• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI EFEKTIVITAS LARVASIDA EKSTRAK DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) TERHADAP LARVA Aedes aegypti INSTAR III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "UJI EFEKTIVITAS LARVASIDA EKSTRAK DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) TERHADAP LARVA Aedes aegypti INSTAR III"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ABSTRAK

UJI EFEKTIVITAS LARVASIDA EKSTRAK DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) TERHADAP LARVA Aedes aegypti

INSTAR III

Oleh

Ahmad Ismatullah

Upaya pengendalian vektor demam berdarah dengue (DBD) yang populer dilakukan adalah dengan cara kimiawi (insektisida sintetik). Bahaya penggunaan insektisida sintetik dapat diminimalisir dengan menggunakan insektisida alami. Tanaman binahong memiliki potensi sebagai larvasida. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki efektivitas larvasida ekstrak daun binahong (Anredera Cordifolia (Ten.) Steenis) terhadap larva Aedes aegypti instar III.

Penelitian dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran dan Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung pada bulan November sampai dengan Desember 2013. Penelitian menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) sesuai rekomendasi WHO dalam Guidelines for Laboratory and Field Testing of Mosquito Larvicides. Total sampel 600 larva uji yang terdiri dari 6 kelompok perlakuan (konsentrasi 0%, 0,25%, 0,5%, 0,75%, 1% dan abate 1% sebagai kontrol positif). Setiap kelompok berisi 25 larva dan 4 kali pengulangan. Larva uji diamati selama 4320 menit kemudian dilakukan uji analisis. Uji yang digunakan adalah uji Kruskal- wallis (p < 0,05), uji Post-hoc Man Whitney (p < 0,05) dan uji Probit untuk mencari nilai LC50 dan LT50.

Didapatkan pada uji Mann-Whitney perbandingan efektifitas ekstrak daun binahong pada seluruh konsentrasi dengan abate memiliki perbedaan bermakna (p<0,05). Nilai LC50 hingga menit ke-4320 berada di atas nilai standar WHO

(konsentrasi 1%). Sedangkan nilai LT50 pada seluruh konsentrasi melebihi batas

waktu pengamatan (4320 menit). Hasil tersebut menunjukkan bahwa ekstrak daun binahong kurang efektif sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti instar III dibanding abate.

(3)
(4)
(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penelitian... 8

D. Manfaat Penelitian... 8

E. Kerangka Penelitian ... 10

1. Kerangka Teori... 10

2. Kerangka Konsep... 11

F. Hipotesis ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Demam Berdarah Dengue... 12

1. Definisi dan Etiologi... 12

2. Derajat ... 13

3. Pencegahan DBD... 14

B. Nyamuk Aedes aegypti ... 16

1. Taksonomi Aedes aegypti ... 16

2. Morfologi Aedes aegypti ... 16

3. Bionomik Aedes aegypti ... 21

4. Pengendalian Nyamuk Aedes aegypti ... 25

C. Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) ... 24

1. Taksonomi Binahong... 24

2. Morfologi Binahong ... 25

3. Kandungan dan efek farmakologis ... 26

D. Ekstrak... .. 31

III. METODE PENELITIAN ... 34

A. Rancangan Penelitian ... 34

(6)

vii

C. Populasi dan Sampel ... 35

D. Alat dan Bahan ... 37

1. Alat... 37

2. Bahan... 38

E. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional ... 38

F. Prosedur Penelitian ... 40

1. Tahap Persiapan... 40

2. Tahap Pelaksanaan ... 43

3. Tahap Analisis Data... ... 47

G. Aspek Etik Penelitian ... 48

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

A. Hasil ... 49

B. Pembahasan ... 54

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 62

A. Simpulan... 62

B. Saran ... 63 DAFTAR PUSTAKA

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Jumlah Total Sampel ... 35

2. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 38

3. Jumlah Ekstrak Daun Legundi yang Dibutuhkan ... 42

4. Persentase Rata-rata Kematian Larva ... 48

5. Uji Analisis Post-hoc Mann-Whitney ... 49

6. Nilai LC50 ... 50

(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.Kerangka Teori...9

2.Kerangka Konsep...11

3.Telur Aedes aegypti...16

4.Representasi panjang kepala, leher, thorax dan abdomen larva Aedes aegypti... ... 17

5.Perbandingan Panjang Abdomen Instar I-IV ….. ... 18

6.Perbandingan Besar Kepala Instar I-IV .. ... 18

7.Pupa Aedes aegypti ... 19

8.Aedes aegypti Dewasa ... 20

9.Tumbuhan Binahong ... 25

10.Saponin... ... 26

11.Diagram Alir Penelitian...45

12.Grafik Nilai LC50...51

(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi di daerah tropis dan ditularkan lewat hospes perantara jenis serangga yaitu Aedes spesies. DBD adalah penyakit akut dengan manifestasi klinis perdarahan yang menimbulkan syok yang berujung kematian. Hampir setiap tahun terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa daerah pada musim penghujan. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan endemis di sebagian kabupaten / kota di Indonesia (Kemenkes RI, 2011).

(10)

2

penduduk) dengan 957 kematian (IR : 1,20 %), tahun 2005 jumlah kasus sebanyak 95.279 (IR : 43,31/100.000 penduduk) dengan 1.298 kematian (CFR : 1,36 %) tahun 2006 jumlah kasus sebanyak 114.656 (IR : 52,48/100.000 penduduk) dengan 1.196 kematian (CFR : 1,04 %). Sampai dengan bulan November 2007, kasus telah mencapai 124.811 (IR: 57,52/100.000 penduduk) dengan 1.277 kematian (CFR: 1,02%) (Depkes RI, 2008).

Bandar Lampung merupakan daerah endemis DBD. Data dinas kesehatan kota Bandar Lampung menyebutkan pada tahun 2010, jumlah penderita DBD di Bandar Lampung mencapai 763 orang dan yang meninggal 16 orang. Pada tahun 2011, jumlah penderita DBD di Bandar Lampung mencapai 413 orang dan yang meninggal 7 orang. Pada tahun 2012, terjadi peningkatan jumlah penderita DBD di Bandar Lampung mencapai 1111 orang dan yang meninggal 11 orang, jumlah tersebut merupakan tertinggi dibanding dengan kabupaten lain (Kemenkes RI, 2012).

(11)

nyamuk oles. Sejak tahun 1992 program khusus untuk mencegah meningkatnya angka kejadian DBD adalah dengan cara memberdayakan masyarakat melalui gerakan 3M (Menguras, Menutup dan Mengubur). Pada tahun 2000 dikembangkan menjadi 3M plus yaitu dengan cara menggunakan larvasida, memelihara ikan, abatisasi, memakai kelambu, dan menggunakan penolak nyamuk. Namun upaya tersebut belum menunjukan hasil yang diinginkan karena setiap tahun masih terjadi peningkatan angka kesakitan (Depkes RI, 2008).

Pemberantasan larva yang merupakan salah satu pengendalian vektor Aedes aegypti diterapkan hampir diseluruh dunia. Penggunaan insektisida sebagai larvasida merupakan cara yang paling umum digunakan oleh masyarakat untuk mengendalikan pertumbuhan vektor tersebut. Insektisida yang sering digunakan di Indonesia adalah Abate. Penggunaan abate di Indonesia sudah ada sejak tahun 1976. Empat tahun kemudian yakni tahun 1980, temephos 1% (abate) ditetapkan sebagai bagian dari program pemberantasan massal Aedes aegypti di Indonesia (Daniel, 2008).

(12)

4

Laporan resistensi larva Aedes aegypti terhadap Temephos sudah ditemukan di beberapa negara seperti Brazil, Bolivia, Argentina, Kuba, French Polynesia, Karibia, dan Thailand. Selain itu juga telah dilaporkan resistensi larva Aedes aegypti terhadap Temephos di Surabaya. (Raharjo, 2006).

Salah satu sarana pengendalian alternatif yang patut dikembangkan adalah penggunaan larvasida nabati. Senyawa insektisida dari tumbuhan tersebut mudah terurai di lingkungan dan relatif aman terhadap makhluk bukan sasaran. Berbagai jenis tumbuhan diketahui mengandung senyawa seperti flavonoid, saponin, fenilpropan, terpenoid, alkaloid, asetogenin, dan tanin yang bersifat sebagai larvasida atau insektisida (Hidayatullah, 2013).

Beberapa tanaman pernah diuji sebagai larvasida, berdasarkan penelitian ekstrak daun tembelekan sebagai larvasida menunjukkan kematian larva Aedes aegypty disebabkan karena zat saponin yang bertindak sebagai racun perut serta minyak atsiri dan flavonoid sebagai racun pernapasan. Pada penelitian ekstrak daun pare menyatakan kematian larva disebabkan oleh zat alkaloid yaitu momordicin yang dapat menghambat daya makan larva (antifedant) (Ratih, 2010).

(13)

tersebut bila masuk dalam tubuh larva Aedes aegypti maka alat pencernaannya akan akan terganggu. Polifenol sebagai inhibitor pencernaan serangga juga dapat mengganggu sistem pencernaan larva hingga akhirnya mati. Zat-zat kimia ini di sebut juga zat stomatch poisonin (Cania, 2013).

Flavonoid merupakan senyawa kimia yang dapat bekerja sebagai inhibitor kuat pernapasan atau sebagai racun pernapasan. Mekanisme dari flavonoid yaitu dapat masuk kedalam tubuh larva menimbulkan kelayuan pada syaraf serta kerusakan pada sistem pernapasan dan mengakibatkan larva tidak bernapas dan akhirnya mati (Cania, 2013).

Tanaman Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) adalah tanaman hiasan rumah atau hiasan pagar yang sering dan mudah dijumpai di Indonesia. Beberapa penelitian menunjukkan dalam Binahong memiliki efek antioksida, antiinflamasi, antibiotik bahkan antivirus (Mufid, 2010)

Penelitian mengenai aktivitas anti bakteri daun binahong dan kandungan metabolit sekundernya pernah dilakukan, diketahui dalam simplisia daun binahong terkandung senyawa metabolit sekunder jenis flavonoid, alkaloid, polifenol, dan senyawa terpenoid dari kelompok triterpenoid adalah saponin (Rahmawati, 2012; Paju, 2013).

(14)

6

memiliki kesamaan dengan kandungan kimia dari beberapa penelitian terdahulu terkait larvasida. Berdasarkan hal tersebut, penulis menduga adanya potensi kulit daun Binahong sebagai larvasida nabati terhadap larva aedes egypty instar III

B. Rumusan Masalah

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit virus yang ditularkan melalui vektor nyamuk Aedes aegypti. Angka kejadian DBD di Bandar Lampung selalu tinggi dalam tiga tahun terakhir (763-1111 kasus dari tahun 2010 sampai 2012) bahkan menurut Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, DBD menyebabkan 11 kasus kematian pada tahun 2012 sehingga ditetapkan menjadi daerah endemis DBD. Penyakit ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan penderita meninggal dalam waktu yang relatif singkat. sehingga perlu dilakukan pengendalian nyamuk Aedes aegypti yang merupakan vektor DBD.

(15)

saponin, alkaloid, polifenol dan flavonoid, hal ini memiliki kesamaan dengan kandungan kimia dari beberapa penelitian terdahulu terkait larvasida.

Berdasarkan deskripsi tersebut, dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu: “Apakah ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) memiliki efektivitas larvasida terhadap larva Aedes aegyptiinstar III?”

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui efektifitas larvasida ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)terhadap larva Aedes aegypti.

2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui konsentrasi yang paling efektif dari ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) sebagai larvasida terhadap larva instar III Aedes aegypti.

2. Mengetahui Lethal Concentration 50 % (LC50) dari ekstrak daun

Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) sebagai larvasida terhadap larva instar III Aedes aegypti.

3. Mengetahui Lethal Time 50 % (LT50) dari ekstrak daun binahong

(16)

8

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu parasitologi khususnya bidang Entomologi dalam lingkup pengendalian vektor penyebab demam berdarah.

2. Manfaat praktis,

a. Bagi Ilmu Pengetahuan

Memberikan informasi pada bidang parasitologi, khususnya entomologi, mengenai pengaruh ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) terhadap pertumbuhan larva nyamuk Aedes aegypti dan membuat dasar ilmiah mengenai penggunaan bahan-bahan ilmiah.

b. Bagi masyarakat

(17)

c. Bagi peneliti

(18)

10

E. Kerangka Penelitian

1. Kerangka teori

(19)

2. Kerangka Konsep

Bagan 2. Kerangka Konsep : Hubungan Antar Variabel (Cania, 2013) dengan modifikasi

F. Hipotesis

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam Berdarah Dengue

1. Pengertian dan Etiologi

Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Seseorang dapat tertular virus dengue jika digigit nyamuk Aedes aegypti yang mengandung virus dengue. Di dalam tubuh nyamuk, virus tersebut berkembang biak dengan cara membelah diri dan menyebar di seluruh bagian tubuh nyamuk. Sebagian besar virus tersebut berada dalam kelenjar liur nyamuk. Dalam jangka waktu satu minggu, jumlahnya dapat mencapai puluhan atau bahkan ratusan ribu sehingga siap untuk di tularkan atau dipindahkan kepada orang lain (Suhendro, 2009).

(21)

Pada waktu nyamuk menggigit orang lain, maka setelah probosis nyamuk menemukan kapiler darah, sebelum darah orang tersebut dihisap, terlebih dahulu dikeluarkan air liur dari kelenjar liurnya agar darah yang dihisap tidak membeku. Dengan cara inilah, virus dipindahkan kepada orang lain.

2. Derajat

Demam Berdarah Dengue (DBD) ditandai oleh demam tinggi yang terjadi tiba-tiba, manifestasi pendarahan, hepatomegali atau pembesaran hati dan kadang-kadang terjadi syok manifestasi perdarahan. Berdasarkan gejalanya DBD dikelompokkan menjadi 4 tingkatan :

1) Derajat I : demam mendadak 2-7 hari disertai gejala klinik lain, satu-satunya manifestasi pendarahan adalah tes torniquet yang positif. 2) Derajat II : gejala lebih berat daripada derajat I, disertai manifestasi

pendarahan kulit, epistaksis, pendarahan gusi, hematemesis atau melena. Terdapat gangguan atau sirkulasi darah perifer yang ringan berupa kulit dingin dan lembab, ujung jari dan hidung dingin.

3) Derajat III : kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah, hipotensi, suhu tubuh yang rendah, kulit lembab dan penderita gelisah.

4) Derajat IV : penderita syok berat, tensi tidak terukur dan nadi tidak teraba.

(22)

14

3. Pencegahan DBD

Pencegahan demam berdarah dengue terutama ditujukan kepada upaya untuk mengendalikan vektor penularan yaitu nyamuk aedes aegypti dan Aedes albopictus. Pemberantasan vektor dilakukan dengan atau tanpa insektisida. Pemberantasan dengan insektisda ditujukan baik terhadap nyamuk dewasa maupun terhadap larva nyamuk sebaiknya menggunakan organofosfat untuk mencegah pencemaran lingkungan. Masyarakat dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan tentang kesehatan ditingkatkan, sehingga perilaku dan keadan lingkungan sosialnya menjadi sehat (Notoatmodjo, 2005).

Insektisida adalah bahan yang mengandung persenyawaan kimia yang digunakan untuk membunuh serangga. Khasiat insektisida untuk membunuh serangga sangat bergantung pada bentuk, cara masuk ke dalam tubuh serangga, macam bahan kimia, konsentrasi dan jumlah (dosis) insektisida (Hoedojo & Zulhasril, 2008).

Menurut cara masuknya ke dalam badan serangga, insektisida dibagi dalam :

1. Racun kontak (contact poisons)

(23)

yang mengandung residu insektisida. Pada umumya dipakai untuk mengendalikan serangga yang mempunyai bentuk mulut tusuk isap.

2. Racun perut (stomach poisons)

Insektisida masuk ke dalam badan serangga melalui mulut. Biasanya serangga yang diberantas dengan menggunakan insektisida ini mempunyai bentuk mulut untuk menggigit, lekat isap, kerat isap dan bentuk mengisap.

3. Racun pernapasan (fumigants)

(24)

16

B. Nyamuk Aedes aegypti

1. Taksonomi Aedes aegypti

Klasifikasi Aedes aegypti adalah sebagai berikut (Djakaria, 2004) : Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda Subphylum : Uniramia Kelas : Insekta Ordo : Diptera Subordo : Nematosera Familia : Culicidae Sub family : Culicinae Tribus : Culicini Genus : Aedes

Spesies : Aedes aegypti

2. Morfologi Aedes aegypti

Morfologi nyamuk Aedes aegypti dibagi menjadi beberapa stadium antara lain :

a. Stadium telur Aedes aegypti

(25)

dalam keadaan telur terendam air. Telur Aedes aegypti berwarna hitam, berbentuk ovale, kulit tampak garis-garis yang menyerupai sarang lebah, panjang 0,80 mm, berat 0,0010-0,015 mg. Telur Aedes aegypti dapat bertahan dalam waktu yang lama pada keadaan kering. Hal tersebut dapat membantu kelangsungan hidup spesies selama kondisi iklim yang tidak memungkinkan (Depkes RI, 2007).

Pada kondisi normal, telur Aedes aegypti yang direndam di dalam air akan menetas sebanyak 80% pada hari pertama dan 95% pada hari kedua. Berdasarkan jenis kelaminnya, nyamuk jantan akan menetas lebih cepat dibanding nyamuk betina, serta lebih cepat menjadi dewasa. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetas telur adalah suhu, pH air perindukkan, cahaya, serta kelembaban disamping fertilitas telur itu sendiri (Soedarto, 1992).

(26)

18

b. Stadium Larva

Larva nyamuk Aedes aegypti selama perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit. Larva instar I memiliki panjang 1-2 mm, tubuh transparan, siphon masih transparan, tumbuh menjadi larva instar II dalam 1 hari. Larva intar II memiliki panjang 2,5 – 3,9 mm, siphon agak kecoklatan, tumbuh menjadi larva instar III selama 1-2 hari. Larva instar III berukuran panjang 4-5 mm, siphon sudah berwarna coklat, tumbuh menjadi larva instar IV selama 2 hari. Larva instar IV berukuran 5-7 mmm sudah terlihat sepasang mata dan sepasang antena, tumbuh menjadi pupa dalam 2-3 hari. Umur rata-rata pertumbuhan larva hingga pupa berkisar 5-8 hari. Posisi istirahat pada larva ini adalah membentuk sudut 450 terhadap bidang permukaan air (Depkes RI, 2007).

(27)

Gambar 5. Perbandingan panjang abdomen instar I-IV dengan perbesaran 108x ( Sumber : Bar dan Andrew, 2013)

Gambar 6. Perbandingan besar kepala instar I-IV dengan perbesaran 108x ( Sumber : Bar dan Andrew, 2013)

c. Stadium Pupa

(28)

20

Gambar 7. Pupa Aedes aegypti (Sumber : Supartha, 2008)

d. Nyamuk dewasa

(29)

Nyamuk jantan dan betina dewasa perbandingan 1:1, nyamuk jantan keluar terlebih dahulu dari kepompong, baru disusul nyarnuk betina, dan nyamuk jantan tersebut akan tetap tinggal di dekat sarang, sampai nyamuk betina keluar dari kepompong, setelah jenis betina keluar, maka nyamuk jantan akan langsung mengawini betina sebelum mencari darah. Selama hidupnya nyamuk betina hanya sekali kawin. Dalam perkembangan telur tergantung kepada beberapa faktor antara lain temperatur dan kelembaban serta species dari nyamuk (Lestari, 2009).

Gambar 8. Aedes aegypti dewasa ( Sumber : Supartha, 2008 )

3. Bionomik Aedes aegypti

(30)

22

dibutuhkan untuk berkembang biak terdapat dalam satu rumah, yaitu tempat perindukan, tempat mendapatkan darah, dan tempat istirahat (Soedarto, 1992).

Aedes aegypti jantan yang lebih cepat menjadi nyamuk dewasa tidak akan terbang terlalu jauh dari tempat perindukan untuk menunggu nyamuk betina yang muncul untuk kemudian berkopulasi. Aedes aegypti bersifat antropofilik dan hanya nyamuk betina saja yang menggigit. Nyamuk menggigit baik di dalam maupun di luar rumah, biasanya pada pagi hari pukul 08.00 – 11.00 WIB dan pada sore hari pukul 15.00 – 17.00 WIB. Sifat sensitif dan mudah terganggu menyebabkan Aedes aegypti dapat menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat (multiple halter) dimana hal ini sangat membantu dalam memindahkan virus dengue ke beberapa orang sekaligus, sehingga dilaporkan adanya beberapa penderita DBD dalam satu rumah. Meskipun tidak menggigit, nyamuk jantan juga tertarik pada manusia apabila melakukan kopulasi (Soedarto, 1992).

(31)

4. Pengendalian vektor

Hoedojo dan Zulhasril (2008) menjelaskan pengendalian nyamuk secara buatan dapat dibagi menjadi tiga yaitu :

a. Pengendalian secara mekanik

Cara ini dapat dilakukan dengan mengubur kaleng-kaleng bekas atau tempat-tempat sejenis yang dapat menampung air hujan dan membersihkan lingkungan yang berpotensial dijadikan sebagai sarang nyamuk Aedes aegypti misalnya got dan potongan bambu. Pengendalian mekanis lain yang dapat dilakukan adalah pemasangan kelambu dan pemasangan perangkap nyamuk baik menggunakan cahaya lampu dan raket pemukul.

b. Pengendalian secara biologis

Intervensi yang didasarkan pada pengenalan organisme pemangsa, parasit, pesaing untuk menurunkan jumlah Aedes aegypti. Pengendalian ini biasa dilakukan dengan memelihara ikan yang relative kuat dan tahan, misalnya ikan mujaer di bak atau tempat penampungan air lainnya sehingga sebagai predator bagi jentik dan pupa.

c. Pengendalian secara kimia

(32)

24

lingkungan dapat dipadukan dengan penggunaan larvasida dalam wadah yang tidak dapat dibuang di tutup, diisi atau ditangani dengan cara lain. Untuk pengendalian emergensi menekan epidemik virus dengue atau untuk mencegah ancaman wabah, suatu program penghancuran yang tepat dan pasif terhadap Aedes aegypti harus dilakukan dengan insektisida.

C. Tanaman Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis)

1. Taksonomi Binahong

Tanaman Binahong memiliki klasiikasi sebagai berikut : Kingdom : Plantae

Sub kingdom : Tracheobionta Superdivisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Caryophyllales Family : Basellaceae Genus : Anredera

Species : (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)

(33)

dataran yang rendah maupun dataran tinggi. Dapat ditanam dalam pot sebagai tanaman hias dan obat. Tanaman binahong ini mempunyai bermacam-macam nama di setiap negara, seperti :

Latin : Boussingaultia gracilis Miers, Boussingaultia cordifolia, Boussingaultia baselloides

Korea : Binahong Indonesia : Binahong Cina : Dheng Shan Chi

Inggris : Heartleaf Madeiravine, Madeira vine (Syamsuhidayat, 1991)

2. Morfologi Binahong

Secara morfologi, Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) merupakan tanaman yang berupa tumbuhan menjalar, panjangnya bisa mencapai lebih dari 10 meter. Akarnya berbentuk rimpang, dagingnya dan batangnya lunak, silindris, saling membelit, warna kemerahan, bagian dalam solid, permukaan halus, jika tanaman menua batang akan berubah berwarna putih kusam dan agak mengeras.

(34)

26

[image:34.595.123.510.252.387.2]

pada batang, berdaun tunggal, tersusun berseling, berwarna hijau ,bertangkai sangat pendek (subsessile), panjang daun antara 5-13 cm, lebar antara 3-10 cm, tebal daun 0,1 - 0,2 mm danpanjang tangkai daun antara 1-3 cm, helaian daun tipis lemas, ujung runcing, pangkal berlekuk (emerginatus), tepi rata, permukaan agak licin, bisa dimakan (Rofida, 2010)

Gambar 9. Tumbuhan Binahong (Sumber : Ismatullah, 2013)

3. Kandungan dan efek farmakologis.

Bagian tanaman Binahong baik daun, umbi, dan akarnya dapat bermanfaat sebagai obat. Penelitian mengenai aktivitas anti bakteri daun binahong dan kandungan metabolit sekundernya pernah dilakukan, bahwa dalam simplisia daun binahong terkandung senyawa metabolit sekunder jenis flavonoid, alkaloid, polifenol, dan senyawa terpenoid dari kelompok triterpenoid adalah saponin (Christiawan, 2010 ; Kumalasari, 2011).

a. Saponin.

(35)

sifat-sifat khas dapat membentuk larutan koloidal dalam air dan membuih bila dikocok. Senyawa ini berasa pahit menusuk dan berpotensi beracun seringkali disebut sapotoksin. Saponin mampu menghemolisis butir darah merah, bersifat racun bagi hewan berdarah dingin, dan banyak diantaranya digunakan sebagai racun ikan.

[image:35.595.160.471.314.494.2]

Berdasarkan struktur aglikonnya (sapogeninnya), saponin dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu steroid dan triterpenoid

Gambar 10. Saponin (Sumber : Suwarno, 2010)

(36)

28

b. Alkaloid

Alkaloid adalah senyawa yang mengandung substansi dasar nitrogen basa, biasanya dalam bentuk cincin heterosiklik. Alkaloid dihasilkan oleh banyak organisme, mulai dari bakteria, fungi, tumbuhan, dan hewan. Ekstraksi secara kasar biasanya dengan mudah dapat dilakukan melalui teknik ekstraksi asam-basa. Rasa pahit atau getir yang dirasakan lidah dapat disebabkan oleh alkaloid (Sovia, 2006).

Istilah "alkaloid" (berarti "mirip alkali", karena dianggap bersifat basa) pertama kali dipakai oleh Carl Friedrich Wilhelm Meissner (1819), seorang apoteker dari Halle (Jerman) untuk menyebut berbagai senyawa yang diperoleh dari ekstraksi tumbuhan yang bersifat basa (pada waktu itu sudah dikenal, misalnya, morfina, striknina, serta solanina). Hingga sekarang dikenal sekitar 10.000 senyawa yang tergolong alkaloid dengan struktur sangat beragam, sehingga hingga sekarang tidak ada batasan yang jelas untuknya (Sovia, 2006).

(37)

perubahan warna pada tubuh larva menjadi lebih transparan dan gerakan tubuh larva yang melambat bila dirangsang sentuhan serta selalu membengkokkan badan disebabkan oleh senyawa alkaloid. (Cania, 2013).

c. Flavonoid

Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, biru, dan sebagai zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuhan. Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman hijau, kecuali alga (Cania, 2013).

Flavonoid memiliki sifat antioksidan dan berpotensi dalam menghambat pertumbuhan sel kanker melalui mekanisme penghambatan siklus sel, pemacuan apoptosis, penghambatan angiogenesis, antiproliferatif atau kombinasi dari beberapa mekanisme tersebut. Jenis flavonoid, misalnya genestein dan kuersetin, mampu menghambat aktivitas protein kinase pada daerah pengikatan ATP. Peran dari protein kinase sendiri, yaitu sebagai sinyal pertumbuhan pada sel-sel kanker dan pada jalur antiapoptosis (Trevor. 2000).

(38)

30

mempunyai cara kerja yaitu dengan masuk ke dalam tubuh larva melalui sistem pernapasan yang kemudian akan menimbulkan kelayuan pada syaraf serta kerusakan pada sistem pernapasan dan mengakibatkan larva tidak bisa bernapas dan akhirnya mati. Posisi tubuh larva yang berubah dari normal bisa juga disebabkan oleh senyawa flavonoid akibat cara masuknya yang melalui siphon sehingga mengakibatkan kerusakan sehingga larva harus menyejajarkan posisinya dengan permukaan air untuk mempermudah dalam mengambil oksigen (Cania, 2013).

d. Polifenol

Polifenol adalah kelompok zat kimia yang ditemukan pada tumbuhan. Zat ini memiliki tanda khas yaitu memiliki banyak gugus phenol dalam molekulnya. Polifenol sering terdapat dalam bentuk glikosida polar dan mudah larut dalam pelarut polar.

(39)

Pada penelitian terkait larvasida, Polifenol sebagai inhibitor pencernaan serangga juga dapat mengganggu sistem pencernaan larva hingga akhirnya mati. Zat kimia ini di sebut juga zat stomatch poisoning.

D. Ekstrak

Bioaktifitas tanaman sangat dipengaruhi oleh kandungan senyawa kimia yang terdapat didalamnya. Sedangkan untuk mendapatkan senyawa kimia yang bersifat aktif tersebut dipengaruhi oleh metode pemisahan meliputi cara ekstraksi dan pelarut yang digunakan. Perbedaan kandungan senyawa kimia yang ada menunjukkan perbedaan aktifitas farmakologis dari tanaman yang bersangkutan (Halimah, 2010).

(40)

32

Proses ini berlangsung terus menerus sampai terjadi keseimbangan konsentrasi zat aktif di dalam dan di luar sel (Depkes RI, 2000).

Metode ekstraksi menggunakan pelarut dapat dilakukan secara dingin yaitu maserasi dan perkolasi, dan secara panas yaitu refluks, soxhlet, digesti, infus, dan dekok (Depkes RI, 2000).

Metode maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang diluar sel, maka larutan yang terpekat di desak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan diluar sel dan didalam sel. Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, stiraks dan lain-lain. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan (Depkes RI, 2000).

(41)

awal penyarian. Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara memasukkan 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok kedalam sebuah bejana, ditambahkan dengan 75 bagian penyari, dan ditutup, serta dibiarkan selama 5 hari, terlindung dari cahaya sambil sekali-kali diaduk. Setelah 5 hari sari diserkai, ampas diperas. Ampas ditambah cairan penyari secukupnya kemudian diaduk dan diserkai, sehingga diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian. Bejana kemudian ditutup dan dibiarkan ditempat sejuk, terlindung dari cahaya, selama 2 hari. Kemudian endapan dipisahkan (Depkes RI, 2000).

(42)

III. METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental laboratorium dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) atau completely randomized design yang terdiri dari 4 perlakuan dan 2 kontrol, positif dan negatif dengan pengulangan sebanyak 4 kali. Rancangan Acak Lengkap merupakan jenis rancangan percobaan yang paling sederhana. Metode ini dipilih karena satuan percobaan yang digunakan bersifat homogen atau tidak ada faktor lain yang mempengaruhi respon di luar faktor yang diteliti. Selain itu, percobaan ini dilakukan di laboratorium sehingga faktor luar yang dapat mempengaruhi percobaan dapat dikontrol.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

(43)

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva instar III Aedes aegypti yang diperoleh dari Loka Litbang P2B2 Ciamis dalam bentuk kering dengan media kertas saring.

2. Sampel

Menurut Wulandari et al (2006), larva pada tahap instar III dipakai sebagai bahan penelitian karena tahap ini dianggap cukup mewakili kondisi larva. Ukuran larva instar III tidak terlalu kecil sehingga mudah untuk diamati dan larva ini merupakan bentuk yang aktif mencari makan.

Untuk memudahkan dalam penentuan sampel maka dipakai kriteria inklusi dan ekslusi sebagai berikut :

a. Kriteria Inklusi

(44)

36

b. Kriteria Eksklusi

1) Larva yang sudah mati sebelum pengujian

2) Larva yang telah berubah menjadi pupa atau nyamuk dewasa 3) Bukan larva bebas

[image:44.595.167.514.442.691.2]

Menurut acuan WHO (2005), besar sampel dalam penelitian larvasida adalah 25 ekor larva Aedes aegypti instar III untuk masing-masing perlakuan dengan pengulangan sebanyak 4 kali untuk setiap perlakuan, sehingga pada penelitian ini diperlukan total sampel sebanyak 480 larva. Adapun rincian sampel yang digunakan adalah sebagai berikut :

(45)

D. Alat dan Bahan

1. Alat

Alat-alat yang dipakai dalam penelitian ini adalah : a. Alat Untuk Preparasi Bahan Uji

1. Nampan plastik dengan ukuran 30 x 15 cm 2. Kain kassa

3. Gelas plastik

4. Sangkar nyamuk berukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm b. Alat Untuk Pembuatan Larutan Uji

1. Neraca analitik ( timbangan ) 2. Blender

3. Toples 4. Baskom 5. Saringan

c. Alat Untuk Uji Efektifitas 1. Pipet larva

2. Pipet tetes 3. Akar pengaduk 4. Gelas ukur 250 ml

(46)

38

2. Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah a. Daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) b. Larva Aedes aegypti instar III

c. Larutan ethanol 96 % d. Temephos (abate) 1 % e. Aquadest

f. Fish food untuk makanan larva

E. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel

1. Identifikasi Variabel

Variabel pada penelitian ini terdiri atas : a. Variabel Bebas

Variabel bebas atau independent variable penelitian ini adalah berbagai konsentrasi ekstrak daun binahong (Anredera

cordifolia (Ten.) Steenis) dengan lima taraf konsentrasi yaitu 0 %, 0,25 %, 0,5 %, 0,75 % dan 1 % dan larva Aedes aegypti instar III

b. Variabel Terikat

(47)

2. Definisi Operasional Variabel

[image:47.595.116.564.279.727.2]

Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian dan agar penelitian tidak menjadi terlalu luas maka dibuat definisi operasional sebagai berikut :

Tabel 2. Definisi Operasional

lahVVariabel Definsi Cara ukur Hasil ukur Skala

Variabel bebas : Berbagai konsentrasi ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)

Ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)

dinyatakan dalam persen (%). Masing-masing kosentrasi dibuat dengan cara pengenceran. Pada penelitian ini dipakai konsentrasi 0,25%, 0,50%, 0,75%, 1% dan kontrol 0% yang kemudian akan dicari dosis subletalnya yaitu LC50

yang akan ditentukan dengan analisis probit. Efektivitas dari ekstrak daun binahong dilihat dari jumlah larva yang mati dan disesuaikan dengan parameter efektivitas menurut WHO.

Menimbang ekstrak dan dimasukkan ke rumus : V1M1= V2M2

Alat ukur : Analitical balance electric, refractomete r,gelas ukur, kalkulator Didapatkan konsentrasi ekstrak daun Binahong 0,25%, 0,50%, 0,75%, dan 1% Numerik Variabel terikat : Larva Aedes aegypti yang mati

Larva yang tidak bergerak saat disentuh dengan jarum di daerah siphon atau lehernya. Tubuh larva kaku.Larva yang hampir mati juga dikategorikan kedalam larva yang mati dimana ciri-ciri larva yang hampir mati adalah larva terebut tidak dapat meraih permukaan air atau tidak bergerak aktif ketika air digerakkan (WHO, 2005). Larva instar III berukuran 4-5 mm berumur tiga sampai empat hari setelah telur menetas, duri-duri dada mulai jelas dan corong pernapasan berwarna coklat kehitaman (Sikka, 2009).

Melihat, mengecek larva dan dicatat Parameter : Mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti

(48)

40

F. Prosedur Penelitian

Prosedur penenilian ini terdiri dari tiga tahap, yakni tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap analisis data.

1. Tahap Persiapan

a. Sterilisasi alat

Alat dan bahan yang akan digunakan terlebih dahulu disiapkan, kemudian dibersihkan. Bahan-bahan yang akan digunakan ditimbang dengan neraca analitik terlebih dahulu sesuai dengan kebutuhan. Setelah itu, alat dan bahan disterilisasi dengan autoklaf selama 15 menit pada suhu 121 C dengan tekanan 1,5 atm (Syulasmi et al., 2005).

b. Persiapan Sampel

(49)

Dalam waktu kurang lebih 4 hari, larva akan mencapai instar III. Setelah usia larva mencapai instar III larva dipindahan dengan menggunakan pipet larva ke dalam gelas plastik yang berisi ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis).

c. Persiapan ekstrak daun binahong

Pembuatan ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) ini menggunakan daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) yang didapat dari lingkungan sekitar tempat tinggal peneliti. Daun binahong sebelumnya diidentifikasi terlebih dahulu di Laboratorium Kimia Organik FMIPA Universitas Lampung.

Daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) ditimbang sebanyak 20 g kemudian dicuci menggunakan air sampai bersih. Daun yang sudah bersih, dicacah terlebih dahulu kemudian dihaluskan menggunakan blender kering tanpa menggunakan air. Daun binahong ditimbang kembali setelah halus dan dikeringkan. Pengeringan tidak boleh dilakukan langsung dibawah terik matahari karena akan menghilangkan senyawa kimia yang terkandung dalam daun binahong. Daun binahong diekstraksi menggunakan metode meserasi dan menggunakan pelarut alkohol (ethanol).

(50)

42

tersebut disaring sehingga diperoleh hasil akhirnya berupa ekstrak dengan konsentrasi 100%. Untuk membuat berbagai konsentrasi yang diperlukan dapat digunakan digunakan rumus VІ MІ = VЇ MЇ.

Keterangan :

VІ = Volume larutan yang akan diencerkan (ml)

[image:50.595.147.506.382.600.2]

MІ = Konsentrasi ekstrak daun binahong yang tersedia (%) VЇ = Volume larutan (air + ekstrak) yang diinginkan (ml) MЇ = Konsentrasi ekstrak daun binahong yang akan dibuat (%)

Tabel 3. Jumlah Ekstrak Daun binahong yang Dibutuhkan

M V M V = V . M

M

Pengulangan (V x 4)

100 % 200 ml 1 % 2 ml 8 ml

100 % 200 ml 0,75 % 1,5 ml 6 ml

100 % 200 ml 0,5 % 1 ml 4 ml

100 % 200 ml 0,25 % 0,5 ml 2 ml

(51)

2. Tahap Pelaksanaan

1) Pembagian kelompok

Penelitian ini dibagi menjadi 6 ( enam ) kelompok yang terdiri dari 4 perlakuan dan 2 kontrol dengan berbagai konsentrasi ekstrak daun binahong sebagai berikut :

a) Kelompok 1

Kontrol negatif (-) : Aquades Ekstrak ethanol daun binahong dengan konsentrasi 0 %

b) Kelompok 2

Perlakuan I : Ekstrak ethanol daun binahong dengan konsentrasi 0,25 %

c) Kelompok 3

Perlakuan II : Ekstrak ethanol daun binahong dengan konsentrasi 0,50 %

d) Kelompok 4

Perlakuan III : Ekstrak ethanol daun binahong dengan konsentrasi 0,75 %

e) Kelompok 5

Perlakuan IV : Ekstrak ethanol daun binahong dengan konsentrasi 1 %

f) Kelompok 6

(52)

44

2) Uji Efektivitas

Larutan uji yang digunakan adalah ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) dengan konsentrasi 0,25 %, 0,50 %, 0,75 %, dan 1 % . Uji efektifitas ini dilakukan untuk menentukan nilai LC50 (Lethal Consentration 50), LT50 (Lethal Time 50) dan konsentrasi yang paling efektif sebagai larvasida larva Aedes aegypti. Ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) dengan berbagai konsentrasi tersebut diletakkan dalam gelas plastik. Larva diletakkan ke dalam gelas plastik yang berisi berbagai konsetrasi daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) dengan menggunakan pipet larva. Perlakuan menggunakan ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) hanya diberikan pada kelompok eksperimen sebanyak 200 ml ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) pada tiap ulangan, sedangkan pada kelompok kontrol diberikan perlakuan mengunakan air sumur dengan volume 200 ml pada tiap ulangan. Masing-masing perlakuan berisi 20 larva Aedes aegypti instar III dengan jumlah pengulangan sebanyak 4 kali. Jumlah sampel dan pengulangan berdasarkan kriteria WHO (2005).

(53)

120, 240, 480, 1440, 2880, dan 4320 menit. Pengukuran berakhir pada menit ke 4320 dengan cara menghitung larva yang mati pada tiap patokan waktu.

3) Menentukan Nilai LC50 dan LT50

(54)

46

4) Alur Penelitian

[image:54.595.116.511.206.634.2]

Untuk memperjelas proses penelitian, maka dibutuhkan diagram alur penelitian sebagai berikut :

Gambar 11. Diagram Alir Uji Efek Ekstrak Daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) sebagai Larvasida

Tiap kelompok dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali

Diamati setiap menit

ke-5, 10, 20, 40, 60, 120, 240, 480, 1440, 2880, dan 4320

Analisis Hitung jumlah larva

yang mati Ekstrak daun binahong (100%)

(55)

3. Tahap Analisis Data

1) ANOVA satu arah.

Uji varian satu arah digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rata-rata kematian nyamuk Ae.des aegypti pada berbagai kelompok konsentrasi ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) Untuk mengetahui adanya perbedaan antara perlakuan yang diberikan maka digunakan analisis ANOVA satu arah, tetapi bila sebaran data tidak normal atau varians data tidak sama dapat dilakukan uji alternatif yaitu uji Kruskal-Wallis. Uji ini bertujuan untuk mengetahui paling tidak terdapat perbedaan antara dua kelompok perlakuan. Apabila pada uji tersebut didapatkan hasil yang signifikan (bermakna) yaitu p value < 0,05 maka dilakukan analisis post-hoc untuk mengetahui kelompok perlakuan yang bermakna. Uji post-hoc untuk ANOVA satu arah adalah Bonferroni sedangkan untuk uji Kruskal-Wallis adalah Mann Whitney.

2) Uji Probit.

(56)

48

ppm atau persen konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian 50% dari hewan percobaan. Nilai subletal ditentukan dengan analisis probit.

G. Aspek Etik Penelitian

(57)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh beberapa kesimpulan yaitu : 1. Ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) memiliki

efektivitas yang lebih rendah dalam membunuh larva Aedes aegypti instar III dibandingkan abate 1%.

2. Nilai LC50 dari ekstrak binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis)

hingga menit ke-4320 berada di atas nilai standar WHO (konsentrasi 1%). Nilai tersebut merupakan batas standar konsentrasi larvasida yang dapat digunakan sehingga pada waktu tersebut ektrak daun binahong belum efektif untuk membunuh 50% dari jumlah larva.

3. Nilai LT50 dari ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.)

(58)

63

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek senyawa yang terkandung bagian tumbuhan lainnya seperti batang dan akar yang nantinya diharapkan dapat berfungsi sebagai larvasida.

2. Perlu dilakukan Uji Fitokimia untuk mengetahui kadar konsentrasi senyawa-senyawa yang terkandung dalam daun binahong yang berfungsi sebagai larvasida.seperti flavovoid, saponin, alkaloid dan polifenol.

(59)

DAFTAR PUSTAKA

Aminah, N. S., Sigit, S., Partosoedjono, S., Chairul. 2001. S. lerak, D. metel dan E. prostata sebagai Larvasida Aedes aegypti. Cermin Dunia Kedokteran No. 131.

Astuti, SM. 20122. Determination of Saponin Compound from Anredera cordifolia (Ten) Steenis Plant (Binahong) to Potential Treatment for Several Diseases. Journal of Agricultural Science Vol. 3 (4)

(Binahong) to Potential Treatment for Several Diseases. Journal of Agricultural Science Vol. 3 (4)

Angela W. .2009. Efektivitas Ekstrak Etanol Buah Pare (Momordica charantia) Sebagai Larvisida Aedes sp. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Maranatha, Bandung

Bar, A. and J. Andrew. 2013. Morphology and Morphometry of Aedes aegypti Larvae. Reasearch Article. St. Jhon's Collage. Agra

Cania, Eka. 2013. Uji Efektivitas Larvasida Ekstrak Daun Legundi (Vitex Trifolia) Terhadap Larva Aedes Aegypti. MAJORITY (Medical Journal of Lampung University). vol. 2 (4) hal :

Christiawan A, Perdanakusuma D. 2010. Aktivitas Antimikroba Daun Binahong Terhadap Pseudomonas Aeruginosa Dan Staphylococcus Aureus Yang Sering Menjadi Penyulit Pada Penyembuhan Luka Bakar. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya

Daniel. 2008. Ketika Larva dan Nyamuk Dewasa Sudah Kebal Terhadap Insektisida. FARMACIA. Vol.7 No.7

Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Dirjen POM. Jakarta. hlm : 13-38.

Depkes RI. 2007. INSIDE ( Inspirasi dan Ide) Litbangkes P2B2 vol II : Aedes aegypti Vampir Mini yang Mematikan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Jakarta.

(60)

Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes RI. Jakarta.

Depkes RI. 2010. Pusat Data dan Surveilens Epidemologi Demam Berdarah Dengue 2010. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta. hlm : 3.

Depkes RI. 2011. Informasi umum Demam Berdarah Dengue. Ditjen PP dan PL Kementerian Kesehatan RI. Jakarta. hlm : 1.

Dinata, A. 2009. Mengatasi DBD dengan Kulit Jengkol. Diakses pada tanggal 38 Oktober 2013 melalui http://arda.students- blog.undip.ac.id/2009/10/18/ atasi-jentik-dbd-dengan-kulit-jengkol/

Djakaria, S. 2004. Pendahuluan EntomologiParasitologi Kedokteran Edisi Ke-3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 343 hlm.

Djakaria, S. dan S. Sungkar. 2008. Pendahuluan Entomologi. Parasitologi Kedokteran Edisi Ke-4. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 383 hlm.

Gunawan, D., Mulyani, S. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi). Jilid Pertama. Penebar Swadaya. Jakarta.

Halimah, 2010. Uji Fiokimia dan Uji Toksisitas ekstrak tanaman Anting-Anting (acalypha indica Linn) terhadap larva udang (Artemia salina Leach). Skripsi. Jurusan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang.

Hidayatullah, N. 2013. Efektivitas Pemberian Ekstrak Ethanol 70% Akar Kecombrang (Etlingera elatior) Terhadap Larva Instar III Aedes aegypti sebagai Biolarvasida Potensial. MAJORITY (Medical Journal of Lampung University). vol. 2 (8) hal : 95-104

Hoedojo, R. dan Zulhasril. 2008. Insektisida dan Resistensi : Parasitologi Kedokteran Edisi Ke-4. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 383 hlm.

Kemenkes RI. 2012. Laporan Kasus Demam Berdarah Dengue. Subdit Arbovirosis, Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.

Komisi Pestisida. Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida. Bandung: Komisi Pestisida Bandung. 1995

Kumalasari E, Sulistyani N. 2011. Aktivitas Antifungi Ekstrak Etanol Batang Binahong (Anredera Cordifolia (Tenore) Steen.) Terhadap Candida Albicans Serta Skrining Fitokimia. Jurnal Ilmiah Kefarmasian, Vol. 1 (2), hal. 51-62

(61)

Ndione, R. D., Faye, O., Ndiaye, M., Dieye, A., and Afoutou, JM. 2007.Toxic effects of neem products (Azadirachta indica A. Juss) on Aedes aegypti Linnaeus 1762 larvae. In African Journal of Biotechnology Vol. 6 (24), pp. 2846-2854

Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta .

Notoatmodjo, S. 2005. Promosi Kesehatan dan Aplikasi. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Paju, N., Yamlean P. V. Y., Kojong, N. 2013. Uji Efektivitas Salep Ekstrak Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) pada Kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang Terinfeksi Bakteri Staphylococcus aureus. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2013 melalui http ://ejournal.unsrat.ac.id

Raharjo, B. 2006. Uji Kerentanan (Susceptibility test) Aedes aegypti (Linnaeus) dari Surabaya, Palembang dan Beberapa Wilayah di Bandung terhadap Larvasida Temephos (Abate 1 SG). Skripsi. Sekolah Ilmu dan Teknologi HayatiITB, Bandung.

Rahmawati, L. 2012. Isolasi, Identifikasi Dan Uji Aktivitas Antioksidan Senyawa Flavonoid Daunbinahong (Anredera Cordifolia (Ten.) Steenis). Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro

Ratih, S. W. 2010. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Daun Tembelekan (Lantana Camara) Terhadap Kematian Larva Aedes Aegypti. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Semarang

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerbit ITB, Bandung. 367 hal.

Rofida, S. 2010. Studi Etnobotani Dan Etnofarmakologi Umbi Binahong (Anredera Cordifolia (Ten) Steenis). Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Malang

Rohyami, Yuli. 2008. Penentuan Kandungan Flavonoid dari Ekstrak Metanol Daging Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa Scheff Boerl). LOGIKA. Vol. 5 (1) hal : 1-8.

Selawa, W ; Runtuwene, MRJ ; Citraningtyas, G. 2010. Kandungan Flavonoid Dan Kapasitas Antioksidan Total Ekstrak Etanol Daun Binahong [Anredera Cordifolia(Ten.)Steenis.]. PHARMACON Jurnal Ilmiah Farmasi – Unsrat Vol. 2 (01)

(62)

Sovia, L. 2006. Senyawa Flavonoid, Fenil Propanoida dan Alkaloid. Repository USU. FMIPA Universitas Sumatera Utara

Sudarmaja, I. M., Mardihusodo, S. J. 2009. Pemilihan tempat bertelur nyamuk Aedes aegypti pada air limbah rumah tangga di laboratorium. Jurnal Veteriner. Vol. 10 hal : 205-207. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Suhendro, L., Nainggolan, K., Chen dan H.T. Pohan. 2009. Demam Berdarah

Dengue :Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi 5. Interna Publishing. Jakarta.

Sukmasari ; Fatimah, T. 2006. Analisis Kadar Saponin Dalam Daun Kumis Kucing Dengan Menggunakan Metode Tlc-Scanner Man. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Peternakan. Bogor

Supartha, I. W. 2008. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah Dengue, Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Universitas Udayana. Denpasar.

Suwarno. 2010. Perakitan Teknik Budidaya Binahong Anredera cordifolia (Ten.) Steenis Berbasis Dosis Pupuk Organik. Institut Pertanian Bogor

Syamsuhidayat, S. S. dan Hutapea J. R. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Edisi I. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Jakarta.

Trevor Robinson. 2000. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerbit ITB. Bandung.

Wahyuhidayah, ID. 2010. Efikasi Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon Spp) Terhadap Larva Ae. Aegypti. Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang

World Health Organization. 2003. Prevention Control of Dengue and Dengue Haemorage Fever. Regional Office for South East Asia. New Delhi. World Health Organization. 2005. Guidelines for Laboratory and Field Testing of

Mosquito Larvicides. Geneva.

(63)

Gambar

Gambar 3. Telur Aedes aegypti ( Sumber : Supartha, 2008)
Gambar 4. Representasi panjang kepala, leher, thorax,dan abdomenlarva Aedes aegypti ( Sumber : Bar dan Andrew, 2013)
Gambar 5. Perbandingan panjang abdomen instar I-IV dengan perbesaran 108x ( Sumber : Bar dan Andrew, 2013)
Gambar 7. Pupa Aedes aegypti (Sumber : Supartha, 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelusuran pedagang responden dilakukan dengan metode snowball sampling. Pedagang responden diperoleh berdasarkan informasi yang didapat dari petani responden. Berdasarkan

Sedangkan competitor based criteria terdiri atas 5 atribut yaitu product quality premium,fast new product development, competitive price, variety design dan fast

Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal, dimana

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui apakah penggunaan model pembelajaran Teams Assisted Individualization (TAI) dengan proyek teka-teki silang (crossword) dapat

Perancangan ini berbentuk karya foto pre- wedding bertema dekonstruksi, diperuntukkan bagi vendor-vendor di Surabaya sebagai inspirasi dan pengenalan suatu cara

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat kendala-kendala yang muncul pada saat pembelajaran menulis deskripsi dengan menggunakan media kartu kuartet

dalam skripsi yang berjudul &#34; Perlindungan Hukum Terhadap Narapidana Anak di Rumah Tahanan Kelas IIB Purbalingga ”.

standar fasilitas kelas rawat inap demi memberikan.. 124 perlindungan