• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Makna Kalimat Pengandaian Bahasa Jepang Dalam Novel Noruwei No Mori (Ditinjau Dari Segi Semantik)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Makna Kalimat Pengandaian Bahasa Jepang Dalam Novel Noruwei No Mori (Ditinjau Dari Segi Semantik)"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS MAKNA KALIMAT PENGANDAIAN BAHASA

JEPANG DALAM NOVEL NORUWEI NO MORI

( DITINJAU DARI SEGI SEMANTIK)

IMIRON KARA MIRU “NORUWEI NO MORI” NO SHOUSETSU

NI OKERU JOUKENBUN NO IMI NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini Diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara Medan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian

Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

OLEH

INONG EKA SEPRINA

040708045

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG

MEDAN

(2)

ANALISIS MAKNA KALIMAT PENGANDAIAN BAHASA

JEPANG DALAM NOVEL NORUWEI NO MORI

( DITINJAU DARI SEGI SEMANTIK)

IMIRON KARA MIRU “NORUWEI NO MORI” NO SHOUSETSU

NI OKERU JOUKENBUN NO IMI NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini Diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara Medan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian

Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Pembimbing I

Pembimbing II

Drs. H. Yuddi Adrian, M.MA

Adriana Hasibuan, S.S., M.

Hum

NIP: 131945675

NIP: 131662152

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG

MEDAN

(3)

Disetujui oleh:

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

Program Studi Sastra Jepang

Ketua Program Studi,

Prof. Hamzon Situmorang, M.S, Ph. D

NIP: 131422712

(4)

PENGESAHAN

Diterima oleh:

Panitia Ujian Fakultas Sastra Umiversitas Sumatera Utara untuk

melengkspi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang

pada Fakultas Sastra Umiversitas Sumatera Utara.

Pada : Tanggal : Hari :

Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

Dekan,

Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D NIP: 131284310

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

1. ( )

2. ( )

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya tugas akhir yang berupa skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Skripsi yang berjudul “ Analisis Makna kalimat Pengandaian Bahasa

Jepang dalam Novel Noruwei No Mori” ini diajukan guna memenuhi salah satu

syarat untuk menyelesaikan pendidikan Program Sarjana Jurusan Sastra Jepang di Universitas Sumatera Utara.

Tanpa bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih, penghargaan dan penghormatan kepada:

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A., Ph. D sebagai Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph. D sebagai Ketua Program Studi Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum Sebagai Ketua Program Studi Bahasa Jepang Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. H. Yuddi Adrian, M.MA sebagai Dosen Pembimbing I yang telah menyediakan waktu dan pemikirannya dalam menyelesaikan skrisi ini.

(6)

6. Seluruh Bapak/Ibu Pengajar dan Staf di Universitas Sumatera Utara, Khususnya di jurusan Sastra Jepang.

7. Orangtua dan saudara yang telah banyak memberikan bimbingan dan bantuan baik moril maupun materil selama penulis mengikuti pendidikan hingga selesai, dan

8. Seluruh teman yang telah membrikan dukungan kepada penulis, khususnya teman-teman Sastra Jepang Stambuk 2004.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang membacanya. Karena keterbatasan waktu yang dimiliki penulis, kekurangan atau kesalahan yang tidak disadari penulis mungkin ada di dalam skripsi ini. Saran dan kritikan akan sangat membantu untuk memperbaikinya. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, September 2008 Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan ... 5

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 5

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian………11

1.6. Metode Penelitian………12

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DEFINISI SEMANTIK SERTA MAKNA KALIMAT PENGANDAIAN DALAM BAHASA JEPANG ………..13

2.1. Definisi Semantik ... 13

2.1.1 Jenis-Jenis Makna Dalam Semantik ... 14

2.1.2 Manfaat Mempelajari Semantik... 18

2.2. Makna Bentuk Kalimat Pengandaian Dalam Bahasa Jepang .... 19

2.2.1 Makna To...19

2.2.4 Makna Nara………...………23

2.2.3 Makna Tara………...…………25

(8)

BAB III ANALISIS MAKNA KALIMAT PENGANDAIAN BAHASA

JEPANG DALAM NOVEL NORUWEI NO MORI ... 29

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

4.1. Kesimpulan ... 45

4.2. Saran... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 49

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dalam menjalankan kehidupannya tentu saja memerlukan suatu alat untuk berkomunikasi kepada orang lain. Bahasa merupakan alat yang sangat tepat untuk dipakai dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain.

Sebagai alat komunikasi, bahasa mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Bahasa juga digunakan sebagai alat penghubung antara satu individu dengan individu lain, baik dalam keluarga, masyarakat maupun hubungan sosial lainnya.

Menurut Gorys Keraf (1980:53), bahasa merupakan alat komunikasi yang paling efektif untuk menyampaikan gagasan, pikiran, maksud dan tujuan kepada orang lain.

(10)

Keanekaragaman bahasa yang terdapat di dunia ini menyebabkan manusia dapat mengenal banyak bahasa-bahasa yang ada. Dalam mempelajari bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing diperlukan pemahaman tentang aturan dan kaidah-kaidah yang terdapat pada bahasa tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghasilkan suatu bahasa yang komunikatif. Bahasa tidak terlepas dari kalimat yang mengandung makna dan akan lebih jelas apabila tersusun menurut pola dan bentuk kalimatnya. Bentuk kalimat tertentu akan melahirkan makna tersendiri.

Demikian halnya dengan bahasa Jepang, kalimat pengandaian yang menggunakan bentuk to, ba, tara dan nara juga memilki makna tersendiri. Hal ini akan menyulitkan pembelajar bahasa Jepang yang berasal dari Indonesia karena jika hanya memahami makna leksikal yang terdapat di dalam kamus, ini akan sangat membingungkan, karena semua bentuk tersebut memiliki kesamaan arti dalam bahasa Indonesia yaitu ‘kalau’. Untuk itu, diperlukan pemahaman makna agar tidak terjadinya salah penafsiran yang dapat mengakibatkan tidak efektifnya suatu komunikasi.

Contoh:

(1) このボタンを押すと、お釣りが出ます。

Kono botan wo osuto, otsuri ga demasu.

(Kalau tombol ini ditekan, uang kembaliannya akan keluar.) (Minna no Nihongo, 1998:190)

(2) よろしければ、どうぞお使いください。

Yoroshikereba, douzo otssukai kudasai.

Kalau kamu senang, silahkan pakai. (Japanese Language Pattern, 1974:674)

(3) あおうめを食べたら、おなかが痛くなった。

Ao-ume wo tabetara, onaka ga itakunatta.

(11)

(Suzuki, 1972: 112)

(4) 北海道旅行なら、6月がいいです。

Hokkaidoryoko nara, roku gatsu ga ii desu.

(Kalau perjalanan ke Hokkaido, sebaiknya bulan Juni.) (Minna no Nihongo, 1998: 76)

Dari keempat contoh di atas dapat kita lihat bahwa semua bentuk kalimat pengandaian yang terdapat dalam bahasa Jepang memiliki arti yang sama dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, terdapat perbedaan makna yang terdapat pada kalimat-kalimat tersebut..

Pada contoh (1), to menunjukkan makna syarat yang harus dipenuhi untuk membentuk suatu keadaan. Jika syarat yang terdapat pada klausa pertama telah terpenuhi maka akan muncul suatu perubahan seperti yang terdapat pada klausa kedua.

Pada contoh (2), ba menunjukkan makna pengantar (maeoki), acuan kalimat tersebut terletak pada klausa kedua. Sedangkan klausa pertama hanya sebagai pengantar saja.

Pada contoh (3), tara menunjukkan makna alasan. Biasanya subjek pada klausa pertama dan kedua sama.

Pada contoh (4), nara menunjukkan makna topik/tema. Pada klausa kedua terdapat saran yang diberikan kepada lawan bicara.

(12)

dari 2 jilid. Jilid 1 berjumlah 297 halaman. Jilid 2 berjumlah 299 halaman. Ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Jonjon Johana, kedua jilid tersebut dijadikan 1jilid dan berjumlah 550 halaman. Dalam penulisan ini, Penulis hanya akan membahas kalimat pengandaian yang terdapat pada novel jilid 1 saja, atau hanya pada bab1-5 pada buku terjemahannya.

1.2 Perumusan Masalah

Menurut Shigeyuki Suzuki dalam bukunya yang berjudul Nihongo Bunpo

Keitairon, bentuk pengandaian adalah bentuk yang dipakai sebagai predikat dari

anak kalimat dalam suatu kalimat majemuk, dimana anak kalimat itu merupakan sebuah frase keterangan atau juga frase sambung. Bentuk pengandaian adalah bentuk yang menunjukkan hal penting untuk membentuk suatu keadaan yang ditunjukkan pada akhir kalimat dari frase utama sekaligus frase penutup (1972:349).

Beragamnya bentuk kalimat pengandaian yang terdapat dalam bahasa Jepang, menyulitkan pembelajar bahasa Jepang yang berasal dari Indonesia mengingat dalam bahasa Indonesia kalimat pengandaian yang menggunakan bentuk to, ba, tara dan nara mempunyai arti yang sama dalam bahasa Indonesia yaitu ‘kalau’. Walaupun begitu, kata ‘kalau’ mempunyai makna yang berbeda jika terdapat dalam kalimat. Berdasarkan hal di atas, Penulis akan membahas mengenai makna kalimat pengandaian bahasa Jepang yang terdapat di dalam kalimat. Bila diuraikan dalam bentuk pertanyaan adalah sebagai berikut:

(13)

2. Kalimat pengandaian yang mana yang paling banyak dipergunakan dalam novel Noruwei no Mori serta makna apa yang terkandung di dalamnya?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Sesuai dengan permasalahan yang ada, Penulis menganggap perlu adanya ruang lingkup pembahasan permasalahan agar masalah penelitian tidak terlalu luas dan berkembang jauh serta terjadinya tumpang tindih yang mengakibatkan penulisan ini tidak optimal.

Dalam penulisan ini, makna kalimat pengandaian bahasa Jepang hanya akan dikaji dalam novel karangan Murakami Haruki, yaitu Noruwei No Mori jilid 1. Pengkajian yang akan penulis tampilkan bukan pengkajian terhadap semua bentuk kalimat pengandaian serta makna-makna apa saja yang ditimbulkan, namun dari keempat kalimat pengandaian tersebut hanya akan dikaji bentuk kalimat pengandaian yang paling banyak digunakan, serta menganalisis makna yang ditimbulkan.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1 Tinjauan Pustaka

Menurut Nita dalam Dedi Sutedi(1997:18) pada buku Dasar–Dasar

Linguistik Bahasa Jepang bahwa dalam bahasa Jepang jenis kalimat dapat

(14)

kalimat berdasarkan pada makna, mengarah pada bagaimana makna dan fungsi dari kalimat tersebut.

Menurut Chafe dalam Chaer (1994:21) menyatakan bahwa dalam analisa bahasa, komponen semantiklah yang menjadi pusat. Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa.

Lebih lanjut Samsuri ( 1994:350) mengungkapkan bahwa berpikir tentang bahasa, sebenarnya sekaligus juga telah melibatkan makna.

Bolinger dalam Aminuddin (2001:52) menyatakan bahwa makna ialah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1993:548) kata makna diartikan sebagai (1) arti, maksud, (2) maksud pembicaraan dan penulis, pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan.

Dalam buku Semantik I, Djajasudarma mengungkapkan bahwa pengertian makna (sense-bahasa Inggris) dibedakan dari arti (meaning-bahasa Inggris) di dalam semantik. Makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata).

Makna setiap kata yang digunakan dalam berkomunikasi merupakan payung dari kajian semantik.

(15)

Tidak hanya makna kata, makna kalimat juga dapat dijadikan sebagai objek dalam kajian semantik, karena suatu kalimat ditentukan oleh makna setiap kata dan strukturnya (Dedi Sutedi, 2003:105).

1.4.2 Kerangka Teori

Setiap penelitian yang dilakukan selalu memerlukan suatu acuan untuk meneliti. Acuan tersebut dijadikan sebagai alat untuk menyoroti masalah yang akan dipecahkan.

Pada penulisan ini, perbedaan pola-pola yang menyatakan kalimat pengandaian dalam bahasa Jepang namun memiliki makna yang sama dalam bahasa Indonesia merupakan permasalahan yang akan dikaji.

Menurut Chaer (1994:59), makna itu terbagi dua, yaitu makna leksikal dan makna gramatikal. Dalam bahasa Jepang makna leksikal disebut jisho teki imi (makna kamus) atau goi teki imi (makna kata) yang sesungguhnya sesuai dengan referensi sebagai hasil pengamatan indera dan terlepas dari unsur gramatikalnya, atau dapat juga dikatakan sebagai makna asli suatu kata. Sedangkan makna gramatikal dalam bahasa Jepang disebut bunpo teki imi (makna kalimat) yaitu makna yang muncul akibat proses gramatikalnya (Sutedi, 2003:105-106).

Banyak teori yang dikemukakan oleh para pakar filsafat dan linguistik sekitar teori makna dalam studi semantik. Menurut Parera (1990:16), secara umum teori makna dibedakan atas:

1. Teori Referensial atau Korespondensi. 2. Teori Kontekstual.

(16)

4. Teori Formalitas.

Dari beberapa makna yang termasuk dalam kajian semantik, teori makna yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas adalah teori makna kontekstual.

Makna kontekstual merupakan makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks (Chaer, 2003:290).

Teori kontekstual mengisyaratkan pula bahwa sebuah kata atau simbol ujaran tidak mempunyai makna jika ia terlepas dari konteks ( Parera, 1991:18).

Penggunaan pola to, ba, tara dan nara pun disesuaikan dengan konteks yang ada. Walaupun dalam bahasa Indonesia keempat pola tersebut memiliki arti yang sama, namun terdapat perbedaan penafsiran mengenai makna tersebut.

Dalam buku Nihongo Bunpo Keitairon, Shigeyuki Suzuki mengatakan bahwa kalimat pengandaian to menunjukkan suatu syarat dari suatu gatra yang sudah tetap/pasti, tidak ada hubungannnya dengan masa lalu, sekarang, atau masa yang akan datang dan tidak ada hubungannya dengan asumsi/ perkiraan dan hal yang sudah ditetapkan.

Contoh:

(5). 本をよむと、僕はねむくなる。

Hon wo yomuto, boku wa nemuku naru.

Kalau membaca buku, saya jadi mengantuk (Suzuki, 1972: 355)

(17)

syarat pada klausa pertama, maka akan terjadi apa yang diungkapkan pada klausa kedua secara otomatis.

Shinobu Suzuki menguraikan fungsi –ba sebagai persyaratan (joken), dengan memperkirakan keadaan yang terjadi di masa mendatang (mirai ni okoru

kotogara wo katei shite, sore wo jouken to shita mono).

Contoh:

(6). 君が来れば、五人になります。

Kimi ga kureba, go nin ni narimasu.

Kalau anda datang, menjadi lima orang. (Suzuki, 1977:211)

Pada kalimat pengandaian tara, Alfonso menguraikan arti dasar dari –tara, bahwa dengan terkandungnya unsur –ta, maka selalu berarti bahwa kata kerja yang tampil dalam bentuk –tara menunjukkan perbuatan atau keadaan yang sudah terjadi atau rampung, yang mendahului perbuatan atau keadaan yang dinyatakan dalam klausa kedua.

Contoh:

(7) そんなものを見たらすぐわかりました。

Sonna mono wo mitara, sugu wakarimashita.

Kalau makan sesuatu seperti itu, nanti sakit perut. (Alfonso, 1974:659)

Lebih lanjut, Shigeyuki Suzuki dalam bukunya yang berjudul Nihongo

Bunpo Keitairon juga menjelaskan bahwa kalimat pengandaian nara menunjukan

(18)

Contoh:

(8) 経済を勉強をやるなら、あの大学がいいでしょう。

Keizai no benkyou wo yaru nara, ano daigaku ga ii deshou.

Kalau mau mengambil bidang ekonomi, universitas itu bagus (Suzuki, 1977:234)

Berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan di atas, landasan teori yang dipergunakan dalam menjelaskan makna kalimat pengandaian to, ba, tara dan

nara sebagai makna gramatikal dalam bahasa Jepang adalah teori milik Hisayo

Yokobayashi Dan Akiko Shimomura. Teori Tokobayashi ini juga didukung oleh pendapat-pendapat pakar lainnya, seperti Naoko Maeda, Tomita Takayuki, Shigeyuki Suzuki, dan lain sebagainya.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.5.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah:

a. Untuk mengetahui bagaimana makna kalimat pengandaian to, ba, tara dan

nara dalam bahasa Jepang.

(19)

1.5.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat daripada penulisan ini adalah:

a. Dapat menambah wawasan mengenai makna kalimat pengandaian bahasa Jepang, baik bagi peneliti maupun bagi para pembaca mengingat bahwa bentuk tersebut merupakan salah satu hal yang paling sulit dimengerti. b. Teori-teori yang terdapat dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi

tambahan referensi yang berkaitan dengan bidang linguistik.

c. Menambah wawasan bagi penulis dan pembaca dalam memahami makna kalimat pengandaian bahasa jepang yang terdapat dalam novel Noruwei no

Mori

1.6 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam menyusun penulisan ini adalah metode deskriptif. Kata deskriptif berasal dari bahasa latin ”descriptivus” yang berarti uraian. Penelitain deskriptif adalah suatu metode penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.(M. Nazir, 1999:63)

(20)

Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan antara lain:

a. Mengumpulkan buku-buku yang berkaitan dengan topik, serta menerjemahkan buku-buku yang berbahasa asing ke dalam bahasa Indonesia.

b. Mempelajari penggunaan bentuk pengandaian yang ada.

c. Mengutip kalimat-kalimat pengandaian yang terdapat dalam sumber data, dalam hal ini adalah novel Noruwei no Mori yang berbahasa Jepang, dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.

d. Menganalisa masing-masing bentuk dan membandingkannya dengan pendapat pakar.

(21)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI DEFINISI SEMANTIK DAN MAKNA

BENTUK KALIMAT PENGANDAIAN

DALAM BAHASA JEPANG

2.1 Definisi Semantik

Dalam mempelajari bahasa kita mengenal empat komponen besar, yaitu komponen bunyi kompoen kata, komponen kalimat dan komponen makna. Komponen bunyi dipelajari dalam bidang fonologi, komponen kata (bentuk kata) dipelajari dalam bidang morfologi, komponen susunan kalimat dipelajari dalam sintakis, dan komponen makna dipelajari dalam semantik. Sehinggga bila bicara tentang makna suatu kata, maka kita harus bebicara tentang salah satu cabang linguistik yaitu semantik.

(22)

bersangkutan. Jadi dengan kata lain setiap tanda linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna.

Adapun makna yang akan dibahas dalam semantik adalah makna kata-kata yang berhubungan dengan benda konkret seperti batu, hujan, rumah, mobil dan sebagainya. Selain itu semantik juga membahas tentang makna kata-kata seperti dalam bahasa Indonesia yaitu dan, pada, ke, dan dalam bahasa Inggris seperti to,

at, of, yang maknanya tidak jelas kalau tidak dirangkaikan dengan kata-kata lain (

Lubis : 2002 : 29)

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa semantik tidak hanya membahas kata-kata yang bermakna leksikal saja, tetapi juga membahas makna kata-kata yang tidak bermakna bila tidak dirangkaikan dengan kata lain seperti patikel atau kata bantu, yang hanya memiliki makna gramatikal saja.

2.1.1

Jenis-Jenis Makna Dalam Semantik

Menurut Chaer (1994:59) jenis atau tipe makna dapat dibedakan berdasarkan kriteria atau sudut pandang, yakni:

a. Berdasarkan jenis makna semantik, makna dapat dibedakan menjadi makna leksikal dan makna gramatikal.

Makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referensinya, makna yang sesuai dengan observasi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Contohnya kata tikus, makna leksikalnya adalah sebagai binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna itu tampak pada kalimat tikus itu mati diterkam kucing atau panen kali ini gagal

akibat serangan hama tikus, karena pada kedua kalimat itu jelas merujuk pada

(23)

Sedangkan makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatikal atau proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses kopmposisi. Contoh proses afiksasin /ter/ pada kata /angkat/ dalam kalimat batu

seberat itu terangkat juga oleh adik, awalan ter- pada kata terangkat melahirkan

makna ‘dapat’, dan dalam kalimat ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat

ke atas, melahirkan makna gramatikal ‘tidak sengaja’. Contoh reduplikasi dapat

dilihat pada kata buku yang bermakna ‘sebuah buku’, menjadi buku-buku yang bermakna ‘banyak buku’. Sedangkan contoh komposisi dapat dilihat pada kata

sate ayam tidak sama dengan kata sate madura. Yang pertama menyatakan asal

bahan, yang kedua menyatakan asal tempat.

b. Berdasarkan ada tidaknya pada sebuah kata atau leksem, dapat dibedakan menjadi makna referensial dan makna non referensial.

Makna referensial adalah makna dari kata-kata yang mempunyai referen , yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu. Contoh kata meja dan kursi, disebut bermakna referensial karena kedua kata itu mempunyai referen yaitu

sejenis perabot rumah tangga.

(24)

c. Berdasarkan ada tidakanya nilai rasa pada sebuah kata atau leksem. Dibedakan menjadi makna denotatif dan makna konotatif.

Makna denotatif pada dasarnya sama dengan makna referensial, sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan atau pengalaman lainnya. Jadi makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Karena itu sering dissebut makna sebenarnya. Contoh kata wanita dan perempuan. Karena kata-kata ini mempunyai denotasi yang sama, yaitu manusia dewasa bukan laki-laki. Walaupun kata perempuan dan wanita mempunyai makna denotasi yang sama, tetapi dewasa ini kedua kata tersebut mempunyai nilai rasa yang berbeda. Yakni kata perempuan mempunyai nilai rasa yang rendah, sedangkan kata wanita mempunyai nilai rasa yang tinggi. Makna tambahan pada suatu kata yang sifatnya memberi nilai rasa baik positif maupun negatif disebut makna konotasi.

d. Berdasarkan ketepatan maknanya, makna dapat dibedakan menjadi makna kata dan makna istilah.

(25)

e. Berdasarkan kriteria atau sudut pandang lain, dibedakan menjadi makna asosiatif, idiomatik, kolokatif dan sebagainya.

Makna asosiatif sesungguhnya sama dengan perlambang-lambang yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan suatu konsep lain. Contohnya : kata melati digunakan sebagai perlambang keberanian, dan kata srikandi digunakan sebagai perlambang kepahlawanan wanita.

Berbeda dengan makna idiomatik, kata idiom berarti satuan-satuan bahasa (bisa berupa kata, frase maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna leksikal unsure-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Contoh : frase menjual tanah bermakna ‘si pembeli menerima rumah dan si penjual menerima uang’, tetapi menjual gigi bukan bermakna ‘sipembeli menerima gigi dan sipenjual menerima uang’, melainkan bermakna ‘tertawa keras-keras’. Sehingga dapat disimpulkan bahwa makna idiomatik adalah makna satuan bahasa (kata, frase atau kalimat) yang menyimpang dari makna leksikal atau makna gramatikal unsure-unsur pembentuknya.

Sedangkan makna kolokatif berkenaan dengan makna kata dalam kaitannya, dengan makna kata lain yang mempunyai tempat yang sama dalam sebuah frase. Contoh : frase gadis itu cantik dan pemuda itu tampan. Kita tidak dapat menyatakan gadis itu tampan atau pemuda itu cantik, karena pada kedua kalimat itu maknanya tidak sama walaupun informasinya sama.

2.1.2

Manfaat Mempelajari Semantik
(26)

seorang wartawan, seorang reporter, atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia persuratkabaran dan pemberitaan, mereka barangkali akan memperoleh manfaat praktis dari pengetahuan mengenai semantik. Pengetahuan semantik akan memudahkannya dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat umum.

Bagi mereka yang berkecimpung dalam penelitian bahasa, seperti mereka yang belajar di fakultas sastra, pengetahuan semantik akan banyak memberi bekal teoretis kepadanya untuk menganalisis bahasa atau bahasa-bahasa yang sedang dipelajarinya. Sedangkan bagi seorang guru atau calon guru, pengetahuan mengenai semantik akan memberi manfaat teoritis dan juga manfaat praktis. Manfaat teoritis karena dia sebagai guru bahasa harus pula mempelajari dengan sungguh-sungguh akan bahasa yang akan diajarkannya. Teori-teori semantik ini akan menolongnya memahami dengan lebih baik konsep-konsep bahasa yang akan diajarkannya. Sedangkan manfaat praktis akan diperolehnya berupa kemudahan bagi dirinya dalam mengajarkan bahasa kepada murid-muridnya.

(27)

2.2 Makna Bentuk Kalimat Pengandaian Dalam Bahasa Jepang.

Dalam bahasa Jepang terdapat empat bentuk kalimat untuk menyatakan bentuk pengandaian ‘kalau’, yaitu bentuk kalimat pengandaian to, ba, tara dan

nara. Keempat bentuk tersebut mempunyai makna serta fungsi tersendiri di

dalam kalimat.

Pada bab ini juga akan dikemukakan pendapat dari beberapa ahli linguistik bahasa Jepang mengenai makna bentuk kalimat pengandaian to, ba, tara dan nara seperti: Takayuki Tomita dalam bukunya Kiso Hyogen 50 to Sono Oshieta ( 1991, 214-228), Yokobayashi dan Shimomura dalam bukunya Gaikokujin no tame no

Nihongo Reibun/Mondai Shiriizu 6 “Setsuzoku no hyogen” (1988), Naoko Maeda

dalam bukunya Joken Hyougen (2001), dan Shigeyuki Suzuki dalam bukunya

Nihongo Bunpo Keitairon (1972)

2.2.1

Makna Bentuk Kalimat Pengandaian To

Tomita (1991) mengatakan bahwa to sebagai setsuzokujoshi mempunyai bermacam-macam makna dan cara pemakaian. Salah satunya berpola X to, Y yang menunjukkan makna X no to kiniwa, itsumo Y ni naru ( ketika X, selalu menjadi Y), dan jika X sebagai syarat, akan selalu timbul gejala Y.

Makna yang dapat diungkapkan dari pernyataan di atas adalah: a. kapan saja, dimana saja, akan selalu demikian.

b. Muncul di dalam suatu ruang lingkup yang terbatas.

(28)

Contoh:

(1) ストーブをつけると、部屋が暖かくなります。

Sutōbu wotsukeruto, heya ga atatakaku narimasu.

Kalau sudah masuk 10 hari di pertengahan Agustus, kamar akan menjadi hangat

(Tomita, 1991: 219)

(2) 北海道では10月の中旬になると、雪が降ります。

hokkaid ō dewa juu gatsu no chuujun ni naruto, yuki ga furimasu.

Di Hokkaido, kalau sudah masuk 10 hari dalam bulan Agustus, salju akan turun.

(Tomita, 1991: 219)

(3) 私は乗り物に乗ると、気持ちが悪くになります。

Watashi wa norimono ni noruto, kimochi ga waruku ni narimasu.

Kalau saya naik kendaraan, perasaan menjadi tidak enak. (Tomita, 1991: 219)

Contoh (1) di atas merupakan keadaan yang bisa muncul dimana saja dan akan selalu menunjukkan keadaan yang sama. Contoh (2) merupakan keadaan yang muncul dalam ruang lingkup terbatas, terbatas oleh waktu dan keadaan geografis, sedangkan contoh (3) merupakan hal yang berhubungan dengan perorangan /individu.

Menurut Yokobayashi dan Shimomura, pemakaian bentuk pengandaian to menunjukkan beberapa makna, yaitu:

1. Kebiasaan, kebenaran, gejala alam dan lain-lain, dimana ketika telah dipenuhi syarat pada klausa pertama, maka akan terjadi apa yang diungkapkan pada klausa kedua secara langsung dan otomatis. Bentuk pengandaian ini disebut dengan katei joken. Pada kalimat pengandaian tersebut, klausa kedua bukan kalimat yang bermakna perintah, harapan, maksud, dan lain sebagainya.

(29)

(3) この辺は夏になると、とても暑いんです.

Kono hen wa natsu ni naruto, totemo atsuindesu.

Kalau musim panas tiba, tempat ini sangat panas. (Alfonso, 1974:653)

(4) おなかがいっぱいになると、眠くなる。

Onaka ga ippai ni naruto, nemukunaru.

Kalau perut kenyang, aku jadi mengantuk. (Alfonso, 1974:653)

2. Menunjukkan makna sono toki (ketika itu) dan sugu (langsung/segera). Contoh:

(5) きのう主人は夕飯が終わると、すぐ休みました。。

Kinou shujin wa yuuhan ga owaruto, sugu yasumimashita.

Kemarin, begitu suami saya selesai makan, ia langsung tidur. (Alfonso, 1974:654)

(6) ボートは岩に当たると、沈んでしまいました。

Booto wa iwa ni ataruto, shizunde shimaimashita.

Begitu kapal membentur karang, langsung tenggelam. (Alfonso, 1974:655)

3. Menunjukkan makna alasan (riyuu, sebagai pemicu atau penyebab. Contoh:

(7) タロさんは母の手紙を見ると、うれしくてたまらなかった。

Taro san wa haha no tegami wo miruto, ureshikute tamaranakatta.

Ketika Taro melihat surat ibunya, dia sangat genbira. (Alfonso, 1974:653)

(8) コップは床に落ちると、割れてしまいました。

Koppu wa yuka ni ochiruto, warete shimaimashita.

Ketika cangkir jatuh ke lantai, pecah. (Alfonso,1974:653)

4. Menunjukkan makna penemuan (hakken) untuk suatu hal tertentu Contoh:

(9) 郵便局はその角を曲がるとすぐでしょ。

Yuubinkyoku wa sono kado wo magaruto sugu desu yo.

(30)

(Alfonso,1974:654)

(10) お菓子はその缶を開けると入っていますよ。

Okashi wa sono kan wo akeruto,haitte imasuyo.

Kalau membuka kaleng itu, akan ada kue di dalamnya. (Alfonso, 1974:654)

Menurut Naoko Maeda, to juga dapat menyatakan keadaan yang terjadi secara berulang-ulang dan juga kebiasaan seseorang, baik yang terjadi pada masa lalu maupun pada masa sekarang. Dalam kalimat juga sering digunakan kata-kata seperti itsumo, yoku, tokidoki, maupun tamani. Selain itu, kalimat pengandaian to juga memiliki makna kecaman, peringatan dan juga larangan.

(11) そんなにたくさん食べると、あとで腹がいたくなるよ。

Sonna ni takusan taberuto, atode hara ga itakunaruyo.

Kalau kamu makan banyak seperti itu, nanti perut kamu sakit loh. (Naoko, 2001: 221)

Contoh di atas mengandung makna peringatan ‘kamu jangan makan berlebihan’.

2.2.2

Makna Bentuk Kalimat Pengandaian Ba

Menurut Yokobayashi dan Shimomura, pemakaian bentuk pengandaian ba menunjukkan beberapa makna yaitu:

1. Kojo joken, yang menunjukkan adanya kepastian bahwa ketika apa yang

diungkapkan pada klausa pertama dilaksanakan, maka apa yang diungkapkan pada klausa kedua juga akan terwujud. Kalimat pengandaian

ba mengemukakan kebenaran yang bersifat umum, yang berhubungan

dengan logika, peri bahasa (kotowaza), dan lain-lain. Pada akhir kalimat tidak dapat digunakan bentuk lampau.

Contoh:

9) 二に二をかければ四になる。

(31)

Kalau dua dikali dua akan menjadi empat. (Yokobayashi, 1988: 77)

10) だれでもほめられればうれしいです。

Dare demo homerareba ureshii desu.

Siapapun, kalau dipuji akan senang. (Yokobayashi, 1988: 77)

2. Katei joken, yang menunjukkan pengandaian dimana klausa pertama

dijadikan syarat untuk melakukan apa yang terdapat pada klausa akhir. Biasanya pada klausa akhir terdapat harapan/ keinginan si pembicara (kibou), maksud/ kemauan (ishi), perintah (ishi) dan kemungkinan (suisatsu).

Contoh:

11) もし切符が買えれば、ぜひ行ってみたい。

Moshi kippu ga kaereba, zehi itte mitai

Kalau karcis bisa saya beli saya ingin coba pergi. (Yokobayashi, 1988: 77)

12) みんなが協力してくれれば、もっと早くできただろう。

Minna ga kyouryokushite kurereba, motto hayaku dekita darou.

Kalau semua berpartisipasi, barangkali lebih cepat selesainya. (Yokobayashi, 1988 :78)

3. Menunjukkan makna pengantar (maeoki) Contoh:

13) できれば、手伝ってほしい。

Dekireba, tetsudatte hoshii

Kalau bisa, saya ingin membantu. (Yokobayashi, 1988: 79)

14) よろしければ、どうぞお使いください。

Yoroshikereba, douzo otssukai kudasai.

(32)

Dalam bukunya, Naoko Maeda menyebutkan bahwa dalam kalimat pengandaian ba terkandung makna lain dalam kalimatnya, yaitu mana kebalikan. Ini digunakan untuk membuat lawan bicara memikirkan kembali hal yang disampaikan oleh si pembicara (penawaran).

Contoh :

15) 掃除をしてくれれば、おこずかいをあげる。

Souji wo shite kurereba, o kozukai wo ageru.

Kalau kamu membantu membersihkan, akan saya berikan uang tambahan

(Naoko, 2001: 235)

Contoh di atas juga terkandung makna ‘kalau kamu tidak membantu membersihkan, tidak akan saya berikan uang jajan.

2.2.3

Makna Bentuk Kalimat Pengandaian Tara

Shigeyuki Suzuki mengatakan bahwa kalimat pengandaian tara menunjukkan syarat dari suatu gatra yang sudah tetap/pasti, tidak ada hubungannya dengan masa lampau, masa sekarang atau masa yang akan datang dan tidak ada hubungannya dengan asumsi/perkiraan (katei), ataupun dengan hal yang sudah ditetapkan (kitei)

Menurut yokobayashi dan Shimomura, pemakaian bentuk pengandaian tara menunjukkan beberapa makna, yaitu:

1. Katei joken, yang menunjukkan urutan waktu dimana setelah apa yang

(33)

harapan/ keinginan si pembicara (kibou), maksud / kemauan (ishi), perintah (meirei) dan kemungkinan (suisatsu).

Contoh:

16) 明日の朝早く起きられたらジョギングをしよう。

Ashita no hayaku okiraretara, joginggu wo shiyou.

Besok pagi kalau saya bisa bangun cepat, saya bermaksud jogging. (Yokobayashi, 1988: 66)

17) 秋になったら、遠足に行きましょうね。

Aki ni nattara, ensoku ni ikimashoune.

Kalau musim gugur tiba, mari pergi piknik. (Yokobayashi, 1988:66)

2. Menunjukkan alasan (riyuu). Akhir kalimat merupakan bentuk lampau. Contoh:

18) あおうめを食べたら、おなかが痛くなった。

Ao-ume wo tabetara, onaka ga itakunatta.

Kalau makan ao ume, perut saya menjadi sakit. (Yokobayashi, 1988: 68)

3. Menunjukkan makna sono toki (ketika itu) dan sono atode (setelah itu). Contoh:

19) 散歩をしていたら、急に雨が降ってきた。

Sanpo wo shite itara, kyuu ni ame ga futte kita.

Ketika sedang berjalan-jalan, mendadak hujan turun. (Yokobayashi, 1988:70)

20) 向こうに着いたら、手紙を書きます。

Mukou ni tsuitara, tegami wo kakimasu.

Setelah sampai di sana, saya akan menulis surat. (Yokobayashi, 1988: 71)

(34)

Contoh:

21) 友達の家を訪ねたら、留守でした。

Tomodachi no ie wo tazunetara, rusu deshita.

Ketika berkunjung ke rumah teman, ia tidak ada. (Yokobayashi, 1988: 72)

22) 食べてみたら、思ったよりおいしかったです。

Tabetemitara, omottayori oishikatta desu.

Ketika mencoba memakannya, ternyata enak. (Yokobayashi, 1988: 74)

2.2.4

Makna Bentuk Kalimat Pengandaian Nara

Menurut Yokobayashi dan Shimomura, kalimat pengandaian nara menunjukkan makna:

1 Menunjukkan makna katei joken atau makna pengandaian pada waktu sekarang atau masa yang akan datang. Di sini, nara lebih banyak menempel pada kata benda dan kata sifat –na.

Contoh:

23) 明日の遠足は雨なら、どうしますか?

Ashita no ensoku wa ame nara, dou shimasuka?

Kalau hujan, bagaimana dengan piknik besok. (Alfonso, 1974:685)

2. Menunjukkan makna topik/tema atau sebagai pengganti topik. Klausa kedua merupakan penilaian, keinginan maupun saran yang ingin disampaikan kepada lawan bicara mengenai tema yang terdapat pada klausa pertama.

Contoh:

24) ひらがななら、読める。

Hiragana nara, yomeru

(35)

25) 経済の勉強をやるなら、あの大学がいいでしょ。

Keizai no benkyou wo yarunara, ano daigaku ga ii desho

Kalau mau mengambil bidang ekonomi, universitas itu bagus. (Yokobayashi, 1988: 92)

Naoko Maeda berpendapat bahwa kalimat pengandaian nara juga memiliki makna lain, seperti:

3. Menunjukkan makna dugaan. Pada klausa pertama menyatakan dugaan yang akan terjadi di masa depan dan pada klausa kedua mengungkapkan penilaian, keinginan, permohonan dari diri sendiri berdasarkan dugaan yang dinyatakan pada klausa pertama.

Contoh:

26) 今電話で彼に告白したなら、驚いてしまうだろう。

Ima denwa de kare ni kokuhakushita nara, odoroite shimau darou.

Kalau sekarang kamu telepon dia dan menyatakan perasaan kamu padanya, pasti dia akan terkejut.

(Naoko, 2001: 108)

(36)

BAB III

ANALISIS MAKNA KALIMAT PENGANDAIAN

DALAM NOVEL NORUWEI NO MORI

Novel merupakan salah satu alat komunikasi tulisan yang sangat populer. Melalui novel, pengarang akan bebas menyampaikan ide-idenya serta pesan-pesan baik tersurat maupun tersirat kepada pembaca. Melalui novel kita juga dapat mengetahui hal-hal baru, seperti budaya, gaya hidup serta pengetahuan umum lainnya. Seperti novel Noruwei no Mori yang mencerminkan suasana kota Tokyo.

Noruwei no Mori, judul pilihan pengarang yang diambil dari sebuah karya

The Beatles, menceritakan seluk beluk kehidupan seorang Toru Watanabe yang seakan-akan terlempar ke masa-masa kuliah di Tokyo dan selalu terkenang akan Naoko, gadis cinta pertamanya yang juga kekasih mendiang sahabatnya, Kazuki. Novel ini menggambarkan dunia pertemanan yang serba pelik, seks bebas, rasa hampa dan seorang Watanabe yang bingung memilih masa lalu atau masa depan ketika seorang gadis yang bernama Midori datang ke dalam kehidupannya.

(37)

Berdasarkan data di atas, bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk kalimat pengandaian lainnya, kalimat pengandaian tara lebih banyak terdapat dalam novel Noruwei no Mori. Oleh karena itu, dalam bab ini Penulis hanya akan membahas mengenai makna bentuk kalimat pengandaian tara saja. Di antar 24 kalimat pengandaian tara, penulis memilih 15 kalimat untuk dikaji lebih jauh. Kalimat-kalimat tersebut adalah:

1) もし私が肩の力を抜いたら、私バラバラになっちゃうのよ。

(hal 18)

Moshi watashi ga kata no chikara wo nuitara, watashi barabara ni

nachau no yo.

Terjemahannya:

Andaikan aku melepaskan ketegangan, tubuhku akan tercerai-berai.

Analisis:

(38)

2) 彼がそうしてくれなかったら、僕の寮での生活はもっとずっとや

やっこし不快なものになっていただろうと思う。

(hal 69)

Kare ga soushitekurenakatara, boku no ryou de no seikatsu wa motto zutto

ya yakkoshi fukai na mono ni natte itadarou to omou.

Terjemahannya:

Kalau ia tidak bersikap seperti itu, aku kira kehidupanku di asrama akan lebih rumit dan jauh lebih tak menyenangkan.

Analisis :

Kalimat pengandaian di atas merupakan asumsi atau perkiraan seseorang mengenai suatu hal yang terjadi pada dirinya. Pada kalimat di atas, kata ‘asrama’ mengisyaratkan suatu lokasi yang menunjukkan keterbatasan ruang lingkup terhadap kalimat di atas. Dengan kata lain, ‘sikap ia’ hanya akan berpengaruh jika berada di asrama, bukan di luar asrama. Kalimat tara di atas juga mengandung makna pemicu/penyebab yang dikemukakan oleh Naoko Maeda. Pada kalimat di atas subjek pada klausa pertama dan klausa kedua berbeda. Tindakan/kejadian yang terjadi pada klausa pertama dan kedua tidak sama.

3) もし逆の立場だったら僕だって同じことを望むだろうという気がし

たからだ。

(hal 80)

Moshi gyaku no tachiba dattara boku datte onaji koto wo nozomu darou to

(39)

Terjemahannya:

Kalau aku berada di posisi yang sama, aku pun mengharapkan hal yang sama.

Analisis:

Kalimat pengandaian di atas menunjukkan suatu perbandingan. Perbandingan pada kalimat tersebut terjadi antara si pembicara ‘aku’ dan seseorang yang berada pada suatu posisi tertentu. Pada klausa kedua terdapat pendapat atau penilaian dari si pembicara.

4) もし準備ができたと思ったら、私わあなたにすぐ手紙をかきます。

(hal 93)

Moshi junbi ga dekita to omottara, watashi wa anata ni sugu tegami wo

kakimasu.

Terjemahannya:

Kalau aku sudah siap, aku akan menulis surat kepada mu.

Analisis:

(40)

kemungkinan. Pada kalimat di atas, kegiatan menulis surat dilakukan setelah si pembicara selesai melakukan sesuatu.

5) もし受かってたら、美味しいもの食わしてわるよ。

(hal 115)

Moshi ukattetara, oishii mono shokuwashitewaruyo.

Terjemahannya:

Nanti kalau aku lulus, kau ku traktir makanan enak ya..

Analisis:

Menurut Yokobayashi dan Shimomura, kalimat pengandaian di atas mengandung makna katei joken yang menunjukkan suatu urutan waktu. Klausa kedua hanya dapat berlaku jika klausa pertama sudah terjadi. Kegiatan traktir makanan hanya akan terjadi jika ‘aku lulus’. Walaupun dapat dikatakan sebagai suatu syarat, namun kalimat di atas tidak sesuai dengan pemikiran Shigeyuki Suzuki yang menyatakan bahwa syarat tersebut tidak ada hubungannya dengan masa lampau, masa sekarang atau pun masa yang akan datang karena sangat jelas tercantum bahwa kegiatan mentraktir hanya akan terjadi jika ‘aku lulus’ dan ‘lulus’ tersebut berkaitan dengan waktu.

6) 「ねえ、私たち反革命なのかしら?」と教室を出てから緑が僕に言

った。「革命が成就したら、私たち電柱に並んで吊されるのかし

ら?」

(41)

“Nee, watashitachi hankakumei na no kashira?” to kyoushitsu wo dete

kara midori ga bokuni itta. “kakumei ga joujushitara, watashitachi

denchou ni narande tsurisareru no kashira?”

Terjemahannya:

“Hei apa kita termasuk orang yang anti revolusi?” kata Midori kepadaku setelah keluar dari kelas. “nanti kalau revolusi berhasil apa kita akan digantung di tiang listrik berdampingan?”

Analisis:

Kalimat pengandaian di atas merupakan sebuah kalimat tanya mengenai apa yang akan terjadi jika sesuatu terjadi. Kalimat di atas tidak dapat dipastikan apakah menunjukkan suatu urutan waktu karena kalimat tersebut masih berupa pertanyaan yang belum jelas jawabannya. Kalau pun sudah jelas, kalimat tersebut masih belum dapat dipastikan mengandung makna urutan waktu. Karena secara logika, apakah mungkin dalam waktu singkat menggantung orang di tiang listrik walaupun orang tersebut anti revolusi. Berapa banyak orang anti revolusi? Dan berapa banyak tiang listrik yang tersedia? Menurut Penulis, kalimat di atas menunjukkan makna dugaan atau perkiraan mengenai sesuatu dan juga menunjukkan makna sono atode ‘setelah’.

7) 遅刻しそうになったら、メルセベスベンシで学校の近くまで送って

もらうような子がよ。

(42)

Chikokushi sou ni nattara, merusebesu benshi de gakko no chikaku made

okotte morau youna ko ga yo.

Terjemahannya:

Kalau terlambat ia selalu diantar sampai ke dekat sekolah pakai Mercedes Benz.

Analisis:

Kalimat pengandaian di atas menunjukkan makna urutan waktu. Klausa kedua merupakan suatu kejadian yang dilakukan setelah klausa pertama terjadi. Kalimat tersebut juga dapat menunjukkan makna sono toki ‘ketika’. Klausa pertama pada kalimat di atas juga merupakan pemicu/penyebab terjadinya klausa kedua.

8) 「お金がないって言えることなのよ。たとえば私がクラスの友達に

なにかしましょうよって言うでしょ、すると相手はこういうの、

「私今お金がないから駄目」って。逆の立場になったら私とてもそ

んなこと言えないわ。私がもし「いまお金ない」ってたら、それは

本当にお金がないっていうことなんだもの。惨めなだけよ。

(hal 131)

“okane ga naitte ieru koto na noyo. Tatoeba watashi ga kurasu no

tomodachi ni nanika shimashou yotte iu deshou, suru to aite wa kou iu no,

“watashi ima okane ga nai kara dame” tte. Gyaku no tachiba ni nattara

(43)

ttetara, sorewa hontou ni okane ga naitte iu koto nanda mono. Mijime na

dake yo. …”

Terjemahannya:

“Kalau aku mengatakan aku tak punya uang. Misalnya, aku mengajak seorang teman sekelas melakukan sesuatu, lalu ia berkata begini ‘aku sekarang tidak punya uang, jadi tidak bisa.’ Tetapi kalau posisinya terbalik, aku tidak mungkin bisa mengatakan itu. Kalau aku mengatakan ‘ sekarang aku tidak punya uang,’ artinya aku betul-betul tidak punya uang. Betul-betul menyedihkan.

Analisis:

Kalimat pengandaian tara pada kalimat di atas yang mempunyai arti ‘tetapi kalau posisinya terbalik’ mengandung makna perbandingan. Pada klausa berikutnya terdapat suatu pemikiran yang berbeda. Sedangkan pada kalimat pengandaian tara berikutnya menandung makna alasan.

9) 「それでもしお父さんがウルグァイ来いってたら、君どうする

の?」

(hal 151)

“ sorede moshi ojisan ga Uruguai kiittetara, kimi dou suru no?”

Terjemahannya:

(44)

Analisis:

Kalimat pengandaian di atas merupakan kalimat tanya. Menurut Penulis, kalimat di atas belum dapat diketahui menunjukkan makna apa yang terkandung. Hanya berupa pertanyaan biasa mengenai apa yang akan terjadi jika terjadi sesuatu.

10) もしガソリン。スタンドに引火したら、この家も吹きとんじゃうだ

ろうなというようなことを考えていた。

(hal 157)

Moshi gasorin sutando ni inka shitara, kono ie mo fuki tonjau darou na to

iu youna koto wo kangaete ita.

Terjemahannya:

Aku berpikir kalau api merembet ke pom bensin pasti rumah ini pun akan rata dengan tanah.

Analisis:

(45)

bentuk lampau. kalimat pengandaian di atas juga menunjukkan hubungan sebab-akibat yang terjadi antara klausa pertama dan kedua.

11) ときどきこんな風におもいます。もし私とあなたがごく当りまえの

普通の状況で出会って、お互いに好意を抱きあっていたとしたら、

いったいどうなっていたんでろうと。

(hal 184)

Toki doki konna fuu ni omoimasu. Moshi watashi to anata ga goku touri

mae no futsu no juukyou de ate, otagai ni kou I wo daki ate itato

shitara,ittai dounatte itan darou to.

Terjemahannya:

Kadang-kadang aku berpikir seperti ini. Andai aku dan kamu bertemu dalam situasi yang wajar, yang sudah seharusnya, lalu masing-masing mempunyai rasa suka, apa gerangan yang akan terjadi, ya

.

Analisis:

(46)

12) ここを出て行くことは完全にその人の自由だけれど、一度出て行く

ともうここには戻れないの。橋を焼くのと同じよ。二、三日町に出

て ま た こ こ に 戻 っ て と い う こ と は で き な い の 。 だ っ て そ う で し ょ

う?そんなにとしたら、出たり入ったりする人ばかりになっちゃう

もの。

( hal 208)

Koko wo dete iku koto wa kanzen ni sono hito no jiyuu da keredo, ichi do

dete iku to mou koko ni wa modorenai no. hashi wo yaku no koto onaji yo.

Ni, san nichi machi ni dete mata koko ni modotte to iu koto wa dekinai no.

datte sou deshou? Sonna ni toshitara, detari haittari suru hito bakari ni

nacchu mono.

Terjemahannya:

Keluar dari sini adalah kebebasan mutlak orang tersebut, tetapi sekali keluar tidak akan bisa kembali lagi ke sini. Sama saja dengan kita membakar jembatan. Dua-tiga hari kita pergi ke kota, tidak bisa kembali lagi ke sini. Hal seperti itu tak mungkin bisa dimengerti, kan? Tetapi kalau diperbolehkan tempat ini akan jadi tempat orang datang dan pergi saja.

Analisis:

(47)

disebut pada klausa kedua pun akan terjadi. Dan pada klausa kedua biasanya terdapat suatu pendapat, maksud , keinginan dan lain sebagainya dari si pembicara.Pada kalimat di atas, jika peraturan-peraturan diperbolekannya meninggalkan tempat itu disahkan, maka tempat itu akan menjadi tempat orang datang dan pergi saja.

13) 一生このまま小指が働かないんじゃないだろうか?もしそうなった

らこれからいったいどうやって生きていけばいいんだろうか?

(hal 242)

Issei kono mama koyubi ga hatarakanainjanai darouka? Moshi sounattara

korekara ittai douyatte ikiteikeba iindarouka?

Terjemahannya:

Mungkinkah kelingkingku tak akan bisa bergerak lagi seumur hidup? Kalau benar seperti itu bagaimana aku harus hidup selanjutnya?

Analisis:

Kalimat pengandaian di atas mengandung makna pengganti topik terhadap hal yang dibicarakan dalam kalimat sebelumnya. Dari kalimat di atas, hal yang dibicarakan sebelumnya adalah hal mengenai kemungkinan yang terjadi pada jari kelingking. Oleh karena itu, dalam kalimat pengandaian tara di atas moshi

(48)

14) そしてもしばれちゃうようなことがあったら、あのきれいな目から

ぽろぽろ涙をこぼしていい訳するか謝るかするのよ、すがりつくよ

うな声でね。

( Hal 253)

Soshite moshi barecchau youna koto ga attara, ano kirei na me kara

poroporo namida wo kobashite ii yakusuru ka ayamaru ka suru no yo,

sugari tsuku youna koe de ne.

Terjemahannya:

Kalau kebohongannya terbongkar maka air mata akan berlinang di matanya yang indah itu, lalu ia akan berdalih atau meminta maaf dengan suara memelas.

Analisis:

(49)

15) この人にまかせておけば大丈夫、少しでも私の具合がわるくなって

きたら、つまりネジがゆるみはじめたら、この人はすぐに気ついて

注意深く我慢つよくなおしてくれるーネジをしめなおし、糸玉をほ

ぐしてくれる。。

(hal 247)

Kono hito ni makasete okeba daijoubu. Sukoshi demo watashi no guai ga

waruku natta kitara, tsumari neji ga yurumi wa hajimetara, kono hito wa

sugu ni kit suite chuui fukaku gaman tsuyoku naoshite kureru – neji wo

shime naoshi, ito gyoku wo hogushitekureru.

Terjemahannya:

Masalahnya akan selesai jika aku serahkam kepadanya, seandainya kondisiku sedikit memburuk, dengan kata-kata lain sekrup-sekrupku mulai mengendur, pasti ia akan segera menyadarinya, dengan penuh kesabaran dan perhatian ia akan menyembuhkannya, mengencangkan kembali sekrup-sekrup yang longgar, meluruskan kembali gulungan benang yang kusut.

Analisis:

(50)

Hasil analisa 15 kalimat pengandaian tara yang terdapat dalam novel

Noruwei no Mori (Ue) menunjukkan bahwa kalimat pengandaian tara memiliki

berbagai macam jenis makna, yaitu bermakna katei joken yang menunjukkan urutan waktu, makna pengandaian biasa, makna penemuan, makna syarat, menunjukkan hubungan sebab-akibat, menunjukkan makna perbandingan, menunjukkan suatu pemicu/penyebab serta menunjukkan makna pengganti topik. Di antara makna-makna yang telah diungkapkan di atas, makna katei joken merupakan makna yang paling sering dipakai.

Jika melihat makna-makna kalimat di atas, lalu membandingkannya dengan makna yang dimiliki oleh bentuk kalimat pengandaian lainnya, seperti to,

ba dan nara, seperti yang telah diungkapkan dalam bab sebelumnya,

(51)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, terdapat beberapa kesimpulan yang dapat diambil, yaitu sebagai berikut:

1 Dalam bahasa Jepang, terdapat empat bentuk kalimat untuk menyatakan makna pengandaian, yaitu bentuk kalimat pengandaian to, bentuk kalimat pengandaian ba, bentuk kalimat pengandaian tara dan bentuk kalimat pengandaian nara.

2 Dalam novel Noruwei no Mori terdapat 54 kalimat pengandaian. 24 diantaranya merupakan bentuk kalimat pengandaian tara, 14 kalimat pengandaian to, 9 kalimat pengandaian ba dan 7 kalimat pengandaian

nara.Di antara bentuk kalimat-kalimat pengandaian lain, bentuk kalimat

pengandaian tara yang paling banyak digunakan dalam novel tersebut, yaitu sebanyak 24 kalimat.

3 Dari 24 kalimat tersebut, makna yang paling sering muncul adalah makna

katei joken yang menunjukkan suatu urutan waktu, dimana hal pada klausa

(52)

4 Bentuk tara menunjukkan perbuatan atau keadaan yang sudah terjadi atau rampung, yang mendahului perbuatan atau keadaan yang dinyatakan dalam klausa kedua.

5 Tara yang tampil pada klausa pertama menunjukkan pengandaian

sekaligus menjadi syarat dari apa yang diungkapkan pada klausa kedua. 6 Tara menunjukkan syarat dari suatu penemuan. Klausa kedua atau klausa

akhir menggunakan bentuk lampau. Subjek pada klausa pertama dan klausa kedua tidak sama.

7 Tara menunjukkan hubungan sebab-akibat, hubungan alasan serta

terdapatnya pemicu atau penyebab dimana kejadian pada klausa kedua adalah hasil perbuatan dari klausa pertama. Pada klausa kedua dapat berbentuk lampau dan dapat juga berbentuk yang akan datang. Subjek klausa pertama dan klausa kedua sama.

8 Tara juga menunjukkan makna perbandingan. Perbandingan ini terjadi

antara si pembicara dengan lawan bicara ataupun objek lainnya. Klausa kedua terdiri dari pendapat si pembicara. Pendapat tersebut bisa saja sama atau berbeda.

9 Tara menunjukkan makna pengganti topik.

10 Dalam satu kalimat pengandaian tara, tidak hanya dijumpai satu makna saja, akan tetapi juga dapat terdiri dari berbagai macam makna.

(53)

4.2 SARAN

Kalimat pengandaian dalam bahasa Jepang bukan merupakan hal yang mudah untuk dipelajari. Terlebih lagi dalam bahasa Jepang ada 4 bentuk untuk menyatakan kalimat pengandaian tersebut. Masing-masing tersebut mempunyai makna tersendiri. Walaupun keempat makna tersebut terkadang mempunyai kesamaan anatara satu sama lain, namun walaupun sedikit, tetap saja terdapat perbedaan. Untuk itu, pembelajar bahasa Jepang sebaiknya memahami dengan baik makna yang ada agar tidak terjadi kesalahan. kemudian tidak terlalu cepat memberikan makna terhadap suatu kalimat pengandaian. tetap harus dibaca secara utuh kalimat tersebut agar makna yang tersirat baik tersurat dapat tampak lebih jelas

(54)

DAFTAR PUSTAKA

Alfonso, Anthony.1974. Japanese Language Pattern vol II. Tokyo: Sophia University L.L. Center of Applied Linguistics.

Aminuddin. 2001. Semantik Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru Algensido

Chaer, abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. ___________2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

___________2005. Bahasa Indonesia dalam Masyarakat: Telaah Semantik. Jakarta: Rineka Cipta.

Depdikbud. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Djajasudarma, T.Fatimah.1999. Semantk I: Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: Reffika Aditama.

1998. Minna no Nihono. Jakarta: Pustaka Lintas Budaya

Murakami, Haruki. 2005. Noruwei No Mori Terjemahan Jonjon Johana

Norwegian Wood. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Keraf, Gorys. 1980. Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: Nusa Indah.

Lubis, Syahron. 2002. Dasar-dasar Sintaksis dan Semantik. Medan: Universitas Muslim Nusantara.

McGloin, Naomi Hanaoka. 1977. A students’ guide to Japanese Grammar. Taishukan Publishing company.

Mukhtar, Erna Widodo. 2000. konstruksi ke arah penelitian deskriptif. Yogyakarta: Avyrouz.

(55)

Nazir, Muhammad. 1999. metode penelitian. Darussalam: Ghalia Indonesia. Parera, J.D. 1991. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.

Samsuri. 1994. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.

Sutedi, Dedi. 2003. Dasar – dasar Linguistik Bahasa Jepang Nihon Go Gaku no

Kiso. Bandung : Humaniora Utama Press (HUP).

Suzuki, Shinobu. 1977. Bunpo I. Tokyo: Koubunsha.

Suzuki, shigeyuki. 1972. Nihongo Bunpo Keitairon. Mugishobo.

Taniguchi, Goro. 1999. Kamus Standar Bahasa Jepang-Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.

Tomita, Takayuki. 1991. Kiso Hyougen 50 to Sono Oshieta. Tokyo: Bonjinsha. Yokobayashi dan Shimomura. 1988. Gaikokujin no tame no Nihongo Reibun/Mondai

(56)
(57)

を知っているのため、前で、なにか作家が伝われてについてわ

からなければならないことである。

ノ ル ウ ェ イ の 森 の 小 説 は 村 上 春 樹 の 一 つ 製 作 で あ る 。 こ

の小説の中でトルワタナベさんが昔の 生活と将来の愛情は迷う

について話す。

小 説 の 中 に は た く さ ん 人 生 の メ ッ セ ー ジ が 読 む 人 ま で と

どく?このことは読む人の

えんし ゅう

,

演習に

いぞん

,

依存である。

日 常 生 活 の 中 に 、 条 件 文 は よ く 使 い 。 日 本 語 も 同 じ で あ

るよ。しかし、インドネシア語で比べ たら、日本条件文もっと

複 雑 な の で あ る 。 日 本 語 で 条 件 文 は 四 形 が あ る 、 「 と 」 、

「ば」、

「たら」と「なら」である。四つ形はそれぞれの意味があって、

イ ン ド ネ シ ア 語 で 四 つ 形 は 同 じ 意 味 「

kalau

」 が あ っ て も 、 そ

れぞれの意味が違う。

ノ ル ウ ェ イ の 森 一 冊

(

三 百 ペ ー ジ

)

の 中 に 、 条 件 文 は た く

さん「と」、「ば」、「たら」と「な ら」の形がある。四つ条

件文で、「たら」が一番多いである。 「たら」の形は二十四文

(58)

「 た ら 」 の 形 で 、 い ろ い ろ 意 味 が あ る 。 仮 定 条 件 に と し

て、二

せつ

,

節 が実行されるため、

一節は真 理条件になって。条

件 で は 時 間 の

れんぞ く

,

連続 の 意 味 が あ る 。 一 節 を し た ら 、 す ぐ 二

節になっていく。でも、条件文はとい っかけの文にあって、回

答がなければ、時間連続の意味が消え る。「たら」の条件文で、

発見の意味があるし、理由の意味もあ るし。そして、「たら」

はきっかけの意味と

しゅう かん

,

習慣の意味があらわす。

小説の文がある

ぶんせ き

,

分析 したら、「たら」のが

かだい

,

課題

の代用品である。課題のことは「たら 」の形のある文の前であ

る。

解 析 の 上 で 、 「 た ら 」 の 条 件 文 は 複 雑 な 意 味 が あ る 。 だ

から、作家にとって、「たら」の条件 文形はほかの形より複雑

Referensi

Dokumen terkait

Makna setiap kata merupakan salah satu objek kajian semantik, karena komunikasi dengan menggunakan suatu bahasa yang sama seperti bahasa Jepang, baru akan berjalan lancar jika

Dari contoh di atas dapat dikatakan bahwa kata mou dan ato memiliki makna yang sama yaitu lagi, akan tetapi penggunaan kedua kata tersebut berbeda situasinya. Pada kalimat

Kunihiro (1996:97) memberikan batasan tentang kedua istilah tersebut, bahwa : Polisemi (tagigo) adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu, dan setiap makna

kalimat, kata mou mewakili nuansa makna “bertambah lagi” yang digunakan untuk menambah jumlah / kuantitas pada keadaan sekarang. Sedangkan kata ato banyak dipakai untuk

Polisemi (tagigo) adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu, dan setiap makna tersebut ada pertautannya, sedangkan yang dimaksudkan dengan homonim

Kedua contoh kalimat eksklamatif dalam bahasa Mandarin di atas menunjukkan struktur kalimat yang berbeda, begitu pula makna yang muncul dari kalimat tersebut.. Kalimat pertama

kata merah berasosiasi dengan makna berani kata cenderawasih berasosiasi dengan makna indah sedangkan makna idiomatik menurut Chaer dalam Novita amrah (2016:34) adalah

Berdasarkan contoh kalimat diatas, secara umum verba shikaru dan okoru tersebut bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki kemiripan arti “marah”, tetapi dalam