• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kompetensi Dan Kerja Tim Terhadap Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Swadana Daerah Tarutung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Kompetensi Dan Kerja Tim Terhadap Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Swadana Daerah Tarutung"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KOMPETENSI DAN KERJA TIM TERHADAP

KINERJA PERAWAT PELAKSANA RAWAT INAP DI

RUMAH SAKIT UMUM SWADANA DAERAH

TARUTUNG

TESIS

OLEH

JONGGA HUTAPEA

077013014/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

(2)

PENGARUH KOMPETENSI DAN KERJA TIM TERHADAP

KINERJA PERAWAT PELAKSANA RAWAT INAP DI

RUMAH SAKIT UMUM SWADANA DAERAH

TARUTUNG

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Progam Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi Rumah Sakit

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh:

JONGGA HUTAPEA

077013014/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

Judul Tesis : PENGARUH KOMPETENSI DAN KERJA TIM TERHADAP KINERJA PERAWAT

PELAKSANA RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM SWADANA DAERAH

TARUTUNG Nama Mahasiswa : Jongga Hutapea

Nomor Induk Mahasiswa : 077013014

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Administrasi Rumah Sakit

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, M.Si) (dr. Heldy BZ, M.P.H)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S) (dr. Ria Masniari Lubis, M.Si)

(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 31 Desember 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, M.Si Anggota : 1. dr. Heldy BZ, M.P.H

(5)

PERNYATAAN

PENGARUH KOMPETENSI DAN KERJA TIM TERHADAP

KINERJA PERAWAT PELAKSANA RAWAT INAP DI

RUMAH SAKIT UMUM SWADANA DAERAH

TARUTUNG

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan

sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam

naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 31 Desember 2009

(6)

THE EFFECT OF COMPETENCE AND TEAMWORK

ON NURSE’S PERFORMANCE AT THE GENERAL

HOSPITAL OF TARUTUNG

OLEH

(7)

ABSTRAK

RSU Swadana Daerah Tarutung telah menetapkan sistim pelayanan keperawatan dengan metode tim sejak tahun 2007, namun pelaksanaanya yang tidak konsisten menyebabkan pasien merasa kurang puas atas pelayanan yang diberikan oleh perawat rumah sakit rawat inap, sehingga mereka mencari tempat pelayanan kesehatan yang lain.

Survei dengan menggunakan pendekatan analitik dengan tipe explanatory bertujuan menganalisis pengaruh kompetensi perawat (kompetensi teknis, kompetensi perilaku) dan kerja tim (kerjasama, kepercayaan, kekompakan) terhadap kinerja perawat pelaksana rawat inap di RSU Swadana Daerah Tarutung. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana rawat inap berjumlah 60 orang dan sampel adalah jumlah dari keseluruhan populasi. Data diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner; data dianalisis dengan menggunakan uji regresi berganda α = 0,05.

Hasil survei menunjukkan bahwa kerjasama (p = 0,038), kepercayaan (p = 0,017) memiliki pengaruh terhadap kinerja perawat pelaksana rawat inap, sementara itu variabel yang lain yaitu kompetensi teknis (p = 0,316), kompetensi perilaku (p = 0,108) dan kekompakan (p = 0,875) tidak memberikan pengaruh terhadap kinerja perawat pelaksana rawat inap RSU Swadana Daerah Tarutung.

Disarankan kepada manajemen rumah sakit agar: (1) mengimplementasikan metode tim keperawatan yang sudah ditetapkan dilaksanakan secara konsisten. (2) menetapkan standar penerimaan pegawai yang berkompetensi baik meliputi knowledge, attitude dan skill, (3) melaksanakan ketentuan kerja sama tanpa kompetisi di ruang rawat inap, (4) mengorganisir pelatihan outbond untuk meningkatkan kerjasama, kepercayaan dan kekompakan team work yang solid, (5) menjalankan sistim punishment dan reward bagi perawat rumah sakit.

(8)

ABSTRACT

The general hospital of Tarutung has determined nurse system service namely team work method since 2007, but it didn’t run well and making those patients felt unsatisfied with nurse service, that caused them found another health service.

Survey with analytic research by using explanatory approach was done to analyze the influence of nurse’s competence (technical competence, behavior competence) and team work (cooperation, belief, togetherness) on nurse’s performance. The population for this study were 60 nurses and sample were the total population. The data for this study were obtained through questionnaire; analyzed by using multiple regression test at α= 0, 05.

The result of the survey showed that cooperation (p = 0,038), belief (p = 0,017) had an influence on nurse’s performance meanwhile technical competence (p = 0,316), behavior competence (p = 0,108) and togetherness (p = 0,875) did not have any influence on nurse’s performance at the General Hospital of Tarutung.

It is suggested to the management of the general hospital of Tarutung: (1) to implement team work method consistently, (2) to determine standard quality in receiving officials who have competence including knowledge, attitude and skill, (3) to do rules cooperation without competition at the general hospital of Tarutung, (4) to organize outbound training to increase cooperation, belief and teamwork togetherness solidarity, (5) to carry out punishment and reward system for nurses.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat Rahmat dan

KaruniaNya sehingga kasihNya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul

’’ Pengaruh Kompetensi dan Kerja Tim Terhadap Kinerja Perawat Pelaksana

Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Swadana Daerah Tarutung’’

Tesis ini adalah suatu syarat akademik dalam menyelesaikan pendidikan

Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis dalam menyusun tesis ini, mendapat bantuan, dorongan dan

bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan

terima kasih dan penghargaan kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, yaitu

Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A(K).

Kepada Ibu dr. Ria Masniari Lubis, M.Si, selaku Dekan Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Ketua

Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara, dan juga kepada Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si selaku

sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, M.Si,

selaku ketua komisi pembimbing dan dr. Heldy BZ, M.P.H, selaku anggota komisi

(10)

dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga

penulisan tesis selesai.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Siti Saidah Nasution, S.Kp,

M.Kep, Sp.Mat dan Masnely Lubis, S.Kep, M.A.R.S, selaku penguji tesis yang

dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan

waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

Terima kasih kepada para Dosen, Staf dan semua pihak yang terkait di

lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih juga kepada Bupati Tapanuli Utara Torang Lumbantobing yang

telah berkenan memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan

pendidikan dan memberikan izin belajar pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih kepada dr. Suryadi Panjaitan, Sp.PD selaku Direktur RSU

Swadana Daerah Tarutung yang telah memberikan izin penelitian, dukungan serta

bimbingan dan Drs Maruap Lumbantobing, selaku Kepala Badan KB dan PKS

Kabupaten Tapanuli Utara yang telah memberikan motivasi kepada penulis dan juga

kepada semua teman dan sahabat selama proses hingga selesai penelitian.

Tak terhingga terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada Ibunda Murlan

Sinaga dan keluargas, teristimewa buat istri Duma Situmeang dan putra putri tercinta

Agus Rocky, Eric Pernando, Faisal Sugiarto, Ester Monika dan Noel Cristoffel yang

(11)

Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang

membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan,

semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan

pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, 31 Desember 2009 Penulis

(12)

RIWAYAT HIDUP

Jongga Hutapea lahir di Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara pada tanggal 10

Oktober 1965, anak kedua dari lima bersaudara, beragama Kristen Protestan dan

bertempat tinggal di Jalan Kolonel Liberty Malau Tarutung Kabupaten Tapanuli

Utara.

Penulis menamatkan Sekolah Dasar pada tahun 1980 di SDN. Pansurbatu,

tahun 1983 menamatkan SMP di SMPN Pansurbatu, dan tahun 1986 menamatkan

SMA di SMAN. Sipoholon. Kemudian pada tahun 1996 memperoleh Sarjana

Ekonomi di Fakultas Sisingamangaraja XII Tapanuli Utara .

Penulis berkerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di RSU Swadana Daerah

Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara sejak tahun 1988 sampai tahun 2008, pada tahun

1988 – 1994 sebagai staf perencanaan dan program, tahun 1995- 2003 menjadi

Kepala subbag keuangan dan program, tahun 2003 – 2004 sebagai ketua komite

administrasi dan pada tahun 2005 – 2008 sebagai humas dan informasi di RSU

Swadana Daerah Tarutung.

Mulai bulan Mei 2009 sampai sekarang bertugas di Badan KB dan PKS

(13)

DAFTAR ISI

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 46

3.6 Metode Pengukuran ... 48

3.7 Metode Analisis Data... 50

BAB IV : HASIL PENELITIAN ... 51

4.1 Deskripsi Wilayah Penelitian... 51

(14)

4.3. Hasil Analisa Uniavariat ... 54

4.3.1. Distribusi Kompetensi Teknis... 54

4.3.2. Distribusi Kompetensi Perilaku ... 54

4.3.3. Distribusi Kerjasama... 55

4.3.4. Distribusi kepercayaan ... 55

4.3.5. Distribusi kekompakan ... 56

4.3.6 Distribusi kinerja perawat pelaksana ... 56

4.4 Hasil Analisis Bivariat ... 57

4.4.1. Pengaruh Kompetensi Teknis Dengan Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap ... 57

4.4.2 Pengaruh Kompetensi Perilaku Dengan Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap ... 58

4.4.3. Pengaruh Kerjasama Dengan Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap ... 58

4.4.4. Pengaruh Kepercayaan dengan Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap ... 59

4.4.5 Pengaruh Kekompakan Dengan Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap ... 60

4.5 Hasil Analisis Multivariat ... 60

BAB V : PEMBAHASAN ... 62

5.1 Kompetensi Perawat ... 62

5.2 Kerja Tim ... 64

BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

6.1 Kesimpulan ... 70

6.2 Saran ... 70

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1 Aspek Pengukuran Variabel Kompetensi Perawat Dan Kerja Tim ... 49

3.2 Aspek Pengukuran Variabel Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap . 50 4.1 Distribusi karakteristik responden di ruang rawat inap RSU Swadana Daerah Tarutung ... 53

4.2. Distribusi Responden menurut kompetensi teknis... 54

4.3. Distribusi responden menurut kompetensi perilaku... 54

4.4. Distribusi Responden Menurut Kerjasama ... 55

4.5. Distribusi Responden Menurut Kepercayaan... 55

4.6. Distribusi responden menurut kekompakan... 56

4.7. Distribusi responden menurut kinerja perawat pelaksana... 57

4.8. Distribusi Responden Menurut Kompetensi Teknis Dengan Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap ... 57

4.9. Distribusi Responden Menurut Kompetensi Perilaku Dengan Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap ... 58

4.10. Distribusi Responden Menurut Kerjasama Dengan Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap ... 59

4.11. Distribusi Responden Menurut Kepercayaan Dengan Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap ... 59

4.12. Distribusi Responden Menurut Kekompakan Dengan Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap ... 60

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Kerangka Konsep ... 40

4.1 Struktur Organisasi RSU Swadana Daerah Tarutung ... 52

5.1 Hubungan Antara Kohesi, Norma Kinerja dan Produktifitas

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuisioner Penelitian ... 74

2 Hasil Uji Validitas Reliabilitas ... 84

3 Hasil Analisis Data Univariat... 93

4 Hasil Analisis Data Bivariat... 95

(18)

ABSTRAK

RSU Swadana Daerah Tarutung telah menetapkan sistim pelayanan keperawatan dengan metode tim sejak tahun 2007, namun pelaksanaanya yang tidak konsisten menyebabkan pasien merasa kurang puas atas pelayanan yang diberikan oleh perawat rumah sakit rawat inap, sehingga mereka mencari tempat pelayanan kesehatan yang lain.

Survei dengan menggunakan pendekatan analitik dengan tipe explanatory bertujuan menganalisis pengaruh kompetensi perawat (kompetensi teknis, kompetensi perilaku) dan kerja tim (kerjasama, kepercayaan, kekompakan) terhadap kinerja perawat pelaksana rawat inap di RSU Swadana Daerah Tarutung. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana rawat inap berjumlah 60 orang dan sampel adalah jumlah dari keseluruhan populasi. Data diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner; data dianalisis dengan menggunakan uji regresi berganda α = 0,05.

Hasil survei menunjukkan bahwa kerjasama (p = 0,038), kepercayaan (p = 0,017) memiliki pengaruh terhadap kinerja perawat pelaksana rawat inap, sementara itu variabel yang lain yaitu kompetensi teknis (p = 0,316), kompetensi perilaku (p = 0,108) dan kekompakan (p = 0,875) tidak memberikan pengaruh terhadap kinerja perawat pelaksana rawat inap RSU Swadana Daerah Tarutung.

Disarankan kepada manajemen rumah sakit agar: (1) mengimplementasikan metode tim keperawatan yang sudah ditetapkan dilaksanakan secara konsisten. (2) menetapkan standar penerimaan pegawai yang berkompetensi baik meliputi knowledge, attitude dan skill, (3) melaksanakan ketentuan kerja sama tanpa kompetisi di ruang rawat inap, (4) mengorganisir pelatihan outbond untuk meningkatkan kerjasama, kepercayaan dan kekompakan team work yang solid, (5) menjalankan sistim punishment dan reward bagi perawat rumah sakit.

(19)

ABSTRACT

The general hospital of Tarutung has determined nurse system service namely team work method since 2007, but it didn’t run well and making those patients felt unsatisfied with nurse service, that caused them found another health service.

Survey with analytic research by using explanatory approach was done to analyze the influence of nurse’s competence (technical competence, behavior competence) and team work (cooperation, belief, togetherness) on nurse’s performance. The population for this study were 60 nurses and sample were the total population. The data for this study were obtained through questionnaire; analyzed by using multiple regression test at α= 0, 05.

The result of the survey showed that cooperation (p = 0,038), belief (p = 0,017) had an influence on nurse’s performance meanwhile technical competence (p = 0,316), behavior competence (p = 0,108) and togetherness (p = 0,875) did not have any influence on nurse’s performance at the General Hospital of Tarutung.

It is suggested to the management of the general hospital of Tarutung: (1) to implement team work method consistently, (2) to determine standard quality in receiving officials who have competence including knowledge, attitude and skill, (3) to do rules cooperation without competition at the general hospital of Tarutung, (4) to organize outbound training to increase cooperation, belief and teamwork togetherness solidarity, (5) to carry out punishment and reward system for nurses.

(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rumah sakit adalah salah satu bentuk sarana kesehatan yang berfungsi untuk

melakukan upaya kesehatan dasar atau kesehatan rujukan serta upaya kesehatan

penunjang. Pada masa kini perjalanan peran rumah sakit sebagai organisasi pelayanan

kesehatan sedang memasuki lingkungan global yang kompetitif dan terus berubah.

Perubahan lingkungan tersebut menurut Trisnantoro (2004), akan mendorong rumah

sakit menjadi organisasi yang berciri multiproduk, sehingga membutuhkan

pengelolaan yang tepat. Perkembangan terkini semakin mengarah ke kondisi rumah

sakit sebagai lembaga usaha dengan berbagai konsep bisnis. Transisi ini yang

mengakibatkan rumah sakit menjadi lembaga yang berkarakter sosial sekaligus

ekonomi.

Kompleksnya sumber daya rumah sakit sebagai akibat meluasnya peran dan

cakupan kegiatan suatu rumah sakit, memerlukan perhatian besar, perbaikan dan

perubahan besar dalam sistem serta manajemennya. Jika dibandingkan dengan

sumber daya lainnya, sumber daya manusia merupakan aset yang bernilai tinggi

karena mempunyai potensi untuk terus tumbuh (Ilyas, 2002). Diantara SDM yang

terlibat secara langsung dalam pemberian pelayanan kepada pasien rumah sakit,

sekitar 40% adalah tenaga perawat dan bidan (DepKes R.I, 2002). Pelayanan

keperawatan merupakan bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan, sehingga

(21)

khususnya dalam proses penyembuhan maupun rehabilitasi di rumah sakit (Depkes

RI, 2008). Kepuasan layanan bagi pasien di rumah sakit merupakan kinerja dari

tenaga keperawatan.

Menurut As’ad (2000), kinerja adalah suatu hasil yang telah dicapai seseorang

menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan. Sesuatu yang

berpengaruh dengan yang dihasilkan seseorang dari perilaku kerjanya. Orang dengan

tingkat kinerja yang tinggi disebut produktif, sebaliknya orang yang tingkat

kinerjanya rendah, tidak mencapai standar dikatakan tidak produktif atau berkinerja

rendah.

Kinerja sendiri dalam pekerjaan yang sesungguhnya, tergantung pada

kombinasi antara kemampuan, usahanya, dan kesempatan. Kinerja ini dapat di ukur

melalui keluaran atau hasilnya. Sims dan Szilagyi (1975), menyebutkan kinerja

sebagai derajat atau tingkat dimana seseorang melakukan atau memutuskan

pekerjaannya dalam kaitannya dengan ketentuan standar khusus atau pelaksanaan

pekerjaan yang dapat diterima dari sebuah organisasi. Katz (cit. Smith dkk.,1983),

mengidentifikasikan 3 tipe perilaku dasar yang harus ada agar sebuah organisasi

dapat berfungsi dengan baik.

Berdasarkan uraian tersebut terdapat 2 hal yang bersangkutan dengan kinerja

seseorang dalam menunjang keberhasilan fungsi organisasi, yaitu adanya kinerja

yang bersangkutan dengan peran yang disyaratkan dalam organisasi, dan lain pihak

ada kinerja yang di luar peran tersebut yang bersifat spontan. Podsakoff & Mac

(22)

Pengertian diatas dapat dianalogikan dengan pengertian produktivitas dan

kooperasi. Produktivitas adalah berkaitan dengan fungsi formal organisasi seperti

hal-hal yang menyangkut struktur otoritas, spesifikasi peran dan teknologi. Sedangkan

kooperasi di satu pihak adalah perilaku yang mengacu pada pelayanan yang lebih

pada pemeliharaan tujuan, untuk memelihara keseimbangan internal, termasuk

didalamnya adalah perilaku prososial yang terjadi sehari-hari yang menyangkut

akomodasi individual terhadap kebutuhan orang lain dalam pekerjaan yang sering

disebut dengan kompetensi individu yang meliputi knowledge, skill dan attitude.

Kompetensi perawat pelaksana yaitu pengetahuan, keahlian dan perilaku

pekerja akan menghasilkan mutu pelayanan yang baik. Peningkatan mutu tersebut

tidak hanya penting secara internal, akan tetapi juga secara eksternal karena akan

tercermin dalam interaksi organisasi dengan lingkungan yang pada gilirannya turut

membentuk citra organisasi di mata berbagai pihak di luar organisasi. Tetapi secara

aksiomatis bahwa SDM merupakan unsur yang paling strategik sebab

memberdayakan SDM merupakan etos kerja yang sangat mendasar yang harus

dipegang teguh oleh semua eselon manajemen dalam hirarki organisasi (Siagian,

2002).

Tenaga keperawatan merupakan ujung tombak dalam memberikan pelayanan

di rumah sakit, karena perawat adalah provider yang selalu kontak selama 24 jam

dengan pasien. Dengan demikian, peran perawat mutlak terpengaruh dengan kinerja

mutu pelayanan sebuah rumah sakit. Persepsi masyarakat perawat sebagai “one of

(23)

hati, dapat dipercaya, bersahabat serta pekerja publik dan dapat dikatakan sebagai

penghargaan tinggi bagi profesi perawat namun juga menjadi sebuah tanggung jawab

besar untuk menjaga performance-nya dalam memberikan pelayanan kepada

customer secara profesional.

Manejemen sumber daya manusia termasuk di dalamnya tenaga perawat, pada

hakikatnya merupakan bagian integral dari keseluruhan manajemen rumah sakit.

Strategi manajemen sumber daya manusia adalah juga merupakan bagian integral

dari strategi rumah sakit. Dengan pemahaman bahwa sumber daya manusia adalah

aset utama rumah sakit, manajemen sumber daya manusia yang strategis memandang

semua manajer pada tingkat apapun baik secara struktural maupun fungsional sebagai

manajer sumber daya manusia, karena rumah sakit pada dasarnya merupakan

organisasi layanan (Soeroso, 2003).

Keberhasilan sebuah rumah sakit sangat ditentukan oleh pengetahuan,

keterampilan, kreativitas, dan motivasi staf dan karyawan. Berkaitan erat dengan

upaya melakukan perbaikan secara terus menerus adalah peningkatan mutu hasil

pekerjaan oleh semua orang dan segala komponen organisasi. Jika secara tradisional

ditekankan pentingnya orientasi hasil untuk dianut oleh menajemen, dewasa ini lebih

ditekankan lagi orientasi hasil kerja dengan mutu yang semakin tinggi. Hal ini perlu

ditekankan karena ”kearipan konvensional” dalam dunia manajemen sangat

ditekankan pentingnya mutu produk yang dihasilkan. Pada hal mutu tidak hanya

berkaitan dengan produk yang dihasilkan dan dipasarkan, baik berupa barang maupun

(24)

menyangkut semua jenis kegiatan yang diselenggarakan oleh semua satuan kerja,

baik pelaksana tugas pokok maupun pelaksana tugas penunjang dalam organisasi.

Menurut Kehoe dan Bentley cara untuk membuat tim kerja yang baik adalah

menggunakan model GRP (Goal, Roles, Procedures) = TPP yaitu Tujuan, Peranan,

Prosedur sehingga dapat mencapai suatu keberhasilan. Penggunaan model ini sebagai

berikut: 1). Penetapan tujuan yaitu penjelasan tujuan kelompok dengan membuat

kepastian atas kerja yang dicapai tim, tentukan ukuran pencapaian khususnya

mengenai parameter kuantitas, kualitas, waktu, biaya atau keamanan kerja. 2).

Penetapan peranan yaitu apabila tujuan sudah jelas, dipahami dan disetujui oleh

semua anggota tim, selanjutnya dibuat keputuskan persetujuan atas siapa yang akan

melakukan untuk membantu tim mencapai tujuanya. Para anggota tim harus jelas

mengetahui tentang apa yang mereka saling harapkan diantara sesama anggota tim,

sehingga setiap anggota dapat melaksanakan bagiannya dengan berhasil. 3).

Penetapan prosedur yaitu mendapatkan persetujuan tentang bagaimana seharusnya

tim itu berfungsi. Tentukan persetujuan tentang bagaimana keputusan-keputusan

diambil, rapat-rapat apa akan dibutuhkan dan kapan, bagaimana konflik-konflik akan

ditangani. Mencapai persetujuan atas bagaimana informasi yang relevan akan saling

dikomunikasikan (Aditama, 2003).

Pada pelayanan kesehatan rumah sakit yang merupakan bagian integral

adalah keperawatan. Sebab keperawatan adalah salah satu profesi di rumah sakit yang

berperan penting dalam penyelenggaraan upaya menjaga mutu pelayanan di rumah

(25)

”hospital should not harm the patients” dan di tahun 1859 dikatakan bahwa

pelayanan keperawatan bertujuan untuk ”put patient in the best condition for nature

act upon him.” Hal ini menunjukkan kepedulian yang mendalam dari seorang perawat

terhadap pasien yang ditanganinya di rumah sakit (Aditama, 2003). Profesi

keperawatan juga mempunyai standar dalam pekerjaan profesinya. Salah satu standar

keperawatan menurut DPP PNI No.3/DPP/SK/I/1996 yaitu Standar Asuhan

Keperawatan (SAK) di Rumah Sakit.

Rumah Sakit Umum Tarutung adalah milik Pemerintah Daerah Kabupaten

Tapanuli Utara, Sumatera Utara dan satu-satunya rumah sakit yang ada di Tapanuli

Utara dengan status kelas ”B” non pendidikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri

Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia

No.1809/MENKES-KESSOS /SK/XII/2000, dengan jumlah tempat tidur 110 unit. Pada tahun 2003 sesuai

Perda nomor 7 tahun 2003, Rumah Sakit Umum Tarutung berubah status menjadi

RSU Swadana Daerah Tarutung. Status ”Swadana” sangat berpotensi menggeser

rumah sakit pemerintah yang pada masa lalu hanya berorientasi pada fungsi sosial ke

arah unit sosial ekonomi (Sabarguna dan Sumarni, 2003).

Tingkat penampilan rumah sakit berdasarkan standar dari Depkes RI

menyebutkan nilai Bed Occupancy Rate (BOR) yang ideal adalah 60-85%

(http:/www. yanmedik- depkes.or.id/kegPel/default .htmhome). RSU Swadana

Daerah Tarutung berdasarkan data yang diperoleh dari Rekam Medik bahwa pada

tahun 2007 pencapaian BOR 90,80%, tahun 2008 berkurang menjadi 73,00%, namun

(26)

Kondisi RSU Swadana Daerah Tarutung pada tahun 2008 mengalami

penurunan sesuai perhitungan BOR rumah sakit sebesar 18,72% dari tahun 2007 ini

diakibatkan adanya penurunan kinerja rumah sakit. Penurunan indikator kinerja RSU

Swadana Daerah Tarutung sangat terpengaruh dengan kinerja pelayanan perawat,

oleh karena selama 24 jam pasien rawat inap dibawah pengawasan perawat pelaksana

di rumah sakit.

Penurunan kinerja RSU Swadana Daerah Tarutung menimbulkan berbagai

fenomena. Fenomena yang terjadi pada RSU Swadana Daerah Tarutung didapat dari

komite keperawatan bahwa masih adanya keluhan pasien, keluarga pasien tentang

ketidakpuasan layanan yang diperoleh dari perawat pelaksana rawat inap seperti

ketepatan pemberian obat-obatan, pemberian suntikan, kehadiran petugas tidak tepat

waktu dan juga perawat pelaksana rawat inap kurang senyum dan kurang perhatian

kepada pasien. Kondisi seperti ini dapat menurunkan kualitas pelayanan terhadap

pasien di RSU Swadana Daerah Tarutung.

Menurut berita terbitan media cetak seperti: Aspirasi (20 Maret 2007), Metro

Tapanuli (31 Mei 2008), Skala Indonesia (27 Agustus 2008) , Bonapasogit (Januari

2009) menerbitkan bahwa pelayanan RSU Swadana Daerah Tarutung pada tahun

2008 adanya penurunan, kondisi ini juga berdampak dari semakin menurunya

pelayanan yang diberikan perawat pelaksana rawat inap RSU Swadana Daerah

Tarutung. Pada sisi yang lain kualitas tenaga keperawatan tersebut berbanding lurus

dengan tingkat pendidikan perawat yang ada, dimana pendidikan perawat pelaksana

(27)

berlatar pendidikan sarjana masih memiliki tingkat pendidikan diploma III, sehingga

pelayanan yang profesional tidak dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan dan

kepuasan oleh customer.

Praktek keperawatan yang ditetapkan di RSU Swadana Daerah Tarutung

adalah sitim penugasan dengan metode tim, namun dalam pelaksanaanya adalah

sesuai dengan kebutuhan tatanan rawat inap. Berdasarkan kebutuhan tersebut maka

sitem penugasan pelayanan perawatan dengan metode tim dalam praktek pelayanan

dilakukan sesuai dengan penugasan berdasarkan shift kerja yang telah ditetapkan oleh

RSU Swadana Daerah Tarutung, pelaksanaan ronde keperawatan yang tidak optimal

menimbulkan ronde perawat yang shift pagi tidak melaporkan secara rinci

perkembangan kesehatan pasien termasuk seringnya perawat rawat inap operan hanya

dilakukan di nursing station secara administrasi saja berdasarkan pengamatan

penulis, hal ini menimbulkan perbedaan persepsi tentang kebutuhan pelayanan

keperawatan dan pada akhirnya berdampak meningkatnya lama perawatan pasien

(lengt of stay).

Pihak manajemen diharapkan segera mengambil langkah cepat untuk

merespon kondisi tersebut, hal ini mungkin diakibatkan kelemahan petugas perawat

pelaksana rawat inap dalam pemberian asuhan keperawatan, pengetahuan tentang

Standard Operating Procedur (SOP) serta perencanaan dan pengembangan sumber

daya manusia yang belum sesuai terhadap kebutuhan rumah sakit seperti sistem

(28)

Praktek keperawatan tidak mungkin akan meningkat kecuali masalah dapat

diidentifikasi dan dipecahkan. Wijono (2000), mengasumsikan bahwa karyawan

sesungguhnya mempunyai pengetahuan yang cukup dan memiliki ide-ide yang kreatif

untuk memecahkan masalah-masalah dalam pekerjaannya. Untuk dapat memecahkan

masalah tersebut karyawan membutuhkan cukup informasi, tanggung jawab dan

wewenang serta kepercayaan dari manajer atau pimpinannya. Pada akhirnya

karyawan akan merasakan kepuasan kerja dan lebih produktif bila mereka dibantu

dengan menciptakan lingkungan kerja yang baik dengan mengurangi hambatan dalam

pekerjaannya. Informasi-informasi yang up to date belum dapat diakses untuk

memenuhi kebutuhan karyawan khususnya perawat pelaksana rawat inap di RSU

Swadana Daerah Tarutung.

Menurut Gillies (2006), dalam rangka meningkatkan mutu manajemen

keperawatan, maka rumah sakit seharusnya memiliki konsepsi dasar praktek

manajemen keperawatan sebagai dasar praktek keperawatan yang dijabarkan dalam

metode penugasan ruang rawat inap.

Pelayanan keperawatan rumah sakit secara umum menggunakan sitim

penugasan yang terdiri dari metode fungsional, metode tim, metode primer, metode

modular dan metode alokasi. RSU Swadana Daerah Tarutung telah menetapkan

systim penugasan dengan menggunakan metode primer dimana metode primer

berfungsi untuk merawat satu pasien di tangani oleh satu orang perawat mulai dirawat

sampai pasien pulang, namun praktek keperawatan tidak menerapkan sistem

(29)

berlangsung di RSU Swadana Daerah Tarutung adalah sesuai dengan kondisi di

tatanan rawat inap, dimana terkadang menggunakan metode fungsional dan pada satu

kesempatan yang lain menggunakan metode tim dan metode modular, sehingga

sistim penugasan keperawatan yang kurang konsisten ini dapat menurunkan mutu

pelayanan keperawatan.

Pelayanan keperawatan di rumah sakit sebaiknya melakukan sistim penugasan

dengan metode Primer karena metode ini dapat mengevaluasi perkembangan asuhan

keperawatan pasien secara berkesinambungan dan konsisten sehingga perawat

pelaksana rawat inap bekerja secara profesional, namun metode ini dapat

dilaksanakan jika perawat tersebut minimal memiliki pendidikan sarjana ataupun

spesialisasi.

Penugasan perawat di RSU Swadana Daerah Tarutung belum memenuhi

sitem penugasan dengan metode primer disebabkan karena jumlah SDM kurang

memadai. Gambaran masalah tersebut tersirat kinerja pelayanan perawat pelaksana di

rawat inap Rumah Sakit Umum Swadana Daerah Tarutung belum berjalan secara

profesional. Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan kompetensi keperawatan yang

menjadi bagian dari kinerja perawat di rumah sakit.

Pembentukan kompetensi seseorang diyakini dipengaruhi oleh dua faktor

yaitu 1). faktor internal, yang merupakan faktor bawaan bersifat genetik dan 2). faktor

eksternal yaitu faktor yang mempengaruhi perkembangan kompetensi seseorang

secara akumulatif sejak kecil seperti pendidikan dan pengalaman yang diperoleh

(30)

memiliki kecenderungan untuk menggunakan intelegensi dan emosi pada titik

keseimbangan tertentu, sehingga pengaruh antara kompetensi dan kemampuan

seseorang dalam mengendalikan emosi sangat bermanfaat untuk pengembangan

kompetensi seseorang. Apabila seseorang ingin merubah kompetensinya, dia harus

mampu merubah cara berpikirnya terutama dalam menggunakan kemampuan

intelegensi serta mengendalikan emosinya. Goleman et. Al (2002), mengelompokkan

kompetensi sesuai dengan wilayah kecerdasan emosi yang dibagi menjadi 2 golongan

besar yaitu:

1. Kompetensi personal (Personal Competence)

2. Kompetensi Sosial (Social Competence).

Kedua kompetensi inilah yang mengendalikan kecerdasan intelegensi sehingga dapat

memanajemen diri sendiri dan memanajemen relasi (Hutapea, 2008).

Para perawat pelaksana rawat inap di Rumah Sakit Umum Swadana Daerah

Tarutung sebagai kinerja utama di bidang pelayanan pasien yang berperanan penting

dalam penyelenggaraan upaya menjaga mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit

perlu diteliti, sebab kompetensi para perawat pelaksana merupakan interaksi manusia

dengan lingkungan kerja yang akan mengefektifkan penggunaan pengetahuan dan

keterampilan untuk pencapaian target kerja. Kondisi ini perlu ditangani secepat

mungkin oleh komite keperawatan yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam

melaksanakan tugas yaitu membantu direktur menyusun standar keperawatan,

pembinaan asuhan keperawatan, melaksanakan pembinaan etika profesi keperawatan

(31)

yang diberikan perawat pelaksana rawat inap dan semakin rendahnya jumlah

kunjungan pasien memilih pelayanan pengobatan dan perawatan di Rumah Sakit

Umum Swadana Daerah Tarutung.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas disimpulkan yang

menjadi masalah pada penelitian ini adalah bagaimana pengaruh kompetensi

perawat (kompetensi teknis, kompetensi perilaku) dan kerja tim (kerjasama,

kepercayaan, kekompakan), terhadap kinerja perawat pelaksana rawat inap di RSU

Swadana Daerah Tarutung.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh kompetensi perawat

(kompetensi teknis, kompetensi perilaku) dan kerja tim (kerjasama, kepercayaan,

kekompakan), terhadap kinerja perawat pelaksana rawat inap di RSU Swadana

Daerah Tarutung.

1.4 Hipotesis

1. Ada pengaruh yang positif antara kompetensi perawat (kompetensi teknis,

kompetensi perilaku) terhadap kinerja perawat pelaksana rawat inap di RSU

(32)

2. Ada pengaruh yang positif antara kerja tim (kerjasama, kepercayaan,

kekompakan) terhadap kinerja perawat pelaksana rawat inap di RSU Swadana

Daerah Tarutung.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Bagi manajemen rumah sakit yaitu mendapatkan informasi tentang

kompetensi perawat (kompetensi teknis, kompetensi perilaku) dan kerja tim

(kerjasama, kepercayaan, kekompakan) perawat pelaksana rawat inap RSU

Swadana Daerah Tarutung yang masih perlu ditingkatkan untuk mencapai

indikator pelayanan dalam asuhan keperawatan.

2. Bagi peneliti adalah menambah wawasan dalam aplikasi keilmuan di bidang

administrasi khususnya keperawatan RSU Swadana Daerah Tarutung.

3. Bagi peneliti selanjutnya, secara ilmiah hasil penelitian ini diharapkan sebagai

(33)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kinerja Perawat

Kinerja secara umum dipahami sebagai suatu catatan keluaran hasil pada

suatu fungsi jabatan kerja atau seluruh aktivitas kerjanya, dalam suatu periode waktu

tertentu. Secara lebih singkat kinerja disebutkan sebagai suatu kesuksesan di dalam

melaksanakan suatu perkerjaan (As’ad, 2000).

Kinerja sendiri dalam pekerjaan yang sesungguhnya, tergantung pada

kombinasi antara kemampuan, usahanya, dan kesempatan. Kinerja ini dapat di ukur

melalui keluaran atau hasilnya. Sims dan Szilagyi (1975), menyebutkan kinerja

sebagai derajat atau tingkat dimana seseorang melakukan atau memutuskan

pekerjaannya dalam kaitannya dengan ketentuan standar khusus atau pelaksanaan

pekerjaan yang dapat diterima dari sebuah organisasi.

Katz (cit. Smith dkk., 1983) mengidentifikasikan 3 tipe perilaku dasar yang

harus ada agar sebuah organisasi dapat berfungsi dengan baik, yaitu: 1). Seseorang

harus dibuat untuk memasuki dan selalu berada dalam sistem 2). Mereka harus

menjalankan peran-peran khusus yang disyaratkan dengan cara-cara yang telah

ditentukan, 3). Harus ada aktivitas spontan dan inovatif yang berjalan diluar peran

yang telah ditentukan.

Berdasarkan uraian tersebut terdapat 2 hal yang bersangkutan dengan kinerja

(34)

yang bersangkutan dengan peran yang disyaratkan dalam organisasi, dan lain pihak

ada kinerja yang di luar peran tersebut yang bersifat spontan.

Podsakoff & Mac Kenzie (1993) menyebutkan konsep tersebut sebagai

in-role performance, yang dapat dianalogikan dengan pengertian produktivitas dan

koperasi. Produktivitas adalah berkaitan dengan fungsi formal organisasi seperti

hal-hal yang menyangkut struktur otoritas, spesifikasi peran, dan teknologi. Sedangkan

kooperasi di satu pihak adalah perilaku yang mengacu pada pelayanan yang lebih

pada pemeliharaan tujuan, untuk memelihara keseimbangan internal, termasuk

didalamnya adalah perilaku prososial yang terjadi sehari-hari yang menyangkut

akomodasi individual terhadap kebutuhan orang lain dalam pekerjaan. Terminologi

yang kemudian digunakan dalam mendeskripsikan kooperasi ini adalah

Organizational citizenship behaviour atau perilaku anggota organisasi. Sehubungan

dengan sifatnya yang berada di luar peran formal yang disyaratkan dalam organisasi,

maka tidaklah mudah untuk memaksakan pelaksanaannya kepada seseorang melalui

ancaman sanksi. Lebih dari itu, pengembangan dan pengendaliannya tidak dapat

dengan mudah dilakukan melalui perencanaan insentif individual, karena

perilaku-perilaku tersebut sering sulit digambarkan dan sulit diukur secara pasti.

Organ (cit. Podsakoff dkk., 1990) menyebutkan ada lima macam perilaku

yang diidentifikasi sebagai perilaku anggota organisasi, yaitu : 1). Mementingkan

orang lain (alturism) yaitu perilaku kehendak hati yang memiliki perasaaan ingin

membantu orang lain yang mempunyai kesulitan atau masalah yang berkaitan dengan

(35)

sebagian karyawan yang bekerja dengan baik melebihi ketentuan peran minimum

organisasi, dalam hal kehadiran, mematuhi aturan, pengambilan istirahat, dan

sebagainya. 3). Lapang dada (sportmanship) yaitu kemauan karyawan menerima

keadaan kurang ideal tanpa mengeluh, menghindari pengaduan, balas dendam, dan

menghindari keributan. 4). Keramahan (courtesy) yaitu perilaku kehendak hati pada

sebagian karyawan yang mengarah pada mencegah persoalan dengan orang lain yang

berkaitan dengan pekerjaannya. 5). Kesopanan (civic virtue) yaitu perilaku pada

sebagian karyawan yang menunjukkan bahwa ia mau berpartisipasi dan terlibat di

dalam, atau peduli tentang jalannya organisasi.

Smith dkk. (1983), menyebutkan beberapa faktor penentu perilaku anggota

organisasi tersebut, antara lain adalah : tingkat kepuasan kerja seseorang, dan perilaku

pendukung yang diberikan atasannya. Sedangkan perbedaan-perbedaan individu,

maupun lingkungan terlihat tidak berpengaruh secara langsung, namun melalui

kepuasan kerja. Hal ini dikemukakan pula oleh Podsakoff & Mac Kenzie (1993).

Namun peneliti lain, yaitu Basu & Green (1997), menyatakan bahwa perilaku

pemimpin yang transformasional mempunyai pengaruh yang negatif terhadap

perilaku inovatif bawaan, Smith dkk.(1993) dikategorikan sebagai anggota

organisasi.

Beberapa penelitian telah menemukan bahwa nampaknya bawahanpun dapat

dibedakan menjadi transformasional dan transaksional, sebagai bagian dari

pimpinannya, namun peneliti-peneliti lain menyebutkan bahwa tidak dapat dibedakan

(36)

Berdasarkan beberapa pendapat ahli yang telah diuraikan diatas, maka

disimpulkan bahwa perilaku pemimpin adalah karakteristik atau perilaku seseorang

yang menyebabkan ia dapat menjadi efektif dalam menjalankan perannya sebagai

seorang pemimpin. Selain itu konsep perilaku pemimpin transformasional dan

transaksional bukanlah suatu konsep yang berlawanan satu sama lain dalam

menyelesaikan suatu pekerjaan, melainkan saling melengkapi.

Faktor struktural menunjukkan pengaruh kinerja. Diantara faktor yang lebih

menonjol adalah persepsi peran, norma, ketidakselarasan status, ukuran kelompok,

susunan demografinya, tugas kelompok, dan kohesivitas. Sehingga ada pengaruh

positif antara persepsi peran dan evaluasi kinerja terhadap karyawan. Kadar

keselarasan yang ada antara karyawan dan atasannya mengenai persepsi atas

pekerjaan karyawan itu mempengaruhi kadar sejauh mana karyawan itu akan dinilai

sebagai pekerja yang efektif oleh atasannya. Selama persepsi peran karyawan itu

memenuhi pengharapan peran dari sang atasan, karyawan itu akan menerima evaluasi

kinerja yang lebih tinggi.

Norma mengendalikan perilaku anggota kelompok dengan menegakkan

standar-standar mengenai apa yang benar dan salah. Jika para manajer mengetahui

norma kelompok tertentu, perilaku anggota-anggotanya bisa lebih dipahami. Bila

norma mendukung output yang tinggi, para manajer dapat mengaharapkan kinerja

individual akan lebih jauh lebih tinggi dari pada bila norma kelompok bertujuan

membatasi output. Sama halnya, norma-norma yang mendukung perilaku antisosial

(37)

menyimpang dan ketidaksetaraan status menciptakan frustasi dan dapat berakibat

buruk dalam mempengaruhi produktivitas dan keinginan untuk tetap berada dalam

organisasi. Diantara individu-individu yang peka terhadap kesetaraan

(equity-sensitive), sangat mungkin bahwa ketidakselarasan (koigmensi) akan menyebabkan

surutnya motivasi dan meningkatnya pencarian cara-cara untuk mewujudkan

kesetaraan.

Pada organisasi rumah sakit, perawat adalah salah satu pemegang peran utama

dalam penentuan keberhasilan organisasi. Keberhasilan pelayanan rumah sakit akan

ditentukan oleh kinerja perawat yang merupakan faktor penentu keberhasilan akhir

dari pelayanan yang diterima oleh pasien. Dalam kaitannya dengan budaya adi

layanan, maka peran kinerja perawat yang dapat memenuhi kriteria tersebut, akan

sangat mendukung keberhasilan rumah sakit.

Tugas utama seorang perawat sesuai dengan ketentuan yang disyaratkan

organisasi adalah melaksanakan asuhan keperawatan kepada pasien, sesuai dengan

standar asuhan keperawatan (Depkes RI, 1994). Di dalam penjabarannya disebutkan:

asuhan keperawatan yang diberikan haruslah sesuai dengan falsafah keperawatan,

menggunakan pendekatan proses keperawatan dan pelaksanaan pemenuhan

kebutuhan pasien. Untuk menilai sejauh mana perawat telah menjalankan tanggung

jawab dan untuk memberikan umpan balik bagi perawat, maka perlu dilakukan

pengukuran tehadap kinerja perawat. Namun kesemuanya itu harus diarahkan untuk

(38)

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah suatu

catatan tentang hasil seluruh aktivitas kerja seseorang dalam periode waktu tertentu.

Kinerja seseorang dalam menunjang keberhasilan organisasi dapat dibedakan menjadi

kinerja berkaitan dengan peran formalnya dalam organisasi dan kinerja yang tidak

berkaitan langsung dengan peran atau di luar peran formalnya dalam organisasi.

2.2. Kompentensi Perawat

Kompetensi perawat terdiri dari kompetensi teknis dan kompetensi perilaku.

Agar seseorang memiliki kompetensi yang sesuai dengan pekerjaannya, dia harus

memanfaatkan secara optimal kedua komponen utama kompetensi tersebut. Sehingga

ia memiliki kompetensi yang sesuai dengan apa yang disyaratkan oleh pekerjaannya.

Apabila dilihat kompetensi teknis atau kompetensi perilaku secara terpisah, dengan

hanya memiliki salah satu kompetensi tersebut belumlah cukup bagi seseorang untuk

mampu melakukan pekerjaan dengan prestasi yang luar biasa secara konsisten.

Seseorang yang memiliki kompetensi teknis yang baik mampu mengerjakan suatu

perkerjaan secara teknis, namun hal tersebut belum menjamin orang tersebut dapat

berprestasi secara berkesinambungan, karena untuk melaksanakan perkerjaan dengan

baik orang juga mampu berinteraksi dengan lingkungan di sekitar pekerjaan tersebut

(Hutapea, 2008).

(39)

Kompetensi teknis adalah kompetensi yang berfokus pada pengetahuan dan

keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaannya sesuai dengan profesi

yang dimiliki. Bila kompetensi teknis ini tidak dimiliki oleh karyawan maka

pekerjaan tidak dapat dilakukan secara profesional. Selain kompetensi teknis yang

dimiliki maka kompetensi perilaku harus juga dimiliki karyawan. Karena seseorang

yang memiliki kompetensi pengetahuan dan keterampilan saja maka dia mampu

melakukan pekerjaan. Kemampuan tersebut tidak termasuk kemampuan untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja, menerima tantangan kerja dan

berperilaku produktif (Hatikah, et.al, 2004).

2.2.2 Kompetensi Perilaku

Perilaku yang digambarkan dalam kompetensi adalah perilaku kerja produktif

(bukan perilaku umum) dan seseorang dapat memiliki dan memeragakan perilaku

tersebut pada saat melaksanakan perkerjaan, dapat disimpulkan bahwa penerapan

kompetensi perilaku tersebut sudah mencakup keseluruhan komponen utama

kompetensi. Perilaku produktif di tempat kerja, seseorang harus memiliki

kemampuan teknis untuk melaksanakan pekerjaannya. Apabila orang tersebut tidak

mampu mengerjakan pekerjaannya secara teknis, maka akan mengalami kendala

untuk memeragakan kompetensi perilakunya. Sebagai contoh, perilaku berorientasi

pada pencapaian hasil adalah sebuah kompetensi perilaku, yang berarti keinginan

yang kuat untuk bekerja dengan baik atau berkompetensi untuk mencapai hasil

(40)

saat melaksanakan pekerjaan. Perilaku tersebut bukan merupakan perilaku yang

umum, melainkan perilaku kerja produktif, yaitu perilaku yang muncul dari

orang-orang yang memiliki kompetensi berorientasi pada pencapaian hasil pada saat mereka

bekerja. Agar mampu menunjukkan keinginan kuat mereka untuk mencapai hasil

yang terbaik pada saat mereka bekerja, tentunya orang-orang tersebut harus telah

memiliki kompetensi dasar yang lain, yaitu pengetahuan dan keterampilan untuk

melakukan teknisnya. Jika tidak, bagaimana mereka bisa menunjukkan sikap

”beriorentasi untuk mencapai hasil yang terbaik” apabila mereka belum mampu

mengerjakan pekerjaan mereka secara teknis.

Permasalahan yang sering terjadi di perusahaan menggunakan kompetensi

perilaku tanpa menata terlebih dahulu sistem sumber daya manusia yang mereka

miliki saat itu. Misalnya dengan memastikan lebih dulu apakah semua karyawannya

telah memenuhi persyaratan jabatan atau pekerjaan secara teknis atau belum. Apabila

belum, kekurangmampuan mereka secara teknis akan mengakibatkan sipemangku

jabatan tidak mampu memunculkan perilaku produktifnya (Hutapea, 2008).

Perilaku yang sifatnya umum seperti sikap setia dan jujur adalah bukan

perilaku kerja produktif karena perilaku tersebut tidak dapat dihubungkan secara

langsung dengan prestasi kerja. Perilaku jujur dan setia tidak selalu dimiliki oleh

orang yang produktif dan tidak ada kaitannya dengan prestasi seseorang. Ada orang

jujur dan setia namun tidak berprestasi dalam bekerja. Ada pula orang yang

(41)

Kompetensi teknis dan kompetensi perilaku bagi perawat pada rumah sakit

dituntut harus profesional. Makan pengetahuan tentang asuhan keperawatan, dalam

menentukan dan meningkatkan mutu Asuhan Keperawatan diperlukan suatu alat ukur

yaitu Standar Asuhan Keperawatan (SAK) yang baku. Melalui Surat Keputusan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor 660 /Menkes /SK/XI/1987, diperkuat

SK Dirjen Yanmed No.YM.00.03.2.6.7637 tanggal 18 Agustus 1993 dan SK Depkes

1997 mulai diberlakukannya Standar Asuhan Keperawatan sebagai proses asuhan

keperawatan. Standar Asuhan Keperawatan terdiri atas 3 instrumen, yaitu Instrumen

A untuk menilai kelengkapan pendokumentasian Asuhan Keperawatan yang

dilakukan perawat, Instrumen B digunakan untuk menilai persepsi pasien/keluarga

terhadap mutu asuhan keperawatan di Rumah Sakit dan Instrumen C digunakan untuk

mengobservasi pelaksanaan kegiatan keperawatan yang sedang dilakukan perawat.

Indikator standar asuhan keperawatan adalah pemberdayaan proses

keperawatan meliputi standart: 1) Pengkajian perawatan: data di anamnesa, untuk

menegakkan diagnosa keperawatan, 2) Diagnosa keperawatan: respon pasien yang

dirumuskan berdasarkan data status kesehatan pasien, 3) Perencanaan keperawatan:

disusun sebelum melaksanakan tindakan, 4) Implementasi atau pelaksanaan tindakan

keperawatan : ditentukan dengan maksud agar kebutuhan pasien dipenuhi secara

maksimal, 5) Evaluasi Perawat : dilakukan secara periodik dari semua tindakan dan

(42)

1. Pengkajian

Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan pengumpulan data

yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status kesehatan dan pola

pertahanan klien mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien, serta

merumuskan diagnosis keperawatan. Data yang dikumpulkan berguna untuk

menentukan aktivitas keperawatan dan juga sebagai sumber data bagi profesi

yang lain. Pertukaran data antar profesi sangat penting dalam peningkatan kualitas

dan keabsahan pelayanan kesehatan. Perawat sering mengutamakan pengkajian

fisiologis dan mengabaikan fisikologis, sosiobudaya, perkembangan, spiritual dan

interaksi. Dari kelima area pengkajian tersebut sangat diperlukan untuk

mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan klien serta dalam membantu klien

mencapai tingkat kesehatan yang optimal (Keliat, 1994).

Perawat harus mempunyai kemampuan : Komunikasi efektif, observasi yang

sistematik, pemeriksaan fisik, interpretasi masing masing gejala indentifikasi pola

interaksi, untuk dapat melakukan pengkajian yang akurat.

2. Diagnosa keperawatan.

Setelah melakukan pengkajian langkah selanjutnya adalah penegakan

diagnosa keperawatan berdasarkan data yang telah didapatkan. Diagnosa

keperawatan adalah pernyataan menjelaskan status kesehatan atau masalah yang

ada pada pasien baik aktual, resiko tinggi dan potensial. Perawat memakai proses

keperawatan dalam mengidentifikasi dan mensintetis data klinis dan menentukan

tindakan keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan atau mencegah masalah

(43)

3. Perencanaan tindakan keperawatan

Setelah merumuskan diagnosis keperawatan, maka tindakan dan aktivitas

keperawatan perlu ditetapkan untuk mengurangi menghilangkan dan mencegah

masalah keperawatan klien. Tahapan ini disebut perencanaan keperawatan yang

terdiri dari: 1. Menentukan prioritas diagnosis keperawatan. 2. Menetapkan

sasaran (goal) dan tujuan objektif. 3. Menetapkan kriteria evaluasi. 4.

Merumuskan tindakan dan aktivitas keperawatan (Keliat, 1994). Tindakan

keperawatan disusun berdasarkan diagnosa keperawatan yang ditemukan pada

pasien. Pendekatan dalam penyusunan dan tindakan keperawatan berorientasi

pada tujuan, rencana tindakan dan rasional.

4. Pelaksanaan

Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah aplikasi dari rencana tindakan

keperawatan yang disusun oleh perawat dan dilakukan pada klien, yang menjadi

petunjuk pada pelaksanaan adalah sebagai berikut: 1). Tindakan dilaksanakan

sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi. 2). Keterampilan interpersonal,

intelektual dan teknikal dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang

tepat. 3). Keamanan fisik dan psikologis dilindungi. 4). Dokumentasi tindakan

dan renspon klien (Keliat, 1994).

5. Evaluasi

Evaluasi dilakukan setelah seluruh tindakan keperawatan yang telah disusun

pada perencanaan telah dilakukan pada pasien. Untuk mengukur kemajuan dan

(44)

tidak terhadap status kesehatan pasien maka dapat dinilai melalui proses

perawatan dengan metode evaluasi.

Evaluasi adalah penilaian atau pengukuran tentang status kesehatan pasien

setelah tindakan perawatan dilaksanakan (Keliat, 1994). Pendekatan evaluasi

proses perawatan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu; 1). Evaluasi formatif

yaitu evaluasi yang dilakukan pada saat proses perawatan masih berlangsung

artinya evaluasi ini dilakukan pada saat tindakan masih berlangsung. 2). Evaluasi

sumatif yaitu evaluasi yang dilakukan pada saat proses keperawatan telah selesai

semua dilakukan artinya seluruh tindakan yang ada telah dilakukan terhadap

pasien kemudian dilaksanakan evaluasi. Tehnik pelaksanaan evaluasi beriorentasi

kepada data subjektif, data objektif, analisa dan perencanaan / tindak lanjut.

Dengan demikian secara teknis yang dituliskan pada pendokumentasian proses

perawatan pada tahap evaluasi adalah semua data subjektif, data objektif, analisa

(kesimpulan dari data subjektif dan objektif) serta perencanaan berdasarkan hasil

analisa.

2.3 Kerja Tim

Kerja tim adalah keefektipan didalam realitas kesalingtergantungan atau

sinergi. Ekologi adalah kata yang pada dasarnya menggambarkan sinergisme dalam

alam dan segalanya berpengaruh dengan yang lain. Didalam pengaruh inilah kekuatan

kreatif dimaksimumkan seperti pengaruh dari bagian-bagian juga merupakan

(45)

organisasi. Sebab semakin murni keterlibatan tersebut, semakin tulus dan

terus-menerus partisipasinya dalam menganalisis dan memecahkan masalah, semakin besar

pelepasan kreatifitas setiap orang dan komitmen mereka pada apa yang mereka

ciptakan. Jadi sinergi adalah kerja tim, pembinaan tim, pengembangan kesatuan dan

kreatifitas dengan manusia lain (Stephen, 1994).

Menurut William (2000), kerja tim adalah kemampuan untuk bekerja sama

menuju suatu visi yang sama, kemampuan mengarahkan pencapaian individu kearah

sasaran organisasi. Itulah rangsangan yang memungkinkan orang bisa mencapai hasil

yang luar biasa.

Menurut Kasali (1998), teamwork (kerjasama) dalam kelompok adalah suatu

pengembangan dari manajemen strategi yang dilaksanakan oleh suatu organisasi atau

insitusi. Kelompok merupakan unit yang fundamental dari unit organisasi dalam

pengertian manajemen disebut sebagai dua orang atau lebih yang saling berinteraksi

dan mempengaruhi satu sama lain. Sifat saling mempengaruhi ini bisa formal dan

informal, yang bersifat formal sebahagian besar meliputi kelompok komando yang

terdiri dari manajer dan bawahannya. Sedangkan yang bersifat informal timbul secara

spontan dalam lingkungan organisasi formal, tanpa dorongan manajemen.

Sebahagian orang menyatakan bahwa dalam lingkungan organisasi atau

lingkungan kerja jarang terjadi bahwa keberhasilan merupakan hasil dari bakat satu

individu saja. Dalam konsep manajemen yang berlaku adalah getting done with and

through people. Secara gambling, pimpinan mencapai tujuan bersama dengan

(46)

merupakan suatu jalan untuk meningkatkan produktifitas pendayagunaan sumberdaya

secara efektif, penghematan biaya, peningkatan mutu dan sebagainya. Disebutkan

bahwa kelompok akan lebih merasakan keberhasilannya apabila bekerja dan menjadi

unit yang lebih produktif yaitu tim atau kelompok kerja.

Kasali (2000), menyatakan bahwa” teamwork is the ability to work together

toward a common vision; The ability to direct individual accomplishment toward

organizational objectives. It is the fuel that allows common people to attain

uncommon rezulf”. Hasil kerja sebuah tim biasa menjadi tidak lagi seperti biasa,

artinya bisa istimewa atau sebagai hasil yang dramatis. Keberhasilan sebuah tugas

akan lebih meningkat produktivitasnya apabila orang bersedia bekerja dalam sebuah

tim, dengan menetapkan iklim hingga orang bersedia memberikan yang terbaik dari

dirinya. Ada beberapa hal yang menunjukkan betapa posisi anggota dari sebuah tim

bias disebut antara lain:

1. Para anggota mengerti dengan baik tujuan tim dan hanya dapat dicapai dengan

baik pula dengan bersama dan oleh karena itu mempunyai rasa saling

ketergantungan, rasa saling memiliki tim dengan tugas pekerjaanya.

2. Para anggota menyumbang keberhasilan tim dengan menerapkan bakat dan

pengetahuannya untuk sasaran tim, dapat bekerja secara terbuka, dapat

mengekpresikan gagasan, opini dan ketikdaksepakatan, peranan dan

(47)

3. Para anggota berusaha mengerti sudut pandang satu sama lain, didorong untuk

mengembangkan keterampilannya dan menerapkan pada pekerjaan, untuk itu

mendapat dukungan dari tim.

4. Para anggota mengakui bahwa konflik adalah hal yang normal, atau hal yang

biasa, dan berusaha memecahkan konflik tersebut dengan cepat dan konstruktif

(bersifat memperbaiki).

5. Para anggota berpartsipasi dalam keputusan tim, tetapi mengerti bahwa pemimpin

mereka harus membuat peraturan akhir setiap kali tim tidak berhasil membuat

suatu keputusan dan peraturan akhir itu bukan merupakan persesuaian.

Menurut Robert (2005), komponen kerja tim terdiri dari 3 (tiga) komponen

yaitu:

1. Kerjasama

Kerjasama dalam tim kerja menjadi sebuah kebutuhan dalam mewujudkan

keberhasilan kinerja dan prestasi kerja. Kerja sama dalam tim kerja akan menjadi

suatu daya dorong yang memiliki energi sinergitas bagi individu-individu yang

tergabung dalam kerja tim. Tanpa kerja sama yang baik tidak akan memunculkan

ide-ide cemerlang. Keberhasilan suatu tim maupun individu sangat berpengaruh

erat dengan kerja sama tim yang dibangun dengan kesadaran pencapaian prestasi

dan kinerja. Dalam kerja sama akan muncul berbagai penyelesaian yang secara

individu tidak terselesaikan. Keunggulan yang dapat diandalkan dalam kerja sama

pada kerja tim adalah munculnya berbagai penyelesaian secara sinergi dari

(48)

sama jika upaya-upaya dari setiap individu secara sistematis terintegrasi untuk

mencapai sebuah tujuan bersama. Semakin besar integrasinya semakin besar

tingkat kerjasamanya.

Menurut Kreitner dan Kinicki (2005), kerja sama memiliki 3 (tiga)

keunggulan yaitu: 1). Kerja sama lebih unggul dibandingkan dengan kompetisi

dalam meningkatkan prestasi dan produktivitas. 2). Kerja sama lebih unggul

dibandingkan upaya-upaya individualistis dalam meningkatkan prestasi dan

produktivitas. 3). Kerja sama tanpa kompetisi antar kelompok dapat

meningkatkan prestasi dan produktivitas lebih tinggi dari pada kerja sama dengan

kompetisi antar kelompok.

2. Kepercayaan

Kepercayaan sangat kuat di dalam sebuah perusahaan, orang-orang tidak akan

berbuat terbaik jika mereka tidak percaya bahwa mereka akan diperlakukan

secara adil, bahwa tak ada kronisme dan setiap orang memiliki sasaran yang

nyata. Satu-satunya cara yang diketahui untuk menciptakan kepercayaan

semacam itu adalah dengan menyusun nilai-nilai dan kemudian melakukan apa

yang telah dibicarakan. Anda harus mengerjakan apa yang anda katakan akan

anda buat, secara konsisten, sepanjang waktu.

Menurut Kreitner dan Kinicki (2005), ada beberapa cara untuk membangun

dan menjaga kepercayaan, yaitu: 1). Komunikasi, menjaga agar anggota tim dan

para karyawan mendapatkan informasi dengan menjelaskan kebijakan-kebijakan

(49)

teranglah tentang masalah dan keterbatasan seseorang, katakan sebenarnya. 2).

Dukungan, selalu bersedia dan mau didekati. Berikan bantuan, saran, nasehat dan

dukungan untuk ide-ide anggota tim. 3). Rasa hormat, delegasi, dalam bentuk

kewenangan pembuatan keputusan yang sebenarnya, merupakan ekspresi

terpenting dari penghormatan manajerial. Secara aktif mendengarkan ide-ide

orang lain adalah ekspresi terpenting kedua. (Pemberian kewenangan tak

mungkin tanpa kepercayaan). 4). Keadilan, cepat dalam memberikan pujian dan

pengakuan kepada individu yang berhak mendapatkan. Pastikan semua penilaian

dan evaluasi kinerja objektif dan tidak memihak (tidak berat sebelah). 5). Dapat

diprediksi, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, konsisten dan dapat

diramalkan dalam masalah sehari-hari. Penuhi janji-janji anda baik yang ter-ucap

maupun yang tersirat. 6). Kompetensi, singkatkan kredibilitas anda dengan

memperlihatkan pemahaman bisnis yang lain, kemampuan teknis, dan

profesionalisme.

Kepercayaan sangat kuat didalam sebuah perusahaan. Orang-orang tidak akan

berbuat yang terbaik jika mereka percaya bahwa mereka akan diperlukan secara

adil, tak ada kronisme dan setiap orang memiliki sasaran yang nyata. Satu-satunya

cara untuk menciptakan kepercayaan semacam itu adalah dengan menyusun

nilai-nilai yang patut sebagai bentuk tanggung jawab.

Menurut Williams (2000), bahwa ”Kepercayaan adalah keyakinan timbal

balik pada niat dan perilaku orang lain”. Ketika melihat orang lain bertindak

(50)

menjadi lebih cenderung ingin bertimbal-balik dengan lebih mempercayai

mereka. Sebaliknya, kita menjadi tidak mempercayai mereka yang

tindakan-tindakannya tampak melanggar kepercayaan kita atau tidak mempercayai kita.

Kecenderungan untuk percaya, sebuah sifat kepribadian yang melibatkan

keinginan umum seseorang untuk mempercayai orang lain. Kecenderungan akan

mempengaruhi seberapa banyak kepercayaan yang dimiliki seseorang untuk

orang yang dipercayai sebelum data pada orang tersebut tersedia. Orang-orang

dengan pengalaman berkembang yang berbeda sangat berbeda dalam

kecenderungan mereka untuk memberikan kepercayaan.

3. Kekompakan

Kekompakan (cohesiveness) adalah sebuah proses dimana rasa kebersamaan

muncul untuk mengatasi perbedaan-perbedaan dan motif-motif individual.

Anggota-anggota dari kelompok yang kompak saling mendukung satu sama lain.

Mereka enggan untuk meninggalkan kelompok. Para anggota kelompok terpadu

melekat bersama untuk satu atau dua alasan berikut :

a. Karena mereka menikmati kebersamaan satu dengan yang lain, atau

b. Karena mereka membutuhkan satu sama lain untuk menyelesaikan sasaran

bersama.

Alasan kedua kekompakan kelompok diidentifikasikan para psikologi menjadi

dua, yaitu 1). Kekompakan Sosio-Emosional (Socio-Emotional Cohesiveness)

adalah sebuah rasa kebersamaan yang berkembang ketika individu-individu

(51)

Instrumental (Instrumental Cohesiveness) adalah sebuah rasa kebersamaan yang

berkembang ketika para anggota kelompok sama-sama bergantung satu dengan

yang lain karena mereka percaya bahwa mereka tak dapat mencapai sasaran

kelompok dengan bertindak secara terpisah.

a. Pengaruh antara kekompakan kelompok dengan kinerja dan prestasi kerja,

yaitu :

b. Terdapat sebuah dampak kekompakan sehingga kinerja yang kecil, namun

secara statistik signifikan.

c. Dampak kekompakan kepada kinerja lebih kuat bagi kelompok-kelompok

yang lebih kecil dan kelompok pada dunia nyata (dibandingkan dengan

kelompok-kelompok yang tersusun didalam penelitian).

d. Dampak kekompakan kinerja menjadi lebih kuat ketika orang bergerak dari

kelompok bukan militer ke kelompok militer sampai ke tim olah raga.

e. Komitmen terhadap tugas yang dihadapi (berarti individu melihat

standar-standar kinerja sebagai suatu hal yang berlaku) memiliki dampak paling kuat

atas pengaruh kekompakan dan kinerja.

f. Pengaruh kinerja dengan kekompakan lebih kuat daripada pengaruh

kekompakan dengan kinerja, jadi keberhasilan cenderung mengikat

anggota-anggota kelompok atau tim bersama, lebih dari kelompok-kelompok yang

terjalin erat yang lebih menjadi berhasil.

g. Kebalikan dengan pandangan umum, kekompakan bukan sebuah minyak

(52)

Pada dunia usaha, penggunaan kerja tim seringkali merupakan solusi terbaik

untuk mencapai suatu kesuksesan. Kerja tim yang solid akan memudahkan

manajemen dalam mendelegasikan tugas-tugas organisasi. Namun demikian untuk

membentuk sebuah tim yang solid dibutuhkan komitmen yang tinggi dari

manajemen. Hal terpenting adalah bahwa teamwork harus dilihat sebagai suatu

sumber daya yang harus dikembangkan dan dibina sama seperti sumber daya lain

yang ada dalam perusahaan. Proses pembentukan, pemeliharaan dan pembinaan

teamwork harus dilakukan atas dasar kesadaran penuh dari tim tersebut sehingga

segala sesuatu berjalan secara normal sebagai suatu aktivitas sebuah teamwork,

meskipun pada kondisi tertentu manajemen dapat melakukan intervensi. Secara

umum perkembangan suatu tim dapat dibagi 4 (empat) tahap, yaitu :

1. Forming, adalah tahapan dimana para anggota setuju untuk bergabung dalam

suatu tim. Karena kelompok baru dibentuk maka setiap orang membawa

nilai-nilai, pendapat dan cara kerja sendiri-sendiri. Konflik sangat jarang terjadi, setiap

orang masih sungkan, malu-malu, bahkan seringkali ada anggota yang merasa

gugup. Kelompok cenderung belum dapat memilih pemimpin (kecuali tim yang

sudah dipilih ketua kelompoknya terlebih dahulu).

2. Storming, adalah tahapan dimana kekacauan mulai timbul di dalam tim.

Pemimpin yang telah dipilih seringkali dipertanyakan kemampuannya dan

anggota kelompok tidak ragu-ragu untuk mengganti pemimpin yang dinilai tidak

mampu. Faksi-faksi mulai terbentuk, terjadi pertentangan karena

(53)

yang terjadi sangat sedikit karena masing-masing orang tidak mau lagi menjadi

pendengar dan sebagian lagi tidak mampu berbicara secara terbuka.

3. Norming, adalah tahapan dimana individu-individu dan sub-group yang ada

dalam tim mulai merasakan keuntungan bekerja bersama dan berjuang untuk

menghindari tim tersebut dari kehancuran (bubar). Karena semangat kerjasama

sudah mulai timbul, setiap anggota mulai merasa bebas untuk mengungkapkan

perasaan dan pendapatnya kepada seluruh anggota tim. Mekanisme kerja dan

aturan-aturan main ditetapkan dan ditaati seluruh anggota.

4. Performing, tahapan ini merupakan titik kulminasi dimana tim sudah berhasil

membangun sistem yang memungkinkannya untuk dapat bekerja secara produktif

dan efisien. Pada tahap ini keberhasilan tim akan terlihat dari prestasi yang

ditujukan. Ada dua keterampilan utama seharusnya dimiliki oleh anggota sebuah

tim work, yaitu 1). Keterampilan managerial (managerial skills), termasuk

kemampuan dalam membuat rencana kerja, menentukan tujuan, memantau

kinerja, memonitor perkembangan dan memastikan pekerjaan telah dilakukan

secara benar, dan lain-lain. 2). Keterampilan interpersonal (interpersonal skills),

termasuk kemampuan berkomunikasi, saling menghargai pendapat orang lain dan

kemampuan menjalin pengaruh interpersonal dengan orang lain.

2.4 Kerjasama tim yang efektif

Tim adalah kumpulan orang. Apabila orang bergabung menjadi sebuah tim

(54)

mencakup : komunikasi yang efektif dan mendengarkan aktif, menyelesaikan konflik

yang pasti muncul ketika orang bekerja dalam kelompok, dan menjaga motivasi

diantara semua anggota tim.

Faktor-faktor yang disebutkan di atas belum mencakup semua faktor yang

mempengaruhi dinamika anggota tim. Meskipun demikian, dengan memfokuskan

pada faktor-faktor tersebut di atas, maka sebuah tim akan berada pada jalur yang tepat

untuk mendapatkan semua manfaat dari sebuah tim kerja.

1. Komunikasi yang efektif;

Komunikasi adalah inti dari keberhasilan kerja sama tim. Komunikasi yang

efektif adalah titik awal dari pemahaman, penafsiran, dan tindakan. Di lain pihak,

komunikasi tim yang tidak efektif bisa mengarah pada kesalahpahaman, salah

penafsiran, dan kekeliruan tindakan.

2. Mendengarkan aktif;

Komunikasi tim yang efektif melibatkan dua pihak yang bertanggung jawab

pengirim dan penerima pesan. Teknik mendengarkan aktif seperti melakukan

parafrase, merenungkan implikasi pesan, mengundang kontribusi, dan

merenungkan perasaan yang mendasari pesan berkontribusi untuk menutup

lingkaran komunikasi, memastikan bahwa anggota tim tidak hanya saling

mendengar satu sama lain, tetapi juga mengkonfirmasikan pemahaman mereka,

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konsep
Tabel 3.1 Aspek Pengukuran Variabel Kompetensi Perawat Dan Kerja Tim
Tabel 3.2
Gambar 4.1 Struktur Organisasi RSU Swadana Daerah Tarutung
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan pendekatan eksplanatori yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh budaya organisasi (disiplin, inisiatif, komunikasi,

Dari penelitian didapat 46% adalah perawat yang umurnya diatas 43 tahun, tingkat pendidikan perawat pelaksana rawat inap 100% DIIi keperawatan sehingga untuk perawat

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas yang menjadi masalah pada penelitian ini adalah bagaimana pengaruh kompetensi perawat (pengetahuan, ketrampilan) dan kerja

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran status gizi pasien rawat inap yang mendapat diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) di RSU Swadana

Saya Rahmadwitya Yulinast mahasiswi Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang sedang melakukan penelitian dalam rangka penyusunan skripsi dengan judul “Tingkat

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran status gizi pasien rawat inap yang mendapat diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) di RSU Swadana

38 Wat.Sp.2.KM.38 Berkolaborasi dengan professional kesehatan lain untuk meningkatkan pelayanan keperawatan dan kesehatan yang diberikan dalam area khusus. 39 Wat.Sp.2.KM.39

23 Mengevaluasi rencana perawatan pasien sesuai dengan kebutuhan pasien bersama dengan ketua tim 24 Mempertimbangkan kemampuan mandiri pasien setiap hari dalam