HUBUNGAN ANTARA FERITIN SERUM DENGAN
INFLAMASI, NUTRISI DAN BESI PADA PASIEN-PASIEN
HEMODIALISIS REGULER DI MEDAN, SUMATERA UTARA
TESIS
Oleh
MELATI SILVANNI NASUTION
NIM: 077101008
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
HUBUNGAN ANTARA FERITIN SERUM DENGAN
INFLAMASI, NUTRISI DAN BESI PADA PASIEN-PASIEN
HEMODIALISIS REGULER DI MEDAN, SUMATERA UTARA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Ilmu Penyakit Dalam dan Spesialis Penyakit Dalam dalam Program Studi Ilmu
Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Oleh
MELATI SILVANNI NASUTION
NIM : 077101008
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : HUBUNGAN ANTARA FERITIN SERUM DENGAN INFLAMASI, NUTRISI DAN BESI PADA PASIEN-PASIEN HEMODIALISIS REGULER DI MEDAN, SUMATERA UTARA
Nama Mahasiswa : Melati Silvanni Nasution
NIM : 077101008
Program Studi : Ilmu Penyakit Dalam
Menyetujui Komisi Pembimbing
( Prof Harun Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH) ( dr. Salli Roseffi Nasution, Sp.PD-KGH Pembimbing Tesis I Pembimbing Tesis II
)
Disahkan oleh:
Ketua Program Studi Kepala Departemen
(dr. Zulhelmi Bustami, SpPD-KGH) (dr. Salli Rosefi Nasution, SpPD-KGH)
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar
Nama : Melati Silvanni Nasution
NIM : 077101008
Tanda Tangan :
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Melati Silvanni Nasution
NIM : 077101008
Program Studi : Ilmu Penyakit Dalam Jenis Karya : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas tesis saya yang berjudul :
Hubungan Antara Feritin Serum dengan Inflamasi, Nutrisi dan Besi pada Pasien-pasien Hemodialisis Reguler di Medan, Sumatera Utara beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/ formatkan, mengelola dalam bentuk database, merawat dan mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Medan Pada tanggal : 22 Juli 2012 Yang menyatakan
( Melati Silvanni Nasution )
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah, puji syukur yang tak terhingga senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, atas karunia, petunjuk, kekuatan dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis sangat menyadari bahwa tanpa bantuan dari semua pihak, tesis ini tidak mungkin dapat penulis selesaikan. Oleh karena itu perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Rasa hormat, penghargaan dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada:
1. Dr. Salli Roseffi Nasution, SpPD-KGH, selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan serta senantiasa membimbing, memberi dorongan dan kemudahan selama penulis menjalani pendidikan.
2. Dr. Zulhelmi Bustami, SpPD-KGH dan Dr. Zainal Safri, SpPD, SpJP selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Dalam FK USU yang telah dengan sungguh-sungguh membantu, membimbing, memberi dorongan dan membentuk penulis menjadi dokter Spesialis Penyakit Dalam yang siap mengabdi pada nusa dan bangsa.
3. Prof. Dr. Lukman Hakim Zain, SpPD-KGEH selaku mantan Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU saat penulis diterima sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis. Terima kasih atas kesempatan, dukungan dan bimbingan yang telah diberikan.
4. Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH dan Prof. Dr. Lukman Hakim Zain, SpPD-KGEH yang bersedia memberikan rekomendasi kepada penulis untuk mengikuti ujian masuk Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam serta bimbingan dan dorongan untuk terus berjuang agar penulis bisa mengikuti dan menyelesaikan pendidikan ini.
Dr. Salli Roseffi Nasution, SpPD-KGH selaku pembimbing tesis, yang telah memberikan bimbingan dan kemudahan bagi penulis selama melaksanakan penelitian, juga telah banyak meluangkan waktu dan dengan kesabaran membimbing penulis sampai selesainya karya tulis ini. Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan.
6. Para Guru Besar, Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH, Prof. Dr. Bachtiar Fanani Lubis, KHOM, Prof. Dr. Habibah Hanum, SpPD-Kpsi, Prof. Dr. Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP, Prof. Dr. Azhar Tanjung, SpPD-KP-KAI, SpMK, Prof. Dr. OK. Moehadsyah, SpPD-KR, Prof. Dr. Lukman Hakim Zain, SpPD-KGEH, Prof. Dr. M. Yusuf Nasution, SpPD-KGH, Prof. Dr. Abdul Majid, SpPD-KKV, Prof. Dr. Azmi S. Kar, SpPD-KHOM, Prof. Dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD-KGEH, Prof. Dr. Harris Hasan, SpPD, SpJP, Prof. Dr. Harun Al Rasyid Damanik, SpPD-KGK, yang telah memberikan bimbingan dan teladan selama penulis menjalani pendidikan.
SpPD-KPTI, DTM&H, Dr. Armon Rahimi, SpPD-KPTI, Dr. Tambar Kembaren, SpPD, Dr. Alwinsyah Abidin, SpPD-KP, Dr. E.N. Keliat, SpPD-KP, Dr. Zuhrial Zubir, SpPD, Dr. Pirma Siburian, SpPD-Kger, DR. Dr. Blondina Marpaung, SpPD-KR, Dr. Calvin Damanik, SpPD, Dr. Ilhamd, SpPD, Dr. Syafrizal Nasution, SpPD, Dr. Alwi Thamrin, SpPD, serta para guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang dengan kesabaran dan perhatiannya senantiasa membimbing penulis selama mengikuti pendidikan. Penulis hanturkan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga.
8. Direktur dan mantan Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan fasilitas dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada penulis dalam menjalani pendidikan.
9. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan dan Ketua TKP PPDS Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
10. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi dengan penulis dalam penyusunan tesis ini.
11. Seluruh perawat Unit Hemodialisis Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan dan Rumah Sakit Umum Daerah Dr Pirngadi Medan, tanpa bantuan mereka tidak mungkin penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.
13. Seluruh perawat/paramedik di berbagai tempat di mana penulis pernah bertugas selama pendidikan, terima kasih atas bantuan dan kerja sama yang baik selama ini.
14. Para pasien yang telah bersedia ikut dalam penelitian ini sehingga penulisan tesis ini dapat terwujud.
15. Bapak Syarifuddin Abdullah, Kak Lely Husna, Deni, Yanti, Wanti, Tika, Tanti, Erjan, Firi dan seluruh pegawai administrasi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, yang telah banyak membantu memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan tugas pendidikan.
Sembah sujud dan terima kasih tak terhingga penulis haturkan kepada kedua orangtua penulis tercinta, ayahanda Dr. Salli Roseffi Nasution, SpPD-KGH dan ibunda Dr. Ilfa Safrani Lubis, atas segala jerih payah, pengorbanan, dan kasih sayang tulus telah melahirkan, membesarkan, mendidik, mendoakan tanpa henti, memberikan dukungan moril dan materiil, serta mendorong penulis dalam berjuang menapaki hidup dan mencapai cita-cita. Tak akan pernah bisa penulis membalas jasa-jasa Ayahanda dan Ibunda. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kesehatan, rahmat dan karunianya kepada ayahanda dan ibunda penulis. Amin.
Teristimewa, penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada suami tercinta, Dr. Ali Nafiah Nasution, SpJP, untuk segala kasih sayang, pengertian, perhatian dan kesabaran tiada tara selama penulis menjalani pendidikan. Semoga pencapaian penulis dapat memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi keluarga dan mendapat berkah dari Allah SWT.
Terima kasih sebesar-besarnya kepada adik kandung penulis, Dr. Bayu Rusfandi Nasution dan Dr. Mariyetty Kemuning Sari Nasution yang telah banyak memberikan bantuan moril, semangat dan doa tanpa pamrih selama pendidikan, sehingga penulis dapat sampai di titik ini, yang tak lain merupakan pencapaian keluarga besar yang dicita-citakan bersama.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan limpahan rahmat dan karuniaNya kepada kita semua dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita dan masyarakat.
Medan, Juli 2012
Abstrak
”Hubungan Antara Feritin Serum dengan Inflamasi, Nutrisi dan Besi pada Pasien-pasien Hemodialisis Reguler di Medan, Sumatera Utara
”
Melati Silvanni Nasution, Harun Rasyid Lubis, Salli Roseffi Nasution Divisi Nefrologi dan Hipertensi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP.H.Adam Malik Medan
Pendahuluan :
Serum feritin sering digunakan sebagai penanda status besi pada pasien-pasien hemodialisis. Pemberian besi biasanya ditunda jika kadar feritin serum > 800 ng/ml berdasarkan guideline K/DOQI dan > 500 ng/ml berdasarkan guideline
PERNEFRI. Kami berhipotesa bahwa faktor-faktor yang tidak berhubungan dengan besi seperti bagian-bagian dari malnutrition-inflammation complex syndrome (MICS) dapat meningkatkan feritin serum selain karena status besinya Bahan dan Cara :
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan metode pengukuran cross sectional, melibatkan 83 pasien GGK yang menjalani HD reguler yang telah mendapatkan ESA. Kepada subjek dilakukan pengukuran antropometri, pemeriksaan status besi, inflamasi, albumin serta pencatatan skor MIS..
Hasil :
Dari 83 subjek terdiri dari 48 pria (57.8%) dan 35 wanita (42.2%) dengan rerata (± SD) usia 52.57 ± 11.52 tahun. Rerata kadar besi sebesar 114.87±97.9 ng/ml dengan nilai rata-rata feritin serum 1253.268 ng/ml pada seluruh 83 pasien. Terdapat korelasi yang signifikan antara feritin serum dengan penanda inflamasi dan status besi yang tidak berhubungan satu sama lain. Feritin berkorelasi positif dengan CRP serum, transferin dan serum iron. Skor MIS berkorelasi positif dengan CRP serum sedangkan albumin berkorelasi negatif dengan CRP serum. Setelah membagi 83 pasien menjadi 2 kelompok berdasarkan cut off feritin serum 500 ng/ml, feritin serum > 500 ng/ml lebih banyak dijumpai
Kesimpulan :
Terdapat hubungan yang positif antara feritin serum dengan beberapa penanda inflamasi dan malnutrisi pada kelompok pasien-pasien hemodialisis reguler di RSUP Haji Adam Malik dan RSUD Dr Pirngadi Medan.
Abstract
“Association Between Serum Ferritin and Measures of Inflammation, Nutrition and Iron in Haemodialysis Patients in Medan, North Sumatera”
Melati Silvanni Nasution, Harun Rasyid Lubis, Salli Roseffi Nasution Division of Nephrology and Hypertension
Department of Internal Medicine Medical Faculty, University of Sumatera Utara
H. Adam Malik General Hospital Medan
Background :
Serum ferritin is a frequently used marker of iron status in hemodialysis patients. Iron administration is to be withheld for ferritin values > 800 ng/ml according to K/DOQI guidelines and > 500 ng/ml according to PERNEFRI guidelines. We hypothesized that such non iron related factros as elements of the malnutrition-inflammation complex syndrome (MICS) may increase serum ferritin concentration indepedently of iron status.
Methods :
This was an observational cross sectional study with 83 maintenance haemodialysis patients that received ESA. We examined the antropometry, laboratory (iron status, inflammation status, albumin) and recorded the MIS score. Results :
The 83 subject comprised 48 men (57.8%) and 35 women (42.2%) with mean (± SD) of age 52.57 ± 11.52 years old. Mean of serum iron was 114.87±97.9 ng/ml and mean of serum ferritin was 1253.268 ng/ml. This study showed significant correlation between serum ferritin and both markers of inflammation and iron status independent of each other. After dividing the 83 patients into two groups of serum ferritin cut off of 500 ng/ml, we found almost all the patients had serum ferritin > 500 ng/ml
Conclusions :
There were positive associations between serum ferritin and some markers of inflammation and malnutrition in a group of maintenance haemodialysis patients in Adam Malik and Dr Pirngadi hospital in Medan, North Sumatera.
DAFTAR ISI
2.3 Inflamasi dan Anemia pada Gagal Ginjal Kronik... 11
2.4 Penatalaksanaan Anemia pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan Inflamasi... .. 12
2.5 Protein Energy Malnutrition pada Pasien-pasien Dialisis... 13
2.6 Resistensi Erythropoietin Stimulating Agent... 18
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1 Stadium Penyakit Ginjal Kronik ... 4 Tabel 2 Keadaan-keadaan yang Dapat Berhubungan dengan
Hiperferitinemia pada Pasien PGK ... 11 Tabel 3 Penyebab Anoreksia pada Pasien HD Reguler ... 14 Tabel 4 Evaluasi Nutrisi pada Pasien Dialisis ... 15 Tabel 5 Rekomendasi Pemberian Kalori dan Protein pada Pasien HD dan CAPD ... 17 Tabel 6 Data Karakteristik Dasar Subjek Penelitian ... 26 Tabel 7 Korelasi antar variabel dengan feritin serum dengan CRP pada 83 pasien-pasien HD reguler ... 27 Tabel 8 Demografi variabel dengan konsentrasi feritin serum “normal”
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Homeostasis besi pada PGK ... 6
Gambar 2 Gambaran skematik Feritin Serum ... 8
Gambar 3 Metabolisme Besi pada keadaan Inflamasi, Defisiensi Besi dan Kombinasi Inflamasi + Defisiensi Besi ... 10
Gambar 4 Aktivitas imun pada Uremia dan Status Inflamasi Lainnya Menyebabkan resistensi Terhadap ESA... 18
Gambar 5 Korelasi antara Skor MIS dan CRP... 27
Gambar 6 Korelasi antara Feritin dan CRP... 28
DAFTAR SINGKATAN
ESA : Erythropoietin Stimulating Agent
PGK : Penyakit Ginjal Kronik
NFK : National Kidney Foundation
K/DOQI : Kidney Disease and Dialysis Outcome Quality Initiative
PERNEFRI : Perhimpunan Nefrologi Indonesia
PEM : Protein Energy Malnutrition
HD : Hemodialisis
SGA : Subjective Global Asessment
MIS : Malnutrition Inflammation Score
WHO : World Health Organization
LFG : Laju Filtrasi Glomerulus
IL-6 : Interleukin-6
Hb : Hemoglobin
TIBC : Total Iron Binding Capacity
gr : gram
dl : desiliter
mg : miligram
ml : mililiter
CRP : C-Reactive Protein
ng : nanogram
TNF-α : Tumour Necrosis Factor
BIA : Bioelectrical Impedance Analysis
CAPD : Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
BB : Berat Badan
kg : kilogram
kkal : kilokalori
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
LAMPIRAN 1 Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian ... 39
LAMPIRAN 2 Lembar Persetujuan Subjek Penelitian (Informed Concern) 40 LAMPIRAN 3 Skor Malnutrisi Inflamasi... 41
LAMPIRAN 4 Master Data Penelitian ... 42
LAMPIRAN 5 Lembar Persetujuan Komite Etik Penelitian ... 43
Abstrak
”Hubungan Antara Feritin Serum dengan Inflamasi, Nutrisi dan Besi pada Pasien-pasien Hemodialisis Reguler di Medan, Sumatera Utara
”
Melati Silvanni Nasution, Harun Rasyid Lubis, Salli Roseffi Nasution Divisi Nefrologi dan Hipertensi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP.H.Adam Malik Medan
Pendahuluan :
Serum feritin sering digunakan sebagai penanda status besi pada pasien-pasien hemodialisis. Pemberian besi biasanya ditunda jika kadar feritin serum > 800 ng/ml berdasarkan guideline K/DOQI dan > 500 ng/ml berdasarkan guideline
PERNEFRI. Kami berhipotesa bahwa faktor-faktor yang tidak berhubungan dengan besi seperti bagian-bagian dari malnutrition-inflammation complex syndrome (MICS) dapat meningkatkan feritin serum selain karena status besinya Bahan dan Cara :
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan metode pengukuran cross sectional, melibatkan 83 pasien GGK yang menjalani HD reguler yang telah mendapatkan ESA. Kepada subjek dilakukan pengukuran antropometri, pemeriksaan status besi, inflamasi, albumin serta pencatatan skor MIS..
Hasil :
Dari 83 subjek terdiri dari 48 pria (57.8%) dan 35 wanita (42.2%) dengan rerata (± SD) usia 52.57 ± 11.52 tahun. Rerata kadar besi sebesar 114.87±97.9 ng/ml dengan nilai rata-rata feritin serum 1253.268 ng/ml pada seluruh 83 pasien. Terdapat korelasi yang signifikan antara feritin serum dengan penanda inflamasi dan status besi yang tidak berhubungan satu sama lain. Feritin berkorelasi positif dengan CRP serum, transferin dan serum iron. Skor MIS berkorelasi positif dengan CRP serum sedangkan albumin berkorelasi negatif dengan CRP serum. Setelah membagi 83 pasien menjadi 2 kelompok berdasarkan cut off feritin serum 500 ng/ml, feritin serum > 500 ng/ml lebih banyak dijumpai
Kesimpulan :
Terdapat hubungan yang positif antara feritin serum dengan beberapa penanda inflamasi dan malnutrisi pada kelompok pasien-pasien hemodialisis reguler di RSUP Haji Adam Malik dan RSUD Dr Pirngadi Medan.
Abstract
“Association Between Serum Ferritin and Measures of Inflammation, Nutrition and Iron in Haemodialysis Patients in Medan, North Sumatera”
Melati Silvanni Nasution, Harun Rasyid Lubis, Salli Roseffi Nasution Division of Nephrology and Hypertension
Department of Internal Medicine Medical Faculty, University of Sumatera Utara
H. Adam Malik General Hospital Medan
Background :
Serum ferritin is a frequently used marker of iron status in hemodialysis patients. Iron administration is to be withheld for ferritin values > 800 ng/ml according to K/DOQI guidelines and > 500 ng/ml according to PERNEFRI guidelines. We hypothesized that such non iron related factros as elements of the malnutrition-inflammation complex syndrome (MICS) may increase serum ferritin concentration indepedently of iron status.
Methods :
This was an observational cross sectional study with 83 maintenance haemodialysis patients that received ESA. We examined the antropometry, laboratory (iron status, inflammation status, albumin) and recorded the MIS score. Results :
The 83 subject comprised 48 men (57.8%) and 35 women (42.2%) with mean (± SD) of age 52.57 ± 11.52 years old. Mean of serum iron was 114.87±97.9 ng/ml and mean of serum ferritin was 1253.268 ng/ml. This study showed significant correlation between serum ferritin and both markers of inflammation and iron status independent of each other. After dividing the 83 patients into two groups of serum ferritin cut off of 500 ng/ml, we found almost all the patients had serum ferritin > 500 ng/ml
Conclusions :
There were positive associations between serum ferritin and some markers of inflammation and malnutrition in a group of maintenance haemodialysis patients in Adam Malik and Dr Pirngadi hospital in Medan, North Sumatera.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anemia pada keadaan Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan kelainan multifaktorial dan defisiensi besi merupakan penyebab tersering anemia pada pasien-pasien gagal ginjal ini. Erythropoietin Stimulating Agent (ESA) dan suplemen besi merupakan terapi yang efektif dalam penatalaksanaan anemia pada pasien-pasien PGK1,2,. Konsentrasi feritin serum dan ratio saturasi besi merupakan dua petanda yang paling sering digunakan untuk menilai status besi pada pasien-pasien dengan dialisis reguler. Berdasarkan guideline dari National Kidney Foundation (NKF) dan Kidney Disease and Dialysis Outcome Quality Initiative (K/DOQI), pemberian besi tidak diberikan pada kadar feritin serum > 800 ng/ml oleh karena kadar feritin yang tinggi menunjukkan keadaan kelebihan besi.3,4 Sedangkan berdasarkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) besi tidak diberikan pada kadar feritin serum > 500 ng/ml.5 Feritin serum juga merupakan reaksi fase akut dan dapat meningkat pada keadaan inflamasi. Inflamasi sering terjadi pada pasien-pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis regular dan prevalensinya diantara pasien-pasien tersebut berkisar 40-60%. Dengan demikian, sangat mungkin jika kadar feritin serum yang tinggi dapat disebabkan oleh inflamasi selain adanya kelebihan besi. Namun, masihlah belum jelas apakah pada pasien-pasien hemodialisis feritin serum memang secara signifikan meningkat pada keadaan inflamasi dengan kadar besi yang berbeda. Inflamasi juga berkaitan erat dengan malnutrisi energi protein pada pasien-pasien dialisis. 6,7,8
Protein Energy Malnutrition (PEM) sering menjadi masalah pada pasien-pasien dengan gagal ginjal terminal dan hubungan antara malnutrisi dan outcome
hubungan antara malnutrisi dan inflamasi telah mendapat perhatian yang cukup serius dan adanya hubungan yang kuat antara PEM dan inflamasi telah ditunjukkan pada pasien-pasien hemodialisis.9,10 Kedua kondisi ini, PEM dan inflamasi sering terjadi bersamaan pada pasien-pasien hemodialisis. Bersama-sama, keadaan ini disebut dengan Malnutrition Inflammation Complex Syndrome.11 Subjective Global Assessment (SGA) menyatakan apakah asimilasi nutrisi telah dibatasi karena asupan makanan yang menurun, maldigesti atau malabsorbsi, apakah efek malnutrisi terhadap organ telah terjadi dan apakah proses penyakit pada pasien berefek pada kebutuhan nutrisi.12 Kedua keadaan inflamasi dan malnutrisi berefek pada kondisi klinis pada pasien-pasien dialisis dan harus dinilai dengan berbagai cara. Untuk itu, sebuah sistem skoring yang komprehensif yang disebut dengan
Malnutrition-Inflammation Score (MIS), yang mampu mengelompokkan risiko pada pasien-pasien
hemodialisis secara kuantitatif untuk penatalaksanaan yang lebih optimal. MIS berhubungan kuat dengan angka morbiditas dan mortalitas, begitu juga dengan pengukuran nutrisi, inflamasi dan anemia pada pasien-pasien hemodialisis.13
Selain sebagai penanda prognosis yang buruk dalam hal masa rawatan dan mortalitas, Sindroma Malnutrisi-Inflamasi Kompleks juga dapat menunjukkan hiperferitinemia dan anemia berulang. Namun masih belum jelas apakah PEM sendiri atau kombinasi dengan inflamasi dalam bentuk Sindroma Malnutrisi-Inflamasi Kompleks memiliki efek yang signifikan terhadap feritin serum pada pasien-pasien hemodialisis reguler.
Pada penelitian ini, peneliti bermaksud untuk meneliti hubungan antara feritin serum dengan inflamasi, nutrisi dan besi pada pasien-pasien hemodialisis reguler. Hasil dari penelitian ini mungkin dapat membantu mengetahui apakah feritin dapat digunakan sebagai penanda adanya inflamasi dan malnutrisi pada pasien-pasien hemodialisis reguler selain sebagai penanda adanya kelebihan besi.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
Apakah terdapat hubungan antara feritin serum dengan inflamasi, nutrisi dan besi pada pasien-pasien hemodialisis reguler di Medan, Sumatera Utara?
1.3 Hipotesis
Kadar feritin serum yang tinggi dapat berhubungan dengan keadaan inflamasi, dan/atau malnutrisi pada pasien-pasien hemodialisis reguler di Medan, Sumatera Utara
1.4Tujuan Penelitian
Meneliti peranan feritin serum sebagai penanda adanya inflamasi dan malnutrisi pada pasien-pasien hemodialisis reguler
1.5 Manfaat Penelitian
1. Untuk dapat mengetahui apa saja pengaruh peningkatan serum feritin pada pasien-pasien hemodialisis reguler yang mendapatkan eritropoetin
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANEMIA PADA GAGAL GINJAL KRONIK a. Definisi Anemia
World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan konsentrasi
hemoglobin < 13,0 mg/dl pada laki-laki dan wanita postmenopause dan < 12,0 gr/dl pada wanita lainnya. The European Best Practice Guidelines untuk penatalaksanaan anemia pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik mengatakan bahwa batas bawah hemoglobin normal adalah 11,5 gr/dl pada wanita, 13,5 gr/dl pada laki-laki dibawah atau sama dengan 70 tahun dan 12,0 gr/dl pada laki-laki diatas 70 tahun.15 The National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative
(K/DOQI) merekomendasikan anemia pada pasien penyakit ginjal kronik jika kadar hemoglobin < 11,0 gr/dl (hematokrit <33%) pada wanita premenopause dan pasien prepubertas, dan < 12,0 gr/dl (hematokrit <37%) pada laki-laki dewasa dan wanita postmenopause. 15,16 Dan berdasarkan PERNEFRI 2011, dikatakan anemia pada penyakit ginjal kronik jika Hb ≤ 10 gr/dl dan Ht ≤ 30%.
Anemia sering terjadi pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis. Klinisi harus memikirkan keadaan anemia jika tingkat Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) pasien menurun ke 60 ml/menit/1,73 m
4
2
atau lebih rendah. 1,2,15-17
b. Etiologi Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik
Faktor-faktor yang berkaitan dengan anemia pada penyakit ginjal kronik termasuk kehilangan darah, pemendekan masa hidup sel darah merah, defisiensi vitamin, “uremic milieu”, defisiensi eritropoetin, defisiensi besi dan inflamasi.
Kehilangan Darah
1,2,15-17
Pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko kehilangan darah oleh karena terjadinya disfungsi platelet. Penyebab utama kehilangan darah pada pasien-pasien ini adalah dari dialisis, terutama hemodialisis dan nantinya menyebabkan defisiensi besi juga. Pasien-pasien hemodialisis dapat kehilangan 3 -5 gr besi per tahun. Normalnya, kita kehilangan besi 1-2 mg per hari (Gambar 1), sehingga kehilangan besi pada pasien-pasien dialisis 10-20 kali lebih banyak.
Pemendekan masa hidup eritrosit
1,2
Masa hidup eritrosit berkurang sekitar sepertiga pasien-pasien hemodialisis Defisiensi Eritropoetin
15-17
Gambar 1. Homeostasis besi pada penyakit ginjal kronik 2
Defisiensi Besi
Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik. Untuk alasan yang masih belum diketahui (kemungkinan karena malnutrisi), kadar transferin pada penyakit ginjal kronik setengah atau sepertiga dari kadar normal, menghilangkan kapasitas sistem transport besi. Situasi ini yang kemudian mengganggu kemampuan untuk mengeluarkan cadangan besi dari makrofag dan hepatosit pada penyakit ginjal kronik.
Inflamasi
2, 15-18
bermanifestasi dengan tingginya serum feritin. Peningkatan jumlah sitokin-sitokin inflamasi di sirkulasi seperti interleukin 6 berhubungan dengan respon yang buruk terhadap pemberian eritropoetin pada pasien-pasien gagal ginjal terminal.10,20,21
c. Diagnosis
Pada penyakit ginjal kronik, keadaan anemia yang terjadi tidak sepenuhnya berkaitan dengan penyakit ginjalnya. Anemia pada penyakit ginjal kronik dapat dijadikan diagnosis setelah mengeksklusikan adanya defisiensi besi dan kelainan eritrosit lainnya.
15,16
Beberapa poin harus diperiksa dahulu sebelum dilakukan pemberian terapi penambah eritrosit, yaitu :
- Darah lengkap
- Pemeriksaan darah tepi - Hitung retikulosit
- Pemeriksaan besi (serum iron, total iron binding capacity, saturasi transferin, serum feritin)
- Pemeriksaan darah tersamar pada tinja - Kadar vitamin B12
- Hormon paratiroid
2.2 FERITIN PADA GAGAL GINJAL KRONIK Struktur dan Fungsi Feritin
Gambar 2. Gambaran skematik feritin serum
Feritin merupakan tempat penyimpanan zat besi terbesar dalam tubuh. Fungsi feritin adalah sebagai penyimpanan zat besi terutama di dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Zat besi yang berlebihan akan disimpan dan bila diperlukan dapat dimobilisasi kembali. Hati merupakan tempat penyimpanan feritin terbesar di dalam tubuh dan berperan dalam mobilisasi feritin serum. Pada penyakit hati akut maupun kronik kadar feritin serum meningkat, hal ini disebabkan pengambilan feritin dalam sel hati terganggu dan terdapat pelepasan feritin dari sel hati yang rusak. Pada penyakit keganasan sel darah merah, kadar feritin serum meningkat disebabkan meningkatnya sintesis feritin oleh sel leukemia. Pada keadaan infeksi dan inflamasi terjadi gangguan pelepasan zat besi dari sel retikuloendotelial dan disekresikan ke dalam plasma. Sintesis feritin dipengaruhi oleh konsentrasi cadangan besi intrasel dan berkaitan pula dengan cadangan zat besi intrasel (hemosiderin).
6
Feritin pada Keadaan Inflamasi
5,6,7
tubuh manusia. Makrofag membutuhkan zat besi untuk memproduksi highly toxic
hydroxyl radical, juga merupakan tempat penyimpanan besi yang utama pada saat
terjadi proses inflamasi. Sitokin, radikal bebas, serta protein fase akut yang dihasilkan oleh hati akan mempengaruhi homeostasis besi oleh makrofag dengan cara mengatur ambilan dan keluaran besi sehingga akan memicu peningkatan retensi besi dalam makrofag pada saat terjadi inflamasi. Besi juga mengatur aktivitas sitokin, proliferasi, dan aktivitas limfosit sehingga diferensiasi dan aktivasi makrofag akan terpengaruh.
Protein fase akut memegang peran dalam proses inflamasi yang kompleks. Konsentrasi protein fase akut meningkat secara signifikan selama proses inflamasi akut karena tindakan pembedahan, infark miokard, infeksi, dan tumor. Peningkatan disebabkan oleh sintesis di hati, namun tidak dapat digunakan untuk menentukan penyebab inflamasi. Pengukuran protein fase akut dapat digunakan untuk mengamati progresivitas dari inflamasi serta melihat respon terapi dengan melihat nilai protein fase akut saat mulai meningkat dan kadar yang tertinggi.
5,22,23
Kadar feritin serum tidak dapat menggambarkan indeks cadangan besi dalam tubuh pada saat terjadi kerusakan sel tubuh. Feritin diproduksi oleh sistem reticulo endotelial, yang berperan penting dalam proses metabolisme zat besi saat pembentukan hemoglobin dari sel darah merah senescent. Proses inflamasi dan infeksi akut akan memicu blokade pelepasan zat besi sehingga akan menurunkan kadar zat besi serum.
Gambar 3. Metabolisme besi pada keadaan inflamasi, defisiensi besi dan kombinasi inflamasi +
defisiensi besi 5
Hiperferitinemia Pada Penyakit Ginjal Kronik
Kadar feritin serum tinggi yang ekstrim, >2000 ng/ml, biasanya menandakan adanya kelebihan besi yang juga dikenal dengan hemosiderosis.5,6,7 Kebanyakan laporan kasus mengenai kelebihan besi dijumpai pada masa belum digunakannya ESA, ketika transfusi darah lebih sering digunakan dalam mengatasi anemia.23
Peningkatan serum feritin selama inflamasi, infeksi, penyakit hati dan kondisi-kondisi lain yang tidak berhubungan dengan besi dapat menghalangi kemampuan dalam menilai status besi pada pasien GGK yang berada dalam kondisi-kondisi tersebut. Feritin serum merupakan penanda adanya malignansi, seperti pada neuroblastoma, renal cell carcinoma dan limfoma Hodgkin. Hiperferitinemia juga berhubungan dengan disfungsi hati. Inflamasi kronik sering terjadi pada pasien-pasien dengan PGK dan lebih dari 40-70% pasien-pasien dengan PGK dapat mengalami peningkatan kadar CRP. Sehingga, inflamasi kemungkinan keadaan yang sering terjadi pada hiperferitinemia pada PGK.
Tabel 2. Keadaan-keadaan yang dapat berhubungan dengan hiperferitinemia pada
pasien-pasien PGK 6
2.3 INFLAMASI DAN ANEMIA PADA GAGAL GINJAL KRONIK
Inflamasi dan respon fase akut berkaitan dengan sistem hematopoetik. Selama periode awal respon fase akut, konsentrasi hemoglobin selalu menurun secara drastis. Hal ini disebabkan oleh pengrusakan eritrosit yang meningkat oleh makrofag retikuloendotelial inflamasi yang teraktivasi yang membersihkan sirkulasi dari eritrosit yang dilapisi dengan imunoglobulin atau kompleks imun. Pada pasien-pasien dengan fungsi ginjal yang normal, penurunan hemoglobin yang tiba-tiba merangsang sekresi eritropoetin selama 4-10 hari. Ternyata, sekresi eritropoetin yang meningkat ini dihambat oleh sitokin-sitokin proinflamasi pada pasien-pasien yang mengalami respon fase akut.
Faktor pertumbuhan seperti eritropoetin dan beberapa sitokin penting untuk pertumbuhan dan diferensiasi progenitor eritrosit pada sumsum tulang. Pada konsentrasi rendah, sitokin-sitokin proinflamasi TNF-α dan IL-1 menstimulasi pertumbuhan awal progenitor. Efek inflamasi yang mensupresi eritropoesis terutama disebabkan oleh peningkatan aktivitas sitokin-sitokin proinflamasi pada sel-sel prekursor pada berbagai tingkatan eritropoesis. Dikatakan bahwa efek inhibisi pada prekursor eritroid ini terutama disebabkan oleh perubahan sensitivitas terhadap eritropoetin. Efek inhibisi TNF-α dan IL-1 pada eritropoesis dapat diatasi dengan pemberian dosis tinggi ESA. Pada pasien-pasien dengan gagal ginjal terminal, resistensi ESA berhubungan dengan respon inflamasi seperti pada pasien dengan peningkatan CRP atau fibrinogen kurang respon terhadap ESA.
24
20,24,25
memprediksi resistensi terhadap ESA pada pasien-pasien hemodialisis dan peritoneal dialisis, yang mendukung konsep bahwa respon inflamasi menyebabkan hipoalbuminemia dan anemia pada pasien-pasien gagal ginjal terminal.24
2.4 PENATALAKSANAAN ANEMIA PADA PASIEN-PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN INFLAMASI
Sebelumnya telah diketahui bahwa dosis ESA yang digunakan untuk mempertahankan target kadar hemoglobin dapat meningkat 30-70% pada pasien-pasien dialisis yang inflamasi dibandingkan dengan mereka dengan kadar CRP yang lebih rendah.15 Tentu saja, pada inflamasi sistemik berat, respon terhadap epoetin dapat terhambat dan transfusi darah mungkin dibutuhkan. Oleh karena inflamasi mungkin merupakan peyebab utama resistensi ESA, ada benarnya eradikasi terhadap stimulus inflamasi haruslah menjadi tujuan utama dalam penatalaksanaan pasien-pasien anemia dengan inflamasi. Namun, walaupun terdapat angka prevalensi inflamasi yang tinggi pada pasien-pasien gagal ginjal kronik, masih belum ada rekomendasi yang valid bagaimana inflamasi kronik harus diterapi pada pasien-pasien ini. Kondisi-kondisi komorbid yang yang dapat berpengaruh terhadap inflamasi, seperti infeksi persisten, gagal jantung dan penyakit jantung koroner haruslah diterapi secara adekuat.20,24
Oleh karena stres oksidatif dapat berhubungan dengan inflamasi ataupun anemia, begitu pula dengan resistensi ESA, sehingga dapat diambil hipotesa bahwa berbagai strategi pengobatan antioksidan mungkin memiliki efek juga terhadap ESA. Sebagai hasil contoh efek protektif melawan peroksidasi lipid, vitamin E tampaknya dapat menjadi bahan yang ideal untuk menurunkan stres oksidatif pada pasien-pasien dialisis.
Beberapa data terbaru menunjukkan bahwa obat-obat antioksidan juga dapat memodulasi respon inflamasi. Pertama, suplemen vitamin E pada pasien-pasien non renal berhubungan dengan penurunan kadar CRP dan monosit IL-6. Kedua, efek tidak langsung vitamin E sebagai anti inflamasi ( dan antioksidan lainnya seperti vitamin C, melatonin dan glutation) ditunjukkan bahwa mereka dapat memberikan respon terapi ESA pada pasien-pasien dialisis. Ketiga, sebelumnya telah ada hipotesa
yang mengatakan bahwa pemberian obat-obat antioksidan mencegah hemolisis oksidatif dari membran eritrosit, sehingga dapat menunjukkan mekanisme lain bahwa antioksidan dapat memperbaiki respon terhadap ESA.20,24
2.5 PROTEIN ENERGY MALNUTRITION PADA PASIEN-PASIEN
DIALISIS
Malnutrisi merupakan masalah yang serius pada pasien-pasien gagal ginjal kronik yang diterapi dengan dialisis. Hal ini berhubungan dengan malnutrisi yang akan memberikan outcome yang buruk pada pasien.26
a. Penyebab Malnutrisi pada pasien dialisis
Malnutrisi tidak jarang terjadi pada pasien-pasien dialisis dan penyebabnya bermacam-macam. Prosedur dialisis sendiri menyebabkan hilangnya nutrisi-nutrisi kedalam dialisat dan efek dari hilangnya nutrisi-nutrisi ini menyebabkan peningkatan katabolisme selama hemodialisis. Timbulnya asidosis metabolik yang biasa terjadi pada pasien-pasien dengan gagal ginjal mungkin berhubungan dengan peningkatan katabolisme pada pasien-pasien ini.27,28
Asam amino hilang melalui dialisat dan dengan aliran dialiser yang kuat, hilangnya vitamin melalui dialisat juga terjadi. Gejala uremia seperti anoreksia, nausea dan muntah dan gejala-gejala ini tidak selalu terkontrol pada pasien-pasien dialisis reguler, menyebabkan terjadinya pengurangan ambilan protein dan energi. Falken-hagen dkk meneliti bahwa pasien gagal ginjal yang diterapi dengan hemodialisis ataupun peritoneal dialisis menunjukkan pola konsumsi makanan yang berbeda-beda. Penyebab dari berkurangnya nafsu makanan tidak sepenuhnya diketahui, namun peningkatan leptin serum atau faktor lainnya yang menekan nafsu makan mungkin terlibat.
Tabel 3. Penyebab anoreksia pada pasien-pasien hemodialisis regular 27
b. Diagnosis Malnutrisi pada Pasien Dialisis
Tabel 4. Evaluasi nutrisi pada pasien dialysis 27
Albumin serum, sering digunakan untuk mengukur cadangan protein, dapat terganggu dengan adanya proses akut, infeksi yang sering terjadi pada pasien-pasien dialisis. Adanya infeksi akses yang kronis atau infeksi lainnya dapat mengurangi konsentrasi serum albumin oleh karena berkurangnya sintesa albumin di hati sebagai respon terhadap peningkatan produksi fase akut reaktan. Yeu dan Kaysen menunjukkan bahwa konsentrasi serum albumin merupakan petunjuk hilangnya albumin melalui dialisat, begitu juga produksi CRP yang berkitan dengan inflamasi. Hal ini menunjukkan bahwa serum albumin tidak selalu dipercaya dalam menilai status nutrisi.29
Pada populasi pre gagal ginjal terminal, serum transferin tampaknya sangat berguna dalam menilai status nutrisi, namun serum transferin terganggu pada keadaan defisiensi besi, dan keadaan defisiensi besi yang sering terjadi ini
berhubungan dengan penggunaan ESA dalam pengobatan anemia pada pasien-pasien hemodialisis reguler menyebabkan pengukuran ini kurang diandalkan.
Pengukuran komposisi tubuh seperti antropometri, Bioelectrical Impedance Analysis (BIA), dan Subjective Global Assessment (SGA), telah semua dilaporkan berguna untuk menilai satus nutrisi pada pasien dengan gagal ginjal terminal yang didialisis reguler. Antropometri telah digunakan bertahun-tahun pada subjek yang sehat, sama seperti pada pasien gagal ginjal dengan dialisis reguler, dan antropometri telah sering digunakan pada pasien-pasien tersebut.
29
Subjective Global Assessment awalnya dikembangkan untuk digunakan pada
keadaan akut di rumah sakit, namun juga berguna untuk mengukur status nutrisi pada populasi CAPD.
30
Kesemua alat pengukuran komposisi tubuh ini memiliki keterbatasan. Antropometri sangat dipengaruhi kesalahan operator dan juga dipengaruhi turgor kulit. Untuk menghindarinya gunakalah kaliper kulit dengan kualitas yang baik. BIA ternyata tidak terlalu berguna dikarenakan BIA lebih signifikan untuk pengukuran komposisi tubuh dan komposisi air tubuh. Dual energy x ray absorptiometry dapat membedakan lemak dengan massa non lemak namun ketersediaanya tidak sellau dapat diharapkan. Karena antropometri cukup banyak tersedia dan cukup simpel, ia bersifat aplikatif pada berbagai klinik dialisis dan merupakan alat yangpaling berguna untuk mengukur komposisi tubuh.
12
Status nutrisi harus dianalisa secara teratur pada semua pasien-pasien dialisis, sehingga jika terjadi sedikit penurunan pada status nutrisi dapat segera diketahui. Protein serum harus dimonitor setiap 1-3 bulan, antropometri dimonitor setiap 6 bulan dan daftar makanan apa saja yang dikonsumsi juga harus selalu dicatat.
29,30
30
c. Penatalaksanaan Malnutrisi pada Pasien Dialisis
hubungan yang jelas antara status nutrisi yang buruk dan peningkatan risiko kematian menunjukkan malnutrisi haruslah dihindari.30
Diet Protein
Adanya diet protein sering diteliti, sebagai salah satu strategi utnuk memperlambat progresivitas gagal ginjal terminal, mengurangi sindroma uremikum dan unutk mengevaluasi kebutuhan protein yang tepat pada pasien-pasien gagal ginjal dengan terapi dialisis reguler.
Pada pasien-pasien hemodialisis, belum ada penelitian prospektif non randomized yang meneliti diet protein dan outcome yang terjadi. Namun, beberapa studi menunujukkan bahwa kebutuhan protein 1,2 gr/kgBB/hari berhubungan dengan keseimbangan nitrogen positif. Kebutuhan akan protein yang meningkat mungkin berhubungan dengan hilangnya protein dan asam amino melalui dialisat atau efek katabolik dari prosedur hemodialisis. Hilangnya protein melalui dialisat lebih tinggi pada peritoneal dialisis dibandingkan dengan hemodialisis sekitar 5-15 gr/hari dan hilangnya protein meningkat pada episode peritonitis.26-30
Tabel 5. Rekomendasi pemberian protein dan kalori pada pasien hemodialisis dan CAPD
Kebutuhan Energi
Kebutuhan energi juga merupakan hal yang penting pada pasien-pasien dialisis. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa kebutuhan energi pada pasien-pasien dialisis tidak berbeda dari orang yang sehat. Rekomendasi kebutuhan energi pada pasien-pasien dialisis adalah 35 kkal/kgBB/hari.
Jika pasien tidak mampu mengkonsumsi protein dan energi yang dibutuhkan dari diet, pengukuran yang lebih agresif haruslah dikerjakan untuk meyakinkan kebutuhan energi yang adekuat.
26-30
30-32
2.6 RESISTENSI ESA
Resistensi terhadap ESA bisa disebabkan oleh terjadinya peningkatan aktivitas sel T dan monisit, dan juga bersamaan dengan terjadinya produksi sitokin-sitokin proinflamasi di sumsum tulang. Sitokin-sitokin ini dapat bereaksi secara lokal untuk melawan kerja dari ESA pada tingkat seluler, sehingga menyebabkan terjadinya resistensi terhadap terapi ESA. 20,25
Gambar 4. Bagaimana aktivitas imun pada uremia dan status inflamasi lainnya
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
3.2Definisi Operasional
a. Gagal Ginjal Kronik adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
b. Hemodialisis adalah salah satu terapi pengganti ginjal, yang digunakan pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal, baik akut maupun kronik. Prinsip hemodialisis adalah dengan menerapkan proses osmotis dan ultrafiltrasi pada ginjal buatan, dalam membuang sisa-sisa metabolisme tubuh.
c. Feritin serum adalah protein penyimpan zat besi yang larut dalam air terdiri dari selubung protein (apoferitin) yang merupakan gabungan garam ferri dengan protein dan inti kristalin yang terdiri dari ribuan molekul ferri oksihidroksida
Pasien-pasien hemodialisis reguler > 3 bulan
Skor Malnutrisi Inflamasi
Pemberian ESA
≥ 3 bulan
d. Protein energy Malnutrition (PEM) adalah manifestasi dari kurangnya asupan protein dan energi, dalam makanan sehari-hari yang tidak memenuhi angka kecukupan gizi, dan biasanya juga disertai adanya kekurangan dari beberapa nutrisi lainnya
e. Eritropoetin adalah
.
f. Skor Malnutrisi Inflamasi adalah sistem skoring yang komprehensif yang memiliki hubungan yang kuat terhadap parameter nutrisi, inflamasi dan anemia pada pasien-pasien hemodialisis reguler. Skor ini terdiri dari 10 komponen, terdiri dari 7 komponen penilaian dari Subjective Global Assessment (SGA) dan dikombinasikan dengan 3 parameter baru (BMI, albumin serum, dan TIBC). Setiap komponen MIS memiliki 4 tingkat keparahan dari 0 (normal) sampai 3 (sangat berat).
hormon glikoprotein yang mengontrol proses eritropoiesis atau produksi sel darah merah. Hormon ini dihasilkan oleh oleh ginjal terutama fibroblast peritubular korteks ginjal yang memiliki berat molekul 34.000. Pada orang normal 80-90% eritropoietin di bentuk di ginjal, sisanya diproduksi di luar ginjal (hati dan sebagainya).
g. Indeks Respon ESA adalah dosis rata-rata mingguan penggunaan ESA dibagi dengan jumlah rata-rata hematokrit yang diperlukan untuk menormalkan jumlah ESA yang dibutuhkan untuk beratnya anemia yang terjadi
3.3Hipotesis
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah suatu penelitian potong lintang.
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian antara April 2012 sampai dengan Juli 2012.
Penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan dan RSUD Pirngadi Medan.
4.3 Populasi dan Sampel
Populasi adalah semua pasien gagal ginjal dengan hemodialisis reguler > 3 bulan
Sampel adalah semua populasi yang menjalani hemodialisis reguler dengan penggunaan ESA ≥ 3 bulan
4.4 Besar Sampel
Perkiraan besar sampel dengan memakai rumus : n ≥ [ Z (1-α) √Po (1-Po) + Z (1-β) √ Pa (1-Pa) ]
( Pa – Po)
2
2
n = besar sampel
Z(1-α) = deviat baku alpha (alpha 95%) hipotesis dua arah 1,96 Z(1-β) = deviat baku beta (beta 80%) 1,282
Po = proporsi pasien HD yang menggunakan ESA (dari referensi) 80% (0,8)
Pa = proporsi pasien HD yang diteliti 90% (0,9)
Pa-Po = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna 0,1
4.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 4.5.1 Inklusi :
1. Pria maupun wanita berusia ≥ 18 tahun
2. Pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis > 3 bulan dan dalam keadaan stabil
3. Sudah mendapatkan terapi ESA dua kali seminggu selama 3 bulan 4. Dosis pemberian ESA 2000 IU
4.5.2. Eksklusi :
1. Pasien dengan malignansi
2. Pasien dengan infeksi akut atau kronis (HIV, TB, dll) 3. Pasien dengan perdarahan atau hemolisis
4. Pasien dengan non renal anemia 5. Pasien dengan Hb < 7 gr/dl
4.6 Teknik Pengumpulan Data
a. Seluruh subjek penelitian dimintai persetujuan secara tertulis tentang kesediaan mengikuti penelitian (informed consent)
b. Dilakukan pengambilan data meliputi nama, umur, jenis kelamin dan data pribadi lainnya, dan total dosis pemberian ESA selama 3 bulan terakhir
c. Dilakukan pemeriksaan antropometri
d. Dilakukan pemeriksaan darah rutin, fungsi ginjal, fungsi besi, penanda inflamasi (CRP) dan albumin
e. Dilakukan pencatatan Malnutrition Inflammation Score (MIS)
4.7Pengolahan dan Analisis Data
- Untuk melihat distribusi pasien digunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Kemudian untuk data yang berdistribusi normal dilakukan uji sampel berpasangan sedangkan yang tidak berdistribusi normal dilakukan uji Wilcoxon.
- Untuk melihat hubungan kadar feritin dengan CRP, skor MIS dan besi digunakan uji korelasi Pearson untuk data yang berdistribusi normal dan uji korelasi Spearman untuk data yang tidak berdistribusi normal.
- Untuk melihat perbedaan rerata feritin serum ≤ 500 ng/ml dan > 500 digunakan uji sampel berpasangan.
- Nilai p < 0.05 dianggap bermakna secara statistik.
- Analisis statistik dilakukan dengan software SPSS Statistics 17.0.
4.8Etika Penelitian
Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik Kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
4.9Kerangka Operasional
Kriteria eksklusi
Ada hubungan / tidak? Pasien gagal ginjal dengan
hemodialisis reguler yang menggunakan ESA > 3 bulan
- Data dasar
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Nefrologi dan Hipertensi RSUP H. Adam Malik Medan dan RSUD Pirngadi Medan selama periode April 2012 sampai dengan Juli 2012 dengan jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 83 orang dari populasi dengan pasien gagal ginjal dengan hemodialisis reguler > 3 bulan yang menggunakan ESA selama 3 bulan
Tabel 5.1.1 Data Karakteristik Dasar Subjek Penelitian
Kreatinin (mg/dl) (±SD) 11,17 (4,55)
Ureum (mg/dl) (±SD) 125,47 (38,01)
CRP (±SD) 1,4 (0,49)
Feritin (ng/ml) (±SD) 1253,27 (1174,12)
TIBC (mg/dl) (±SD) 210,48 (67,79)
Saturasi Transferin (%)(±SD) 56,59 (38,20)
Serum Iron ( ng/ml) (±SD) 114,87 (97,94)
berkorelasi positif dengan CRP serum (0,389 (P= 0,001)) sedangkan albumin berkorelasi negatif dengan CRP serum (-0,491 (P=0.001)). (Tabel 5.1.2)
Tabel 5.1.2 Korelasi antar variabel dengan feritin serum dengan CRP a
Feritin Serum CRP serum
Umur 0,035 (P=0,751) -0,045 (P=0,688)
IMT -0,047 (P=0,675) 0,089 (P=0,421)
Skor MIS 0,101 (P= 0,366) 0,389 (P= 0,001)*
Hb -0,008 (P=0,942) 0,008 (P=0,941)
Albumin -0,026 (P=0,813) -0,491 (P=0.001)*
CRP 0,490 (P=0,001)* 1,000
TIBC -0,105 (P=0,344) 0,030 (P=0,789)
Saturasi Transferin 0,310 (P=0,004)* 0,018 (P=0,872)
Serum iron 0,245 (P=0,026)* 0,027 (P=0,811)
Ket : a Uji Spearman
* signifikan (p< 0,05)
Gambar 5.1.1 Koefisien korelasi antara Feritin dan CRP, dimana diperoleh korelasi positif
antara Feritin dan CRP
Gambar 5.1.2 Koefisien korelasi antara Skor MIS dan CRP, dimana diperoleh korelasi positif
antara Skor MIS dan CRP
Gambar 5.1.3 Koefisien krelasi antara Albumin dengan CRP. Dijumpai Korelasi negatif antara
Jumlah pasien dengan feritin serum antara 200-500 ng/ml adalah 7 orang (8,43%) dan jumlah pasien dengan feritin > 500 ng/ml adalah 71 orang (85,54%). (Tabel 5.1.3)
Tabel 5.1.3 Demografi variabel dengan konsentrasi feritin serum “normal” (antara 200 dan 500 ng/ml) dan konsentrasi feritin serum “tinggi” ( >500 ng/ml)
Kadar feritin normal :
200 < feritin ≤ 500 ng/ml
(n=7)
Kadar feritin tinggi :
Feritin > 500 (n=71)
Feritin serum biasanya digunakan sebagai penanda status besi pada pasien-pasien dialisis.4-7 Konsentrasi serum feritin berasal dari kebocoran pada feritin jaringan, yaitu sebuah protein cadangan besi intraseluler dengan berat molekul 450 kDa, terdiri dari subunit berat (H) dan ringan (L). Feritin serum sedikit berbeda dengan feritin jaringan dan mengandung sedikit atau tidak ada besi.5 Sementara feritin jaringan jelas berperan dalam kerja besi intraseluler, peranan feritin serum masihlah belum begitu jelas. Kadar feritin pada plasma menggambarkan keseimbangan antara sekresinya, dimana secara langsung berhubungan terhadap sintesis besi intraseluler, dan bersihannya terutama di hati dan organ-organ lainnya. Namun, disfungsi hati dan faktor-faktor inflamasi dapat mempengaruhi sintesis dan bersihan feritin serum, sehingga peningkatan kadar feritin serum oleh karena keadaan-keadaan tadi tidaklah berhubungan dengan status besinya.5,6
CRP serum merupakan penanda inflamasi yang sering digunakan pada pasien-pasien dialisis. Kadar CRP akan meningkat cepat pada infeksi, disebut respon fase akut. Selama respon fase akut, sitokin-sitokin inflamasi seperti interleukin 1 beta (IL-1β) dan tumour necrosis factor alpha (TNF-α) meningkatkan sintesis subunit feritin H dan L. Oleh karena itu, feritin serum dapat meningkat pada inflamasi.4,22,23 Makrofag merupakan sel imun yang berperan langsung dengan kadar besi dalam tubuh manusia. Makrofag membutuhkan zat besi untuk memproduksi
highly toxic hydroxyl radical, juga merupakan tempat penyimpanan besi yang utama pada saat terjadi proses inflamasi. Besi juga mengatur aktivitas sitokin, proliferasi, dan aktivitas limfosit sehingga diferensiasi dan aktivasi makrofag akan terpengaruh. 5,22,23.
sel tubuh. Feritin diproduksi oleh sistem reticulo endotelial, yang berperan penting dalam proses metabolisme zat besi saat pembentukan hemoglobin dari sel darah merah senescent. Proses inflamasi dan infeksi akut akan memicu blokade pelepasan zat besi sehingga akan menurunkan kadar zat besi serum.5,6,7,22,23 Pada penelitian ini feritin serum memang berkorelasi positif dengan CRP (0,490 (P=0,001)) (Gambar 5.1.1)
Pada penelitian ini dijumpai adanya korelasi yang positif antara feritin serum dan saturasi transferin (0,310 (P=0,004)). Hiperferitinemia tidak selalu berhubungan dengan zat besi yang berlebihan. Pada kondisi-kondisi tertentu seperti inflamasi dan malignansi kita jumpai kadar feritin yang tinggi dengan saturasi transferin yang rendah. Pada praktek sehari-hari, bila dijumpai kadar saturasi tranferin rendah dengan kadar feritin yang tinggi, hal ini menunjukkan hiperferitinemia yang disebabkan oleh inflamasi atau malignansi
Inflamasi dan PEM sering terjadi bersamaaan pada pasien-pasien dialisis. Kombinasi malnutrisi dan inflamasi sudah sering dikenal dengan Malnutrition
Inflammation Complex Syndrome (MICS). MICS banyak berperan pada mortalitas,
serum (-0,491 (P=0.001)). Yaitu jika kadar albumin serum meningkat maka kadar CRP akan menurun dan begitu pula sebaliknya.(Gambar 5.1.3) Dan juga dijumpai korelasi positif antara skor MIS dengan CRP serum (0,389 (P= 0,001)) (Gambar 5.1.2)
Oleh karena tindakan dialisis, pasien-pasien dengan PGK memiliki risiko yang tinggi terjadinya kehilangan besi dibandingkan pasien-pasien non uremikum. Orang normal akan mengabsorbsi sampai 1 mg besi per hari pada dietnya. Pada pasien-pasien dengan HD dapat terjadi kehilangan darah dari tempat lain selain perlukaan. Kehilangan darah tersebut dapat mencapai 2,51 liter, sehingga terjadi kehilangan besi dapat mencapai 750 mg (atau 2 mg/hari) sebagai tambahan dari kehilangan besi dari saluran GIT. Kebutuhan besi juga dapat meningkat dengan pemberian terapi ESA. Selama 3 bulan pertama pemberian terapi ESA, pasien-pasien HD akan membutuhkan suplemen besi sampai 1000 mg (sampai 30 mg per 24 jam), dimana 400 mg akan menggantikan kehilangan darah dari dialiser dan pengambilan sampel darah. Ada bukti yang mengatakan bahwa kebutuhan Hb yang meningkat akan menyebabkan kebutuhan besi yang meningkat juga. Besi ini berguna untuk memaksimalkan kerja ESA. Namun, pemberian besi intravena dengan tidak diberikannya terapi ESA dapat memperbaiki anemia pada beberapa pasien, terutama pada pasien-pasien PGK yang belum membutuhkan terapi dialisis.34
Berdasarkan European Best Practice Guideline 2004, pasien-pasien dengan PGK harus memiliki besi yang seimbang, atau besi yang cukup, untuk mencapai konsentrasi Hb > 11 gr/dl (Hct ≥ 33%). Untuk mencapai dan mempertahankan konsentrasi Hb tersebut, besi harus cukup agar dapat mencapai target berikut, yaitu : feritin serum > 100 ng/l, saturasi transferin > 20%. Pada praktisnya, untuk mencapai kriteria minimum yang direkomendasikan, perlu dicapainya target berikut pada semua pasien yang didialisis, yaitu : feritin serum 200-500 ng/l dan saturasi transferin 30-40%.34
tulang.33 Kadar feritin serum yang rendah memiliki spesifisitas untuk mendeteksi defisiensi besi pada pasien dialisis yang mendapatkan ESA.5-7,23 Tentu saja, inflamasi bisa tidak berefek terhadap feritin serum, kecuali terdapat cadangan besi yang cukup dalam tubuh sehingga feritin serum dapat meningkat. Pada pasien dialisis, hiperferitinemia berhubungan dengan resistensi ESA dan makin beratnya anemia. Pada penelitian ini feritin serum > 500 ng/ml terjadi pada hampir semua pasien, yaitu sebanyak 71 orang dengan terdapat peningkatan skor MIS dan besi pada kelompok ini. (Tabel 5.1.3) Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pengaruh adanya riwayat transfusi berulang sebelum mendapatkan terapi ESA sebelumnya.
Berdasarkan guideline K/DOQI, pemberian besi pada pasien-pasien HD sebaiknya ditunda jika feritin serum > 800 ng/ml sedangkan berdasarkan guideline PERNEFRI pemberian besi ditunda jika feritin serum > 500 ng/ml oleh karena kelebihan besi (hemokromasitosis) dan komplikasinya dapat menyebabkan outcome
yang buruk.3,4 Sampai saat ini di Indonesia saturasi transferin masih dipakai sebagai pedoman dalam pemberian terapi besi. Dimana saturasi transferin ini sebaiknya dievaluasi pada setiap bulannya dengan target 20-50%. Dosis terapi besi disesuaikan dengan kadar saturasi transferin dan feritin serum. Dimana jika kadar saturasi transferin >50%, terapi besi ditunda namun terapi ESA tetap dilanjutkan.4 Pada penelitian ini, rata-rata angka saturasi transferin adalah 56,59% (38,2) (Tabel 5.1.1). Hal ini menunjukkan bahwa kadar besi masih cukup pada pasien-pasien tersebut, sehingga belum perlu diberikan suplemen besi, hanya terapi ESA saja.
Resistensi terhadap ESA berdasarkan European Best Practice Guideline
menyebabkan keadaan ini, antara lain : kehilangan darah kronis, hiperparatiroidisme, hemoglobinopati, defisiensi folat, malignansi, malnutrisi, hemolisis, dialisis yang inadekuat dan efek samping obat.4,34 Pada penelitian ini juga dijumpai 51 pasien (61.3%) (Tabel 5.1.1) masih menderita anemia dengan kadar Hb < 10 mg/dl dimana pasien-pasien tersebut telah mendapatkan terapi ESA selama > 3 bulan sebelumnya. Keadaan ini dapat diasumsikan sebagai akibat dari tingginya kadar feritin kebanyakan pasien (> 500 ng/ml) dimana menguatkan hasil penelitian bahwa hiperferitinemia berkorelasi terhadap kejadian malnutrisi dan inflamasi pada pasien-pasien hemodialisis reguler.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini serta pembahasannya, dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut :
1. Terdapat hubungan positif yang kuat antara feritin serum dengan beberapa penanda inflamasi yaitu CRP dan malnutrisi yaitu skor MIS pada kelompok pasien-pasien hemodialisis reguler di RSUP Haji Adam Malik dan RSUD Dr Pirngadi Medan
2. Pada penelitian ini lebih banyak dijumpai kadar feritin serum > 500 ng/ml pada pasien-pasien hemodialisis di RSUP Haji Adam Malik dan RSUD Dr Pirngadi Medan
3. Terdapat 61,7% pasien hemodialisis mengalami keadaan anemia (Hb < 10 gr/dl) walaupun telah medapatkan terapi ESA selama > 3 bulan yang mencerminkan keadaan inflamasi dan malnutrisi yang terjadi pada pasien-pasien ini
6.2 Saran
1. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar dan bersifat prospektif untuk mendapatkan hubungan yang lebih sesuai dan agar dapat diaplikasikan secara klinis di unit-unit dialisis 2. Pemeriksaan status besi, skor MIS dan CRP perlu dilakukan sebelum
terapi ESA dimulai oleh karena hal tersebut diatas merupakan faktor-faktor yang menghambat respon terapi ESA.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tong EM, Nissenson AR. Erythropoietin and anemia. Semin Nephrol. 2001; 21:190–203.
2. Nurko S. Anemia in chronic kidney disease : Causes, diagnosis, treatment. Cleveland Clinic Journal pf Medicine. 2006; 73 : 289-297
3. National Kidney Foundation I, Kidney-Dialysis Outcome Quality Initiative. K/DOQI clinical practice guidelines : anemia. Am J Kidney Dis 2001; 37 4. Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Pengkajian Status Besi dan Terapi Besi.
Konsensus Manajemen Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik. Ed II. 2011 : 11-16
5. Nakanishi T, Kuragano T, et al. Importance of Ferritin for Optimizing Anemia Therapy in Chronic Kidney Disease. Am J Nephrol 2010; 32 : 439-446
6. Kalantar Zadeh K, Lee GH. The Fascinating but Deceptive Ferritin : To Measure It or Not to Measure It in Chronic Kidney Disease? Clin J Am Soc Nephrol 2006 ; 1 : S9-S18
7. Ford BA, Coyne DW, et al. Variability of ferritin measurements in chronic kidney disease ; implications for iron management. Kidney International, 2008
8. Steinvinkel P, Barany P. Aneamia ESA resistance, and cardiovascular disease in end-stage renal failure: Links to inflamation and oxidative stress. Nephrol Dial Transplant. 2002; 17(Suppl 5):32–37.
9. Kalantar-Zadeh K, Kopple JD. Relative contributions of nutrition and inflammation to clinical outcome in dialysis patients. Am J Kidney Dis 2001; 38:1343–50.
11.Kalantar-Zadeh K, Ikizler TA, Block G, Avram MM, Kopple JD. Malnutrition-inflammation complex syndrome in dialysis patients: causes and consequences. Am J Kidney Dis 2003; 42:864–81.
12.Steiber Al, Kalantar-Zadeh K, et al. Subjective Global Assessment in Chronic Kidney Disease : A Review. Journal of Renal Nutrition 2004 ; 14 : 191-200 13.Kalantar-Zadeh K, Kopple JD, Block G, Humphreys MH. A
malnutrition-inflammation score is correlated with morbidity and mortality in maintenance hemodialysis patients. Am J Kidney Dis 2001; 38:1251–63
14.Kalantar-Zadeh K, McAllister C, Lehn R, Lee G, Nissenson A,Kopple J. Effect of malnutrition–inflammation complex syndromeon erythropoietin hyporesponsiveness in maintenance hemodialysis patients. Am J Kidney Dis. 2003
15.National Kidney Foundation. IV. NKF-K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Anemia of Chronic Kidney Disease: update 2000. Am J Kidney Dis 2001; 37(suppl 1):182–238.
16.Tarif N. Anemia Management in Patients with Chronic Renal Disease : Current Recommendations. Saudi J Kidney Dis Transplant 2002 ; 13 : 331-335
17.Marsden PA MD. Treatment of Anemia in Chronic Kidney Disease- Strategies Based on Evidence. N Engl J Med 2009 ; 361 : 2089-2090
18.Donnelly S. Why is erythropoietin made in the kidney? The kidney functions as a critmeter. Am J Kidney Dis 2001; 38:415–425.
19.Goodnough LT, Skikne B, Brugnara C. Erythropoietin, iron, and erythropoiesis. Blood 2000; 96:823–833.
20.Steinvinkel P. The role of inflammation in the anaemia of end-stage renal disease. Nephrol Dial Transplant. 2001; 16(Suppl 7):36–40.
21.Remuzzi GR, Ingelfinger JR. Correction of Anemia- Payoffs and Problems. N Engl J Med 2006 ; 355 : 2144-2145
23.Kalantar Zadeh K, Rodriguez RA, Humphreys MH. Association between serum ferritin and measures of inflammation, nutrition and iron in haemodialysis patients. Nephrol Dial Transplant 2004 ; 19 : 141-149
24.Steinvinkel P. The role of inflammation in the anaemia of end-stage renal disease. Nephrol Dial Transplant. 2001; 16(Suppl 7):36–40.
25.Macdougall IC, Cooper AC. Erythropoietin resistance : the role of inflammation and pro-inflammatory cytokines. Nephrol Dial Transplant 2002 ; 17 : 39-43
26.Combe Christian MD, McCullough KP MD, et al. Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) and the Dialysis Outcomes and Practice Patterns Study (DOPPS) : Nutrition Guidelines, Indicators and Practices. American Journal of Kidney Diseases 2004 ; 44 : S39-46
27.Riella MC. Malnutrition in dialysis: Malnourishment or uremic inflammatory response? Kidney International 2000 ; 57 : 1211-1232
28.Bossola M, Tazza L, et al. Anorexia in hemodialysis patients : An update. Kidney International 2006 ; 70 : 417-422
29.Mitch WE, Maroni BJ. Factors Causing Malnutrition in Patients With Chronic Uremia. American Journal of Kidney Diseases 1999 ; 33 : 176-179 30.Bossola M, Muscaritoli M, et al. Malnutrition in Hemodialysis Patients :
What Therapy? American Journal of Kidney Disease 2005 ; 46 : 371-386 31.Kopple JD. Pathophysiology of Protein-Energy Wasting in Chronic Renal
Failure. Journal Nutritional 1999 ; 129 : 247S-215S
32.Wolfson M. Management of Protein and energy intake in dialysis patient. J Am Soc Nephrol ; 10 : 2244-2247
33.Kalantar-Zadeh K, Hoffken B, Wunsch H, Fink H, Kleiner M, Luft FC. Diagnosis of iron deficiency anemia in renal failure patients during the post-erythropoietin era. Am J Kidney Dis 1995; 26: 292–299
Lampiran 1 : Lembaran Penjelasan Kepada Calon Subyek Penelitian
LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN
Selamat pagi/siang Bapak/Ibu, pada hari ini, saya Dr. Melati Silvanni Nst akan melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan antara feritin serum dengan inflamasi, nutrisi dan besi pada pasien-pasien hemodialisis reguler”. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan feritin serum sebagai penanda adanya keadaan inflamasi dan malnutrisi pada pasien-pasien hemodialisis reguler dimana sebelumnya feritin serum hanya diketahui sebagai penanda kelebihan zat besi dalam tubuh saja. Dimana sebelumnya akan dinilai dahulu status nutrisi dan inflamasi pasien dengan menggunakan skor malnutrisi inflamasi, lalu dilihat hubungannya dengan kadar feritin serum pasien dan bila ternyata kadar feritin serum yang tinggi berhubungan dengan status nutrisi yang jelek dan keadaan inflamasi, maka pemeriksaan ini dapat dilakukan kepada pasien-pasien hemodialisis reguler untuk mendeteksi dini status nutrisi yang jelek dan inflamasi sehingga dapat dilakukan tindakan secara dini sehingga dapat meningkatkan kualitas pasien-pasien hemodialisis reguler.
Pada Bapak/Ibu yang bersedia mengikuti penelitian ini nantinya akan diharuskan mengisi surat persetujuan ikut dalam penelitian, mengikuti wawancara, pemeriksaan antropometri berupa berat badan, tinggi badan dan lingkar lengan atas lalu pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah sebanyak 10 cc oleh ahlinya untuk menilai darah rutin, fungsi hati, fungsi ginjal, fungsi besi, penanda inflamasi (CRP) dan albumin.
Segala biaya pemeriksaan laboratorium dan penyediaaan obat menjadi tanggung jawab peneliti. Bila masih terdapat pertanyaan, maka Bapak/Ibu dapat menghubungi saya :
Nama : Dr. Melati Silvanni Nasution Alamat : Jl. Amal No 59 Medan Sunggal Telepon/ HP : 08126571758
Peneliti :
Lampiran 2 : Surat Pernyataan Persetujuan (Informed Consent)
SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN
(INFORMED CONSENT)
Saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : ………
Alamat : ………
Umur : …………Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki/Perempuan
Setelah mendapat penjelasan dari peneliti tentang kebaikan dan keburukan prosedur penelitian ini, saya menyatakan bersedia
Demikian surat persetujuan bersedia ikut dalam penelitian ini saya buat untuk dapat dipergunakan seperlunya.
ikut serta dalam penelitian tentang “Hubungan antara feritin serum dengan inflamasi, nutrisi dan besi pada pasien-pasien hemodialisis reguler”. Apabila sewaktu-waktu saya mengundurkan diri dari penelitian ini, kepada saya tidak dituntut apapun.
Medan, ………..2012
Lampiran 6 : Daftar Riwayat Hidup Peneliti
DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. Identitas
Nama : Dr. Melati Silvanni Nasution Tempat/Tgl Lahir : Pd.Sidempuan/ 10 Oktober 1982 Suku/Bangsa : Mandailing/ Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Jl. Amal No 59-61 Medan Sunggal
II. Keluarga
Suami : Dr. Ali Nafiah Nasution, SpJP
III.Pendidikan
SD Persit II Medan, Tamat Tahun 1994 SMPN I Medan, Tamat Tahun 1997 SMAN 1 Medan, Tamat Tahun 2000
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Tamat Tahun 2006 Peserta PPDS Ilmu Penyakit Dalam FK USU, tahun 2007-sekarang
IV.Riwayat Pekerjaan
Staf Pengajar Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, tahun 2008-sekarang
Dokter Konsultan Daerah di RSUD Langsa, tahun 2010
V. Perkumpulan Profesi
1. Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)
VI. Karya Ilmiah
1. Melati Silvanni Nasution, R. Tunggul Ch Sukendar, Salli Roseffi Nasution. Proteinuria on HIV Patient. Laporan Kasus. Kongres Nasional X Perhimpunan Nefrologi Indonesia dan Annual Meeting, Bandung, 28-30 November 2008.
2. Melati Silvanni Nasution, Dasril Effendi, Lukman Hakim Zain.
Penyuntikan Sianoakrilat pada Perdarahan Varises Fundus
Lambung. Laporan Kasus. Kongres Perhimpunan Ahli Penyakit