• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kelayakan Usaha Pengolahan dan Nilai Tambah Pada Mie Iris Ubi Hasil Olahan Ubi Kayu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kelayakan Usaha Pengolahan dan Nilai Tambah Pada Mie Iris Ubi Hasil Olahan Ubi Kayu"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Landasan Teori 2.1.1. Tanaman Ubi Kayu

Tanaman ubi kayu merupakan salah satu hasil komoditi pertanian di Indonesia yang biasanya dipakai sebagai bahan makanan. Seiring dengan perkembangan teknologi, maka ubi kayu ini bukan hanya dipakai sebagai bahan makanan saja tetapi juga dipakai sebagai bahan baku industri.

Dalam sistematika tanaman, ubi kayu termasuk kelas dicotyledonae, ubi kayu masuk dalam family euphorbiaceae yang mempunyai 7.200 spesies, beberapa di antaranya mempunyai nilai komersial, seperti karet (Hevea Brasiliensis), jarak (Ricinus comunis dan Jatropha curcas). Klasifikasi tanaman ubi kayu sebagai berikut.

Kelas : Dicotyledoneae Sub kelas : Arhichlamydeae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Sub family : Manihotae Genus : Manihot

Species : Manihot esculenta Crantz

(2)

Tanaman ubi kayu tumbuh di daerah antara 300 lintang selatan dan 300 lintang utara, yakni daerah dengan suhu rata-rata lebih dari 180C dengan curah hujan di atas 500 mm/tahun. Namun demikian tanaman ubi kayu dapat tumbuh pada ketinggian 2000 meter dpl atau di daerah sub tropika dengan suhu rata-rata 160C. di ketinggian tempat sampai 300 m dpl tanaman ubi kayu dapat menghasilkan umbi dengan baik, tetapi tidak dapat berbunga. Namun, di ketinggian tempat 800 m dpl tanaman ubi kayu dapat menghasilkan bunga dan biji. Ubi kayu mampu berproduksi baik pada lingkungan sub-optimal dan mempunyai pertumbuhan yang relatif lebih baik pada lingkungan sub-optimal dibandingkan dengan tanaman lain. Namun, agar dapat berproduksi optimal ubi kayu membutuhkan curah hujan 150-200 mm/bulan saat umur 1-3 bulan, 250-300 mm/bulan saat umur 4-7 bulan, dan 100-150 mm/bulan pada fase menjelang dan saat panen (Prihandana, 2007).

Beberapa varietas tanaman ubi kayu yang banyak memberikan hasil dari pertanamannya dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Jenis Mangi

Hasil umbi yang diberikan dalam pertanaman seluas 1 Ha adalah + 200 kuintal, umbi-umbinya panjang bertangkai, kadar zat tepung sekitar 37%, bila direbus rasanya manis.

b. Jenis Valenca

(3)

c. Jenis Betawi

Hasil umbi yang diperoleh dari pertanaman 1 Ha adalah sekitar 200 kuintal sampai 300 kuintal, umbinya gemuk-gemuk tidak bertangkai, kadar zat tepung +34,4%, rasanya manis

d. Jenis Bogor

Hendaknya diperhatikan agar umbinya perlu dimakan karena rasanya pahit dan beracun, hanya baik untuk dibuat tepung kanji. Umbinya memang gemuk-gemuk, bertangkai dengan kadar zat tepung yang dikandungnya sekitar 30,9%. Hasil penanaman 1 Ha sekitar 400 kwintal

e. Jenis Basiorao

Umbinya beracun, rasanya pahit, keadaan umbi agak gemuk dan bertangkai pendek, kadar zat tepung sekitar 31,2%. Hasil umbi yang diperoleh untuk penanaman seluas 1 Ha adalah sekitar 300 kwintal, sebagai bahan baku industri tepung kanji.

f. Jenis Sao Pedro Petro

Keadaan umbi seperti di atas dengan kadar zat tepung 35,4%, hasil umbi per hektar sekitar 400 kwintal

g. Jenis Muara

Hasil umbinya gemuk-gemuk, tetapi sangat beracun, kadar zat tepung 26,9%, hasil per hektar sekitar 400 kwintal

(Kartasapoetra, 1994).

2.1.2. Panen dan Pasca Panen Ubi Kayu

(4)

dilakukan dengan mencabut tanaman, cara pencabutan pada tanah yang gembur tentu akan mudah, sedang pada tanah yang agak berat sampai berat pencabutan harus dibantu dengan peralatan, cangkul, potongan bambu atau linggis, tetapi yang penting dalam pencabutan-pencabutan ini hendaknya diperhatikan agar umbi tidak terluka atau terpotong, kelukaan akan cepat menimbulkan kerusakan biologis, fisiologis dan mikroba (Kartasapoetra, 1994).

2.1.3. Pengolahan Pasca Panen Ubi Kayu

Dalam bidang pertanian istilah pasca panen diartikan sebagai tindakan atau perlakuan yang diberikan pada hasil pertanian setelah panen sampai komoditas berada di tangan konsumen. Istilah tersebut secara keilmuan lebih tepat disebut pasca produksi (postproduction) yang dapat dibagi dalam dua bagian atau tahapan, yaitu pasca panen (postharvest) dan pengolahan (processing). Penanganan pasca panen (postharvest) sering disebut juga sebagai pengolahan primer (primary processing) merupakan istilah yang digunakan untuk semua perlakuan dari mulai panen sampai komoditas dapat dikonsumsi “segar” atau untuk persiapan pengolahan berikutnya. Umumnya perlakuan tersebut tidak mengubah bentuk penampilan atau penampakan, kedalamnya termasuk berbagai aspek dari pemasaran dan distribusi. Pengolahan (secondary processing) merupakan tindakan yang mengubah hasil tanaman ke kondisi lain atau bentuk lain dengan tujuan dapat tahan lebih lama (pengawetan), mencegah perubahan yang tidak dikehendaki atau untuk penggunaan lain, di dalamnya termasuk pengolahan pangan dan pengolahan industri.

(5)

subsistem penyediaan sarana produksi seperti pupuk, bibit (benih), obat-obatan, mesin pertanian dan sebagainya, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran (tata niaga), serta subsistem pendukung seperti pembiayaan dan asuransi. Dalam hal ini, yang disebut agroindustri adalah subsistem yang menangani pengolahan hasil produksi usaha tani (Iwantono, 2002).

Agroindustri juga merupakan subsektor pertanian yang diharapkan dapat berperan penting terhadap pertumbuhan ekonomi, penerimaan ekspor, penyediaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, dan pemerataan pembangunan wilayah. Ditinjau dari cakupan komoditasnya, terdapat ratusan jenis tanaman tahunan dan tanaman musiman dapat tumbuh subur di Indonesia, sehingga pembangunan agroindustri akan dapat menjangkau berbagai tipe komoditas yang sesuai dikembangkan di masing-masing daerah di Indonesia. Dilihat dari hasil produksinya, komoditas perkebunan merupakan bahan baku industri dan barang ekspor, sehingga telah melekat adanya kebutuhan keterkaitan kegiatan usaha dengan berbagai sektor dan subsektor lainnya. Di samping itu, jika diamati dari sisi pengusahaannya, sekitar 85 persen komoditas agro merupakan usaha perkebunan rakyat yang tersebar di berbagai daerah. Dengan demikian pembangunan industri agro akan berdampak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama melalui perannya dalam menciptakan lapangan kerja dan distribusi pemerataan pendapatan (Rachbini, 2011).

(6)

industri. Sementara itu ahli yang lain (Soeharjo, 1991, Soekartawi, 1991, 1992a dan Badan Agribisnis DEPTAN 1995) menyebutkan bahwa agroindustri adalah pengolahan hasil pertanian dan karena itu agroindustri merupakan bagian dari enam subsistem penyediaan sarana produksi dan peralatan, usahatani, pengolahan hasil (agroindustri), pemasaran, sarana dan pembinaan (Soekartawi, 2000).

Dari pengertian di atas, agroindustri dapat diartikan dua hal, yaitu

pertama, agroindustri adalah industri yang berbahan baku utama produk pertanian. pada konteks ini agroindustri menekankan pada food processing management dalam suatu perusahaan produk olahan yang bahan baku utamanya adalah produk pertanian. Kedua, adalah bahwa agroindustri itu diartikan sebagai suatu tahapan pembangunan sebagai kelanjutan dari pembangunan pertanian, tetapi sebelum tahapan pembangunan tersebut mencapai tahapan pembangunan industri (Soekartawi, 2000).

Pentingnya agroindustri dalam pembangunan pertanian disebabkan beberapa alasan yaitu: pertama dapat memberikan nilai tambah pertanian, kedua

agroindustri merupakan bidang usaha yang mampu menciptakan kesempatan kerja, ketiga agroindustri merupakan sumber pertumbuhan, keempat sebagai penghasil devisa, kelima agroindustri merupakan jenis industri yang memiliki keterkaitan ke atas (forward linkage), keenam umumnya agroindustri berlokasi di pedesaan, karena itu kandungan lokalnya sangat tinggi, serta memiliki social effect yang positif bagi sebahagian besar rakyat kecil (Iwantono, 2002).

(7)

standardnya yang selalu akan dipenuhi dan dikembangkan. Sebaliknya pasar juga bisa memberikan keinginannya untuk dapat dipenuhi oleh industri. Produk industri tentu diharapkan lebih bermutu daripada produk mentahnya, atau mempunyai kelebihan-kelebihan yang dinikmati oleh konsumen sesuah melalui proses pengolahan di industri. Selain itu, industri yang berposisi di tengah dalam sistem agribisnis mendorong kalangan niaga di sektor hilirnya (Sadjad, 2001).

(8)

Berikut ini adalah produk olahan yang dihasilkan dari pengolahan ubi kayu, yaitu:

Pohon Industri Ubi Kayu

(9)

2.1.4. Biaya

Biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan proses produksi dapat dibagi ke dalam dua bagian antara lain:

1. Biaya Implisit yaitu pengeluaran yang digunakan untuk memperoleh faktor-faktor produksi yang diperlukan perusahaan dalam kegiatan proses produksinya. Biaya-biaya tersebut antara lain: biaya tenaga kerja, pembelian bahan mentah, mesin-mesin, tanah, bangunan, dan lain sebagainya.

2. Biaya Eksplisit yaitu biaya yang dikeluarkan individu atau perusahaan akibat hilangnya kesempatan untuk memperoleh kelayakan yang seharusnya diterima.

Untuk menghasilkan barang dan jasa salah satu input yang digunakan tetap sedangkan input lain berubah. Oleh karena itu, dalam jangka pendek biaya produksi dapat diklasifikasikan ke dalam biaya tetap (fixed cost/ VC), biaya variable (variable cost/VS), dan biaya total (total cost/TC).

1. Fixed Cost (FC)

Fixed cost adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor-faktor produksi yang sifatnya tetap, misalnya membeli tanah, mendirikan bangunan, dan mesin-mesin untuk keperluan usaha. Jenis biaya ini tidak berubah walaupun jumlah barang atau jasa yang dihasilkan berubah-ubah. 2. Variabel Cost (VC)

(10)

3. Total Cost (TC)

Total cost adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan proses produksi. Total cost adalah hasil penjumlahan fixed cost dengan variable cost. Total cost dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

TC = FC + VC (Bangun, 2007).

2.1.5. Kelayakan Usaha

Analisis Kelayakan Usaha atau disebut juga feasibility study adalah kegiatan untuk menilai sejauh mana manfaat yang dapat diperoleh dalam melaksanakan suatu kegiatan usaha. Hasil analisis ini digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan, apakah menerima atau menolak dari suatu gagasan usaha. Pengertian layak dalam penelitan ini adalah kemungkinan dari gagasan suatu usaha yang akan dilaksanakan dapat memberikan manfaat dalam arti finansial maupun sosial benefit. Tujuan analisis kelayakan usaha antara lain sebagai berikut :

1. Mengetahui tingkat keuntungan terhadap alternatif investasi. 2. Mengadakan penilaian terhadap alternatif investasi.

3. Menentukan prioritas investasi, sehingga dapat dihindari investasi yang hanya memboroskan sumber daya

(Anonimous, 2009).

Perhitungan kelayakan usaha yang sering digunakan adalah Return Cost Rasio (R/C Ratio). Return cost ratio adalah perbandingan antara nisbah penerimaan dan biaya. Secara matematik, hal ini dapat dituliskan sebagai berikut:

(11)

R = Py . Y C = FC + VC

a = {Py. Y) / (FC + VC) dimana: R = penerimaan

C = biaya

Py = harga output

Y = output

FC = biaya tetap

VC = biaya variabel (variable cost) Kriteria Kelayakan:

1. Secara teoritis dengan rasio R/C = 1 artinya tidak untung dan tidak pula rugi, dalam hal ini petani atau produsen dapat dikatakan mencapai titik impas atau

Break Even Point (BEP).

2. R/C < 1, maka usaha tidak layak untuk dilaksanakan 3. R/C > 1, maka usaha layak untuk dilaksanakan (Soekartawi, 1995).

Pendapatan total atau penerimaan total (Total Revenue) adalah sama dengan jumlah unit output yang terjual (Q) dikalikan harga output per unit. Jika harga jual per unit output adalah P, maka:

(12)

2.1.6. Nilai Tambah

Pengolahan hasil yang baik yang dilakukan produsen dapat meningkatkan nilai tambah dari hasil pertanian yang diproses. Bagi petani, kegiatan pengolahan hasil telah dilakukan khususnya bagi petani yang mempunyai fasilitas pengolahan hasil (lantai jemur, penggilingan, tempat penyimpanan, keterampilan dalam mengolah hasil, mesin pengolah dan lain-lain). Sering ditemukan bahwa hanya petani yang mempunyai fasilitas pengolahan hasil dan mereka yang mempunyai

sense of business (kemampuan memanfaatkan bisnis bidang pertanian) yang melaksanakan kegiatan pengolahan hasil pertanian. Bagi pengusaha yang berskala besar kegiatan pengolahan hasil dijadikan kegiatan utama dalam mata rantai bisnisnya. Hal ini disebabkan karena dengan pengolahan yang baik maka nilai tambah barang pertanian menjadi meningkat karena barang tersebut mampu menerobos pasar, baik pasar domestik maupun pasar luar negeri (Soekartawi, 1991).

Nilai tambah (value added) adalah pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, pengangkutan ataupun penyimpanan dalam suatu produksi. Dalam proses pengolahan nilai tambah dapat didefinisikan sebagai selisih antara nilai produk dengan nilai biaya bahan baku dan input lainnya, tidak termasuk tenaga kerja (Hayami et all, 1987).

2.2. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh (Prawiyanti, 2011) dengan judul penelitian “Strategi Pengembangan Agroindustri Tapioka Pada Skala Usaha Kecil (Studi

(13)

tambah dari agroindustri tapioka, menganalisis kondisi lingkungan internal dan kondisi lingkungan eksternal pada usaha agroindustri tapioka, serta merumuskan strategi pengembangan agroindustri tapioka yang tepat. Penentuan daerah penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) yaitu di Desa Pogalan, Kecamatan Pogalan, Kabupaten Trenggalek. Penentuan responden dilakukan dengan metode sensus. Responden dalam hal ini adalah pengusaha agroindustri tapioka skala kecil yang berjumlah 25 unit usaha. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Analisis data yang digunakan meliputi analisis biaya, penerimaan, keuntungan, analisis efisiensi usaha dan analisis nilai tambah. Analisis SWOT (Strenghts, Weaknesses, Opportunities, Threats) meliputi analisis matrik IFE (Internal Facto Evaluation) dan EFE (External Facto Evaluation), analisis matrik IE (Internal-External), analisis matrik Grand Strategy dan analisis matrik SWOT. Berdasarkan hasil perhitungan dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa untuk satu kali proses produksi diperoleh: (1) keuntungan agroindustri tapioka untuk bahan baku 22,08 kw sebesar Rp. 206.714,82 dengan total penerimaan sebesar Rp.1.212.188,00 dan total biaya Rp.1.005.473,18 (2) tingkat efisiensi usaha (R/C ratio) pada agroindustri tapioka sebesar 1,205 (3) nilai tambah pada agroindustri tapioka skala kecil sebesar Rp. 9.568,3 per kw produk dengan rasio nilai tambah 19,137%.

Penelitian juga dilakukan oleh (Zulkifli, 2012), dengan judul penelitian

“Analisis Pendapatan dan Nilai Tambah Pada Agroindustri Keripik Ubi di Kecamatan

(14)

menunjukan bahwa Agroindustri pengolahan keripik ubi kayu memberikan keuntungan yang diterima adalah sebesar Rp 4.340.625 per lima kali proses produksi selama satu bulan dan nilai tambah yang dinikmati pengusaha dari agroindustri sebesar Rp 5.495,00 per kilogram bahan baku yang dimanfaatkan. Nilai tambah ini merupakan keuntungan dan selebihnya adalah pendapatan tenaga kerja yang mencapai Rp 796.875.

2.3. Kerangka Penelitian

Ubi kayu adalah tanaman pangan hasil pertanian yang banyak diusahakan oleh banyak kalangan masyarakat. Alasan lain ubi kayu dijadikan sebagai bahan baku dalam pengolahan agroindustri adalah tanamannya berkemampuan memberikan hasil yang tinggi walaupun tanah tempat pertumbuhannya kurang subur dan bercurah hujan rendah.

Pengolahan ubi kayu menjadi mie iris ubi adalah untuk meningkatkan keawetan ubi kayu sehingga layak untuk dikonsumsi dan mengolah ubi kayu agar memperoleh nilai jual yang tinggi dipasaran. Dalam pengolahan ubi kayu menjadi mie iris ubi dibutuhkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen atau pengolah ubi kayu tersebut. Biaya-biaya tersebut terbagi atas dua bagian yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap terdiri atas biaya peralatan mencakup penyusutan, sedangkan biaya variabel terdiri atas biaya bahan baku, biaya penolong dan biaya lainnya.

(15)

Nilai tambah (value added) adalah pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, pengangkutan ataupun penyimpanan dalam suatu produksi.

Adapun kerangka pemikiran penelitian ini secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar :

Keterangan:

: Ada hubungan

Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran Panen Ubi Kayu

Bahan Baku Ubi Kayu

Biaya Pengolahan Biaya Tetap Biaya Variabel

Pengolahan/Agroindustri Ubi Kayu

Penerimaan Total / Revenue

Kelayakan Usaha (Layak/Tidak layak)

Nilai Tambah Produk Produk Baru Hasil

Olahan Ubi Kayu (Mie Iris Ubi)

(16)

2.4. Hipotesis Penelitian

Bertitik tolak pada permasalahan diatas yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Kegiatan proses produksi dilakukan dengan cara sederhana.

2. Usaha pengolahan ubi kayu menjadi mie iris ubi di daerah penelitian layak untuk dilaksanakan.

Gambar

Gambar 1. Pohon Industri Ubi Kayu
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Total rating Bobot =.. sebagai selisih antara nilai produk dengan nilai biaya bahan baku dan input lainnya. Tidak termasuk tenaga kerja. 5) Lahan pertanian merupakan penentu

tentang nilai tambah onggok di suatu perusahaan dalam jumlah yang sangat besar sedangkan penelitian ini meneliti tentang nilai tambah onggok yang diolah oleh masyarakat di

tambah dari output dengan memperhatikan berbagai komponen penting dalam pengolahan yaitu : biaya bahan baku, dan biaya penunjang lainnya yang menjadi penentu besarnya

Untuk dapat menganalisis nilai tambah dari hasil pengolahan kelapa sawit menjadi CPO (Crude Palm Oil), terdapat berbagai komponen penting yaitu: nilai output, input bahan baku,

Untuk hipotesis 1 digunakan pengukuran nilai tambah metode Hayami untuk melihat seberapa besar nilai tambah yang dihasilkan akibat proses pengolahan produk makanan

Dalam proses pengolahan, nilai tambah dapat didefinisikan sebagai selisih antara nilai produk dengan nilai biaya bahan baku dan input lainnya, tidak termasuk

1) Nilai tambah (value added) adalah pertambahan nilai tambah atau dapat diartikan sebagai selisih antara nilai produk dengan nilai biaya bahan baku dan input lainnya. Tidak

Untuk hipotesis 1 digunakan pengukuran nilai tambah metode Hayami untuk melihat seberapa besar nilai tambah yang dihasilkan akibat proses pengolahan produk makanan