tradisional Nunukan mempunyai tingkat pendidikan yang relatif rendah. Penyuluhan ini tidak hanya ditujukan untuk mengenalkan introduksi teknologi baru, tetapi yang lebih penting adalah membuka wawasan dan membangun kesadaran mereka. Kesadaran mengenai potensi dan kemampuan yang dimiliki, pentingnya inovasi dalam pengembangan usaha, manajemen usaha, kelembagaan dan kemitraan. Undang-undang Nomor 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan mengartikan penyuluhan sebagai berikut:

―proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan

mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan

kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.‖ Pada hakekatnya, berbicara

tentang penyuluhan setidaknya menyangkut lima unsur yaitu: (1) proses pembelajaran, (2) ada subyek yang belajar, (3) pengembangan kesadaran dan kapasitas diri dan kelompok, (4) pengelolaan sumberdaya untuk perbaikan kehidupan, dan (5) diterapkannya prinsip berkelanjutan dari sisi sosial, ekonomi, dan menerapkan fungsi kelestarian lingkungan (Amanah 2007).

(9) Kerjasama pengelolaan dalam bidang perikanan tangkap

Pengelolaan perikanan tangkap di wilayah perbatasan relatif lebih kompleks dibandingkan dengan pengelolaan perikanan tangkap di wilayah non perbatasan. Hal ini disamping disebabkan karena adanya berbagai kepentingan yang berbeda diantara kedua negara dengan pola pengaturan yang berbeda pula. Oleh karena itu yang sering terjadi adalah timbulnya konflik diantara keduanya. Konflik bisa terjadi adanya perbedaan individu, perbedaan budaya, perbedaan kepentingan dan terjadinya perubahan sosial di dalam masyarakat. Perbedaan individu/budaya terjadi karena perbedaan lingkungan yang membentuk kedua belah pihak yang melahirkan prinsip-prinsip nilai kebiasaan atau tatacara yang berbeda. Konflik dapat terjadi jika masing-masing pihak tidak dapat menerima atau menghormati prinsip atau sistem nilai yang dimiliki pihak lain (Soekanto 1982 dalam Hasyim 2007). Pada awalnya konflik tersebut terjadi antar nelayan kedua negara, namun pada perkembangannya dapat mengarah pada konflik antar negara.

Berdasarkan fakta yang ada dimana negara-negara tersebut mempunyai kepentingan untuk melindungi kepentingan negara masing-masing, maka langkah yang strategis yang kiranya perlu dilakukan adalah melakukan kerjasama pengelolaan perikanan tangkap di wilayah yang berbatasan tersebut.

Aspek yang penting dalam pengembangan perikanan tangkap dalam kaitannya dengan kerjasama di perbatasan adalah aspek penanganan IUU Fishing

pemasaran dan pengembangan industri pengolahan hasil tangkapan. Sampai saat ini Tawau masih merupakan pilihan strategis pengembangan usaha perikanan tangkap. Oleh karena itu langkah rasional adalah membangun kerjasama dan kolaborasi dengan mereka. Hal ini disamping bertujuan untuk meredam konflik horizontal antar pelaku perikanan yang dapat berimplikasi pada konflik antar negara, yang juga tidak kalah pentingnya adalah untuk membangun perekonomian wilayah Nunukan berbasis perikanan tangkap.

Hal-hal yang menjadi kekuatan dalam kolaborasi ini adalah adanya berbagai kesamaan antara Indonesia dan Malaysia, diantaranya adalah (i) kesamaan suku bangsa dimana baik nelayan Tawau maupun Nunukan berasal dari rumpun yang sama yaitu suku Bugis (ii) kesamaan bahasa (iii) kesamaan budaya dan kesamaan karakteristik sumberdaya ikan karena berada pada suatu wilayah perairan yang sama.

Proses pembentukan kolaborasi pengelolaan perikanan tangkap antara pemerintah Indonesia dan Malaysia di wilayah Nunukan diyakini akan berjalan alot karena perbedaan kepentingan antar kedua negara. Oleh karena itu prinsip dan asumsi yang harus dipegang dalam manajemen kolaborasi perlu dilakukan (Wiratno et al 2004 dalam Purwanti 2008) , yaitu: 1) memperhatikan keragaman dan perbedaan kapasitas maupun fokus pengelolaan dari tiap pihak, sehingga diharapkan dapat saling melengkapi dalam berbagai peran yang dijalankan; 2) didasarkan pada pemikiran positif sesuai dengan tanggapan dan keadilan masyarakat; 3) berdiri atas prinsip pengelolaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban; 4) mendorong upaya menuju keadilan sosial; dan 5) hasilnya merupakan sebuah rencana kemitraan sebagai respon atas berbagai kebutuhan secara efektif.

Langkah langkah yang kiranya dapat dilakukan dalam melakukan kolaborasi pengelolaan perikanan tangkap antara Indonesia dan Malaysia adalah (i) penetapan wilayah dan luasan yang akan menjadi obyek pengelolaan bersama (ii) penetapan potensi sumberdaya ikan yang ada (iii) penetapan kuota penangkapan masing-masing negara (iv) penetapan cakupan pengelolaan (v) penetapan mekanisme pengelolaan. Hal-hal tersebut dirumuskan bersama oleh suatu lembaga yang dibentuk atas kesepakatan kedua negara.

(10)Formulasi ulang sistem kemitraan nelayan

Hubungan nelayan dengan pemilik modal selama ini lebih bersifat eksploitatif dimana hubungan tersebut kurang memberikan rasa keadilan bagi nelayan. Nelayan tidak mempunyai kekuatan posisi tawar yang memadai. Hal ini perlu diubah menjadi hubungan kemitraan. Kemitraan merujuk pada suatu hubungan kerjasama dimana para pihak yang terlibat mempunyai kedudukan yang sejajar. Hubungan yang dibangun merupakan hubungan yang saling menguntungkan. Oleh karena itu aspek-aspek yang potensi menjadi kekuatan nelayan perlu digali dan dikembangkan.

10.1 Kesimpulan

1 Pemasaran hasil tangkapan yang ada saat ini belum memberikan harga yang memadai bagi para nelayan Nunukan. Hal ini disebabkan karena adanya keterikatan antara nelayan dengan pemilik modal dari Tawau melalui pedagang-pedagang pengumpul yang menjadi kepanjangan tangan pemilik modal tersebut.

2 Produktifitas penangkapan nelayan Nunukan masih relatif rendah yang ditunjukkan oleh nilai produktifitas alat tangkap maupun produktifitas nelayan yang masing-masing baru mencapai 95 kg/hari/alat tangkap dan 3,97 kg/nelayan/hari. Komoditas unggulannya di Kabupaten Nunukan adalah udang putih (Penaeus merguiensis), bawal hitam (Formio niger), teri

(Stolephorus spp), tenggiri (Scomberomorus commerson), bawal putih

(Pampus argenteus), udang bintik, kerapu lumpur (Epinephelus tauvina), arut (gerot-gerot) (Pomadasys maculatus), kuwe/putih (Caranx spp), pari kembang/pari macan (Dasyatis spp) dan Kurau (Eleutheronema tetradactylum). Permasalahan yang dihadapi adalah pelabuhan perikanan belum berfungsi sebagai prasarana pendukung penangkapan ikan dan adanya praktek IUU Fishing.

3 Belum adanya peraturan yang spesifik mengatur mengenai pengelolaan perikanan tangkap di perbatasan secara komprehensif. Tujuan pengelolaan perikanan di perbatasan adalah (i) meningkatkan pendapatan nelayan dan negara melalui penyempurnaan sistem perdagangan hasil tangkapan ke luar negeri (ii) menjaga kelestarian sumberdaya ikan di wilayah perairan perbatasan melalui penanganan praktek IUU Fishing dan meningkatkan kerjasama antara Indonesia dan Malaysia dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan.

4 Kondisi ekonomi wilayah mempunyai keunggulan dan mendukung pengembangan perikanan tangkap. Namun demikian aspek infrastruktur

yang relatif terbatas menjadikan kendala dalam pengembangan perikanan tangkap.

5 Strategi pengembangan perikanan di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan meliputi (i) penyusunan kebijakan pengelolaan berupa masterplan atau blue print pengembangan perikanan tangkap di wilayah perbatasan, (ii) penguatan kelembagaan nelayan, (iii) peningkatan keterampilan nelayan, (iv) penguatan permodalan nelayan, (v) meningkatkan daya jangkau penangkapan (vi) optimalisasi fungsi dan percepatan pembangunan pelabuhan perikanan dan industri pengolahan, (vii) optimalisasi penananganan IUU fishing (viii) optimalisasi peran penyuluh perikanan (ix) kerjasama pengelolaan dalam bidang perikanan tangkap antara pemerintah Malaysia dan Indonesia (x) formulasi ulang sistem kemitraan nelayan.

10.2 Saran

1. Perlu disusun Masterplan pengembangan perikanan tangkap di wilayah perbatasan yang menjadi rujukan dan arahan bagi pengembangan perikanan di wilayah-wilayah perbatasan.

2. Perlu adanya penguatan kelembagaan nelayan yang akan memberikan dampak pada pembentukan kemandirian dan posisi tawar nelayan.

3. Perlu adanya upaya meningkatkan daya jangkau armada penangkapan ikan sehingga penangkapan tidak hanya berlangsung pada perairan pantai yang sudah relatif jenuh.

4. Perlu adanya optimalisasi fungsi dan percepatan pembangunan pelabuhan perikanan.

5. Perlu adanya optimalisasi peran penyuluh perikanan dalam rangka pemberdayaan masyarakat nelayan.

6. Perlu melakukan inisiasi kerjasama (kolaborasi) pengelolaan perikanan tangkap dengan pemerintah Malaysia.

Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur. LIPI Press Jakarta. 122 hal

Alkadri et al. 1999. Tiga pilar pengembangan wilayah : sumberdaya alam. sumberdaya manusia dan teknologi. Pusat Pengkajian Kebijakan teknologi Pengembangan Wilayah. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta. 314 hal

Alkadri. 2001. Manajemen teknologi untuk pengembangan wilayah (edisi revisi). Pusat Kajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. 317 hal

Amanah, S. 2007. Makna Penyuluhan dan Transformasi Perilaku Manusia. Jurnal Penyuluhan edisi Maret 2007 Vol 3 No 1.

Ambardi. UM dan S. Prihawantoro. 2002. Pengembangan wilayah dan otonomi daerah : kajian konsep dan pengembangan. Pusat Pengkajian Kebijakan teknologi Pengembangan Wilayah. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta. 328 hal

Anwar. A. 2005. Ketimpangan pembangunan wilayah dan perdesaan : tinjauan kritis. P4Wpress. Bogor

Apdillah. D. 2006. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan Indonesia-Malaysia (studi kasus Pulau Karimun Kecil. Kepulauan Riau). Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Bene, C. 2003. When fishery rhymes with poverty: a first step beyond the old paradigm on poverty in small-scale fisheries. World Development Vol. 31, No. 6, pp. 949–975, 2003

Budiono, A. 2005. Keefektifan pengelolaan konflik pada perikanan tangkap di Perairan Selatan Jawa. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

[BPS Kab. Nunukan]. 2010. Kabupaten Nunukan dalam angka 2009. Badan Pusat Statistika Kabupaten Nunukan.

[BPS Kab. Nunukan]. 2011. Kabupaten Nunukan dalam angka 2010. Badan Pusat Statistika Kabupaten Nunukan.

Cernea, MM. 1988. Mengutamakan manusia di dalam pembangunan. Publikasi Bank Dunia. Penerbit Universitas Indonesia.

Chang, W. 2003. Berkaitan dengan konflik antar etnis agama dalam anonimous (2003) : konflik komunal di indonesia saat ini. Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) Universiteit Leiden bekerjasama dengan Pusat Bahasa dan Budaya Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Charles. AT. 2001. Sustainable fishery sistems. Blackwell Science. United Kingdom. 370 p

Checkland, P and Jim Scholes, 1990. Soft system methodology in action. John Willey and son Ltd. West Sussex, England. 329 p

[DJPR] Direktorat Jenderal Penataan Ruang. 2002. Strategi dan konsepsi pengembangan kawasan perbatasan negara. Bahan rapat kebijakan dan program pengembangan dan pengelolaan wilayah perbatasan. Bappenas. 8 Agustus 2002ayah Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Jakarta

[DJPT] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2011. Statistik perikanan tangkap 2010. Direktortat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Djalal. H. 2003. Indonesia dan Perjanjian Internasional. Program Kerjasama Teknik FAO – Indonesia. Bantuan dalam Perundang-undangan Perikanan Kelautan

[DPK] Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Nunukan. 2011. Statistik perikanan Kab. Nunukan 2010. Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Nunukan Kalimantan Timur

[FAO] Food and Agricultural Organization, 1995. Code of conduct for responsible fisheries. Rome.

Fauzi. A dan Suzy Anna. 2005. Pemodelan sumberdaya perikanan dan kelautan untuk analisis kebijakan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Gasperz, V. 1992. Analisis sistem terapan berdasarkan pendekatan teknik industri. Penerbit Tarsito Bandung. 670 hal.

Hamid dan Mukti. 2001. Kawasan perbatasan Kalimantan : permasalahan dan konsep. Pusat Kajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. 148 hal

Hartrisari, 2007. Sistem dinamik : konsep sistem dan pemodelan untuk industri dan lingkungan. SEAMEO BIOTROP. Bogor. 125 hal

Hasyim AW. 2007. Keberlanjutan kehidupan sosial ekonomi masyarakat tanpa tambang nikel (studi di Pulau Gebe Propinsi Maluku Utara). Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Hendriwan et al. 2007. Analisis konflik pengelolaan perikanan tangkap dalam perspektif interaksi stakeholders di teluk lampung. Buletin PSP Volume XVI no 3 tahun 2007 hal 493-510. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK IPB.