• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik pengelolaan sumberdaya perikanan dan penyelesaiannya

DAFTAR TABEL

DAFTAR LAMPIRAN

2.1 Perikanan Tangkap

2.1.3 Konflik pengelolaan sumberdaya perikanan dan penyelesaiannya

Fisher et al. (2000), Rubin et al. (1994), Sarwono (2001) dalam Shaliza (2004) mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Dengan perkataan lain terdapat pertentangan antar dua pihak atau lebih. Bahkan Sarwono menegaskan bahwa pertentangan tersebut tidak hanya pada tataran individu tetapi juga dapat terjadi antar kelompok masyarakat bahkan antar bangsa dan negara. Soekanto (1982) dalam Hasyim (2007) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan munculnya konflik di dalam suatu masyarakat karena adanya perbedaan individu, perbedaan budaya, perbedaan kepentingan dan terjadinya perubahan sosial di dalam masyarakat. Perbedaan individu/budaya terjadi karena perbedaan lingkungan yang membentuk kedua belah pihak yang melahirkan prinsip-prinsip nilai kebiasaan atau tatacara yang berbeda. Konflik dapat terjadi jika masing-masing pihak tidak dapat menerima atau menghormati prinsip atau sistem nilai yang dimiliki pihak lain.

Lebih lanjut Fisher et al (2000) mengatakan bahwa pada dasarnya konflik dapat terjadi karena dipicu oleh beberapa hal, yaitu

(1) Polarisasi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat (teori hubungan masyarakat)

(2) Terdapat posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konlik (teori negosiasi prinsip) (3) Adanya usaha untuk menghalang-halangi pemenuhan kebutuhan dasar

manusia, baik kebutuhan fisik, mental dan sosial (teori kebutuhan manusia) (4) Terancamnya identitas yang sering berakar pada hilangnya sesuatu hal atau

karena penderitaan di masa yang lalu yang tidak terselesaikan (teori identitas)

(5) Ketidakcocokkan dalam cara-cara berkomunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda (teori kesalahfahaman antar budaya)

(6) Masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi (teori transformasi konflik)

Dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam berpotensi menimbulkan konflik terutama karena adanya kompetisi dalam pemanfaatan

sumberdaya tersebut. Bennet dan Neiland (2000) dalam Budiono (2005) berpendapat bahwa interaksi antara sumberdaya yang menjadi konflik dengan ekosistem juga harus mendapat perhatian, karena perubahan salah satu sistem dari ekosistem akan mempengaruhi ekosistem lain secara keseluruhan. Pemanfaatan sumberdaya alam dapat menimbulkan eksternalitas yang terkadang tidak diperhitungkan ke dalam pemanfaatan sumberdaya. Terdapat tiga jenis eksternalitas yang menjadi dilema dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan yaitu (Schlager et al, 1992 dalam Budiono, 2005) :

(1) Appropriation externalities. Dalam perhitungan ekonomi, ketika seorang nelayan menangkap ikan dari stok yang tersedia di laut, proses tersebut meningkatkan biaya marjinal dari setiap tambahan ikan yang ditangkapnya sekaligus menurunkan manfaat marjinal dari setiap tambahan upaya penangkapannya. Dengan demikian, peningkatan biaya penangkapan ikan karena mengecilnya stok ikan di laut tidak hanya berpengaruh pada nelayan yang menangkap ikan, tetapi juga nelayan lainnya yang ikut memanfaatkan stok ikan tersebut.

(2) Technological externalities. Eksternalitas ini muncul ketika nelayan secara fisik saling melakukan intervensi di lokasi penangkapan ikan yang pada akhirnya dapat memicu timbulnya konflik. Ekternalitas ini dapat didefinisikan sebagai terjadinya pelanggaran alat tangkap terhadap alat tangkap lainnya atau bentuk-bentuk ketersinggungan fisik lainnya yang muncul akibat nelayan melakukan penangkapan ikan sangat berdekatan satu sama lainnya.

(3) Assignment problem. Assignment problem muncul ketika nelayan menangkap ikan secara tidak terkoordinasi sehingga tidak mampu mengalokasikan diri mereka secara efisien pada daerah penangkapan tersebut. Permasalahan muncul mengenai siapakah yang memiliki akses ke daerah produktif tersebut dan bagaimana akses tersebut harus ditetapkan/dibagikan. Kegagalan dalam memecahkan assignment problems ini dapat memicu konflik dan meningkatkan biaya produksi.

Pada pengelolaan perikanan tangkap, terdapat tujuh penyebab konflik (Anonimous, 2002 dalam Budiono, 2005) yaitu (i) persepsi politis yang keliru dalam memahami batas-batas perairan wilayah setelah diberlakukan otonomi

daerah, (ii) perebutan daerah/lokasi penangkapan, (iii) perbedaan kapasitas peralatan tangkap antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang sama, (iv) perbedaan kualitas peralatan tangkap antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang berbeda, tetapi pada daerah yang sama, (v) pelanggaran batas wilayah perairan, (vi) operasi sekelompok nelayan merusak/menerjang peralatan tangkap nelayan lain, dan (vii) pelanggaran hak ulayat laut masyarakat lokal. Sedangkan Sari (2010) berdasarkan penelitiannya di Kabupaten Bengkalis menyimpulkan bahwa faktor mendasar pendorong terjadinya konflik perikanan tangkap adalah (i) latar belakang budaya masyarakat nelayan yang berbeda dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya perikanan (ii) faktor sosial yang cenderung melakukan perebutan wilayah tangkap dan (iii) faktor yuridis yaitu keberadaan peraturan yang tidak sesuai dengan karakteristik daerah dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat nelayan. Konflik di perikanan tangkap ternyata juga tidak hanya antar nelayan, tetapi juga antara nelayan dengan stakeholder lainnya sebagaimana yang dikaji Hendriwan (2007) yaitu antara nelayan besar dengan nelayan kecil, interaksi petugas keamanan laut dengan nelayan, nelayan besar dan nelayan pendatang, nelayan tradisional dengan pendatang, pemerintah kota dan propinsi, pemerintah kota dengan nelayan dan interaksi dengan KUD.

Dalam rangka mengatasi berbagai konflik tersebut, beberapa ahli mengajukan pendapatnya. Leonardo Boff sebagaimana dikutip Chang (2003) mengatakan bahwa perlu ditekankan etika dunia baru yang mencakup (i) etika yang menyerukan umat manusia untuk saling melihat antara satu sama lain dalam pengertian positif, (ii) etika solidaritas yang ditandai dengan sikap solidaritas sosial terhadap siapa yang dililit kesulitan, (iii) etika tanggung jawab yang megutamakan sikap tanggung jawab setiap orang terhadap pemikiran, ucapan, tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari, (iv) etika berdialog yang dimulai dengan dialog yang hidup, tulus dan ikhlas dan (v) etika suci yang mencakup dan dapat diterima oleh semua pihak sebab didahului oleh nilai-nilai kebaikan secara universal yang dapat diterima oleh semua orang dalam setiap kondisi.

Konflik penangkapan ikan di wilayah perbatasan relatif lebih kompleks lagi. Hal ini disebabkan karena pihak-pihak yang berkonflik terkadang berasal

dari negara yang berbeda sehingga tidak dapat diselesaikan di tingkat nelayan tetapi oleh dua pemerintahan yang berkonflik. Bentuk konflik penangkapan yang terjadi antar negara biasanya berupa penangkapan illegal yang dikenal dengan istilah Illegal Unreported, Unregulated (IUU) Fishing.

Pengertian Illegal Fishing merujuk pada pengertian yang dikeluarkan oleh

International Plan of Action (IPOA) – Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing yang diprakarsai oleh FAO dalam konteks implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Pengertian Illegal Fishing adalah (i) kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh suatu negara tertentu atau kapal asing di perairan yang bukan merupakan yuridiksinya tanpa izin dari negara yang memiliki yuridiksi atau kegiatan penangkapan ikan tersebut bertentangan dengan hukum dan peraturan negara itu dan (ii) kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera salah satu negara yang tergabung sebagai anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, Regional Fisheries Management Organization (RFMO) tetapi pengoperasian kapal-kapalnya bertentangan dengan tindakan-tindakan konservasidan pengelolaan perikanan yang telah diadopsi oleh RFMO. Negara RFMO wajib mengikuti aturan yang ditetapkan itu atau aturan lain yang berkaitan dengan hukum internasional dan (iii) kegiatan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundang-undangan suatu negara atau ketentuan internasional, termasuk aturan-aturan yang ditetapkan negara anggota RFMO. Sedangkan Unreported Fishing mengacu pada (i) aktifitas penangkapan yang tidak dilaporkan, atau pelaporan yang salah (misreported) kepada otoritas nasional yang bertentangan dengan peraturan nasional (ii) penangkapan dalam wilayah RFMO yang tidak dilaporkan atau pelaporan yang bertentangan dengan prosedur organisasi. Dan Unregulated Fishing mengacu pada (i) penangkapan di wilayah pengelolaan RFMO yang dilakukan oleh kapal tanpa kewarganegaraan, negara bendera tapi bukan untuk kepentingan RFMO, atau oleh entitas nelayan dengan cara yang tidak konsisten dengan atau bertentangan dengan tindakan konservasi dan pengelolaan organisasi dan (ii) penangkapan di daerah atau untuk stok ikan yang tidak ada konservasi atau tindakan manajemen yang berlaku dan di mana aktivitas penangkapan ikan tersebut dilakukan dengan cara yang tidak konsisten

dengan tanggung jawab negara untuk konservasi sumberdaya hayati laut di bawah hukum internasional.

Adhuri (2005) menjelaskan salah satu kasus IUU Fishing di wilayah perbatasan Indonesia-Australia yang dilakukan oleh nelayan-nelayan Indonesia. Penyebab terjadi pelanggaran tersebut adalah (i) conflicting claims dimana terjadi perbedaan persepsi diantara nelayan dan (ii) pasar internasional sumberdaya ikan yang mendorong nelayan melakukan penangkapan meski terkatagori IUU Fishing. 2.1.4 Potensi sumberdaya ikan

Perairan Kabupaten Nunukan termasuk Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI 716 yaitu Perairan Laut Sulawesi dan Sebelah Utara Pulau Halmahera. Daerah yang termasuk kedalam WPP ini meliputi Kalimantan Timur (Kabupaten Bulungan, Kota Tarakan, Kabupaten Nunukan, Kabupaten Berau, Kabupaten Kutai Timur), Gorontalo, Sulawesi Utara (Kabupaten Bolaang Mengondow, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Sangihe Talaud, Kabupaten Kepulauan Talaud, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Utara, Kota Manado, Kota Bitung), Sulawesi Tengah (Kabupaten Toli-Toli, Kabupaten Buol) dan Maluku Utara (Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera Utara).

Berdasarkan DJPT (2011), estimasi potensi sumberdaya ikan yang dominan adalah ikan pelagis kecil (230,9 ribu ton/tahun), pelagis besar (70,1 ribu ton/tahun) dan ikan demersal (24,7 ribu ton/tahun). Sedangkan jenis ikan lain relatif sedikit yaitu ikan karang konsumsi (6,5 ribu ton/tahun), udang penaid (1,1 ribu ton/tahun), lobster dan cumi-cumi masing-masing dengan potensi 0,2 ribu ton/tahun). Sedangkan produksi penangkapan pada tahun 2010 didominasi beberapa jenis ikan diantaranya adalah cakalang (49,2 ribu ton), laying (34,6 ribu ton), albakora dan madidihang masing-masing 15,3 ribu ton dan 14,6 ribu ton). Sedangkan jenis ikan lainnya masih dibawah 10 ribu ton yaitu tongkol abu-abu, teri, tongkol krai, tenggiri, selar dan kembung. Alat tangkap yang banyak digunakan khususnya yang mempunyai izin pusat adalah alat tangkap purse seine dan rawai tuna masing-masing 368 unit dan 142 unit. Sedangkan alat tangkap lainnya adalah huhate (35 unit), jarring insang (4 unit), hand line (3) dan pancing rawai (1 unit).