• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Dan Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Dalam Mendukung Green City Kota Ungaran Kabupaten Semarang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Dan Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Dalam Mendukung Green City Kota Ungaran Kabupaten Semarang"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

TERBUKA HIJAU DALAM MENDUKUNG

GREEN CITY

KOTA UNGARAN KABUPATEN SEMARANG

ANTONIUS DWI YUNIANTO

A156130244

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis dan Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau dalam Mendukung Green City Kota Ungaran Kabupaten Semarang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(3)

ANTONIUS DWI YUNIANTO. Analisis dan Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau dalam Mendukung Green City Kota Ungaran Kabupaten Semarang. Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS dan KHURSATUL MUNIBAH.

Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan kebutuhan penting bagi sebuah wilayah perkotaan dan merupakan amanat Undang-Undang Penataan Ruang. Kota Ungaran saat ini memiliki luasan RTH publik yang masih dibawah 20%. Hal tersebut menjadikan Kota Ungaran belum memenuhi salah satu syarat dalam menuju Green City. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian terkait analisis kondisi eksisting RTH berdasar kebutuhan penduduk dan kebutuhan luas wilayah sehingga dapat dirumuskan suatu arahan pengembangan RTH dalam mendukung Kota Ungaran menuju Green City. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi dan menganalisis luas dan dsitribusi kondisi eksisting RTH; (2) Menganalisis kebutuhan RTH Kota Ungaran guna memenuhi ketentuan yang ditetapkan undang-undang yang berlaku; (3) Menganalisis areal yang berpotensi untuk pengembangan RTH (4) Menyusun perencanaan RTH yang berbasis konsep Kota Hijau (Green Planning); dan (5) Menyusun perancangan RTH yang berbasis konsep Kota Hijau (Green Design). Analisis dilakukan dengan menggunakan metode Patch Analysis, Analisis RTH berbasis kebutuhan penduduk dan luas wilayah danAnalytic Hierarchy Process(AHP).

Hasil pemetaan RTH yang ada di Kota Ungaran seluas 2.190,7 ha atau sebesar 71,6% dari luas wilayah. RTH tersebut terdiri dari RTH privat seluas 2.112,7 ha atau 69,0% dan RTH publik seluas 77,9 ha atau sebesar 2,5%. Pemetaan tersebut menunjukan prosentase RTH privat sudah mencukupi kebutuhan minimal sebesar 10%. RTH publik mengalami masalah kekurangan luasan yaitu masih kurang dari 20%. Distribusi RTH publik tertinggi terdapat pada Kelurahan Beji (0,6%) dan terendah Kelurahan Nyatnyono yang belum tersedia RTH publik.

(4)

dalam dua bagian, yaitu arahan berfokus pada penambahan luas RTH publik (minimal 20%) dan arahan berfokus pada upaya menjaga keberadaan RTH privat (minimal 10%). Arahan pengembangan RTH publik dibagi tiga alternatif, pertama pengembangan RTH publik berdasarkan pertimbangan gabungan kriteria green planning (keberimbangan distribusi, ketersediaan aset daerah, prioritas landuse, jarak, luas minimal, bentuk dan pola ruang). Alternatif kedua merupakan upaya alih fungsi Hutan Produksi/Hutan Produksi Terbatas (HP/HPT) menjadi Taman Hutan Raya (TAHURA) serta optimalisasi aset daerah sebagai RTH publik. Alternatif ketiga merupakan alih fungsi 70% luas HP/HPT menjadi TAHURA serta optimalisasi 70% luas aset daerah sebagai RTH publik.

Arahan pengembangan RTH berdasarkan pendekatan green design membagi perancangan berdasarkan hirarki skala pelayanan serta kebutuhan akan pola aktifitas dan fungsi RTH publik. Berdasarkan pola aktifitas, rancangan dibagi atas RTH aktif dan RTH pasif. Berdasarkan fungsi RTH dibagi menjadi RTH fungsi ekologis dan RTH fungsi sosial budaya. Perancangan RTH juga mempertimbangkan konsep alun-alun sebagai wujud kearifan lokal.

(5)

ANTONIUS DWI YUNIANTO. The Analysis and Guidance for Green Open Space Development in Supporting Green City of Ungaran City, Semarang Regency. Supervised by SANTUN R.P. SITORUS dan KHURSATUL MUNIBAH.

The availability of the green open space is an important need for an urban area and is a mandate of the space structuring law. At the moment, the width of the green open space of Ungaran is still under 20 percent, which makes Ungaran is not yet to fulfill one of the requirements of being a green city. Because of that a research is need to be conducted in relation with the existence condition of the green open space based on the inhabitant's need and width of area's need to create a development guidance of green open space to support Ungaran in becoming a green city. The objectives of this research are: (1) To identify and analyze the width and the distribution of green open space existence condition;(2) To analyze the green open space needs of ungaran to fulfill the requirements pronounced by the law; (3) To analyze potential area for green open space development; (4) To draw a plan of green open space based on the Green City concept (green planning); (5) To create a design of green open space based on the Green City concept (Green Design). The analysis will be conducted using the Patch Analysis method, green open space analysis based on the inhabitant's need and area width, and the Analytic Hierarchy Process (AHP).

Green Open Space mapping result of Ungaran city is 2.190,7 ha or 71,6% from area width. The Green Open Space (GOS) consists of 2.112,7 ha private GOS or 69,0% and 77,9 ha public GOS or 2,5%. That mapping shows that the percentage of private GOS have fulfilled 10% of the minimum requirement whereas the public RTH is lack of its capacious which is still under 20%. The highest distribution of public RTH is at Beji District (0,6%) and the lowest one is at Nyatnyono District which has not had the public GOS yet.

The analysis result of public GOS needs based on the population in 2012 is 195,5 ha or 6,9%. Based on the total projection of population in 2032 the public GOS needs is 292,4 ha or 9,6% from the area width. Whereas the needs of public GOS based on the 20% area width is 612,2 ha. The stakeholder preference analysis shows that the planning and concept design of GOS are disseminate and calculate the distance to the residence with 0,58 value. The AHP process shows consistent result, it is showed from the CI consistency index value which is 0,018 and RI/CI ratio which is 0,016, and both values are under 0,1.

The analysis result of potential public GOS area based on green planning criteria is 1.099,8 ha. The potential area for public GOS development is divide into 3 priority class, class 1 is 31,9 ha, class 2 : 485,0 ha and class 3 : 612,9 ha. The potential of agriculture area that can be developed as the private GOS is 404,0 ha (13,2%).

(6)

authority, landuse priority, distance to the residence, minimum width, area form complexity and the area type consideration). The second alternative is an effort to change the function of Hutan Produksi/Hutan Produksi Terbatas becomeTaman Hutan Raya and optimization regional asset authority as public GOS. The third alternative is an effort to change the function of Hutan Produksi/Hutan Produksi Terbatas (70% total area) become Taman Hutan Raya and optimization regional asset authority as public GOS (70% total area).

The direction of GOS development based on the green design approach divides the plan based on hierarchy of the necessity GOS scale, the necessity of activity type and public GOS function. Based on the necessity of activity, the design is divided into active public GOS and passive public GOS. Based on the public GOS function is divided into ecological public GOS and social culture aesthetic public GOS. The design concept of GOS is base onalun alunas local wisdom concept.

(7)

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

ANALISIS DAN ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG

TERBUKA HIJAU DALAM MENDUKUNG

GREEN CITY

KOTA UNGARAN KABUPATEN SEMARANG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(9)

Martianto, MS

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Ir Marimin, MS

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas segala kasih dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah Ruang Terbuka Hijau, dengan judul Analisis dan Arahan Pengembangan RTH dalam Mendukung Green City Kota Ungaran Kabupaten Semarang.

Penelitian ini dilaksanakan untuk menganalisis kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Ungaran berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, preferensi pemangku kegiatan yang mengacu pada konsep Kota Hijau serta kesesuaian dengan penggunaan lahan dan karakter setempat. Untuk itu hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi arahan dalam pengembangan RTH di Kota Ungaran menuju Kota Hijau.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Dr Khursatul Munibah, M.Sc. selaku Anggota Komisi Pembimbing serta Ibu Dr R. Siti Rukayah MT. selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberi arahan, saran dan bimbingan. Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi upaya pengembangan RTH di Kota Ungaran menuju Kota Hijau.

.

Bogor, Januari 2015

(13)

DAFTAR TABEL xii

Green Planning and Design 6

Ruang Terbuka Hijau (Green Open Space) 7

Jenis dan Tipologi RTH 8

Penggunaan Lahan dan Perubahan RTH 10

Kebutuhan dan Kecukupan RTH 11

Analytic Hierarchy Process(AHP) 12

Analisis Indeks LanskapPatch Analysis 12

Kearifan Lokal Alun-Alun 13

TeoriFigure Ground, Linkage and Place 13

Partisipasi Masyarakat 14

METODE PENELITIAN 15

Lokasi dan Waktu Penelitian 15

Jenis dan Sumber Data 16

Teknik Pengumpulan Data 16

Bahan dan Alat 19

Metode Analisis 19

Pemetaan dan Identifikasi RTH 19

Analisis Kebutuhan RTH 20

Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk 20

Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Wilayah 21

Analisis PreferensiStakeholder 21

Analisis Areal Yang Berpotensi Untuk Pengembangan RTH 23

Kriteria Aset Daerah 24

Kriteria Penggunaan Lahan (Landuse) 24

Kriteria Jarak 24

Kriteria Luas Minimal 24

Kriteria Bentuk 25

Kriteria Pola Ruang 25

(14)

PendekatanGreen Planning 26

PendekatanGreen Design 26

PendekatanGreen Open Space 30

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 32

Administrasi dan Kondisi Fisik Wilayah 32

Pengunaan Lahan 35

Demografi Penduduk 35

Kondisi Sosial Ekonomi 36

HASIL DAN PEMBAHASAN 37

Identifikasi dan Pemetaan Kondisi RTH Eksisting 37

Analisis Kebutuhan RTH Publik 42

Kebutuhan RTH berdasarkan Jumlah Penduduk 42

Kebutuhan RTH berdasarkan Luas Wilayah 43

Analisis Preferensi Pengembangan RTH 44

Analytic Hierarchy Process(AHP) 44

Areal Yang Berpotensi Untuk Pengembangan RTH 45

Arahan Pengembangan RTH 47

Arahan Pengembangan RTH Publik Alternatif I 48 Arahan Pengembangan RTH Publik Alternatif II 51 Arahan Pengembangan RTH Publik Alternatif III 53 Penganggaran Dalam Rencana Pengembangan RTH Publik 53

Arahan Pengembangan RTH Privat 54

Arahan PengembanganGreen Design 54

Perancangan Pada Skala Kota 56

Perancangan Pada Skala Lingkungan 61

SIMPULAN DAN SARAN 65

Simpulan 65

Saran 66

DAFTAR PUSTAKA 67

LAMPIRAN 71

(15)

1 Jenis RTH dan Kepemilikan 9

2 Jenis RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk 10

3 Jenis dan Sumber Data 17

4 Kriteria Stakeholders, Instansi, dan Jumlah Responden 19 5 Skala Perbandingan dalam Mengekspresikan Pendapat 23 6 Penyusunan Prioritas Areal Yang Berpotensi untuk Pengembangan

RTH 23

7 RTH KonsepGreen City 30

8 Penggunaan Lahan Tahun 2012 35

9 Kepadatan Penduduk Tahun 2012 39

10 Sektor Lapangan Usaha Yang Dominan 39

11 Luas Penggunaan Lahan Sekarang 38

12 Perbandingan Model Pertumbuhan 42

13 Kebutuhan RTH Publik Berdasarkan Jumlah Penduduk 43 14 Kebutuhan RTH Publik Berdasarkan Luas Wilayah 44 15 Areal yang Berpotensi untuk Pengembangan RTH Publik 46 16 Arahan Pengembangan RTH Publik Alternatif I 49

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pikir Penelitian 4

2 HirarkiGreen Open SpacePerkotaan 8

3 Bentuk RTH 9

4 Peta Lokasi Penelitian 15

5 Hirarki Proses AHP 22

6 Pendekatan Bentuk KotaFigure Ground 27

7 Pendekatan KonsepLinkage 27

8 Pendekatan KonsepPlacememberi makna historis 28

9 Contoh Konsep RTHGreen Designberhierarki 28

10 Contoh Konsep Jalur HijauGreen Design 29

11 KonsepGreen DesignMemanfaatkan Area Sempit 29

12 Tahapan Pelaksanaan Penelitian 31

13 Peta Administrasi 32

14 Peta Curah Hujan 33

15 Peta Geologi 34

16 Peta Tanah 34

17 Penggunaan Lahan Sekarang 37

18 Sebaran Spasial RTH 40

19 Distribusi RTH Privat dan Publik 41

20 Bentuk RTH Publik di Kota Ungaran 41

21 Diagram Hasil Pembobotan AHP 45

22 Sebaran Spasial Areal yang Berpotensi untuk Pengembangan RTH

(16)

23 Sebaran Spasial Arahan Pengembangan RTH Publik 48 24 Arahan Pengembangan RTH Publik Alternatif II 52

25 PendekatanFigure Grounduntuk RTH Publik 56

26 Konsep Rancangan Place and Linkage dan Lokasi Rancangan untuk

RTH Publik 57

27 Konsep Model RTH Publik sebagaiLandmark 58

28 Contoh Model RTH Pada JalurPedestrianYang Lebar 59 29 Pemanfaatan Jalur Pedestrian Yang Sempit Berfungsi sebagai RTH 60

30 Contoh Model RTH Publik Lingkungan RT 61

31 Perspektif Model RTH Publik Lingkungan RT 62

32 Contoh Model RTH Publik Lingkungan RW, Kelurahan, Kecamatan 62 33 Perspektif Model RTH Publik Lingkungan RW, Kelurahan, Kecamatan 63 34 Konsep Alun-Alun Sebagai Model Pengembangan RTH 63 35 PemanfaatanFacadeDinding Difungsikan sebagai RTH 64

DAFTAR LAMPIRAN

1 Grafik Hasil Perhitungan Model Pertumbuhan 71

2 Hasil Perhitungan AHP Pada Level 1 Kriteria Distribusi RTH 72 3 Hasil Perhitungan AHP Pada Level 2 Kriteria Pengembangan RTH 73 4 Hasil Perhitungan AHP Level 3 Sub Kriteria Pengembangan RTH 74

5 Hasil Akhir Perhitungan AHP 75

6 Data Penguasaan Aset Daerah (ha) 76

7 Peta Potensi Areal Berdasarkan Jarak 77

8 Peta Potensi Areal Berdasarkan Luas Minimal 78

9 Peta Potensi Areal Berdasarkan Bentuk (MSI) 79

10 Sebaran Spasial Data Cek Lapang 80

11 Data Cek Lapang 81

(17)

Latar Belakang

Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam bentuk ruang publik maupun privat memiliki peran yang penting bagi kehidupan manusia. RTH berperan penting dalam pembangunan kota berkelanjutan dan ekologi kota yang mampu memberi manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan (Chiesura, 2004; Zhou dan Wang, 2011 dalam Yuhong et al., 2014). Manfaat ekologis RTH antara lain karena vegetasi yang ada mampu berperan dalam membentuk iklim mikro bagi lingkungan sekitar dan mampu mengurangi efek panas (Buyadi et al., 2013). RTH mampu memberi ruang bagi manusia dalam mewadahi aktivitas/kebutuhan sosial, baik untuk olahraga, bersosialisasi dengan manusia lainnya maupun aktivitas sosial budaya lainnya. RTH juga berperan sebagai wadah bagi aktivitas ekonomi lokal/pasar (Rukayahet al., 2012).

RTH merupakan area yang harus disediakan oleh sebuah kota. Hal ini sejalan dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 29 yang menyebutkan bahwa proporsi RTH pada wilayah kota minimal 30% dari luas wilayah kota. RTH terdiri atas RTH publik dan privat dimana proporsi RTH publik minimal sebesar 20% dan RTH privat 10% dari luas wilayah kota. Distribusi RTH menurut pasal 30 Undang-Undang Penataan Ruang disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hirarki struktur ruang kota.

Terbangunnya jalan tol Semarang-Solo seksi I (Tembalang-Ungaran) turut mendukung perkembangan ekonomi Kota Ungaran. Sejalan dengan perkembangan sektor-sektor ekonomi menyebabkan kebutuhan sumberdaya lahan meningkat untuk penyediaan sarana pendukung (Sitorus et al., 2011). Selain sektor ekonomi, adanya pertambahan jumlah penduduk cenderung mendorong perubahan penggunaan lahan dalam hal pemenuhan kebutuhan tempat tinggal. Perkembangan Kota Ungaran cenderung meningkat tetapi terlihat tidak dibarengi peningkatan jumlah fasilitas publik, khususnya penyediaan RTH. Sebuah kota yang semakin berkembang dan tidak mengakomodasi penyediaan lahan untuk RTH akan mengalami kesulitan dikemudian hari dengan semakin sempitnya lahan serta naiknya nilai lahan.

Kota Ungaran memiliki beberapa titik ruang terbuka hijau publik yang dikelola oleh pemerintah daerah dengan luas keseluruhan 2,08 ha (DPU Kabupaten Semarang, 2013). Jika dibandingkan dengan luas kota Ungaran seluas 3.060,9 ha (BPS, 2013), maka RTH Kota Ungaran hanya 0,07% dari luas kota. Kondisi ini tentu belum sesuai dengan amanat Undang-Undang Penataan Ruang yang mensyaratkan luas minimal 20% dari luas kota.

Alun-alun merupakan bentuk kearifan lokal RTH yang terbukti berkelanjutan (Rukayah et al., 2013). Konsep alun-alun yang ada di Jawa memiliki ciri adanya pohon beringin yang membentuk sumbu kosmis. Kota Ungaran memiliki beberapa alun-alun, akan tetapi rancangan yang ada belum mengacu pada konsep alun-alun sebagai bentuk warisan budaya.

(18)

mewujudkan kota yang berkelanjutan. Atribut utama dalam Green City adalah pemenuhan green open space dan green planning and design (Kementerian PU, 2013). Kota Hijau sebagai tujuan utama pembangunan memiliki peran penting dalam menjamin keseimbangan dan keberlanjutan sektor ekonomi, sektor sosial dan kelestarian lingkungan wilayah. Kota Ungaran sebagai ibukota Kabupaten Semarang saat ini berusaha mengarah pada terciptanya Kota Hijau. Upaya Kota Ungaran ini memang belum optimal terlihat dari penyediaan RTH publik yang masih belum memenuhi amanat Undang-Undang Penataan Ruang.

Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) merupakan upaya pemerintah pusat guna menstimulasi pemerintah daerah agar dalam pembangunan daerah mengacu pada prinsip pembangunan berkelanjutan. Kota Ungaran saat ini belum termasuk sebagai kota pada Program Pengembangan Kota Hijau sehingga perencanaan pengembangan RTH berbasis Green City (green planning and design) belum tersedia. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian guna mengidentifikasi kebutuhan RTH yang nantinya dapat menjadi arahan pengembangan RTH bagi kota Ungaran dalam menuju Kota Hijau.

Perumusan Masalah

Pembangunan berbasis Kota Hijau berperan penting dalam pencapaian keberlanjutan dan keseimbangan antara sektor ekonomi, sektor sosial dan sektor lingkungan. Kota Ungaran saat ini belum mengakomodasi pembangunan berbasis pada atribut Kota Hijau. Green Open Space sebagai atribut penting dalam tercapainya Kota Hijau masih belum menjadi prioritas dalam arah pembangunan Kota Ungaran.

Luas RTH publik di Kota Ungaran sebesar 0,07% (kurang dari 20%) merupakan persoalan yang masih belum diakomodasi oleh pemerintah setempat. Hal tersebut dapat dimungkinkan terjadi oleh karena pemerintah daerah belum memiliki arahan dalam perencanaan dan perancangan RTH yang berbasis Kota Hijau.

Kota Ungaran saat ini belum memiliki informasi dan data RTH yang baik serta akurat, terutama data sebaran spasial RTH. Ketersediaan informasi dan data sangat penting dalam mendukung pengembangan RTH berbasis Kota Hijau.

Permasalahan yang dihadapi kota Ungaran terkait penyediaan RTH dipengaruhi beberapa faktor diantaranya pertumbuhan aktivitas ekonomi, pertumbuhan penduduk serta kebijakan pemerintah daerah. Pertumbuhan aktivitas ekonomi cenderung meningkatkan nilai lahan. Kebijakan pemerintah daerah yang tidak segera memenuhi kebutuhan lahan RTH akan berhadapan dengan permasalahan penganggaran seiring naiknya nilai lahan. Jumlah penduduk pada tahun 2002 sebesar 75.834 jiwa meningkat pada tahun 2012 menjadi 97.736 jiwa naik sebesar 28,9% selama sepuluh tahun dengan rata-rata per tahun naik 2,9%. Peningkatan jumlah penduduk secara alami akan meningkatkan kebutuhan lahan pemukiman yang cenderung memanfaatkan lahan RTH.

Atas dasar perumusan masalah diatas disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Berapa luas dan bagaimana distribusi RTH sekarang di Kota Ungaran? 2. Berapa kebutuhan RTH berdasarkan pendekataan atributGreen City(Green

(19)

3. Berapa areal yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai RTH?

4. Bagaimana perencanaan RTH (Pendekatan Green Planning) untuk mendukung Kota Ungaran menujuGreen City?

5. Bagaimana konsep perancangan RTH (Pendekatan Green Design) untuk mendukung Kota Ungaran menujuGreen City?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi dan menganalisis luas dan distribusi kondisi eksisting RTH.

2. Menganalisis kebutuhan RTH Kota Ungaran guna memenuhi ketentuan yang ditetapkan undang-undang yang berlaku.

3. Menganalisis areal yang berpotensi untuk pengembangan RTH. 4. Menyusun perencanaan RTH yang berbasis konsep Kota Hijau. 5. Menyusun perancangan RTH yang berbasis konsep Kota Hijau

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam memberikan informasi kondisi eksisting RTH yang ada di Kota Ungaran dan memberi masukan bagi pemerintah daerah dalam mengarahkan perencanaan pembangunan kota Ungaran yang seimbang antara aspek ekonomi, sosial, budaya dengan lingkungan dalam hal ini dengan penyediaan RTH.

Kerangka Pemikiran

Penyediaan RTH di Kota Ungaran sebesar 30% (20% RTH publik dan 10% RTH privat) dari luasan kota merupakan kewajiban yang diamanatkan undang-undang. Untuk mengetahui informasi kondisi RTH eksisting di Kota Ungaran maka pada tahap awal dilakukan identifikasi luasan dan sebaran RTH. Hal ini dilakukan dengan mengintepretasi citra satelit, verifikasi dengan peta landuse RTRW serta pengecekan lapangan.

Pada tahap selanjutnya dilakukan pendekatan analisis berbasis atribut Kota Hijau (Green Planning and Design dan Green Open Space) terhadap kondisi eksisting RTH Kota Ungaran. Untuk mengetahui preferensi kriteria pengembangan RTH maka dilakukan pendekatan terhadap pemangku kepentingan RTH, baik dari unsur pemerintah maupun unsur masyarakat dengan pendekatan AHP. Selanjutnya dilakukan pendekatan analisis kesesuaian dengan pola dan struktur ruang dalam RTRW. Analisis ini mencoba pendekatan terhadap pola dan sebaran RTH yang dievaluasi secara berhierarki berdasarkan struktur ruang kota.

(20)

Perumusan masalah :

• Luas RTH publik kurang dari 20% • Belum ada data spasial RTH • Belum ada perencanaan dan

perancangan RTH berbasisGreen City

Pemetaan /

Identifikasi RTH eksisting

Pendekatan Pola dan Struktur Ruang

RTRW

Analisis Kebutuhan RTH Kota Ungaran

Arahan Pengembangan RTH Kota Ungaran

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

Pendekatan Green Open

Space Pendekatan AtributGreen

City

Pendekatan Green Planning

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Kota Hijau (Green City)

Kota Hijau merupakan gambaran ideal untuk sebuah kota yang mampu menembus dimensi waktu, dimensi ruang dan budaya (Hestmark, 2000 dalam Jim, 2004). Pembentukan Kota Hijau yang ideal mengikuti karakter sosial, ekonomi, politik dan lingkungan fisik (Jim, 2004). Kota Hijau merupakan sebuah metafora dari pencapaian tujuan-tujuan pembangunan perkotaan berkelanjutan. Pembangunan perkotaan yang berkelanjutan mampu mengurangi efek polusi, memberi dampak positif terhadap perbaikan kesehatan lingkungan (Finco et al., 2003 dalam Jim, 2004). Kunci utama dalam membentuk kota layak huni dan berkelanjutan adalah dengan melakukan pembangunan ruang terbuka hijau pada area perkotaan (Jim, 2004). Jamilah et al., (2013) menggunakan pendekatan Kota Hijau yaitu atributGreen Open Space dalam arahan pengembangan RTH di Kota Kandangan dengan upaya membangun lahan hijau baru, koridor hijau serta peningkatan kualitas RTH kota.

Beberapa pengertian Green Citydalam Panduan Program Kota Hijau tahun 2013 diantaranya adalah (Kementerian PU, 2013) :

1. Kota Hijau dapat dipahami sebagai kota yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan secara efektif dan efisien sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin kesehatan lingkungan, mensinergikan lingkungan alami dan buatan, berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

2. Kota yang didesain dengan mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan, dihuni oleh orang-orang yang memiliki kesadaran untuk meminimalisir (penghematan) penggunaan energi, air dan makanan, serta meminimalisir buangan limbah, percemaran udara dan pencemaran air. 3. Kota yang mengutamakan keseimbangan ekosistem hayati dengan

lingkungan terbangun sehingga tercipta kenyamanan bagi penduduk kota yang tinggal di dalamnya maupun bagi para pengunjung kota.

4. Kota yang dibangun dengan menjaga dan memupuk aset-aset kota-wilayah, seperti aset manusia dan warga yang terorganisasi, lingkungan terbangun, keunikan, dan kehidupan budaya, kreativitas dan intelektual, karunia sumberdaya alam, serta lingkungan dan kualitas prasarana kota.

Atribut Kota Hijau menurut beberapa ahli dan organisasi lingkungan dunia terdiri dari beberapa atribut, akan tetapi di Indonesia atribut Kota Hijau dikembangkan menjadi 8 (delapan) atribut (Kementerian PU, 2013). Kedelapan atribut Kota Hijau tersebut adalah sebagai berikut :

1. Green Planning and Design, perencanaan dan perancangan yang beradaptasi pada biofisik kawasan.

(22)

3. Green Waste, Usaha untuk zero waste dengan melaksanakan prinsip 3R yaitu mengurangi sampah/limbah, mengembangkan proses daur ulang dan meningkatkan nilai tambah.

4. Green Transportation, Pengembangan sistem transportasi yang berkelanjutan, misal : transportasi publik, jalur sepeda, dsb.

5. Green Water, Efisiensi pemanfaatan sumberdaya air.

6. Green Energy, Pemanfaatan sumber energi yang efisien dan ramah lingkungan.

7. Green Building,Bangunan hemat energi.

8. Green Community, Kepekaan, kepedulian dan peran serta aktif masyarakat dalam pengembangan atribut-atribut kota hijau.

Green Planning and Design

Green Planning and Design dapat diartikan sebagai suatu perencanaan dan perancangan wilayah/kota/kawasan yang memperhatikan kapasitas daya dukung lingkungan, efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya dan ruang, mengutamakan keseimbangan lingkungan alami dan terbangun dalam rangka mewujudkan kualitas ruang wilayah/kota/kawasan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan (Kementerian PU, 2013). Bagea (2014) melakukan evaluasi penerapan Kota Hijau, dimana atribut green planning and designtelah mencapai 50% dalam perencanaan di Kota Tangerang. Widasari (2014) melakukan evaluasi penerapan Kota Hijau di Kota Bekasi, dimana atribut green planning and design baru mencapai 12,5%. Desdyanza (2014) melakukan evaluasi penerapan Kota Hijau di Kota Bogor, dimana atributgreen planning and designmencapai 12,5%.

Beberapa bentuk dan model Green Planning and Design dalam konsep Program Pengembangan Kota Hijau adalah sebagai berikut (Kementerian PU, 2013) :

1. Compact City, menekankan pada usaha untuk mengurangi/mengendalikan perluasan area kota yang dari waktu ke waktu semakin luas yang diakibatkan oleh urban sprawl. Adanya usaha untuk melakukan simbiosis antara alam dan populasi tinggi, misalnya dengan pengembangan atau pembangunan bangunan-bangunan vertikal sehingga kebutuhan akan ruang terbuka hijau dapat terpenuhi.

2. Mixed-Use Development, merupakan suatu pengembangan produk properti yang terdiri dari baik itu produk perkantoran, hotel, tempat tinggal, komersial yang dikembangkan menjadi satu kesatuan atau minimal dua produk properti yang dibangun dalam satu kesatuan. Konsep ini menjawab kebutuhan akan optimalisasi return pada suatu lahan untuk pengembangan produk properti.

(23)

4. Transit Oriented Development (TOD) merupakan salah satu pendekatan pengembangan kota yang mengadopsi tata ruang campuran dan maksimalisasi penggunaan angkutan massal seperti Busway/BRT, Kereta api kota (MRT), Kereta api ringan (LRT), serta dilengkapi jaringan pejalan kaki/sepeda.

Ruang Terbuka Hijau (Green Open Space)

Ruang terbuka hijau merupakan entitas alam dan budaya yang penting untuk sebuah kota (Yuhong et al., 2014). Ruang terbuka hijau memiliki peran penting dalam pembangunan kota berkelanjutan dan ekologi perkotaan dengan memberikan manfaat, baik dari sisi lingkungan, sosial dan ekonomi (Zhou dan Wang, 2011). RTH memiliki peran penting dalam memenuhi kebutuhan imaterial dan kebutuhan non konsumptif (Chiesura, 2004). Menurut Chiesura (2004), ruang terbuka hijau berperan dalam membangun kota yang berkelanjutan dan memberi dampak positif dari aspek sosial. Semakin luas dan semakin hijau kondisi RTH memberi efek positif terhadap kesehatan (Paquet et al., 2013). Dalam penelitian Dinariana et al., (2009) di Jakarta Utara, RTH memiliki fungsi sebagai daerah resapan air dipertahankan keberadaannya untuk dioptimalkan sebagai daerah pengisian air tanah dan penahan abrasi di sepanjang pantai.

Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam (Pemerintah Republik Indonesia, 2007). Ruang terbuka non hijau adalah ruang terbuka di wilayah perkotaan yang tidak termasuk dalam kategori RTH, berupa lahan yang diperkeras maupun yang berupa badan air (Kementerian PU, 2008). Ruang terbuka hijau privat adalah RTH milik institusi tertentu atau orang perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan. Ruang terbuka hijau publik adalah RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota/kabupaten yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.

RTH baik yang bersifat publik maupun privat merupakan area yang harus disediakan oleh sebuah kota. Hal ini sejalan dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 29 yang menyebutkan bahwa proporsi RTH pada wilayah kota minimal 30% dari luas wilayah kota. RTH dibagi menjadi RTH publik dan privat dimana luasan RTH publik 20% dan RTH privat 10% dari luas wilayah/kota (Kementerian PU, 2007).

(24)

ekonomi dan fungsi estetika. Untuk mengoptimalkan fungsi tersebut penyediaan RTH sebaiknya dilakukan secara berhirarkis dan terpadu dengan sistem struktur ruang yang ada di perkotaan (Gambar 2).

Jenis dan Tipologi Ruang Terbuka Hijau

Jenis RTH berdasarkan pola aktivitas dibedakan menjadi RTH aktif dan RTH pasif. RTH aktif dan pasif mengacu pada luas minimal berbasis Koefisien Dasar Hijau (KDH). KDH adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan (Kementerian PU, 2008). RTH aktif memiliki nilai KDH 70%-80%, sedangkan RTH pasif memiliki nilai KDH 80%-90% (Kementerian PU, 2008). Menurut penelitian Paquet et al., (2013), jenis, ukuran dan tingkat kehijauan RTH mempengaruhi kesehatan manusia. Tipologi RTH yang mampu mendukung kesehatan metabolisme jantung adalah tipe RTH aktif, ukuran yang luas dan tingkat kehijauan yang tinggi (Paquetet al., 2013).

Tipologi RTH secara fisik dapat dibedakan menjadi RTH alami berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional serta RTH non alami atau binaan seperti taman, lapangan olahraga, pemakaman atau jalur-jaur hijau jalan. Secara struktur ruang, RTH dapat mengikuti pola ekologis (mengelompok, memanjang, tersebar), maupun pola planologis yang mengikuti hirarki dan struktur ruang perkotaan (Kementerian PU, 2008). Dari segi kepemilikan, RTH dibedakan ke dalam RTH publik dan RTH privat (Tabel 1).

(25)

RTH dapat berbentuk konsentris, terdistribusi, hierarkis, linier, jaringan atau mengikuti fisiografi (Gambar 3). Jenis RTH berdasarkan jumlah penduduk dapat dibagi dalam 5 kategori (Tabel 2).

Tabel 1. Jenis RTH dan Kepemilikan

Sumber : Kementerian PU (2008)

Gambar 3. Bentuk RTH (Nurisjah, 2005)

No Jenis RTH Publik Privat

1 RTH Pekarangan

a. Pekarangan rumah tinggal v

b. Halaman perkantoran, pertokoan dan tempat usaha v

c. Taman atap bangunan v

2 RTH Taman dan Hutan Kota

a. Taman RT v

b. Taman RW v

c. Taman kelurahan v

d. Taman kecamatan v

e. Taman kota v

f. Hutan kota v

g. Sabuk hijau v

3 RTH Jalur Hijau Jalan

a. Pulau jalan dan median jalan v

b. Jalur pejalan kaki v

c. Ruang dibawah jalan layang v

4 RTH Fungsi Tertentu

a. RTH sempadan rel kereta api v

b. Jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi v

c. RTH sempadan sungai v

d. RTH sempadan pantai v

e. RTH pengamanan sumber air baku/mata air v

(26)

Dilihat dari fungsinya dapat dibedakan menjadi RTH fungsi ekologis, fungsi sosial budaya, fungsi estetika, dan fungsi ekonomi. Menurut penelitian Dewi (2009), RTH dibedakan mengacu pada fungsi, karakter sejarah dan citra zona kawasan, yaitu zona citra bahari, zona citra kolonial, zona citra komersil dan zona citra religius. Hasil penelitian Panduro dan Veie (2013) membagi tipologi RTH berdasarkan kualitas dan kuantitas aksesibilitas RTH, yang dibedakan menjadi 8 yaitu taman kota, RTH alami, RTH danau, taman halaman gereja, lapangan olahraga, area publik, area pertanian dan sabuk hijau.

Penggunaan Lahan dan Perubahan RTH

Lahan merupakan lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruh terhadap penggunaan lahan. Termasuk di dalamnya juga hasil kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang (Sitorus, 2003). Penggunaan lahan (land use) merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan dan terkait dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan (Lillesand dan Kiefer, 1987). Menurut Sitorus (1989) penggunaan lahan merupakan setiap bentuk campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan secara umum adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan atau daerah rekreasi (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

1 250 jiwa Taman RT 250 1,0 ditengah lingkungan RT 2 2500 jiwa Taman RW 1.250 0,5 dipusat kegiatan RW 3 30.000 jiwa Taman

Taman kota 144.000 0,3 dipusat wilayah/kota Hutan kota disesuaikan 4,0 didalam/kawasan

pinggiran

Tabel 2. Jenis RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk

(27)

Sistem penggunaan lahan dapat dikelompokkan menjadi dua pembagian yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Penggunaan lahan pertanian diantaranya sawah, tegalan, kebun, padang rumput, hutan produksi dan sebagainya. Penggunaan lahan non pertanian diantaranya penggunaan lahan perkotaan atau perdesaan, industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya (Arsyad, 1989).

Luas RTH cenderung mengalami penurunan dan perubahan lahan RTH tersebut dipengaruhi adanya alih fungsi lahan RTH (Sitorus et al., 2011). Faktor yang mempengaruhi perubahan lahan RTH berdasarkan hasil penelitian Sitorus et al., (2011) di Jakarta Selatan adalah alokasi RTH dalam RTRW, fasilitas kesehatan, jumlah pendatang, kepadatan penduduk dan fasilitas pendidikan. Widiastuti (2012) menyebutkan faktor yang mempengaruhi perubahan lahan RTH di Kota Bekasi adalah jarak ke pusat kota, luas RTH awal, perubahan lahan terbangun, jarak terhadap fasilitas sosial, jarak terhadap fasilitas pendidikan dan perubahan terhadap fasilitas ekonomi. Menurut penelitian Suwarli et al. (2012), faktor yang mempengaruhi perubahan lahan RTH yang utama adalah jumlah penduduk selain itu variabel lain yang berpengaruh yaitu jumlah sarana pendidikan, jumlah pasar, jumlah supermarket, jumlah pemukiman, jumlah industri, jumlah restoran dan jumlah hotel. Menurut Sitorus et al., (2009), faktor yang berpengaruh nyata dalam perubahan lahan pertanian sebagai RTH di Kabupaten Tangerang adalah aksesibilitas ke fasilitas pendidikan. Faktor yang berpengaruh nyata dalam perubahan lahan pertanian sebagai RTH berdasarkan hasil penelitian Sitorus et al., (2011) di Kabupaten Bandung adalah curah hujan kelas sangat rendah, rendah dan tinggi, penggunaan lahan tahun 1998, kepadatan penduduk dan pertambahan fasilitas pendidikan. Putri dan Zain (2010), faktor aksesibilitas merupakan hal krusial yang mendorong perubahan RTH dan perkembangan Kota Bandung.

Penelitian Sitoruset al.,(2012) menyebutkan semakin tinggi hirarki wilayah kecenderungan perubahan penggunaan lahan semakin kecil, sedangkan perubahan RTH semakin meningkat. Tridarmayanti (2010) menganalisis perubahan RTH dengan pendekatan analisis LQ untuk perubahan pemusatan RTH, skalogram untuk mendapatkan Indeks Perkembangan Kelurahan (IPK). Faktor yang berpengaruh terhadap perubahan RTH adalah IPK dan jumlah penduduk. Patria (2010) menyatakan bahwa faktor yang berperan dalam perubahan RTH di Jakarta Timur adalah ketersediaan lahan kosong dan peningkatan jumlah fasilitas kesehatan.

Kebutuhan dan Kecukupan RTH

(28)

Kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk menurut rekomendasi WHO adalah 9,5 m2/penduduk (Senanayakeet al.,2013). Untuk negara tertentu terdapat perbedaan luasan seperti di Malaysia 1,9 m2/penduduk, Jepang 5 m2/penduduk, Inggris 11,5 m2/penduduk, Amerika 60 m2/penduduk, sedangkan Jakarta mengusulkan taman untuk bermain dan berolahraga 1,5 m2/penduduk (Rifai, 1991 dalamPurnomohadi 2006). Menurut Senanayake et al. (2013), untuk mengetahui kelayakan suatu area mendapat prioritas untuk penyediaan RTH dapat diketahui dengan pendekatan jumlah penduduk. Wilayah dengan kepadatan tinggi dan memiliki nilai luas minimum RTH per kapita rendah termasuk dalam wilayah yang perlu penyediaan RTH (Senanayake et al., 2013). Widiastuti (2012) melakukan analisis kecukupan RTH berbasis jumlah penduduk, dimana berdasarkan jumlah penduduk, di Kota Bekasi sudah tidak mampu memenuhi luasan kebutuhan RTH sehingga pemenuhan mengacu pada 30% luas wilayah. Penelitian Rijal (2008) melakukan analisis kebutuhan RTH berdasarkan pendekatan ekologis dan jumlah penduduk, dimana kebutuhan berdasarkan jumlah penduduk jauh lebih tinggi.

Analytic Hierarchy Process(AHP)

Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan teori mengenai pengukuran relatif terhadap skala absolut baik kriteria tangible maupun kriteria intangible berbasis pada penilaian berpasangan oleh pendapat ahli (Ozdemir dan Saaty, 2006). Suwarli et al., (2012) melakukan analisis preferensi (AHP) untuk mendapatkan prioritas strategi dalam pengembangan RTH berbasis green budgeting. Hasil AHP menunjukkan prioritas pengembangan RTH dengan pengadaan lahan baru dan pembangunan infrastruktur RTH (Suwarliet al., 2012). Hartati dan Nugroho (2012) menggunakan pendekatan AHP dengan membentuk model evaluasi dan memberikan bobot terhadap kriteria yang ada. Dalam penelitiannya, Hartati dan Nugroho (2012) menggabungkan metode AHP dengan data spasial dengan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk menentukan prioritas kesesuaian lahan di Kabupaten Semarang. Pancawati (2010) menggunakan AHP dalam memilih prioritas pengembangan bentuk RTH di Kota Tangerang, dimana bentuk RTH kawasan memiliki bobot tertinggi disusul bentuk RTH jalur dan RTH bentuk simpul.

Analisis Indeks LanskapPatch Analysis

(29)

aktivitas dan pola fungsi RTH yang akan direncanakan dan dirancang. Yuhonget al., (2014) menganalisis kualitas ekologi RTH pada compact city dengan membagi menjadi dua kriteria indeks lanskap yaitu berdasarkan wilayah dan berdasarkanlanduse. Masing– masing kriteria tersebut menganalisis karakteristik ukuran (TA, AWMPS), bentuk (AWMSI, AWMPFD), jarak (MENN, AWMENN) dan batas tepi (TE, ED, MPE) (Yuhonget al., 2014).

Kearifan Lokal Alun-Alun

Salah satu ciri pusat kota maupun pusat pemerintahan, baik itu kerajaan maupun kabupaten ditandai dengan hamparan lapangan rumput yang cukup luas dan sepasang pohon beringin di tengahnya yang dipisahkan oleh jalan akses masuk ke kantor kabupaten yang biasanya juga menjadi kediaman dinas bupati. Lapangan inilah yang dinamakan alun-alun. Pola ini tentunya mengikuti pola kerajaan pada masa Majapahit yang hingga kini masih terlihat melalui Keraton Surakarta dan Yogyakarta (Suwardjoko, 2010). Di samping fungsinya sebagai lambang kebesaran dan wibawa penguasa, sejak dahulu alun-alun bukan sekedar lapangan, tetapi juga memiliki fungsi ganda, yakni: sebagai ruang terbuka kota sekaligus tempat kegiatan-kegiatan tertentu yang bersifat. Saat ini, fungsi dan wajah alun-alun sudah berubah, namun sebagai elemen kota berupa ruang terbuka umum, ruang publik, masih sangat diperlukan (Suwardjoko, 2010).

Alun-alun merupakan ruang perlambang (pasemon) untuk meninggikan posisi penguasa, tempat rakyat menghadap penguasa (seba) halaman keraton dan ruang temu yang merepresentasikan konsep kosmis. Dalam penelitian Rukayah dan Soetomo (2007), evolusi alun-alun merupakan strategi mengintegrasikan kebijakan konservasi dan pengembangan wilayah. Dalam penelitian Rukayah et al., (2013), bentuk square alun – alun merupakan konsep ruang terbuka tradisional yang memiliki karakter lokal dan mampu berkelanjutan serta bertahan dari waktu ke waktu. Budiyono et al.,(2012) melakukan analisis berbasis Scenic Beauty Estimation terhadap lanskap di Kota Malang, dimana Taman Alun-Alun Tugu memiliki nilai tertinggi. Alun-alun dapat menjadi model untuk pengembangan wilayah pada sebuah kota. Paturusi dan Diartika (2010) menyebutkan bahwa pendekatan kearifan lokal dapat digunakan untuk upaya mencapai tujuan Kota Hijau yang berkarakter dan berjatidiri dengan memanfaatkan ruang terbuka pada area Tri Kahayangan. Wesnawa (2010) menyebutkan dalam mengoptimalkan pemanfaatan ruang wilayah dapat mengacu pada bentuk desa adat berbasis kearifan lokal. Kencana dan Arifin (2010) menganalisis pemanfaatan peninggalan sejarah berupa elemen lanskap berkarakter lokal sebagai bagian pengembangan wisata berbasislearn by travelling.

TeoriFigure Ground, Linkage and Place

(30)

perkotaan. Place merupakan pemaknaan suatu kawasan yang dibentuk oleh adanya ruang terbuka / void. Zaida dan Arifin (2010) mengidentifikasi dua jenis linkage di Kota Suarakarta, yaitu linkage integrated area pusat kota dan linkage integratedareaopen space.

Ruang terbuka publik dapat dinilai baik apabila mampu memberi kenyamanan dan keamanan (Nasution dan Zahrah, 2012). Dilihat dari dimensi ukuran fisik, ruang terbuka haruslah jelas dan mudah diakses. Nasution dan Zahrah (2012) menyebutkan bahwa hal tersebut dapat diwujudkan dengan menciptakan linkage / hubungan antar ruang terbuka publik serta terintegrasi dengan pusat transportasi masal maupun dengan landmark sekaligus membentuk placesdengan skala yang proporsional untuk manusia.

Zhiyuan et al., (2014) dalam penelitiannya terkait pemodelan Garden City mencoba mengaplikasikan metode figure ground, place dan lingkage dimana social city sebagai gambaran figure ground yang saling terhubung/lingkage terhadap green open space dan agriculture area yang membentuk gambaran place. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis jarak optimal antara green open space dengan pemukiman. Dengan standar kecepatan orang berjalan 1m/detik, jarak yang nyaman antara pemukiman dengangreen open spaceadalah 300 m atau 300 detik (Zhiyuanet al.,2014).

Partisipasi Masyarakat

(31)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kota Ungaran sebagai ibu kota Kabupaten Semarang Provinsi Jawa Tengah. Kota Ungaran berbatasan dengan Kota Semarang pada bagian utara, Kecamatan Bergas pada bagian selatan, Kabupaten Demak pada bagian timur dan Kabupaten Kendal pada bagian barat. Lokasi Kota Ungaran terletak pada 110’23’8” – 110’26’53” BT dan 7’5’32” - 7’10’19” LS (Gambar 4). Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Oktober 2014.

(32)

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Sumber data primer dari hasil cek lapang, hasil wawancara dan kuesioner. Data Sekunder, baik berupa citra satelit, peta RTRW, jumlah penduduk, luas wilayah dan sebagianya diperoleh dari studi pustaka dan dari instansi pemerintah terkait. Adapun jenis dan sumber data yang dikumpulkan berdasarkan tujuan penelitian disajikan pada Tabel 3.

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data primer dan sekunder. Pengumpulan data sekunder dilaksanakan dengan studi literatur dan pengambilan data pada instansi pemerintah terkait, yaitu DPU Kabupaten Semarang, Bappeda Kabupaten Semarang, BPS Kabupaten Semarang, Bagian Tata Pemerintahan Sekretaris Daerah Kabupaten Semarang dan DPPKAD Kabupaten Semarang. Pengumpulan data primer dilaksanakan dengan melakukan observasi lapang untuk memverifikasi tutupan lahan dan pembagian kuesioner. Jumlah titik pengecekan lapang diambil 2 titik pada tiap jenis penggunaan lahan dari 10 penggunaan lahan yang ada di 12 kelurahan. Dengan demikian jumlah titik pengamatan sebanyak 2 x 10 x 12 = 240 titik pengamatan lapang. Kuesioner dibagikan kepada 17 responden dengan teknik purposive sampling. Data pengamatan lapang tersaji pada Lampiran 10 dan Lampiran 11.

Proses identifikasi RTH pada penelitian ini dilakukan dengan mengintepretasi citra Quickbird tahun 2010 guna mendapatkan peta jenis penggunaan lahan. Data citraquickbirdtersaji pada Lampiran 12. Hasil intepretasi citra 2010 dilakukan pengkinian data dengan Google Earth per 01 Agustus 2013 untuk wilayah Kecamatan Ungaran Barat dan per 01 Juli 2014 untuk wilayah Kecamatan Ungaran Timur. Jenis penggunaan lahan yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 10 jenis, yaitu penggunaan lahan pemukiman, fasilitas umum, tubuh air, sawah irigasi, sawah tadah hujan, tegalan, kebun campuran, semak belukar, rumput dan jalan dan lapangan parkir. Hasil identifikasi penggunaan lahan dari intepretasi citra selanjutnya diverifikasi kondisi sebenarnya dilapang melalui pengecekan lapang.

(33)

No Tujuan Jenis data Sumber

data Teknik analisis data Keluaran

2 Data jumlah penduduk BPS Pemilihan model pertumbuhan terbaik, linier, kudratik, eksponensial. Terpilih model kuadratik :

Kebutuhan RTH berdasar jumlah penduduk

Y= a+(b*X)+(c*X2)+e

Kebutuhan RTH = Jumlah penduduk x 20 m2

Data luas wilayah Bappeda Calculate geometry data atribut peta

landuse.

Kebutuhan RTH = Luas x 30% Interpretasi visual,Overlay,Query

data atribut, Klasifikasi/reclassify data atribut, pengecekan lapang

Tabel 3. Jenis dan Sumber Data Tiap Tujuan Penelitian

(34)

Tabel 3. (Lanjutan)

No Tujuan Jenis data Sumber data Teknik analisis data Keluaran

3 Data preferensi Design (figure ground, landmark, linkage, RTH aktif dan pasif, konsep berdasar fungsi ekologis dan sosial budaya estetis serta konsep kearifan lokal alun-alun)

Analisis spasial,Overlay,Query

data atribut,Polygon to Point, Proximity (Point Distance), Reclass(interval 300 m), Patch Analysis (Mean Shape Index), Reclass (luas minimal 250 m2)

(35)

Pengumpulan data preferensi stakeholder yang diproses pada analisis AHP ditentukan dengan metode purposive sampling. Teknik purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Teknik ini digunakan karena responden yang dipilih adalah responden yang memenuhi kriteria sesuai dengan tujuan penelitian. Kriteria pertama yaitu memiliki keahlian atau menguasai secara akademik bidang yang diteliti. Kriteria kedua yaitu memiliki reputasi kedudukan atau jabatan dan sebagai ahli pada bidang yang diteliti. Kriteria stakeholder tersebut diidentifikasi dengan rincian seperti tertera pada Tabel 4.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data jumlah penduduk 2002-2012, data luas wilayah, citra satelit quickbird 2010, peta landuse RTRW, data citraGoogleEarthakuisisi 01/08/2013 dan 01/07/2014, data hasil cek lapang, hasil wawancara dan hasil kuesioner. Alat yang digunakan diantaranya adalah GPS, kamera, blangko kuesioner dan laptop dengan software ArcGis, Quantum GIS Lisboa, Statistica, SketchUp, GoogleSketchUp, GoogleEarth, Adobe PhotoshopdanMS Office.

Metode Analisis

Pemetaan dan Identifikasi RTH

Proses identifikasi dilakukan dengan klasifikasi penggunaan lahan di Kota Ungaran Kabupaten Semarang terhadap citra Quickbird tahun 2010 dan Google Earth 2014 dengan mempertimbangkan Peta Tutupan Lahan RTRW Kabupaten Semarang. Klasifikasi didapatkan dengan melakukan digitasi on screen menggunakan software ArcGis terhadap citra Quickbird tahun 2010. Jenis penggunaan lahan yang digunakan dalam proses identifikasi ini yaitu penggunaan lahan untuk pemukiman, fasilitas umum, tubuh air, semak belukar, rumput, sawah irigasi, sawah tadah hujan, tegalan, kebun campuran dan jalan/lapangan parkir.

Tabel 4. KriteriaStakeholder, Instansi, dan Jumlah Responden

No Kriteria Stakeholder

Asal Institusi, Lembaga dan Bidang Keahlian

Jumlah Responden

1 Kedudukan/jabatan Tapem SEKDA 1

2 Kedudukan/jabatan BAPPEDA 4

3 Kedudukan/jabatan DPU 3

4 Kedudukan/jabatan BLH 2

5 Kedudukan/jabatan DISTANHUT 2

6 Kedudukan/jabatan DPKAD 1

7 Pakar/akademisi Dosen UNDIP 2

8 LSM LP4D, Laskar Merah Putih 2

(36)

Hasil pemetaan dilakukan proses pengkinian data dengan menggunakan citra bersumber dari GoogleEarth. Ketersediaan data GoogleEarth dibagi dalam dua pengambilan citra yaitu tanggal 1 Agustus 2013 untuk wilayah Kecamatan Ungaran Barat dan 1 Juli 2014 untuk wilayah Kecamatan Ungaran Timur (Gambar 18). Untuk memvalidasi hasil identifikasi yang telah dilakukan maka dilanjutkan dengan proses pengecekan lapang. Hasil proses pengecekan lapang digunakan untuk pengkinian data dalam pemetaan eksisting RTH.

Analisis Kebutuhan RTH

Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk

Kebutuhan berdasarkan jumlah penduduk merupakan tahap pertama dalam proses analisis tahapan kebutuhan RTH Kota Ungaran. Tahap ini merupakan pencapaian antara dalam upaya menuju pencapaian tujuan utama penelitian. Untuk mengetahui kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk perlu diketahui data jumlah penduduk dalam hal ini diambil dari data sekunder menggunakan data BPS berupa Kecamatan Ungaran Barat Dalam Angka dan Kecamatan Ungaran Timur Dalam Angka (BPS, 2013). Dari data sekunder tersebut diperoleh data jumlah penduduk sampai dengan level kelurahan. Penentuan kebutuhan RTH mengacu pada ketentuan Permen PU 2008 untuk luas minimal RTH per jiwa yaitu seluas 20 m2 per jiwa. Rumusan kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk adalah sebagai berikut :

Kebutuhan RTH (ha)= Jumlah penduduk (jiwa) x Luas minimal RTH per jiwa Pada tahap awal analisis dilakukan pada data jumlah penduduk eksisting. Hasil perhitungan berdasarkan luas minimal RTH 20 m2per jiwa menggambarkan kebutuhan eksisiting RTH untuk keseluruhan Kota Ungaran. Untuk mengetahui kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk pada skala perencanaan 20 tahun kedepan dilakukan analisis terhadap prediksi pertumbuhan jumlah penduduk. Untuk menentukan model pertumbuhan penduduk maka dilakukan analisis pemilihan model pertumbuhan yang terbaik yaitu model yang memiliki nilai koofisien determinan (R2) tertinggi dan Standar Error (S) terendah. Model pertumbuhan yang dianalisis, yaitu model linier, model eksponensial atau model kuadratik. Berikut rumus untuk model pertumbuhan :

1. Model Linier

Y : Jumlah penduduk pada tahun ke-n X : Waktu ke-n

α : Intersep

β1β2 : Konstanta (Koofisien determinan) ε :Standar Error/ Galat

(37)

Analisis pemilihan model pertumbuhan yang terbaik menggunakan data jumlah penduduk tahun 2002-2012. Proses diawali dengan membuat tabel data jumlah penduduk dan data tahun pada software exelkemudian dilakukan transfer data ke software statistica untuk dilakukan analisis untuk tiap model pertumbuhan. Hasil dari analisis masing-masing model dibandingkan dan dipilih model yang memiliki nilai R2 tertinggi dan nilai Standar Error (S) terendah. Setelah didapatkan model pertumbuhan terbaik maka model tersebut digunakan untuk melakukan prediksi jumlah penduduk 20 tahun kedepan. Dengan adanya data jumlah penduduk untuk prediksi 20 tahun, maka dapat diketahui prediksi kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk untuk 20 tahun kedepan.

Kebutuhan Berdasarkan Luas Wilayah

Kebutuhan berdasarkan luas wilayah merupakan tahap kedua dalam proses analisis tahapan kebutuhan RTH Kota Ungaran. Tahap ini merupakan upaya menuju pencapaian tujuan utama penelitian. Untuk mengetahui kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah dilakukan pendekatan analisis berdasarkan ketentuan luas minimal RTH untuk kota berdasarkan Undang-Undang Penataan Ruang yaitu sebesar minimal 30% dari luas wilayah kota. Rumus kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah adalah sebagai berikut :

Kebutuhan RTH (ha) = Luas wilayah kota (ha) x 30%

Analisis kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah dibagi berdasarkan proporsi jenis RTH yaitu RTH publik sebesar 20% dan RTH privat sebesar 10%. Kebutuhan RTH berdasarkan proporsi luas wilayah dianalisis pada tingkat kelurahan dan kecamatan untuk terciptanya distribusi RTH yang berimbang antar wilayah.

Analisis PreferensiStakeholder

(38)

Pendekatan AHP menggunakan skala banding berpasangan (Saaty, 1993 dalam Suwarli 2011). Proses selanjutnya adalah menyusun kuesioner yang dibagikan kepada 17 responden dengan pemilihan berdasarkan teknik purposive sampling. Responden terdiri dari perwakilan pengelola yang terkait (SKPD/dinas), pakar RTH dan LSM / tokoh masyarakat pemerhati RTH. Perwakilan pengelola yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah DPU, BAPPEDA, BLH, DISTANHUT, DPPKAD, Bagian Tata Pemerintahan SEKDA Kabupaten Semarang dan LSM. Kuesioner disusun dengan membandingkan tiap kriteria pada tiap level dengan terlebih dahulu mengurutkan tingkat prioritas. Hal tersebut dilakukan untuk membantu responden dalam penilaian bobot sehingga mengurangi inkonsistensi jawaban. Tahap selanjutnya adalah menghitung tingkat prioritas berdasarkan bobot. Pada akhir proses dilakukan uji konsistensi dengan menghitung indeks konsistensi (CI), apabila hasil perhitungan memiliki nilai dibawah 0,1 maka dapat disimpulkan proses tersebut konsisten. Sebaliknya, jika nilai diatas 0,1 maka proses disimpulkan inkonsisten. Selain menghitung CI, dilakukan uji terhadap rasio indeks CI dibandingkan dengan indeks acak (RI) untuk mengetahui rasio konsistensi.

Penilaian kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan, untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat (Saaty, 1993dalamSuwarli 2011). Nilai perbandingan A dengan B adalah 1 (satu) dibagi dengan nilai perbandingan B dengan A. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat pada Tabel 5.

Bentuk Kota Kearifan lokal AdministrasiWilayah

Jarak terhadap

Gambar 5. Hirarki Proses AHP Menyebar

(39)

Kelas Aset Daerah 1 2 1 1 1 2 2 2 1 1 2

KelasLanduse 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1-2

Kelas Jarak 1-2 1-2 1-2 1-2 1-2 1-2 1-2 1-2 3-4 1-4 3-4 Kelas Luas Minimal 1-5 1-5 1-5 1-5 6 1-5 1-5 6 1-6 1-6 1-6

Kelas Bentuk 1 1 1 2-3 1-3 1 2-3 1-3 1-3 1-3 1-3

Kelas Pola Ruang 1-4 1-4 5-6 1-6 1-6 5-6 1-6 1-6 1-6 1-6 1-6

Kriteria/Variabel Prioritas

P3 P2

P1

Analisis Areal Yang Berpotensi Untuk Pengembangan RTH

Untuk menyusun perencanaan pengembangan RTH maka perlu diketahui areal yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai RTH. Analisis potensi areal untuk pengembangan RTH mengacu pada hasil analisis kebutuhan RTH berdasarkan proporsi luas wilayah untuk masing-masing kelurahan. Analisis ini mempertimbangkan kriteria priroritas penggunaan lahan, kriteria hasil analisis AHP (keberimbangan distribusi dan jarak terhadap pemukiman), kriteria luas minimal RTH berdasarkan skala pelayanan, kriteria kompleksitas bentuk lahan, kriteria pola ruang pada RTRW serta kriteria ketersediaan aset daerah pada wilayah kelurahan. Kriteria tersebut merupakan variabel yang digunakan dalam penyusunan prioritas dalam analisis potensi areal untuk pengembangan RTH. Penyusunan prioritas merupakan gabungan dari keseluruhan kriteria dengan mempertimbangkan keberimbangan distribusi antar wilayah kelurahan dan kecamatan. Untuk kelas prioritas 1 berpotensi untuk pengembangan RTH publik aktif-fungsi sosial budaya, prioritas 2 untuk RTH publik pasif-fungsi soisal budaya dan prioritas 3 untuk RTH publik pasif-fungsi ekologis. Penyusunan prioritas berdasarkan gabungan kriteria disajikan pada Tabel 6.

Nilai Keterangan

1 Kriteria A sama penting dengan kriteria B 3 A sedikit lebih penting dari B

5 A jelas lebih penting dari B 7 A sangat jelas lebih penting dari B 9 A mutlak lebih penting dari B

2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan Tabel 5. Skala Perbandingan dalam Mengekspresikan Pendapat

Sumber: Saaty, 1993dalamSuwarli (2011)

(40)

Kriteria Aset Daerah

Penguasaan lahan oleh pemerintah daerah berupa aset daerah diidentifikasi untuk melihat potensi lahan dalam mendukung rencana pengembangan RTH. Data yang digunakan dalam identifikasi ini berupa data tabular yang bersumber dari Dinas PPKAD Kabupaten Semarang. Proses identifikasi terhadap aset daerah dilakukan dengan memilih aset-aset yang memiliki fungsi penggunaan lahan sebagai RTH. Hasil identifikasi aset daerah disusun berdasarkan sebaran lokasi per kelurahan. Hal tersebut untuk mengetahui distribusi ketersediaan aset daerah yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan RTH pada masing-masing wilayah kelurahan. Untuk penyusunan analisis potensi areal untuk pengembangan RTH, aset daerah dibagi menjadi 2 (dua) kelas yaitu kelas 1 jika pada wilayah kelurahan terdapat aset daerah dan kelas 2 jika wilayah kelurahan tidak terdapat aset daerah.

Kriteria Penggunaan Lahan (Landuse)

Pemilihan areal yang berpotensi untuk pengembangan RTH mempertimbangkan kriteria prioritas penggunaan lahan. Penggunaan lahan dibagi menjadi dua kelas, yaitu kelas 1 merupakan penggunaan lahan rumput dan semak belukar, sedangkan kelas 2 berupa penggunaan lahan tegalan dan kebun campuran. Kelas 1 merupakan prioritas pertama, jika areal pengembangan tidak mencukupi maka menggunakan tambahan dari kelas 2 sebagai prioritas kedua.

Kriteria Jarak

Analisis potensi areal untuk pengembangan RTH berdasarkan jarak terhadap pemukiman mempertimbangkan faktor kenyamanan pencapaian / aksesibilitas. Menurut Zhiyuanet al., (2014) jarak nyaman untuk mencapai RTH publik adalah 300 m. Analisis jarak ini menggunakan teknik proximity dengan tools point distance pada software ArcGis. Point Distance (PD) merupakan teknik analisis jarak berbasis titik (point). Jarak dihitung berdasarkan jarak diskrit, jarak terdekat horisontal antar titik pusat polygon (centroid). Data peta penggunaan lahan memiliki bentuk format polygon, untuk itu perlu konversi bentuk data polygon menjadi point. Konversi data dilakukan dengan teknik analisis geometri pada aplikasi Quantum Gis Lisboa. Perubahan data menjadi point mengacu pada centroid sebagai titik pusat polygon. Pertimbangan pemilihan centroid sebagai acuan dasar konversi oleh karena pertimbangan pengolahan data yang akan cukup besar jika tidak menggunakan centroid. Untuk penyusunan analisis potensi areal untuk pengembangan RTH, hasil analisis PD diklasifikasikan berdasarkan interval jarak 0-300 m (kelas 1), >300-600 m (kelas 2), >600-900 m (kelas 3) dan >900 m (kelas 4). Kelas 1 dan 2 berpotensi dikembangkan untuk RTH fungsi sosial budaya estetis, sedangkan kelas 3 dan 4 berpotensi dikembangkan untuk RTH fungsi ekologis. Peta potensi areal berdasarkan jarak tersaji pada Lampiran 7.

Kriteria Luas Minimal

(41)

sampai dengan tingkat kota. Interval dalam klasifikasi mengacu pada standar kebutuhan RTH dari tingkat lingkungan sampai dengan tingkat kota menurut Peraturan Menteri PU No 5 tahun 2008, yaitu kelas 1 (≥144.000 m2), kelas 2 (≥24.000 m2- 143. 999 m2), kelas 3 (≥9.000 m2 –23. 999 m2), kelas 4 ( ≥1.250 m2 – 8.999 m2), kelas 5 (≥250 m2 – 1.249 m2) dan kelas 6 (≥50 m2 –249 m2). Kelas 1,2,3,4,5 berpotensi dikembangkan sebagai RTH aktif/pasif, sedangkan kelas 6 diprioritaskan untuk pengembangan RTH pasif. Peta potensi areal berdasarkan luas minimal tersaji pada Lampiran 8.

Kriteria Bentuk

Analisis areal untuk pengembangan RTH berdasarkan bentuk lahan dilaksanakan untuk mengetahui kompleksitas bentuk. Kompleksitas bentuk ini akan mempengaruhi rencana dan rancangan pengembangan RTH. Analisis kompleksitas bentuk dilakukan dengan teknik Patch Analysis. Patch Analysis (PA) merupakan teknik analisis terhadap indeks lanskap. Salah satu indeks lanskap yang digunakan untuk proses ini adalah indeks kompleksitas bentuk yaitu Mean Shape Index (MSI). Kompleksitas rendah untuk sebuah polygon tercapai jika nilai MSI mendekati nilai 1. Bentuk yang memiliki kompleksitas rendah akan cenderung memiliki pola aktivitas dan pola fungsi yang berbeda dengan yang memiliki kompleksitas tinggi. Kecenderungan bentuk dengan kompleksitas rendah dapat dimanfaatkan sebagai RTH dengan pola aktivitas aktif dan pola fungsi sosial budaya. Bentuk kompleksitas tinggi cenderung dimanfaatkan untuk aktivitas pasif dan pola fungsi ekologis. Hasil analisis MSI akan dibagi dalam beberapa kelas, yaitu kelas 1 dengan nilai MSI 1,0-1,4; kelas 2 dengan nilai MSI

1,5-2,0; kelas 3 nilai MSI >2,0. Kelas 1 merupakan bentuk lahan dengan potensi

pengembangan RTH aktif, sedangkan kelas 2 dan 3 untuk potensi pengembangan RTH pasif. Peta areal berpotensi untuk pengembangan tersaji pada Lampiran 9.

Kriteria Pola Ruang

Pola ruang RTRW merupakan rencana pemerintah daerah dalam membagi wilayah berdasarkan fungsi kawasan baik fungsi lindung maupun fungsi budidaya. Kriteria pola ruang merupakan hasil analisis overlay peta landuse dengan peta pola ruang RTRW. Untuk penyusunan analisis potensi areal untuk pengembangan RTH, kriteria pola ruang dibagi menjadi beberapa kelas mengacu pada RTRW yaitu kelas 1 untuk kawasan lahan kering, kelas 2 untuk kawasan lahan basah, kelas 3 untuk kawasan tanaman tahunan, kelas 4 untuk kawasan hutan produksi/hutan produksi terbatas, kelas 5 untuk kawasan pemukiman dan kelas 6 untuk kawasan industri. Kelas 1-4 menjadi prioritas pertama, sedangkan kelas 5-6 menjadi prioritas kedua dalam pengembangan RTH.

Arahan Pengembangan RTH

(42)

PendekatanGreen Planning

Green Planning merupakan pendekatan perencanaan yang mendukung konsep perencanaan berkelanjutan. Pengembangan berbasis atribut Green Planningbertujuan untuk menghasilkan pola dan struktur ruang yang mendukung Kota Ungaran menujuGreen City.

Pertimbangan kriteria yang mendasari perencanaan pengembangan RTH berbasisgreen planningdi Kota Ungaran adalah :

1. Distribusi RTH yang berimbang antar wilayah kelurahan dan kecamatan. 2. Penggunaan lahan jenis rumput, semak belukar, tegalan dan kebun

campuran menjadi prioritas dalam pemenuhan kebutuhan RTH.

3. Luas minimal RTH 250 m2 untuk kebutuhan tingkat lingkungan (Kementerian PU, 2008).

4. Jarak optimum RTH terhadap pemukiman sejauh 300 m (Zhiyuan et al., 2014).

5. Kompleksitas bentuk lahan dengan pendekatan indeks MSI (Patch Analysis) terkait pola aktivitas RTH yang akan dikembangkan (Yuhonget al., 2014). 6. Potensi lahan pada pola ruang RTRW dan penguasaan aset daerah.

Proses penyusunan arahan pengembangan RTH berbasis green planning, mengolah hasil analisis pada tujuan 1-3 menjadi dua bagian yaitu pertama, arahan pengembangan RTH publik yang berfokus pada penambahan lahan baru untuk pemenuhan luas minimal dan mengacu pada pertimbangan gabungan kriteria/variabel green planning. Bagian kedua merupakan pengembangan RTH privat yang mengacu pada hasil analisis potensi lahan dengan fokus menjaga keberadaan areal yang ada untuk mendukung terciptanya lahan pangan berkelanjutan.

Arahan pengembangan RTH publik dibagi dalam tiga alternatif, pertama pengembangan RTH publik berdasarkan hasil prioritas potensi areal yang mengacu kepada gabungan kriteria/variabel green planning. Alternatif kedua, merupakan arahan pengembangan RTH publik dengan upaya mengajukan alih fungsi Hutan Produksi (HP) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) menjadi Taman Hutan Raya (TAHURA) dengan didukung optimalisasi aset daerah yang difungsikan sebagai RTH publik. Alternatif ketiga merupakan alih fungsi 70% luas HP/HPT menjadi TAHURA ditambah optimalisasi 70% aset daerah serta pengadaan lahan baru mengacu hasil analisis potensi lahan pada alternatif pertama. Alternatif pertama dalam pengembangan RTH publik, diarahkan pada pengembangan RTH berdasarkan pola fungsi (fungsi sosial budaya / fungsi ekologis) dan pola aktivitas (RTH aktif / RTH pasif).

PendekatanGreen Design

(43)

1. Bentuk dan pola Kota Ungaran ditinjau dari teori figure ground yang menganalisis tutupan massa ( solid ) dan ruang terbuka ( void ) dengan teknik analisisDirectional Distribution.

2. Berdasarkan hirarki pelayanan RTH (RTH lingkungan sampai dengan RTH kota).

3. Pada skala kota RTH publik dikembangkan sebagailandmark(konsepplace pada teori figure ground) dan saling terhubung oleh path (konsep linkage) berupa jalur hijau padapedestrian way.

4. Pada skala lingkungan RTH publik dikembangkan menurut pola aktivitas (aktif/pasif), fungsi RTH (sosial budaya/ekologis) serta mempertimbangkan linkage and placesebagai sebuah konsep sumbu, simetri dan hierarki. 5. Kearifan lokal terkait konsep bentuk alun-alun sebagai ruang publik.

6. Pemilihan vegetasi pada RTH publik mengacu pada fungsi RTH yang akan dikembangkan baik fungsi sosial budaya atau fungsi ekologis (vegetasi bersifat estetis, ekonomi/hortikultura, ekologis).

Pertimbangan bentuk kota yang berbasis konsepfigure groundmenganalisis karakter tutupan massa (solid) dan ruang terbuka (void) pada wilayah kota. Bentuk yang tercipta tergantung dari homogenitas, heterogenitas, padat atau jarang suatu tutupan massa dan ruang terbuka (Gambar 6).

Keterkaitan (linkage) antar fungsi kawasan pada suatu kota dihubungkan dengan adanya jalur (path) yang dapat berupa jalur hijau pada jalan sebagai penghubung atau adanya koridor pejalan kaki (Gambar 7).

Gambar 6. Pendekatan Bentuk KotaFigure Ground

Gambar

Gambar 2. Hirarki Green Open Space Perkotaan (Kementerian PU, 2013)
Tabel 1. Jenis RTH  dan Kepemilikan
Tabel 2. Jenis RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk
Gambar 4. Lokasi Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ruang Terbuka Hijau publik yang terdapat pada Kecamatan Banjarmasin Selatan terdiri dari jalur hijau jalan dan sempadan sungai (taman siring) sedangkan RTH Privat

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk: (1) mengidentifikasi dan memetakan RTH eksisting Kota Kandangan, (2) Menganalisis kebutuhan RTH berdasarkan luas

Rencana RTH ini berlaku ideal sampai dengan tahun 2015 (sesuai analisis dengan data proyeksi tahun 2015). Kebutuhan RTH berdasarkan RTRW Kota Bogor adalah 3.555 Ha. RTH seluas

Kota Surakarta memiliki prospek dan potensi yang cukup besar dalam pengembangan eksisting Ruang Terbuka Hijau (RTH) Publik di dukung dengan komitmen yang kuat

Kesimpulan yang dapat diambil dari kegiatan pengabdian ini antara lain: (1) analisa potensi eksisting kawasan, (2) Analisa Potensi RTH di Kelurahan Pahandut

RTH Taman jalan da Kota Mojokerto seluas 8137 dapat berupa pulau jalan jalan yang tersebar di beb Total daya serap CO 2 te pada taman kerp empun dengan luas taman

Berdasarkan data Badan Pertanahan Kota Mojokerto tentang aset kepemilikan lahan, pemerintah Kota Mojokerto masih memiliki lahan seluas 124,4 Ha atau sebesar 7,56 % dari

Suatu penelitian yang bertujuan memberikan arahan pengembangan ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Khatulistiwa Pontianak telah dilakukan.. Penelitian terdiri dari 3 bagian