• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kelayakan Usaha Pengolahan dan Nilai Tambah Pada Mie Iris Ubi Hasil Olahan Ubi Kayu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kelayakan Usaha Pengolahan dan Nilai Tambah Pada Mie Iris Ubi Hasil Olahan Ubi Kayu"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN

(2)

Lampiran 2. Status Pengolahan Ubi Kayu Sebagai Mata Pencaharian Utama dan Jumlah Unit Usaha yang Dimiliki Responden yang Menjadi Sampel

No Sampel Status Usaha Pengolahan

(3)

Lampiran 3. Jumlah Tanggungan Responden yang Menjadi Sampel

No Sampel Jumlah Tanggungan

(Orang)

6 Tidak Ada Tanggungan

7 3

8 2

9 1

10 Tidak Ada Tanggungan

11 2

18 Tidak Ada Tanggungan

19 2

20 2

21 2

22 1

23 2

24 Tidak Ada Tanggungan

25 2

26 2

27 2

28 2

29 Tidak Ada Tanggungan

(4)

Lampiran 4. Pekerjaan Lain dan Pendapatan Rata-Rata per Bulan Responden yang Menjadi Sampel

No Sampel Pekerjaan Lain Selain

Mengolah Mie Iris

3 Peternak, Pensiun Kebun 350.000

4 Tidak Ada -

5 Tidak Ada -

6 Agen Kereta 500.000

7 Pedagang Kedai 1.000.000

8 Petani Penggarap 200.000

9 Karyawan Kebun 1.600.000

10 Tidak Ada -

11 Peternak 50.000

12 Agen Besar Ubi Kayu dan Hasil Olahan Ubi, dan Jambi

> 15.000.000

13 Tidak Ada -

14 Pekerja Bangunan 1.000.000

15 Peternak, Pensiunan Kebun 500.000

16 Peternak 1.500.000

17 Peternak 100.000

18 Pensiunan Kebun 400.000

19 Agen Bahan Baku Ubi Kayu, Bengkel

10.000.000

20 Tidak Ada -

21 Pengolah balengkuo, opak 4.000.000

22 Karyawan Kebun 1.600.000

23 Petani padi, Peternak 1.200.000

24 Tidak Ada -

25 Kepala Dusun, Agen Kereta, Petani padi dan ubi

(5)

Lampiran 5. Banyaknya Proses Produksi Per Minggu dan Per Bulan yang Dilakukan Responden yang Menjadi Sampel

No Sampel Proses Produksi/Minggu

(6)

Lampiran 6. Rincian Kebutuhan Bahan Baku Ubi Kayu, Harga Beli Ubi Kayu, dan Biaya Pembelian Ubi Kayu tiap Responden yang Menjadi Sampel Untuk Sekali Produksi

No Sampel Kebutuhan Bahan

(7)

Lampiran 7. Jumlah Penggunaan Alat-Alat Produksi Ubi Kayu yang Digunakan Responden yang Menjadi Sampel

No Samepel Penggunaan Alat-Alat Produksi

(8)

Lampiran 8. Rincian Biaya Pembelian Alat-Alat yang Digunakan dalam Proses Produksi Ubi Kayu Menjadi Mie Iris Ubi Oleh Responden yang Menjadi Sampel

No Sampel Harga Alat-Alat Produksi

(9)
(10)

Lampiran 9. Rincian Rata-Rata Biaya Penyusutan Peralatan dalam Pengolahan Ubi Kayu Menjadi Mie Iris Ubi Per Produksi

Sumber: Data Primer Diolah, Tahun 2014 Keterangan:

Penyusutan dihitung dengan menggunakan pendekatan garis lurus: Nilai Penyusutan = Harga Awal – 10% harga awal

Nilai Ekonomis

Biaya Penyusutan per produksi = Rp. 5.600 untuk memproduksi 568 kg ubi kayu 1 kg ubi kayu mengeluarkan biaya = Rp. 5.600/568 kg

(11)
(12)
(13)

Lanjutan Lampiran 10. Keterangan:

Biaya Kayu Bakar per produksi = Rp. 9.320 untuk memproduksi 568 kg ubi kayu 1 kg ubi kayu mengeluarkan biaya = Rp. 9.320/568 kg

1 kg ubi kayu = Rp. 16,40

Biaya Brondolan Sawit per produksi = Rp. 27.500 untuk memproduksi 568 kg ubi kayu 1 kg ubi kayu mengelurakan biaya = Rp. 27.500/568 kg

1 kg ubi kayu = Rp. 48,40

(14)

Lampiran 11. Pemberian Upah Tenaga Kerja yang Digunakan Responden yang Menjadi Sampel dalam Satu Kali Produksi

Keterangan Produksi Ubi

Kayu (kg/produksi)

Pengupas

(Rp/produksi)

Pencetak

(Rp/produksi)

Penjemur

(Rp/produksi)

Total Upah

(Rp/produksi)

568 28.400 45.440 20.000 93.840

Rata-Rata Kebutuhan TK

2 2 2

Upah per TK 14.200 22.720 10.000

Keterangan:

Pemberian upah tenaga kerja dilakukan dengan sistem borongan untuk sekali kerja yang dipatokkan pada jumlah bahan baku yang akan diolah. Dengan kata lain, pemberian upah tidak dipengaruhi jumlah tenaga kerja yang digunakan. Selanjutnya dijelaskan melalui perincian di bawah ini:

Pengupasan = Rp. 50 / kg Pencetakan = Rp. 80 / kg

(15)

Lampiran 12. Kebutuhan Tenaga Kerja

No Uraian Pekerjaan Jumlah Bahan

Baku (Kg/Produksi)

Jumlah Tenaga Kerja

Upah Tenaga Kerja Waktu Yang

Digunakan (Jam)

HOK (Hari Orang Kerja) Rp/Tenaga

Kerja

Total Upah

1 Pengupasan 568 2 14.200 28.400 3 0,60

2 Pencetakan 568 2 22.720 45.440 3 0,60

3 Penjemuran 568 2 10.000 20.000 2 0,48

Total: 46.950 93.840 1,68

Rata-Rata: 15.650

Keterangan:

Pekerjaan pengupasan dan pencetakan biasa dilakukan dengan tenaga kerja wanita Pekerjaan penjemuran dilakukan dengan tenaga kerja pria dan wanita.

HOK = Jumlah Tenaga Kerja x hari kerja x jam kerja per hari x variabel 7 jam

Dengan :

(16)

Lampiran 13. Kebutuhan Bahan Baku, Hasil Olahan Mie Iris Ubi, Harga Jual dan Penerimaan Total untuk Sekali Produki yang Diterima Responden yang Menjadi Sampel

No Sampel Kebutuhan Bahan

(17)

Lanjutan Lampiran 13.

Jumlah Produksi per produksi = 170,4 kg/produksi Harga Jual dari 30 sampel = Rp. 5.737/kg

(18)

Anonimous, 2009. Analisis Kelayakan Usaha. Diakses dari: http://digilib.ittelkom.ac.id. (Diakses pada tanggal 28 April 2014).

Asnawi, R, R.W Arief. 2008. Teknologi Budidaya Ubi Kayu. Laporan Tahunan. Bandar Lampung: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung.

Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 2012. Data Luas Panen, Produksi dan Rata-Rata Produksi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Tahun 2011. Diakses dari: http://bps.co.id. Diakses pada tanggal 5 April 2014.

Bangun, Wilson. 2007. Teori Ekonomi Mikro. Bandung: Refika Aditama.

Djaafar, Titiek F dan Siti R. 2003. Ubi Kayu dan Olahannya. Yogyakarta: Kanisius.

Falcon, Walter P. dkk, 1986. Ekonomi Ubi Kayu di Jawa, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. Diterjemahkan oleh Ir. Y. Suyoko.

Harun, Hamrolie. 2004. Analisis Kelayakan Proyek Pembangunan Daerah. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.

Hayami, Y., T, Kawagoe, Y. Morooka dan M. Siregar, 1987, Agricultural Marketing and Processing in Upland Java A Perspective from A Sunda Village, CGPRT Centre, Bogor. Dalam Laporan Nilai Tambah Produk Pertanian. Tim Kajian Nilai Tambah–Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Iwantono, Sutrisno. 2002. Strategi Baru Mengelola Usaha Kecil dan Menengah.

Jakarta: Grasindo.

Kartasapoetra, A.G. 1994. Teknologi Penanganan Pasca Panen. Jakarta: Rineka Cipta.

Kuncoro, Mudrajat, 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Prawiyanti, Ratna. 2011. Strategi Pengembangan Agroindustri Tapioka pada Skala Usaha Kecil. Malang: Universitas Brawijaya.

Prihandana, R. dkk. 2007. Bioetanol Ubi Kayu: Bahan Bakar Masa Depan. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka.

(19)

Rahardja, Prathama, Mandala, Manurung. 2008. Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi dan Makroekonomi). Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Sadjad, Sjamsoe’oed. 2001. Agribisnis yang Membumi, Kisah Sukses Bob Sadino. Jakarta: Grasindo.

Soekartawi, 2000. Pengantar Agroindustri. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Soekartawi, 1995. Analisis Usahatani. Jakarta: Universitas Indonesia.

Soekartawi. 1991. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. Jakarta: PT Taja Grafindo Persada.

Sudiyono, A. 2004. Pemasaran Pertanian. Malang: UMM-Press.

Wargiono, J. dan Diane M. Barnett. 1987. Budidaya Ubi Kayu-Seri Pembangunan Pedesaan. Yayasan Obor Indonesia dan Gramedia.

(20)

3.1. Metode Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) yaitu di Desa Pegajahan, Kec. Pegajahan, Kabupaten Serdang Bedagai, dengan pertimbangan daerah ini adalah sentra penghasil bahan baku ubi kayu. data luas panen, produksi dan rata-rata produksi Kabupaten Serdang Bedagai dapat dilihat dari tabel di bawah ini:

Tabel 3.1. Data Luas Panen, Produksi dan Rata-rata Produksi Kabupaten/ Kota di Sumatera Utara Tahun 2012

(21)

Lanjutan Tabel 3.1.

Pematangsiantar 404 10.290 254,69

Tebing Tinggi 307 7.889 256,97

Medan 193 2.348 121,67

Binjai 99 1.236 124,83

Padangsidimpuan 252 7.052 279,85

Gunung Sitoli 186 2.503 134,56

Sumatera Utara 37.929 1.091.711 287,83

Sumber/Source: BPS Provinsi Sumatera Utara 2012

Berdasarkan data yang diperoleh Kabupaten Serdang Bedagai merupakan tempat penghasil ubi kayu terbesar kedua setelah Simalungun di Sumatera Utara. Selain itu, Kabupaten Serdang Bedagai khususnya Desa Pegajahan merupakan sentra pengolahan ubi kayu menjadi mie iris ubi dan sentra pemasaran hasil pengolahan ubi kayu.

3.2. Metode Pengambilan Sampel

(22)

Jumlah populasi di Desa Pegajahan, Kec. Pegajahan, Kabupaten Serdang Bedagai berjumlah 30 orang, sehingga sampel yang diteliti dalam penelitian sebanyak 30 pengolah.

Sesuai yang dituliskan Gay dan Diehl dalam Kuncoro (2003), jumlah sampel minimum yang dapat diterima tergantung dari jenis studi penelitiannya. Untuk penelitian deskriptif, maka sampel minimumnya adalah 10% dari populasi, jika penelitiannya korelasional, dibutuhkan minimal 30 sampel untuk menguji ada tidaknya hubungan.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dan observasi langsung ke lapangan untuk mendapatkan data fisik, data yang diperoleh dari responden menggunakan kuisioner yang diberikan kepada tiap responden yang berisi sejumlah pernyataan tertulis yang terstruktur untuk memperoleh informasi baik itu tentang pribadinya, keluarga, pendapatan dan biaya mengelolah ubi kayu, maupun hal-hal lain yang ingin diketahui. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari instansi atau lembaga yang terkait dengan penelitian antara lain Dinas Pertanian, Badan Pusat Statistika (BPS), dan sumber-sumber literature yang mendukung dalam penelitian ini.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Metode Wawancara

(23)

ubi kayu dan pihak-pihak terkait yang dibuthkan dalam penelitian ini. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara terstruktur, di mana pertanyaan-pertanyaan sudah dikonsep terlebih dahulu sesuai dengan ruang lingkup penelitian.

b. Observasi

Teknik observasi dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap obyek yang akan diteliti sehingga didapatkan gambaran yang jelas mengenai obyek yang akan diteliti.

c. Metode Studi Pustaka

Pengumpulan data dilakukan dengan mempelajari pustaka-pustaka yang relevan dengan masalah-masalah yang diteliti, baik itu berupa studi literatur maupun data yang diperoleh dari perusahaan. Teknik studi pustaka ini memiliki

keuntungan terutama dalam hal biaya dan waktu.

3.4. Metode Analisis Data

1. Masalah 1 digunakan metode deskriptif, yaitu dengan menggunakan data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dengan pengolah mie iris ubi di daerah penelitian mengenai tahapan produksi mie iris ubi.

2. Masalah 2 diuji dengan menggunakan perhitungan kelayakan, menghitung kelayakan usaha pengolahan mie iris ubi hasil olahan ubi kayu digunakan rumus:

R/C (Retun Cost Ratio): a = R/C

R = Py . Y C = FC + VC

(24)

dimana:

VC= biaya variabel (variable cost) Kriteria :

R/C rasio > 1, berarti usaha pengolahan mie iris ubi layak

R/C rasio = 1, berarti usaha pengolahan mie iris ubi belum layak atau usaha mencapai titik impas

R/C rasio < 1, berarti usaha pengolahan mie iris ubi tidak layak (Soekartawi, 1995).

3. Masalah 3 dianalisis dengan menggunakan perhitungan nilai tambah metode Hayami. Adapun prosedur perhitungan nilai tambah dengan menggunakan metode Hayami dapat disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:

Tabel 3.4. Prosedur Perhitungan Nilai Tambah Metode Hayami Keluaran (Output) Masukan (Input) dan Harga Nilai

1. Output/produk total (kg/proses produksi) A 2. Input bahan baku (kg/proses produksi) B 3. Input tenaga kerja (HOK/proses produksi) C 4. Faktor konversi (kg output/ kg bahan baku) D = A/B 5. Koefisien tenaga kerja (HOK/kg bahan baku) E = C/B

6. Harga out put (Rp/kg) F

(25)

12. Pendapatan tenaga kerja (Rp/kg) M = E x G

 Bagian Tenaga Kerja (%) N% = M/K x 100%

13. Keuntungan (Rp/kg) O = K-M

 Tingkat Keuntungan (%) P% = O/J x 100% Balas Jasa untuk Faktor Produksi

14 Margin (Rp/kg) Q = J-H

 Pendapatan tenaga kerja (%) R% = M/Q x 100%  Sumbangan input lain (%) S% = I/Q x 100%  Keuntungan pengusaha (%) T% = O/Q x 100% Sumber: Hayami dalam Sudiyono, 2004.

Kriteria indikatornya, yaitu:

Jika rasio nilai tambah > 50%, maka nilai tambah tergolong tinggi Jika rasio nilai tambah < 50%, maka nilai tambah tergolong rendah (Sudiyono, 2004)

3.5. Definisi dan Batasan Operasional Definisi

1. Pengolah ubi kayu adalah orang yang mengolah ubi kayu menjadi berbagai produk olahan yang baru terutama mie iris ubi.

2. Agroindustri merupakan salah satu subsistem agribisnis, agroindustri adalah subsistem yang menangani pengolahan hasil produksi usaha tani hingga menjadi produk baru hasil olahan yang memiliki nilai.

3. Bahan baku merupakan ubi kayu yang digunakan untuk menghasilkan produk hasil olahan yaitu mie iris ubi.

4. Tenaga kerja adalah orang yang bekerja yang dihitung dalam Jumlah jam kerja (JKO).

(26)

6. Nilai tambah adalah nilai produk akhir dikurangi biaya antara (intermediate cost) yang terdiri dari biaya bahan baku dan bahan penolong dalam melakukan proses produksi.

7. Mie iris ubi merupakan sejenis makanan ringan berupa mie yang dibuat dari umbi singkong yang mengalami proses perebusan, pengeringan untuk menghilangkan sebagian air yang dikandungnya.

8. Biaya total adalah total biaya yang dikeluarkan selama proses pengolahan mie iris ubi yang terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel.

9. Biaya tetap adalah biaya yang digunakan dalam proses pengolahan mie iris ubi yang besarnya tidak dipengaruhi oleh jumlah output yang dihasilkan.

10.Biaya variabel adalah biaya yang digunakan dalam proses pengolahan mie iris ubi yang besar kecilnya dipengaruhi oleh perolehan output.

11.Penerimaan adalah hasil perkalian jumlah kemasan mie iris ubi yang dijual dikali dengan harga persatuan kemasan.

12.Analisis kelayakan adalah untuk menganalisis suatu usaha layak atau tidak layak untuk dijalankan dan dikembangkan.

13.Nilai tambah bruto adalah selisih antara nilai akhir produk dikurangi dengan biaya antara yang meliputi biaya bahan baku dan biaya penolong.

14.Nilai tambah netto adalah selisih antara nilai tambah bruto dikurangi dengan biaya penyusutan.

15.Nilai tambah per bahan baku adalah nilai tambah bruto untuk tiap jumlah bahan baku yang digunakan.

(27)

Batasan Operasional

1. Penelitian dilakukan di Desa Pegajahan, Kec. Pegajahan, Kabupaten Serdang Bedagai.

2. Produsen/petani sampel yang dimaksud adalah produsen/petani pemilik usaha industri ubi kayu di daerah penelitian.

3. Agroindustri dalam penelitian ini adalah pengolahan ubi kayu menjadi produk mie iris ubi.

(28)

4.1. Sejarah Singkat Desa

Nama Desa Pegajahan awalnya dinamai kuta/kampong Pegajahan, diambil dari daerah hutan yang banyak dihuni binatang gajah. Kira-kira tahun 1812-1830 orang-orang Jawa turut bermukim di Kampung Pegajahan dan membuka lahan. Pada masa itu Pemerintahan Hindia Belanda mulai membuka lahan perkebunan tembakau dan karet (Ondernaning Melati) di sekitar Kampung Pegajahan sampai di Kampung Melati I Perbaungan. Banyak sekali buruh yang didatangkan dari Jawa, Kalimantan dan orang-orang Cina. Tahun 1901 etnis Simalungun, etnis Jawa dan Kalimantan yang menggarap dan membuka lahan pertanian, dari pendapatan hasil tani, kelapa, pisang dan lain-lainnya diharuskan membayar upeti kepada Raja (Sultan). Kemudian Sultan Serdang memberikan bantuan bibit tanaman kelapa, kopi, pinang kepada petani Jawa untuk menambah penghasilan dan dapat memberikan upeti pada Sultan.

(29)

4.2. Keadaan Geografis

4.2.1. Letak dan Batas Wilayah

Berdasarkan administrasi pemerintahan, Desa Pegajahan merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara yang terbagi atas 6 (enam) dusun yaitu: Dusun Perjuangan, Dusun Harapan I, Dusun Harapan II, Dusun Sari Asih, Dusun Karang Asih dan Dusun Pelita. Penduduk desa Pegajahan banyak yang beternak dan menghasilkan ubi kayu. Adapun batas wilayah Desa Pegajahan yang dijabarkan di bawah ini :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Lestari Dadi - Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sukasari

- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Bingkat/Perkebunan PTPN II - Sebelah Timur berbatasan dengan Sei Sialang

Ketinggian tempat dari permukaan laut yaitu <50 m termasuk dataran rendah dengan suhu udara rata-rata 270-320C. Jarak dari pusat kota pemerintahan kecamatan 200 m dan jarak dari ibu kota kabupaten 36 km.

(30)

4.2.2. Luas Wilayah dan Topografi

Desa Pegajahan mempunyai luas 798 ha yang terdiri dari tanah kering dan tanah sawah. Tanah kering memilik luas 520 ha yang terdiri atas tanah perkebunan rakyat 324 ha, tegalan/ladang 125 ha, perkarangan dan perumahan 42,2 ha, lapangan olahraga 1,2 ha, kuburan tanah wakaf 0,5 ha dan lain-lain 27,1 ha. Sedangkan untuk sawah atau tanah basah memiliki luas sebesar 278 ha yang terdiri atas lahan irigasi setengah teknis dengan luas 175 ha, irigasi sederhana 103 ha.

Pada tahun 2013, jumlah penduduk Desa Pegajahan berjumlah 4203 jiwa dengan 1133 kepala keluarga, dengan rincian laki-laki 2180 jiwa, perempuan 2023 jiwa, dewasa 2856 jiwa, anak-anak 1347 jiwa. Mayoritas penduduk berasal dari Jawa dengan jumlah 3277 jiwa, Batak 365 jiwa, Banjar 164 jiwa, Melayu 125 jiwa, Karo 94 jiwa, Mandailing 71 jiwa, Bali 42 jiwa, Sunda 21 jiwa, Aceh 16 jiwa, Nias 15 jiwa, dan keturunan Cina 15 jiwa.

(31)

Tabel 4.2.2.a. Jumlah Penduduk Desa Pegajahan Berdasarkan Golongan Usia dan Jenis Kelamin Tahun 2013

No Golongan Umur Tahun 2013 Jumlah

Sumber : Data Kantor Desa Pegajahan 2013

Tabel 4.1.1 di atas dapat diketahui bahwa jumlah penduduk Desa Pegajahan berdasarkan golongan usia dan jenis kelaminnya tertinggi yaitu pada usia produktif yang berkisar antara 26-35 tahun dengan jumlah sebanyak 739 orang laki-laki dan perempuan, kemudian usia 36-45 tahun sebanyak 583 orang, dan umur 19-25 tahun sebanyak 532 orang. Jumlah penduduk yang paling sedikit yaitu pada usia 00-12 bulan dengan jumlah 59 orang.

Tabel 4.2.2.b. Data Perkembangan / Pertambahan Penduduk Desa Pegajahan Tahun 2013

No Keterangan Laki-Laki

(Jiwa)

(32)

Dari tabel 4.2. di atas dapat diketahui bahwa jumlah perkembangan penduduk Desa Pegajahan tahun 2013 sedang ditandai dengan angka kelahiran yang berjumlah 54 jiwa dan kematian berjumlah 43 jiwa. Sedangkan jumlah pertambahan penduduk Desa Pegajahan mengalami peningkatan dengan ditandai tingginya jumlah pendatang sebanyak 64 jiwa dan warga yang pindah hanya 29 jiwa.

4.3. Kondisi Sosial Ekonomi

Pada umumnya pendidikan yang ditamatkan oleh sebahagian besar penduduk Desa Pegajahan adalah SD dan SLTP, sejak tahun 1990-an mulai banyak penduduk yang mengikuti pendidikan SLTA. Sebahagian besar penduduk Desa Pegajahan bermata pencaharian sebagai petani dan sebagian lainnya bekerja sebagai buruh harian, perkebunan, pengolahan non industri, perdagangan dan sebagian kecil pegawai negeri. Sedangkan keadaan bangunan rumah hunian Desa Pegajahan tahun 2013 adalah 53% permanen, 44% semi permanen, dan 3% non permanen kurang layak. Ini menunjukkan kesejahteraan ekonomi penduduk desa belum merata.

4.4. Kondisi Sosial Budaya

(33)

menggambarkan bahwa hubungan ketanggaan di desa ini masih kuat. Kesenian yang disukai bagi orang-orang tua di desa ini adalah kesenian daerah seperti wayang kulit, ludruk, kuda kepang (reok), karenanya dana penyelenggara keseniannya terlalu mahal, maka pertunjukkan para pemuda cenderung menyukai kesenian modern (band/keyboard). Sedangkan kesenian asli daerah sepertia tari melayu (ronggeng kampong, ludruk, kerawitan) kurang diminati/digemari oleh generasi muda.

Kondisi kesehatan masyarakat cukup baik, dan jenis penyakit yang timbul belakangan ini adalah penyakit stroke dan darah tinggi. Kegiatan pengamanan (siskamling) desa ini tampak kurang aktif, karena semakin banyak waktu yang digunakan oleh warga masyarakat untuk mencari nafkah (bekerja). tetapi kondisi keamanan masih aman (warga tetap waspada). Gejala gangguan pencurian, pelaku pencurian melakukannya pada siang hari.

4.5. Sarana dan Prasarana

Di Desa pegajahan ini telah terhubung dengan daerah lainnya melalui jalan antar desa dan antar kecamatan dengan kondisi yang cukup baik, sebagian beda jalan sudah beraspal, pengerasan, namun sebahagian masih ada jalan tanah. Selain saranan jalan, Desa pegajahan memiliki 6 jembatan besar namun satu jembatan mengalami kerusakan berat di Dusun Karang Sari namun sudah diadakan perbaikan. Saranan transportasi yang banyak digunakan warga masyarakat adalah sepeda motor. Di Desa pegajahan saat ini belum ada sarana transportasi umum seperti bus, mikrolet atau sejenisnya.

(34)

dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Beberapa rumah tangga semakin banyak menggunakan pompa listrik untuk mengambil air di sumur. Dari pemerintah telah juga membantu/membangun bak penampungan air (water leading) di Dusun I Perjuangan dan 1 unit di Dusun Pelita untuk keperluan air bersih, mandi, cuci bagi warga sekitarnya.

4.6. Kondisi Ekonomi 4.6.1.Bidang Pertanian

Untuk usaha pertanian lahan sawah telah dilakukan pekerjaan pembangunan perbaikan irigasi / dam pada saluran intek buluh yang di Desa Pegajahan telah selesai dikerjakan tahun 2012. Dari lahan sawah irigasi teknis dan setengah teknis + 262 ha sudah dapat ditanami 2 x MT / tahun, dengan rata-rata hasil produksi padi 7,2 ton/ha/MT (3.722,8 ton/tahun2013). Lahan sawah yang ditanami ubi kayu/singkong oleh petani luasnya berkisar + 23 ha dengan hasil produksi + 1150 ton.

(35)

4.6.2.Bidang Industri

Usaha Kecil Rumah Tangga (home industries) seperti pengolahan keripik singkong, mie yeye dan mie ampiye, mie iris ubi, kerupuk, makanan ringan pembuatan tahu dan tempe berjumlah 132 KK, pengrajin anyaman atap/bakul 17 KK.

4.6.3.Bidang Perdagangan

Pedagang kedai atau warung berjumlah 31 orang, pedagang warung miso 4 orang, pedagang dalam rumah (ruko) 12 orang, pedagang rumah makan 1 orang, dan pedagang keliling 4 orang.

4.6.4.Bidang Perkoperasian

Desa Pegajahan memiliki 4 kelompok koperasi, 4 kelompok SPP, 5 kelompok arisan, 2 Kelompok Usaha Bersama (KUBE), dan 2 kelompok Koperasi Usaha Rakyat (KUR).

4.6.5.Agen Beli Jual Hasil Pertanian

Jumlah agen beli jual hasil pertanian yaitu 21 orang dengan agen kelapa sawit 2 orang, agen karet 1 orang, agen padi/jagung 5 orang, agen ubi kayu 4 orang, sayur-sayuran 4 orang dan agen buah-buahan 5 orang.

4.7. Karakteristik Responden

Karakteristik responden merupakan keadaan yang menggambarkan kondisi

(36)

4.7.1.Umur Pengolah

Pada saat peneliti melakukan penelitian, dari keseluruhan responden yang melakukan pengolahan ubi kayu menjadi mie iris ubi memiliki usia yang berbeda-beda, mayoritas yang mengusahakan pengolahan ubi kayu adalah dari kalangan orang tua dengan umur 30 hingga 50 tahun, namun ada juga pengolah yang berusia di atas 20 tahun. Berikut ini data mengenai umur pengolah ubi kayu: Tabel 4.7.1. Umur Pengolah Mie Iris Ubi

No. Rentang Umur

(Tahun)

Jumlah Pengolah (Orang)

Persentase (%)

1 20-30 5 16,7

2 31-40 10 33,3

3 41-50 6 20%

4 >51 9 30,0

Jumlah 30 100

Sumber: Data Primer Diolah dari Lampiran 1, Tahun 2014

Dari tabel 4.7.1. di atas dapat diketahui bahwa pengolah ubi kayu mayoritas berusia produktif yaitu 31-40 tahun dengan jumlah persentase sebanyak 33,3%, kemudian persentase pengolah di atas 51 tahun sebanyak 30%, pengolah yang berusia 41-50 tahun sebanyak 20% dan usia 20-30 tahun hanya 16,7%.

4.7.2. Pendidikan dan Pengalaman

(37)

Tabel 4.7.2.a. Tingkat Pendidikan Pengolah Mie Iris Ubi

No. Pendidikan Jumlah Pengolah

(Orang)

Sumber: Data Primer Diolah dari Lampiran 1, Tahun 2014

Tebl 4.7.2.a. menggambarkan bahwa tingkat pendidikan pengolah mie iris ubi di Desa Pegajahan, Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Serdang Bedagai mulai tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMP, dan tamat SMA. Mengingat pendidikan terbesar hanya tamat sampai dengan SD, yaitu sebanyak 50%, maka pengolahan mie iris ubi lebih banyak hanya menitik beratkan pada kemampuan teknis yang di peroleh secara turun temurun yang berdampak pada mutu dan kualitas mie iris ubi tersebut. Selanjutnya tingkat pendidikan pengolah mie iris ubi yang tamat SMP dan SMA masing-masing sebanyak 20% dan tidak tamat SD 10%.

Tabel 4.7.2.b. Pengalaman Pengolah Sampel pada Pengolah Mie Iris Ubi

No. Pengalaman

Sumber: Data Primer Diolah dari Lampiran 1, Tahun 2014

(38)

Selanjutnya pengolah yang memiliki pengalaman berusaha 1-5 tahun sebanyak 30,0% dan pengalaman pengolah lebih dari 10 tahun sebanyak 13,3%.

4.7.3. Profil Keluarga Pengolah

Profil keluarga petani sampel merupakan penduduk asli yang telah lama berdomisili di Desa Pegajahan, Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Serdang Bedagai yang pada umummya seorang pengolah sudah mempunyai keluarga yang telah menikah dan tercatat sebagai pemilik usaha pengolahan ubi kayu, sedangkan pengolah ubi kayu pendatang dari daerah lain tidak ada. Petani sampel umumnya mempunyai tanggungan keluarga yang tidak sekaligus membantu dalam usaha pengolahan ubi kayu. Jumlah tanggungan keluarga pengolah dapat dilihat pada Tabel 4.7.3.a. berikut ini :

Tabel 4.7.3.a. Jumlah Tanggungan Pengolah Mie Iris Ubi No. Tanggungan Keluarga

Sumber: Data Primer Diolah dari Lampiran 3,Tahun 2014

(39)

Selain itu, pekerjaan sampingan pengolah mie iris ubi dapat dijelaskan melalui tabel berikut ini:

Tabel 4.7.3.b. Pekerjaan Lain Selain Mengolah Mie Iris Ubi

No. Pekerjaan Lain Jumlah Pengolah

(Orang)

Sumber: Data Primer Diolah dari Lampiran 4, Tahun 2014

Dari tabel di atas, dapat di gambarkan bahwa pengolah mie iris ubi yang memiliki pekerjaan lain selain mengolah mie iris ubi yaitu dengan persentase sebanyak 76,7%, ini menunjukkan bahwa selain pengolahan mie iris ubi ada lagi tambahan pendapatan lain pengolah, sehingga pengolah tidak hanya bergantung pada hasil pengolahan mie iris ubi. Selanjutnya pengolah yang tidak memiliki pekerjaan lain sebanyak 7 orang atau 23,3%.

4.7.4. Rata-Rata Produksi Mie Iris Ubi Tabel 4.7.4. Rata-Rata Produksi Mie Iris Ubi

No. Rata-Rata Produksi

Sumber: Data Primer Diolah dari Lampiran 6, Tahun 2014

(40)

ubi kayu menjadi mie iris ubi dengan penggunaan bahan baku 600 kg dengan jumlah sebanyak 4 orang atau dengan persentase 13,3%, dan hanya sedikit pengolah yang memproduksi ubi kayu dengan penggunaan bahan baku lebih kecil 400 kg dengan persentase 3,3%.

(41)

5.1. Kegiatan Produksi 5.1.1.Penyediaan Bahan Baku

Bahan baku merupakan bahan mentah yang diolah dan dapat dimanfaatkan sebagai sarana produksi dalam suatu pengolahan produk pertanian. Ketersediaan bahan baku secara cukup dan berkelanjutan akan menjamin suatu perusasahaan untuk bisa berproduksi dalam waktu yang relatif lama. Dalam melakukan pengolahan mie iris ubi, bahan baku utama yang digunakan adalah ubikayu, sedangkan bahan baku penolong lain yang digunakan hanya air dan kayu bakar. Selain itu, alat-alat yang digunakan dalam pengolahan mie iris ubi adalah parutan, kuali, pisau kupas, pisau iris, ampia pemotong, plastik lembaran, tikar, ember, dan rak bambu.

(42)

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan mie iris ubi ini pada dasarnya adalah sama tiap-tiap rumah tangga, yaitu ubi kayu atau singkong diambil dari agen penyedia bahan baku ubi kayu dengan harga beli dari agen yaitu Rp 1200 untuk tiap kilogramnya dengan mengutang ataupun membeli lunas. Ada juga pengolah yang memiliki lahan ubi kayu sendiri yang menggunakan hasil kebunnya untuk bahan baku pembuatan mie iris ubi namun tetap juga membeli dari agen penyedia bahan baku untuk ketersediaan bahan baku dalam proses produksi secara berkelanjutan.

5.1.2.Tahapan Kegiatan Produksi

Kegiatan produksi yang dilakukan oleh usaha pengolahan ubi kayu menjadi mie iris ubi ini merupakan kegiatan yang dimulai dari pengadaan bahan baku sampai dengan pemasaran produk akhir. Proses produksi pembuatan mie iris ubi berlangsung tidak membutuhkan waktu begitu lama Dalam satu kali proses produksi yang dilakukan membutuhkan waktu sekitar 3-4 hari untuk produksi bahan baku ubi kayu 500 kg hingga 1000 kg. Namun dalam 1 minggu pengolah dapat menghasilkan 4-6 kali mie iris ubi karena pengolahan dilakukan tiap harinya agar produksi berlangsung secara terus menerus. Dalam proses pengolahan ubi kayu pun pada dasarnya memiliki tahapan yang sama.

Tahapan pengolahan ubi kayu menjadi produk setengah jadi mie iris ubi tersebut antara lain sebagai berikut :

(43)

b. Pencucian ubi kayu yang telah dikupas, pencucian ubi kayu berguna untuk memisahkan ubi kayu dari kotoran-kotoran untuk menjaga tingkat kebersihan ubi kayu. pencucian ubi kayu dilakukan selama 15-20 menit. Biasanya pencucian dilakukan oleh pengolah sendiri.

c. Pemarutan ubi kayu dilakukan dengan menggunakan mesin pemarut untuk menghancurkan ubi kayu hingga menjadi tepung ubi kayu. pemarutan ini dilakukan selama 15 hingga 20 menit untuk pengolahan bahan baku 500-600 kg dan 30 hingga 40 menit untuk bahan baku 1 ton.

d. Setelah ubi kayu diparut, ubi kayu langsung dialirkan ke bak penampungan untuk dilakukan pemisahan air dengan tepung ubi kayu tersebut guna menghilangkan air yang terserat di dalam ubi kayu. proses ini dilakukan selama semalam.

e. Ubi kayu dicetak menjadi bentuk lapisan persegi panjang dengan menggunakan plastik berbentuk persegi panjang dan ditekan dengan menggunakan pipa paralon agar ubi yang dicetak bentuknya tipis. Pengerjaan pencetakan ini biasanya pengolah menggunakan tenaga kerja sebanyak 2 pekerja. Pencetakan ubi kayu menjadi lembaran tipis ini membutuhkan waktu +3 jam untuk 568 kg bahan baku dan +6 jam untuk bahan baku sebanyak 1 ton.

f. Pengukusan atau perebusan ubi kayu agar lembaran tipis ubi kayu matang. pengukusan dilakukan dengan menggunakan kuali perebus. Pengukusan dilakukan selama 3 jam.

(44)

h. Penjemuran ubi kayu dilakukan selama 5-7 jam di bawah hamparan sinar matahari langsung dan cuaca yang panas hingga lembaran ubi kayu menjadi setengah kering.

i. Lembaran yang telah kering diiris dengan menggunakan ampia hingga membentuk mie iris yang dilakukan selama 1 hingga 1,5 jam untuk 500 kg bahan baku dan 2-3 jam untuk 1 ton bahan baku

j. Penjemuran dilakukan kembali pada mie iris ubi selama 2 hingga 4 jam pada cuaca yang panas hingga mie iris ubi benar-benar kering.

k. Pengemasan/Pengepakan mie iris ubi, tiap 1 karung mie iris ubi memiliki berat 25 kg.

l. Pemasaran mie iris ubi. Sebagian pengolah langsung menjual mie iris ubinya ke pasar dan kebanyakan pengolah mie iris ubi menjual hasil olahannya ke agen penyedia bahan baku. Biasanya harga penjualan mie iris ubi berkisar antara Rp 5.400 hingga Rp 6.000 per kg tergantung harga yang ditetapkan agen pembeli.

Dalam pengolahan ubi kayu menjadi mie iris ubi dibutuhkan tingkat kebersihan pengolah ubi kayu yang dapat mempengaruhi kualitas atau mutu mie iris ubi agar layak dikonsumsi.

5.2. Analisis Kelayakan Usaha Pengolahan Mie Iris Ubi 5.2.1.Biaya Peralatan Mie Iris Ubi

(45)

Pegajahan, Kab. Serdang Bedagai tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 5.2.1. di bawah ini:

Tabel 5.2.1. Rincian Rata-Rata Biaya Penyusutan Peralatan Untuk 30 Sampel dalam Pengolahan Ubi Kayu Menjadi Mie Iris Ubi

Jumlah 6.761.500 Jumlah 5.600,22

Sumber: Analisis Data Primer dari Lampiran (7,8,9), Tahun 2014

(46)

diketahui bahwa total biaya penyusutan sebesar Rp 5.600,22 untuk sekali produksi.

5.2.2.Biaya Produksi Untuk Pengolahan Mie Iris Ubi

Bahan baku ubi kayu dapat diperoleh melalui agen dengan harga yang ditentukan agen yaitu dengan harga Rp 1.200/kg ubi kayu, sedangkan bahan penolong dapat diperoleh dengan mudah karena bahan penolong dalam pengolahan ini adalah kayu bakar seperti ranting pohon kayu durian, jati, rambung, pelepah sawit yang kering dan masih banyak lagi sehinggga tidak menjadi suatu hambatan bagi agroindustri mie iris ubi. Selanjutnya untuk rincian biaya produksi mulai dari biaya bahan baku ubi kayu, biaya penolong dan biaya tenaga kerja dalam proses agroindustri mie iris ubi yang dikeluarkan oleh pengolah di Desa Pegajahan dapat dijelaskan dengan tabel di bawah ini:

Tabel 5.2.2.Rincian Rata-Rata Biaya Produksi Ubi Kayu Menjadi Mie Iris Ubi Pada Pengolah di Desa Pegajahan, Kec. Pegajahan dalam Sekali Produksi

No. Jenis Pengeluaran Jumlah Satuan /produksi Sumber: Analisis Data Primer Diolah dari Lampiran (6,10,11) , Tahun 2014

(47)

untuk produksi ubi kayu 568 kg untuk sekali proses produksi. Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pengolah mie iris ubi dikarenakan harga beli bahan baku yang tinggi pula dengan kisaran harga Rp 1.200/kg. Selain itu, biaya terbesar kedua yang dikeluarkan pengolah mie iris ubi yaitu biaya tenaga kerja dengan biaya sebesar Rp 93.840 dalam sekali produksi. Bahan penolong kayu bakar yang dalam sebulan mengeluarkan biaya sebesar Rp 9.320 untuk 0,12 meter kayu bakar dan 27.500 brondolan sawit untuk 27,5 kg.

5.2.3.Analisis Keuntungan Pada Pengolahan Mie Iris Ubi

Keuntungan yang diterima dari usaha pengolahan ubi kayu menjadi mie iris ubi untuk sekali proses produksi dalam sebulan merupakan hasil perhitungan dari selisih antara penerimaan dengan biaya total. Rincian analisis kelayakan usaha pengolahan mie iris ubi kayu dapat dijelaskan melalui tabel 5.2.3. di bawah ini: Tabel 5.2.3. Keuntungan yang Diperoleh Pengolah dari Pengolahan Mie Iris

Ubi dalam Sekali Proses Produksi

No. Jenis Pengeluaran Jumlah Satuan Harga

Sumber: Analisis Data Primer dari Lampiran (6,10,11,13), Tahun 2014

(48)

diperoleh sebesar Rp 977.585 untuk hasil mie iris ubi 170,4 kg dengan harga jual 5.737/kg. Sedangkan untuk total biaya yang dikeluarkan mulai dari biaya bahan baku, biaya penolong, dan biaya tenaga kerja, pengolah mengeluarkan biaya total sebesar Rp 817.860 per produksi. Setelah dilakukan pengurangan antara total pendapatan dengan biaya total yang dikeluarkan maka diperoleh keuntungan bersih para pengolah mie iris ubi untuk tiap produksi.

5.2.4.Analisis Return Cost Ratio (R/C)

Analisis Return Cost Ratio berguna untuk menggambarkan apakah usaha pengolahan mie iris ubi di Desa Pegajahan yang dilakukan oleh para pengolah layak untuk diusahakan secara berkelanjutan. Cost Ratio dapat diperoleh dengan membagikan antara total penerimaan/pendapatan pengolah mie iris ubi dengan total biaya yang dikeluarkan para pengolah. Dalam penelitian ini diperoleh total penerimaan para pengolah mie iris ubi yaitu Rp 977.585 dan total biaya sebesar Rp. 817.860, sehingga dapat dihitung seperti di bawah ini:

R/C = .

.

R/C = 1,19

Kriteria :

R/C rasio > 1, berarti usaha pengolahan mie iris ubi layak

R/C rasio = 1, berarti usaha pengolahan mie iris ubi belum layak atau usaha mencapai titik impas

(49)

Dari perhitungan di atas tampak bahwa, nilai cost ratio (R/C) adalah 1,19 (R/C > 1), hal ini menunjukkan bahwa usaha pengolahan mie iris ubi yang dilakukan oleh pengolah di Desa Pegajahan, Kec. Pegajahan, Kab. Serdang Bedagai layak untuk diusahakan.

5.3. Analisis Nilai Tambah

Perhitungan nilai tambah dalam pengolahan ubi kayu menjadi mie iris ubi dihitung dengan menggunakan metode Hayami. Selain menghitung nilai tambah, model perhitungan Hayami juga menganalisis pendapatan tenaga kerja, keuntungan, serta margin yang diperoleh pengolah.

(50)

Tabel 5.3. Analisis Nilai Tambah Pengolahan Mie Iris Ubi Kayu Keluaran (Output) Masukan (Input) dan

Harga

Nilai Keterangan

1. Output/produk total (kg/proses produksi)

170,40 (a) Lampiran 13 2. Input bahan baku (kg/proses produksi) 568,00 (b) Lampiran 6 3. Input tenaga kerja (HOK/proses 7. Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/proses

produksi)

15.650,00 (g) Lampiran 12 Pendapatan dan Keuntungan

8. Harga input bahan baku (Rp/kg) 1.200,00 (h) Lampiran 6 9. Sumbangan Input Lain (Rp/kg)* 74,66 (i) Lampiran 9,10 10. Nilai output (Rp/kg) 1.721,10 (j) =(dxe) Balas Jasa untuk Faktor Produksi

14 Margin (Rp/kg) 521,1 (q) =(j-h)

 Pendapatan tenaga kerja (%) 8,71 (r) =(m/q x100%)  Sumbangan input lain (%) 14,33 (s) =(i/q x100%)  Keuntungan pengusaha (%) 76,96 (t) =(o/q x100%) Keterangan: (*) Kayu Bakar, Brondolan Sawit, dan Penyusutan Peralatan Sumber: Analaisis Data Diolah dari Lampiran (6,10,12,13), Tahun 2014

(51)

sebesar Rp. 15.650 untuk sekali proses produksi. Dari analisis di atas diperoleh nilai koefisien tenaga kerja sebesar 0,0029 HOK per kg bahan baku, artinya adalah untuk mengolah 1 kg bahan baku dibutuhkan tenaga kerja sebesar 0,0029.

Nilai output yang diperoleh dari hasil perkalian antara faktor konversi dengan harga jual mie iris ubi adalah sebesar Rp. 1.721,1/kg. Selanjutnya diperoleh nilai tambah sebesar Rp. 446,44/kg, hal ini berarti bahwa untuk 1 kg ubi kayu yang diolah menjadi mie iris ubi menghasilkan nilai tambah sebesar Rp. 446,44. Nilai tambah ini diperoleh dari hasil pengurangan antara nilai output, harga input bahan baku, dan nilai input sumbangan lain seperti kayu bakar. Rasio nilai tambah yang diperoleh dari hasil analisis yaitu sebesar 25,94% (rasio nilai tambah < 50%), hal ini menunjukkan bahwa nilai tambah yang diperoleh oleh pengolah mie iris ubi di Desa Pegajahan masih tergolong rendah. Dengan diperolehnya rasio nilai tambah sebesar 25,94% menunjukkan dalam pengolahan ubi kayu menjadi mie iris ubi memberikan nilai tambah sebesar 25,94% dari nilai jual mie iris ubi kayu.

Pendapatan yang diperoleh tenaga kerja yang mengolah ubi kayu menjadi mie iris ubi sebesar Rp. 45,38/kg, hal ini dapat diartikan bahwa setiap tenaga kerja mengolah 1 kg bahan baku akan mendapatkan upah sebesar Rp. 45,38. Pendapatan tenaga kerja diperoleh dari hasil perkalian antara koefisien tenaga kerja dan upah rata-rata tenaga kerja. Persentase tenaga kerja dalam pengolahan ubi kayu menjadi mie iris sebesar 10,16% dari nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan mie iris.

(52)
(53)

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada agroindustri ubi kayu menjadi mie iris ubi di Desa Pegajahan, Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Serdang Bedagai dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Kegiatan produksi mie iris ubi dimulai dari pengupasan, pencucian, pemarutan, pencucian dan pemisahan air, pencetakan, perebusan, penjemuran, pengirisan, penjemuran kembali, dan jadi produk mie iris ubi. Proses pengolahan ubi kayu menjadi mie iris ubi di daerah penelitian kebanyakan masih menggunakan teknologi yang sederhana yang juga masih bergantung pada alam seperti proses penjemuran. Bahan penolong yang digunakan dalam proses pengolahan adalah kayu bakar.

2. Usaha pengolahan ubi kayu menjadi mie iris ubi layak untuk dijalankan atau diusahakan ditandai dengan diperolehnya hasil perhitungan Return Cost Ratio (R/C) memperoleh nilai 1,19 (R/C >1) artinya pengolah mie iris ubi layak untuk melaksanakan usaha pengolahan mie iris ubi.

(54)

hal ini menunjukkan bahwa nilai tambah yang diperoleh oleh pengolah mie iris ubi di Desa Pegajahan masih tergolong rendah.

6.2. Saran

Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada usaha pengolahan ubikayu menjadi mie iris ubi adalah :

1. Sebaiknya agroindustri pengolahan ubikayu menjadi mie iris ubi di Desa Pegajahan, Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Serdang Bedagai selain melakukan pemasarannya melalui agen juga memasarkan sendiri ke konsumen sehingga pengolah bisa memperoleh penerimaan tambahan yang lebih besar. 2. Sebaiknya agroindustri pengolahan ubikayu menjadi mie iris ubi produk

setengah jadi tidak hanya memproduksi mie iris ubi saja melainkan diversifikasi produk seperti membuat hasil olahan ubi kayu lainnya yang dapat memberikan tambahan penerimaan sehingga penerimaan pengolah tiap bulannya menjadi lebih tinggi. Mengolah mie iris ubi menjadi produk hilir atau produk jadi dapat dilakukan sehingga akan memberikan nilai tambah yang lebih besar terhadap pengolah mie iris ubi.

3. Untuk meningkatkan pendapatan usaha sebaiknya pengolahan ubikayu menjadi mie iris ubi memanfaatkan limbahnya seperti kulit ubi dijadikan pakan ternak.

(55)

penjualan mie iris ubi dapat dikendalikan atau harga penjualan tidak jatuh di pasaran sehingga pengolah mie iris ubi memperoleh insentif untuk melaksanakan usaha secara berkelanjutan.

(56)

2.1. Landasan Teori 2.1.1. Tanaman Ubi Kayu

Tanaman ubi kayu merupakan salah satu hasil komoditi pertanian di Indonesia yang biasanya dipakai sebagai bahan makanan. Seiring dengan perkembangan teknologi, maka ubi kayu ini bukan hanya dipakai sebagai bahan makanan saja tetapi juga dipakai sebagai bahan baku industri.

Dalam sistematika tanaman, ubi kayu termasuk kelas dicotyledonae, ubi kayu masuk dalam family euphorbiaceae yang mempunyai 7.200 spesies, beberapa di antaranya mempunyai nilai komersial, seperti karet (Hevea Brasiliensis), jarak (Ricinus comunis dan Jatropha curcas). Klasifikasi tanaman

ubi kayu sebagai berikut. Kelas : Dicotyledoneae Sub kelas : Arhichlamydeae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Sub family : Manihotae Genus : Manihot

Species : Manihot esculenta Crantz

(57)

Tanaman ubi kayu tumbuh di daerah antara 300 lintang selatan dan 300 lintang utara, yakni daerah dengan suhu rata-rata lebih dari 180C dengan curah hujan di atas 500 mm/tahun. Namun demikian tanaman ubi kayu dapat tumbuh pada ketinggian 2000 meter dpl atau di daerah sub tropika dengan suhu rata-rata 160C. di ketinggian tempat sampai 300 m dpl tanaman ubi kayu dapat menghasilkan umbi dengan baik, tetapi tidak dapat berbunga. Namun, di ketinggian tempat 800 m dpl tanaman ubi kayu dapat menghasilkan bunga dan biji. Ubi kayu mampu berproduksi baik pada lingkungan sub-optimal dan mempunyai pertumbuhan yang relatif lebih baik pada lingkungan sub-optimal dibandingkan dengan tanaman lain. Namun, agar dapat berproduksi optimal ubi kayu membutuhkan curah hujan 150-200 mm/bulan saat umur 1-3 bulan, 250-300 mm/bulan saat umur 4-7 bulan, dan 100-150 mm/bulan pada fase menjelang dan saat panen (Prihandana, 2007).

Beberapa varietas tanaman ubi kayu yang banyak memberikan hasil dari

pertanamannya dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Jenis Mangi

Hasil umbi yang diberikan dalam pertanaman seluas 1 Ha adalah + 200 kuintal,

umbi-umbinya panjang bertangkai, kadar zat tepung sekitar 37%, bila direbus

rasanya manis.

b. Jenis Valenca

Memberi hasil untuk pertanaman seluas 1 Ha sekitar 200 kuintal umbi, keadaan

umbi dari sedang sampai gemuk dan bertangkai, kadar zat tepung sekitar 33,1%,

(58)

c. Jenis Betawi

Hasil umbi yang diperoleh dari pertanaman 1 Ha adalah sekitar 200 kuintal

sampai 300 kuintal, umbinya gemuk-gemuk tidak bertangkai, kadar zat tepung

+34,4%, rasanya manis

d. Jenis Bogor

Hendaknya diperhatikan agar umbinya perlu dimakan karena rasanya pahit dan

beracun, hanya baik untuk dibuat tepung kanji. Umbinya memang gemuk-gemuk,

bertangkai dengan kadar zat tepung yang dikandungnya sekitar 30,9%. Hasil

penanaman 1 Ha sekitar 400 kwintal

e. Jenis Basiorao

Umbinya beracun, rasanya pahit, keadaan umbi agak gemuk dan bertangkai

pendek, kadar zat tepung sekitar 31,2%. Hasil umbi yang diperoleh untuk

penanaman seluas 1 Ha adalah sekitar 300 kwintal, sebagai bahan baku industri

tepung kanji.

f. Jenis Sao Pedro Petro

Keadaan umbi seperti di atas dengan kadar zat tepung 35,4%, hasil umbi per

hektar sekitar 400 kwintal

g. Jenis Muara

Hasil umbinya gemuk-gemuk, tetapi sangat beracun, kadar zat tepung 26,9%,

hasil per hektar sekitar 400 kwintal

(Kartasapoetra, 1994).

2.1.2. Panen dan Pasca Panen Ubi Kayu

(59)

dilakukan dengan mencabut tanaman, cara pencabutan pada tanah yang gembur tentu akan mudah, sedang pada tanah yang agak berat sampai berat pencabutan harus dibantu dengan peralatan, cangkul, potongan bambu atau linggis, tetapi yang penting dalam pencabutan-pencabutan ini hendaknya diperhatikan agar umbi tidak terluka atau terpotong, kelukaan akan cepat menimbulkan kerusakan biologis, fisiologis dan mikroba (Kartasapoetra, 1994).

2.1.3. Pengolahan Pasca Panen Ubi Kayu

Dalam bidang pertanian istilah pasca panen diartikan sebagai tindakan atau perlakuan yang diberikan pada hasil pertanian setelah panen sampai komoditas berada di tangan konsumen. Istilah tersebut secara keilmuan lebih tepat disebut pasca produksi (postproduction) yang dapat dibagi dalam dua bagian atau tahapan, yaitu pasca panen (postharvest) dan pengolahan (processing). Penanganan pasca panen (postharvest) sering disebut juga sebagai pengolahan primer (primary processing) merupakan istilah yang digunakan untuk semua perlakuan dari mulai panen sampai komoditas dapat dikonsumsi “segar” atau untuk persiapan pengolahan berikutnya. Umumnya perlakuan tersebut tidak mengubah bentuk penampilan atau penampakan, kedalamnya termasuk berbagai aspek dari pemasaran dan distribusi. Pengolahan (secondary processing) merupakan tindakan yang mengubah hasil tanaman ke kondisi lain atau bentuk lain dengan tujuan dapat tahan lebih lama (pengawetan), mencegah perubahan yang tidak dikehendaki atau untuk penggunaan lain, di dalamnya termasuk pengolahan pangan dan pengolahan industri.

(60)

subsistem penyediaan sarana produksi seperti pupuk, bibit (benih), obat-obatan, mesin pertanian dan sebagainya, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran (tata niaga), serta subsistem pendukung seperti pembiayaan dan asuransi. Dalam hal ini, yang disebut agroindustri adalah subsistem yang menangani pengolahan hasil produksi usaha tani (Iwantono, 2002).

Agroindustri juga merupakan subsektor pertanian yang diharapkan dapat berperan penting terhadap pertumbuhan ekonomi, penerimaan ekspor, penyediaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, dan pemerataan pembangunan wilayah. Ditinjau dari cakupan komoditasnya, terdapat ratusan jenis tanaman tahunan dan tanaman musiman dapat tumbuh subur di Indonesia, sehingga pembangunan agroindustri akan dapat menjangkau berbagai tipe komoditas yang sesuai dikembangkan di masing-masing daerah di Indonesia. Dilihat dari hasil produksinya, komoditas perkebunan merupakan bahan baku industri dan barang ekspor, sehingga telah melekat adanya kebutuhan keterkaitan kegiatan usaha dengan berbagai sektor dan subsektor lainnya. Di samping itu, jika diamati dari sisi pengusahaannya, sekitar 85 persen komoditas agro merupakan usaha perkebunan rakyat yang tersebar di berbagai daerah. Dengan demikian pembangunan industri agro akan berdampak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama melalui perannya dalam menciptakan lapangan kerja dan distribusi pemerataan pendapatan (Rachbini, 2011).

(61)

industri. Sementara itu ahli yang lain (Soeharjo, 1991, Soekartawi, 1991, 1992a dan Badan Agribisnis DEPTAN 1995) menyebutkan bahwa agroindustri adalah pengolahan hasil pertanian dan karena itu agroindustri merupakan bagian dari enam subsistem penyediaan sarana produksi dan peralatan, usahatani, pengolahan hasil (agroindustri), pemasaran, sarana dan pembinaan (Soekartawi, 2000).

Dari pengertian di atas, agroindustri dapat diartikan dua hal, yaitu pertama, agroindustri adalah industri yang berbahan baku utama produk pertanian. pada konteks ini agroindustri menekankan pada food processing management dalam suatu perusahaan produk olahan yang bahan baku utamanya adalah produk pertanian. Kedua, adalah bahwa agroindustri itu diartikan sebagai suatu tahapan pembangunan sebagai kelanjutan dari pembangunan pertanian, tetapi sebelum tahapan pembangunan tersebut mencapai tahapan pembangunan industri (Soekartawi, 2000).

Pentingnya agroindustri dalam pembangunan pertanian disebabkan beberapa alasan yaitu: pertama dapat memberikan nilai tambah pertanian, kedua agroindustri merupakan bidang usaha yang mampu menciptakan kesempatan kerja, ketiga agroindustri merupakan sumber pertumbuhan, keempat sebagai penghasil devisa, kelima agroindustri merupakan jenis industri yang memiliki keterkaitan ke atas (forward linkage), keenam umumnya agroindustri berlokasi di pedesaan, karena itu kandungan lokalnya sangat tinggi, serta memiliki social effect yang positif bagi sebahagian besar rakyat kecil (Iwantono, 2002).

(62)

standardnya yang selalu akan dipenuhi dan dikembangkan. Sebaliknya pasar juga bisa memberikan keinginannya untuk dapat dipenuhi oleh industri. Produk industri tentu diharapkan lebih bermutu daripada produk mentahnya, atau mempunyai kelebihan-kelebihan yang dinikmati oleh konsumen sesuah melalui proses pengolahan di industri. Selain itu, industri yang berposisi di tengah dalam sistem agribisnis mendorong kalangan niaga di sektor hilirnya (Sadjad, 2001).

(63)

Berikut ini adalah produk olahan yang dihasilkan dari pengolahan ubi kayu, yaitu:

Pohon Industri Ubi Kayu

Gambar 1. Pohon Industri Ubi Kayu (Asnawi, 2008).

Pertanian Agroindustri Konsumen

(64)

2.1.4. Biaya

Biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan proses produksi dapat dibagi ke dalam dua bagian antara lain:

1. Biaya Implisit yaitu pengeluaran yang digunakan untuk memperoleh faktor-faktor produksi yang diperlukan perusahaan dalam kegiatan proses produksinya. Biaya-biaya tersebut antara lain: biaya tenaga kerja, pembelian bahan mentah, mesin-mesin, tanah, bangunan, dan lain sebagainya.

2. Biaya Eksplisit yaitu biaya yang dikeluarkan individu atau perusahaan akibat hilangnya kesempatan untuk memperoleh kelayakan yang seharusnya diterima.

Untuk menghasilkan barang dan jasa salah satu input yang digunakan tetap sedangkan input lain berubah. Oleh karena itu, dalam jangka pendek biaya produksi dapat diklasifikasikan ke dalam biaya tetap (fixed cost/ VC), biaya variable (variable cost/VS), dan biaya total (total cost/TC).

1. Fixed Cost (FC)

Fixed cost adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh

faktor-faktor produksi yang sifatnya tetap, misalnya membeli tanah, mendirikan bangunan, dan mesin-mesin untuk keperluan usaha. Jenis biaya ini tidak berubah walaupun jumlah barang atau jasa yang dihasilkan berubah-ubah. 2. Variabel Cost (VC)

(65)

3. Total Cost (TC)

Total cost adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan proses produksi. Total cost adalah hasil penjumlahan fixed cost dengan variable cost. Total cost dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

TC = FC + VC (Bangun, 2007).

2.1.5. Kelayakan Usaha

Analisis Kelayakan Usaha atau disebut juga feasibility study adalah kegiatan untuk menilai sejauh mana manfaat yang dapat diperoleh dalam melaksanakan suatu kegiatan usaha. Hasil analisis ini digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan, apakah menerima atau menolak dari suatu gagasan usaha. Pengertian layak dalam penelitan ini adalah kemungkinan dari gagasan suatu usaha yang akan dilaksanakan dapat memberikan manfaat dalam arti finansial maupun sosial benefit. Tujuan analisis kelayakan usaha antara lain sebagai berikut :

1. Mengetahui tingkat keuntungan terhadap alternatif investasi. 2. Mengadakan penilaian terhadap alternatif investasi.

3. Menentukan prioritas investasi, sehingga dapat dihindari investasi yang hanya memboroskan sumber daya

(Anonimous, 2009).

Perhitungan kelayakan usaha yang sering digunakan adalah Return Cost Rasio (R/C Ratio). Return cost ratio adalah perbandingan antara nisbah penerimaan dan biaya. Secara matematik, hal ini dapat dituliskan sebagai berikut:

(66)

R = Py . Y C = FC + VC

a = {Py. Y) / (FC + VC) dimana: R = penerimaan

C = biaya

Py = harga output Y = output FC = biaya tetap

VC = biaya variabel (variable cost) Kriteria Kelayakan:

1. Secara teoritis dengan rasio R/C = 1 artinya tidak untung dan tidak pula rugi, dalam hal ini petani atau produsen dapat dikatakan mencapai titik impas atau Break Even Point (BEP).

2. R/C < 1, maka usaha tidak layak untuk dilaksanakan 3. R/C > 1, maka usaha layak untuk dilaksanakan (Soekartawi, 1995).

Pendapatan total atau penerimaan total (Total Revenue) adalah sama dengan jumlah unit output yang terjual (Q) dikalikan harga output per unit. Jika harga jual per unit output adalah P, maka:

(67)

2.1.6. Nilai Tambah

Pengolahan hasil yang baik yang dilakukan produsen dapat meningkatkan nilai tambah dari hasil pertanian yang diproses. Bagi petani, kegiatan pengolahan hasil telah dilakukan khususnya bagi petani yang mempunyai fasilitas pengolahan hasil (lantai jemur, penggilingan, tempat penyimpanan, keterampilan dalam mengolah hasil, mesin pengolah dan lain-lain). Sering ditemukan bahwa hanya petani yang mempunyai fasilitas pengolahan hasil dan mereka yang mempunyai sense of business (kemampuan memanfaatkan bisnis bidang pertanian) yang

melaksanakan kegiatan pengolahan hasil pertanian. Bagi pengusaha yang berskala besar kegiatan pengolahan hasil dijadikan kegiatan utama dalam mata rantai bisnisnya. Hal ini disebabkan karena dengan pengolahan yang baik maka nilai tambah barang pertanian menjadi meningkat karena barang tersebut mampu menerobos pasar, baik pasar domestik maupun pasar luar negeri (Soekartawi, 1991).

Nilai tambah (value added) adalah pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, pengangkutan ataupun penyimpanan dalam suatu produksi. Dalam proses pengolahan nilai tambah dapat didefinisikan sebagai selisih antara nilai produk dengan nilai biaya bahan baku dan input lainnya, tidak termasuk tenaga kerja (Hayami et all, 1987).

2.2. Penelitian Terdahulu

(68)

tambah dari agroindustri tapioka, menganalisis kondisi lingkungan internal dan kondisi lingkungan eksternal pada usaha agroindustri tapioka, serta merumuskan strategi pengembangan agroindustri tapioka yang tepat. Penentuan daerah penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) yaitu di Desa Pogalan, Kecamatan Pogalan, Kabupaten Trenggalek. Penentuan responden dilakukan dengan metode sensus. Responden dalam hal ini adalah pengusaha agroindustri tapioka skala kecil yang berjumlah 25 unit usaha. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Analisis data yang digunakan meliputi analisis biaya, penerimaan, keuntungan, analisis efisiensi usaha dan analisis nilai tambah. Analisis SWOT (Strenghts, Weaknesses, Opportunities, Threats) meliputi analisis matrik IFE (Internal Facto Evaluation) dan EFE (External Facto Evaluation), analisis matrik IE (Internal-External), analisis matrik Grand Strategy dan analisis matrik SWOT. Berdasarkan hasil perhitungan dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa untuk satu kali proses produksi diperoleh: (1) keuntungan agroindustri tapioka untuk bahan baku 22,08 kw sebesar Rp. 206.714,82 dengan total penerimaan sebesar Rp.1.212.188,00 dan total biaya Rp.1.005.473,18 (2) tingkat efisiensi usaha (R/C ratio) pada agroindustri tapioka sebesar 1,205 (3) nilai tambah pada agroindustri tapioka skala kecil sebesar Rp. 9.568,3 per kw produk dengan rasio nilai tambah 19,137%.

Penelitian juga dilakukan oleh (Zulkifli, 2012), dengan judul penelitian

“Analisis Pendapatan dan Nilai Tambah Pada Agroindustri Keripik Ubi di Kecamatan

Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

besarnya pendapatan dari usaha pengolahan ubi kayu menjadi keripik ubi kayu dan

mengetahui besarnya nilai tambah dari usaha pengolahan ubi kayu menjadi keripik

(69)

menunjukan bahwa Agroindustri pengolahan keripik ubi kayu memberikan keuntungan yang diterima adalah sebesar Rp 4.340.625 per lima kali proses produksi selama satu bulan dan nilai tambah yang dinikmati pengusaha dari agroindustri sebesar Rp 5.495,00 per kilogram bahan baku yang dimanfaatkan. Nilai tambah ini merupakan keuntungan dan selebihnya adalah pendapatan tenaga kerja yang mencapai Rp 796.875.

2.3. Kerangka Penelitian

Ubi kayu adalah tanaman pangan hasil pertanian yang banyak diusahakan oleh banyak kalangan masyarakat. Alasan lain ubi kayu dijadikan sebagai bahan baku dalam pengolahan agroindustri adalah tanamannya berkemampuan memberikan hasil yang tinggi walaupun tanah tempat pertumbuhannya kurang subur dan bercurah hujan rendah.

Pengolahan ubi kayu menjadi mie iris ubi adalah untuk meningkatkan keawetan ubi kayu sehingga layak untuk dikonsumsi dan mengolah ubi kayu agar memperoleh nilai jual yang tinggi dipasaran. Dalam pengolahan ubi kayu menjadi mie iris ubi dibutuhkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen atau pengolah ubi kayu tersebut. Biaya-biaya tersebut terbagi atas dua bagian yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap terdiri atas biaya peralatan mencakup penyusutan, sedangkan biaya variabel terdiri atas biaya bahan baku, biaya penolong dan biaya lainnya.

(70)

Nilai tambah (value added) adalah pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, pengangkutan ataupun penyimpanan dalam suatu produksi.

Adapun kerangka pemikiran penelitian ini secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar :

Keterangan:

: Ada hubungan

Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran Panen Ubi Kayu

Bahan Baku Ubi Kayu

Biaya Pengolahan Biaya Tetap Biaya Variabel

Pengolahan/Agroindustri Ubi Kayu

Penerimaan Total / Revenue

Kelayakan Usaha (Layak/Tidak layak)

Nilai Tambah Produk Produk Baru Hasil

Olahan Ubi Kayu (Mie Iris Ubi)

(71)

2.4. Hipotesis Penelitian

Bertitik tolak pada permasalahan diatas yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Kegiatan proses produksi dilakukan dengan cara sederhana.

2. Usaha pengolahan ubi kayu menjadi mie iris ubi di daerah penelitian layak untuk dilaksanakan.

(72)

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang bercorak agraris dengan sektor pertanian sebagai salah satu ujung tombak dalam pertumbuhan ekonominya. Pembangunan ekonomi saat ini adalah menitikberatkan pada industri hilir suatu produk pertanian yang disebut agroindustri. Selain itu, mengingat sifat produk pertanian yang tidak tahan lama, maka peran pengolahan pasca panen atau agroindustri sangat diperlukan. Dengan dilakukannya kegiatan agroindustri atau pengolahan pasca panen pada produk pertanian akan membuat produk pertanian menjadi produk olahan yang lebih tahan lama dan siap untuk dikonsumsi. Selain itu, dengan pengolahan atau agroindustri akan memberikan nilai tambah (value added) terhadap suatu produk. Istilah nilai tambah (value added) itu sendiri sebenarnya menggantikan istilah nilai yang ditambahkan pada suatu produk karena masuknya unsur pengolahan sehingga produk pertanian menjadi lebih baik.

(73)

Untuk mewujudkan hasil-hasil tanaman yang dikehendaki para konsumen (individu atau industri, pasar domestik atau pasar luar negeri) maka penanganan atau pengelolaannya memerlukan teknik dan pengetahuan yang selalu harus mengikuti perkembangan pasar, dimana standar atau patokan-patokan yang dikehendaki oleh para konsumen. Teknik dan pengetahuan penanganan dan pengelolaan hasil tanaman lepas panen sampai sekarang dapat dikatakan belum atau kurang diperhatikan oleh para petani pada umumnya, mereka kurang menyadari bahwa kalau hal tersebut diperhatikan dan diterapkannya dengan baik setiap lepas panen maka pendapatan dan keuntungan yang diperoleh akan lebih besar. Kurangnya kesadaran melakukan penanganan atau pengelolaan lepas panen (menurut tinjauan para ekonom) adalah karena alasan sebagai berikut: (a) Karena kebutuhan yang mendesak, (b) Karena teknik dan pengetahuan tradisional yang belum dikembangkan yang dipakai terus, (c) Karena kurangnya pengetahuan tentang penanganan atau pengelolaan lepas panen yang baik, dan (d) Keengganan para petani untuk melakukan penanganan lepas panen karena kesulitan akan biaya dan tenaga tambahan (Kartasapoetra, 1994).

(74)

itu penanganan sejak panen perlu diperhatikan. Setelah dipanen ubi kayu harus segera dikonsumsi atau diberi penanganan yang tepat yaitu diolah lebih lanjut untuk memberikan nilai tambah terhadap hasil olahan ubi kayu tersebut. Tujuan pengolahan ubi kayu itu sendiri adalah untuk meningkatkan keawetan ubi kayu itu sehingga layak dikonsumsi dan memanfaatkan ubi kayu agar memperoleh nilai jual yang tinggi.

Alasan lain ubi kayu dijadikan sebagai bahan baku dalam pengolahan agroindustri yang mampu menghasilkan nilai tambah adalah dilihat dari manfaat ubi kayu itu sendiri yaitu ubi kayu dapat menghasilkan umbi yang bagi penduduk di daerah-daerah tropik merupakan bahan pangan pokok (staple food crop). Tanamannya berkemampuan memberikan hasil yang tinggi walaupun tanah tempat pertumbuhannya kurang subur dan bercurah hujan rendah. Umbi tanaman ini sama halnya dengan kebanyakan umbi-umbian terdiri dari hampir seluruhnya zat tepung yang murni, sedangkan daun-daunnya berkandungan sekitar 17% protein, umbi tanaman ini dapat pula menjadi berbagai panganan yang lezat, baik yang serba manis maupun yang serba asin, selain untuk kepentingan manusia dapat dijadikan pula bahan pangan ternak dan bahan baku dalam berbagai industri (Kartasapoetra, 1994).

(75)

Perkembangan penggunaan pangan baru atau bentuk-bentuk baru dari pangan ubi kayu yang ada akan menjadi sangat penting jika produk-produknya bisa diproduksi di desa-desa, bisa disimpan, dan bersifat pendapatan yang elastis. Jika sifat-sifat ini dikombinasi dengan suatu harga yang layak dan kemasan yang menarik, maka sangatlah mungkin mengembangkan pasar-pasar baru yang berarti untuk produk-produk ubi kayu di daerah perkotaan maupun pedesaan

(Falcon dkk, 1986).

(76)

keuntungan dan nilai tambah yang tinggi pula yang menarik semua kalangan mau melakukan kegiatan pengolahan ubi kayu menjadi mie kering. Untuk mengetahui lebih jelas bagaimana kelayakan pengolahan ubi kayu dan nilai tambah yang didapat setelah ubi kayu diolah menjadi mie iris ubi, perlu dilakukan penelitian atau analisis secara ilmiah.

1.2. Identifikasi Masalah

Permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana tahapan proses produksi pengolahan ubi kayu menjadi mie iris ubi di Desa Pegajahan, Kec. Pegajahan, Kab. Serdang Bedagai?

2. Bagaimana kelayakan usaha pengolahan ubi kayu menjadi mie iris ubi di Desa Pegajahan, Kec. Pegajahan, Kab. Serdang Bedagai?

3. Berapakah besarnya nilai tambah mie iris ubi hasil olahan ubi kayu di Desa Pegajahan, Kec. Pegajahan, Kab. Serdang Bedagai?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui tahapan proses produksi pengolahan ubi kayu menjadi mie iris ubi di Desa Pegajahan, Kec. Pegajahan, Kab. Serdang Bedagai

2. Untuk menganalisis kelayakan usaha pengolahan ubi kayu menjadi mie iris ubi di Desa Pegajahan, Kec. Pegajahan, Kab. Serdang Bedagai.

(77)

1.4. Kegunaan Penelitian

1. Bagi pengolah ubi kayu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi mengenai nilai tambah yang dapat diperoleh jika ubi kayu diolah.

2. Bagi Pemerintah dan pihak yang terkait, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran dalam menentukan kebijakan terhadap dalam pengembangan usaha pengolahan ubi kayu.

Gambar

Tabel 3.1. Data Luas Panen, Produksi dan Rata-rata Produksi Kabupaten/ Kota di Sumatera Utara Tahun 2012
Tabel 3.4. Prosedur Perhitungan Nilai Tambah Metode Hayami
Tabel 4.2.2.a.  Jumlah Penduduk Desa Pegajahan Berdasarkan Golongan Usia dan Jenis Kelamin Tahun 2013
Tabel 4.7.1. Umur Pengolah Mie Iris Ubi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis proses pengolahan ubi kayu menjadi mie iris dan opak koin, pendapatan usaha pengolahan ubi kayu menjadi mie iris dan opak

Kecamatan Saronggi merupakan daerah sentra penghasil ubi kayu di Kabupaten Sumenep (BPS, 2015). Tujuan dari adanya penelitian ini yaitu : 1)Mengetahui

Tabel 4 menunjukkan analisis nilai tambah agroindustri ubi kayu menjadi karak kaliang dimana diketahui bahwa untuk produk karak kaliang dari 100 kg tepung ubi kayu dapat

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat kelayakan usahatani dan pengolahan ubi kayu serta bagaimana meyusun strategi pengembangan agribisnis ubi kayu tersebut..

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keuntungan dari usaha pengolahan ubi kayu menjadi bahan mentah keripik singkong, efisiensi dari usaha pengolahan ubi kayu menjadi

Untuk menganalisis masalah (1) dan (4), metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif yaitu menjelaskan proses atau tahap-tahap pengolahan ubi kayu menjadi produk

Nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan ubi kayu menjadi opak koin lebih tinggi dibandingkan dengan nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan ubi kayu menjadi mie iris

Berdasarkan pada Tabel 4., dapat diketahui rincian biaya yang digunakan pelaku usaha opak-opak ubi kayu dalam satu kali proses produksi meliputi biaya bahan baku ubi kayu sebanyak