21KADAR ADIPONEKTIN PLASMA PADA TINGKATAN
KEPARAHAN SIROSIS HATI
PENELITIAN DI DEPARTEMEN / SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RS H.ADAM MALIK MEDAN
JANUARI – JULI 2010
TESIS
OLEH
LENNI EVALENA SIHOTANG NIM: 057101011
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP H. ADAM MALIK / RSUD DR. PIRNGADI
DIAJUKAN DAN DIPERTAHANKAN DI DEPAN SIDANG LENGKAP
DEWAN PENILAI DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN USU
DAN DITERIMA SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK
MENDAPATKAN KEAHLIAN DALAM BIDANG
ILMU PENYAKIT DALAM
PEMBIMBING TESIS
(dr. MABEL SIHOMBING, SpPD-KGEH) (dr. DHARMA LINDARTO, SpPD-KEMD)
DISAHKAN OLEH
KEPALA DEPARTEMEN KETUA PROGRAM STUDI
ILMU PENYAKIT DALAM ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN USU FAKULTAS KEDOKTERAN USU
DEWAN PENILAI
1. Prof dr Sutomo Kasiman SpPD-KKV
2. dr Zulhelmi Bustami SpPD-KGH
3. dr Abdurrahim Rasyid Lubis SpPD-KGH
4. dr Dharma Lindarto SpPD-KEMD
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur serta terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, di dalam nama Yesus Kristus, saya dapat menyelesaikan tesis yang berjudul : ‘Kadar Adiponektin Plasma pada Tingkatan Keparahan Sirosis Hati’, yang merupakan persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan dokter ahli di bidang Ilmu Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.
Dengan selesainya karya tulis ini, maka penulis ingin menyampaikan terima kasih dan rasa hormat serta penghargaan setinggi-tingginya kepada :
1. dr. Salli R. Nasution, SpPD-KGH, selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUP H.Adam Malik Medan yang memberi segala kemudahan dan perhatian besar kepada kami selama menjalankan studi. Dan saat ini juga saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan saya yang setinggi-tingginya kepada seluruh staf pengajar Departemen Penyakit Dalam FK USU, RSUP H. Adam Malik dan RSUD dr. Pirngadi Medan.
2. dr. Zulhelmi Bustami, KGH dan dr. Dharma Lindarto, SpPD-KEMD sebagai ketua dan sekretaris program studi Ilmu Penyakit Dalam yang dengan sungguh-sungguh telah membantu dan memudahkan penulis hingga tulisan ini bisa dibacakan di meja hijau dan kemudian untuk diuji dan kemudian diperbaiki oleh sidang tim penguji. Kesempatan ini saya juga mengucapkan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada sidang tim penguji saya :
merasakan benar-benar tulusnya bantuan Bapak dalam penyelesaian penelitian dan karya tulis ini, Bapak tak jemu dan tak lelah dalam mengoreksi karya tulis ini, hanya doa yang dapat saya panjatkan kiranya berkat melimpah dari Yang Maha Kuasa selalu beserta Bapak dan keluarga.
4. Seluruh staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUD Dr Pirngadi/ RSUP H. Adam Malik Medan, Prof Dr Harun Rasyid Lubis SpPD-KGH, Prof Dr Bachtiar Fanani Lubis SpPD-KHOM, Prof Dr Habibah Hanum SpPD-Kpsi, Prof Dr Sutomo Kasiman SpPD-KKV, Prof Dr Azhar Tanjung SpPD-KP-KAI-SpMK, Prof Dr Pengarapen Tarigan SpPD-KGEH, Prof Dr OK Moehad Sjah SpPD-KR, , Prof Dr M Yusuf Nasution SpPD-KGH, Prof Dr Azmi S Kar SpPD-KHOM, Prof Dr Gontar A Siregar SpPD-KGEH, Prof Dr Harris Hasan SpPD-SpJP(K), Dr Betthin Marpaung SpPD-KGEH, Dr Sri M Sutadi SpPD-KGEH, Dr Abdurrahim Rasyid Lubis KGH, Dr Abiran Nababan SpPD-KGEH, DR.Dr Juwita Sembiring SpPD-SpPD-KGEH, Dr Alwinsyah Abidin KP, Dr Dharma Lindarto KEMD, Dr Umar Zein SpPD-KPTI-DTM&H-MHA, Dr Josia Ginting SpPD-KPTI, Dr Refli Hasan SpPD-SpJP, alm Dr R Tunggul Ch Sukendar SpPD-KGH, Dr EN Keliat SpPD-KP, DR Dr Blondina Marpaung SpPD-KR, Dr Leonardo B Dairi SpPD-KGEH, dr Dairion Gatot SpPD-KHOM, dr Rustam Efendi YS SpPD,KGEH, Dr Zainal Safri SpPD SpJP yang merupakan guru-guru saya yang telah banyak memberikan arahan dan petunjuk kepada saya selama mengikuti pendidikan.
Dr Savita Handayani SpPD, Dr Franciscus Ginting SpPD, Dr Syafrizal Nasution SpPD, Dr Deske SpPD, dr Imelda REY SpPD, sebagai dokter kepala ruangan/ senior yang telah amat banyak membimbing saya selama mengikuti pendidikan ini.
6. Direktur RSUP H Adam Malik Medan dan RSUD Dr Pirngadi Medan yang telah memberikan begitu banyak kemudahan dan izin dalam menggunakan fasilitas dan sarana Rumah Sakit untuk menunjang pendidikan keahlian ini.
7. Para sejawat PPDS-Interna, paramedis dan seluruh karyawan/ti bagian Penyakit Dalam RSUD. Dr. Pirngadi dan RSUP. H. Adam Malik Medan.
8. Khusus buat teman-teman penulis dr. Budianto Sigalingging, dr. Taufik Sungkar, dr. Zakhri Ilma Fadly, dr. Zainal Abdi, dr. Hendra Zufri, dr Ameliana S Purba SpPD, yang telah banyak memberi bantuan, dorongan dan pengorbanan serta mengalami banyak suka duka bersama, selama menjalani pendidikan sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat.
9. Kepada Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M Kes yang telah memberikan bantuan yang tulus kepada penulis khususnya dalam metodologi penelitian ini dan statistik yang dibutuhkan pada penulisan tesis ini. 10. Kepada dr. Hotlan Sihombing, pihak PRODIA yang diwakili oleh Ibu
Marisa dan ibu Rima, terima kasih atas segala bantuannya dari pengumpulan data dan sampel sampai proses pengerjaan sampel dan penulisan akhir tesis penelitian saya ini.
12. Kepada suamiku tercinta Drs Enriko Situmorang, terimakasih untuk segala keikhlasanmu dalam kesabaran, kebijaksanaanmu dalam memberi dorongan, bantuan, serta semangat sehingga perjuangan dalam melewati sekolah ini bisa tercapai. Begitu banyak suka, duka dan cobaan yang kita lalui termasuk juga perjuanganmu dalam menghadapi penyakitmu sekarang ini, semoga Tuhan memberikan kesembuhan dan kekuatan dalam menghadapi penyakitmu ini, karena kita tahu tidak ada yang mustahil bagiNya karena kita percaya kepadaNya. Kepada anak-anakku yang kusayangi Rini Rosada Nauli Situmorang, Josua Mora Satria Situmorang dan Renata Anggita Situmorang yang senantiasa menjadi pendorong semangat serta pelipur lara bagiku selama mengikuti pendidikan, kuucapkan terimakasih atas rasa sayang yang kalian berikan. Harapan saya kiranya Tuhan jugalah yang memperkenankan kita hidup dengan baik, selalu terjaga oleh perlindunganNya. Kalau ada sedikit ilmu atau berkat yang didapat, kiranya Tuhan jugalah yang memberi kesempatan untuk itu bisa berguna bagi semua umatNya.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar iv
Daftar isi vii
Daftar gambar dan tabel ix
Daftar singkatan x
Abstrak xi
Bab I Pendahuluan 1
Bab II Tinjauan Pustaka 4
Bab III Penelitian Sendiri 21
Bab IV Hasil Penelitian 31
Bab V Pembahasan 39
Bab VI Kesimpulan dan Saran 43
Daftar Pustaka
Lampiran 1 Master Tabel 50
Lampiran 2 Lembar Penjelasan kepada Calon Subyek Penelitian 51
Lampiran 3 Lembar Persetujuan setelah Penjelasan 54
Lampiran 4 Profil Peserta Studi 55
Lampiran 5 Etika Kedokteran 56
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
halaman
Gambar 1 pengaruh HD dan resistensi insulin pada penyakit hati kronis 11
Gambar 2 Patofisiologi Hepatogenous diabetes 13
Gambar 3 Peranan fisiologis adiponektin pada berbagai organ 16
Tabel 1 Sebab-sebab hepatitis kronis dan sirosis hati 5
Tabel 2 Skor Child Pugh 7
Tabel 1 Rerata umur penderita sirosis hati 32
Tabel 2 Karakteristik demografi dan klinis penderita sirosis hati 33
Tabel 3 Rerata nilai laboratorium penderita sirosis hati 34
Tabel 4 Rerata kadar adiponektin sesuai kriteria Child Pugh 35
Tabel 5 Rerata kadar parameter klinis sesuai derajat Child Pugh 36
Tabel 6 Hubungan adiponektin dengan parameter klinis 37
Gambar 1 Kadar adiponektin plasma sesuai kriteria Child Pugh 35
Gambar 2 Korelasi adiponektin plama dengan IMT dan albumin 38
DAFTAR SINGKATAN
Singkatan Kepanjangan
KGD Kadar Gula Darah
KGD N Kadar Gula Darah Nuchter
SH Sirosis Hati
TNF α Tumour Necrosis Factor α
IL-6 Interleukin-6
IL-1 Interleukin-1
IMT Indeks Massa Tubuh
USG Ultrasonografi
HG Hepatogenous Diabetes
HCC Hepatoceluler Carcinoma
CP Child Pugh
DM Diabetes Mellitus
CHC Chronic Hepatitis C
SVR Sustained Viral Response
KADAR ADIPONEKTIN PLASMA PADA TINGKATAN
KEPARAHAN SIROSIS HATI
Lenni Sihotang, Mabel Sihombing, Dharma Lindarto, Lukman Hakim Zain Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Gastro Entero Hepatologi RS H. Adam
Malik/ Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK Latar Belakang
Pada Sirosis Hati dilaporkan terjadi gangguan sensitifitas insulin diikuti dengan perubahan metabolisme glukosa seperti tingginya prevalensi resistensi insulin dan intoleransi glukosa, dan adiponektin secara langsung berkorelasi dengan sensitifitas insulin dan berkorelasi secara negatif dengan kadar transaminase serum, namun studi sebelumnya menyebutkan bahwa kadar adiponektin plasma meningkat pada Sirosis hati dan peningkatan ini sejalan dengan semakin memberatnya tingkat kerusakan sirosis hati.
Tujuan
Untuk mengetahui perbedaan kadar adiponektin plasma pada penderita Sirosis Hati sesuai dengan tingkat keparahan menurut kriteria Child Pugh
Metode
Penelitian dilakukan mulai bulan Maret 2010 sampai dengan Juli 2010 dengan metode potong lintang. Jumlah peserta yang diperiksa adalah 30 orang penderita Sirosis hati yang berobat rawat jalan di poliklinik dan rawat inap Gastroentero Hepatologi RSHAM. Semua penderita dilakukan anamnesa, pemeriksaan fisik, USG, pemeriksaan laboratorium, dan adiponektin plasma. Kadar adiponektin berdasarkan kriteria Child Pugh diuji dengan Anova.
Hasil
Kadar adiponektin meningkat pada pasien sirosis dibanding dengan nilai normalnya (12,93 ± 6,99 µg/ml vs 5-10 µg/ml), dan adiponektin plasma meningkat sejalan dengan meningkatnya tingkat kerusakan hati ( Child A : Child B : Child C = 2,6±1,1 µg/ml : 9,8±3,2 µg/ml : 17,5±5,6 µg/ml, p<0,001) serta didapatkan korelasi negatif antara adiponektin dengan IMT, albumin dan KGD puasa serta korelasi positif dengan bilirubin total dan SGOT
Kesimpulan
Kadar adiponektin plasma meningkat pada pasien Sirosis hati dan peningkatan ini sejalan dengan tingkat kerusakan hati.
Kata kunci :
Plasma Adiponectin Concentration in Severity Level of Liver
Cirrhosis
Lenni Sihotang, Mabel Sihombing, Dharma Lindarto, Lukman Hakim Zain Department of Internal Medicine - Division of GastroenteroHepatology H. Adam Malik Hospital/ Medical Faculty of Universitas Sumatera Utara
Abstract Background
In liver cirrhosis, impaired insulin sensitivity and subsequent alteration in glucose metabolism, such as high prevalence of insulin resistance and glucose intolerance are reported and adiponectin level positively correlated with insulin sensitivity and negatively correlated with serum transaminase levels. Several study before reported that presence of high plasma adiponectin levels in patients with liver cirrhosis relative to the control and these level increased in proportion with the severity of liver cirrhosis.
Objective
We want to determine the difference of plasma adiponectin levels in patients with liver cirrhosis according to Child Pugh classification.
Method
The research had been done since Maret 2010 until July 2010 with cross sectional method. The amount of participant examined 30 patients with liver cirrhosis which outpatient in clinic and hospitalized in Adam Malik hospital. Of all patients were performed anamnese, physical diagnostic, Ultrasonography, laboratory examination, and plasma adiponectin levels. Plama adiponectin concentrations according to child pugh score were analyzed by anova.
Results
Plasma adiponectin concentrations were increased in patients with liver cirrhosis relative to its normal value (12,93 ± 6,99 µg/ml vs 5-10 µg/ml) and this level increased in proportion with the severity of liver cirrhosis ( Child A : Child B : Child C = 2,6±1,1 µg/ml : 9,8±3,2 µg/ml : 17,5±5,6 µg/ml, p<0,001) and negative correlation between plasma adiponectin and BMI, albumin and fasting glucose and positive correlation between plasma adiponectin and total bilirubin, AST
Conclusion
Plasma adiponectin concentrations were increased in patients with liver cirrhosis and this level increased in proportion with the severity of liver cirrhosis
Key word
Liver cirrhosis, plasma adiponectin, Child Pugh
KADAR ADIPONEKTIN PLASMA PADA TINGKATAN
KEPARAHAN SIROSIS HATI
Lenni Sihotang, Mabel Sihombing, Dharma Lindarto, Lukman Hakim Zain Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Gastro Entero Hepatologi RS H. Adam
Malik/ Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK Latar Belakang
Pada Sirosis Hati dilaporkan terjadi gangguan sensitifitas insulin diikuti dengan perubahan metabolisme glukosa seperti tingginya prevalensi resistensi insulin dan intoleransi glukosa, dan adiponektin secara langsung berkorelasi dengan sensitifitas insulin dan berkorelasi secara negatif dengan kadar transaminase serum, namun studi sebelumnya menyebutkan bahwa kadar adiponektin plasma meningkat pada Sirosis hati dan peningkatan ini sejalan dengan semakin memberatnya tingkat kerusakan sirosis hati.
Tujuan
Untuk mengetahui perbedaan kadar adiponektin plasma pada penderita Sirosis Hati sesuai dengan tingkat keparahan menurut kriteria Child Pugh
Metode
Penelitian dilakukan mulai bulan Maret 2010 sampai dengan Juli 2010 dengan metode potong lintang. Jumlah peserta yang diperiksa adalah 30 orang penderita Sirosis hati yang berobat rawat jalan di poliklinik dan rawat inap Gastroentero Hepatologi RSHAM. Semua penderita dilakukan anamnesa, pemeriksaan fisik, USG, pemeriksaan laboratorium, dan adiponektin plasma. Kadar adiponektin berdasarkan kriteria Child Pugh diuji dengan Anova.
Hasil
Kadar adiponektin meningkat pada pasien sirosis dibanding dengan nilai normalnya (12,93 ± 6,99 µg/ml vs 5-10 µg/ml), dan adiponektin plasma meningkat sejalan dengan meningkatnya tingkat kerusakan hati ( Child A : Child B : Child C = 2,6±1,1 µg/ml : 9,8±3,2 µg/ml : 17,5±5,6 µg/ml, p<0,001) serta didapatkan korelasi negatif antara adiponektin dengan IMT, albumin dan KGD puasa serta korelasi positif dengan bilirubin total dan SGOT
Kesimpulan
Kadar adiponektin plasma meningkat pada pasien Sirosis hati dan peningkatan ini sejalan dengan tingkat kerusakan hati.
Kata kunci :
Plasma Adiponectin Concentration in Severity Level of Liver
Cirrhosis
Lenni Sihotang, Mabel Sihombing, Dharma Lindarto, Lukman Hakim Zain Department of Internal Medicine - Division of GastroenteroHepatology H. Adam Malik Hospital/ Medical Faculty of Universitas Sumatera Utara
Abstract Background
In liver cirrhosis, impaired insulin sensitivity and subsequent alteration in glucose metabolism, such as high prevalence of insulin resistance and glucose intolerance are reported and adiponectin level positively correlated with insulin sensitivity and negatively correlated with serum transaminase levels. Several study before reported that presence of high plasma adiponectin levels in patients with liver cirrhosis relative to the control and these level increased in proportion with the severity of liver cirrhosis.
Objective
We want to determine the difference of plasma adiponectin levels in patients with liver cirrhosis according to Child Pugh classification.
Method
The research had been done since Maret 2010 until July 2010 with cross sectional method. The amount of participant examined 30 patients with liver cirrhosis which outpatient in clinic and hospitalized in Adam Malik hospital. Of all patients were performed anamnese, physical diagnostic, Ultrasonography, laboratory examination, and plasma adiponectin levels. Plama adiponectin concentrations according to child pugh score were analyzed by anova.
Results
Plasma adiponectin concentrations were increased in patients with liver cirrhosis relative to its normal value (12,93 ± 6,99 µg/ml vs 5-10 µg/ml) and this level increased in proportion with the severity of liver cirrhosis ( Child A : Child B : Child C = 2,6±1,1 µg/ml : 9,8±3,2 µg/ml : 17,5±5,6 µg/ml, p<0,001) and negative correlation between plasma adiponectin and BMI, albumin and fasting glucose and positive correlation between plasma adiponectin and total bilirubin, AST
Conclusion
Plasma adiponectin concentrations were increased in patients with liver cirrhosis and this level increased in proportion with the severity of liver cirrhosis
Key word
Liver cirrhosis, plasma adiponectin, Child Pugh
BAB I
PENDAHULUAN
Sirosis hati (SH) adalah keadaan patologis yang menggambarkan
stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan
distorsi arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini
terjadi akibat nekrosis hepatoseluler. Jaringan penunjang retikulin kollaps disertai
deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular, dan regenerasi nodularis
parenkim hati.1
Penyakit hati menahun dan sirosis dapat menimbulkan sekitar 35.000
kematian pertahun di Amerika Serikat. Sirosis merupakan penyebab kematian
kesembilan di AS dan bertanggungjawab terhadap 1,2% dari seluruh kematian di
AS. Belum ada data resmi nasional tentang sirosis hati di Indonesia, namun dari
beberapa laporan rumah sakit umum pemerintah di Indonesia secara
keseluruhan prevalensi sirosis adalah 3,5% dari seluruh pasien yang dirawat di
bangsal penyakit dalam atau rata-rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati
yang dirawat.2
Skor Child Pugh merupakan suatu skor untuk menilai cadangan fungsi
hati pada penderita sirosis hati, yang dipublikasikan oleh Child (1964). Pada
awalnya skor ini direncanakan untuk menstratifikasi pasien yang masuk kedalam
kelompok resiko sebelum menjalani operasi pemintasan. Dan sekarang ini
sirosis hati dan pembuatan daftar pasien yang akan menjalani transplantasi hati
(Child Pugh B).1,2
Variabel penting yang digunakan, ada 5 jenis yaitu kadar serum bilirubin,
serum albumin, ascites, gangguan neurologis dan status nutrisi. Kemudian Pugh
dkk (1973) memodifikasi kriteria Child, dimana variabel status nutrisi pada kriteria
sebelumnya digantikan dengan waktu protrombin. Untuk kadar albumin, Pugh
memberikan batasan terendah 2,8 mg/dL dimana pada kriteria Child batasan
terendahnya 3 mg/dL.
Selanjutnya kriteria tersebut dikenal dengan modifikasi Child Pugh (CP).
Kelima variabel masing-masing diberi skor 1, 2 dan 3 berturut-turut sehingga
jumlah skor antara 5-15 dan jumlah skor ini dibagi menjadi 3 kelompok yaitu A, B
dan C, yakni CP A dengan skor 5-6, CP B dengan skor 7-9 dan CP C dengan
skor total 10-15.1,2
Pada penyakit hati kronis, seperti SH dilaporkan terjadi gangguan
sensitifitas insulin yang diikuti dengan perubahan metabolisme glukosa seperti
tingginya prevalensi resistensi insulin dan intoleransi glukosa. Hampir semua
pasien SH mengalami resistensi insulin, sekitar 60-80% adalah intoleransi
glukosa, dan selanjutnya 20% berkembang menjadi Diabetes Mellitus (DM).
Pada pasien SH dilaporkan bahwa hiperinsulinemia kronis menyebabkan
resistensi insulin. Namun mekanisme penyebab dari gangguan penggunaan
glukosa oleh insulin masih belum diketahui.3 Laporan lain menunjukkan bahwa
adiponektin pada manusia secara langsung berkorelasi dengan sensitifitas
Adiponektin atau Acrp30 (Adipocyte complement-related protein)
merupakan protein spesifik jaringan adipose dan merupakan protein transkrip
gen yang paling banyak di adiposit, sekitar 0,01% dari semua protein. Aktifitas
biologi dari adiponektin sangat sedikit diketahui. 3,4
Adiponektin pada manusia secara langsung berkorelasi dengan
sensitifitas insulin dan juga dapat merangsang hati untuk mempengaruhi kerja
insulin dalam metabolisme glukosa.5
Beberapa studi mencoba menghubungkan antara kriteria Child Pugh
dengan kadar adiponektin plasma pada penderita sirosis hati diantaranya
penelitian yang dilakukan oleh Sohara dkk (2005), mendapatkan bahwa kadar
adiponektin plasma tinggi pada pasien SH dibandingkan kontrol dan peningkatan
kadar ini meningkat sejalan dengan tingkat keparahan SH dan terdapat korelasi
negatif antara adiponektin plasma dengan kadar insulin pada kontrol dan
korelasi positif antara adiponektin plasma dengan kadar insulin pada pasien SH.3
Sejauh ini data mengenai kadar adiponektin plasma pada tingkatan
keparahan Sirosis Hati belum banyak dipublikasikan di Indonesia, dan belum pernah
dilakukan di Medan. Tulisan ini akan membahas mengenai bagaimanakah kadar
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sirosis Hati
Sirosis hati (SH) adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan
stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan
distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif.1,2
Kejadian di Indonesia menunjukkan bahwa pria lebih banyak dari wanita
(2,4-5:1), dimana kelompok terbanyak didapati pada dekade kelima. Sedangkan
angka kejadian sirosis hati dari hasil otopsi sekitar 2,4% di negara Barat.1,2
Lebih dari 40% pasien Sirosis hati asimptomatik, pada keadaan ini sirosis
ditemukan waktu pemeriksaan rutin kesehatan atau pada waktu autopsi.
Keseluruhan insiden sirosis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk
dan menimbulkan sekitar 35.000 kematian pertahun. Sirosis merupakan
penyebab kematian kesembilan di AS dan bertanggungjawab terhadap 1,2% dari
seluruh kematian di AS. Belum ada data resmi nasional tentang sirosis hati di
Indonesia, namun dari beberapa laporan rumah sakit umum pemerintah di
Indonesia secara keseluruhan prevalensi sirosis adalah 3,5% seluruh pasien
yang dirawat di bangsal penyakit dalam atau rata-rata 47,4% dari seluruh pasien
penyakit hati yang dirawat. Di Medan dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien
sirosis hati sebanyak 819 (4%) dari seluruh pasien di bagian penyakit dalam. 1,2
Penyebab utama sirosis di Amerika adalah hepatits C (26%), penyakit hati
hepatitis B, yang bersamaan dengan hepatitis D (15%), dan penyebab lain (5%)
Sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B dan C. Hasil
penelitian di Indonesia menyebutkan bahwa virus hepatitis B menyebabkan
sirosis sebesar 40-50% dan virus hepatitis C 30-40%, sedangkan 10-20%
penyebabnya tidak diketahui, alkohol sebagai penyebab sirosis hati di Indonesia
mungkin frekuensinya kecil sekali karena belum ada datanya. 1,2
Gambaran patologi hati biasanya mengkerut, berbentuk tidak teratur, dan
terdiri dari nodulus sel hati yang dipisahkan oleh pita fibrosis yng padat dan lebar.
Gambaran mikroskopik konsisten dengan gambaran makroskopik. Ukuran
nodulus sangat bervariasi, dengan sejumlah besar jaringan ikat memisahkan
pulau parenkim regenerasi yang susunannya tidak teratur.1
Patogenesis sirosis menurut penelitian terakhir, memperlihatkan adanya
peranan sel stelata (stellate cell), yang berperan dalam keseimbangan matriks
ekstraseluler dan proses degradasi, jika terpapar faktor tertentu secara terus
menerus (misal hepatitis virus, bahan-bahan hepatotoksik) maka sel stelata akan
menjadi sel yang membentuk kolagen dan jika terus berlangsung maka jaringan
hati normal akan diganti oleh jaringan ikat.1
Penegakan diagnosa sirosis hati saat ini terdiri atas pemeriksaan fisik,
laboratorium dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan biopsi hati
karena sulit membedakan hepatitis kronik aktif yang berat dengan sirosis hati.1
2.2. Skor Child Pugh
Pada tahun 1964, Child dan Turcotte mempublikasikan tentang kriteria
empiris yang mereka temukan untuk menilai cadangan fungsi hati pada penderita
sirosis hati. Variabel penting yang mereka ajukan ada 5 jenis yaitu kadar serum
bilirubin, serum albumin, ascites, gangguan neurologis dan status nutrisi.
Kemudian pada tahun 1973, Pugh dkk memodifikasi kriteria Child, dimana
variabel status nutrisi pada kriteria sebelumnya digantikan dengan waktu
dimana pada kriteria Child batasan terendahnya 3 mg/dL. Selanjutnya kriteria
tersebut dikenal dengan modifikasi Child Pugh. Kelima variabel masing-masing
dibagi menjadi 3 kelompok yaitu A, B dan C, yang diberi skor 1, 2 dan 3 secara
berturut-turut, sehingga berdasarkan nilai total dari kriteria ini dapat
diklasifikasikan dalam 3 tingkatan yakni tingkat Child Pugh A dengan skor 5-6,
tingkat Child Pugh B dengan skor 7-9 dan Child Pugh C dengan skor total 10-15
(tabel 2).1,2
Tabel 2. Skor Child Pugh dikutip dari 1
Skor 1 2 3
Serum bilirubin (mg/dL) < 2 2 – 3 > 3
Serum albumin (mg/dL) > 3,5 2,8 – 3,5 < 2,8
Ascites tidak ada mudah sulit
dikontrol dikontrol
Gangguan neurologi tidak ada minimal koma
lanjut
Waktu protrombin (detik) < 4 4 – 6 >6
≠: selisih waktu protrombin dengan kontrol (detik)
≠
Sampai saat ini kriteria yang dipakai sebagai parameter dalam upaya
menentukan prognostik sirosis hati adalah skor modifikasi Child Pugh. Kriteria ini
juga dapat dipakai untuk menilai keberhasilan terapi konservatif.2
Prognosis sirosis hati berdasarkan skor kriteria Child Pugh yang
dihubungkan dengan angka mortalitas terhadap tindakan operasi adalah Child
Pugh A 10-15%, Child Pugh B ± 30% dan Child Pugh C > 60%.1,2
Bilirubin adalah suatu pigmen kuning dengan struktur tetrapirol yang tidak
larut dalam air, berasal dari destruksi sel darah merah (75%), katabolisma
protein hem (22%) dan inaktivasi eritropoesis sum-sum tulang (3%). Bilirubin
yang tidak terkonyugasi, di hati akan mengalami konyugasi dengan enzim
glukoronil transferase. Selanjutnya bilirubin terkonyugasi akan dikonversi menjadi
urobilinogen di colon dan sebagian direabsorpsi dan diekskresikan ginjal dalam
bentuk urobilinogen dan dikeluarkan bersama dengan feses sebagai
sterkobilin.1,2
Pemeriksaan bilirubin ini dapat dengan menggunakan metode van den
Bergh assay, dimana dapat ditentukan tingkat bilirubin total dalam serum dan
jumlah bilirubin terkonyugasi ataupun tak terkonyugasi. Pada sirosis hati akan
dijumpai peningkatan produksi bilirubin.1,2
2.2.2. Serum albumin
Albumin merupakan protein plasma terbanyak dalam tubuh manusia.
Kadarnya berkisar antara 3,5-5,5 g/dL dan merupakan 60% dari seluruh protein
plasma. Kadar albumin darah merupakan hasil kecepatan sintesis hati dikurangi
kecepatan degradasi dan distribusi albumin kedalam ruang intra dan ekstra
vaskuler.1,2
Sintesa albumin terutama dihati yaitu sebanyak 9-12 g/hari pada orang
dewasa normal dan merupakan 25% dari total protein hati setiap hari.
Katabolisma albumin terjadi di sel hati, dimana sebanyak ± 15% albumin yang
yang kemudian siap digunakan untuk berbagai sintesis protein yang dibutuhkan
tubuh. Sisanya sebanyak 40-60% di sel otot dan kulit. Distribusi albumin terjadi di
dalam pembuluh darah maupun di luar pembuluh darah (cairan intertitial). Pada
sirosis hati akan dijumpai rendahnya produksi albumin.1,29
2.2.3. Waktu protrombin
Protrombin (faktor II), faktor VII, IX dan X merupakan faktor koagulasi
yang dihasilkan oleh hati dimana dalam pembentukannya memerlukan vitamin K.
Vitamin K ini pun dihasilkan di hati. Adapun peranan vitamin K pada tahap
karboksilasi gugus gamma glutamil. 1,2
Waktu protrombin pertama kali diperkenalkan oleh Quick tahun 1935
dimana prinsip pemeriksaan ini, mengukur lamanya waktu yang dibutuhkan
dalam detik untuk pembentukan fibrin dari plasma sitrat, setelah penambahan
tromboplastin jaringan dan ion kalsium dalam jumlah optimal. Hasil pemeriksaan
waktu protrombin tergantung dari beberapa hal seperti pengambilan bahan,
penanganan bahan pemeriksaan, macam reagen yang dipakai dan teknik
pemeriksaan. Waktu protrombin merupakan ukuran sintesis sel hati dan pada
sirosis hati akan dijumpai pemanjangan waktu protrombin. 1,2
2.3 Hepatogenous diabetes
Pada penyakit hati kronis, seperti Sirosis Hati dilaporkan terjadi gangguan
sensitifitas insulin yang diikuti dengan perubahan metabolisme glukosa seperti
pasien sirosis hati mengalami resistensi insulin, 60-80% adalah intoleransi
glukosa, dan kira-kira 20% berkembang menjadi Diabetes Melitus.3
Hubungan antara penyakit hati kronis dengan gangguan metabolisme
glukosa telah diketahui dengan nama hepatogenous diabetes. Gangguan
metabolisme glukosa menjadi lebih buruk sejalan dengan progresi hepatitis
kronis menjadi SH. Patogenesa terjadinya DM yang terjadi pada pasien SH
(hepatogenous diabetes) sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti,
tetapi diduga berkaitan dengan terjadinya resistensi insulin yang ditandai dengan
hiperglikemia dan hiperinsulinemia.8
Hati memegang peranan penting dalam metabolisme glukosa dimana hati
dapat menyimpan glikogen dan memproduksi glukosa melalui glikogenolisis dan
glukoneogenesis. Pada keadaan fisiologis, hepatosit merupakan tempat utama
metabolisme glukosa hati, namun metabolisme insulin dilakukan oleh sel hati non
parenkimal yaitu sel Kupffer, sel endotelial sinusoidal dan hepatic stellate cells
(HSC) yang berkontribusi terhadap degradasi insulin dan terlibat dalam modulasi
metabolisme glukosa hepatosit selama proses inflamasi via pengeluaran sitokin.
Insulin merupakan mediator utama pada hemostasis glukosa dan setiap
perubahan aksinya akan menyebabkan gangguan metabolisme glukosa.8
Pada keadaan terjadinya kerusakan pada hati, maka terjadi gangguan
pada hemostasis metabolisme glukosa oleh karena terjadinya resistensi insulin
dan gangguan sensitivitas sel β pankreas. Resistensi insulin terjadi pada jaringan
otot, hati dan lemak. Sementara itu, etiologi dari penyakit hati sangat penting
virus hepatitis C, dan hemokromatosis sering dihubungkan dengan diabetes.
22,30
Intoleransi glukosa dan DM terjadi pada lebih dari 40% dan 17% pasien
hepatitis C kronik. Mekanisme bagaimana HCV menyebabkan terjadinya
resistensi insulin masih belum jelas diketahui. Telah diketahui bahwa HCV
menginduksi resistensi tanpa memandang indeks massa tubuh dan stadium
fibrosis dan pada percobaan pada binatang didapatkan bahwa protein core HCV
dan TNF α dapat menginduksi resistensi insulin, steatosis, dan DM. 23,30,38
Gambar 1. pengaruh HD dan resistensi insulin pada penyakit hati kronis 30
Hepatogenous diabetes (HD) berhubungan dengan penurunan sustained
kronis. HD juga dapat meningkatkan komplikasi dari sirosis seperti varises
esofagus dan gagal hati serta peningkatan mortalitas. HD juga merupakan faktor
resiko untuk terjadinya komplikasi hepatocellular carcinoma (HCC). 30
Patofisiologi dari HD sangat kompleks dan tidak diketahui pasti.
Resistensi insulin memegang peranan penting terhadap gangguan metabolisme
glukosa. Disebutkan bahwa penurunan ekstraksi insulin oleh hati yang rusak dan
adanya shunt portosistemik akan menghasilkan hiperinsulinemia dan diperberat
dengan peningkatan kadar hormon kontra insulin seperti glukagon, hormon
pertumbuhan, insulin like growth factor, dan sitokin. Namun studi terbaru pada
pasien sirosis hati Child B menyatakan bahwa hiperinsulinemia terjadi karena
penurunan sensitifitas sel β pankreas sementara gangguan ektraksi insulin oleh
hati tidak memegang peranan. Dan menjadi perdebatan juga apakah faktor
genetik dan lingkungan dan penyebab penyakit hati seperti HCV, alkohol dapat
mengganggu sekresi insulin oleh sel β pankreas. Sebagai kesimpulan,
tampaknya gangguan toleransi glukosa dapat dihasilkan dari 2 gangguan yang
terjadi secara simultan yaitu resistensi insulin dan tidak adekuatnya sekresi sel β
pankreas untuk mengeluarkan insulin dalam mengatasi gangguan kerja insulin
sehingga akhirnya menyebabkan hiperglikemia puasa dan profil toleransi glukosa
Gambar 2. Patofisiologi Hepatogenous Diabetes. 30
Perin PC dkk (1985) menyebutkan bahwa hiperglikemia pada SH
disebabkan oleh sensitifitas terhadap insulin yang berkurang (defek reseptor)
dan/atau berkurangnya respon terhadap insulin (defek post reseptor). Pada SH,
sensitifitas dan respon insulin terhadap reseptor di otot dan hati menurun.
Akibatnya terjadi gangguan pemasukan glukosa di reseptor.10
Sementara itu Letiexe,dkk (1993) menyatakan bahwa hiperinsulinemia
yang terjadi bukanlah disebabkan karena hipersekresi pankreas tetapi karena
menurunnya klirens insulin hepatik.13 Pada penyakit hati kronis seperti juga
pada kondisi inflamasi lainnya sitokin proinflamasi seperti tumour necrosis
produksi lokal, akan mengganggu kerja insulin serta merangsang terjadinya
resistensi insulin.8,38
2.4. ADIPONEKTIN
Adiponektin yang juga dikenal sebagai complement-related protein 30
(ACRP30), merupakan protein spesifik jaringan adipose yang memiliki banyak
gene transcript 1 (apM1) atau adipoQ yang terdiri dari 244 asam amino dan
termasuk dalam grup adipocytokines yang terutama disintesa di jaringan lemak.4
Adiponektin merupakan suatu protein dengan berat molekul 30 kDa, yang terdiri
dari suatu domain kolagen dengan terminal amino dan domain globular dengan
terminal karboksil. Konsentrasi adiponektin plasma sangat tinggi dengan
konsentrasinya berkisar antara 5-10 μg/ml, dan merupakan 0,01% dari total
protein plasma.9,15,18,31
Jaringan adipose telah diketahui selain berfungsi untuk penyimpanan dan
mobilisasi lemak, juga didapat bahwa jaringan adipose banyak memiliki molekul
aktif. Adiponektin telah diketahui berkurang pada subjek dengan obesitas.43,44
Selain dari itu kadar adiponektin juga diketahui menurun pada resisten insulin,
DM tipe 2 dan dislipidemia. Beberapa studi yang telah dilakukan pada hewan
dan manusia mendapatkan bahwa adiponektin dapat meningkatkan sensitivitas
insulin, mempunyai efek anti inflamasi dan anti aterogenik dan dapat
Dua bentuk reseptor adiponektin telah diketahui yaitu AdipoR1 dan
AdipoR2. AdipoR1 merupakan reseptor yang afinitasnya tinggi terhadap domain
globular terminal C dan sangat rendah terhadap adiponektin utuh. AdipoR1
diekspresikan sangat besar pada otot skletal, sedangkan adipoR2 pada jaringan
hepatik. Reseptor-reseptor adiponektin diekspresikan dalam sel β pankreas,
makrofag dan lesi aterosklerotik.15,18,29
Walaupun peranan fisiologi adiponektin belum sepenuhnya diketahui, data
terbaru telah memberikan bukti bahwa hormon ini mempengaruhi beberapa
komponen dari Sindroma Metabolik. Studi sebelumnya pada manusia kadar
adiponektin plasma berkorelasi secara negatif dengan indeks massa tubuh dan
massa lemak tubuh, insulin dan glukosa darah puasa, tingkat resistensi insulin,
tekanan darah sistolik dan diastolik serta kolesterol total dan trigliserida plasma.
Pemberian adiponektin pada tikus menghasilkan penurunan gula darah, asam
lemak bebas dan trigliserida, disamping itu juga terjadi penurunan produksi
glukosa darah di hati. Data lain menunjukkan bahwa adiponektin juga memiliki
anti aterogenik dan antiinflamasi 4, 27
Hubungan kuat yang dijumpai antara adiponektin dan sensitivitas insulin
sistemik telah didapat baik secara in vivo maupun in vitro pada tikus,
hewan-hewan lain, dan manusia. Penyuntikan adiponektin kepada model tikus diabetes
ternyata dapat menurunkan kadar gula darah. Studi yang dilakukan oleh
Yamauchi dkk mendapati efek yang sama, yaitu adiponektin dapat meningkatkan
Tampaknya ada hubungan antara adiponektin dan massa lemak pada
manusia, tidak seperti leptin, kadar adiponektin secara signifikan berkurang pada
pasien obesitas dibandingkan pasien yang kurus.9,17 Arita dkk menunjukkan
bahwa kadar adiponektin plasma 3,7 μg/dl pada grup yang obesitas, sedangkan
pada grup yang tidak obesitas didapatkan kadar adiponektin rata-rata adalah 8,7
μg/dl. Adiponektin juga merupakan satu-satunya protein spesifik jaringan lemak
yang diregulasi secara negatif pada pasien obesitas.14,17
Gambar 3. peranan fisiologi adiponektin pada berbagai organ.16
Adiponektin juga diketahui dapat memodulasi kerja insulin. Pada manusia
kadar adiponektin plasma secara langsung berkorelasi dengan sensitifitas insulin,
sehingga dengan demikian kadarnya berkurang pada pasien obesitas dan DM
tipe 2. Adiponektin akan merangsang hati mempengaruhi insulin dalam
ekspresi dari enzim glukoneogenik hati dan produksi glukosa endogen oleh hati.
Selain itu adiponektin juga meningkatkan oksidasi asam lemak bebas dan
merupakan antagonis TNF, suatu sitokin yang menyebabkan terjadinya
resistensi insulin dan kerusakan hati.5,23
Kadar adiponektin menurun pada pasien DM tipe 2, pasien obesitas
dengan resistensi insulin dan penyakit arteri koroner. Kadar adiponektin plasma
dipengaruhi juga oleh status nutrisi sehingga diduga juga peningkatan kadar
adiponektin pada SH disebabkan pada pasien tersebut biasanya cenderung
terjadi malnutrisi.3,31
2.5. Adiponektin dan Sirosis Hati
Sampai pada hari ini, belum ada informasi yang didapat dari literatur
mengenai bagaimana perubahan kadar adiponektin plasma pada pasien sirosis
dan gangguan-gangguan metabolik yang disebabkannya. 4
Sensitivitas insulin dan fungsi hati menunjukkan suatu hubungan dua arah
dimana bila fungsi hati normal , maka respon tubuh normal terhadap insulin,
sedangkan sensitifitas insulin yang abnormal akan menyebabkan kerusakan hati.
Hati juga merupakan tempat utama clearance insulin. 5,36
Sirosis hati merupakan penyakit katabolik, yang dikarakteristikkan dengan
berbagai perubahan metabolisme yang berat berupa terjadinya peningkatan
pengeluaran energi, mengalami penurunan massa lemak tubuh seperti juga
massa sel tubuh, dan menunjukkan peningkatan penggunaan energi dari lemak.
puasa, insulin dan katekolamin dan terjadinya resistensi insulin. Selain itu juga
pasien SH dikarakteristikkan dengan suatu keadaan inflamasi yang kronis
dengan peningkatan kadar IL-6, IL-1β dan TNF-α.4,38
Saat ini adiponektin yang merupakan protein spesifik jaringan adiposa
telah menjadi perhatian dalam penelitian. Penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa adiponektin memiliki efek anti diabetes, anti obesitas, anti aterogenik dan
anti inflamasi , sehingga membuatnya menjadi merupakan salah satu kandidat
yang menjanjikan dalam pengobatan obesitas dalam sindroma metabolik .
Adiponektin juga memiliki efek langsung terhadap hepatosit melalui reseptor
AdipoR2 dan memiliki antiinflamasi melalui peran antagonisnya melawan TNFα.
Hal ini memberikan suatu pendapat bahwa terdapat peranan hepatoprotektif
yang potensial dari adiponektin melawan fibrosis hati dan sirosis hati. 6
Penelitian sebelumnya menemukan bahwa peningkatan kadar adiponektin
pada pasien SH berkorelasi positif dengan tingkat keparahan SH dan secara
negatif dengan sintesis protein hepatik. Para peneliti menyarankan bahwa
adiponektin mungkin dapat digunakan sebagai salah satu marker terhadap
kerusakan sel-sel hati dan tujuan penggunaan adiponektin untuk mengobati
resistensi insulin dan diabetes dibatasi hanya untuk pasien tanpa penyakit hati.6
Studi yang dilakukan oleh Kasser dkk (2005),mendapatkan bahwa kadar
adiponektin meningkat pada pasien SH dibandingkan kontrol, dimana kadar
adiponektin ini meningkat pada setiap grup dan tidak tergantung pada etiologi
dari penyakit hatinya, yang mengesankan bahwa peningkatan adiponektin di
dianalisa kadar adiponektin pada SH berdasarkan stadium klinisnya didapatkan
bahwa peningkatan adiponektin secara signifikan meningkat pada penyakit hati
yang lebih lanjut. Hal ini memberi asumsi bahwa adiponektin dapat menjadi
indikator keparahan dari penyakit hati kronis. Selain itu mereka tidak menemukan
hubungan antara adiponektin dengan sensitifitas insulin sehingga mereka
menyatakan bahwa kadar adiponektin yang rendah bukanlah syarat untuk
terjadinya penurunan sensitifitas insulin seperti yang dapat diprediksi demikian
pada pasien yang bukan SH. Hal ini mengimplikasikan bahwa ada faktor-faktor
lain diluar adiponektin yang terlibat dalam terjadinya resistensi insulin pada
pasien SH.7
Hasil yang sama juga didapatkan oleh Sohara dkk, dimana mereka
mendapatkan kadar adiponektin plasma yang tinggi pada penderita SH, dan
kadar ini meningkat secara proporsional sejalan dengan peningkatan keparahan
SH. Sementara kadar adiponektin plasma dan insulin juga berkorelasi dengan
progresi klasifikasi Child Pugh. Peningkatan insulin plasma pada pasien SH
dihasilkan dari hubungan yang kompleks antara kemampuan sel β untuk
mengkompensasi keadaan resistensi insulin, tingkat gangguan degradasi insulin
di hati dan hipertensi portal. Peningkatan adiponektin yang didapatkan sejalan
dengan keparahan SH juga kemungkinan disebabkan oleh karena hati
merupakan organ utama dalam metabolisme adiponektin.3,27
Apakah yang menjadi konsekuensi dari peningkatan adiponektin pada
pasien SH? Pemberian adiponektin telah ditunjukkan akan meningkatkan kerja
tipe2. Adiponektin dapat bekerja secara langsung pada hati dengan menurunkan
produksi glukosa hati. Intoleransi glukosa dan hiperinsulinemia sering terjadi
pada pasien SH. Hiperinsulinemia ini terjadi karena peningkatan sekresi insulin
oleh sel β pankreas dan penurunan pengambilan insulin dari sirkulasi, sehingga
diduga peningkatan adiponektin di sirkulasi dapat merupakan usaha
patofisiologikal dari organisme untuk melawan penurunan sensitivitas insulin
pada pasien SH, dan juga menggambarkan mekanisme antiinflamasi tubuh pada
BAB III
PENELITIAN SENDIRI
3.1. LATAR BELAKANG
Sirosis hati (SH) merupakan stadium tahap akhir dari perjalanan penyakit
hati kronis yang ditandai dengan adanya kegagalan hepatoseluler dan hipertensi
portal.1,2. Pada penyakit hati kronis, seperti SH dilaporkan terjadi gangguan
sensitifitas insulin yang diikuti dengan perubahan metabolisme glukosa seperti
tingginya prevalensi resistensi insulin dan intoleransi glukosa. Hampir semua
pasien SH mengalami resistensi insulin, sekitar 60-80% adalah intoleransi
glukosa, dan selanjutnya 20% berkembang menjadi Diabetes Mellitus (DM).
Pada pasien SH dilaporkan bahwa hiperinsulinemia kronis menyebabkan
resistensi insulin. Namun mekanisme penyebab dari gangguan penggunaan
glukosa oleh insulin masih belum diketahui.3 Laporan lain menunjukkan bahwa
adiponektin pada manusia secara langsung berkorelasi dengan sensitifitas
insulin dan berkorelasi secara negatif dengan kadar transaminase serum.5
Penyakit SH merupakan penyakit katabolik dimana terdapat beberapa
perubahan metabolisme diantaranya adalah peningkatan pengeluaran energi,
mengalami penurunan massa lemak tubuh dan massa sel tubuh, serta
menunjukkan peningkatan penggunaan energi dari lemak. Studi sebelumnya
pada manusia didapatkan bahwa kadar adiponektin plasma berkorelasi negatif
insulin, tingkat resistensi insulin, tekanan darah sistolik dan diastolik, kolesterol
total dan trigliserida.4
Adiponektin atau Acrp30 (Adipocyte complement-related protein)
merupakan protein spesifik jaringan adipose dan merupakan protein transkrip
gen yang paling banyak di adiposit, sekitar 0,01% dari semua protein. Aktifitas
biologi dari adiponektin sangat sedikit diketahui. Namun studi sebelumnya
mendapatkan konsentrasi adiponektin yang rendah pada pasien obesitas
dengan resisten insulin, DM tipe 2 dan penyakit jantung koroner. Injeksi fragmen
adiponektin akan menurunkan glukosa darah, mengatasi resistensi insulin ,
menurunkan asam lemak bebas dan menurunkan berat badan pada tikus.3,4
Pada manusia dan tikus normal, ekspresi adiponektin terbatas pada
jaringan lemak atau sel-sel adiposit didalam hati. Namun dilaporkan tikus yang
diobati dengan carbon tetrachloride menunjukkan peningkatan ekspresi protein
adiponektin sebagaimana mRNA dalam hepatosit yang kemungkinan
mengimplikasikan adiponektin berkontribusi dalam kelainan metabolik yang
terjadi pada pasien SH. 4
Adiponektin pada manusia secara langsung berkorelasi dengan
sensitifitas insulin sehingga dengan demikian berkurang pada pasien obesitas
dan DM tipe 2 (Hu dkk 1996; Arita dkk 1999). Telah ditunjukkan bahwa
adiponektin merangsang hati untuk mempengaruhi kerja insulin dalam
metabolisme glukosa.5
Pada penelitian yang dilakukan oleh Hui dkk 2007 terhadap pasien
dapat meningkat sampai dengan 4 kali lipat pada pasien dengan tingkat fibrosis
yang lebih tinggi dan berkorelasi positif dengan tingkat fibrosis (p<0,001), dan
setelah terapi antiviral dimana terjadi penurunan tingkat fibrosis didapatkan
penurunan yang bermakna dari kadar adiponektin serum. Mereka menyimpulkan
bahwa adiponektin serum memiliki peranan dalam progresi fibrosis pada pasien
Hepatitis B kronik, dan penurunan adiponektin serum setelah terapi antiviral
menunjukkan pengurangan fibrosis hati.6
Penelitian yang dilakukan oleh Sohara dkk (2005), mendapatkan bahwa
kadar adiponektin plasma tinggi pada pasien SH dibandingkan kontrol (log
adiponektin: 0,46 ± 0,12 vs 0,35 ± 0,10 μg/ml, p<0,05), peningkatan kadar ini
meningkat sejalan dengan tingkat keparahan SH {Child A (n=21) p<0,05, Child B
& C (n=17) p<0,05} dan terdapat korelasi negatif antara adiponektin plasma
dengan kadar insulin pada kontrol (r = -0,429, p=0,0017), dan korelasi positif
antara adiponektin plasma dengan kadar insulin pada pasien SH (r = 0,354,
p=0,028).3
Tietge dkk 2004 juga mendapatkan adanya peningkatan yang signifikan
kadar adiponektin plasma pada penderita Sirosis Hati dibanding kontrol
(15,2±1,7 vs 8,2±1,1 μg/ml, p<0,01) , hati merupakan sumber utama ekstraksi
adiponektin, sementara kadar adiponektin pada SH tidak berkorelasi dengan
parameter komposisi atau metabolisme tubuh tapi secara ekslusif berkorelasi
dengan penurunan fungsi hati dan perubahan hemodinamik di hati.4
Dari berbagai latar belakang diatas kemungkinan didapatkan hubungan
tentang adiponektin khususnya pada pasien SH belum banyak di Indonesia dan
belum pernah dilakukan di Medan. Karena itulah penulis berminat melakukan
penelitian mengenai kadar adiponektin plasma pada penderita Sirosis Hati
sesuai dengan tingkat keparahan menurut kriteria Child Pugh A, B dan C di kota
Medan.
3.2 PERUMUSAN MASALAH
a) Apakah kadar adiponektin plasma meningkat pada penderita Sirosis Hati
b) Apakah kadar adiponektin plasma semakin meningkat sesuai dengan
tingkat keparahan Sirosis Hati
3.3 HIPOTESA
a) Terdapat peninggian kadar adiponektin plasma pada penderita Sirosis Hati
b) Semakin berat tingkat keparahan Sirosis Hati berdasarkan kriteria Child
Pugh semakin tinggi kadar adiponektin plasma.
3.4 TUJUAN PENELITIAN
c) Untuk mengetahui perbedaan kadar adiponektin plasma pada penderita
Sirosis Hati sesuai dengan tingkat keparahan menurut kriteria Child Pugh
d) Apakah kadar adiponektin plasma pada penderita Sirosis Hati dapat dipakai
3.5 MANFAAT PENELITIAN
Dengan mengetahui kadar adiponektin plasma pada penderita Sirosis Hati
sesuai tingkat keparahan menurut kriteria Child Pugh maka diharapkan
adiponektin dapat digunakan sebagai salah satu marker untuk menilai
tingkat keparahan Sirosis Hati.
3.6. KERANGKA KONSEPSIONAL
SIROSIS HATI
Child Pugh
A
Child Pugh
B
Child Pugh
C
Kadar Adiponektin?
3.7 METODOLOGI PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Penelitian dilakukan dengan observasi klinik dengan pendekatan
2. Waktu dan tempat penelitian
Penelitian direncanakan dilakukan mulai bulan Februari 2010 sampai
dengan Juli 2010 di RS Haji Adam Malik Medan, RSUD Pirngadi, rumah
sakit swasta dan praktek dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan
Gastroentero Hepatologi.
3. Subjek penelitian
Penderita Sirosis Hati yang rawat jalan poliklinik ataupun rawat inap di
Divisi Gastroentero Hepatologi Departemen Penyakit Dalam RS H Adam
Malik/RS Pirngadi Medan, serta pasien praktek Spesialis Penyakit
Dalam-Konsultan Gastroentero Hepatologi di Medan.
4. Kriteria inklusi
- Penderita Sirosis Hati yang berobat jalan di poliklinik dan rawat inap
Divisi Gastroentero Hepatologi Departemen Penyakit Dalam RS H
Adam Malik dan RS Pirngadi Medan, serta pasien praktek Spesialis
Penyakit Dalam-Konsultan Gastroentero Hepatologi di Medan.
- Bersedia turut serta dalam penelitian dan menandatangani persetujuan
tindakan medis
5. Kriteria eksklusi
a. Penderita DM
b. Penderita PJK
c. Obesitas
d. Penderita Penyakit Ginjal Kronis stadium ≥ 3
6. Besar sampel
Perkiraan besar sampel :
(Zα+ Zβ) Sd
d
2
n =
Zα = nilai baku normal dari tabel Z yang besarnya tergantung nilai α
yang ditentukan, untuk α=0,05 maka Zα = 1,96
Zβ = untuk β=0,10 maka Zβ = 1,282
Sd = Standart deviasi perkiraan = 1,7
d = Selisih rerata kedua kelompok yang bermakna (clinical judgment) =
1,0
2
n = ( 1,96 + 1,282 ) 1,7 ≥ 30,34 ≥ 30
1,0
Jadi jumlah sampel minimal adalah 30 orang.
7. Cara penelitian
a. Setiap pasien sirosis hati yang datang berobat jalan di poliklinik
Gastroentero Hepatologi Penyakit Dalam, maupun yang dirawat inap,
dianamnese serta dilakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan ultrasonografi abdomen. Setelah memenuhi kriteria
mewakilinya mengisi formulir persetujuan, kemudian dilakukan
pemeriksaan darah rutin, albumin, bilirubin, waktu protrombin, KGD
puasa, adiponektin plasma, viral marker dan ditentukan kriteria Child
Pugh.
b. Kadar adiponektin plasma diperiksa di laboratorium Prodia dengan
metode ELISA dengan kit imunosorbent komersial.
8. Analisa Data
Untuk menilai adakah hubungan antara data dilakukan dengan uji
Anova. Untuk menilai korelasi diantara variabel data dilakukan
dengan uji korelasi pearson jika data terdistribusi normal dan korelasi
spearman jika data tidak terdistribusi normal. Nilai p<0,05 dianggap
bermakna secara statistik.
9. Defenisi operasional
• Sirosis hati : penyakit hati kronik yang ditegakkan berdasarkan
gejala klinis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan USG Abdomen.
• Skor Child Pugh
Skor ini untuk menilai cadangan fungsi hati pada pasien sirosis
hepatis yang dipublikasikan oleh Child (1964). Variabel yang
digunakan adalah kadar bilirubin serum, albumin serum, asites,
gangguan neurologis dan status nutrisi. Kemudian Pugh dkk
(1973) memodifikasi kriteria Child dimana variabel status nutrisi
diganti dengan waktu protrombin. Kelima variabel dibagi 3
berturut-turut, sehingga total dari kriteria ini dibagi 3 tingkatan
yaitu A: skor 5-6, B: skor 7-9, dan C: skor 10-15
Tabel 2. Skor Child Pugh .dikutip dari 1
Skor 1 2 3
Serum bilirubin (mg/dL) < 2 2 – 3 > 3
Serum albumin (mg/dL) > 3,5 2,8 – 3,5 < 2,8
Ascites tidak ada mudah sulit
dikontrol dikontrol
Gangguan neurologi tidak ada minimal koma
lanjut
Waktu protrombin (detik) < 4 4 – 6 >6
≠: selisih waktu protrombin dengan kontrol (detik)
≠
• Obesitas : Perhitungan berat badan berdasarkan Indeks Massa
Tubuh (IMT) = BB(kg)/TB2(m2), dikatakan obesitas jika IMT ≥ 25,0
kg/m2
• Penyakit Ginjal Kronik : suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal
yang progresif, dimana klasifikasi atas dasar derajat penyakit
dibuat atas dasar Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang dihitung
berdasarkan rumus Kockroft-Gault sebagai berikut : LFG
(ml/mnt) = (140-umur) x BB
72 x kreatinin
3.8. KERANGKA OPERASIONAL
Child A Penderita
Penyakit hati kronis
-Anamnese -Pemeriksaan Fisik -Laboratorium -USG Abdomen
-Skor Child Pugh
Child B
Child C
Adiponektin Analisa
Sirosis
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan di poliklinik
dan rawat inap divisi Gastroentero Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam.
Pengambilan sampel dilakukan sejak 01 Maret 2010 sampai 31 Juli 2010.
Pengambilan sampel dilakukan kepada setiap pasien sirosis hati yang sedang
berobat jalan ke poliklinik dan rawat inap divisi Gastroentero Hepatologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.
Diagnosis sirosis hati dilakukan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,
laboratorium dan USG Abdomen.
Diinklusikan penderita Sirosis Hati yang berobat jalan di poliklinik dan
rawat inap Divisi Gastroentero Hepatologi Departemen Penyakit Dalam RS H
Adam Malik dan RS Pirngadi Medan, serta pasien praktek Spesialis Penyakit
Dalam-Konsultan Gastroentero Hepatologi di Medan dan bersedia turut serta
dalam penelitian dan menandatangani persetujuan tindakan medis. Kriteria
eksklusi adalah penderita DM, PJK, Obesitas, penyakit ginjal kronis stadium ≥ 3,
dan tidak bersedia ikut dalam penelitian.
Data-data yang diperlukan dicatat oleh peneliti (anamnesa, pemeriksaan
fisik, pengukuran antropometri ,pemeriksaan laboratorium, USG abdomen).
Kemudian pasien yang memenuhi kriteria inklusi sesuai dengan jumlah sampel
(30 orang) diminta kesediaannya untuk diambil sampel darah sebanyak 5 cc dari
4.1. Karakteristik klinis dan kadar adiponektin plasma penderita Sirosis hati
Kami melakukan penelitian terhadap 30 orang subjek di unit Rawat Jalan
dan Rawat Inap RSUP H. Adam Malik, Departemen Penyakit Dalam FK USU.
Subjek penelitian adalah penderita sirosis hati yang diambil datanya dari Maret
2010 sampai dengan Juli 2010.
Kisaran usia subjek penelitian berada diantara 32-79 tahun dengan rerata
usia 52,93 ± 10,21 tahun ( tabel 1)
Tabel 1. Rerata umur penderita Sirosis Hati
Parameter Rerata ± SB Kisaran
Umur ( tahun ) 52,93 ± 10,21 32-79
Dari seluruh subjek penelitian ada 24 orang (80%) berjenis kelamin
laki-laki dan 6 orang (20%) wanita. Etiologi sirosis hati terbanyak penderita dengan
petanda virus HbsAg positif 21 orang (70%). Ada 4 orang (13,3%) penderita
sirosis hati dengan ensefalopati dan 23 orang (76,7%) dengan ascites. Dan
dengan menilai Child Pugh ada 4 orang (13,3%) penderita sirosis dengan Child
Pugh A , 10 orang (33,3%) Child Pugh B dan 16 orang (53,3%) yang Child C
Tabel 2. Karakteristik demografi dan klinis penderita sirosis hati.
Rerata nilai variabel laboratorium dan simpangan baku seluruh subjek
penelitian diperlihatkan pada tabel 3. Dari tabel ini dapat dilihat bahwa rerata
kadar adiponektin plasma pada penderita sirosis hati adalah 12,93 ± 6,99 µg/ml
Tabel 3. Rerata nilai laboratorium penderita sirosis hati
Parameter Rerata ± SB Kisaran
Bilirubin total (mg/dl) 4,41 ± 5,76 0,59 – 23,19
Albumin (mg/dl) 2,49 ± 0,64 1,5 – 4,3
Waktu protrombin (det) 18,75 ± 6,90 12.7 – 42,0
Trombosit (K/µl) 141,18± 177,63 34,0-993,0
SGOT (mg/dl) 127,08 ± 106,15 28 – 562
SGPT (mg/dl) 56,79 ± 31,59 17 - 136
KGD N (mg/dl) 81,47 ± 18,02 45 - 118
Adiponektin Plasma (µg/ml) 12,93 ± 6,99 1,41 - 25
Ket : SB = Simpang Baku
4.2 Kadar adiponektin plasma dan kerusakan hati.
Kadar adiponektin plasma meningkat pada pasien sirosis hati, dan secara
bermakna kadar adiponektin plasma juga meningkat secara proporsional sejalan
dengan makin meningkatnya tingkat kerusakan hati ( Child A, n=4, rerata 2,6±1,1
µg/ml, Child B n=10, rerata 9,8±3,2 µg/ml dan Child C n=16, rerata 17,5±5,6 µg/ml
p<0,001) tabel 4. Sementara kadar albumin secara bermakna menurun pada
kerusakan hati yang lebih berat (p<0,001), demikian juga dengan IMT pada
pasien sirosis semakin berkurang sejalan dengan bertambah parahnya tingkat
kerusakan hati (p<0,001) , sementara Bilirubin total, SGOT meningkat sejalan
Tabel 4. Rerata kadar adiponektin sesuai kriteria Child Pugh
Tabel 5. Rerata kadar parameter klinis sesuai derajat Child Pugh
Parameter CP A CP B CP C Nilai p
IMT (kg/m2) 21,1±1,2 19,2±1,7 18,2±0,9 0,001
Bil-Tot (mg/dl) 1,0±0,3 3,4±3,5 5,9±7,1 0,254
SGOT (mg/dl) 41,8±8,9 102,5±52,9 163,8±127,8 0,07
SGPT (mg/dl) 37,9±10,8 41,6±24,6 71,0±32,9 0,02
Trombosit (K/µl) 77,3±29,1 182,1±28,8 131,6±94,2 0,59
Albumin (mg/dl) 3,5±0,6 2,6±0,4 2,2±0,5 0,001
KGD N (mg/dl) 92,8±11,2 87,6±17,9 74,8±17,4 0,082
KGD sewaktu 126±38,6 120,6±34,1 116,9±26,9 0,863
________________________________________________________________
Data ditampilkan dalam rerata±SB, IMT=indeks massa tubuh, Bil-tot=bilirubin total, KGD N=KGD puasa, SB=simpangan baku
4.3 Hubungan Adiponektin dengan parameter klinis
Untuk menilai korelasi parameter klinik dengan kadar adiponektin plama yang
distribusinya tidak normal dilakukan uji korelasi Spearman. Berdasarkan uji
korelasi Spearman didapatkan bahwa pada pasien sirosis hati kadar adiponektin
plasma berkorelasi negatif dengan IMT( r= -0,544, p<0,01) albumin (r= -0,485,
p<0,01) dan KGD puasa ( r= -0,380, p<0,05) (gambar 2) dan berkorelasi positif
dengan bilirubin total (r= 0,535, p<0,01) dan SGOT (r= 0,388,p<0,05). Tidak
ditemukan korelasi antara adiponektin plasma dengan umur, jenis kelamin, KGD
Tabel 6. Hubungan adiponektin dengan parameter klinis
Parameter r ( korelasi Spearman rho)
Umur 0,246
Jenis kelamin 0,358
IMT -0,544**
Bil Tot 0,535**
SGOT 0,388*
SGPT 0,332
Albumin -0,485**
KGDN -0,380*
KGD sewaktu 0,017
Trombosit 0,264
Protrombin time 0,003
________________________________________________________________
** korelasi bermakna p<0,01
A
Gambar 2. korelasi adiponektin plasma dengan A. IMT (r = -0,54, p<0,01)
BAB V
PEMBAHASAN
Sirosis hati paling sering dijumpai pada usia dekade kelima dimana
perbandingan jenis kelamin pria dan wanita berkisar antara 2,5-4:1 dengan
etiologi tersering virus hepatitis B.1,2 Studi kami memperlihatkan hal yang sama
dimana penderita sirosis hati dijumpai pada usia rerata 52,93 ± 10,21 tahun
dengan kisaran 32-79 tahun , dimana perbandingan pria dan wanita 4:1 dengan
etiologi terbanyak oleh karena virus hepatitis B yaitu 21 orang (70%).
Penemuan penting yang didapatkan pada studi ini adalah 1. kadar
adiponektin plasma yang tinggi pada pasien sirosis hati dibanding nilai normal
(12,93 ± 6,99 µg/ml vs 5-10 µg/ml), 2. kadar adiponektin plasma juga meningkat
secara proporsional sejalan dengan meningkatnya tingkat keparahan sirosis hati
( Child A : Child B : Child C = 2,6±1,1 µg/ml : 9,8±3,2 µg/ml : 17,5±5,6 µg/ml,
p<0,001). 3. Adanya korelasi yang positif antara adiponektin plasma dengan
bilirubin total dan SGOT dan korelasi negatif antara adiponektin plasma dengan
IMT, albumin dan KGD puasa.
Adiponektin telah menarik perhatian dalam penelitian yang merupakan
hormon yang disekresikan oleh adiposit yang dapat meregulasi kadar gula darah
di sirkulasi, mengatasi resistensi insulin, dan menyebabkan penurunan berat
badan. Juga dilaporkan bahwa pasien obesitas dengan resistensi insulin, DM
tipe 2 atau penyakit jantung koroner memiliki konsentrasi adiponektin yang
bahwa kadar adiponektin menurun pada pasien obesitas, dan penurunan berat
badan akan menyebabkan kadar adiponektin plasma meningkat. Dari hal ini
maka diduga bahwa kadar adiponektin plasma pada pasien sirosis hati akan
meningkat oleh karena pasien sirosis cenderung malnutrisi, seperti yang kami
dapatkan dalam studi ini bahwa kadar adiponektin berkorelasi negatif dengan
IMT pasien sirosis hati ( r=-0,544, p<0,01, gambar 2).
Pada studi ini kami mendapatkan peningkatan kadar adiponektin plasma
dibanding nilai normal dan peningkatan ini secara signifikan meningkat sejalan
dengan peningkatan keparahan Child pugh (gambar 1). Hal ini sesuai dengan
studi yang didapatkan oleh Sohara dkk 2005 dimana mereka mendapatkan
peningkatan kadar adiponektin plasma pada pasien sirosis hati (38 orang)
dibanding kontrol (30 orang) dimana log adiponektin (µg/ml) 0,46 ±0,12 vs
0,35±0,10 , p<0,005 dan peningkatan ini sejalan dengan makin meningkatnya
tingkat kerusakan sirosis hati (p<0,005). Tapi pada studi mereka tidak didapatkan
korelasi yang bermakna antara adiponektin dengan IMT dan KGD puasa (IMT
pasien sirosis tidak berbeda dengan IMT kontrol) dimana hal itu semua kami
dapatkan pada studi ini.
Demikian juga studi oleh Tietge dkk (2004) mendapatkan hasil serupa
dimana mereka mendapatkan adanya peningkatan yang signifikan kadar
adiponektin plasma pada penderita Sirosis Hati dibanding kontrol (15,2±1,7 vs
8,2±1,1 μg/ml, p<0,01), sementara Hui dkk 2007 yang melakukan studi terhadap
serum dapat meningkat sampai dengan 4 kali lipat pada pasien dengan tingkat
fibrosis yang lebih tinggi dan berkorelasi positif dengan tingkat fibrosis (p<0,001)
Peningkatan adiponektin pada sirosis hati yang didapatkan oleh beberapa
penelitian sebelumnya menurut Sohara dkk (2005) menyatakan bahwa
peningkatan adiponektin yang bertahap pada penderita sirosis hati dan sejalan
dengan peningkatan skor Child Pugh disebabkan karena hati merupakan organ
utama metabolisme adiponektin, demikian juga menurut studi oleh Tietge dkk
memperlihatkan bahwa hati merupakan sumber utama ekstraksi diponektin dan
kadar adiponektin plasma pada sirosis secara bermakna meningkat pada pasien
sirosis dibandingkan normal disebabkan berkurangnya fungsi hati dan
hemodinamik hepatik, selain itu peningkatan adiponektin di sirkulasi dapat
merupakan usaha patofisiologikal dari organisme untuk melawan penurunan
sensitifitas insulin pada pasien SH, dan juga menggambarkan mekanisme
antiinflamasi tubuh pada penyakit hati kronis.
Dalam studi ini kami juga mendapatkan adanya korelasi yang negatif
antara adiponektin plasma dengan IMT, albumin dan KGD puasa yang artinya
semakin tinggi adiponektin maka IMT, albumin dan KGD puasanya akan
menurun demikian sebaliknya. Demikian juga dengan korelasi adiponektin
dengan Bilirubin total dan SGOT dimana didapatkan korelasi yang positif yang
berarti juga semakin tinggi kadar bilirubin maka kadar adiponektinnya juga
semakin tinggi.
Hasil yang kami dapatkan pada studi ini semakin memperjelas bahwa
pada pasien SH, dan peningkatan adiponektin secara signifikan meningkat pada
penyakit hati yang lebih lanjut. Hal ini memberi asumsi bahwa adiponektin dapat
menjadi indikator keparahan dari sirosis hati.
Keterbatasan dari studi ini adalah bahwa studi ini merupakan studi potong
lintang dengan pengukuran variabel hanya dilakukan satu kali, sehingga hasilnya
tidak dapat dipakai untuk menilai perkembangan dan mortalitas subjek
selanjutnya, diperlukan studi yang membandingkan bagaimana kadar
adiponektin plasma pada pasien sirosis hati dengan membandingkannya dengan
baku emas untuk sirosis hati yaitu biopsi hati ataupun fibroscan, juga untuk
menilai sensitifitas dan spesifitas adiponektin sebagai marker untuk menilai
tingkat kerusakan hati. Untuk melengkapi studi ini perlu dilakukan studi serupa
yang menggunakan rancangan kohort yang lebih baik dan jumlah sampel yang
lebih besar.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. KESIMPULAN
Dari hasil yang ditemukan dan pembahasannya dari studi ini dapat
diajukan kesimpulan sebagai berikut :
1. Rerata kadar adiponektin pada pasien sirosis hati lebih tinggi dari nilai
normalnya.
2. Peningkatan kadar adiponektin ini meningkat secara bermakna sejalan
dengan peningkatan tingkat kerusakan sirosis hati menurut kriteria
Child Pugh.
3. Terdapat korelasi yang negatif yang bermakna antara adiponektin
plasma dengan IMT, albumin dan KGD puasa, dan korelasi yang
positif antara adiponektin plasma dengan Bilirubin total dan SGOT.
6.2. SARAN
1. Hasil penelitian ini menunjukkan kadar adiponektin plasma dapat
dipakai sebagai salah satu marker untuk menilai tingkat kerusakan
sirosis hati.
2. Perlu untuk dilakukan penelitian yang melibatkan subjek lebih
banyak dan dengan rancangan serta cara yang lebih baik untuk
memperoleh bukti adanya korelasi kadar adiponektin berdasarkan skor
Child Pugh dengan biopsi hati atau fibroscan pada penderita sirosis
DAFTAR PUSTAKA
1. Nurdjanah S. Sirosis Hati dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam , edisi IV
jilid II, Jakarta, Pusat penerbitan Departemen Ilmu penyakit dalam FK UI.,
2006 hal 445-448
2. Kusumobroto O Hernomo, Sirosis Hati, dalam buku ajar Ilmu Penyakit
Hati, edisi I, Jakarta, Jayabadi, 2007, hal 335-345
3. Sohara N, Takagi H, Kakizaki S, Sato K, Mori M, Elevated plasma
adiponectin concentrations in patients with liver cirrhosis correlate with
plasma insulin level, Liver International 2005 ; 25: 28-32
4. Tietge , J.F.Uwe, Boker HW Klaus, Manns P Michael, Bahr J Matthias ,
Elevated circulating adiponectin levels in liver cirrhosis are associated with
liver function and altered hepatic hemodynamics, Am J Physiol Endocrinol
Metab, 2004; 287 : E84-E89
5. Bermejo Lopez Abel, Botas Patricia, Funahashi Tohru et al Adiponectin,
hepatocellular dysfunction and insulin sensitivity, Clinical Endocrinology
(2004) 60, 256-263
6. CK Hui, HY Zhang, NP Lee, et al. Serum adiponectin is increased in
advancing liver fibrosis and declines with reduction in fibrosis in chronic
hepatitis B. Journal of Hepatology August 2007;47(2): 191-202.
7. Kaser S, Moschen A, Ludwiject O, Circulating adiponectin reflects severity
of liver disease but not insulin sensitivity in liver cirrhosis, Journal of